Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN LENGKAP PRAKTKUM

FARMAKOLOGI TOKSIKOLOGI I
“ANESTESI DAN HIPNOTIK SEDATIF”

OLEH :

KELOMPOK 2 GOLONGAN 2
STIFA B 018

ASISTEN : MEIVY AURELIA

LABORATORIUM FARMAKOLOGI
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI MAKASSAR
MAKASSAR
2019
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 LATAR BELAKANG


Dari berbagai teori yang pernah dikemukakan tentang mekanisme
terjadinya anestesia, tampaknya teori neurorofisiologi merupakan teori
yang dapat menjelaskan terjadinya anestesia. Kini diyakini anestesia
terjadi karena adanya perubahan neurotransmisi diberbagai bagian SSP.
Kerja neurotransmiter dipasca sinaps akan diikuti dengan membentukkan
second mesenger dalam hal ini cAMP yang selanjutnya mengubah
transmisi di neuron (Sulistia,2016).
Disamping asetilkolin sebagai neurotransmiter klasik, dikenal juga
katekolamin, serotonin, adenosin, serta berbagai asam amino dan peptida
endogen yang bertindak sebagai neurotransmiter yang memodulasi
neurotransmiter di SSP (Sulistia,2016).
Anestetik disemua tingkat susunan saraf pusat bekerja dengan cara
mempengaruhi transmisi neuron, khususnya di sinaps yaitu dengan
mudah pelepasan neurotransmiter di prasinaps dan mengubah frekuensi
maupun amplitudo impuls yang sampai ke pasca sinaps (Sulistia,2016).
Hipnotik/sedativ, seperti juga antipsikotika termasuk dalam
kelompok sikodepresiva yang mencakup obat-obat yang menekan atau
menghambat fungsi-fungsi SSP tertentu (Tjay, 2010).
Sedativa-hipnotika berkhasiat menekan SSP. Bila digunakan dalam
dosis yang meningkat, suatu sedativum, misalnya barbiturat, akan
menimbulkan efek berturut-turut peredaan, tidur dan pembiusan total
(anestesia). Pada dosis yang lebih besar lagi terjadi koma, depresi
pernafasan dan kematian. Bila diberikan berulang kali untuk jangka waktu
yang lama, senyawa ini lazimnya menimbulkan ketergantungan dan
ketagihan (Tjay, 2010).
I.2  Maksud dan Tujuan Percobaan
I.2.1 Maksud Percobaan
Maksud dari tujuan ini yaitu untuk mengetahui efek kerja obat
anestesi yaitu eter dan golongan hiptnotik sedatif yaitu diazepam dan
fenobarbital pada hewan coba mencit (Mus musculus).
I.2.2 Tujuan Percobaan
Tujuan dari percobaan ini yaitu :
1. Mengetahui obat-obat yang termasuk golongan anestesi, hipnotik-
sedatif beserta mekanismenya.
2. Mengetahui efek dari golongan obat anestesi, hipnotik-sedatif.
I.3 Prinsip Percobaan
Prinsip percobaan ini yaitu pemberian obat golongan anestesi yaitu
eter secara inhalasi kemudian hitung onset dan durasi pada mencit (Mus
musculus).Pada obat golongan hipnotik-sedatif yaitu diazepam dan
fenobarbital diberikan secara oral kemudian hitung onset dan durasi dari
efek obat tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Teori Umum
Sebagian besar obat yang mempengaruhi SSP bekerja dengan
mengubah beberapa tahapan dalam proses neurotransmisi. Obat-obat
yang mempengaruhi SSP dapat bekerja pada prasinaps dengan
memengaruhi produksi, penyimpanan, atau pengakhiran kerja
neurotransmitter (Harvey, 2013).
Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat SSP memengaruhi
kehidupan setiap orang, setiap hari. Senyawa ini secara terapeutik sangat
bernilai karena dapat menghasilkan efek fisiologis dan psikologis yang
spesifik. Tanpa anestetik umum, proses bedah modern tidak mungkin
dilakukan. Obat-obat yang memengaruhi SSP secara secara selektif
dapat meredakan nyeri, mengurangi demam, mensupresi gerakan yang
tidak terkendali, menginduksi tidur atau bangun, mengurangi keinganan
untuk makan, atau mengurangi kecenderungan muntah (Gilman, 2012).
Istilah anesthesia yang artinya hilangnya sensasi nyeri(rasa sakit)
yang disertai maupun yang tidak disertaai hilangnya kesadaran,
diperkenalkan oleh Oliver W. Holmes pada tahun 1846. Obat yang
digunakan dalam menimbulkan anesthesia disebut sebagai anestetik, dan
kelompok obat ini dibedakan atas anestetik umum dan anestetik local.
Obat-obat pra-anestetik diberikan untuk menenangkan pasien, meredakan
nyeri, dan mencegah efek yang tidak diinginkan dari pemberian anestetik
atau prosedur bedah. Anestetik umum yang poten diberikan secara
inhalasi atau suntikan intravena. Kecuali nitrous okside, anestesi inhalasi
modern, merupakan hidrokarbon halogen yang mudah menguap, yang
berasal dari riset awal dan pengalaman klinis dengan diethyl ether dan
chloroform. Selain itu, anestesi umum intravena terdiri dari sejumlah tipe
obat yang tidak terkait secara kimiawi yang biasa digun akan untuk induksi
cepat anesthesia (Harvey, 2013).
II.1.1 Anestesi
Anestesi digolongkan menjadi dua bagian, yaitu (Sulistya, 2016):
1. Anestesi umum
Anestesi umum bekerja di susunan saraf pusat sedangkan anestesik
local bekerja langsung pada serabut saraf di perifer. Anestesi umum
dikelompokkan berdasarkan penggunaannya di klinik yaitu anestetik
inhalasi dan anasetik intravena (Sulistya, 2016).
Anestesi umum pada prinsipnya dapat mengganggu fungsi sistem
saraf pada batang otak, dan korteks selebral. Penggambaran tempat
anatomis kerja ini secara akurat sukar dilakukan karena banyak anestetik
menghambat aktivitas elektrik di SSP secara menyebar (Gilman, 2012).
Tanda-tanda telah tercapainya anastesia umum adalah hilangnya
kesadaran yang ditunjukkan oleh vignette ( deskripsi atau episode singkat
yang membangkitkan gambaran, memori, atau perasaan yang kuat )
historis dan deskripsi “mengantuk”, yang terus diunakan oleh awam
maupun professional (Gilman, 2012).
Secara tradisional anestesi umum dapat diberikan dengan (Sulistya,
2016) :
a. Anestesi Inhalasi
Semua anestetik inhalasi adalah derivate eter kecuali halotan dan
nitrogen. Anestesi inhalasi yang sempurna adalah yang (a) massa induksi
dan masa pemulihannya singkat dan nyaman, (b) peralihan stadium
anestesinya terjadi cepat, (c) relaksasi ototnya sempurna, (d) berlangsung
cukup aman, dan (e) tidak menimbulkan efek toksik atau efek samping
berat dalam dosis anestetik yang lazim (Sulistya, 2016).
Anestesi inhalasi dapat menghiperpolarisasikan neuron. Hal ini
mungkin merupakan efek penting pada neuron yang berperan sebagai
pacemaker dan pada sirkuit yang menghasilkan pola. Ini juga mungkin
penting dalam komunikasi sinaps, karena eksitabilitas yang berkurang
pada neuron pascasinaps dapat mengurangi kemungkinan suatu potensial
aksi akan diinisiasi sebagai respons terhadap pelepasan neuron
transmitter (Gilman, 2012).
Dalam anestesi bergantung pada kadar anestetik di sistem saraf
pusat. Dan kadar ini ditenukan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi
transfer anestetik dari alveoli paru ke darah dan dari darah ke jaringan
otak. Membrane alveoli dengan mudah dapat dilewati zat anestetik secara
difusi dari alveoli ke aliran darah dan sebaliknya. Tetapi bila ventilasi
alveoli terganggu, misalnya pada emfisema paru, pemindahan anestetik
akan terganggu pula . (Sulistya, 2016).
Kecepatan transfer anestetik di jaringan otak ditentukan oleh (1)
kelarutan zat anestetik, (2) kadar anestetik dalam udara yang dihirup
pasien atau disebut tekanan parsial anestetik, (3) ventilasi paru (4) aliran
darah paru, dan (5) perbedaan antara tekanan parsial anestetik di darah
arteri dan di darah vena (Sulistya, 2016).
Dasar dan terjadinya stadium anastesia adalah perbedaan kepekaan
berbagai bagian SSP terhadap anastetik. Sel-sel substansia gelatinosa di
kornudorsalis medulla spinalis peka sekali terhadap anestetik. Penurunan
aktifitas neuron di daerah ini menghmbat transmisi sensorik dari rangsang
nosiseptik sehingga dimulailah tahap analgesia stadium II terjadi akibat
aktifitas neuron yang kompleks pada kadar anastetik yang lebih tinggi di
otak. Aktifitas ini antara lain berupa penghambatan neuron inhibisi
bersamaan dengan dipermudahkannya pelepasan neuron trasmiter
eksitasi. Selanjutnya, depresi hebat pada jalur naik di sistem aktifasi
reticular dan penekanan aktifitas refleks spinals meyebabkan pasien
masuk ke stadium III. Neuron di pusat nafas dan pusat fasomotor relative
tidak peka terhadap anestesi kecuali kadar-kadar yang sangat tinggi
(Sulistya, 2016).
Efek samping dan toksisitas: Enfluran dan halotan menyebabkan
depresi miokard yang dose-related, sedangkan isoflurane dan desflurane
tidak. Isoflurane dan N2O dapat menyebabkan takikardia, sedangkan
enflurane tidak banyak mempengaruhi frekuensi jantung. Halotan dapat
menyebabkan bradikardia melalui stimulasi vagal. Aritmia supraventrikal
biasanya dapat diatasi kecuali bila curah jantung dan tekanan arteri
menurun. Aritmia ventrikel jarang terjadi, kecuali bila timbul hipoksia atau
hiperkapnia. Halotan menimbulkan vensitisasi jantung terhadap
katekolamin, sehingga penggunaan adrenalin, noradrenalin, atau
isoproterenol bersama halotan akan menyebabkan aritmia ventrikel.
Halotan berbahaya diberikan pada pasien yang merasa khawatir
berlebihan, karena kedaan tersebut disertai kadar katekolamin yang tinggi
(Sulistya, 2016).
Gangguan fungsi hati ringan sering timbul pada penggunaan
anestetik inhalasi, tetapi jarang terjadi gangguan yang serius. Halotan
dapat menyebabkan hepatitis pada sebagian kecil pasien. Mekanisme
terjadinya hepatoksisitas halotan ini belum jalas benar, tetapi diduga
berdasarkan pembentukan radikal bebas yang menimbulkan kerusakan
sel hati atau respons imun (Sulistya, 2016).
b. Anestesi Intravena
Anestetik intravena lebih banyak digunakan dalam tahun-tahun
terakhir ini baik sebagai adjuvan bagi anestetik inhalasi maupun sebagai
anestetik tunggal karena tidak diperlukan peralatan yang rumit dalam
penggunaannya. Tujuan pemberiannya adalah untuk (1) induksi
anesthesia; (2) induksi dan pemeliharaan anesthesia pada tindak bedah
singkat; (3) menambah efek hipnosis pada anesthesia atau analgesia
lokal; dan (4) menimbulkan sedasi pada tindak medik (Sulistya, 2016).
Kebanyakan anestetik intravena digunakan untuk induksi, tetapi kini
anestetik intravena digunakan untuk pemeliharaan anestesia atau
dikombinasi dengan anestetik inhalasi sehingga dimungkinkan
penggunaan dosis anestetik inhalasi yang lebih kecil dan efek anestetik
lebih mudah menghasilkan potensial atau salah satu obat dapat
mengurangi efek buruk obat lainnya (Sulistya, 2016).
2. Anestesi lokal
Anestetik lokal umumnya digunakan secara lokal dan menghambat
konduksi saraf impuls sensoris dari perifer ke SSP. Anestetik lokal
menghilangkan sensasi (dan dalam konsentrasi yang lebih tinggi,aktivitas
motoris) dalam area tubuh yang terbatas tanpa menghasilkan
ketidaksadaran (misalnya, selama anestetik spinal) (Harvey, 2013).
Anestetik lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf.
Tempat kerja utamanya adalah membran sel. Anestetik lokan memblok
konduksi dengan mengurangi atau mencegah peningkatan sementara
yang tinggi pada permeabilitis membran yang dapat tereksitasi oleh Na +
yang secara normal dihasilkan oleh depolarisasi membran yang lemah.
Kerja anaestetik lokal ini disebabkan oleh interaksi langsungnya dengan
saluran Na+ bergerbang-tegangan karena kerja anestetik berkembang
secara progresif dalam suatu saraf, nilai ambang eksitabilitas elektrisnya
meningkat secara bertahap, konduksi impuls menjadi lambat, dan faktor
keamanan konduksi berkurang. Faktor-faktor ini mengurangi kemungkinan
perhambatan potensial aksi, sehingga konduksi saraf akhirnya gagal
(Gilman, 2010 )
Jika digunakan secara lokal pada jaringan saraf dengan
konsentrasi yang sesuai, anestetik lokal memblok secara reversible
potensial akasi yang menyebabkan konduksi saraf. Senyawa ini bekerja
pada setiap bagian sitem saraf dan pada setiap jenis serabut saraf.
Keuntungan praktis yang penting yang dimilikin anestetik lokal adalah
bahwa kerjana revesibel pada konsentrasi yang secara klinis (Gilman,
2012 ).
Contoh obat dari anestesi lokal, yaitu kokain, prokain, lidokain,
bupivakain, dibukain, mepivakain HCl, tertakain, prilokain (Gunawan,
2016).
Obat- obat ini juga dapat diberikan dalam sediaan supposutoria secar
rectal, tetapi resopsinya kurang teratur. Terutama digunakan untuk
mendahului ( induksi ) anesteti total, atau pemeliharaannya, juga sebagai
anestesi pada pembedahan singkat ( Tjay, 2010 ).
II.1.2 Hipnotik-Sedatif
Hipnotik dan sedative merupakan golongan obat pendepresi
susunan saraf pusat (SSP). Efeknya brgantung pada dosis, mulai dari
yang ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk,menidurkan,hingga
yang berat yaitu hilangnya kesadaraan, keadaan anestesi, koma dan mati
(Katzung, 2014).
Pada dosis terapi, obat sedatif menekan aktivitas mental,
menurunkan respon terhadap rangsangan emosi sehingga menenangkan.
Obat hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta
mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologis (Katzung, 2014).
Efek sedasi juga efek merupakan efek samping beberapa golongan
obat lain yang tidak termasuk obat golongan depresan SSP. Walaupun
obat tersebut memperkuat penekanan SSP, secara tersediri obat tersebut
memperlihatkan efek lebih spesifik pada dosis yang jauh lebih kecil dari
pada dosis yang dibutuhkan untuk mendeprsi SSP secara umum
(Katzung, 2014).
Beberapa obat dalam golongan hipnotik dan sedative, khususnya
golongan benzodiazepine diindikasikan juga sebagai pelemas otot,
antiepilepsi, antiansietas (anti cemas), dan sebagai penginduksi
anestesi(Katzung, 2014).
1. Benzodiazepin
Metabolisme hati merupakan penyebab klirens semua
benzodiazepin. Pola dan laju metabolisme bergantung pada masing-
masing obat. Sebagian besar benzodiazepin mengalami oksidasi di
mikrosom (reaksi fase I), termasuk N-dealkilasi dan hidroksilasi alifatik
yang dikatalisis oleh berbagai isozin sitokrom P450, khususnya CYP3A4.
Metabolit-metabolit kemudian dikonjugasi (reaksi fase II) untuk
membentuk glukuronida yang dieksresikan diurin. Golongan
benzodiazepin obat induk atau metabolit aktifnya memiliki waktu paruh
lama lebih besar kemungkinannya menyebabkan efek komulatif pada
dosis multipel. Efek komulatif dan residual misalnya rasa kantuk
berlebihan tampaknya lebih jarang terjadi pada obat-obat pada
estazolam,oksazepam,dan rolazepam, yang memiliki waktu paruh relatif
singkat dan dimetabolisasi langsung menjadi glukorinida yang inaktif
(Katzung,2015).
Mekanisme kerja Benzodiazepin memodulasi efek GABA melalui
ikatan dengan tempat yang berafinitas tinggi dan spesifik pada lokasi
pertemuan antara subunit α dan Ɣ 2. Lokasi reseptor benzodiazepin pada
SSP paralel dan neuron GABA. Pengikatan GABA dengan reseptornya
akan memicu pembukaan kanal klorida, yang menyebabkan peningkatan
konduktasi klorida. Benzodiazepin akan meningkatan frekuensi
pembukaan kanal oleh GABA. Aliran masuk ion klorida menyebabkan
sedikit hiperpolarisasi yang menurunkan potensi pascasinaps dari ambang
letup sehingga meniadakan pembentukan pembentukan potensial aksi
(Harvey, 2013).
Contoh obat benzodiazepin, yaitu alprazolam, chlordiazepoxide,
clonazepam, clorazepate, clobazam, diazepam, estazolam, flurazepam,
lorazepam, oksazepam, nitrazepam.
2. Barbiturat
Kecuali fenobarbital, sangat sedikit barbiturat yang diekresikan tanpa
berubah. Jalur-jalur metabolik utama adalah oksidasi oleh enzim-enzim
hati untuk membentuk alkohol,asam, dan keton, yang muncul diurin
sebagai konjugat glukorunida. Laju keseluruhan metabolisme hati pada
manusia bergantung pada masing-masing obat tetapi (dengan
pengecualian teobarbiturat) biasanya lambat. Waktu paruh eliminasi
sekobarbital dan pentobarbital berkisar dari 18-40 jam pada oarng yang
berbeda. Waktu paruh eliminasi fenobarbital pada manusia adalah 4-5
hari. Pemberian obat-obat ini dalam dosis multipel dapat menyebabkan
efek kumulatif (Katzung,2015)
Mekanisme kerja barbiturat adalah meningkatkan fungsi gaba pada
SSP. Barbiturat meningkatkan reseptor gaba dengan membuka kanal ion
klorida pada keadaan kerja gaba. Hasil akhir kedua kerja tersbutb adlah
suatu pemingkatan inhalasi SSP (Stringer,2015).
Contoh obat barbiturat, yaitu amobarbital, phenobarbital, pebtobarbital,
sekobarbital, thiopental, methoheksital.
3. Hipnotik lain
Setelah pemberian oral standar, zopildem mencapai kadar plasma
puncak dalam 1,6 jam. Formulasi lepas bifasi memperpanjang kadar
plasma sebesar sekitar 2 jam. Zolpidem cepat di motabolitasi menjadi
metabolit inaktif melalui oksidasi dan hidroksilasi oleh sitokrom P450 hati
termasuk isozim CYP3A4 (Katzung,2015).
Contoh obat hipnotik lain, yaitu buspiron, prometazin, zopiclon,
kloralhidrat.
BAB III
METODE KERJA

III.1 Alat dan Bahan


III.1.1 Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu Spuit injeksi 1cc,
kanula mencit,toples,lap kasar,tissue,stopwatch.
III.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu
Diazepam,fenobarbital,CMC Na, hewan coba (mencit/Mus musculus),
kapas.
III.2 Cara Kerja
III.2.1 Cara Kerja Anestesi
1. Mencit (5 ekor) ditimbang. Sebelum pemberian obat , hewan
diletakan diatas lap kasar untuk ditenangkan.
2. Untuk percobaan Anastesi, mencit diberi perlakuan menggunakan
toples dan diberi kapas yang telah dibasahi dengan eter.
3. Sedangkan untuk kontrol negatif, mencit hanya dimasukkan ke
dalam toples.
4. Kemudian, amati efek obat tersebut pada mencit.
5.Untuk mendapatkan onset dan durasi, amati mencit sampai
berhentinya efek obat tersebut.
6. Untuk percobaan Hipnotik-Sedatif, mencit diberi obat secara
peroral :
a. Mencit no 1 diberi pelakuan kontrol negatif, diberikan 0,5 mL
Na.CMC
b. Mencit no 2 diberikan 0,5 mL Diazepam
c. Mencit no 3 diberikan 0,65 mL Fenobarbital

III.2.2 Cara Kerja Hipnotik-Sedatif


1. Mencit (5 ekor) ditimbang. Sebelum pemberian obat , hewan
diletakan diatas lap kasar untuk ditenangkan.
2. Masing-masing mencit langsung diberikan perlakuan rute
pemerian secara peroral
3. Lalu nyalakan stopwatch saat semua obat sudah masuk ke dalam
mulut mecit
4. Kemudian, letakkan mencit di atas lap kasar yang dikelilingi oleh
benda sebagai penghalang agar mencit tidak lari kemana-mana.
5. Amati efek obat tersebut pada mencit untuk mendapatkan onset
6. Untuk mendapatkan durasi, amati mencit sampai berhentinya efek
obat tersebut.
BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1 Hasil Pengamatan


IV.1.1 Hasil Pengamatan Anestesi
Mencit ke-
Kelompok Pengamatan Rata-rata
1 2 3
Onset - - - -
Kontrol
Negatif Durasi - - - -

Onset 01.49 01.53 01.09 01.05


Eter
Durasi 18.17 10.27 15.05 14.49

IV.1.2 Hasil Pengamatan Hipnotik Sedatif


Mencit Rata-
Perlakuan Pengamatan rata
1 2 3 4 5
Onset - - - - - -
Na.CMC
Durasi - - - - - -

Onset 14.42 06.11 20.49 13.51 10.13 12.04


Diazepam
Durasi 04.17 14.03 01.06 02.08 04.35 05.59

Onset 17.36 10.37 17.35 20.11 - 16.02


Fenobarbit
al Durasi 04.16 10.21 03.20 03.10 - 05.17

IV.2 Pembahasan
Pada praktikum ini dilakukan percobaan untuk mengetahui efek dari
pemberian obat golongan anestesi dan hipnotik-sedatif, yang diberikan
kepada mencit melalui jalur oral.
Onset merupakan waktu yang dibutuhkan sejak obat disuntikkan
sampai mulai berefek. Durasi merupakan waktu yang dibutuhkan sejak
obat mulai berefek sampai efeknya hilang. Efek yang timbulkan untuk obat
golongan hipnotik-sedatif adalah mencitnya akan lebih tenang. Sedangkan
efek untuk obat golongan anestesi efek yang ditimbulkan adalah hilangnya
kesadaran pada mencit.
Dari tabel diatas, hasil yang diperoleh untuk golongan anastesi, yaitu
pada mencit pertama dengan eter onset yang didapatkan adalah 01.49
menit, mencit kedua 01.53 menit dan mencit ketiga 01.09 menit.
Sedangkan durasi yang diperoleh untuk mencit pertama adalah 18.17,
mencit kedua 10.27 menit dan mencit ketiga 15.05 menit. Rata-rata onset
yang diperoleh yaitu 01.05 menit, sedangkan rata-rata durasi diperoleh
14.49 menit.
Untuk golongan hipnotik sedatif dilakukan perlakuan terhadap 5
mencit. Onset yang diperoleh dari perlakuan obat diazepam untuk mencit
pertama adalah 14.42 menit, mencit kedua 06.11 menit, mencit ketiga
20.49, mencit keempat 13.51 menit dan mencit kelima 10.13 menit.
Sedangkan durasi yang diperoleh untuk mencit pertama yaitu 04.17 ,
mencit kedua 14.03 menit, mencit ketiga 01.06 , mencit keempat 02.08 ,
dan mencit kelima 04.35 menit. Rata-rata yang diperoleh untuk onset
adalah, dan durasi. Sedangkan untuk fenobarbital rata-rata onset yang
diperoleh yaitu 16.02 , durasa 05.17.
Eter merupakan sediaan obat dari golongan inhalasi yang digunakan
sebagai pembiusan (anestesi) sehingga memberikan efek hilangnya
kesadaran.
Na CMC adalah polimer alam yang merupkan desivat selulosa serta
memiliki kestabilan pada pH lebar yaitu 2-10. Na CMC dapat memberikan
konsintesi sediaan yang tinggi hanya dengan konsentrasi kecil. Na CMC
merupakan kontrol negatif, sehingga dia tidak memberikan efek apapun.
Na CMC digunakan sebagai pembanding dengan obat diazepam dan
fenobarbital.
Diazepam merupakan obat hipnotik-sedatif golongan benzodiazepin
yang akan memberikan efek menenangkan dan mengurangi aktifitas.
Diazepam akan memodulasi reseptor GABA dan berikatan dengan
reseptor GABA yang berafinitas tinggi dan spesifik, yang memacu
terbukanya kanal ion Cl-, sehingga terjadi hiperpolarisasi makan neuron
terhambat.
Fenobarbital merupakan hipnotik-sedatif golongan barbiturat yang
akan memberikan efek menenangkan dan mengurangi aktifitas.
Fenobarbital akan berinteraksi dengan resptor gaba sehingga
memperpanjang durasi pembukaan kanal ion Cl -. Sehingga terjadi
hiperpolarisasi maka pelepasan molekul listrik terhambat.
Dari percobaan diatas seharusnya fenobarbital memiliki
mekanismenya memiliki durasi yang lebih lama dibanding diazepam,
karena fenobarbital mekanismenya memperpanjang durasi pembukaan
kanal klorida sehingga terjadi hiperpolarisasi. Sedangkan diazepam hanya
langsung mengalami pembukaan kanal klorida, tidak memperpanjang
durasinya. Faktor kesalahan yang terjadi mungkin karena pemberian
obatnya kurang baik karena pada saat diberikan obatnya tidak masuk
semua ke dalam mencit. Faktor lainnya adalah praktikan yang salah
mengamati.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan
1. Obat-obatan jenis anastethipnotik-sedatif adalah berbagai macam
jenis obat-obatan yang diproduksi untuk keperluan dunia medis untuk
pengobatan.
2. Obat-obatan jenis hipnotik-sedatif dalam penggunaannya harus
dengan pengawasan dokter karena daya kerjanya obat-obatan jenis
tersebut sangatlah keras dan menimbulkan kematian apabila terdapat
penyalahgunaan.

V.2 Saran
V.2.1 Untuk Dosen
Diharapkan Dosen dapat memantau praktikan dan asistennya agar
tidak ada kesalahan.
V.2.2 Untuk Asisten
Diharapkan asisten memantau dan mendampingi praktikannya agar
tidak ada kesalahan dan berjalan lancar.
V.2.3 Untuk Laboratorium
Diharapkan fasilitas di dalam laboratorium lebih ditingkatkan lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Goodman dan Gilman. 2012. Dasar Farmakologi Terapi. Jakarta : EGC.


Gunawan, Salistia Gan. 2016. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : FK UI.
Harvey A. Richard. 2013. Farmakologi Ulasan Bergambar. Buku
Kedokteran . EGC : Jakarta.
Katzung, B. G. Masters, S. B, Trevor, A. J. 2011. Farmakologi Dasar Dan
Klinik Vol.1. EGC : Jakarta.
Katzung, B. G. Masters, S. B, Trevor, A. J. 2014. Farmakologi Dasar Dan
Klinik Vol.2. EGC : Jakarta.
Ningsih, Septia dan Nova Rahma. 2014. Kemampuan Efek Sedari Infusa.
Jakarta : UMS.
Tjay, Tan Han dan Kirana Rahardja. 2010. Obat-Obat Penting. Jakarta :
Eley Media Kamputindo.
Tjay, Tan Han dan Kirana Rahardja. 2015. Obat-Obat Penting. Jakarta :
Eley Media Kamputindo.
LAMPIRAN

N Gambar Keterangan
o

Pemberian Na.CMC
1. secara peroral.

2.
Pemberian diazepam
secara peroral.

Pemberian fenobarbital
3. secara peroral.

Pengamatan efek
hipnotik sedatif pada
4. pemberian Na.CMC
Pengamatan efek
hipnotik sedatif pada
5. pemberian diazepam

Pengamatan efek
6. hipnotik sedatif pada
pemberian fenobarbital

Pengamatan efek
7. anestesi pada
pemberian eter

Pengamatan efek
8. anesteasi pada kontrol
negatif

Anda mungkin juga menyukai