Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN LENGKAP PRAKTIKUM

FARMAKOLOGI TOKSIKOLOGI I
“ANESTESI DAN HIPNOTIK SEDATIF”

OLEH :
STIFA B 018
KELOMPOK 2 GOLONGAN 2

ASISTEN : MEIVY AURELIA

LABORATORIUM FARMAKOLOGI
SEKOLAH TINGGI ILMU FARMASI MAKASSAR
MAKASSAR
2019
BAB I
PENDAHULUAN

I.1Latar Belakang
Dari berbagai teori yang pernah dikemukakan tentang mekanisme
terjadinya anestesia, tampaknya teori neurofisiologi merupakan teori yang
dapat menjelaskan terjadinya anestesia. Kini diyakini anestesia terjadi
karena adanya perubahan neurotransmisi diberbagai bagian SSP. Kerja
neurotransmiter dipasca sinaps akan diikuti dengan membentukkan
second mesenger dalam hal ini cAMP yang selanjutnya mengubah
transmisi di neuron (Sulistia, 2016: 124).
Disamping asetilkolin sebagai neurotransmiter klasik, dikenal juga
katekolamin, serotonin, adenosin, serta berbagai asam amino dan peptida
endogen yang bertindak sebagai neurotransmiter yang memodulasi
neurotransmiter di SSP (Sulistia, 2016: 124).
Anestetik disemua tingkat susunan saraf pusat bekerja dengan cara
mempengaruhi transmisi neuron, khususnya di sinaps yaitu dengan
mudah pelepasan neurotransmiter di prasinaps dan mengubah frekuensi
maupun amplitudo impuls yang sampai ke pascasinaps (Sulistia, 2016:
124).
Hipnotik/sedativ, seperti juga antipsikotika termasuk dalam kelompok
psikodepresiva yang mencakup obat-obat yang menekan atau
menghambat fungsi-fungsi SSP tertentu (Tjay, 2010: 381).
Sedativa-hipnotika berkhasiat menekan SSP. Bila digunakan dalam
dosis yang meningkat, suatu sedativum, misalnya barbiturat, akan
menimbulkan efek berturut-turut peredaan, tidur dan pembiusan total
(anestesia). Pada dosis yang lebih besar lagi terjadi koma, depresi
pernafasan dan kematian. Bila diberikan berulang kali untuk jangka waktu
yang lama, senyawa ini lazimnya menimbulkan ketergantungan dan
ketagihan (Tjay, 2010: 381).
Adapun dalam bidang farmasi, pengetahuan tentang sistem saraf
pusat perlu untuk diketahui khususnya dalam bidang ilmu farmakologi
toksikologi karena seorang farmasis harus dapat mengetahui obat-obat
apa saja yang perlu atau bekerja pada sistem saraf pusat. Hal ini yang
melatar belakangi percobaan ini.
I.2 Maksud dan Tujuan Percobaan
I.2.1 Maksud Percobaan
Maksud dari percobaan ini yaitu untuk mengetahui efek farmakologi
obat anestesi dan obat hipnotik sedatif pada hewan coba mencit (Mus
musculus).
I.2.2 Tujuan Percobaan
Tujuan dari percobaan ini yaitu :
1. Mengetahui obat-obat yang termasuk golongan anestesi dan
hipnotik sedatif beserta mekanismenya.
2. Mengetahui efek dari obat anestesi dan hipnotik sedatif.
I.3 Prinsip Percobaan
Prinsip percobaan ini yaitu pengamatan onset dan durasi terhadap
pemberian obat anestesi inhalasi yaitu eter dan obat hipnotik sedatif,
diazepam dan fenobarbital yang diberikan secara peroral.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Teori Umum
Anestesia umum sangat penting dalam tindakan bedah karena
anestesia membuat pasien berada dalam kondisi teranalgesia , amnesia,
dan tidak sadar, serta menghasilkan relaksasi otot dan supresi refleks
yang tidak diinginkan (Harvey, 2013: 149).
Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat SSP memengaruhi
kehidupan setiap orang, setiap hari. Senyawa ini secara terapeutik sangat
bernilai karena dapat menghasilkan efek fisiologis dan psikologis yang
spesifik. Tanpa anestetik umum, proses bedah modern tidak mungkin
dilakukan. Obat-obat yang memengaruhi SSP secara secara selektif
dapat meredakan nyeri, mengurangi demam, mensupresi gerakan yang
tidak terkendali, menginduksi tidur atau bangun, mengurangi keinganan
untuk makan, atau mengurangi kecenderungan muntah (Gilman, 2012:
283).
SSP secara khas mengandung konsentrasi tinggi asam amino
tertentu, terutama glutamat dan GABA; asam amino ini memiliki
kemampuan yang sangat poten untuk mengubah pelepasan neuron.
Pada awalnya, ahli fisiologi enggan untuk menerima zat sederhana ini
sebagai neurotransmiter pusat. Bersamaan dengan pengembangan
metode untuk memetakan ligan dan reseptornya, saat ini ada bukti kuat
dan diterima secara luas bahwa asam amino GABA, glisin, dan glutamat
merupakan transmiter pusat (Gilman, 2012: 297).
II.1.1 Anestesi
Istilah anesthesia yang artinya hilangnya sensasi nyeri (rasa sakit)
yang disertai maupun yang tidak disertai hilangnya kesadaran,
diperkenalkan oleh Oliver W. Holmes pada tahun 1846. Obat yang
digunakan dalam menimbulkan anesthesia disebut sebagai anestetik, dan
kelompok obat ini dibedakan atas anestetik umum dan anestetik lokal
(Sulistia, 2013: 123).
Tindakan anestesia telah dikenal sejak lama sebagai upaya untuk
mempermudah orang melakukan tindakan operasi. Bergantung pada
dalamnya pembiusan, anestetik umum dapat memberikan efek analgesia
yaitu hilangnya sensasi nyeri, atau efek anestesia yaitu analgesia yang
disertai hilangnya kesadaran, sedangkan anestetik lokal hanya dapat
menimbulkan efek analgesia (Sulistia, 2016: 123).
Anestesi digolongkan menjadi dua bagian, yaitu:
1. Anestesi umum
Anestesi umum bekerja di susunan saraf pusat sedangkan anestesik local
bekerja langsung pada serabut saraf di perifer. Anestesi umum
dikelompokkan berdasarkan penggunaannya di klinik yaitu anestetik
inhalasi dan anasetik intravena (Sulistia, 2016: 123).
Anestesi umum pada prinsipnya dapat mengganggu fungsi sistem
saraf pada batang otak, dan korteks selebral. Penggambaran tempat
anatomis kerja ini secara akurat sukar dilakukan karena banyak anestetik
menghambat aktivitas elektrik di SSP secara menyebar (Gilman, 2012:
327).
Tahap-tahap anestesi umum ( Tjay, 2010: 400) :
a. Anelgesia : kesadaran berkurang, rasa nyeri hilang dan terjadi euforia
(rasa nyaman) yang disertai impian yang mirip halusinasi. Eter dan
nitrogenmonoksida memberikan analgesia baik pada taraf ini,
sedangkan halotan dan tiopental baru pada taraf berikut.
b. Eksitasi : kesadaran hilang dan timbul kegelisahan. Kedua taraf ini juga
disebut taraf induksi.
c. Anestesia : pernapasan menjadi dangkal, cepat dan teratur, seperti
pada keadaan tidur (pernapasan perut), gerakan mata dan refleks mata
hilang, sedangkan otot menjadi lemas.
d. Kelumpuhan sumsum tulang : kegiatan jantung dan pernapasan
terhenti. Taraf ini sedapat mungkin dihindarkan.
Secara tradisional anestesi umum dapat diberikan dengan (Sulistia,
2016: 124) :
a. Anestesi Inhalasi
Semua anestetik inhalasi adalah derivate eter kecuali halotan dan
nitrogen. Anestesi inhalasi yang sempurna adalah yang (a) massa induksi
dan masa pemulihannya singkat dan nyaman, (b) peralihan stadium
anestesinya terjadi cepat, (c) relaksasi ototnya sempurna, (d) berlangsung
cukup aman, dan (e) tidak menimbulkan efek toksik atau efek samping
berat dalam dosis anestetik yang lazim (Sulistia, 2016: 124-125).
Dalamnya anestesia bergantung pada kadar anestetik di sistem saraf
pusat,dan kadar ini ditentukan oleh berbagai faktor yang mempengaruhi
transfer anestetik dari alveoli paru ke darah dan dari darah ke jaringan
otak. Membrane alveoli dengan mudah dapat dilewati zat anestetik secara
difusi dari alveoli ke aliran darah dan sebaliknya. Tetapi bila ventilasi
alveoli terganggu, misalnya pada emfisema paru, pemindahan anestetik
akan terganggu pula (Sulistia, 2016: 127).
Kecepatan transfer anestetik di jaringan otak ditentukan oleh (1)
kelarutan zat anestetik, (2) kadar anestetik dalam udara yang dihirup
pasien atau disebut tekanan parsial anestetik, (3) ventilasi paru (4) aliran
darah paru, dan (5) perbedaan antara tekanan parsial anestetik di darah
arteri dan di darah vena (Sulistia, 2016: 127).
Dasar dan terjadinya stadium anastesia adalah perbedaan kepekaan
berbagai bagian SSP terhadap anastetik. Sel-sel substansia gelatinosa di
kornudorsalis medulla spinalis peka sekali terhadap anestetik. Penurunan
aktifitas neuron di daerah ini menghmbat transmisi sensorik dari rangsang
nosiseptik sehingga dimulailah tahap analgesia stadium II terjadi akibat
aktifitas neuron yang kompleks pada kadar anastetik yang lebih tinggi di
otak. Aktifitas ini antara lain berupa penghambatan neuron inhibisi
bersamaan dengan dipermudahkannya pelepasan neuron trasmiter
eksitasi. Selanjutnya, depresi hebat pada jalur naik di sistem aktifasi
reticular dan penekanan aktifitas refleks spinals meyebabkan pasien
masuk ke stadium III. Neuron di pusat nafas dan pusat fasomotor relative
tidak peka terhadap anestesi kecuali kadar-kadar yang sangat tinggi
(Sulistia, 2016: 128).
Efek samping dan toksisitas: enfluran dan halotan menyebabkan
depresi miokard yang dose-related, sedangkan isoflurane dan desflurane
tidak. Isoflurane dan N2O dapat menyebabkan takikardia, sedangkan
enflurane tidak banyak mempengaruhi frekuensi jantung. Halotan dapat
menyebabkan bradikardia melalui stimulasi vagal. Aritmia supraventrikal
biasanya dapat diatasi kecuali bila curah jantung dan tekanan arteri
menurun. Aritmia ventrikel jarang terjadi, kecuali bila timbul hipoksia atau
hiperkapnia. Halotan menimbulkan vensitisasi jantung terhadap
katekolamin, sehingga penggunaan adrenalin, noradrenalin, atau
isoproterenol bersama halotan akan menyebabkan aritmia ventrikel.
Halotan berbahaya diberikan pada pasien yang merasa khawatir
berlebihan, karena kedaan tersebut disertai kadar katekolamin yang tinggi
(Sulistia, 2016: 129).
Gangguan fungsi hati ringan sering timbul pada penggunaan
anestetik inhalasi, tetapi jarang terjadi gangguan yang serius. Halotan
dapat menyebabkan hepatitis pada sebagian kecil pasien. Mekanisme
terjadinya hepatoksisitas halotan ini belum jalas benar, tetapi diduga
berdasarkan pembentukan radikal bebas yang menimbulkan kerusakan
sel hati atau respons imun (Sulistia, 2016: 129).
b. Anestesi Intravena
Anestetik intravena lebih banyak digunakan dalam tahun-tahun
terakhir ini baik sebagai adjuvan bagi anestetik inhalasi maupun sebagai
anestetik tunggal karena tidak diperlukan peralatan yang rumit dalam
penggunaannya. Tujuan pemberiannya adalah untuk (1) induksi
anesthesia; (2) induksi dan pemeliharaan anesthesia pada tindak bedah
singkat; (3) menambah efek hipnosis pada anesthesia atau analgesia
lokal; dan (4) menimbulkan sedasi pada tindak medik (Sulistia, 2016: 133).
Kebanyakan anestetik intravena digunakan untuk induksi, tetapi kini
anestetik intravena digunakan untuk pemeliharaan anestesia atau
dikombinasi dengan anestetik inhalasi sehingga dimungkinkan
penggunaan dosis anestetik inhalasi yang lebih kecil dan efek anestetik
lebih mudah menghasilkan potensial atau salah satu obat dapat
mengurangi efek buruk obat lainnya (Sulistia, 2016: 134).
2. Anestesi lokal
Anestetik lokal umumnya digunakan secara lokal dan menghambat
konduksi saraf impuls sensoris dari perifer ke SSP. Anestetik lokal
menghilangkan sensasi (dan dalam konsentrasi yang lebih tinggi,aktivitas
motoris) dalam area tubuh yang terbatas tanpa menghasilkan
ketidaksadaran (misalnya, selama anestetik spinal) (Harvey, 2013: 163).
Anestetik lokal mencegah pembentukan dan konduksi impuls saraf.
Tempat kerja utamanya adalah membran sel. Anestetik lokal memblok
konduksi dengan mengurangi atau mencegah peningkatan sementara
yang tinggi pada permeabilitis membran yang dapat tereksitasi oleh Na +
yang secara normal dihasilkan oleh depolarisasi membran yang lemah.
Kerja anaestetik lokal ini disebabkan oleh interaksi langsungnya dengan
saluran Na+ bergerbang-tegangan karena kerja anestetik berkembang
secara progresif dalam suatu saraf, nilai ambang eksitabilitas elektrisnya
meningkat secara bertahap, konduksi impuls menjadi lambat, dan faktor
keamanan konduksi berkurang. Faktor-faktor ini mengurangi kemungkinan
perhambatan potensial aksi, sehingga konduksi saraf akhirnya gagal
(Gilman, 2010: 355).
Jika digunakan secara lokal pada jaringan saraf dengan
konsentrasi yang sesuai, anestetik lokal memblok secara reversible
potensial akasi yang menyebabkan konduksi saraf. Senyawa ini bekerja
pada setiap bagian sitem saraf dan pada setiap jenis serabut saraf.
Keuntungan praktis yang penting yang dimilikin anestetik lokal adalah
bahwa kerjana revesibel pada konsentrasi yang secara klinis (Gilman,
2012: 354).
Contoh obat dari anestesi lokal, yaitu kokain, prokain, lidokain,
bupivakain, dibukain, mepivakain HCl, tertakain, prilokain (Gunawan,
2016: 270-272).
II.1.2 Hipnotik-Sedatif
Hipnotik dan sedative merupakan golongan obat pendepresi
susunan saraf pusat (SSP). Efeknya bergantung pada dosis, mulai dari
yang ringan yaitu menyebabkan tenang atau kantuk,menidurkan,hingga
yang berat yaitu hilangnya kesadaraan, keadaan anestesi, koma dan mati
(Sulistia, 2016: 140).
Pada dosis terapi, obat sedatif menekan aktivitas mental,
menurunkan respon terhadap rangsangan emosi sehingga menenangkan.
Obat hipnotik menyebabkan kantuk dan mempermudah tidur serta
mempertahankan tidur yang menyerupai tidur fisiologis (Sulistia, 2016:
140).
Efek sedasi juga merupakan efek samping beberapa golongan obat
lain yang tidak termasuk obat golongan depresan SSP. Walaupun obat
tersebut memperkuat penekanan SSP, secara tersediri obat tersebut
memperlihatkan efek lebih spesifik pada dosis yang jauh lebih kecil dari
pada dosisyang dibutuhkan untuk mendeprsi SSP secara umum (Sulistia,
2016: 140).
Beberapa obat dalam golongan hipnotik dan sedative, khususnya
golongan benzodiazepine diindikasikan juga sebagai pelemas otot,
antiepilepsi, antiansietas (anti cemas), dan sebagai penginduksi anestesi
(Sulistia, 2016: 140).
1. Benzodiazepin
Metabolisme hati merupakan penyebab klirens semua
benzodiazepin. Pola dan laju metabolisme bergantung pada masing-
masing obat. Sebagian besar benzodiazepin mengalami oksidasi di
mikrosom (reaksi fase I), termasuk N-dealkilasi dan hidroksilasi alifatik
yang dikatalisis oleh berbagai isozin sitokrom P450, khususnya CYP3A4.
Metabolit-metabolit kemudian dikonjugasi (reaksi fase II) untuk
membentuk glukuronida yang diekskresikan diurin. Golongan
benzodiazepin obat induk atau metabolit aktifnya memiliki waktu paruh
lama lebih besar kemungkinannya menyebabkan efek komulatif pada
dosis multipel. Efek komulatif dan residual misalnya rasa kantuk
berlebihan tampaknya lebih jarang terjadi pada obat-obat pada estazolam,
oksazepam, dan rolazepam, yang memiliki waktu paruh relatif singkat dan
dimetabolisasi langsung menjadi glukorinida yang inaktif (Katzung, 2014:
419).
Mekanisme kerja benzodiazepin memodulasi efek GABA melalui
ikatan dengan tempat yang berafinitas tinggi dan spesifik pada lokasi
pertemuan antara subunit α dan Ɣ 2. Lokasi reseptor benzodiazepin pada
SSP paralel dan neuron GABA. Pengikatan GABA dengan reseptornya
akan memicu pembukaan kanal klorida, yang menyebabkan peningkatan
konduktasi klorida. Benzodiazepin akan meningkatan frekuensi
pembukaan kanal oleh GABA. Aliran masuk ion klorida menyebabkan
sedikit hiperpolarisasi yang menurunkan potensi pascasinaps dari ambang
letup sehingga meniadakan pembentukan pembentukan potensial aksi
(Harvey, 2013: 123-124).
2. Barbiturat
Kecuali fenobarbital, sangat sedikit barbiturat yang diekresikan tanpa
berubah. Jalur-jalur metabolik utama adalah oksidasi oleh enzim-enzim
hati untuk membentuk alkohol,asam, dan keton, yang muncul diurin
sebagai konjugat glukorunida. Laju keseluruhan metabolisme hati pada
manusia bergantung pada masing-masing obat tetapi (dengan
pengecualian teobarbiturat) biasanya lambat. Waktu paruh eliminasi
sekobarbital dan pentobarbital berkisar dari 18-40 jam pada oarng yang
berbeda. Waktu paruh eliminasi fenobarbital pada manusia adalah 4-5
hari. Pemberian obat-obat ini dalam dosis multipel dapat menyebabkan
efek kumulatif (Katzung, 2015: 419).
Mekanisame barbiturat, Barbiturat bekerja diseluruh SSP; dosis
nonanestetik cenderung menekan respon polisinaptik. Fasilitasi
berkurang, dan penghambatan biasanya meningkat. Tempat
penghambatan dapat terletak pada pascasinaps atau prasinaps. Pada
pascasinaps anatara lain pada sel-sel piramidel di korteks dan di
serebelum dan pada nukleus kuneat, substantia nigra, dan neuron-neuron
yang merelai pada talamus. Pada prasinaps seperti pada spinalis
kordatra. Peningkatan penghambatan terjadi terutama pada sinaps-sinaps
tempat neurotransmisi diperantarai oleh GABA yang bekerja pada
reseptor GABAA (Gilman, 2012: 401).
Contoh obat dari golongan barbiturat, antara lain amobarbital,
aprobarbital, butabarbital, mevobarbital, metoheksital, pentobarbital,
fenobarbital, sekobarbital dan tiopental (Gilman, 2012: 402-403).
3. Hipnotik lain
Banyak obat dengan berbagai struktur telah digunakan karena sifat
sedatif-hipnotiknya. Kerja farmakologis obat-obat ini menyerupai kerja
barbiturat: semuanya merupakan depresan SSP umum yang dapat
menghasilkan hipnosis yang dalam dengan sedikit atau tanpa analgesia;
efek obat-obat ini pada tahap-tahap tidur mirip dengan efek barbiturat;
indeks terapeutiknya terbatas, dan intoksikasi akut yang menyebabkan
depresi pernapasan dan hipotensi ditangani mirip dengan keracunan
barbiturat (Gilman, 2012: 407).
Contoh obat hipnotik lain, yaitu paraldehid dan kloral hidrat (Gilman,
2012: 407).
II.2 Uraian Bahan
1. Eter (Dirjen Pom, 1979: 66)
Nama resmi : AETHER ANAESTHETICUS
Nama lain : Eter anestesi/etoksietana
Pemerian : Cairan transparan; tidak berwarna;
bau khas; rasa manis dan
membakar. Sangat mudah
menguap; sangat mudah terbakar;
campuran uapnya dengan oksigen,
udara atau dinitrogenoksida pada
kadar tertentu dapat meledak.
Kelarutan : Larut dalam 10 bagian air; dapat
campur dengan etanol (95%) P,
dengan kloroform P, dengan minyak
lemak dan dengan minyak atsiri.
Penyimpanan : Dalam wadah kering tertutup rapat,
terlindung dari cahaya; di tempat
sejuk.
Penggunaan : Anestesi umum.
2. Fenobarbital (Dirjen POM RI. 1979: 481)
Nama resmi : PHENOBARBITALUM
Nama lain : Luminal, fenobarbital
Rumus molekul : C12H12N2O3
Berat molekul : 232,24
Pemerian : Hablur atau serbuk hablur, putih
tidak berbau, rasa agak pahit.

Kelarutan : Sangat sukar larut dalam air; larut


dalam etanol (95%) P, dalameter P,
dalam larutan alkali hidroksida
dan dalam larutan alkali karbonat.
Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik.
Khasiat : Hipnotikum.
II.3 Uraian Hewan Coba
Hewan coba yang digunakan dalam percobaan ini adalah mencit.
Klasifikasi mencit antara lain sebagai berikut (Budhi Akbar, 2010: 6) :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Sub phylum : Vertebrata
Class : Mammalia
Ordo : Rodentia
Family : Muridae
Genus : Mus
Species : Mus musculus

Mencit (Mus musculus L.) memiliki ciri-ciri berupa bentuk tubuh kecil,
berwarna putih, memiliki siklus estrus teratur yaitu 4-5 hari. Kondisi ruang
untuk pemeliharaan mencit (Mus musculus L.)harus senantiasa bersih,
kering dan jauh dari kebisingan. Suhu ruang pemeliharaan juga harus
dijaga kisarannya antara 18-190C serta kelembapan udara 30-70% (Budhi
Akbar, 2010: 6).
Mencit betina dewasa dengan umur 35-60 hari memiliki berat badan
18-35 g. Lama hidupnya 1-2 tahun, dapat mencapai 3 tahun. Masa
reproduksi mencit betina berlangsung 1,5 tahun. Mencit betina ataupun
jantan dapat dikawinkan pada umur 8 minggu. Lama kebuntingan 19-20
hari. Jumlah anak mencit rata-rata 6-15 ekor dengan berat lahir antara
0,5-1,5g (Budhi Akbar, 2010: 6).
Mencit sering digunakan dalam penelitian dengan perkembangan
hewan tersebut memiliki beberapa keuntungan yaitu daur estrusnya
teratur dan dapat dideteksi, periode kebuntingannya relatif singkat, dan
mempunyai anak yang banyak serta terdapat keselarasan pertumbuhan
dengan kondisi manusia (Budhi Akbar, 2010: 6).

BAB III
METODE KERJA
III.1 Alat dan Bahan
III.1.1 Alat
Alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu kanula mencit, lap
kasar, spuit injeksi 1cc, stopwatch, tissue dan toples.
III.1.2 Bahan
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu CMC Na, diazepam,
fenobarbital dan kapas.
III.2Cara Kerja
III.2.1 Cara Kerja Anestesi
1. Ditimbang 6 ekor mencit dan dikelompokkan menjadi 2 kelompok.
Sebelum pemberian obat , hewan diletakan diatas lap kasar untuk
ditenangkan.
2. Dimasukkan 3 ekor mencit kedalam toples untuk kontrol negatif.
3. Dimasukkan 3 ekor mencit ke dalam masing-masing toples yang
telah dijenuhkan dengan eter.
4. Diamati onset dan durasi obat.
III.2.2 Cara Kerja Hipnotik-Sedatif
1. Ditimbang 3 ekor mencit.
2. Diberikan Na CMC untuk mencit pertama sebagai kontrol negatif
secara peroral.
3. Diberikan diazepam untuk mencit kedua secara peroral.
4. Diberikan fenobarbital untuk mencit ketiga secara peroral.
5. Diamati onset dan durasi dari obat tersebut.

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN


IV.1 Hasil Pengamatan
IV.1.1 Hasil Pengamatan Anestesi
Mencit ke-
Kelompok Pengamatan 1 2 3 Rata-rata
Onset - - - -
Kontrol
Negatif Durasi - - - -

Onset 01.49 01.53 01.09 01.05


Eter
Durasi 18.17 10.27 15.05 14.49

IV.1.2 Hasil Pengamatan Hipnotik Sedatif


Mencit Rata-
Perlakuan Pengamatan rata
1 2 3 4 5
Onset - - - - - -
Na.CMC
Durasi - - - - - -

Onset 14.42 06.11 20.49 13.51 10.13 12.04


Diazepam
Durasi 04.17 14.03 01.06 02.08 04.35 05.59

Onset 17.36 10.37 17.35 20.11 - 16.02


Fenobarbital
Durasi 04.16 10.21 03.20 03.10 - 05.17

IV.2 Perhitungan
IV.2.1 Perhitungan dosis
a. Diazepam
Diketahui :
Faktor konversi manusia (km) = 37
Faktor konversi mencit (kmt) =3
Dosis diazepam untuk mencit = 5 mg/kg BB
Bobot standar mencit = 20 g
Ditanya : Berapa dosis konversi untuk mencit ?
Penyelesaian:
km
dosis etiket x x BB standar hewan coba
kmt
5 mg 37
Dosis untuk mencit = x x 20 g
60 kg 3
0,083 mg 37
= x x 20 g
1000 g 3
= 0,020 mg/mencit
0,020 mg x 253
Bobot yang di timbang =
5 mg
= 1,012 mg
Untuk 10 mencit = Bobot yang ditimbang x 10 mencit
= 1,012 mg x 10 mencit
= 10,12 mg/10 mencit
b. Fenobarbital
Diketahui :
Faktor konversi manusia (km) = 37
Faktor konversi mencit (kmt) =3
Dosis fenobarbital untuk mencit = 30 mg/kg BB
Bobot standar mencit = 20 g
Ditanya : Berapa dosis konversi untuk mencit ?
Penyelesaian:
km
dosis etiket x x BB standar hewan coba
kmt
30 mg 37
Dosis untuk mencit = x x 20 g
60 kg 3
0,5 mg 37
= x x 20 g
1000 g 3
= 0,123 mg/mencit
0,123 mg x 126
Bobot yang di timbang =
30 mg
= 0,51 mg
Untuk 10 mencit = Bobot yang ditimbang x 10 mencit
= 0,51 mg x 10 mencit
= 5,1 mg/10 mencit
IV.2.2 Perhitungan volume pemberian
BB mencit
V= X Vmax
BB max
1. Diazepam
24,1 g
V= X 0,5 ml=0,6 ml
20 g
2. Fenobarbital
21,5 g
V= X 0,5 ml=0,5 ml
20 g
3. Na-CMC
26,3 g
V= X 0,5 ml=0,65 ml
20 g

IV.3 Pembahasan
Pada percobaan anestesi, golongan anestesi yang dilakukan yaitu
anestesi inhalasi. Pertama-tama mencit dimasukkan ke dalam toples yang
telah dijenuhkan dengan eter. Eter merupakan sediaan obat dari golongan
inhalasi yang digunakan sebagai pembiusan (anestesi) sehingga
memberikan efek hilangnya kesadaran. Setelah mencit dimasukkan ke
dalam toples, efek dari obat tersebut mulai terlihat dengan rata-rata onset
01.05 menit. Efeknya berupa hilangnya kesadaran mencit perlahan-lahan.
Hal ini sesuai dengan tahap anestesi umum, yaitu analgesia dimana
kesadaran berkurang, rasa nyeri hilang dan rasa nyaman disertai impian
yang mirip halusinasi. Selanjutnya mencit hilang kesadaran, hal ini sesuai
dengan tahap eksitasi, yaitu kesadaran hilang dan timbul kegelisahan.
Lalu pernapasan mencit menjadi dangkal, hal ini termasuk dalam tahap
anastesia, yaitu pernapasan menjadi dangkal, cepat dan teratur, seperti
pada keadaan tidur (pernapasan perut), gerakan mata dan refleks mata
hilang, sedangkan otot menjadi lemas yang diikuti dengan tahap
kelumpuhan sum-sum tulang, dimana kegiatan jantung dan pernapasan
terhenti (Tjay, 2010: 400).
Untuk golongan hipnotik sedatif dilakukan perlakuan terhadap 3
mencit. Mencit pertama diberikan Na.CMC. Na.CMC merupakan kontrol
negatif, sehingga dia tidak memberikan efek apapun. Na.CMC digunakan
sebagai pembanding dengan diazepam dan fenobarbital. Mencit kedua
diberi diazepam dengan rata-rata onset yang diperoleh yaitu 12.04 menit
dan rata-rata durasinya yaitu 05.09 menit. Diazepam merupakan obat
hipnotik-sedatif golongan benzodiazepin yang akan memberikan efek
menenangkan dan mengurangi aktifitas. Diazepam akan memodulasi
reseptor GABA dan berikatan dengan reseptor GABA yang berafinitas
tinggi dan spesifik, yang memacu terbukanya kanal ion Cl -, sehingga
terjadi hiperpolarisasi maka neuron terhambat. Sedangkan untuk mencit
ketiga diberi fenobarbital dengan rata-rata onset yang diperoleh 16.02
menit dan rata-rata durasinya 05.17 menit. Fenobarbital merupakan
hipnotik-sedatif golongan barbiturat yang akan memberikan efek
menenangkan dan mengurangi aktifitas. Fenobarbital akan berinteraksi
dengan resptor gaba sehingga memperpanjang durasi pembukaan kanal
ion Cl-. Sehingga terjadi hiperpolarisasi maka pelepasan molekul listrik
terhambat.
Fenobarbital memiliki durasi yang lebih lama dibanding diazepam,
karena fenobarbital mekanismenya memperpanjang durasi pembukaan
kanal klorida sehingga terjadi hiperpolarisasi. Sedangkan diazepam hanya
langsung mengalami pembukaan kanal klorida, tidak memperpanjang
durasinya.
Tetapi dari tabel diatas dapat dilihat bahwa hasil pengamatan durasi
yang diperoleh tidak sesuai dengan literatur tersebut. Faktor kesalahan
yang terjadi, yaitu karena pemberian obat yang kurang benar dan tepat.
Pada saat diberikan secara peroral, obatnya tidak masuk semua ke dalam
mulut mencit. Faktor lainnya adalah pengamatan penentuan onset dan
durasi yang kurang tepat.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

V.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari percobaan ini yaitu :
1. Golongan obat anestesi dibagi menjadi dua, yaitu anestesi umum
dan anestesi lokal. Mekanisme pada anestesi lokal yaitu hilangnya
rasa sakit tanpa disertai hilangnya kesadaran, contoh obatnya :
kokain, prokain, lidokain, mepivakain, sedangkan anestesi umum
hilangnya rasa sakit disertai hilangnya kesadaran, contoh obatnya :
isofluren, sevofluren, petidin dan propofol. Hipnotik sedatif golongan
obat depresi SSP yang digunakan sebagai obat-obatan yang
berhubungan dengan sistem saraf pusat seperti tatalaksana nyeri
akut dan kronis, contoh obatnya : benzodiazepin dan barbiturat.
2. Efek dari obat anestesi yaitu membuka efek analgesia (hilangnya
sensasi nyeri), amnesia (hilangnya memori), dan hipnosis secara
bersamaan dengan refleks inhibisi dan hilangnya tonus otot skeletal,
sedangkan efek dan hipnotik sedatif itu bergantung pada dosis, mulai
dari ringan yaitu menyebabkan tenang/kantuk, menidurkan, hingga
berat yaitu hilangnya kesadaran, keadaan anestesi dan koma.
V.2 Saran
V.2.1 Untuk Dosen
Diharapkan Dosen dapat memantau praktikan dan asistennya agar
tidak ada kesalahan.
V.2.2 Untuk Asisten
Diharapkan asisten memantau dan mendampingi praktikannya agar
tidak ada kesalahan dan praktikum berjalan lancar.
V.2.3 Untuk Laboratorium
Diharapkan fasilitas di dalam laboratorium lebih ditingkatkan lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Budhi. 2010. Tumbuhan Dengan Kandungan Senyawa Aktif Yang


Berpotensi Sebagai Bahan Antifertilitas. Jakarta: Adabia Press.

Goodman dan Gilman. 2012. Dasar Farmakologi Terapi. Jakarta : EGC.

Gunawan, Sulistia Gan. 2016. Farmakologi dan Terapi. Jakarta : FK UI.

Harvey A. Richard. 2013. Farmakologi Ulasan Bergambar. Buku


Kedokteran . EGC : Jakarta.

Katzung, B. G. Masters, S. B, Trevor, A. J. 2011. Farmakologi Dasar Dan


Klinik Vol.1. EGC : Jakarta.

Tjay, Tan Han dan Kirana Rahardja. 2010. Obat-Obat Penting. Jakarta :
Eley Media Kamputindo.
LAMPIRAN

1. Anestesia
N Gambar Keterangan
o

Mencit dimasukkan
1. kedalam toples yang
dijenuhkan dengan
eter.

2.
Pengamatan efek
anestesi eter.

2. Hipnotik-sedatif
N Gambar Keterangan
o

Pemberian diazepam
1. secara peroral.
Pemberian
2. fenobarbital secara
peroral.

Pengamatan efek
3. hipnotik sedatif
diazepam.

Pengamatan efek
4. hipnotik sedatif
fenobarbital.

Anda mungkin juga menyukai