Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

EFEK ANESTESI TERHADAP MENCIT DENGAN


OBAT FENOBARBITAL DAN KLORALHIDRAS

DISUSUN OLEH:

1. ANISA MAHARANI
2. RAHMI
3. RIZKY ADINUL
4. SINTYA
5. TRI PUJI ASTUTI
6. VIKA NUR VIONITA
7. WENNY DAMAYANTI
8. WIDIA ASTUTI

SEMESTER III

KELAS A

AKADEMI FARMASI IKIFA

TA. 2016-2017
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Sistem saraf pusat (SSP) merupakan sistem saraf yang dapat mengendalikan
sistem saraf lainnya didalam tubuh dimana bekerja dibawah kesadaran atau
kemauan. SSP biasa juga disebut sistem saraf sentral karena merupakan sentral
atau pusat dari saraf lainnya. Sistem saraf pusat ini dibagi menjadi dua yaitu otak
(ensevalon) dan sumsum tulang belakang (medula spinalis).

Sistem saraf pusat dapat ditekan seluruhnya oleh penekan saraf pusat yang
tidak spesifik misalnya hipnotik sedativ. Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat
terbagi menjadi obat depresan saraf pusat yaitu anastetik umum, hipnotik sedativ,
psikotropik, antikonvulsi, analgetik, antipiretik, inflamasi, perangsang susunan saraf
pusat.

Dalam percobaan ini mahasiswa farmasi diharapkan mampu untuk mengetahui


dan memahami bagaimana efek farmakologi obat depresan saraf pusat dimana
dalam percobaan ini mahasiswa mengamati anastetik umum dan hipnotik sedativ
yang diujikan pada hewan coba mencit (Mus musculus). Obat yang digunakan untuk
anastetik umum yaitu eter, kloroform dan alkohol 96%, sedangkan untuk hipnotik
sedativ digunakan diazepam dan fenobarbital.
Adapun dalam bidang farmasi pengetahuan tentang sistem saraf pusat perlu
untuk diketahui khususnya dalam bidang ilmu farmakologi toksikologi karena
mahasiswa farmasi dapat mengetahui obat-obat apa saja yang perlu atau bekerja
pada sistem saraf pusat. Hal inilah yang melatarbelakangi dilakukannya percobaan
ini.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1. Bagaimana menghitung dosis untuk mencit dilihat dari berat badannya
2. Bagaimana perbandingan waktu tidur pada mencit yang diberi perlakuakn
fenobarbital secara oral dan kloralhidras secara oral?
3. Bagaimana perbandingan durasi tidur dari setiap perlakuan?

1.3 TUJUAN PRAKTIKUM


1. Menentukan dosis peroral pada mencit disetiap perlakuan
2. Menghitung waktu tidur,onset dan durasi tidur dari mencit setiap perlakuan
3. Menganalisis efek anastesi yang lebih kuat antara fenobarbital dan kloralhidras

1.4 MANFAAT PRAKTIKUM


1. Dapat menentukan dosis peroral untuk mencit sesuai berat badan
2. Dapat menghitung waktu tidur,onset,dan durasi tdur dari mencit setiap perlakuan
3. Dapat menganalisis efek anestesi yang lebih kuat antara fenobarital dan
kloralhidras
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 TEORI PENDUKUNG

Sistem saraf adalah serangkaian organ yang kompleks dan berkesinambungan


serta terutama terdiri dari jaringan saraf. Dalam mekanisme sistem saraf, lingkungan
internal dan stimulus eksternal dipantau dan diatur. Susunan saraf terdiri dari susunan
saraf pusat dan susunan saraf tepi. Susunan saraf pusat terdiri dari otak (ensevalon)
dan medula spinalis (sumsum tulang belakang) (Gunawan, 2007).

Anastetik umum adalah senyawa obat yang dapat menimbulkan anastesi


(an=tanpa, aesthesis=perasaan) atau narkosa, yakni suatu keadaan depresi umum
yang bersifat reversible dari banyak pusat sistem saraf pusat, dimana seluruh perasaan
dan kesadaran ditiadakan, agak mirip dengan pingsan (Sloane, 2003).

Anastetik umum digunakan untuk menghilangkan rasa nyeri dan memblok reaksi
serta menimbulkan relaksasi pada pembedahan. Tahap-tahap anastesi antara lain
(Sloane, 2003) :

1. Analgesia
Kesadaran berkurang, rasa nyeri hilang, dan terjadi euphoria (rasa nyaman) yang
disertai impian-impian yang menyerupai halusinasi. Ester dan nitrogen monoksida
memberikan analgesia yang baik pada tahap ini sedangkan halotan dan thiopental
tahap berikutnya.

2. Eksitasi
Kesadarn hilang dan terjadi kegelisahan (tahap edukasi).

3. Anestesi
Pernapasan menjadi dangkal dan cepat, teratur seperti tidur (pernapasan perut),
gerakan bola mata dan reflex bola mata hilang, otot lemas.
4. Pelumpuhan sumsum tulang
Kerja jantung dan pernapasan berhenti. Tahap ini harus dihindari.

Anastetik umum merupakan depresan sistem saraf pusat, dibedakan menjadi


anastetik inhalasi yaitu anastetik gas, anastetik menguap dan anastetik parenteral.
Pada percobaan hewan dalam farmakologi yang digunakan hanya anastetik menguap
dan anastetik parenteral (Alwi, 2004).

Efek anastetik ini pada mencit/tikus antara lain dapat dideteksi dengan Touch
respon, yaitu dengan menyentuh leher mencit atau tikus dengan suatu benda misalnya
pensil. Jika mencit tidak bereaksi maka mencit/tikus terpengaruh oleh anastetik. Selain
itu pasivitas juga dapat mengindikasikan pengaruh anastesi. Pasivitas yaitu mengukur
respon mencit bila diletakkan pada posisi yang tidak normal, misalnya mencit yang
normal akan menggerakkan kepala dan anggota badan lainnya dalam usaha melarikan
diri, kemudian hal yang sama tetapi dalam posisi berdiri, mencit normal akan meronta-
ronta. Mencit yang diam kemungkinan karena terpengaruh oleh senyawa anastetik. Uji
neurologik yang lain berkaitan dengan anastetik ialah uji ringhting refles (Ganiswarna,
1995).

Mekanisme terjadinya anesthesia sampai sekarang belum jelas meskipun dalam


bidang fisiologi SSP dan susunan saraf perifer terdapat kemajuan hebat sehingga
timbul berbagai teori berdasarkan sifat obat anestetik,misalnya penurunan transmisi
sinaps, penurunan konsumsi oksigen dan penurunan aktivitas listrik SSP (Tan Hoan
Tjay, dkk 2002).

Hipnotik atau obat tidur (hypnos=tidur), adalah suatu senyawa yang bila
diberikan pada malam hari dalam dosis terapi, dapat mempertinggi keinginan fisiologis
normal untuk tidur, mempermudah dan menyebabkan tidur. Bila senyawa ini diberikan
untuk dosis yang lebih rendah pada siang hari dengan tujuan menenangkan, maka
disebut sedativa (obat pereda). Perbedaannya dengan psikotropika ialah hipnotik-
sedativ pada dosis yang benar akan menyebabkan pembiusan total sedangkan
psikotropika tidak. Persamaannya yaitu menyebabkan ketagihan (Mutscler, 1991).
Dalam mempengaruhi kemampuan mengatur suatu pembiusan perlu dipertimbangkan
bahwa dalam pembiusan yang ditimbulkan oleh suatu obat pembius tertentu ditentukan
oleh konsentrasinya dalam sistem saraf pusat dan bahwa ini bergantung pada
(Mutscler, 1991) :

1. Konsentrasi obat pembius dalam udara inspirasi


2. Frekuensi pernapasan dalam pernapasan
3. Ketetapan membran alveoli-kapiler
4. Pasokan darah pada paru-paru dan otak
5. Kelarutan obat pembius dalam darah
6. Koefisien distribusinya antara darah dan jaringan dalam otak.
Tidur adalah kebutuhan suatu makhluk hidup untuk menghindarkan dari pengaruh yang
merugikan tubuh karena kurang tidur. Pusat tidur di otak mengatur fungsi fisiologis ini.
Pada waktu terjadi miosis, bronkokontriksi, sirkulasi darah lambat, stimulasi peristaltik
dan sekresi saluran cerna (Sulistia 2007).

Tidur normal terdiri dari 2 jenis (Ganiswarna, 1995):

1. Tidur tenang : (Slow wafe, NREM = Non Rapid Eye Movement), (ortodoks) yang berciri
irama jantung, tekanan darah, pernapasan teratur, otot kendor tanpa gerakan otot muka
atau mata.
2. Tidur REM (Rapid Eye Movement) atau paradoksal, cirinya otak memperlihatkan
aktivitas listrik (EEG=Electro encephalogram), seperti pada orang dalam keadaan
bangun dan aktif, gerakan mata cepat. Jantung, tekanan darah dan pernapasan naik
turun naik, aliran darah ke otak bertambah, ereksi, mimpi.
Istilah anesthesia dikemukakan pertama kali oleh O.W. Holmes yang artinya tidak ada
rasa sakit. Anesthesia dibagi menjadi dua kelompok, yaitu (Sulistia, 2007):

1. Anesthesia lokal, yaitu hilangnya rasa sakit tanpa disertai hilang   kesadaran;
2 Anesthesia umum, yaitu hilangnya rasa sakit disertai hilang kesadaran. Anesthesia
yang dilakukan dahulu oleh orang Mesir menggunakan narkotik,  orang Cina
menggunakan Canabis indica, dan pemukulan kepala dengan tongkat kayu untuk
menghilangkan kesadaran.
Anastetik umum diperlukan untuk pembedahan karena dapat menyebabkan penderita
mengalami analgesia, amnesia dan tidak sadar sedangkan otot-otot mengalami
relaksasi dan penekanan refleks yang tak dikehendaki. Sehingga untuk mengurangi
bahaya narkose dan untuk menghemat anastetika dalam rangka persiapan untuk
narkose, diberikan pramedikasi. Dalam hal ini digunakan terutama (Ebel, 1992) :

1. Anastetika inhalasi yang diberikan sebagai uap melalui saluran pernapasan.


Keuntungan adalah resorbsi yang cepat melalui paru-paru seperti juga ekskresinya
melalui gelembung-gelembung paru (alveoli), biasanya dalam keadaan tidak berubah.
2. Anastetika injeksi, diazepam, barbital-barbital ultra short acting (thiopental dan
heksobarbiturat), propanida dan hidrosidin. Obat-obat ini juga dapat diberikan dalam
suppositoria secara rektal tetapi reabsorbsinya kurang teratur.
Golongan obat hipnotik-sedatif yaitu (Ganiswarna, 1995):

1. Benzodiazepine
contohnya:

 Klordiazepin
 Klorozepat
 Diazepam
 Flurazepam
 Lorazepam
 Oksazepam
 Temazepam

2. Barbiturat
contohya:

 Amobarbital
 Aprobarbital
 Barbital
 Heksobarbital
 Kemital
 Mefobarbital
.  Bupabarbital

3. Hipnotik lainnya
contohnya:

.  kloral hidrat

.  etklorvinol

.  glutetimid

.  metiprilo

 Hipnotik dan Sedatif


Hipnotik dan sedatif merupakan golongan obat pendepresi susunan saraf pusat
(SSP). Efeknya bergantung kepada dosis, mulai dari yang ringan yaitu menyebabkan
tenang atau kantuk, menidurkan, hingga yang berat yaitu hilangnya kesadaran,
keadaan anestesi, koma dan mati (Gunawan, 2007).

Hipnotika atau obat tidur (hypnos = tidur) adalah zat-zat yang dalam dosis terapi
diperuntukkan meningkatkan kenginginan faali untuk tidur dan mempermudah atau
menyebabkan tidur. Lazimnya obat ini diberikan pada malam hari. Bila mana zat-zat ini
diberikan pada siang hari dalam dosis yang lebih rendah untuk tujuan menenangkan,
maka dinamakan sedativa (obat-obat pereda) (Gunawan. 2007).
Kebutuhan akan tidur dapat dianggap sebagai suatu perlindungan dari organisme untuk
menghindari pengaruh yang merugikan tubuh karena kurang tidur. Tidur yang baik,
cukup dalam dan lama, adalah mutlak untuk regenerasi sel-sel tubuh dan
memungkinkan pelaksnanaan aktivitas pada siang hari dengan baik. Pada umumnya
selama satu malam dapat dibedakan 4 sampai 5 siklus tidur dari kira-kira 1,5 jam.
Setiap siklus terdiri dari dua stadia, yakni (Tan Hoan Tjay, dkk 2002):

1. Tidur-non-REM juga disebut Slow Wave Sleep (SWS), berdasarkan registrasi aktivitas
otak. Non-REM bercirikan denyutan jantung, tekanan darah dan pernapasan yang
teratur serta relaksasi otot tanpa gerakan otot muka atau mata.
2. Tidur-REM (Rapid Eye Movementi) atau tidur-paradoksal, dengan aktivitas EEG yang
mirip keadaan sadar dan aktif, bercirikan gerakan mata cepat ke satu arah. Di samping
itu, jantung, tekanan darah dan pernapasan turun-naik, aliran darah ke otak bertambah
dan otot-otot sangat relaks. Selama tidur-REM yang pada kedua siklus pertama
berlangsung 5-15 menit lamanya, timbul banyak impian, sehingga disebut juga tidur
mimpi.
Hipnotika dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yakni (Gunawan, 2007):

1. Barbiturat: fenobarbital, butobarbital, siklobarb dll. Penggunaan-nya sebagai sedativa-


hipnotika kini praktis sudah ditinggalkan berhubung adanya zat-zat benzodiazepin yang
jauh lebih aman. Dewasa ini hanya beberapa barbiturat masih digunakan untuk indikasi
tertentu.
2. Benzodiazepin: temzepam, nitrazepam, flurazepam, flunitrazepam, triazolam,
estazolam, dan midazolam. Obat-obat ini pada umumnya kini dianggap sebagai obat
tidur pilihan pertama karena toksisitas dan efek sampingnya yang relatif paling ringan.
Mekanisme kerja dari benzodiazepin: pengikatan GABA (asam gama aminonutirat) ke
reseptornya pada membran sel akan membuka saluran klorida, meningkatkan efek
konduksi klorida. Aliran ion klorida yang masuk menyebabkan hiperpolarisasi lemah
menurunkan potensi postsinaptik dari ambang letup dan meniadakan pembentukan
kerja-potensial. Benzodiazepin terikat pada sisi spesifik dan berafinitas tinggi dari
membran sel, yang terpisah tetapi dekat reseptor GABA. Reseptor benzodiazepin
terdapat hanya pada SSP dan lokasinya sejajar dengan neuron GABA. Pengikatan
benzodiazepin memacu afinitas reseptor GABA untuk neuro-transmiter yang
bersangkutan, sehingga saluran klorida yang berdekatan lebih sering terbuka. Keadaan
tersbut akan memacu hiperpolarisasi dan menghambat letupan neuron (Mycek, dkk
2001).
Mekanisme kerja berbiturat: berbiturat barangkali mengganggu transpor natrium
dan kalium melewati membran sel. Ini mengakibatkan inhibisi aktivitas sistem retikular
mesenseflik. Transmisi polisinaptik SSP dihambat. Barbiturat juga meningkatkan fungsi
GABA memasukkan klorida ke dalam neuron, meskipun obatnya tidak terikat pada
reseptor benzodiazepin (Mycek, dkk 2001).

Dalam banyak hal, fungsi dasar neuron dalam sistem saraf pusat sama dengan
sistem saraf otonom. Misalnya transmisi informasi dalam sistem saraf pusat dan perifer
keduanya menyangkut lepasnya neurotransmitter yang melintas pada celah sinaptik
untuk kemudian terikat pada reseptor spesifik neuron postsinaptik. Dalam pengenalan
neurotransmitter oleh membran reseptor neuron postsinaptik memberikan perubahan
intraseluler (Mycek, 2001).

Pada sebagian besar sinaps sistem saraf pusat, reseptor tergabung dalam
saluran ion, mengikat neurotransmitter ke reseptor membran postsinaptik sehingga
dapat membuka saluran ion secara cepat dan sesaat. Saluran yang terbuka ini
kemungkinan ion didalam dan luar membran sel mengalir kearah konsentrasi yang lebih
kecil. Perubahan komposisi dibalik membran neuron akan mengubah potensial
postsinaptik, menghasilkan depolarisasi atau hiperpolarisasi membran postsinaptik,
yang tergantung pada ion tertentu yang bergerak dan arah dari gerakan itu
(Departemen farmakologi dan teraupetik).

Gangguan neurotransmisi yang dapat diobati dibagi menjadi dua kelompok, yaitu
yang disebabkan oleh terlalu banyaknya neurotransmisi dan oleh terlalu sedikitnya
neurotransmisi. Neurotransmisi yang terlalu banyak disebabkan oleh (Departemen
farmakologi dan teraupetik):

1. Sekelompok neuron yang terlalu mudah dirangsang yang bekerja tanpa adanya
stimulus yang sesuai, misalnya gangguan kejang, terapi diarahkan pada pengurangan
otomatisitas sel – sel ini.
2. Terlalu banyak molekul neurotransmitter yang berikatan dengan reseptor pascasinaptik.
Terapi meliputi pemberian antagonis yang memblokir reseptor – reseptor pascasinaptik.
3. Terlalu sedikit molekul neurotransmitter yang berikatan dengan reseptor pascasinaptik,
misalnya parkinson. Beberapa strategi pengobatan yang meningkatkan neurotransmisi,
meliputi obat – obatan yang menyebabkan pelepasan neurotransmitter dari terminal
prasinaptik, dan prekursor neurotransmitter yang diambil kedalam neuron prasinaptik
dan dimetabolisme menjadi molekul neurotransmitter aktif.

2.2 ANALISIS ZAT AKTIF

1. Fenobarbital
 Termasuk zat antikonvulsi, hipnotik & sedativ
 Tidak larut dalam air  suspensi per oral
 Sediaan dalam air terurai  rp
 Dosis hipnotik 100 mg malam hari; antikonvulsi 200 mg IM diulang sesudah 6
jam prn  dosis percobaan oral 800 mg  konversi ke mencit = 0,0026x800 mg
= 2.08 mg/20 g mencit
(Martindale ed 28, 814)

2. Kloralhydras
• Kelarutan : smlda & alkohol, higroskopis
• Sol 10%  pH 3,5-4,4
• Indikasi : hipnotik & sedativ
• Dosis hipnotik : 0,5-2 g/60 kg manusia (Martindale ed 28,796-797)

BAB III

METODE PERCOBAAN

3.1 PROSEDUR KERJA


3.1.1 peserta praktikum diwajibkan memakai jas lab,sarung tangan,dan masker
untuk melindungi diri selama praktikum berlangsung.
3.1.2 Peserta praktikum harus membuat larutan suspensi fenobarbital 30 mg/ 4
ml dan kloralhidras 100 mg/3 ml.
3.1.3 Peserta praktikum mempersiapkan alat dan mencit, timbang satu persatu
mencit dan beri nomor untuk memudahkan memberi perlakuan
3.1.4 Berikan obat pada mencit secara oral dengan teknik yang benar.
3.1.5 Masukan mencit ke cawan dan amati, dengan berpacu ada definisi
operasional yang ada maka dapat dihitung onset dan duras tidur mencit
dari setiap perlakuan.
3.2 ALAT DAN BAHAN

bahan

3.2.1. 2 tablet fenoarbital


3.2.2. 200 mg kloralhidras serbuk
3.2.3. Tragakan qs
3.2.4. 24 mencit putih galur DDY
3.2.5. Aqua dest qs
3.2.6. Kapas alcohol qs

Alat

3.2.7. Timbangan hewan


3.2.8. 12 sonde oral
3.2.9. Alat gelas qs
3.2.10. Timer
3.2.11. Wadah tempat pengamatan
3.3. PERHITUNGAN
3.3.1. Pembuatan suspensi
ANESTETIK dosis sediaan untuk
manusia m'cit obat
Perlakuan mg etiket
mg/kg (mg/20g) (mg) (ml) (ekor) ml/20 g

Pembawa 0.3 60 Trag 1/2%


Fenobarb 600 10.0 2.46 30 4.0 12 Fen 30 mg/4ml 0.33
kloral 2500 41.7 10.25 100 3.0 10 Kloral 100 mg/3 ml 0.31
3.3.2. Dosis peroral mencit setiap perlakuan
a. Bobot mencit 21 g perlakuan F 0,6
600
= x 12,3 x 0,021 = 2,583 mg
60
2,583
= x 8 ml = 0,34 ml
60
b. Bobot mencit 22 g perlakuan F 0,6
600
= x 12,3 x 0,022 = 2,706 mg
60

2,706
= x 8 ml = 0,36 ml
60

c. Bobot mencit 18 g perlakuan F 0,6


600
= x 12,3 x 0,018 = 2,214 mg
60
2,214
= x 8 ml = 0,30 ml
60
d. Bobot mencit 19 g perlakuan K 2,5
2500
= x 12,3 x 0,019 = 9,7375 mg
60
9,7375
= x 6 ml = 0,29 ml
250
e. Bobot mencit 24 g perlakuan K 2,5
2500
= x 12,3 x 0,024 = 12,3 mg
60
12,3
= x 6 ml = 0,36 ml
250
f. Bobot mencit 21 g perlakuan K 2,5
2500
= x 12,3 x 0,021 = 10,7675 mg
60

10,7675
= x 6 ml = 0,31 ml
250

3.4. PEMBUATAN SEDIAAN


3.4.1. Timbang 100 mg tragakan, gerus dalam lumpang, +kan ades sedikit-2 ad
20 ml  beacker beri etiket “tragakan ½%”
3.4.2. Gerus 2 tablet fenobarbital (@ 30 mg), +kan tragakan ½% sedikit-2 ad 8
ml  vial, etiket “fenobarbital 60 mg/8 ml”
3.4.3. Timbang 200 mg kloralhidrat dalam vial +kan tragakan ½% sedikit-2 ad 6
ml  vial, etiket “kloralhidrat 205 mg/6 ml”

3.5. DEFINISI OPERASIONAL


3.5.1. Mulai tidur = selesai dioral, mencit yang mulai diam ditelentangkan
ditengah bejana, tidak mampu tengkurap
3.5.2. Bangun = mencit tengkurap sendiri dan bergerak meninggalkan pusat
bejana
3.5.3. Onset = waktu mulai tidur – waktu jarum suntik dicabut (menit)
3.5.4. Durasi = waktu bangun – waktu mulai tidur (menit)
3.5.5. Tidak tidur, onset = 60 menit dan durasi = 0 menit

3.6. CARA ANALISIS


Cara analisi menggunakan metode pengamata yang dilakukan sejak obat
mulai masuk peroral hingga waktu praktek slesai pada pukul 12.00
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. TABEL HASIL PENGAMATAN

NO PERL BER OBA waktu onset waktu durasi ket


MENCI AKU AT T bangu
T AN (g) (ml) oral tidur (‘) aver n (‘) aver
1 F 0,6 21 0,34 08.40 - 60 - - - t. tdr
2 F 0,6 22 0,36 08.34 - 60 60 - - - t.tdr
3 F 0,6 18 0,30 08.39 - 60 - - - t.tdr
4 K 2,5 19 0,29 08.42 08.48 6 11.10 14 Tdr
2
5 K 2,5 24 0,36 08.46 08.53 7 8,3 10.09 76 102,6 Tdr
6 K 2,5 21 0,32 08.40 08.52 12 10.22 90 Tdr

4.2. GRAFIK HASIL PENGAMATAN


4.2.1 perbandingan onset
Series 1
14

12

10

0
f 0,6 (1) f 0,6 (2) f 0,6 (3) k 2,5 (4) k 2,5 (5) k 2,5 (6)

Series 1

4.2.2 perbandingan durasi tidur

Series 1
160

140

120

100

80

60

40

20

0
F 0,6 (1) F 0,6 (2) F 0,6 (3) K 2,5 (4) K 2,5 (5) K 2,5 (6)

Series 1

4.3. PEMBAHASAN
Dosis peroral mencit ditentukan dengan konversi dosis manusia per 60 kg
BB dengan mengalikan luas permukaan badan mencit yaitu 12,3.
Dari data hasil praktikum menunjukan bahwa perlakuan dengan
kloralhidras lebih kuat dan menunjukan hasil yang signifikan hal ini
menunjukan bahwa dosis yang dinyatakan di literature benar adanya.
Sedangkan pada perlakuan fenobarbital mencit tidak ada yang tidur, hal ini
dikarenakan dosis yang digunakan pada praktikum kurang dari batas yang
dinyatakan literature. Sehingga mencit dengan perlakuan fenobarbital tidak
mengalami efek anestesi.
Selain itu durasi tidur yang dialami mencit dengan perlakuan klorahydras
mengalami perbandingan sejajar dengan berat badan mencit, efek anestesi
lebih lama pada mencit dengan berat badan lebih kecil begitupun sebaliknya.
Hal ini berkaitan dengan daya sebar obat dengan luas permukaan badan
mencit.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. KESIMPULAN

5.1.1. perhitungan dosis peroral untuk mencit menggunakan perbandingan dosis pada
manusia 60 kg/BB dengan mengalikan pada luas permukaan badan mencit yaitu 12,3

5.1.2. perbandingan onset antara perlakuan F 0,6 dengan K 2,5 sangat terlihat tak
seimbang, karena pada perlakuan F 0,6 tidak mengalami tidur sedangkan pada
perlakuan K 2,5 mengalami tidur dengan onset yang cepat. Hal ini berpengaruh
terhadap dosis yang diberikan, dilihat dari literature martindale edisi 28 dosis
Fenobarbital yang diberikan kurang dari dosis untuk mencit sedangkan dosis
kloralhydras termasuk dalam range dosis untuk mencit.

5.1.3. perbandngan durasi tidur mengalami perbandingan sejajar dengan berat badan,
tampak mencit dengan berat badan lebih kecil mengalami durasi tidur lebih lama.

5.1.4. kloralhyras memberikan efek anestesi yang lebih baik dibandingkan fenobarbital
5.2. SARAN

5.2.1 sebaiknya untuk percobaan berikutnya dosis yang digunakan sesuai dengan
literature.

5.2.2.. untuk hasil pengamatan yang lebih baik keseragaman bobot mungkin diperlukan.

DAFTAR PUSTAKA

Ganiswarna. G  Sulistia,.1995. Farmakologi dan Terapi Edisi 4.Jakarta: Gaya


baru.P.109.
Gunawan, Sulistia Gan. 2007. Farmakologi dan Terapi. Badan penerbit
FKUI. Jakarta
Mycek, Mary J. 2001. Farmakologi Ulasan Bargambar. Widya Medika.
Jakarta
Mutschler, Ernst. 1999. “Dinamika Obat Buku Ajar Farmakologi dan
Toksikologi”. ITB. Bandung.
Martindale edisi 28

Anda mungkin juga menyukai