Anda di halaman 1dari 14

Farmakologi - Sistem Saraf Pusat 1

OBAT SISTEM SARAF PUSAT 1

MUH NURUL TAUFIQURAHMAN1


1Mahasiswa Fakultas Farmasi, UMI
2Asisten Laboratorium Farmakologi Fakultas Farmasi, UMI
Email : taufiqff011@gmail.com

ABSTRAK

Latar belakang : Sistem saraf pusat (SSP) merupakan sistem saraf yang dapat
mengendalikan sistem saraf lainnya didalam tubuh dimana bekerja dibawah
kesadaran atau kemauan. SSP biasa juga disebut sistem saraf sentral karena
merupakan sentral atau pusat dari saraf lainnya. Sistem saraf pusat ini dibagi
menjadi dua yaitu otak (ensevalon) dan sumsum tulang belakang (medula spinalis).
Sebagian besar obat yang mempengaruhi sistem saraf pusat bekerja dengan cara
mengubah beberapa tahapan dalam proses neurotransmisi. Obat–obat yang
mempengaruhi sistem saraf pusat dapat bekerja presinaptik, mempengaruhi
produksi, penyimpanan atau pengakhiran kerja neurotransmitter. Obat yang bekerja
pada susunan saraf pusat (SSP) memperlihatkan efek yang sangat luas. Obat
tersebut mungkin merangsang atau menghambat aktivitas SSP secara spesifik atau
secara umum. Beberapa kelompok obat memperlihatkan selektivitas yang jelas
misalnya analgesik antipiretik yang khusus mempengaruhi pusat pengatur suhu dan
pusat nyeri tanpa pengaruh jelas terhadap pusat lain.
Tujuan praktikum : Tujuan dari praktikum ini adalah untuk menentukan efektifitas
pemberian obat anestesi yaitu eter dan kloroform, obat hipnotik-Sedatif yaitu
Phenobarbital dan diazepam, obat antidepresan yaitu amitriptilin terhadap hewan
coba mencit.
Metode : Metode yang digunakan dalam praktikum ini yaitu dibagi menjadi 4
kelompok, yaitu kelompok 1 diberi perlakuan stimulan, dimana amencit dimasukkan
dalam baskom yang berisi air kemudian diberikan obat Amitriptilin. Kelompok 2
diberi perlakuan hipnotik-sedatif, dimana mencit diberikan obat Diazepam secara
oral. Kelompok 3 diberi perlakuan Antidepresan, dimana ekor mencit digantung pada
statif dan obat yang diberikan yaitu Amitriptilin secara oral. Kelompok 4 diberi
perlakuan Anestesi dimana mencit dimasukkan dalam toples yang sudah dijenuhkan
dengan klorofom. Kemudian masing – masing dihitung onset dan durasinya.
Hasil : Hasil yang didapat ialah ialah bahwa efek yang diberikan dari obat
Amitriptilin, Diazepam, klorofom, berbeda – beda sesuai dengan golongan obatnya
masing – masing.
Kesimpulan : Obat sistem saraf pusat seperti Amitriptilin, Diazepam, klorofom,
memiliki efek yang sesuai dengan teori.
Kata Kunci : sistem saraf pusat, Amitriptilin, Diazepam, klorofom, Anestesi,
Hipnotik-sedatif, Antidepresan, dan stimulan.

PENDAHULUAN

Sistem saraf pusat manusia adalah suatu jalinan jaringan saraf yang

kompleks, sangat khusus dan saling berhubungan satu sama lain. Sistem saraf

mengkoordinasi, menafsirkan dan mengontrol interaksi antara individu dengan

lingkungan sekitarnya. Susunan saraf pusat terdiri atas otak besar, batang otak, otak

kecil dan sum-sum tulang belakang dan diliputi oleh selaput otak (metix) yang terdiri

atas pachmenix dan leptomenix obat yang bekerja pada sistem saraf pusat terbagi

menjadi obat antikonvulsi, psikotropik, anastetik umum hipnotik-sedatif, antiperkinso,

analgesik-anti piretik serta anti inflamasi. Obat hipnotik-sedatif dan penenang sering

dicampurkan karena bebas tumpang-tindihnya (Ganiswarna,1995).

Impuls saraf dari SSP hanya dapat diteruskan ke ganglion dan sel efektor

melalui penglepasan zat kimia yang khas yang disebut transmiter neurohumoral atau

disingkat transmiter. Tidak banyak obat yang pada dosis terapi dapat mempengaruhi

konduksi akson, tetapi banyak sekali zat yang dapat mengubah tranmisi
neurohumoral. Obat otonom mempengaruhi transmisi neuron dengan cara

menghambat atau mengintensifkannya. Terdapat beberapa kemungkinan tempat

pengaruh obat pada transmisi sistem kolinergik maupun adrenergik, yaitu : (1)

hambatan pada sintesis atau penglepasan transmiter; (2) menyebabkan

penglepasan transmiter; (3) ikatan dengan reseptor; dan (4) hambatan destruksi

ambilan transmiter (Ganiswarna, 1995).


Obat yang bekerja pada sistem saraf pusat terbagi menjadi obat depresan

saraf pusat yaitu anastetik umum (memblokir rasa sakit). Hipnotip sedatif

(menyebabkan tidur), psikotropika (menghilangkan gangguan jiwa), antikonvulsi

(menghilangkan kejang), analgetik (mengurangi rasa sakit). Rasa sakit disebabkan

oleh perangsangan rasa sakit di otak besar dan reaksi emosional. Analgetik

menaikkan ambang rasa sakit di otak besar, sedangkan analgetik narkotik menekan

reaksi emosional (psikis) yang ditimbulkan oleh rasa sakit tersebut (Sulistia, 1995).

Sistem saraf dibedakan atas 2 divisi anatomi yaitu sistem saraf pusat (SSP)

yang terdiri dari otak dan medula spinalis, serta sistem saraf tepi yang merupakan

sel-sel saraf yang terletak di luar otak dan medula spinalis yaitu saraf-saraf yang

masuk dan keluar SSP. Sistem saraf tepi selanjutnya dibagi dalam divisi eferen yaitu

neuron yang membawa sinyal dari otak dan medula spinalis ke jaringan tepi, serta

divisi aferen yang membawa informasi dari perifer ke SSP. Fungsi sistem simpatis

selain secara berkelanjutan mempertahankan derajat keaktifan (misalnya menjaga

tonus vaskular bed) juga mempunyai kemampuan untuk memberikan respons pada

situasi stress, seperti trauma, ketakutan, hipoglikemia, kedinginan atau latihan.

Fungsi sistem parasimpatis yaitu menjaga kondisi tubuh esensial seperti proses

pencernaan makanan dan pengurangan zat-zat sisa. Jika sistem ini bekerja, akan

menghasilkan gejala yang masif, tidak diharapkan dan tidak menenangkan. Sistem

ini bekerja untuk mempengaruhi organ-organ spesifik seperti lambung dan mata

(Mycek, 2001).
Obat-obat otonom adalah obat-obat yang dapat mempengaruhi penerusan

impuls dalam sistem saraf pusat dengan jalan mengganggu sintese, penimbunan,

pembebasan atau penguraian neurotransmitter atau mempengaruhi kerjanya atas

reseptor khusus. Akibatnya adalah dipengaruhinya fungsi otot polos dan organ,

jantung, dan kelenjar.

a. Zat-zat yang bekerja terhadap SO, yaitu :

1.Simpatomimetika (adrenergika), yang meniru efek dan perangsangan SO misalnya


noradrenalin, efedrin, isoprenalin, dan amfetamin.
2.Simpatolitika (adrenolitika), yang justru menekan saraf simpatik atau melawan efek

adrenergika, seperti alkaloida sekale dan propanolol.

b. Zat-zat yang bekerja terhadap SP, yaitu :

1.Parasimpatomimetika (kolinergika), yang merangsang organ-organ yang dilayani

saraf parasimpatik dan meniru efek perangsangan dengan asetilkolin, misalnya

pilokarpin dan fisostigmin.

2.Parasimpatolitika (antikolinergika), justru melawan efek-efek parasimpatomimetika,

misalnya alkaloida Belladona, propantelin, dan mepenzolat.

c. Zat-zat perintang ganglion, yang merintangi penerusan impuls dalam sel-sel

ganglion simpatik dan parasimpatik. Efek perintangan ini dampaknya luas, antara

lain vasodilatasi karena blokade susunan simpatik, sehingga digunakan pada

hipertensi tertentu. (Tjay & Rahardja, 2002).

Sebagian besar obat yang mempengaruhi SSP bekerja dengan mengubah

beberapa tahapan dalam proses neurotransmisi. Obat-obat yang mempengaruhi

SSP dapat bekerja presinaptik, mempengaruhi produksi, penyimpanan atau

pengakhiran kerja neurotransmitter. Obat-obat lain dapat memacu atau menghambat

reseptor postsinaptik. Dalam banyak hal, fungsi dasar neuron dalam SSP sama

dengan SSO. Misalnya transmisi informasi dalam SSP dan di perifer keduanya

menyangkut lepasnya neurotransmitter yang melintas pada celah sinaptik untuk

kemudian terikat pada reseptor spesifik neuron postsinaptik (Ganiswara,2003).

Efek analgesik ialah menghilangkan nyeri, nyeri yang dihilangkan yang


berintensitas rendah, misalnya nyeri kepala, mialgia, artralgia. Nyeri lain yang

berasal yang berasal dari susunan integumen lebih baik dipengaruhi daripada yang

berasal viseral. Salisilat menghilangkan nyeri baik secara sentral maupun secara

perifer. Secara sentral, diduga salisilat bekerja pada hipotalamus sedangkan secara

perifer menghambat pembentukan prostaglanding di tempat inflamasi, mencegah

sensitasi reseptor rasa sakit terhadap rangsang mekanik dan kimia

(Ganiswara,2003).
Pada keadaan deman, diduga termostat di hipotalamus terganggu sehingga

suhu badan lebih tinggi. Obat-obat antipiretik diduga bekerja dengan

mengembalikan fungsi termostat ke normal. Pembentukan panas tidak dihambat,

tetapi hilangnya panas dipermudah dengan bertambahnya aliran darah ke perifer

dan pembentukan keringat. Efek penurun suhu demam diduga terjadi dengan

penghambatan pembentukan prostaglanding seperti efek analgesiknya.

Prostsglandin E1 adalah pirogen kuat yang bila disuntikkan pada hipotalamus

anterior atau ke dalam ventrikal otak,efeknya tidak dapat dicegah oleh obat

antipiretik. Pirogen menyebabkan pembentukan prostaglanding E1 dan

pembentukan zat ini dihambat oleh obat (Ganiswara,2003).

Golongan yang bekerja pada SSP ada dua. Golongan pertama yaitu stimulan

psikomotor yang menimbulkan eksitasi dan euphoria, mengurangi perasaan lelah

dan meningkatkan aktivitas motorik. Golongan kedua yaitu obat-obat psikotomimetik

atau halusinogen, yang menimbulkan perubahan mendasar dalam pola pemikiran

dan perasaan dan sedikit berpengaruh pada sambungan otak dan sumsum tulang

belakang (Ganiswara,2003).

Atas dasar kerja farmakologinya, analgetika dibagi menjadi 2 kelompok besar

yaitu (Tim penyusun,2009).

1. Analgetika perifer (non narkotik) yang etrdiri dari obat-obat yang tidak bersifat

narkotik dan tidak bekerja sentral.

2. Analgesik narkotik.
Nyeri ringan dapat diatasi dengan analgetik perifer seperti parasetamol, mefenamat,

propifenazon. Begitu pula rasa nyeri dengan demam. Untuk nyeri sedang dapat

ditambahkan kofein atau kodein. Nyeri dengan pembengkakan sebaiknya diobati

dengan obat analgesik anti radang seperti aminofenazon (Anonim, 2009).

Nyeri timbul oleh karena aktivasi dan sensitisasi sistem nosiseptif, baik perifer

maupun sentral. Dalam keadaan normal, reseptor tersebut tidak aktif. Dalam

keadaan patologis, misalnya inflamasi, nosiseptor menjadi sensitif bahkan


hipersensitif. Adanya pencederaan jaringan akan membebaskan berbagai jenis
mediator inflamasi, seperti prostaglandin, bradikinin, histamin dan sebagainya.

Mediator inflamasi dapat mengaktivasi nosiseptor yang menyebabkan munculnya

nyeri. AINS mampu menghambat sintesis prostaglandin dan sangat bermanfaat

sebagai antinyeri (Anonim, 2009).

Obat-obat psikotropik yaitu obat-obat yang mempengaruhi fungsi psikis,

kelakuan dan pengalaman. Dulu, penyakit jiwa diobati dengan candu, skopolamin,

bromide, dan barbiturate. Obat-obat ini masih harus dilengkapi dengan cara lain

misalnya terapi kerja kreatif, syok insulin, syok listrik, bahkan pembedahan otak

pada skizofrenia yang parah. Pengobatan yang lebih maju dimulai pada tahun 1952,

setelah ditemukan klorpromazin dan reserpin (Anonim, 2009).

Ribuan sinyal neuronal berjalan melalui otak setiap saat. Neurotransmitter

dalam otak sejajar dengan neurotransmitter yang ada dalam sistem otonom.

Gangguan neurotransmitter yang dapat diobati dibagi menjadi 2 kelompok yaitu

terlalu banyak neurotransmisi dan karena terlalu sedikitnya neurotransmisi.

Neurotransmisi yang terlalu banyak disebabkan oleh sekelompok neuron yang

terlalu mudah dirangsang yang bekerja tanpa adanya stimulus yang sesuai. Tetapi

diarahkan pada pengurangan otomatisitas sel. Sedangkan neurotransmisi yang

terlalu sedikit dapat disebabkan oleh terlalu sedikit molekul neurotransmitter yang

berikatan dengan reseptor pascasineptik (Anonim, 2009).

Ada beragam cara untuk memblokade rasa nyeri. Karena itu, ada bermacam

pula obat pengurang nyeri. Ada obat yang kerjanya memblokade pembentukan
mediator nyeri khususnya PG (postaglandin). Obat-obatan jenis analgetik steroid

dan nonsteroid, termasuk golongan ini. Hanya, sebagian besar analgetik nonsteroid

(NSAID = Non-Steroid Anti-Inflammatory Drugs) selain bersifat analgetik (penghilang

nyeri) juga bersifat antipiretik (pereda demam), dan beberapa memiliki sifat

antiinflamasi. Ada pula obat yang memblokade pengantaran nyeri oleh serabut saraf

dengan anestesi, baik yang sifatnya lokal (di tempat rangsang nyeri terjadi) atau

sistemik (seluruh saraf tubuh). Obat untuk cabut gigi atau sunat (lidokain semprot)
termasuk golongan ini. Obat jenis lain berfungsi memblokade pusat nyeri atau
reseptor nyeri di otak. Biasanya jenis analgetik narkotik seperti morfin dan petidin.

Karena jenis ini mampu menembus penghalang antara darah dan otak. Jenis-jenis

analgetik nonsteroid yang kerap kita temui antara lain codein, parasetamol, asetosal

(golongan salisilat), tramadol (biasanya diresepkan untuk patah tulang atau pasca

operasi), dan ibuprofen (James,2002).

Nyeri timbul oleh karena aktivasi dan sensitisasi sistem nosiseptif, baik perifer

maupun sentral. Dalam keadaan normal, reseptor tersebut tidak aktif. Dalam

keadaan patologis, misalnya inflamasi, nosiseptor menjadi sensitif bahkan

hipersensitif. Adanya pencederaan jaringan akan membebaskan berbagai jenis

mediator inflamasi, seperti prostaglandin, bradikinin, histamin dan sebagainya.

Mediator inflamasi dapat mengaktivasi nosiseptor yang menyebabkan munculnya

nyeri. AINS mampu menghambat sintesis prostaglandin dan sangat bermanfaat

sebagai antinyeri (James, 2002).

METODE

BAHAN YANG DIGUNAKAN

Bahan – bahan yang digunakan : klorofom, eter, Amitriptilin,NaCMC, Diazepam.

ALAT YANG DIGUNAKAN

Alat – alat yang digunakan : lap halus, lap kasar, tissue, kanula, kapas, benang

godam, spoit injeksi, toples, baskom.

CARA KERJA
Penyiapan hewan

Mencit dibagi menjadi 4 kelompok dengan perlakuan masing – masing sebagai

berikut :

1.1 Kelompok 1 (Stimulant)

Pertama – tama disiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan, dimasukkan mencit

dalam baskom yang telah diisi dengan air kemudian dihitung frekuensi geraknya.

Kemudian diberikan obat Amitriptilin sebanyak 0,7 mL secara oral dan dimasukkan
kembali kedalam baskom yang berisi air. Amati dan hitung frekuensi geraknya pada

menit 15, 30, 60 dan 90.(vp = x 1 ml = 0,7 mL ).

1.2 Kelompok 2 (Hipnotik-Sedatif)

Pertama – tama disiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan, mencit disuntikkan

dengan obat Diazepam secara oral kemudian dhitung onset dan durasinya.

1.3 Kelompok 3 (Antidepresan)

Pertama – tama disiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan, kemudian ekor mencit

diikat dengan benang godam kemudian figantung pada statik, kemudian di hitung

frekuensi pergerakannya. Lalu mencit di berikan obat Amitriptilin secara oral.

Kemudian kembali dihitung frekuensi pergerakannya, kemudian bandingkan

frekuensi gerakannya pada menit ke 60.

1.4 Kelompok 4 (Anastesi)

Pertama – tama disiapkan alat dan bahan yang dibutuhkan, kemudian mencit di

masukkan dalam toples yang sebelumnya telah di jenuhkan dengan eter dan

klorofom. Kemudian di hitung onset dan durasinya.

HASIL PENGAMATAN

1.1 Kelompok 1 (Stimulant)

PERLAKUAN BB VP ONSET DURASI Keterangan


Memiliki onset
yang cepat dan
durasi yang
Oral Amytriptilin 21 gr 0,73 mL 15 menit 45 menit lama

1.2 Kelompok 2 (Hipnotik-Sedatif)

PERLAKUAN BB VP Onset Durasi


Hipnotik
(Diazepam) 27 gr 0,9 mL 05 : 17 menit 19 : 33 menit
Sedatif
(Diazepam) 29 gr 0,96 mL Menit ke 4 Menit ke 8
1.3 Kelompok 3 (Antidepresan)

FREKUENSI GERAKAN Keterangan


PERLAKUAN BB VP Sebelum Awal Akhir Frekuensi
gerakan
0,733 semakin
Oral Amytriptilin 22 gr mL 23 kali 56 kali 21 kali menurun

1.4 Kelompok 4 (Anastesi)

PERLAKUAN BB VP Onset Durasi Keterangan


1 (Eter) 23 gr 2 mL 1,8 7,50 Memiliki onset
yang cepat dan
2 (Klorofom) 23 gr 2 mL 1,15 1,50 durasi yang lama

PEMBAHASAN

Hampir semua fungsi pengendalian tubuh manusia dilakukan oleh sistem

saraf. Secara umum sistem saraf mengendalikan aktivitas tubuh yang cepat seperti

kontraksi otot. Daya kepekaan dan daya hantaran merupakan sifat utama dari

makhluk hidup dalam bereaksi terhadap perubahan sekitarnya. Rangsangan ini

dinamakan stimulus. Reaksi yang dihasilkan dinamakan respons. Makhluk hidup

yang bersel satu (uniseluler) maupun bersel banyak (multiseluler) ditentukan

kemampuan fungsinya oleh protoplasma sel (Syaifuddin, 2011).

Hipnotik dan sedatif merupakan obat pendepresi susunan saraf pusat (SSP).

Efeknya bergantung pada dosis, mulai dari yang ringan, yaitu menyebabkan tenang

atau kantuk, menidurkan, hingga yang berat, yaitu hilangnya kesadaran, keadaan

anastesi, koma, dan mati (Gunawan, Sulistia Gan, dkk, 2007).

Penggolongan satu obat ke dalam golongan hipnotik-sedatif menandakan

bahwa obat tersebut mampu menimbulkan sedasi (disertai redanya ansietas) atau

membantu tidur. Karena mengandung berbagai variasi kimia, penggolongan obat ini

lebih didasari pada penggunaan klinis ketimbang kesamaan struktur kimia. Ansietas

dan gangguan tidur adalah masalah yang lazim ditemui sehingga hipnotik-sedatif
banyak diresepkan di seluruh dunia (Katzung, Bertram G, 2010).
Pada dosis terapi, obat sedatif menekan aktivitas mental, menurunkan respon

tehadap rangsangan emosi sehingga menenangkan. Obat hipnotik menyebabkan

kantuk dan mempermudah tidur yang menyerupai tidur fisiologi (Gunawan, Sulistia

Gan, 2007).

Hipnotika dapat dibagi dalam beberapa kelompok, yakni senyawa barbiturate

dan benzodiazepine, obat-obat lainnya dan obatobsolet.

1. Barbiturate: fenobarbital, butobarbital, siklobarb, dll. Penggunaannya sebagai

sedative-hipnotika kini praktis sudah ditinggalkan berhubungan adanya zat-zat

benzodiazepine yang jauh lebih aman. Dewasa ini hanya beberapa barbiturate

masih digunakan untuk indikasi tertentu, misalnya fenobarb dan meforbarb sebagai

anti-epileptika dan pentotal sebagai anestetikum.

2. Benzodiazepine: temazepam, nitrazepam, flurazepam, flunitrazepam, triazolam,

estazolam, dan midazolam. Obat-obat ini pada umumnya kini dianggap sebagai obat

tidur pilian pertama karena toksisitas dan efek sampingnya yang relatif paling ringan

(Tjay, Tan Hoan dan Rahardja, Kirana, 2007).

Anastetik umum adalah senyawa obat yang dapat menimbulkan anastesi

(an=tanpa, aesthesis=perasaan) atau narkosa, yakni suatu keadaan depresi umum

yang bersifat reversible dari banyak pusat sistem saraf pusat, dimana seluruh

perasaan dan kesadaran ditiadakan, agak mirip dengan pingsan (Sloane, 2003).

Anastetik umum merupakan depresan sistem saraf pusat, dibedakan menjadi

anastetik inhalasi yaitu anastetik gas, anastetik menguap dan anastetik parenteral.
Pada percobaan hewan dalam farmakologi yang digunakan hanya anastetik

menguap dan anastetik parenteral (Alwi, 2004).

Efek anastetik ini pada mencit/tikus antara lain dapat dideteksi dengan Touch

respon, yaitu dengan menyentuh leher mencit atau tikus dengan suatu benda

misalnya pensil. Jika mencit tidak bereaksi maka mencit/tikus terpengaruh oleh

anastetik. Selain itu pasivitas juga dapat mengindikasikan pengaruh anastesi.

Pasivitas yaitu mengukur respon mencit bila diletakkan pada posisi yang tidak
normal, misalnya mencit yang normal akan menggerakkan kepala dan anggota
badan lainnya dalam usaha melarikan diri, kemudian hal yang sama tetapi dalam

posisi berdiri, mencit normal akan meronta-ronta. Mencit yang diam kemungkinan

karena terpengaruh oleh senyawa anastetik. Uji neurologik yang lain berkaitan

dengan anastetik ialah uji ringhting refles (Ganiswarna, 1995).

Mekanisme terjadinya anesthesia sampai sekarang belum jelas meskipun

dalam bidang fisiologi SSP dan susunan saraf perifer terdapat kemajuan hebat

sehingga timbul berbagai teori berdasarkan sifat obat anestetik,misalnya penurunan

transmisi sinaps, penurunan konsumsi oksigen dan penurunan aktivitas listrik SSP

(James, 2002).

Hipnotik atau obat tidur (hypnos=tidur), adalah suatu senyawa yang bila

diberikan pada malam hari dalam dosis terapi, dapat mempertinggi keinginan

fisiologis normal untuk tidur, mempermudah dan menyebabkan tidur. Bila senyawa

ini diberikan untuk dosis yang lebih rendah pada siang hari dengan tujuan

menenangkan, maka disebut sedativa (obat pereda). Perbedaannya dengan

psikotropika ialah hipnotik-sedativ pada dosis yang benar akan menyebabkan

pembiusan total sedangkan psikotropika tidak. Persamaannya yaitu menyebabkan

ketagihan (Mutscler, 1991).

Pada percobaan ini, dilakukan 4 percobaan, diantara percobaan stimulan,

hopnotik sedatif, antidepresan dan anestesi. Pada percobaan stimulan Mencit

dimasukkan ke dalam toples yang berisi air, kemudian hitung frekuensi diam dan

durasinya selama 30 menit, setelah itu disuntikkan amitriptilin sebanyak 1 ml secara


intraperitoneal kemudian dihitung kembali frekuensi diam dan durasinya. Dan dari

percobaan ini diperoleh hasil onset 15 menit dan durasi 45 menit. Dapat disimpulkan

bahwa onset dari obat lebih cepat daripada durasi obat.

Pada percobaan hipnotik-sedatif menggunakan 2 ekor mencit. Mencit 1

disuntikkan dengan Diazepam sebanyak 0,9 mL, dan mencit 2 disuntikkan dengan

Diazepam sebanyak 0,96 mL secara oral kemudian dicatat onset dan durasinya.

Dan dari percobaan ini diperoleh hasil onset dari pemberian diazepam dengan berat
mencit 27 g yaitu 00:05:17 sedangkan durasinya yaitu 00:19:33, onset dari
pemberian Diazepam dengan berat mencit 29 gr yaitu menit ke 4 dan durasinya

yaitu pada menit ke 8. Hal ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa obat

golongan barbiturat memiliki kerja lebih cepat dibandingkan dengan obat-obat

golongan benzodiazepin. Dan efek dari obat ini membuat mencit menjadi tenang

sehingga durasinya lebih lama dibandingkan dengan onsetnya.

Mekanisme kerja obat pada tahap pertama reseptor dalam keadaan kosong,

tidak aktif dan saluran klorida berpasangan tertutup, pada tahap kedua terjadi

pengikatan GABA yang menyebabkan saluran ion klorida membuka, pada tahap

ketiga reseptor mengikat GABA yang diperkuat oleh benzodiazepine maupun

barbiturate. Dimana pada benzodiazepine yaitu mempercepat frekuensi pembukaan

kanal Cl- dan barbiturate yaitu memperlama pembukaan kanal Cl- yang

menyebabkan banyak kanal Cl- yang masuk.

Pada percobaan Antidepresan menggunakan 1 ekor mencit dimana ekor

mencit di ikat dengan benang godam dan digantung di statif selama 30 menit

kemudian dihitung frekuensi dan durasinya, setelah itu Mencit disuntikkan

amitriptilin secara oral sebanyak 0,733 mL lalu dihitung kembali frekuensi dan

durasinya. Dan dari percobaan ini diperoleh hasil frekuensi sebelum diberikan

amitriptilin yaitu 56 kali dan setelah diberi amitriplin yaitu 21 sedangkan durasi diam

sebelum diberikan amitriptilin yaitu 23 kali. frekuensi gerak dari mencit mengalami

peningkatan setelah pemberian obat amitriptilin. Amitriptilin memiliki efek anti kejang,

dimana golongan ini dapat digunakan pasien yang mengalami depresi dan juga
mengalami kecemasan.

Pada percobaan anastesi menggunakan 2 mencit, dimana Mencit 1

dimasukkan ke dalam toples yang berisi klorofom dan Mencit 2 dimasukkan ke

dalam toples yang berisi eter kemudian diamati onset dan durasinya. Dan dari

percobaan ini diperoleh hasil onset pemberian eter yaitu 00 : 01 : 18 menit dan

durasinya yaitu 00:07:50 sedangkan onset pemberian klorofo yaitu 00:15:00 dan

durasinya yaitu 00:01: 50. Dapat diketahui bahwa memiliki onset yang cepat dan
durasi yang lama, sesuai dengan literatur.
KESIMPULAN

1. Pada percobaan Stimulan, onsetnya ialah 15 dan durasinya pada menit 45.

2. pada percobaan hipnotik-sedatif, onset dari mencit dengan berat 20 gr ialah 00 : 18 :

52 dan durasinya yaitu 00 : 01 : 02, sedangkan onset yang didapat dari mencit

dengan berat 30 gr ialah 00 : 18 : 11 dan durasinya 00 : 01 : 02.

3. Pada percobaan Antidepresi, frekuensi sebelum diberikan Amytriptilin ialah 23 dan

30 menitm dan setelah diberikan ialah 56 dan 60 menit.

4. Pada percobaan Anestesi, saat pemberian eter, onsetnya ialah 00 : 01 : 15 dan

durasi yaitu 00 : 07 : 11. Saat pemberian klorofom, onsetnya ialah 00 : 01 : 15 dan

durasinya yaitu 00 : 01 : 50.

SARAN

Saran pada praktikum, sebaiknnya mahasiswa lebih teliti dalam menghitung

waktu agar data yang didapat lebih akurat.

DAFTAR PUSTAKA
Sloane, Ethel. 2003. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta: EGC

Alwy , Khidri, 2004 “Biomedik Untuk FKM” UMI- Press : Makassar

Mutschler, Ernst. 1999. “Dinamika Obat Buku Ajar Farmakologi dan Toksikologi”. ITB.
Bandung.

Olson, James, M D, 2002. Belajar Mudah Farmakologi. Jakarta:ECG.P.40

Ganiswarna. G Sulistiwa. 1995. Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta : Gaya baru.

Gunawan, Sulistia Gan. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi V. Jakarta: FK-UI.

James, J; Baker, C; Helen,S. 2002. Prinsip-Prinsip Sains Untuk Keperawatan. Penerbit


Erlangga : Jakarta.
Mycek, M. J, R. A. Harvey & P. C. Champe. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar.
Penerjemah Agoes, A.Widya Medika. Jakarta.

Tim Penyusun, Penuntun Praktikum Farmakologi Toksikologi, Sekolah Tinggi Ilmu


Farmasi Kebangsaan, Makassar, 2009, halaman 36

Tjay, T H & K Rahardja. 2002. Obat-obat Penting. PT Elek Media Komputindo. Jakarta

Ganiswara, S, G, Farmakologi dan Terap, Edisi IV, Universitas Indonesia Press, Jakarta,
2003, 81, 162, 166, 570.

Anda mungkin juga menyukai