Anda di halaman 1dari 10

Jam/Tanggal : 11.30-14.

00/10 Maret 2021


Paralel/Kelompok : 3/2
Dosen Pembimbing : drh. Min Rahminiwati, MS, PhD

STIMULTAN SISTEM SARAF PUSAT


Disusun oleh:
Putri Yasmin Khairunnisa (B04180157)
Nisrina Rosyida Noor Rifai (B04180132)
Mawaddaturrahmah (B04180133)
Attin Qurrotu A Yun (B04180147)

DIVISI FARMAKOLOGI DAN TOKSIKOLOGI


DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI, DAN FARMAKOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2021
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Stimulansia adalah senyawa yang mempengaruhi sistem saraf pusat (SSP) dan dapat
meningkatkan konsentrasi, merangsang susunan saraf pusat untuk menghilangkan kelelahan,
serta menambah kemampuan fisik dan mental (Febrinasari et al. 2016). Efek perangsangan
susunan saraf pusat baik oleh obat yang berasal dari alam atau sintetik dapat diperlihatkan
pada hewan dan manusia. Pada hewan percobaan, obat stimulansia SSP dapat meningkatkan
aktivitas motorik dan kesadaran (Ganiswara 1995). Obat stimulansia SSP dapat
meningkatkan aktivitas motorik dan kesadaran.
Daya kerja stimulansia SSP dapat dibedakan berdasarkan lokasi dan titik tangkap
kerjanya, yaitu stimulansia cortex cerebri, stimulansia medulla oblongata, stimulansia
medulla spinalis. Obat stimulansia cortex cerebri mampu meningkatkan persepsi, respons,
tremor, gelisah, dan delirium. Konvulsi yang ditimbulkan bersifat aspontan, simetris, dan
klonis. Konvulsi aspontan terjadi jika ada rangsangan terlebih dahulu. Simetris ditandai
dengan tremor yang terjadi bersamaan pada anggota tubuh kanan dan kiri, sedangkan klonis
terjadi apabila kontraksi memiliki fase istirahat. Contoh obat stimulansia cortex cerebri
adalah caffeine. Caffeine dapat meningkatkan kewaspadaan, menurunkan kecepatan reaksi,
meningkatkan ventilasi dan mengurangi penampilan pada beberapa keahlian motorik halus
(Hayati 2012). Obat stimulansia medulla oblongata dapat menyebabkan hiperaktivitas,
peningkatan frekuensi pernafasan dan jantung serta tremor. Konvulsi yang ditimbulkan
adalah spontan (tanpa rangsangan), asimetris, dan klonis. Contoh obat stimulansia medulla
oblongata adalah cardiazol. Obat stimulansia medulla spinalis merangsang medulla spinalis
dan bagian lain dari SSP. Contoh obat dari golongan ini adalah striknin. Obat ini biasanya
juga mempengaruhi reflek, sifat konvulsinya aspontan, simetris, dan tetanis.

Tujuan

Tujuan praktikum ini adalah untuk mengamati gejala yang muncul setelah pemberian
obat dan menentukan target kerja obat pada sistem saraf pusat.

TINJAUAN PUSTAKA

Sistem saraf pusat merupakan bagian dari sistem saraf yang terdiri dari otak dan
sumsum tulang belakang. SSP mempunyai fungsi mengoordinasi semua aktivitas bagian
tubuh manusia (Tjay dan Rahardja 2007). SSP dibantu oleh sistem saraf perifer yang
berfungsi menghantarkan impuls dari dan ke susunan saraf pusat. Impuls dihantarkan dari
saraf aferen ke sistem saraf pusat kemudian ke saraf eferen. Rangsangan berupa sakit,
panas, rasa, cahaya, suara mula-mula diterima oleh sel-sel penerima (reseptor) lalu
dilanjutkan ke otak dan sumsum tulang belakang. Rasa sakit dapat disebabkan oleh
rangsangan rasa sakit di otak besar, tetapi analgetik narkotik menekan reaksi emosional
yang ditimbulkan oleh rasa sakit tersebut (Ganiswara 2007).

Sebagian besar obat yang mempengaruhi SSP bekerja dengan mengubah beberapa
tahapan dalam proses neurotransmisi. Obat-obat yang mempengaruhi SSP dapat bekerja
presinaptik, mempengaruhi produksi, penyimpanan atau pengakhiran kerja
neurotransmiter. Obat-obat lain dapat memacu atau menghambat reseptor postsinaptik.
memberikan tujuan umum SSP dengan fokus pada neurotransmitter yang terkait dalam
penggunaan obat-obat SSP dalam klinik (Mycek dan Mery 2013).

Obat-obatan stimulan susunan saraf pusat adalah obat-obatan yang dapat bereaksi
secara langsung atau tidak langsung terhadap susunan saraf pusat. Efek perangsangan
susunan saraf pusat dari obat alami maupun sintetik dapat diperlihatkan pada hewan dan
manusia. Perangsangan SSP oleh obat pada umumnya melalui dua mekanisme, yaitu
mengadakan blokade sistem penghambatan dan meninggikan perangsangan sinaps.
(Sunaryo 1995). Sensasi yang ditimbulkan akan membuat otak lebih jernih dan bisa
berpikir lebih fokus. Otak menjadi lebih bertenaga untuk berpikir berat dan bekerja keras,
tetapi akan muncul kondisi arogan yang tanpa sengaja muncul akibat penggunaan zat ini.
Pupil akan berdilatasi, nafsu makan akan sangat ditekan, keinginan urinasi akan ditekan,
dan tekanan darah bertendensi untuk naik secara signifikan. Secara mental, pengguna
akan mempunyai rasa percaya diri yang berlebih dan merasa lebih senang. Stimulan
susunan saraf pusat memiliki dua golongan obat yang bekerja pada susunan saraf pusat
(SSP). Golongan pertama adalah stimulan psikomotor yang menimbulkan eksitasi dan
euforia, mengurangi perasaan lelah, serta meningkatkan aktivitas motorik. Golongan
kedua adalah obat-obat psikotomimetik atau halusinogen yang menimbulkan perubahan
mendasar dalam pola pemikiran dan perasaan serta sedikit berpengaruh pada sambungan
otak dan sumsum tulang belakang. Stimulan susunan saraf pusat (SSP) sedikit sekali
digunakan di klinik, tetapi penting dalam masalah penyalahgunaan obat (Mycek dan Mery
2013).

METODE PRAKTIKUM

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah spuit 1 ml, stopwatch, dan kandang hewan. Bahan yang
digunakan adalah katak, mencit, caffein, striknin, cardiazol, dan amfetamin.

Prosedur Praktikum

Percobaan mengenai stimulansia medulla spinalis dilakukan menggunakan obat


striknin. Pemeriksaan fisiologis katak normal dilakukan pada posisi tubuh, refleks, rasa nyeri,
tonus, frekuensi napas, dan frekuensi jantung. Striknin disuntikan secara subkutan pada
daerah abdominal melalui saccus lymphaticus femoralis dengan dosis bertingkat mulai 0.05
ml, 0.1 ml, 0.2 mL, dan seterusnya. Perubahan fisiologis katak diamati setiap 5 menit pada
setiap dosis penyuntikan. Pemberian obat dan pengamatan dihentikan setelah terjadi konvulsi
pada katak. Bagian otak dari katak dirusak satu persatu mulai dari cortex cerebri, medulla
oblongata, dan medulla spinalis untuk mengetahui titik tangkap kerja obat.
Percobaan stimulansia medulla oblongata dilakukan menggunakan obat cardiazol.
Pemeriksaan fisiologis katak normal dilakukan pada posisi tubuh, refleks, rasa nyeri, tonus,
frekuensi napas, dan frekuensi jantung. Cardiazol disuntikan secara subkutan pada daerah
abdominal melalui saccus lymphaticus femoralis dengan dosis bertingkat mulai 0.05 ml, 0.1
ml, 0.2 ml, dan seterusnya. Perubahan fisiologis katak diamati setiap 5 menit pada setiap
dosis penyuntikan. Pemberian obat dan pengamatan dihentikan setelah terjadi konvulsi pada
katak. Bagian otak dari katak dirusak satu persatu mulai dari cortex cerebri, medulla
oblongata, dan medulla spinalis untuk mengetahui titik tangkap kerja obat.

Percobaan stimulansia cortex cerebri dilakukan menggunakan caffeine. Pemeriksaan


fisiologis katak normal dilakukan pada posisi tubuh, refleks, rasa nyeri, tonus, frekuensi
napas, dan frekuensi jantung. Caffeine disuntikan secara subkutan pada daerah abdominal
melalui saccus lymphaticus femoralis dengan dosis bertingkat mulai 0.05 mL, 0.1 mL, 0.2
mL, dan seterusnya. Perubahan fisiologis katak diamati setiap 5 menit pada setiap dosis
penyuntikan. Pemberian obat dan pengamatan dihentikan setelah terjadi konvulsi pada katak.
Kemudian bagian otak katak dirusak satu persatu mulai dari cortex cerebri, medulla
oblongata, dan medulla spinalis untuk mengetahui titik tangkap kerja obat.

Percobaan stimulansia cortex cerebri juga dilakukan menggunakan amfetamin.


Pemeriksaan fisiologis berupa aktivitas motorik, refleks, salivasi, defekasi, tonus otot,
frekuensi napas, dan frekuensi jantung dilakukan pada mencit sebelum diinjeksi amfetamin.
amfetamin diinjeksikan secara subkutan pada daerah punggung dengan dosis bertingkat mulai
dari 0.05 ml, 0.1 ml, 0.2 ml, dan seterusnya. Perubahan fisiologis pada mencit diamati setiap
5 menit pada setiap dosis penyuntikan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1. Pengamatan Efek Stimulan Cortex Cerebri (Striknin)

Menit Dosis Posisi Refleks Rasa Tonus Frekuensi Frekuensi Konvulsi


(mL) tubuh nyeri napas (per jantung
menit) (per
menit)

0 - Tegak + + + 76 76 -

5 0.05 Tegak + + + 68 108 -

10 0.1 Landai - - - 124 96 +

Keterangan:
+ : Ada respons

- : Tidak ada respons

Striknin bekerja dengan cara mengadakan antagonis kompetitif terhadap transmitter


penghambatan, yaitu glisin di daerah penghambatan pascasinaps. Striknin merupakan obat
konvulsan kuat dengan sifat kejang yang khas (Gunawan 2007). Refleks masih ada setelah
pemberian striknin, tetapi sudah mulai berkurang dan tonus otot memiliki respon yang baik.
Hal ini disebabkan karena striknin mudah diserap dari saluran cerna dan tempat suntikan lalu
akan segera meninggalkan sirkulasi masuk ke sistem saraf pusat, yaitu ke medulla spinalis
dan mulai bekerja dengan mengantagonis kerja neurotransmitter glisin sehingga terjadi
hipereksitasi neuron yang menyebabkan bertambahnya tonus otot rangka dan mengakibatkan
konvulsi atau kejang. Pada hewan coba konvulsi ini berupa ekstensif tonik dari badan dan
semua anggota gerak. Sifat khas dari kejang lainnya, yaitu kontraksi ekstensor yang simetris.
Hal ini terlihat pada pengamatan bahwa kaki katak terlihat lurus simetris. Konvulsi seperti ini
juga terjadi pada hewan yang hanya mempunyai medula spinalis secara langsung sehingga
efek striknin dianggap berdasarkan kerjanya pada medula spinalis dan konvulsinya disebut
konvulsi spinal (Sunaryo 1995).

Berdasarkan hasil percobaan yang telah dilakukan, katak yang diinjeksi dengan
striknin langsung menunjukkan adanya konvulsi setelah didiamkan selama 10 menit. Striknin
selain mempengaruhi refleks, sifat konvulsinya aspontan, simetris, dan tetanis. Hal itu
disebabkan oleh daya kerja striknin sebagai konvulsan yang kuat. Untuk menguji titik
tangkap kerja dari striknin dilakukan perusakan cortex cerebri pada awalnya namun katak
masih mengalami konvulsi begitu juga ketika medulla oblongata dirusak. Ketika medulla
spinalis dirusak, katak tidak mengalami konvulsi lagi yang menunjukkan titik tangkap kerja
dari striknin adalah medulla spinalis.

Tabel 2. Pengamatan Efek Stimulan Medulla Oblongata (Cardiazol)

Menit Dosis Posisi Refleks Rasa Tonus Frekuen Frekuen Konvul


(ml) Tubuh Nyeri si napas si si
(per jantung
menit) (per
menit)

Normal - 45° + + Normal 92 108 -

0 0.05 40° + + Normal 88 96 -

5 0.1 40° + + Normal 96 112 +

10 0.2 - - - - - - -

Keterangan:
+ : Ada respons

- : Tidak ada respons

Sebelum diberikan injeksi cardiazol, katak diperiksa kondisi fisiologisnya meliputi


posisi tubuh, refleks, rasa nyeri, tonus, frekuensi napas dan jantung. Pemeriksaan ini yang
akan dijadikan indikator pengaruh pemberian obat cardiazol pada katak. Katak diinjeksikan
cardiazol secara subkutan dengan dosis yang berbeda dan diamati setiap 5 menit untuk
melihat pengaruhnya pada kondisi fisiologis normal katak. Pada dosis 0.05 ml, posisi tubuh
katak sudah mulai tidak stabil dimana sudut yang terbentuk adalah 40° namun tonus otot
masih normal. Sedangkan refleks dan rasa nyeri pada katak yang diinjeksikan cardiazol
masih terasa hingga dosis ditingkatkan menjadi 0.1 ml. Peningkatan juga terjadi pada
frekuensi napas dan jantung pada dosis tersebut dimana frekuensi napas menjadi 96
kali/menit dan frekuensi jantung menjadi 112 kali/menit. Peningkatan terjadi karena obat ini
bekerja meningkatkan hiperaktivitas tubuh sehingga frekuensi napas dan jantung juga
meningkat (Barker dan Levine 1928). Frekuensi nafas yang meningkat menyebabkan perut
katak menggembung karena inspirasi lebih besar dibanding ekspirasi.

Pada dosis 0.1 ml juga ditemukan efek konvulsi sehingga pemberian obat segera
dihentikan. Efek konvulsi yang ditimbulkan spontan, asimetris, dan klonis. Katak yang
mengalami konvulsi tersebut dirusak corteks cerebri untuk melihat pengaruh kerja obat
terhadap saraf pusat, namun masih menunjukkan gejala konvulsi. Lalu, perusakan juga
dilakukan pada bagian medulla oblongata dan terlihat efek konvulsi menghilang. Hal ini
menunjukkan bahwa efek cardiazol terhadap saraf pusat berada pada bagian medulla
oblongata. Dosis yang rendah cardiazol akan menimbulkan efek konvulsi, sedangkan
semakin tinggi dosis akan menyebabkan konvulsi dan kematian (McCrae 2006). Cardiazol
adalah golongan obat analeptika yang bekerja untuk menstimulasi bagian sistem saraf
tertentu, terutama pusat pernapasan dan pusat vasomotor dalam medulla oblongata. Obat ini
dapat menyebabkan terjadinya spasmus otot pada pemberian dosis tingkat tinggi
berkelanjutan. Cardiazol umumnya digunakan sebagai terapi konvulsi (Mutschler 1999).

Tabel 3. Pengamatan Efek Stimulan Cortex Cerebri (Caffein)

Menit Dosis Posisi Reflek Rasa Tonus Frekuen Frekuen Konvul


(ml) Tubuh Nyeri si napas si si
(per Jantung
menit) (per
menit)

0 0.05 Tegak + + + 84 112 -

5 0.1 Tegak + + + 72 96 -

10 0.2 Tegak + + + 72 92 +
15 0.4 Kaku - - - - - -
lurus

Keterangan:

+ : Ada respons

- : Tidak ada respons

Caffein adalah xantin yang mengandung gugus metal. Xantin merangsang susunan
saraf pusat, menimbulkan diaresis, merangsang otot jantung, dan melemaskan otot polos
terutama bronkus. Kafein merangsang miokard secara langsung. Pemberian kafein pada
dosis besar pada katak menyebabkan efek perangsangan langsung pada miokard menjadi
menonjol dengan akibat takikardia. Pemberian dengan dosis bertingkat hingga katak mati
menunjukkan toksisitas digitalis terhadap kerja jantung dalam perannya menjaga sirkulasi
darah ke seluruh tubuh.

Katak diinjeksikan dengan caffeine dan diberikan dosis yang berbeda-beda setiap 5
menit. Pada pemberian caffeine 0.05 ml, katak memiliki frekuensi nafas 84 kali/menit dan
frekuensi jantung 112 kali/menit, posisi tubuh tegap. Reflek, rasa nyeri, dan tonus otot
masih ada. Pemberian kafein dengan dosis 0.4 ml pada menit ke-30, katak tiba-tiba
mengalami konvulsi yaitu aspontan, simetris, dan klonis. Penambahan dosis caffeine
mengakibatkan frekuensi nafas dan frekuensi jantung semakin menurun, hal ini terbukti
pada pemberian dosis 0.4 ml bahwa frekuensi nafas dan frekuensi jantung katak tidak ada
lagi. Menurut Patra (2014), bahwa caffeine mempunyai efek relaksasi otot polos, terutama
otot polos bronchus dan otot jantung. Rasa nyeri pada pemberian dosis 0.4 ml sudah tidak
ada lagi karena kafein memberikan efek dengan cara menghambat aktivitas adenosine,
neurotransmitter yang memengaruhi hampir seluruh sistem dalam tubuh (Weinberg dan
Bealer 2008). Tonus otot katak sudah tidak ada lagi, secara teoritis kafein memiliki efek
terhadap otot melalui mekanisme utilitas lemak menjadi energi dan peningkatan kadar
kalsium sel otot (Nandatama 2016).

Tabel 4. Pemberian Amphetamine pada Mencit

Menit Dosis Aktivitas Refleks Salivasi Tonu Frek. Frek. Konvulsi


(ml) s otot Napas Jantung
(per (per
menit) menit)

0 0 + + - + 112 108 -

5 0.05 + + - + 120 110 -


10 0.1 + + + + 80 80 +

Keterangan:

+ : Ada respons

- : Tidak ada respons

Amfetamin merupakan stimulan saraf yang menghasilkan sifat anorektik dan


simpatomimetik (Sapnaasaraz 2018). Mencit yang belum diinjeksi amfetamin menunjukkan
aktivitas stereotipik berupa berjalan berputar-putar dan urinasi. Hal tersebut merupakan
respons wajar pada mencit ditempatkan ke tempat baru. Mencit yang diberi injeksi amfetamin
pertama kali menunjukkan peningkatan aktivitas, frekuensi napas, dan frekuensi jantung.
Peningkatan aktivitas, frekuensi napas, dan frekuensi jantung ini disebabkan oleh efek
amfetamin yang menyebabkan euforia dan peningkatan energi. Euforia yang disebabkan oleh
amfetamin meningkatkan frekuensi napas dan jantung (Triswara dan Carolia 2017).
Amfetamin menstimulasi sistem saraf pusat dan tepi untuk meningkatkan sekresi katekolamin
dan menghambat pengambilan katekolamin. Akibatnya, katekolamin menyebabkan stimulasi
jantung berlebih dan meningkatkan frekuensi jantung (Bazmi et al. 2017).

Mencit yang diinjeksi menggunakan amfetamin untuk kedua kalinya menunjukkan


ekor berbentuk S, kejang, lalu mati. Konvulsi yang ditimbulkan aspontan, simetris, dan
klonis. Hal ini ditunjukkan dengan posisi kaki katak yang simetris dan kejang tiba-tiba
timbul, tapi tidak terjadi terus-menerus serta harus diberikan rangsang terlebih dahulu.
Kejang atau bangkitan klonik merupakan kejang yang berlangsung singkat dan ditandai
dengan adanya sentakan otot secara intens (Kristianto 2017). Kejang klonik pada mencit
merupakan akibat dari lepasnya muatan listrik neuron kortikal secara berlebihan (Erjon et al.
2017). Kejang ini mengenai seluruh tubuh dan didahului oleh peningkatan tonus otot dan
diikuti oleh hentakan simetris bilateral dari ekstremitas (Satiti dan Bachri 2011). Pemberian
amfetamin berlebih dapat menyebabkan peningkatan agresivitas dan berefek fatal pada sistem
kardiovaskular sehingga dapat menyebabkan kematian (Sapnaasaraz 2018).

SIMPULAN

Striknin memberikan efek peningkatan tonus otot, kejang terus-menerus, ekstensor


kaki simetris, dan konvulsi yang aspontan. Hal ini menunjukkan bahwa target kerja obat
striknin adalah medulla spinalis. Caffein menunjukkan kaku pada otot, kejang tidak terus-
menerus, ektensor kaki simetris, dan konvulsi aspontan sehingga dapat diketahui bahwa
target kerja caffein adalah cortex cerebri. Cardiazol menunjukkan efek perut katak membesar
karena inspirasi lebih tinggi dari respirasi, kaku otot, tonus otot meningkat, kejang tidak
terus-menerus, ektensor ekstrimitas asimetris, dan konvulsi terjadi secara spontan. Efek yang
ditimbulkan menunjukkan bahwa cardiazol bekerja pada medulla oblongata. Amfetamin
menunjukkan kejang yang terjadi tidak terus-menerus, konvulsi aspontan, dan ekstensor
ekstrimitas simetris sehingga dapat diketahui bahwa target kerja amfetamin adalah cortex
cerebri.

DAFTAR PUSTAKA

Bazmi E, Mousavi F, Giahchin L, Mokhtari T, Behnoush B. 2017. Cardiovascular


complication of acute amphetamine abuse. Sultan Qaboos University Medical
Journal. 17(1): 31-37.

Barker MH, Levine SA. 1928. Cardiazol some experimental effects of this drug on the
cardiorespiratory mechanism. Arch Intern Med (Chic). 42(1):14-22.

Erjon, Zizba GO, Meisyayati S. 2017. Standarisasi efek antikonvulsi ekstrak etanol daun ubi
jalar pada mencit putih jantan. Jurnal Penelitian Farmasi Indonesia. 5(2): 48-54.

Febrinasari N, Wijayanti R, Apriadi A. 2016. Uji stimulansia ekstrak kulit umbi bawang
putih (Allium sativum L.) pada mencit galur swiss. Jurnal Farmasi Sains dan Praktis.
1(2): 42-49.

Ganiswara SG. 1995. Farmakologi dan Terapi. Jakarta (ID): FK Universitas Indonesia.

Gunawan SG. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta (ID): FK Universitas Indonesia.

Hayati. 2012. Penggunaan kafein dalam dunia olahraga dan efeknya sebagai ergogenic.
Jurnal Wahana. 58(1): 1-7.

Kristianto A. 2017. Epilepsi bangkitan umum tonik-klonik di UGD RSUP Sanglah Denpasar-
Bali. Intisari Sains Medis. 8(1): 69-73.

McCrae N. 2006. A violent thunderstorm: cardiazol treatment in British Mental Hospitals.


History of Psychiatry. 17(1): 67-90.

Mutschler. 1999. Dinamika Obat Farmakologi dan Toksikologi. Bandung (ID): Institut
Teknologi Bandung.

Mycek, Mary J. 2013. Farmakologi Ulasan Bergambar. Jakarta (ID): Widya Medika.

Nandatama SR. 2016. Pengaruh minuman kopi (coffea) terhadap kekuatan otot dan ketahanan
otot pada atlet sepak bola usia remaja di SSB Persisac Kota Semarang [skripsi].
Semarang (ID): Universitas Muhammadiyah Semarang.

Patra K. 2014. ISO Indonesia. Jakarta (ID): IAI.


Sapnaasaraz. 2018. Deteksi hasil positif palsu dalam sampel urin menggunakan rapid strip
test pasca penggunaan obat anti flu berisi dekongestan pada mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara [skripsi]. Medan (ID): Universitas Sumatera
Utara.

Satiti AG, Bachri MS. 2011. Efek antikonvulsan serbuk herba pegagan (Centella asiatica (L.)
Urban) terhadap mencit jantan yang diinduksi pentylenetetrazole. Di dalam:
Nukhasanah, Wahyuningsih I, Utami D, Hariyono W, Rustiawan A, editor. Home
Care untuk Meningkatkan Kualitas Pelayanan Kesehatan; 2011 Jun 30; Yogyakarta.
Yogyakarta (ID): Universitas Ahmad Dahlan Press. hlm 17-22.

Sunaryo. 1995. Perangsang Susunan Saraf Pusat, dalam Farmakologi Dan Terapi Edisi
Keempat. Jakarta (ID): Universitas Indonesia Press.

Tjay TH, Rahardja K. 2007. Obat-Obat Penting Edisi 5. Jakarta (ID): Gramedia.

Triswara R, Carolia N. 2017. Gangguan fungsi kognitif akibat penyalahgunaan amfetamin.


Jurnal Majority. 7(1): 49- 51.

Weinberg BA, Bealer BK. 2001. The World of Caffeine. New York (NY): Routledge.

Anda mungkin juga menyukai