Anda di halaman 1dari 13

Hari/Tanggal Praktikum : Rabu, 24 Februari 2021

Paralel/kelompok : 5/3

Dosen Praktikum : Dr. drh. Huda Shalahudin


Darusman, M.Si, PhD.

Laporan Praktikum Farmakologi III


Daya kerja obat-obat depresan sistem saraf pusat dan anestesi perinjeksi

Putri Azzahrah B04180103


Ahmad Imam Syamil B04180112
Intan Melayanti B04180117
Siti Nihmatul Nasruroh B04180119
Reinhart Kurniawan B04180122
Agung Febryanto B04180125

DEPARTEMEN ANATOMI FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2021
Obat Depresan Sistem saraf Pusat dan Anestesi Perinjeksi

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Obat depresan merupakan obat yang menekan sistem tubuh. Dewasa ini obat-
obatan jenis depresan untuk sistem saraf pusat banyak dipakai menjadi obat bius
untuk keperluan klinis dan juga operasi. Obat-obatan depresan SSP bekerja dengan
melalui beberapa tahapan.
Untuk mengamati tahapan dari obat-obatan depresan SSP, obat tersebut dapat
diberikan pada hewan coba. Pengaplikasian obat dapat dilakukan dengan injeksi
parenteral, yaitu dengan subkutan pada tikus dan intraperitoneal pada katak.
Dengan dosis bertingkat, kita dapat mengamati perubahan-perubahan yang terjadi
pada tubuh hewan setelah diberikan obat depresan SSP.

Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui daya kerja obat-obatan depresan
SSP, yang bersifat analgesik kuat, relaksan kuat maupun anastetikum kuat melalui
gejala klinis yang ditimbulkan serta menentukan onset kerja anastetik ketamin pada
dosis yang sma tapi diberikan dengan rute injeksi yang berbeda berdasarkan
parameter mulai munculnya efek anestesi dan egek yang muncul bila
dikombinasikan dengan xylazine.

Tinjauan Pustaka
Depresan adalah senyawa yang dapat mendepre/menekan sistem tubuh.
Depresan SSP berarti senyawa yang dapat mendepres atau menurunkan aktivitas
fungsi SSP. Obat ini bekerja dengan menekan pusat kesadaran, rasa nyeri, denyut
jantung, dan pernapasan. Depresensia terbagi atas golongan obat sedative,
hipnotika, dan anastetik umum. Pada dosis terapeutik berfungsi sebagai
anastetikum yang menyebabkan hilangnya rasa nyeri dan mucle relexan (Kirtishanti
dan Kesuma 2012).
Anestesi lokal adalah hilangnya rasa sakit tanpa disertai hilang kesadaran dan
anestesi umum yaitu hilangnya rasa sakit disertai hilang kesadaran. Tindakan
anestesi digunakan untuk mempermudah tindakan operasi maupun memberikan
rasa nyaman pada pasien selama operasi (Esrawati 2006). Anestesi umum
menyebabkan amnesia yang bersifat reversibel dan dapat diprediksi. Tiga pilar
anestesi umum atau yang disebut trias anestesi meliputi hipnotik atau sedativa, yaitu
membuat pasien tertidur atau mengantuk/tenang, analgesia atau tidak merasakan
sakit, dan relaksasi otot yaitu kelumpuhan otot skelet. anestesi umum suatu keadaan
tidak sadar yang bersifat sementara yang diikuti oleh hilangnya rasa nyeri di seluruh
tubuh akibat pemberian obat anestesia. General anestesi sebagai tindakan
menghilangkan rasa sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran (reversible)
yang menyebabkan mati rasa karena obat masuk ke jaringan otak dengan tekanan
setempat yang tinggi. General anestesi sesuai sediaan obat dibagi menjadi 3 jenis
yaitu anestesi inhalasi, anestesi intravena dan anestesi imbang (Hanifa 2019).
Menurut Siswandono dan Soekardjo (1995), anestetikum dibagi dalam dua
kelompok besar yaitu anastetikum umum dan anastetikum regional. Anastetikum
umum menurut cara pemberiannya dibagi atas dua, yaitu anastetikum inhalasi dan
anastetikum parenteral (per injeksi). Anestesi parenteral dapat dilakukan secara
intravena dan intramuscular. Senyawa yang termasuk kedalam anestetikum per
injeksi adalah senyawa-senyawa yang dapat menimbulkan efek anestesi dan
diberikan melalui suntikan. Pemberian secara intramuscular diperlukan dosis yang
besar dan waktu sadar yang lebih lama. Pemberian anestesi per injeksi akan
menekan fungsi saraf sehingga menyebabkan penurunan fungsi fisiologis. efek
samping dari anestesi ini mendepres sistem pernafasan, aritmia jantung, hipotensi,
spasmus pada bronkhus dan laring, mual dan rasa pusing setelah operasi. termasuk
dalam anestesi per injeksi diantaranya adalah turunan barbiturat termetilasi pada N,
thiopental, dan turunan sikloheksanon (ketamin).
Kloralhidrat merupakan zat yang digunakan sebagai sedativa atau juga
sebagai anestetikum. Kloralhidrat sangat tidak dianjurkan untuk digunakan sendiri
sebagai obat eutanasi. Injeksi kloralhidrat secara intravena dapat menyebabkan
narkosis dan hilangnya kesadaran. Kloralhidrat akan bekerja lebih efektif apabila
dikombinasikan dengan barbiturat. Ataxia, inkoordinasi, dan delirium dapat terjadi
sebelum hewan yang diberikan kloralhidrat tumbang. Kloralhidrat adalah agen
sedativa-hipnotik yang banyak digunakan untuk tujuan terapeutik. Kloralhidrat
digunakan sebagai antikonvulsan, sedative umum, dan anestesi. Sebagai
anestetikum, kloralhidrat dapat menekan aktivitas otak, respirasi, pusat vasomotor,
menyebabkan relaksasi otot,dan menimbulkan efek analgesik. Frekuensi jantung
tetap berada pada rentang normal. Kematian mendadak setelah administrasi
kloralhidrat dapat terjadi akibat hipotensi atau aritmia ventrikuler (Muir dan
Hubbell 2009).
Magnesium sulfat atau MgSO4 adalah obat yang sering digunakan untuk
merawat dan mencegah tekanan darah rendah dan kejang. Fungsi MgSO4 sebagai
obat kejang ini terkait dengan kemampuan obat untuk mengurangi kejang dengan
mengurangi impuls tertentu dalam tubuh. Penggunaan MgSO4 sebagai
neuromuscular blocking agent. Zat ini dapat dipakai sebagai anestetik, karena tidak
menekan SSP. Pada pemakaian zat ini, harus didahului dengan pembagian
barbiturat untuk menimbulkan ketidak-sadaran. Pemberian secara cepat dengan
dosis yang cukup besar akan menyebabkan dengan segera terjadinya henti jantung
(cardiac arrest).Aplikasinya hanya dapat dilakukan secara intravena, pemberian
intraperitonial merupakan kontraindikasi (Widyaningroem 1992).
Pentothal / thiopenthal sodium / penthio barbital / thiopenton adalah obat
anestesi golongan barbiturat. Memiliki rumus kimia 5ethyl-5 (1-methyl buthyl)-2-
2 thiobarbiturat. Pentothal merupakan yang paling umum digunakan, dengan dosis
3-5 mg/kg BB.3 Digunakan untuk induksi anestesi, sering dikombinasi dengan
anestesi inhalasi, disarankan digunakan untuk anestesi pada cedera kepala,
pengelolaan kejang dan terapi pada peningkatan tekanan intra kranial. Pada sistem
kardiovaskuler, obat ini menimbulkan depresi otot jantung, vasodilatasi perifer dan
turunnya curah jantung. Dalam dosis tinggi menyebabkan penurunan darah arteri,
volume sekuncup, dan curah jantung yang efeknya bergantung pada dosis. Ini
terutama disebabkan oleh efek depresinya terhadap miokardium dan meningkatkan
kapasitas vena dengan meningkatkan perubahan periferal total. Pada sistem
respirasi, pentothal juga merupakan depresan pernafasan yang potensial, yang dapat
menurunkan kepekaan pusat nafas di medula terhadap karbondioksida.
Metabolisme serebral dan penggunaan oksigen menurun setelah pemberian
pentothal sesuai proporsi derajat depresi serebral. Aliran darah serebral juga
menurun setelah induksi, tetapi jauh lebih sedikit dibanding penurunan konsumsi
oksigen. Hal ini membuat pentothal lebih disukai sebagai anestetika pada pasien
dengan oedem serebral karena volume darah dan tekanan intra kranial tidak
meningkat (Erhan et al 2003).

Alat dan Bahan


Alat yang digunakan adalah syringe 1 ml, timbangan, stopwatch, kotak
tertutup, papan fiksasi, lap, dan toples katak. Bahan yang digunakan adalah
Pentothal 2%, MgSO4, Kloralhidrat, Ket-A-100® (mengandung ketamin konsentrasi
100 mg/mL), Xyla® (mengandung Xylazine konsentrasi 20 mg/mL), seekor mencit,
empat ekor tikus (Rattus norvegicus), dan dua ekor katak (Fejervarya cancrivora).

Metode
a. Mencit yang diinjeksi dengan pentothal
Mencit ditempatkan dalam sebuah kotak tertutup. Kemudian berat badan
mencit ditimbang untuk menentukan dosis pentothal yang akan diinjeksikan.
Pemeriksaan fisik diamati sebelum mencit diinjeksi pentothal dengan parameter
aktivitas tubuh, keseimbangan, dan reflek yang muncul ketika diberikan cubitan
pada ekstremitas. Mencit diinjeksi pentothal dengan konsentrasi sebesar 10 mg/ml
pada menit ke 0. Selanjutnya mencit diinjeksi dengan cara yang sama seperti
sebelumnya pada selang waktu setiap 10 menit dan dosis yang bertingkat dengan
kenaikan dosis 10 mg/ml setiap injeksi

b. Katak yang diinjeksi dengan chloralhidrat


Menimbang dua ekor katak untuk menghitung dosis masing-masing senyawa
yang akan diberikan. memeriksan status fisiologi katak terlebih dahulu, berupa
kesadaran, rasa nyeri, pernapasan, frekuensi napas, frekuensi jantung dan tonus
otot. Kemudian menyuntikan MgSO4 pada salah satu katak, katak kedua disuntik
kloralhidrat masing-masing 0,05 mL sebagai dosis awal. Setelah 10 menit,
mengamati perubahan yang terjadi pada katak dan menyuntik kembali dengan dosis
bertingkat, mengulangi sampai katak mati.

c. Anestesi Perinjeksi
Menimbang berat badan tikus dan memberi penomoran di ekornya. Setelah itu,
melakukan penimbangan bobot tikus, lalu melakukan penghitungan dosis ketamin yang
diberikan. Kemudian, menginjeksikan tikus 1 dengan ketamine rute IP (intraperitoneal),
tikus 2 dengan ketamine rute IM (intramuskular), tikus 3 dengan ketamine rute IV
(intravena), dan tikus 4 ketamine dan xylazine rute IP (intraperitoneal). Setelah itu,
mengamati gelaja yang muncul setelah diberikan injeksi anestesi.

Hasil dan Pembahasan

A. Obat Depresan Sistem saraf Pusat

Tabel 1. Efek pemberian pentothal kepada mencit


Menit Dosis Aktivitas Reflek Salivasi/ Tonus Frek. Frek. Konvulsi
(mL) tubuh defekasi/ otot napas jantung
urinasi (kali/ (kali
menit) /menit)

0 0,05 Gerak aktif ++++ - ++++ 152 317 -

10 0,1 Gerak mulai ++++ Defekasi +++ 184 320 -


pasif

20 0,2 Diam dengan +++ Defekasi +++ 148 360 -


kumis
bergerak -
gerak

30 0,4 - ++ Defekasi + 140 244 -

40 0,8 - ++ - + 92 160 -

50 1,6 - - - - 90 148 -

60 3,2 - - - - 85 121 -

70 6,4 - - - - 76 96 -

Keterangan:
+++ = Gerakan terlihat jelas
++ = Gerakan mulai melambat
+ = Gerakan sangatlambat
− = Tidak ada gerakan yang muncul

Perhitungan:

Menghitung dosis pentothal yang diberikan pada mencit dengan rute


intraperitoneum menggunakan rumus sebagai berikut
𝑚𝑔
𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑘𝑔) 𝑥 𝐷𝑜𝑠𝑖𝑠 𝑜𝑏𝑎𝑡 ( )
𝑘𝑔
Volume yang diberikan (ml) = 𝑚𝑔
𝐾𝑜𝑛𝑠𝑒𝑛𝑡𝑟𝑎𝑠𝑖 𝑜𝑏𝑎𝑡 ( )
𝑚𝑙

𝑚𝑔 Volume yang diberikan (ml) x Konsentrasi obat (mg/ml)


Dosis obat ( )=
𝑘𝑔 𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑏𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑘𝑔)

Contoh perhitungan pada injeksi 1


Diketahui:
Volume yang diberikan = 0,05 ml
Berat badan = 226 gram = 0,226 kg

0,05 ml x 10 mg/ml
Dosis obat (mg/kg) =
0,226 𝑘𝑔
= 2,212 mg/kg
Injeksi selanjutnya menggunakan rumus yang sama seperti contoh perhitungan
diatas namun volume yang diberikan dan konsentrasinya pun semakin meningkat

Pembahasan :

Pentothal / thiopenthal sodium / penthio barbital / thiopenton adalah obat


anestesi golongan barbiturat. Memiliki rumus kimia 5ethyl-5(1-methyl buthyl)-2- 2
thiobarbiturat. Pentothal merupakan yang paling umum digunakan, dengan dosis 3-
5 mg/kg BB.3 Digunakan untuk induksi anestesi, sering dikombinasi dengan
anestesi inhalasi. Pentothal berdifusi dengan cepat keluar dari otak dan jaringan-
jaringan lain yang mendapat aliran darah banyak dan selanjutnya mengalami
redistribusi menuju otot, lemak dan akhirnya menuju ke seluruh jaringan tubuh.
Oleh karena perpindahannya yang cepat dari jaringan otak, maka satu dosis
pentothal lama kerjanya sangat pendek. Pentothal maksimal sampai di otak dalam
30 detik (rapid effect site equilibration), merupakan onset yang cepat dari depresi
SSP. Otak menerima sekitar 10% dari dosis total tiopental pada 30-40 detik
pertama. Pentothal merupakan hipnotik sedatif golongan ultra short. Pentothal
menghasilkan efek hipnotik sedatif karena interaksinya dengan penghambat
neurotransmiter Gamma Aminobutiryc Acid (GABA) pada susunan saraf pusat
(SSP) (Maulida 2012).
Pentothal diinjeksikan dengan rute intraperitoneum pada tikus dengan berat
badan sebesar 226 gram. Injeksi pertama waktu 0 menit dosis 0,05 ml keadaan
mencit tergolong normal dengan kondisi aktivitas tubuh yang bergerak aktif, reflek
dan tonus otot kuat, frekuensi napas sebesar 152 kali/ menit, dan frekuensi jantung
317 kali/menit. Menurut MGI (2014), frekuensi nafas normal mencit antara 94-163
napas per menit. Injeksi kedua dengan menit ke 10 dosis sebesar 0,1 ml hasil yang
didapat yaitu aktivitas tubuh mulai menurun (pasif) namun terjadi peningkatan
frekuensi napas dan denyut jantung sebesar 184 kali/menit dan 320 kali/menit,
selain itu mencit juga mengalami defekasi. Injeksi ketiga pada menit ke 20 dosis
sebesar 0,2 ml didapat hasil secara keseluruhan masih terjadi peningkatan frekuensi
denyut jantung namun untuk frekuensi napas berkurang, defekasi pun masih terjadi
diinjeksi ketiga ini, reflek semakin melemah, dan aktivitas tubuh semakin menurun
ditandai dengan mencit yang bergerak sangat pasif bahkan cenderung diam. Injeksi
keempat pada menit ke 30 dosis sebesar 0,4 ml terjadi penurunan drastis pada
frekuensi napas dan frekuensi denyut jantung yaitu diperoleh sebesar 140 kali/menit
dan 244 kali/menit, aktivitas tubuh tidak ada, tonus otot semakin lemah, dan reflek
pun semakin melemah. Fase ini mencit sudah mulai teranestesi. Injeksi selanjutnya
dilakukan dengan selang waktu setiap 10 menit dan dosis yang diberikan semakin
meningkat, hasil yang diperoleh yaitu secara keseluruhan mengalami penurunan
khusus nya frekuensi napas yang menurun secara signifikan. Menurut Soenarjo
(2010), efek pentothal pada sistem respirasi merupakan depresan pernapasan yang
potensial, dapat menurunkan kepekaan pusat napas di medula terhadap
karbondioksida.

Tabel 2. Efek pemberian MgSO4 pada katak

Waktu Dosis Dosis obat Nyeri Kesadaran Reflex Tonus otot Frekuensi Frekuensi Konvulsi
(menit ke-) (ml) (ml) napas (kali jantung (kali
/menit) /menit)

0 0 0 +++ +++ +++ +++ Tidak Tidak -


diperiksa diperiksa

10 0,05 +++ +++ +++ +++ Tidak Tidak -


diperiksa diperiksa

20 0,10 ++ ++ ++ ++ Tidak Tidak -


diperiksa diperiksa

30 0,20 + − + + 72 64 -

40 0,40 − − − − 20 28 -

50 0,80 − − − − − 4 -

Keterangan
+++ = Gerakan terlihat jelas
++ = Gerakan mulai melambat
+ = Gerakan sangatlambat
− = Tidak ada gerakan yang muncul
Menentukan dosis menggunakan perhitungan sebagai berikut:
mg
Berat Badan (kg) × Dosis Obat ( )
kg
Volume =
Konsentrasi (mg/ml)

Volume × Konsentrasi (mg/ml)


Dosis =
Berat Badan (kg)
0,05 (ml) × 10 (mg/ml)
Dosis 1 = = 15,625 (mg/kg)
0,032 (kg)
0,10 (ml) × 20 (mg/ml)
Dosis 2 = = 62,500 (mg/kg)
0,032 (kg)
0,20 (ml) × 30 (mg/ml)
Dosis 3 = = 187,500 (mg/kg)
0,032 (kg)
0,40 (ml) × 40 (mg/ml)
Dosis 4 = = 500,000 (mg/kg)
0,032 (kg)
0,80 (ml) × 50 (mg/ml)
Dosis 5 = = 1250,000 (mg/kg)
0,032 (kg)

Pembahasan :

Hasil praktikum terhadap pemberian magnesium sulfat (MgSO4)


menyatakan bahwa semakin tinggi dosis obat yang diberikan maka semakin rendah
respon yang diberikan oleh katak. Pada respon nyeri, reflex, dan tonus otot sudah
hilang pada waktu ke- 40 menit dengan dosis obat 500,000 mg/kg, sedangkan
kesadaran hilang lebih dahulu pada menit ke-30 dengan dosis obat 187,500 mg/kg.
Begitu pula dengan frekuensi napas dan frekuensi jantung, semakin tinggi dosis
obat yang diberikan frekuensi napas dan jantung menjadi semakin rendah.
Frekuensi napas hilang lebih dahulu dibandingkan dengan frekuensi jantung ada
pada menit ke- 50.
Respon nyeri, refleks, dan tonus otot dapat hilang pada menit ke- 40
dikarenakan MgSO4 memiliki efek vasodilatasi dan relaksasi otot polos pembuluh
darah yang dimiliki, yang disebabkan oleh peningkatan sintesis prostasiklin.
Mekanisme vasodilatasi dan relaksasi terjadi karena magnesium bekerja sebagai
kompetitif inhibitor gerbang IP3 pada kanal kalsium dan mencegah ikatan IP3
dengan reseptornya. Karena itu magnesium adalah antagonis kalsium di tingkat
seluler pada kanal IP3 (Liza et al 2016).Magnesium pada otak terikat pada chelator
seperti adenosine triphosphate (ATP) dan berkontribusi terhadap glikolisis dan
produksi ATP dan berfungsi sebagai stabilisator membran sel. Pada sistem saraf
pusat, magnesium adalah pemblokir non-kompetitif dari N-metil reseptor d-
aspartate (NMDA) glutamat dan memodulasi arus kalsiumarus. penghambat
saluran kalsium dan modulator arus natrium dan kalium melalui aksinya pada
pompa ion. Magnesium juga memiliki peran sentral dalam fungsi jantung, kontraksi
otot, tonus pembuluh darah, dan konduksi impuls saraf sehingga kesadaran katak
berangsur-angsur menghilang (Amalia 2020).
Konvulsi tidak terjadi pada katak dikarenakan MgSO4 sulfat merupakan
antikonvulsan. Sifat pengurangan resistensi perifer dari MgSO4 diketahui sebagai
salah satu mekanisme antikonvulsan MgSO4. Sifat ini yang menangkal vasospasme
yang diinduksi oleh zat vasokonstriktor, dan dapat bekerja pada sebagian besar
jenissaluran kalsium di otot polos pembuluh darah sehingga diharapkan dapat
menurunkan kalsium intraseluler. Kalsium intrasel uler yang rendah akan
mengakibatkan aktivitas miosin rantai ringan kinase menjadi inaktif dan terjadi
penurunan kontraksi, menyebabkan relaksasi arteri dan selanjutnya dapat
menurunkan resistensi pembuluh darah otak dan perifer, menghilangkan
vasospasme, dan menurunkan tekanan darah arteri (Amalia 2020).

Tabel 3. Efek pemberian injeksi Kloralhidrat pada katak

Waktu Dosis Dosis Nyeri Kesadaran Reflex Tonus Frekuensi Frekuensi Konvulsi
(menit (ml) obat otot napas (kali/ jantung (kali
ke-) (ml) menit) /menit)

0 0 0 +++ +++ +++ +++ Tidak Tidak −


diperiksa diperiksa

10 0,05 15,625 +++ +++ +++ +++ Tidak Tidak −


diperiksa diperiksa

20 0,10 31,25 +++ ++ ++ +++ 78 108 −

30 0,20 62,5 ++ ++ + +++ 50 108 −

40 0,40 125 ++ + + ++ 24 108 −

50 0,80 250 + − − − 20 Tidak −


diperiksa

60 1,60 500 − − − − − Tidak teraba −

Keterangan: +++ = Gerakan terlihat jelas


++ = Gerakan mulai melambat
+ = Gerakan sangat lambat
− = Tidak ada gerakan yang muncul

Perhitungan :

Menentukandosismenggunakanperhitungan sebagai berikut:


mg
Berat Badan (kg) × Dosis Obat ( )
kg
Volume =
Konsentrasi (mg/ml)

Volume × Konsentrasi (mg/ml)


Dosis =
Berat Badan (kg)

0,05 (ml) × 10 (mg/ml)


Dosis 1 = = 15,625 (mg/kg)
0,034 (kg)
0,10 (ml) × 10 (mg/ml)
Dosis 2 = = 31,250 (mg/kg)
0,034 (kg)
0,20 (ml) × 10 (mg/ml)
Dosis 3 = = 62,500 (mg/kg)
0,034 (kg)
0,40 (ml) × 10 (mg/ml)
Dosis 4 = = 125,000 (mg/kg)
0,034 (kg)
0,80 (ml) × 10 (mg/ml)
Dosis 5 = = 250,000 (mg/kg)
0,034 (kg)
1,60 (ml) × 10 (mg/ml)
Dosis 6 = = 500,000 (mg/kg)
0,034 (kg)

Pembahasan :
Kloralhidrat merupakan derivat dari monohidrat dari kloral dan merupakan
hipnotik yang efektik. Metabolitnya, trikloroetanol juga merupakan hipnotik yang
efektif. Kloral sendiri berupa minyak sedangkan hidratnya merupakan kristal yang
menguap secara lambat di udara dan larut dalam minyak, air dan alkohol. kloral
hidrat mempunyai efek samping mengiritasi kulit dan mukosa membran. Efek
iritasi ini menimbulkan rasa tidak enak, nyeri epigantrik, mual dan kadang-kadang
muntah. Efek samping pada SSP meliputi pusing, lesu, ataksia dan mimpi buruk.
Keracunan akut obat ini dapat menyebabkan ikterus. Penghentian mendadak dari
penggunaan kronik dapat mengakibatkan delirium dan bangkitan secara fatal
(Nugraha 2011). Kloralhidrat dipakai untuk memulai tidur dan mengurangi efek
terbangun, menekan tidur REM, lebih sedikit terjadi hangover serta meminimalisir
terjadinya depresi pernapasan daripada sedative-hipnotik lainnya (Indijah dan Fajri
2016)
Hasil praktikum menunjukkan pemberian dosis kloralhidrat pada tingkat
nyeri dan kesadaran, semakin tinggi dosis kloralhidrat yang diberikan maka
semakin rendah respon yang diberikan oleh katak. Respon nyeri hilang seutuhnya
pada pemberian dosis obat 500 mg/kg, hal ini berbeda dengan respon kesadaran,
reflex dan tonus otot yang menunjukkan hilangnya respon tersebut pada pemberian
dosis obat 250 mg/kg. Sebagai anestetikum, kloralhidrat dapat menekan aktivitas
otak, respirasi, pusat vasomotor, menyebabkan relaksasi otot,dan menimbulkan
efek analgesik (Muir dan Hubbel 2009). Frekuesi napas melemah seiring
penambahan dosis kloralhidrat, namun berbeda dengan frekuensi jantung, pada
hasil perhitungan frekuensi jantung, denyutnya tidak melemah seiring penambahan
dosis kloralhidrat. Menurut Muir dan Hubbel (2009), frekuensi jantung tetap berada
pada rentang normal, Sehingga pada umumnya sediaan anestesi kloralhidrat
dikontraindikasikan pada pasien dengan kerusakan ginjal, hepar, penyakit jantung,
dan gastritis (Deliana 2002).
B. Anestesi Perinjeksi
Berat badan tikus ke-satu 210 g dengan volume pemberian 0.16 ml melalui
rute IP. Dosis yang digunakan adalah 76 mg/kg. Berat badan tikus kedua 218 g
dengan volume pemberian 0.17 mL ketamin melalui rute IM. Dosis yang digunakan
adalah 78 mg/kg. Berat badan tikus ketiga 250g dengan volume pemberian 0.2 mL
ketamin melalui rute IV. Dosis yang digunakan adalah 80 mg/kg. Menurut Plumb
(2011), mengatakan bahwa dosis pemberian ketamine pada tikus sekitar 50-100
mg/kg melalui rute IP/IM, sedangkan melalui rute IV sebanyak 40-50 mg/kg.
Berdasarkan hasil perhitungan dosis ketamine melalui IP dan IM sudah sesuai
sehingga tikus tidak mengalami overdosis. Sedangkan pemberian ketamin melalui
rute IV melebihi dosis yang telah ditentukan sehingga menyebabkan tikus mati.
Pemberian anestesi rute IP dilakukan dengan posisi kepala lebih rendah dari
abdomen, disuntik dari sudut abdomen pada daerah sedikit lebih tepi dari garis
tengah agar tidak mengenai kantong kemih. Penyuntikan tidak dilakukan terlalu
tinggi agar tidak mengenai hati. Pemberian anestesi rute IM disuntikan di daerah
paha posterior (Stevani 2016). Berdasarkan hasil praktikum menunjukan pemberian
anestesi melalui rute IP lebih lebih cepat mencapai stadium III daripada rute IM.
Namun menurut Plumb (2011), dosis pemberian anestesi ketamine rute IP dan IM
sama yaitu 50-100 mg/kg. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi
anestesi tikus seperti keadaan fisiologis, berat badan, umur, dan lain-lain.
Volume anestesi yang diberikan pada tikus ke-4 adalah ketamine 0.18 mL
dan xylazine 0.11 ml melalui rute IP menunjukan lebih cepat bereaksi dibandingkan
menggunakan ketamin saja. Pemberian anestesi kombinasi ketamine + xylazine
hanya memerlukan waktu 2,4 menit sudah mencapai stadium III sehingga proses
pembedahan dapat mulai dilakukan. Memberikan anestesi melalui rute IV lebih
baik menggunakan kombinasi antara ketamin dan xylazine. Kombinasi ketamine
dan xylazine merupakan kombinasi yang saling melengkapi antara efek analgesik
dan relaksasi otot.Penggunaan xylazine dapat mengurangi sekresi saliva dan
peningkatan tekanan darah yang diakibatkan oleh penggunaan ketamin (Warren
1983).
Penggunaan kombinasi ketamin dan xylazine sebagai anestesi umum juga
mempunyai banyak keuntungan, antara lain : mudah dalam pemberian, ekonomis,
induksinya cepat begitu pula dengan pemulihannya, mempunyai pengaruh relaksasi
yang baik dan jarang menimbulkan komplikasi klinis (Benson et al 1985). Ketamin
memberikan efek analgesic yang bekerja kuat pada sistem saraf pusat melalui saraf
simpatomimetik dan parasimpatolitik. Ketamin merangsang proses metabolisme
kerja kardiovaskular, salivasi, meningkatkan suhu tubuh, detak jantung, dan
tekanan arteri (Ramsey 2008). Sedangkan xylazine menyebabkan relaksasi otot
yang baik (Yudaniayanti et al 2010).
SIMPULAN
Pemberian pentothal pada mencit mengakibatkan peningkatan frekuensi
pernafasan dan denyut jantung pada dosis 0,1 mL, dan penurunan aktivitas tubuh
pada pemberian dosis 0,4ml, dan pemberian dosis 0,8 mL dan seterusnya terjadi
penurunan frekuensi nafas dan denyut jantung. Pada pemberian MgSO4 dosis 0,8
mL katak mengalami penurnan drastis pada denyut jantung dan hilangnya
pernapasan. Pemberian kloralhidrat pada dosis 0,2 mL dan seterusnya
mengakibatkan katak mengalami penurunan frekuensi nafas. Sehingga, dapat
disimpulkan bahwa obat-obatan tersebut dapat menekan fungsi sistem saraf pusat.

DAFTAR PUSTAKA

[MGI] Mouse Genom Informatics. 2014. Mouse Facts - Mouse Physiology


[internet]. [diunduh 2021 Februari 27]. Tersedia pada
http://www.informatics.jax.org/mgihome/mouse_facts1.shtml.
Amalia FF. 2020 Pengaruh penggunaan mgso4 sebagai terapi pencegahan kejang
pada preeklampsia. Jurnal Ilmu Kedokteran dan Kesehatan. 7(1): 393-
400.
Benson GJ, Thurmon JC, Tranquilli WJ, Smith CW. 1985. Cardiopulmonary effects
of an intravenous infusion of quaifenesin, ketamine, and xylazine in dog.
American Journal of Veterinary Research.46 (9) : 1896-1898.
Deliana M. 2002. Tata laksana kejang demam pada anak. Sari Pediatri. 4(2): 59-62
Erhan E, Gunusen I, Ugur G. 2003. Propofol-not thiopental or etomidate-with
remifentanil provides adequate intubating conditions in the absence of
neuromuscular blockade. Canadian Journal of Anesthesia. 50(2): 108-
115.
Esrawati M. 2006. Pengaruh anestesi per-injeksi dan anestesi per-inhalasi terhadap
nilai saturasi oksigen dan nilai fisiologis lainnya pada kucing lokal (Felis
domestica) selama enterotomi [Skripsi]. Bogor (ID): IPB University.
Hanifa A. 2019. Hubungan hipotermi dengan waktu pulih sadar pasca general
anestesi di ruang pemulihan rsud wates. [Skripsi]. Yogyakarta (ID):
Politeknik Kesehatan Yogyakarta.
Indijah SW, Fajri P. 2016. Modul Bahan Ajar Cetak Farmasi - Farmakologi.
Jakarta (ID): Pusdik SDM Kesehatan.
Kirtishanti A, Kesuma D. 2012. Identifikasi efek depresan SSP (Susunan Saraf
Pusat), antikejang dan neurotoksisitas senyawa 4-klorobenzoiltiourea pada
mencit putih jantan. Jurnal Ilmiah Sains dan Teknologi 2(1):1-70.
Liza H, Uyun Y, Rahardjo S. 016. Uji banding respon tekanan darah dan laju
jantung pada intubasi endotrakeal antara premedikasi mgso4 30 mg/kgbb
intravena dengan fentanil 1 µg/kgbb intravena. Jurnal Komplikasi
Anestesi. 4(1): 17-25.
Maulida F. 2012. Perbedaan pengaruh pemberian propofol dan pentothal terhadap
kadar procalcitonin pada operasi mastektomi. [Skripsi]. Semarang (ID):
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Muir WW, Hubbell JAE. 2009. Equine Anesthesia: Monitoring and Emergency
Therapy. Missouri (US): Saunders Elsevier.
Nugraha L. 2011. Ansiolitik/sedative - hipnotika [Skripsi]. Semarang (ID):
Akademi Farmasi Theresiana.
Plumb DC. 2011. Veterinary Drug Handbook 7th Edition. Wisconsin (US):
PharmaVet Inc.
Ramsey I. 2008. Small Animal Formulary. Sixth Edition. England (UK): British
Small Animal Veterinary Association.
Siswandono, Soekardjo B. 1995. Kimia Medisinal. Surabaya (ID):
Airlangga University Press.
Soenarjo H. 2010. Anestesiologi (Bagian Anestesiologi dan Terapi). Semarang
(ID): Universitas Diponegoro Press.
Stevani H. 2016. Praktikum Farmakologi. Jakarta (ID): Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia.
Warren RG. 1983. Small Animal Anaesthesia. Canada (USA): Mosby Co.
Widyaningroem I. 1992. Euthanasia Hewan Percobaan. Media Lingbangkes. 11(1):
3-5.
Yudaniayanti IS, Maulana E, Ma'ruf A. 2010. Profil penggunaan kombinasi
ketamin-xylazine dan ketamin-midazolam sebagai anestesi umum
terhadap gambaran fisiologis Tubuh pada kelinci jantan. Veterinaria
Medika. 3(1): 23-30.

Anda mungkin juga menyukai