Paralel/kelompok : 5/3
2021
Obat Depresan Sistem saraf Pusat dan Anestesi Perinjeksi
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Obat depresan merupakan obat yang menekan sistem tubuh. Dewasa ini obat-
obatan jenis depresan untuk sistem saraf pusat banyak dipakai menjadi obat bius
untuk keperluan klinis dan juga operasi. Obat-obatan depresan SSP bekerja dengan
melalui beberapa tahapan.
Untuk mengamati tahapan dari obat-obatan depresan SSP, obat tersebut dapat
diberikan pada hewan coba. Pengaplikasian obat dapat dilakukan dengan injeksi
parenteral, yaitu dengan subkutan pada tikus dan intraperitoneal pada katak.
Dengan dosis bertingkat, kita dapat mengamati perubahan-perubahan yang terjadi
pada tubuh hewan setelah diberikan obat depresan SSP.
Tujuan
Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui daya kerja obat-obatan depresan
SSP, yang bersifat analgesik kuat, relaksan kuat maupun anastetikum kuat melalui
gejala klinis yang ditimbulkan serta menentukan onset kerja anastetik ketamin pada
dosis yang sma tapi diberikan dengan rute injeksi yang berbeda berdasarkan
parameter mulai munculnya efek anestesi dan egek yang muncul bila
dikombinasikan dengan xylazine.
Tinjauan Pustaka
Depresan adalah senyawa yang dapat mendepre/menekan sistem tubuh.
Depresan SSP berarti senyawa yang dapat mendepres atau menurunkan aktivitas
fungsi SSP. Obat ini bekerja dengan menekan pusat kesadaran, rasa nyeri, denyut
jantung, dan pernapasan. Depresensia terbagi atas golongan obat sedative,
hipnotika, dan anastetik umum. Pada dosis terapeutik berfungsi sebagai
anastetikum yang menyebabkan hilangnya rasa nyeri dan mucle relexan (Kirtishanti
dan Kesuma 2012).
Anestesi lokal adalah hilangnya rasa sakit tanpa disertai hilang kesadaran dan
anestesi umum yaitu hilangnya rasa sakit disertai hilang kesadaran. Tindakan
anestesi digunakan untuk mempermudah tindakan operasi maupun memberikan
rasa nyaman pada pasien selama operasi (Esrawati 2006). Anestesi umum
menyebabkan amnesia yang bersifat reversibel dan dapat diprediksi. Tiga pilar
anestesi umum atau yang disebut trias anestesi meliputi hipnotik atau sedativa, yaitu
membuat pasien tertidur atau mengantuk/tenang, analgesia atau tidak merasakan
sakit, dan relaksasi otot yaitu kelumpuhan otot skelet. anestesi umum suatu keadaan
tidak sadar yang bersifat sementara yang diikuti oleh hilangnya rasa nyeri di seluruh
tubuh akibat pemberian obat anestesia. General anestesi sebagai tindakan
menghilangkan rasa sakit secara sentral disertai hilangnya kesadaran (reversible)
yang menyebabkan mati rasa karena obat masuk ke jaringan otak dengan tekanan
setempat yang tinggi. General anestesi sesuai sediaan obat dibagi menjadi 3 jenis
yaitu anestesi inhalasi, anestesi intravena dan anestesi imbang (Hanifa 2019).
Menurut Siswandono dan Soekardjo (1995), anestetikum dibagi dalam dua
kelompok besar yaitu anastetikum umum dan anastetikum regional. Anastetikum
umum menurut cara pemberiannya dibagi atas dua, yaitu anastetikum inhalasi dan
anastetikum parenteral (per injeksi). Anestesi parenteral dapat dilakukan secara
intravena dan intramuscular. Senyawa yang termasuk kedalam anestetikum per
injeksi adalah senyawa-senyawa yang dapat menimbulkan efek anestesi dan
diberikan melalui suntikan. Pemberian secara intramuscular diperlukan dosis yang
besar dan waktu sadar yang lebih lama. Pemberian anestesi per injeksi akan
menekan fungsi saraf sehingga menyebabkan penurunan fungsi fisiologis. efek
samping dari anestesi ini mendepres sistem pernafasan, aritmia jantung, hipotensi,
spasmus pada bronkhus dan laring, mual dan rasa pusing setelah operasi. termasuk
dalam anestesi per injeksi diantaranya adalah turunan barbiturat termetilasi pada N,
thiopental, dan turunan sikloheksanon (ketamin).
Kloralhidrat merupakan zat yang digunakan sebagai sedativa atau juga
sebagai anestetikum. Kloralhidrat sangat tidak dianjurkan untuk digunakan sendiri
sebagai obat eutanasi. Injeksi kloralhidrat secara intravena dapat menyebabkan
narkosis dan hilangnya kesadaran. Kloralhidrat akan bekerja lebih efektif apabila
dikombinasikan dengan barbiturat. Ataxia, inkoordinasi, dan delirium dapat terjadi
sebelum hewan yang diberikan kloralhidrat tumbang. Kloralhidrat adalah agen
sedativa-hipnotik yang banyak digunakan untuk tujuan terapeutik. Kloralhidrat
digunakan sebagai antikonvulsan, sedative umum, dan anestesi. Sebagai
anestetikum, kloralhidrat dapat menekan aktivitas otak, respirasi, pusat vasomotor,
menyebabkan relaksasi otot,dan menimbulkan efek analgesik. Frekuensi jantung
tetap berada pada rentang normal. Kematian mendadak setelah administrasi
kloralhidrat dapat terjadi akibat hipotensi atau aritmia ventrikuler (Muir dan
Hubbell 2009).
Magnesium sulfat atau MgSO4 adalah obat yang sering digunakan untuk
merawat dan mencegah tekanan darah rendah dan kejang. Fungsi MgSO4 sebagai
obat kejang ini terkait dengan kemampuan obat untuk mengurangi kejang dengan
mengurangi impuls tertentu dalam tubuh. Penggunaan MgSO4 sebagai
neuromuscular blocking agent. Zat ini dapat dipakai sebagai anestetik, karena tidak
menekan SSP. Pada pemakaian zat ini, harus didahului dengan pembagian
barbiturat untuk menimbulkan ketidak-sadaran. Pemberian secara cepat dengan
dosis yang cukup besar akan menyebabkan dengan segera terjadinya henti jantung
(cardiac arrest).Aplikasinya hanya dapat dilakukan secara intravena, pemberian
intraperitonial merupakan kontraindikasi (Widyaningroem 1992).
Pentothal / thiopenthal sodium / penthio barbital / thiopenton adalah obat
anestesi golongan barbiturat. Memiliki rumus kimia 5ethyl-5 (1-methyl buthyl)-2-
2 thiobarbiturat. Pentothal merupakan yang paling umum digunakan, dengan dosis
3-5 mg/kg BB.3 Digunakan untuk induksi anestesi, sering dikombinasi dengan
anestesi inhalasi, disarankan digunakan untuk anestesi pada cedera kepala,
pengelolaan kejang dan terapi pada peningkatan tekanan intra kranial. Pada sistem
kardiovaskuler, obat ini menimbulkan depresi otot jantung, vasodilatasi perifer dan
turunnya curah jantung. Dalam dosis tinggi menyebabkan penurunan darah arteri,
volume sekuncup, dan curah jantung yang efeknya bergantung pada dosis. Ini
terutama disebabkan oleh efek depresinya terhadap miokardium dan meningkatkan
kapasitas vena dengan meningkatkan perubahan periferal total. Pada sistem
respirasi, pentothal juga merupakan depresan pernafasan yang potensial, yang dapat
menurunkan kepekaan pusat nafas di medula terhadap karbondioksida.
Metabolisme serebral dan penggunaan oksigen menurun setelah pemberian
pentothal sesuai proporsi derajat depresi serebral. Aliran darah serebral juga
menurun setelah induksi, tetapi jauh lebih sedikit dibanding penurunan konsumsi
oksigen. Hal ini membuat pentothal lebih disukai sebagai anestetika pada pasien
dengan oedem serebral karena volume darah dan tekanan intra kranial tidak
meningkat (Erhan et al 2003).
Metode
a. Mencit yang diinjeksi dengan pentothal
Mencit ditempatkan dalam sebuah kotak tertutup. Kemudian berat badan
mencit ditimbang untuk menentukan dosis pentothal yang akan diinjeksikan.
Pemeriksaan fisik diamati sebelum mencit diinjeksi pentothal dengan parameter
aktivitas tubuh, keseimbangan, dan reflek yang muncul ketika diberikan cubitan
pada ekstremitas. Mencit diinjeksi pentothal dengan konsentrasi sebesar 10 mg/ml
pada menit ke 0. Selanjutnya mencit diinjeksi dengan cara yang sama seperti
sebelumnya pada selang waktu setiap 10 menit dan dosis yang bertingkat dengan
kenaikan dosis 10 mg/ml setiap injeksi
c. Anestesi Perinjeksi
Menimbang berat badan tikus dan memberi penomoran di ekornya. Setelah itu,
melakukan penimbangan bobot tikus, lalu melakukan penghitungan dosis ketamin yang
diberikan. Kemudian, menginjeksikan tikus 1 dengan ketamine rute IP (intraperitoneal),
tikus 2 dengan ketamine rute IM (intramuskular), tikus 3 dengan ketamine rute IV
(intravena), dan tikus 4 ketamine dan xylazine rute IP (intraperitoneal). Setelah itu,
mengamati gelaja yang muncul setelah diberikan injeksi anestesi.
40 0,8 - ++ - + 92 160 -
50 1,6 - - - - 90 148 -
60 3,2 - - - - 85 121 -
70 6,4 - - - - 76 96 -
Keterangan:
+++ = Gerakan terlihat jelas
++ = Gerakan mulai melambat
+ = Gerakan sangatlambat
− = Tidak ada gerakan yang muncul
Perhitungan:
0,05 ml x 10 mg/ml
Dosis obat (mg/kg) =
0,226 𝑘𝑔
= 2,212 mg/kg
Injeksi selanjutnya menggunakan rumus yang sama seperti contoh perhitungan
diatas namun volume yang diberikan dan konsentrasinya pun semakin meningkat
Pembahasan :
Waktu Dosis Dosis obat Nyeri Kesadaran Reflex Tonus otot Frekuensi Frekuensi Konvulsi
(menit ke-) (ml) (ml) napas (kali jantung (kali
/menit) /menit)
30 0,20 + − + + 72 64 -
40 0,40 − − − − 20 28 -
50 0,80 − − − − − 4 -
Keterangan
+++ = Gerakan terlihat jelas
++ = Gerakan mulai melambat
+ = Gerakan sangatlambat
− = Tidak ada gerakan yang muncul
Menentukan dosis menggunakan perhitungan sebagai berikut:
mg
Berat Badan (kg) × Dosis Obat ( )
kg
Volume =
Konsentrasi (mg/ml)
Pembahasan :
Waktu Dosis Dosis Nyeri Kesadaran Reflex Tonus Frekuensi Frekuensi Konvulsi
(menit (ml) obat otot napas (kali/ jantung (kali
ke-) (ml) menit) /menit)
Perhitungan :
Pembahasan :
Kloralhidrat merupakan derivat dari monohidrat dari kloral dan merupakan
hipnotik yang efektik. Metabolitnya, trikloroetanol juga merupakan hipnotik yang
efektif. Kloral sendiri berupa minyak sedangkan hidratnya merupakan kristal yang
menguap secara lambat di udara dan larut dalam minyak, air dan alkohol. kloral
hidrat mempunyai efek samping mengiritasi kulit dan mukosa membran. Efek
iritasi ini menimbulkan rasa tidak enak, nyeri epigantrik, mual dan kadang-kadang
muntah. Efek samping pada SSP meliputi pusing, lesu, ataksia dan mimpi buruk.
Keracunan akut obat ini dapat menyebabkan ikterus. Penghentian mendadak dari
penggunaan kronik dapat mengakibatkan delirium dan bangkitan secara fatal
(Nugraha 2011). Kloralhidrat dipakai untuk memulai tidur dan mengurangi efek
terbangun, menekan tidur REM, lebih sedikit terjadi hangover serta meminimalisir
terjadinya depresi pernapasan daripada sedative-hipnotik lainnya (Indijah dan Fajri
2016)
Hasil praktikum menunjukkan pemberian dosis kloralhidrat pada tingkat
nyeri dan kesadaran, semakin tinggi dosis kloralhidrat yang diberikan maka
semakin rendah respon yang diberikan oleh katak. Respon nyeri hilang seutuhnya
pada pemberian dosis obat 500 mg/kg, hal ini berbeda dengan respon kesadaran,
reflex dan tonus otot yang menunjukkan hilangnya respon tersebut pada pemberian
dosis obat 250 mg/kg. Sebagai anestetikum, kloralhidrat dapat menekan aktivitas
otak, respirasi, pusat vasomotor, menyebabkan relaksasi otot,dan menimbulkan
efek analgesik (Muir dan Hubbel 2009). Frekuesi napas melemah seiring
penambahan dosis kloralhidrat, namun berbeda dengan frekuensi jantung, pada
hasil perhitungan frekuensi jantung, denyutnya tidak melemah seiring penambahan
dosis kloralhidrat. Menurut Muir dan Hubbel (2009), frekuensi jantung tetap berada
pada rentang normal, Sehingga pada umumnya sediaan anestesi kloralhidrat
dikontraindikasikan pada pasien dengan kerusakan ginjal, hepar, penyakit jantung,
dan gastritis (Deliana 2002).
B. Anestesi Perinjeksi
Berat badan tikus ke-satu 210 g dengan volume pemberian 0.16 ml melalui
rute IP. Dosis yang digunakan adalah 76 mg/kg. Berat badan tikus kedua 218 g
dengan volume pemberian 0.17 mL ketamin melalui rute IM. Dosis yang digunakan
adalah 78 mg/kg. Berat badan tikus ketiga 250g dengan volume pemberian 0.2 mL
ketamin melalui rute IV. Dosis yang digunakan adalah 80 mg/kg. Menurut Plumb
(2011), mengatakan bahwa dosis pemberian ketamine pada tikus sekitar 50-100
mg/kg melalui rute IP/IM, sedangkan melalui rute IV sebanyak 40-50 mg/kg.
Berdasarkan hasil perhitungan dosis ketamine melalui IP dan IM sudah sesuai
sehingga tikus tidak mengalami overdosis. Sedangkan pemberian ketamin melalui
rute IV melebihi dosis yang telah ditentukan sehingga menyebabkan tikus mati.
Pemberian anestesi rute IP dilakukan dengan posisi kepala lebih rendah dari
abdomen, disuntik dari sudut abdomen pada daerah sedikit lebih tepi dari garis
tengah agar tidak mengenai kantong kemih. Penyuntikan tidak dilakukan terlalu
tinggi agar tidak mengenai hati. Pemberian anestesi rute IM disuntikan di daerah
paha posterior (Stevani 2016). Berdasarkan hasil praktikum menunjukan pemberian
anestesi melalui rute IP lebih lebih cepat mencapai stadium III daripada rute IM.
Namun menurut Plumb (2011), dosis pemberian anestesi ketamine rute IP dan IM
sama yaitu 50-100 mg/kg. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi
anestesi tikus seperti keadaan fisiologis, berat badan, umur, dan lain-lain.
Volume anestesi yang diberikan pada tikus ke-4 adalah ketamine 0.18 mL
dan xylazine 0.11 ml melalui rute IP menunjukan lebih cepat bereaksi dibandingkan
menggunakan ketamin saja. Pemberian anestesi kombinasi ketamine + xylazine
hanya memerlukan waktu 2,4 menit sudah mencapai stadium III sehingga proses
pembedahan dapat mulai dilakukan. Memberikan anestesi melalui rute IV lebih
baik menggunakan kombinasi antara ketamin dan xylazine. Kombinasi ketamine
dan xylazine merupakan kombinasi yang saling melengkapi antara efek analgesik
dan relaksasi otot.Penggunaan xylazine dapat mengurangi sekresi saliva dan
peningkatan tekanan darah yang diakibatkan oleh penggunaan ketamin (Warren
1983).
Penggunaan kombinasi ketamin dan xylazine sebagai anestesi umum juga
mempunyai banyak keuntungan, antara lain : mudah dalam pemberian, ekonomis,
induksinya cepat begitu pula dengan pemulihannya, mempunyai pengaruh relaksasi
yang baik dan jarang menimbulkan komplikasi klinis (Benson et al 1985). Ketamin
memberikan efek analgesic yang bekerja kuat pada sistem saraf pusat melalui saraf
simpatomimetik dan parasimpatolitik. Ketamin merangsang proses metabolisme
kerja kardiovaskular, salivasi, meningkatkan suhu tubuh, detak jantung, dan
tekanan arteri (Ramsey 2008). Sedangkan xylazine menyebabkan relaksasi otot
yang baik (Yudaniayanti et al 2010).
SIMPULAN
Pemberian pentothal pada mencit mengakibatkan peningkatan frekuensi
pernafasan dan denyut jantung pada dosis 0,1 mL, dan penurunan aktivitas tubuh
pada pemberian dosis 0,4ml, dan pemberian dosis 0,8 mL dan seterusnya terjadi
penurunan frekuensi nafas dan denyut jantung. Pada pemberian MgSO4 dosis 0,8
mL katak mengalami penurnan drastis pada denyut jantung dan hilangnya
pernapasan. Pemberian kloralhidrat pada dosis 0,2 mL dan seterusnya
mengakibatkan katak mengalami penurunan frekuensi nafas. Sehingga, dapat
disimpulkan bahwa obat-obatan tersebut dapat menekan fungsi sistem saraf pusat.
DAFTAR PUSTAKA