Anda di halaman 1dari 13

BAB II

KONSEP DASAR ANESTESI

A. PENGERTIAN ANESTESI
Anestesi adalah menghilangnya rasa nyeri, dan menurut jenis kegunaannya
dibagi menjadi anestesi umum yang disertai hilangnya kesadaran, sedangakan anestesi
regional dan anestesi local menghilangya rasa nyeri disatu bagian tubuh saja tanpa
menghilangnya kesadaran (Sjamsuhidajat & De Jong, 2012).
Anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh
(Morgan, 2011).

B. MACAM-MACAM ANESTESI
Menurut Potter & Perry tahun 2006, pasien yang mengalami pembedahan akan
menerima anestesi dengan salah satu dari tiga cara sebagai berikut:
1. Anestesi Umum
Klien yang mendapat anestesi umum akan kehilangan seluruh sensasi dan
kesadarannya. Relaksasi otot mempermudah manipulasi anggota tubuh. Pembedahan
yang menggunakan anestesi umum melibatkan prosedur mayor, yang membutuhkan
manipulasi jaringan yang luas.
2. Anestesi Regional
Induksi anestesi regional menyebabkan hilangnya sensasi pada daerah tubuh tertentu.
Anestesi regional terdiri dari spinal anestesi, epidural anestesi, kaudal anestesi.
Metode induksi mempengaruhi bagian alur sensorik yang diberi anestesi. Ahli anestesi
memberi regional secara infiltrasi dan lokal. Pada bedah mayor, seperti perbaikan
hernia, histerektomi vagina, atau perbaikan pembuluh darah kaki, anestesi regional
atau spinal anestesi hanya dilakukan dengan induksi infiltrasi. Blok anestesi pada saraf
vasomotorik simpatis dan serat saraf nyeri dan motoric menimbulkan vasodilatasi
yang luas sehingga klien dapat mengalami penurunan tekanan darah yang tiba – tiba.
3. Anestesi Lokal
Anestesi lokal menyebabkan hilangnya sensasi pada tempat yang diinginkan. Obat
anestesi menghambat konduksi saraf sampai obat terdifusi ke dalam sirkulasi.
Anestesi lokal umumnya digunakan dalam prosedur minor pada tempat bedah sehari.

C. KONSEP GENERAL ANESTESI


1. Pengertian General Anestesi
Anestesi umum menurut American Association of Anestesiologist merupakan
pemberian obat yang menginduksi hilangnya kesadaran dimana pasien tidak arousable,
meskipun dengan stimulasi yang sangat menyakitkan. Kemampuan untuk mengatur
fungsi pernafasan juga terganggu. Pasien seringkali membutuhkan bantuan untuk
menjaga patensi jalan nafas, dan tekanan ventilasi positif dibutuhkan karena hilangnya
ventilasi spontan atau hilangnya fungsi neuromuskular. Fungsi kardiovaskular juga
terganggu (ASA, 2013).
Anestesi umum atau general anesthesia mempunyai tujuan menghilangkan rasa
nyeri, membuat tidak sadar, dan menyebabkan amnesia yang bersifat reversible dan
dapat diprediksi. Anestesi umum juga disebut narkose atau bius. Anestesi umum juga
menyebabkan amnesia yang bersifat anterograd yang artinya pasien tidak akan
mengingat saat dilakukan pembiusan dan operasi sehingga saat pasien sudah sadar
tidak ingat apa tindakan apa yang dilakukan. Sifat anestesi umum yang reversible
memungkinkan pasien bangun atau sadar kembali tanpa efek samping. Anestesi umum
juga dapat diperkirakan pasien bangun kembali dengan penyesuain dosis. Tiga pilar
anestesi umum atau disebut trias anestesi , meliputi : hipnotik atau sedative yaitu
membuat pasien tertidur atau mengantuk, analgesia atau tidak merasakan sakit, dan
relaksasi otot yaitu kelumpuhan otot skelet (Pramono, 2015).
Teknik anestesi umum adalah suatu tindakan meniadakan nyeri (analgetik)
secara sentral disertai hilangnya kesadaran (hipnotik), relaksasi otot (relaxan) yang
merupakan triase anestesi yang bersifat dapat pulih kembali.

2. Tujuan General Anestesi


Grace & Borley (2010) menyatakan bahwa tujuan dari pemberian general
anestesi dalam pembedahan, yaitu:
a. Menginduksi hilangnya kesadaran dengan menggunakan obat hipnotik yang dapat
diberikan secara intravena (misalnya: propofol) atau inhalasi (misalnya:
sevofluran).
b. Menyediakan kondisi operasi yang cukup untuk lamanya prosedur pembedahan
dengan menggunakan anestesi seimbang, yaitu kombinasi obat hipnotik untuk
mempertahankan anestesi (misalnya: propofol, sevofluran), analgesik untuk nyeri,
dan bila diindikasikan relaksan otot, atau anestesi regional.
c. Mempertahankan fungsi fisiologis yang penting dengan cara berikut:
1) Menyediakan jalan napas yang bersih (masker laring atau selang trakea kurang
lebih ventilasi tekanan positif intermitten).
2) Mempertahankan akses vaskular yang baik.
3) Pemantauan fungsi tanda tanda vital (oksimetri nadi, kapnografi, tekanan
darah arteri, suhu, EKG, keluaran urin setiap jam).
4) Membangunkan pasien dengan aman saat akhir prosedur pembedahan.

3. Indikasi General Anestesi


Anestesi umum biasanya dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang
memerlukan ketenangan pasien dan waktu pengerjaan bedah yang lebih panjang,
misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi
tulang dan lain-lain. Selain itu, anestesi umum biasanya dilakukan pada pembedahan
yang luas (Potter & Perry, 2006).

4. Kontraindikasi General Anestesi


Muhardi, dkk (2009) menyatakan bahwa kontraindikasi general anestesi
tergantung dari efek farmakologi obat anestetika terhadap organ tubuh, misalnya pada
kelainan:
a. Jantung : hindarkan pemakaian obat-obat yang mendespresi miokard atau
menurunkan aliran darah coroner
b. Hepar : hindarkan obat hepatotoksik, obat yang toksis terhadap hepar atau dosis
obat diturunkan
c. Ginjal : hindarkan atau seminim mungkin pemakaian obat yang diekskresi
melalui ginjal
d. Paru : hindarkan obat-obat yang menaikkan sekresi dalam paru
e. Endokrin : hindarkan pemakaian obat yang merangsang susunan saraf simpatis
pada diabetes penyakit basedow, karena bisa menyebabkan peninggian gula darah.
5. Obat-obatan General Anestesi
Sjamsuhidajat & De Jong (2010) menyatakan anestetik yang menghasilkan
anestesia umum dapat diberikan dengan cara inhalasi, parenteral, atau
imbang/kombinasi.
a. Premedikasi
Merupakan tindakan pemberian obat-obatan pendahuluan dalam rangka
pelaksanaan anestesia (senapathi, 2017). Premedikasi diberikan pada periode 1-2
jam sebelum induksi anestesi dilakukan (Soenarjo, 2013).
Tujuan pemberian premedikasi:
1) Mengurangi kecemasan
2) Mengurangi nyeri
3) Mengurangi kebutuhan obat-obatan anestesi
4) Mengurangi sekresi saluran pernapasan
5) Mengurangi amnesia
6) Mengurangi kejadian mual-muntah pasca operasi
7) Membantu pengosongan lambung, mengurangi produksi asam lambung
8) Mencegah refleks-refleks yang tidak diinginkan (Soenarto & Chandra, 2012).

Tabel 2.1 Obat-obatan untuk premedikasi (Butterworth et al, 2018)


Jenis obat Dosis Jenis obat Dosis
Sedatif Anti kolinergik
Diazepam 0,2-0,5 mg/kgBB Atropin sulfat 0,01-0,02
mg/kgBB
Diphenhydramine 0,5-1,5 mg/kgBB Antiemetik
Promethazin 12,5-50 mg/kgBB Ondansentron 4-8 mg (IV)
dewasa
Midazolam 0,07-0,15 mg/ Metoclopramide 10 mg (IV)
kgBB dewasa
Analgetik Profilaksis Aspirasi
Pethidin 1-2 mg/kgBB Ranitidine Dosis dewasa:
Morphine 0,1-0,2 mg//kgBB Oral 150-300 mg
IV 50 mg
Analgetik non opiat Dosis disesuaikan Antasida Dosis disesuaikan

b. Anestesi Inhalasi
Pada anestesi ini, anestetik yang bentuk dasarnya berupa gas (N2O), atau
larutan yang diuapkan menggunakan mesin anestesi, masuk ke dalam sirkulasi
sistemik melalui system pernapasan yaitu secara difusi di alveoli. Jenis gas atau
cairan yang digunakan saat anestesi inhalasi diantaranya:
1) Eter, menimbulkan efek analgesia dan relaksasi otot yang sangat baik dengan
batas keamanan yang lebar jika dibandingkan dengan obat inhalasi lain. Eter
jarang digunakan karena baunya yang menyengat, merangsang hiperekskresi
dan menyebabkan mual dan muntah akibat rangsangan lambung maupun efek
sentral. Eter tidak dianjurkan untuk diberikan pada penderita trauma kepala
dan keadaan peningkatan intrakranial karena dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah otak.
2) Halotan, tidak berwarna dan baunya enak serta induksinya mudah dan cepat.
Walaupun mekanismenya belum jelas, efek bronkodilatasi yang timbul dapat
dimanfaatkan pada penderita asma bronkial. Daya analgesik dan relaksasi otot
luriknya lebih lemah dari pada eter. Halotan juga dapat menyebabkan depresi
napas dan depresi sirkulasi akibat vasodilatasi dan menurunnya kontraktilitas
otot jantung. Tidak dianjurkan bagi pasien Sectio Caesarea karena dapat
menurunkan kontraktilitas otot rahim serta mengurangi efektivitas ergotonin
dan oksitosin. Halotan juga dapat menimbulkan gangguan hati, diduga akibat
hepatotoksisitas oleh imun serta tidak boleh diberikan pasien dengan riwayat
penggunaan halotan dalam waktu 3 bulan sebelumnya. MAC 0,75%.
3) Enfluran, bentuk dasarya adalah cairan tidak berwarna dengan bau
menyerupai bau eter. Induksi dan pulih sadarnya cepat, tidak bersifat iritan
bagi jalan napas, dan tidak menyebabkan
hiperekskresi kelenjar ludah dan bronkial. Biotransformasi enfluran minimal
sehingga kemungkinan kecil bagi gangguan faal hati.
4) Isofluran, cairan tidak berwarna dengan bau tidak enak. Efeknya terhadap
pernapasan dan sirkulasi kurang lebih sama dengan halotan dan enfluran.
Perbedaannya adalah bahwa pada konsentrasi rendah, isofluran tidak
menyebabkan perubahan aliran darah ke otak asalkan penderita dalam kondisi
normokapnia. MAC 1,2%.
5) Sevofluran, mempunyai efek neuroprotektif. Tidak berbau dan paling sedikit
menyebabkan iritasi jalan nafas sehingga cocok digunakan sebagai induksi
anestesi umum. Karena sifatnya mudah larut, waktu induksiya lebih pendek
dan pulih sadar segera terjadi setelah pemberian dihentikan. Biodegradasi
sevofluran menghasilkan metabolit yang bersifat toksik dalam konsentrasi
tinggi. MAC 2,0%.
6) Desfluran, merupakan halogenasi eter yang rumus bangun dan efek klinisnya
sama dengan isoflurane. Mudah menguap tapi memerlukan alat penguap
khusus. Digunakan terutama sebagai komponen hipnotik dalam pemeliharan
anestesi umum juga memiliki efek analgetic ringan dan relaksasi otot ringan.
Bersifat iritatif sehingga menimbulkan batuk, sesak napas, atau bahkan spasme
laring sehingga biasanya tidak digunakan untuk induksi. MAC 6,0 %.
c. Anestesi Intravena
1) Thiopental, termasuk dalam golongan barbiturate.
Sifat anestesi thiopental adalah:
a) Merupakan hipnotik yang sangat kuat
b) Induksinya cepat, lancer, dan tidak diikuti oleh eksitasi
c) Pola respirasi tenang dan bisa hipoventilasi
d) Tidak mempunyai efek analgetic
e) Tidak menimbulkan relaksasi otot
f) Pemulihan cepat tetapi masih ada rasa mengantuk
g) Efek samping mual dan muntah jarang dijumpai
Dosis induksi: Thiopental (konsentrasi 2,5%) 3-6 mg/kgBB diberikan secara
intravena secara perlahan-lahan.
Kontraindikasi: Tidak boleh diberikan pada pasien yang menderita penyakit
paru obstruktif kronis, dekompresi cordis, syok berat, insufisiensi
adrenokortikal, status asmatikus, porfiria.
Efek samping: hipoventilasi sampai henti napas, risiko spasme laring dan
bronkus, depresi kardiovaskuler, dapat menimbulkan nekrosis sentral hati.
2) Midazolam, termasuk golongan benzodiazepine. Dapat digunakan untuk
premedikasi, sedasi intravena, induksi intravena, dan tata laksana kejang.
Dosis induksi: 0,1-0,4 mg/kgBB diberikan secara IV.
3) Ketamine, memiliki sifat analgesic, anestetik, dan kataleptik dengan kerja
singkat (Gunawan & Setiabudi, 2016). Ketamin juga dapat menimbulkan
dilatasi bronkus sehingga merupakan obat pilihan pada pasien asma
(Senapathi, 2017).
Dosis: Induksi intravena: 1-2 mg/kgBB
Pemeliharaan: 10-20 mcg/kgBB/menit
Analgesia atau sedasi: 2,5-15 mcg/kgBB/menit
4) Propofol, dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu. Memiliki
efek hipnotik tetapi tidak memiliki efek analgetic maupun relaksasi otot.
Sering menyebabkan nyeri sehingga beberapa detik sebelumnya dapat
diberikan lidokain 20-40 mg secara intravena. Propofol bekerja lebih cepat
daripada thiopental, konfusi pasca bedah minimal, mual-muntah pasca bedah
minimal.
Dosis: Induksi: injeksi intravena 1-2,5 mg/kgBB
Infus untuk pemeliharaan: 50-200 mcg/kgBB/menit
Infus untuk sedasi: 25-100 mcg/kgBB/menit
Efek samping: hipotensi, apnnea sementara selama induksi
d. Opioid
Golongan opioid merupakan analgetic kuat yang digunakan intraoperative.

Tabel 2.2 Dosis Dan Penggunaan Opioid (Butterworth et al, 2018)


Obat Kegunaan Rute pemberian Dosis
IM 0,05-0,2 mg/kgBB
Morfin Analgesia postoperatif
IV 0,03-0,15 mg/kgBB
Analgesia intraoperatif IV 2-50 mcg/kgBB
Fentanyl
Analgesia postoperatif IV 0,5-1,5 mcg/kgBB
Sufentanyl Analgesia intraoperatif IV 0,25-20 mcg/kgBB
Analgesia intraoperatif
Alfentanil Loading dose IV 8-100 mcg/kgBB
Infus maintenance IV 0,5-3 mcg/kgBB/menit
Analgesia intraoperatif
Loading dose IV 1 mcg/kgBB
Remifentanil Infus maintenance IV 0,05-2 mcg/kgBB/menit
Analgesia postoperatif/ IV
0,05-0,3 mcg/kgBB/menit
sedasi

Efek Samping:
1) Efek sedative hipnotik
2) Efek epileptogenic
3) Depresi napas
4) Efek terhadap pupil: menyebabkan pupil miosis
5) Kaku otot
6) Mual muntah
7) Efek pada tractus gastrointestinal: penurunan motilitas lambung dan usus,
hambatan sekresi pada usus, peningkatan tonus sphingter, peningkatan absorbs
air sehingga terjadi konstipasi
8) Efek tractus urinarius: menurunkan tonus pada detrusor kandung kemih,
meningkatkan tonus sphingter urinarius sehingga menyebabkan retansi urin
9) Efek pada system kardiovaskuler: efek samping minimal. Menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah sehingga terjadi penurunan preload, afterload,
dan tekanan darah (Butterworth et al, 2018).
e. Obat Pelumpuh Otot
Tabel 2.3 Profil Obat Pelumpuh Otot (Butterworth et al, 2018)
Onset kerja Durasi kerja Dosis Dosis
Dosis
ED95 untuk untuk pemeliharaan pemeliharaan
Obat Struktur klinis Metabolisme Ekskresi intubasi Efek samping
(mg/kg) intubasi intubasi dengan bolus dengan infus
(mg/kg)
(menit) (menit) (mg/kg) (µg/kg/menit)
Pelumpuh otot depolarisasi
2-15
Succinylcholine Diacetylcholine Signifikan - 0,5 1,0 0,5 5-10 0,15
mg/menit
Pelumpuh otot non depolarisasi
Long Acting
Pancuronium Steroidal Terbatas Ginjal 0.07 0,12 2-3 60-120 0,01 - Takikardi
Intermediate Acting
Vecuronium Steroidal Terbatas Empedu 0,05 0,12 2-3 45-90 0,01 1-2
Tidak
Rocuronium Steroidal Empedu 0,3 0,8 1,5 35-75 0,15 9-12
signifikan
Tidak Aman hepar dan
Atracurium Benzylisoquinolone Signifikan 0,2 0.5 2,5-3 30-45 0,1 5-12
signifikan ginjal
Tidak
Cisatracurium Benzylisoquinolone Signifikan 0,05 0,2 2-3 40-75 0,02 1-2 Isomer atracurium
signifikan
Short Acting
Hipotensi dan
Mivacurium Benzylisoquinolone Signifikan - 0,08 0,2 2,5-3 15-20 0,05 4-15
Histamin +

f. Antagonis Obat Pelumpuh Otot


Pemulihan tonus otot rangka akibat pengaruh obat pelumpuh otot no depolarisasi bisa berlangsung secara spontan setelah masa kerja obat berakhir. Namun untuk
mempercepat pemulihannya perlu diberikan obat antagonisnya, yaitu golongan obat antikolinesterase.
Efek samping: penurunan laju jantung, bradiaritmia, bronkospasme, peningkatan sekresi bronkus, spasme intestinal, hipersalivasi, peningkatan tonus vesica urinaria,
konstriksi pupil (Butterworth et al, 2018).
Dosis: neostigmine: 0,04-0,08 mg/kgBB
Pyridostigmine: 0,1-0,25 mg/kgBB
6. Stadium General Anestesi
Saat dilakukan tindakan anestesi seseorang akan mengalami stadium anestesi
melalui beberapa tahap. (Guedel 1920 dalam Pramono 2015) membagi anestesi umum
dengan eter dalam 4 stadium (stadium III dibagi menjadi 4 plana), yaitu :
a. Stadium satu adalah adalah stadium analgesia atau disorientasi yang berlangsung
antara induksi sampai hilangnya kesadaran.
b. Stadium dua adalah stadium delirium / eksitasi yang dimulai dari hilangnya
kesadaran atau hilangnya reflex bulu mata sampai nafas teratur.
c. Stadium tiga adalah pembedahan (surgical) adapun dibagi menjadi empat plana
1) Plana I
Ventilasi teratur, sifatnya toraco abdominal, mata terfiksasi / ekstrensik, pupil
miosis, reflex cahaya (+), lakrimasi meningkat, reflex faring / muntah (-), tonus
otot mulai menurun.
2) Plana II
Ventilasi teratur, sifatnya abdomino toracal, tidal volume menurun, ferkwensi
napas meningkat, pupil mulai midriasis, refleks cahaya menurun dan refleks
kornea (-).
3) Plana III
Ventilasi teratur dan sifatnya abdominal karena kelumpuhan syaraf intercostals,
lacrimasi (-), pupil melebar, refleks laring dan peritoneum (-), tonus otot
menurun.
4) Plana IV
Ventilasi tidak teratur dan tidak adekuat (megap-megap).
d. Stadium empat adalah stadium paralisis/overdosis yang dimulai dari henti nafas
(apnoe) sampai dengan henti jantung (cardio arrest).

7. Efek General Anestesi


Ada beberapa efek samping yang bisa saja ditimbulkan oleh general anestesi.
Efek samping yang ditimbulkan general anestesi pada tubuh menurut Katzung &
Berkowitz (2002) antara lain :
a. Pernapasan
Pasien dengan keadaan tidak sadar dapat terjadi gangguan pernapasan dan
peredaran darah. Maka dirasa penting dan harus dengan segera untuk melakukan
pertolongan resusitasi jika hal ini terjadi pada waktu anestesi agar pasien terhindar
dari kematian. Obat anestesi inhalasi menekan fungsi mukosilia saluran pernapasan
menyebabkan hipersekresi ludah dan lendir sehingga terjadi penimbunan mukus di
jalan napas.
b. Kardiovaskuler
Keadaan anestesi, jantung dapat berhenti secara tiba-tiba. Jantung dapat
berhenti disebabkan oleh karena pemberian obat yang berlebihan, mekanisme
reflek nervus yang terganggu, perubahan keseimbangan elektrolit dalam darah,
hipoksia dan anoksia, katekolamin darah berlebihan, keracunan obat, emboli udara
dan penyakit jantung. Perubahan tahanan vaskuler sistemik (misalnya: peningkatan
aliran darah serebral) menyebabkan penurunan curah jantung.
c. Gastrointestinal
Pada hal ini, regurgitasi dapat terjadi. Regurgitasi yaitu suatu keadaan
keluarnya isi lambung menuju faring tanpa adanya tanda-tanda. Salah satunya
dapat disebabkan karena adanya cairan atau makanan dalam lambung, tingginya
tekanan darah ke lambung dan letak lambung yang lebih tinggi dari letak faring.
General anestesi juga menyebabkan gerakan peristaltik usus akan menghilang.
d. Ginjal
Anestesi menyebabkan penurunan aliran darah ke ginjal yang dapat
menurunkan filtrasi glomerulus sehingga dieresis juga menurun.
e. Perdarahan
Selama pembedahan pasien dapat mengalami perdarahan, perdarahan dapat
menyebabkan menurunnya tekanan darah, meningkatnya kecepatan denyut jantung
dan pernapasan, denyut nadi melemah, kulit dingin, lembab, pucat serta gelisah.

8. Tata Laksana Post Operasi Pasca General Anestesi


Pada pasien setelah dilakukan tindakan operative akah kembali ke perawatan
pasca operasi di ruang pemulihan atau recovery room. Perawatan pasca operatif
memerlukan pengawasan penuh karena setelah tindakan operasi dan efek obat anestesi
yang masih tersisa menyebabkan fungsi tubuh belum kembali ke fisiologi tubuh yang
sempurna. Pada ruang pemulihan atau recovery room perawat harus memeriksa
kembali informasi perioperative secara relevan, mengkaji status terakhir klien serta
membuat dan mengimplementasikan rencana tindakan asuhan keperawatan yang
efektif. Setelah pasien berada di ruang pemulihan ada beberapa hal yang perlu perawat
perhatikan.
Menurut Potter & Perry (2006) hal yang perlu di perhatikan yaitu pemeriksaan
kondisi umum klien termasuk tanda-tanda vital, tingkat kesadaran, kondisi balutan dan
drain, status infus cairan, tingkat rasa nyaman, dan integritas kulit klien termasuk juga
waktu pulih sadarnya. Klien dalam ruang pemulihan rentan terjadi komplikasi pasca
bedah yang dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya penurunan metabolisme karena
penurunan fungsi tubuh, adanya insisi luka bedah, ruang operasi dan ruang pemulihan
recovery room yang suhunya dingin, akibat obat-obatan anestesi dan gas oksigen.

D. TEKNIK INTUBASI ENDOTRACHEAL TUBE (ETT)


1. Pengertian Intubasi Endotracheal Tube (ETT)
Intubasi endotracheal tube (ETT) adalah tindakan memasukan pipa trakea ke
dalam trakea melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira- kira di
pertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea (Dachlan, 2007).
Intubasi endotrakea dapat dilakukan melalui beberapa lintasan antara lain melalui
hidung (nasotrakeal), mulut (orotrakeal) dan melalui tindakan trakeostomi (Latief,
2007).
Intubasi endotrakhea adalah teknik paling penting dan paling aman dalam
menjaga jalan nafas dengan cara memasukkan endotracheal tube (ETT) ke dalam
trakhea melalui mulut. Endotracheal tube (ETT) digunakan sebagai penghantar gas
anestesi dan memudahkan kontrol ventilasi dan oksigenasi, ataupun pada pasien
dengan anestesi umum. Intubasi trakea merupakan tindakan memasukakan pipa
khusus ke dalam trakea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah
dibantu atau dikendalikan. Intubasi trakea dapat pula merupakan suatu tindakan
pertolongan darurat atau penyelamatan hidup (Dachlan, 2007).
Endotracheal tube (ETT) digunakan untuk mengalirkan gas anestesi langsung ke
dalam trakhea dan mengizinkan untuk kontrol ventilasi dan oksigenasi. Pabrik
menentukan standar endotracheal tube (ETT) (American National Standards for
Anesthetic Equipment; ANSI Z-79).Eendotracheal tube (ETT) kebanyakan terbuat dari
polyvinylchloride. Pada masa lalu, endotracheal tube (ETT) diberi tanda “IT” atau
“Z-79” untuk indikasi ini telah dicoba untuk memastikan tidak beracun. Bentuk dan
kekakuan dari endotracheal tube (ETT) dapat dirubah dengan pemasangan mandren.
2. Tujuan Intubasi Endotracheal Tube (ETT)
Endotracheal tube (ETT) digunakan untuk mengalirkan gas anestesi langsung ke
dalam trakhea dan mengizinkan untuk kontrol ventilasi dan oksigenasi. Pabrik
menentukan standar endotracheal tube (ETT) (American National Standards for
Anesthetic Equipment; ANSI Z-79).Eendotracheal tube (ETT) kebanyakan terbuat dari
polyvinylchloride. Pada masa lalu, endotracheal tube (ETT) diberi tanda “IT” atau
“Z-79” untuk indikasi ini telah dicoba untuk memastikan tidak beracun. Bentuk dan
kekakuan dari endotracheal tube (ETT) dapat dirubah dengan pemasangan mandren.
Tujuannya adalah pembebasan jalan nafas, pemberian nafas buatan dengan bag
and mask, pemberian nafas buatan secara mekanik ( respirator)memungkinkan
pengisapan secret secara adekuat, mencegah aspirasi asam lambung dan pemberian
oksigen dosis tinggi.

3. Indikasi
Indikasi dalam melaksankan tindakan Intubasi Endotrakea Tube adalah
sebagaimana berikut:
a. Ada obstruksi jalan nafas bagian atas
b. Pasien memerlukan bantuan nafas dengan respirator
c. Menjaga jalan nafas tetap bebas
d. Pemberian anestesi seperti pada operasi kepala, mulut, hidung, tenggorokan,
operasi dominal dengan relaksasi penuh dan operasi thoracotomy.
e. Terdapat banyak sputum ( pasien tidak mengeluarkan sendiri )

4. Jenis Instubasi
a. Intubasi Oral
Keuntungan : lebih mudah dilakukan, bisa dilakukan dengan cepat pada pasien
dalam keadaan emergency, resiko terjadinya trauma jalan nafas lebih kecil.
Kerugian : tergigit, lebih sulit dilakukan oral hygiene dan tidak nyaman.
b. Intubasi Nasal
Keuntungan : pasien merasa lebih enak/ nyaman, lebih mudah dilakukan pada
pasien sadar, tidak akan tergigit
Kerugian : pipa ET yang digunakan lebih kecil, pengisapan secret lebih sulit,
dapat terjadi kerusakan jaringan dan perdarahan, dan lebih sering terjadi infeksi
(sinusitis)

5. Komplikasi
a. Ringan : Tenggorokan serak, kerusakan pharyng, muntah,aspirasi, gigi copot/
rusak.
b. Serius : Laryngeal edema, obstruksi jalan nafas, rupture trachea, perdarahan
hidung, fistula trcheoesofagal granuloma, memar, laserasi akan terjadi dysponia
dan dyspagia, bradi kardi, aritmia, sampai dengan cardiac arrest.

6. Penyulit
a. Leher pendek
b. Fraktur servical
c. Rahang bawah kecil
d. Osteoarthritis temporo mandibula joint
e. Trismus
f. Ada masa difaring dan laring
7. Persiapan Pasien dan Alat
a. Persiapan pasien.
1) Beritaukan pasien tentang tindakan yang akan dilakukan.
2) Minta persetujuan keluarga/ informed consent
3) Berikan support mental
4) Hisap cairan atau sisa makanan dari naso gastric tube jika terpasang NGT
5) Yakinkan pasien terpasang IV line dan infuse menetes dengan lancer

b. Persiapan alat
1) Bag and mask + slang 02 dan 02
2) Laryngoscope lengkap dengan blade sesuai ukuran pasien dan lampu harus
menyala dengan terang
3) Alat-alat untuk suction ( yakinkan berfungsi dengan baik )
4) Xillocain jelli/ xyllocain spraydan ky jelli
5) Naso/ orotracheal tube sesuai ukuran pasien
6) Laki-laki dewasa no 7, 7.5, 8
7) Perempuan dewasa no 6.5, 7, 7.5
8) Anak-anak usia ( dalam tahun ) + 4 dibagi 4
9) Konektor yang cocok dengan tracheal tube yang disiapkan
10) Stilet/ mandarin
11) Magyll forcep
12) Oropharingeal tube ( mayo tube )
13) Stethoscope
14) Spuit 20 cc untuk mengisi cuff
15) Flester untuk fiksasi
16) Gunting bantal kecil setinggi 12 cm

c. Prosedur
1) Mencuci tangan
2) Posisi pasien terlentang
3) Kepala diganjal bantal kecil setinggi 12 cm
4) Pilih ukuran pipa endotraceal yang akan digunakan
5) Periksa balon pipa/ cuff ETT
6) Pasang blade yang sesuai
7) Oksigenasi dengan bag dan mask/ ambil bag dengan O2 100%
8) Masukan obat-obat sedasi dan muscle relaxan
9) Buka mulut dengan laryngoscope sampai terlihat epiglottis
10) Dorong blade sampai pangkal epiglottis
11) Lakukan pengisapan lender bila banyak secret
12) Anastesi daerah laring dengan xillocain spray ( bila kasus emergency tidak
perlu dilakukan )
13) Masukan endotraceal tube yang sebelumnya sudah diberi jelli
14) Cekapakah endotraceal sudah benar posisinya
15) Isi cuff dengan udara, sampai kebocoran mulai tidak terdengar
16) Lakukan fiksasi dengan plester
17) Foto thorak

8. Perawatan Intubasi
a. Fiksasi harus baik
b. Gunakan oropharing air way ( guedel )pada pasien yang tidak kooperatif
c. Hati-hati pada waktu mengganti posisi pasien
d. Jaga kebersihan mulut dan hidung
e. Jaga patensi jalan nafas
f. Humidifikasi yang adekuat
g. Pantau tekanan balon
h. Observasi tanda-tanda vital dan suara paru-paru
i. Lakukan fisioterapi nafas tiap 4 jam
j. Lakukan suction setiap fisioterapi nafas dan sewaktu-waktu bila ada suara lender
k. Yakinkan bahwa posisi konektor dalam posisi baik
l. Cek blood gas untuk mengetahui perkembangan
m. Lakukan foto thorak segera setelah intubasi dan dalam waktu-waktu tertentu
n. Observasi terjadinya empisema kutis
o. Air dalam water trap harus sering terbuang
p. Pipa endotraceal tube ditandai diujung mulut/ hidung

9. Hal – hal Yang Harus Didokumentasikan


a. Tanggal pemasangan, siapa yang memasang
b. No OTT/ ETT
c. Jumlah udara yang dimasukan pada balon
d. Batas masuknya NTT/ ETT
e. Obat-obat yang diberikan
f. Respon pasien/ kesulitan yang terjadi

E. TATALAKSANA ANESTESI PADA LAPAROSCOPY


1. Perubahan Fisiologis Pada Laparoscopy
Laparoscopy paling sering dilakukan dalam anestesi umum, serta dilakukan
dekompresi saluran cerna, pemberian relaksan yang adekuat, pneumoperitoneum, dan
posisi dengan trendelenburg atau reverse trendelenburg. Kondisi ini akan
menyebabkan organ dalam lebih terekspos dan risiko cedera karena operasi juga akan
mmenurun. Namun demikian, Teknik seperti ini menimbulkan suatu konsekuensi bagi
seorang ahli anestesi, dengan teknik seperti ini akan merubah fisiologis yang
merugikan pasien.
a. Kardiovaskuler
Efek dari laparoscopy antara lain terjadinya gangguan hemodinamik pada
saat dilakukan pneumoperitoneum. Pneumoperitoneum dihasilkan dengan cara
memberikan insuflasi pada abdomen dengan tekanan sekitar berkisar 15 mmHg,
dimana tekanan abdomen normal itu adalah 0-5 mmHg. Peningkatan sampai 10
mmHg tidak akan menyebabkan perubahan yang signifikan, sedangkan
peningkatan >15 mmHg dapat mengakibatkan abdominal kompartemen sindrom.
Dengan dilakukannya pneumoperitoneum maka venous return dan kardiakoutput
(CO) akan menurun, jika pasien diposisikan pada posisi ekstrem trendelenburg
maka akan terjadi peningkatan venous return, namun bila disertai dengan
pneumoperitoneum maka akan menurunkan venous return dari kepala yang
mencetuskan peningkatan tekanan intracranial dan intraocular dan jika posisi ini
berlangsung dalam waktu lama dapat mengakibatkan oedema otak dan ablasi
retina. Sedangkan bila pasien diposisikan dalam posisi reverse trendelenburg
maka akan terjadi penurunan dari venous return yang mengakibatkan
menurunnya CO dan tekanan arterial. Posisi litotomi akan merangsang terjadinya
autotransfusi dengan meredistribusi darah dari ekstremitas bawah ke dalam
central body compartment, hal ini akan meningkatkan preload jantung.
b. Respirasi
Efek dari pneumoperitoneum memberikan tekanan pada thorax, tekanan ini
mengelevasi diafragma, menekan paru, mengekspansi paru dan rongga dada
sehingga menurunkan compliance torakopulmonal. Ada 2 pengaruh mekanik ini
pada paru, yang pertama kompresi dari paru akan menyebabkan penurunan FRC
(volume pada paru setelah ekshalasi normal), sedangkan efek mekanik yang
kedua adalah pengontrolan ventilasi jadi lebih sulit dengan adanya penurunan
compliance paru. Compliance paru ini dapat menurun hingga 50% saat
pneumoperitoneum. Lebih lanjut juga dapat menyebabkan hiperkapni yang
disebabkan karena absorbsi CO2 sistemik, tekanan parsial CO2 pada arteri ini
akan meningkat saat induksi dan pemberian pneumoperitoneum dan menetap
selama 15-30 menit. Sedangkan efek paru-paru terhadap posisi antara lain dengan
posisi head down secara umum akan menurunkan FRC, volume, dan compliance
paru.

2. Pelaksanaan Anestesi
a. Manajemen Pre-Operatif
Pada prossedur laparoscopy akan terjadi perubahan fisiologis khususnya
pada hemodinamik dan pernapasan, oleh karena itu evaluasi preoperative harus
lebih difokuskan pada pasien yang memiliki penyakit paru atau jantung yang
berat.
Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan pada pasien antara lain tes darah
lengkap, urinalisis, elektrolit dan tes fungsi ginjal (karena ada kemungkinan
terjadinya oliguria pada proses laparoscopy yang lama). Pemeriksaan fungsi paru,
Analisa gas darah, dan saturasi oksigen akan sangat membantu. Pemeriksaan foto
rontgen thorax preoperative sebagai baseline sangatlah penting, selain untuk
mengetahui ada tidaknya kelainan pada paru juga dapat digunakan untuk
mengevaluasi komplikasi post operatif seperti emfisema subkutan atau
mediastinum.
Obat untuk premedikasi sebaiknya dipilih obat yang tidak menyebabkan
mengantuk pasca operasi, maka dari itu sebaiknya digunakan obat-obatan dengan
masa kerja singkat seperti midazolam. Pemberian dosis yang tepat serta waktu
pemberian yang tepat sangatlah penting untuk mencapai keuntungan yang
maksimal dari pemberian premedikasi.

b. Manajemen Intra-Operatif
Berbagai macam teknik anestesi dapat digunakan dalam operasi laparoskopi,
namun demikian pasien yang dilakukan tindakan laparoskopi biasanya
menggunakan Teknik anestesi umum dengan menggunakan intubasi endotracheal
tube dan standar monitoring, NIBP dan kapnograf sangat penting untuk
memantau efek hemodinamik dan pernapasan akibat pneumoperitoneum dan
perubahan posisi.
ETT dapat memproteksi jalan napas dan mencegah aspirasi. Pada
laparoskopi yang berlangsung dalam waktu yang isngkat dan prosedur
ekstraperitoneal seperti repair hernia, ventilasi dengan menggunakan peralatan
supraglottic airway dapat digunakan sebagai alternatif. Penggunaan general
anestesi dengan LMA dapat digunakan denga naman dan efektif pada pasien non
obese, penggunaan LMA juga dapat menurunkan kejadian nyeri tenggorokan post
operatif dan juga pemulihan yang lebih smooth dengan angka kejadian batuk-
batuk post operatif yang lebih rendah bila dibandingkan dengan penggunaan
intubasi endotracheal.
Laparoskopi juga dapat dilakukan dengan regional anestesia meliputi perifer
nerve blok, neuroaxial block maupun infiltrasi. Keuntungannya adalah masa pulih
yang lebih cepat, mual muntah post operatif yang lebih rendah, perubahan
hemodinamik lebih kecil. Regional anestesi dapat bermanfaat untuk prosedur
yang cepat dan tekanan intraperitoneal yang rendah seperti pada tindakan ligasi
tuba atau repair hernia ekstraperitoneal. Regional anestesi tidak dianjurkan untuk
prosedur pembedahan abdomen bagian atas. Bagaimanapun, epidural anastesia
dapat menjadi metode pilihan untuk tindakan laparoskopi pada pasien dengan
penyakit paru obstruktif yang berat dan juga pada pasien hamil.
ETCO2 paling sering digunakan sebagai indicator noninvasif dari PaCO2
dalam menentukan adekuat atau tidaknya ventilasi yang diberikna selama
laparoskopi. Dengan meningkatkan minute volume 12-16% maka kita dapat
menjaga agar kadar PaCO2 mendekati level preinsuflasi dan bahwa ETCO2
memberikan perkiraan dari PaCO2 pada pasien sehat yang menjalani operasi
perlaparoskopi.
Operasi laparoskopi memiliki risiko komplikasi yang berbeda meskipun
tindakan ini merupakan minimal invasive. Komplikasi radiorespirasi yang
berhubungan dengan tindakan anestesi antara lain hipotensi, hipertensi, takikardi,
bradikardi, disritmia, hiperkapnia, hipoksemia, atelectasis dan barotrauma. Bila
insuflasi dilakukan tidak hati-hati dan insuflasi masuk ke pembuluh darah maka
akan terjadi emboli, meskipun jarang terjadi namun merupakan komplikasi yang
mematikan. Emfisema subkutan dapat terjadi bila pemberian gas insuflasi terjadi
pada subkutan. Pneumothorax dapat terjadi ketika tekanan jalan napas terlalu
tinggi, gas akan masuk ke thorax melalui peritoneum visceral, pleura parietal.
Pneumothorax dapat asimtomatik atau bisa menyebabkan peningkatan puncak
tekanan jalan napas (peak airway pressure), menurunkan saturasi oksigen,
hipotennsi, dan pada kasus yang berat menyebabkan cardiac arrest.

c. Manajemen Post-Operatif
Hiperkapnia dapat menetap sampai dengan 45 menit setelah prosedur
laparoscopy selesai. PONV setelah laparoscopy dipengaruhi oleh jenis dari
prosedur, residual, pneumoperitoneum dan karakteristik pasien. Beberapa obat
dapat digunakan secara tunggal atau kombinasi untuk mencegah atau mengobati
komplikasi ini. Obat yang dapat digunakan antara lain metoclopramide,
ondansentron, dan dexamethasone. Untuk menurunkan insiden PONV dapat
dipertimbangkan untuk meminimalisir dosis opioid dan penggunaan propofol
sebagai anestesi based.
Walaupun operasi laparoscopy memiliki ketidaknyamanan yang lebih kecil
bila dibandingkan dengan prosedur terbuka, namun nyeri post operasi tetap harus
dipertimbangkan. Penggunaan multimodal analgesia dan pengurangan dosis
opioid dapat menurunkan insiden PONV.

Anda mungkin juga menyukai