A. PENGERTIAN ANESTESI
Anestesi adalah menghilangnya rasa nyeri, dan menurut jenis kegunaannya
dibagi menjadi anestesi umum yang disertai hilangnya kesadaran, sedangakan anestesi
regional dan anestesi local menghilangya rasa nyeri disatu bagian tubuh saja tanpa
menghilangnya kesadaran (Sjamsuhidajat & De Jong, 2012).
Anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh
(Morgan, 2011).
B. MACAM-MACAM ANESTESI
Menurut Potter & Perry tahun 2006, pasien yang mengalami pembedahan akan
menerima anestesi dengan salah satu dari tiga cara sebagai berikut:
1. Anestesi Umum
Klien yang mendapat anestesi umum akan kehilangan seluruh sensasi dan
kesadarannya. Relaksasi otot mempermudah manipulasi anggota tubuh. Pembedahan
yang menggunakan anestesi umum melibatkan prosedur mayor, yang membutuhkan
manipulasi jaringan yang luas.
2. Anestesi Regional
Induksi anestesi regional menyebabkan hilangnya sensasi pada daerah tubuh tertentu.
Anestesi regional terdiri dari spinal anestesi, epidural anestesi, kaudal anestesi.
Metode induksi mempengaruhi bagian alur sensorik yang diberi anestesi. Ahli anestesi
memberi regional secara infiltrasi dan lokal. Pada bedah mayor, seperti perbaikan
hernia, histerektomi vagina, atau perbaikan pembuluh darah kaki, anestesi regional
atau spinal anestesi hanya dilakukan dengan induksi infiltrasi. Blok anestesi pada saraf
vasomotorik simpatis dan serat saraf nyeri dan motoric menimbulkan vasodilatasi
yang luas sehingga klien dapat mengalami penurunan tekanan darah yang tiba – tiba.
3. Anestesi Lokal
Anestesi lokal menyebabkan hilangnya sensasi pada tempat yang diinginkan. Obat
anestesi menghambat konduksi saraf sampai obat terdifusi ke dalam sirkulasi.
Anestesi lokal umumnya digunakan dalam prosedur minor pada tempat bedah sehari.
b. Anestesi Inhalasi
Pada anestesi ini, anestetik yang bentuk dasarnya berupa gas (N2O), atau
larutan yang diuapkan menggunakan mesin anestesi, masuk ke dalam sirkulasi
sistemik melalui system pernapasan yaitu secara difusi di alveoli. Jenis gas atau
cairan yang digunakan saat anestesi inhalasi diantaranya:
1) Eter, menimbulkan efek analgesia dan relaksasi otot yang sangat baik dengan
batas keamanan yang lebar jika dibandingkan dengan obat inhalasi lain. Eter
jarang digunakan karena baunya yang menyengat, merangsang hiperekskresi
dan menyebabkan mual dan muntah akibat rangsangan lambung maupun efek
sentral. Eter tidak dianjurkan untuk diberikan pada penderita trauma kepala
dan keadaan peningkatan intrakranial karena dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah otak.
2) Halotan, tidak berwarna dan baunya enak serta induksinya mudah dan cepat.
Walaupun mekanismenya belum jelas, efek bronkodilatasi yang timbul dapat
dimanfaatkan pada penderita asma bronkial. Daya analgesik dan relaksasi otot
luriknya lebih lemah dari pada eter. Halotan juga dapat menyebabkan depresi
napas dan depresi sirkulasi akibat vasodilatasi dan menurunnya kontraktilitas
otot jantung. Tidak dianjurkan bagi pasien Sectio Caesarea karena dapat
menurunkan kontraktilitas otot rahim serta mengurangi efektivitas ergotonin
dan oksitosin. Halotan juga dapat menimbulkan gangguan hati, diduga akibat
hepatotoksisitas oleh imun serta tidak boleh diberikan pasien dengan riwayat
penggunaan halotan dalam waktu 3 bulan sebelumnya. MAC 0,75%.
3) Enfluran, bentuk dasarya adalah cairan tidak berwarna dengan bau
menyerupai bau eter. Induksi dan pulih sadarnya cepat, tidak bersifat iritan
bagi jalan napas, dan tidak menyebabkan
hiperekskresi kelenjar ludah dan bronkial. Biotransformasi enfluran minimal
sehingga kemungkinan kecil bagi gangguan faal hati.
4) Isofluran, cairan tidak berwarna dengan bau tidak enak. Efeknya terhadap
pernapasan dan sirkulasi kurang lebih sama dengan halotan dan enfluran.
Perbedaannya adalah bahwa pada konsentrasi rendah, isofluran tidak
menyebabkan perubahan aliran darah ke otak asalkan penderita dalam kondisi
normokapnia. MAC 1,2%.
5) Sevofluran, mempunyai efek neuroprotektif. Tidak berbau dan paling sedikit
menyebabkan iritasi jalan nafas sehingga cocok digunakan sebagai induksi
anestesi umum. Karena sifatnya mudah larut, waktu induksiya lebih pendek
dan pulih sadar segera terjadi setelah pemberian dihentikan. Biodegradasi
sevofluran menghasilkan metabolit yang bersifat toksik dalam konsentrasi
tinggi. MAC 2,0%.
6) Desfluran, merupakan halogenasi eter yang rumus bangun dan efek klinisnya
sama dengan isoflurane. Mudah menguap tapi memerlukan alat penguap
khusus. Digunakan terutama sebagai komponen hipnotik dalam pemeliharan
anestesi umum juga memiliki efek analgetic ringan dan relaksasi otot ringan.
Bersifat iritatif sehingga menimbulkan batuk, sesak napas, atau bahkan spasme
laring sehingga biasanya tidak digunakan untuk induksi. MAC 6,0 %.
c. Anestesi Intravena
1) Thiopental, termasuk dalam golongan barbiturate.
Sifat anestesi thiopental adalah:
a) Merupakan hipnotik yang sangat kuat
b) Induksinya cepat, lancer, dan tidak diikuti oleh eksitasi
c) Pola respirasi tenang dan bisa hipoventilasi
d) Tidak mempunyai efek analgetic
e) Tidak menimbulkan relaksasi otot
f) Pemulihan cepat tetapi masih ada rasa mengantuk
g) Efek samping mual dan muntah jarang dijumpai
Dosis induksi: Thiopental (konsentrasi 2,5%) 3-6 mg/kgBB diberikan secara
intravena secara perlahan-lahan.
Kontraindikasi: Tidak boleh diberikan pada pasien yang menderita penyakit
paru obstruktif kronis, dekompresi cordis, syok berat, insufisiensi
adrenokortikal, status asmatikus, porfiria.
Efek samping: hipoventilasi sampai henti napas, risiko spasme laring dan
bronkus, depresi kardiovaskuler, dapat menimbulkan nekrosis sentral hati.
2) Midazolam, termasuk golongan benzodiazepine. Dapat digunakan untuk
premedikasi, sedasi intravena, induksi intravena, dan tata laksana kejang.
Dosis induksi: 0,1-0,4 mg/kgBB diberikan secara IV.
3) Ketamine, memiliki sifat analgesic, anestetik, dan kataleptik dengan kerja
singkat (Gunawan & Setiabudi, 2016). Ketamin juga dapat menimbulkan
dilatasi bronkus sehingga merupakan obat pilihan pada pasien asma
(Senapathi, 2017).
Dosis: Induksi intravena: 1-2 mg/kgBB
Pemeliharaan: 10-20 mcg/kgBB/menit
Analgesia atau sedasi: 2,5-15 mcg/kgBB/menit
4) Propofol, dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu. Memiliki
efek hipnotik tetapi tidak memiliki efek analgetic maupun relaksasi otot.
Sering menyebabkan nyeri sehingga beberapa detik sebelumnya dapat
diberikan lidokain 20-40 mg secara intravena. Propofol bekerja lebih cepat
daripada thiopental, konfusi pasca bedah minimal, mual-muntah pasca bedah
minimal.
Dosis: Induksi: injeksi intravena 1-2,5 mg/kgBB
Infus untuk pemeliharaan: 50-200 mcg/kgBB/menit
Infus untuk sedasi: 25-100 mcg/kgBB/menit
Efek samping: hipotensi, apnnea sementara selama induksi
d. Opioid
Golongan opioid merupakan analgetic kuat yang digunakan intraoperative.
Efek Samping:
1) Efek sedative hipnotik
2) Efek epileptogenic
3) Depresi napas
4) Efek terhadap pupil: menyebabkan pupil miosis
5) Kaku otot
6) Mual muntah
7) Efek pada tractus gastrointestinal: penurunan motilitas lambung dan usus,
hambatan sekresi pada usus, peningkatan tonus sphingter, peningkatan absorbs
air sehingga terjadi konstipasi
8) Efek tractus urinarius: menurunkan tonus pada detrusor kandung kemih,
meningkatkan tonus sphingter urinarius sehingga menyebabkan retansi urin
9) Efek pada system kardiovaskuler: efek samping minimal. Menyebabkan
vasodilatasi pembuluh darah sehingga terjadi penurunan preload, afterload,
dan tekanan darah (Butterworth et al, 2018).
e. Obat Pelumpuh Otot
Tabel 2.3 Profil Obat Pelumpuh Otot (Butterworth et al, 2018)
Onset kerja Durasi kerja Dosis Dosis
Dosis
ED95 untuk untuk pemeliharaan pemeliharaan
Obat Struktur klinis Metabolisme Ekskresi intubasi Efek samping
(mg/kg) intubasi intubasi dengan bolus dengan infus
(mg/kg)
(menit) (menit) (mg/kg) (µg/kg/menit)
Pelumpuh otot depolarisasi
2-15
Succinylcholine Diacetylcholine Signifikan - 0,5 1,0 0,5 5-10 0,15
mg/menit
Pelumpuh otot non depolarisasi
Long Acting
Pancuronium Steroidal Terbatas Ginjal 0.07 0,12 2-3 60-120 0,01 - Takikardi
Intermediate Acting
Vecuronium Steroidal Terbatas Empedu 0,05 0,12 2-3 45-90 0,01 1-2
Tidak
Rocuronium Steroidal Empedu 0,3 0,8 1,5 35-75 0,15 9-12
signifikan
Tidak Aman hepar dan
Atracurium Benzylisoquinolone Signifikan 0,2 0.5 2,5-3 30-45 0,1 5-12
signifikan ginjal
Tidak
Cisatracurium Benzylisoquinolone Signifikan 0,05 0,2 2-3 40-75 0,02 1-2 Isomer atracurium
signifikan
Short Acting
Hipotensi dan
Mivacurium Benzylisoquinolone Signifikan - 0,08 0,2 2,5-3 15-20 0,05 4-15
Histamin +
3. Indikasi
Indikasi dalam melaksankan tindakan Intubasi Endotrakea Tube adalah
sebagaimana berikut:
a. Ada obstruksi jalan nafas bagian atas
b. Pasien memerlukan bantuan nafas dengan respirator
c. Menjaga jalan nafas tetap bebas
d. Pemberian anestesi seperti pada operasi kepala, mulut, hidung, tenggorokan,
operasi dominal dengan relaksasi penuh dan operasi thoracotomy.
e. Terdapat banyak sputum ( pasien tidak mengeluarkan sendiri )
4. Jenis Instubasi
a. Intubasi Oral
Keuntungan : lebih mudah dilakukan, bisa dilakukan dengan cepat pada pasien
dalam keadaan emergency, resiko terjadinya trauma jalan nafas lebih kecil.
Kerugian : tergigit, lebih sulit dilakukan oral hygiene dan tidak nyaman.
b. Intubasi Nasal
Keuntungan : pasien merasa lebih enak/ nyaman, lebih mudah dilakukan pada
pasien sadar, tidak akan tergigit
Kerugian : pipa ET yang digunakan lebih kecil, pengisapan secret lebih sulit,
dapat terjadi kerusakan jaringan dan perdarahan, dan lebih sering terjadi infeksi
(sinusitis)
5. Komplikasi
a. Ringan : Tenggorokan serak, kerusakan pharyng, muntah,aspirasi, gigi copot/
rusak.
b. Serius : Laryngeal edema, obstruksi jalan nafas, rupture trachea, perdarahan
hidung, fistula trcheoesofagal granuloma, memar, laserasi akan terjadi dysponia
dan dyspagia, bradi kardi, aritmia, sampai dengan cardiac arrest.
6. Penyulit
a. Leher pendek
b. Fraktur servical
c. Rahang bawah kecil
d. Osteoarthritis temporo mandibula joint
e. Trismus
f. Ada masa difaring dan laring
7. Persiapan Pasien dan Alat
a. Persiapan pasien.
1) Beritaukan pasien tentang tindakan yang akan dilakukan.
2) Minta persetujuan keluarga/ informed consent
3) Berikan support mental
4) Hisap cairan atau sisa makanan dari naso gastric tube jika terpasang NGT
5) Yakinkan pasien terpasang IV line dan infuse menetes dengan lancer
b. Persiapan alat
1) Bag and mask + slang 02 dan 02
2) Laryngoscope lengkap dengan blade sesuai ukuran pasien dan lampu harus
menyala dengan terang
3) Alat-alat untuk suction ( yakinkan berfungsi dengan baik )
4) Xillocain jelli/ xyllocain spraydan ky jelli
5) Naso/ orotracheal tube sesuai ukuran pasien
6) Laki-laki dewasa no 7, 7.5, 8
7) Perempuan dewasa no 6.5, 7, 7.5
8) Anak-anak usia ( dalam tahun ) + 4 dibagi 4
9) Konektor yang cocok dengan tracheal tube yang disiapkan
10) Stilet/ mandarin
11) Magyll forcep
12) Oropharingeal tube ( mayo tube )
13) Stethoscope
14) Spuit 20 cc untuk mengisi cuff
15) Flester untuk fiksasi
16) Gunting bantal kecil setinggi 12 cm
c. Prosedur
1) Mencuci tangan
2) Posisi pasien terlentang
3) Kepala diganjal bantal kecil setinggi 12 cm
4) Pilih ukuran pipa endotraceal yang akan digunakan
5) Periksa balon pipa/ cuff ETT
6) Pasang blade yang sesuai
7) Oksigenasi dengan bag dan mask/ ambil bag dengan O2 100%
8) Masukan obat-obat sedasi dan muscle relaxan
9) Buka mulut dengan laryngoscope sampai terlihat epiglottis
10) Dorong blade sampai pangkal epiglottis
11) Lakukan pengisapan lender bila banyak secret
12) Anastesi daerah laring dengan xillocain spray ( bila kasus emergency tidak
perlu dilakukan )
13) Masukan endotraceal tube yang sebelumnya sudah diberi jelli
14) Cekapakah endotraceal sudah benar posisinya
15) Isi cuff dengan udara, sampai kebocoran mulai tidak terdengar
16) Lakukan fiksasi dengan plester
17) Foto thorak
8. Perawatan Intubasi
a. Fiksasi harus baik
b. Gunakan oropharing air way ( guedel )pada pasien yang tidak kooperatif
c. Hati-hati pada waktu mengganti posisi pasien
d. Jaga kebersihan mulut dan hidung
e. Jaga patensi jalan nafas
f. Humidifikasi yang adekuat
g. Pantau tekanan balon
h. Observasi tanda-tanda vital dan suara paru-paru
i. Lakukan fisioterapi nafas tiap 4 jam
j. Lakukan suction setiap fisioterapi nafas dan sewaktu-waktu bila ada suara lender
k. Yakinkan bahwa posisi konektor dalam posisi baik
l. Cek blood gas untuk mengetahui perkembangan
m. Lakukan foto thorak segera setelah intubasi dan dalam waktu-waktu tertentu
n. Observasi terjadinya empisema kutis
o. Air dalam water trap harus sering terbuang
p. Pipa endotraceal tube ditandai diujung mulut/ hidung
2. Pelaksanaan Anestesi
a. Manajemen Pre-Operatif
Pada prossedur laparoscopy akan terjadi perubahan fisiologis khususnya
pada hemodinamik dan pernapasan, oleh karena itu evaluasi preoperative harus
lebih difokuskan pada pasien yang memiliki penyakit paru atau jantung yang
berat.
Pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan pada pasien antara lain tes darah
lengkap, urinalisis, elektrolit dan tes fungsi ginjal (karena ada kemungkinan
terjadinya oliguria pada proses laparoscopy yang lama). Pemeriksaan fungsi paru,
Analisa gas darah, dan saturasi oksigen akan sangat membantu. Pemeriksaan foto
rontgen thorax preoperative sebagai baseline sangatlah penting, selain untuk
mengetahui ada tidaknya kelainan pada paru juga dapat digunakan untuk
mengevaluasi komplikasi post operatif seperti emfisema subkutan atau
mediastinum.
Obat untuk premedikasi sebaiknya dipilih obat yang tidak menyebabkan
mengantuk pasca operasi, maka dari itu sebaiknya digunakan obat-obatan dengan
masa kerja singkat seperti midazolam. Pemberian dosis yang tepat serta waktu
pemberian yang tepat sangatlah penting untuk mencapai keuntungan yang
maksimal dari pemberian premedikasi.
b. Manajemen Intra-Operatif
Berbagai macam teknik anestesi dapat digunakan dalam operasi laparoskopi,
namun demikian pasien yang dilakukan tindakan laparoskopi biasanya
menggunakan Teknik anestesi umum dengan menggunakan intubasi endotracheal
tube dan standar monitoring, NIBP dan kapnograf sangat penting untuk
memantau efek hemodinamik dan pernapasan akibat pneumoperitoneum dan
perubahan posisi.
ETT dapat memproteksi jalan napas dan mencegah aspirasi. Pada
laparoskopi yang berlangsung dalam waktu yang isngkat dan prosedur
ekstraperitoneal seperti repair hernia, ventilasi dengan menggunakan peralatan
supraglottic airway dapat digunakan sebagai alternatif. Penggunaan general
anestesi dengan LMA dapat digunakan denga naman dan efektif pada pasien non
obese, penggunaan LMA juga dapat menurunkan kejadian nyeri tenggorokan post
operatif dan juga pemulihan yang lebih smooth dengan angka kejadian batuk-
batuk post operatif yang lebih rendah bila dibandingkan dengan penggunaan
intubasi endotracheal.
Laparoskopi juga dapat dilakukan dengan regional anestesia meliputi perifer
nerve blok, neuroaxial block maupun infiltrasi. Keuntungannya adalah masa pulih
yang lebih cepat, mual muntah post operatif yang lebih rendah, perubahan
hemodinamik lebih kecil. Regional anestesi dapat bermanfaat untuk prosedur
yang cepat dan tekanan intraperitoneal yang rendah seperti pada tindakan ligasi
tuba atau repair hernia ekstraperitoneal. Regional anestesi tidak dianjurkan untuk
prosedur pembedahan abdomen bagian atas. Bagaimanapun, epidural anastesia
dapat menjadi metode pilihan untuk tindakan laparoskopi pada pasien dengan
penyakit paru obstruktif yang berat dan juga pada pasien hamil.
ETCO2 paling sering digunakan sebagai indicator noninvasif dari PaCO2
dalam menentukan adekuat atau tidaknya ventilasi yang diberikna selama
laparoskopi. Dengan meningkatkan minute volume 12-16% maka kita dapat
menjaga agar kadar PaCO2 mendekati level preinsuflasi dan bahwa ETCO2
memberikan perkiraan dari PaCO2 pada pasien sehat yang menjalani operasi
perlaparoskopi.
Operasi laparoskopi memiliki risiko komplikasi yang berbeda meskipun
tindakan ini merupakan minimal invasive. Komplikasi radiorespirasi yang
berhubungan dengan tindakan anestesi antara lain hipotensi, hipertensi, takikardi,
bradikardi, disritmia, hiperkapnia, hipoksemia, atelectasis dan barotrauma. Bila
insuflasi dilakukan tidak hati-hati dan insuflasi masuk ke pembuluh darah maka
akan terjadi emboli, meskipun jarang terjadi namun merupakan komplikasi yang
mematikan. Emfisema subkutan dapat terjadi bila pemberian gas insuflasi terjadi
pada subkutan. Pneumothorax dapat terjadi ketika tekanan jalan napas terlalu
tinggi, gas akan masuk ke thorax melalui peritoneum visceral, pleura parietal.
Pneumothorax dapat asimtomatik atau bisa menyebabkan peningkatan puncak
tekanan jalan napas (peak airway pressure), menurunkan saturasi oksigen,
hipotennsi, dan pada kasus yang berat menyebabkan cardiac arrest.
c. Manajemen Post-Operatif
Hiperkapnia dapat menetap sampai dengan 45 menit setelah prosedur
laparoscopy selesai. PONV setelah laparoscopy dipengaruhi oleh jenis dari
prosedur, residual, pneumoperitoneum dan karakteristik pasien. Beberapa obat
dapat digunakan secara tunggal atau kombinasi untuk mencegah atau mengobati
komplikasi ini. Obat yang dapat digunakan antara lain metoclopramide,
ondansentron, dan dexamethasone. Untuk menurunkan insiden PONV dapat
dipertimbangkan untuk meminimalisir dosis opioid dan penggunaan propofol
sebagai anestesi based.
Walaupun operasi laparoscopy memiliki ketidaknyamanan yang lebih kecil
bila dibandingkan dengan prosedur terbuka, namun nyeri post operasi tetap harus
dipertimbangkan. Penggunaan multimodal analgesia dan pengurangan dosis
opioid dapat menurunkan insiden PONV.