Anda di halaman 1dari 13

BAB II

KONSEP DASAR ANESTESI

A. PENGERTIAN ANESTESI
Anestesi adalah menghilangnya rasa nyeri, dan menurut jenis kegunaannya
dibagi menjadi anestesi umum yang disertai hilangnya kesadaran, sedangakan anestesi
regional dan anestesi local menghilangya rasa nyeri disatu bagian tubuh saja tanpa
menghilangnya kesadaran (Sjamsuhidajat & De Jong, 2012).
Anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh
(Morgan, 2011).

B. MACAM-MACAM ANESTESI
Menurut Potter & Perry tahun 2006, pasien yang mengalami pembedahan akan
menerima anestesi dengan salah satu dari tiga cara sebagai berikut:
1. Anestesi Umum
Klien yang mendapat anestesi umum akan kehilangan seluruh sensasi dan
kesadarannya. Relaksasi otot mempermudah manipulasi anggota tubuh. Pembedahan
yang menggunakan anestesi umum melibatkan prosedur mayor, yang membutuhkan
manipulasi jaringan yang luas.
2. Anestesi Regional
Induksi anestesi regional menyebabkan hilangnya sensasi pada daerah tubuh tertentu.
Anestesi regional terdiri dari spinal anestesi, epidural anestesi, kaudal anestesi.
Metode induksi mempengaruhi bagian alur sensorik yang diberi anestesi. Ahli anestesi
memberi regional secara infiltrasi dan lokal. Pada bedah mayor, seperti perbaikan
hernia, histerektomi vagina, atau perbaikan pembuluh darah kaki, anestesi regional
atau spinal anestesi hanya dilakukan dengan induksi infiltrasi. Blok anestesi pada saraf
vasomotorik simpatis dan serat saraf nyeri dan motoric menimbulkan vasodilatasi
yang luas sehingga klien dapat mengalami penurunan tekanan darah yang tiba – tiba.
3. Anestesi Lokal
Anestesi lokal menyebabkan hilangnya sensasi pada tempat yang diinginkan. Obat
anestesi menghambat konduksi saraf sampai obat terdifusi ke dalam sirkulasi.
Anestesi lokal umumnya digunakan dalam prosedur minor pada tempat bedah sehari.

C. KONSEP GENERAL ANESTESI


1. Pengertian General Anestesi
Anestesi umum menurut American Association of Anestesiologist merupakan
pemberian obat yang menginduksi hilangnya kesadaran dimana pasien tidak arousable,
meskipun dengan stimulasi yang sangat menyakitkan. Kemampuan untuk mengatur
fungsi pernafasan juga terganggu. Pasien seringkali membutuhkan bantuan untuk
menjaga patensi jalan nafas, dan tekanan ventilasi positif dibutuhkan karena hilangnya
ventilasi spontan atau hilangnya fungsi neuromuskular. Fungsi kardiovaskular juga
terganggu (ASA, 2013).
Anestesi umum atau general anesthesia mempunyai tujuan menghilangkan rasa
nyeri, membuat tidak sadar, dan menyebabkan amnesia yang bersifat reversible dan
dapat diprediksi. Anestesi umum juga disebut narkose atau bius. Anestesi umum juga
menyebabkan amnesia yang bersifat anterograd yang artinya pasien tidak akan
mengingat saat dilakukan pembiusan dan operasi sehingga saat pasien sudah sadar
tidak ingat apa tindakan apa yang dilakukan. Sifat anestesi umum yang reversible
memungkinkan pasien bangun atau sadar kembali tanpa efek samping. Anestesi umum
juga dapat diperkirakan pasien bangun kembali dengan penyesuain dosis. Tiga pilar
anestesi umum atau disebut trias anestesi , meliputi : hipnotik atau sedative yaitu
membuat pasien tertidur atau mengantuk, analgesia atau tidak merasakan sakit, dan
relaksasi otot yaitu kelumpuhan otot skelet (Pramono, 2015).
Teknik anestesi umum adalah suatu tindakan meniadakan nyeri (analgetik)
secara sentral disertai hilangnya kesadaran (hipnotik), relaksasi otot (relaxan) yang
merupakan triase anestesi yang bersifat dapat pulih kembali.

2. Tujuan General Anestesi


Grace & Borley (2010) menyatakan bahwa tujuan dari pemberian general
anestesi dalam pembedahan, yaitu:
a. Menginduksi hilangnya kesadaran dengan menggunakan obat hipnotik yang dapat
diberikan secara intravena (misalnya: propofol) atau inhalasi (misalnya:
sevofluran).
b. Menyediakan kondisi operasi yang cukup untuk lamanya prosedur pembedahan
dengan menggunakan anestesi seimbang, yaitu kombinasi obat hipnotik untuk
mempertahankan anestesi (misalnya: propofol, sevofluran), analgesik untuk nyeri,
dan bila diindikasikan relaksan otot, atau anestesi regional.
c. Mempertahankan fungsi fisiologis yang penting dengan cara berikut:
1) Menyediakan jalan napas yang bersih (masker laring atau selang trakea kurang
lebih ventilasi tekanan positif intermitten).
2) Mempertahankan akses vaskular yang baik.
3) Pemantauan fungsi tanda tanda vital (oksimetri nadi, kapnografi, tekanan
darah arteri, suhu, EKG, keluaran urin setiap jam).
4) Membangunkan pasien dengan aman saat akhir prosedur pembedahan.

3. Indikasi General Anestesi


Anestesi umum biasanya dimanfaatkan untuk tindakan operasi besar yang
memerlukan ketenangan pasien dan waktu pengerjaan bedah yang lebih panjang,
misalnya pada kasus bedah jantung, pengangkatan batu empedu, bedah rekonstruksi
tulang dan lain-lain. Selain itu, anestesi umum biasanya dilakukan pada pembedahan
yang luas (Potter & Perry, 2006).

4. Kontraindikasi General Anestesi


Muhardi, dkk (2009) menyatakan bahwa kontraindikasi general anestesi
tergantung dari efek farmakologi obat anestetika terhadap organ tubuh, misalnya pada
kelainan:
a. Jantung : hindarkan pemakaian obat-obat yang mendespresi miokard atau
menurunkan aliran darah coroner
b. Hepar : hindarkan obat hepatotoksik, obat yang toksis terhadap hepar atau dosis
obat diturunkan
c. Ginjal : hindarkan atau seminim mungkin pemakaian obat yang diekskresi melalui
ginjal
d. Paru : hindarkan obat-obat yang menaikkan sekresi dalam paru
e. Endokrin : hindarkan pemakaian obat yang merangsang susunan saraf simpatis
pada diabetes penyakit basedow, karena bisa menyebabkan peninggian gula darah.
5. Obat-obatan General Anestesi
Sjamsuhidajat & De Jong (2010) menyatakan anestetik yang menghasilkan
anestesia umum dapat diberikan dengan cara inhalasi, parenteral, atau
imbang/kombinasi.
a. Anestesi Inhalasi
Pada anestesi ini, anestetik yang bentuk dasarnya berupa gas (N2O), atau
larutan yang diuapkan menggunakan mesin anestesi, masuk ke dalam sirkulasi
sistemik melalui system pernapasan yaitu secara difusi di alveoli. Jenis gas atau
cairan yang digunakan saat anestesi inhalasi diantaranya:
1) Eter, menimbulkan efek analgesia dan relaksasi otot yang sangat baik dengan
batas keamanan yang lebar jika dibandingkan dengan obat inhalasi lain. Eter
jarang digunakan karena baunya yang menyengat, merangsang hiperekskresi
dan menyebabkan mual dan muntah akibat rangsangan lambung maupun efek
sentral. Eter tidak dianjurkan untuk diberikan pada penderita trauma kepala
dan keadaan peningkatan intrakranial karena dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah otak.
2) Halotan, tidak berwarna dan baunya enak serta induksinya mudah dan cepat.
Walaupun mekanismenya belum jelas, efek bronkodilatasi yang timbul dapat
dimanfaatkan pada penderita asma bronkial. Daya analgesik dan relaksasi otot
luriknya lebih lemah dari pada eter. Halotan juga dapat menyebabkan depresi
napas dan depresi sirkulasi akibat vasodilatasi dan menurunnya kontraktilitas
otot jantung. Tidak dianjurkan bagi pasien Sectio Caesarea karena dapat
menurunkan kontraktilitas otot rahim serta mengurangi efektivitas ergotonin
dan oksitosin. Halotan juga dapat menimbulkan gangguan hati, diduga akibat
hepatotoksisitas oleh imun serta tidak boleh diberikan pasien dengan riwayat
penggunaan halotan dalam waktu 3 bulan sebelumnya.
3) Enfluran, bentuk dasarya adalah cairan tidak berwarna dengan bau menyerupai
bau eter. Induksi dan pulih sadarnya cepat, tidak bersifat iritan bagi jalan
napas, dan tidak menyebabkan
hiperekskresi kelenjar ludah dan bronkial. Biotransformasi enfluran minimal
sehingga kemungkinan kecil bagi gangguan faal hati.
4) Isofluran, cairan tidak berwarna dengan bau tidak enak. Efeknya terhadap
pernapasan dan sirkulasi kurang lebih sama dengan halotan dan enfluran.
Perbedaannya adalah bahwa pada konsentrasi rendah, isofluran tidak
menyebabkan perubahan aliran darah ke otak asalkan penderita dalam kondisi
normokapnia.
5) Sevofluran, mempunyai efek neuroprotektif. Tidak berbau dan paling sedikit
menyebabkan iritasi jalan nafas sehingga cocok digunakan sebagai induksi
anestesi umum. Karena sifatnya mudah larut, waktu induksiya lebih pendek
dan pulih sadar segera terjadi setelah pemberian dihentikan. Biodegradasi
sevofluran menghasilkan metabolit yang bersifat toksik dalam konsentrasi
tinggi.
b. Anestesi Parenteral
Anestetik parenteral secara umum digunakan untuk induksi anestesia umum
dan menimbulkan sedasi pada anestesia lokal dengan conscious sedation. Anestesia
parenteral langsung masuk ke darah dan eliminasinya harus menunggu proses
metabolisme sehingga dosisnya harus dihitung secara teliti. Untuk mempertahankan
anestesia atau sedasi pada tingkat yang diinginkan, kadarnya harus dipertahankan
dengan suntikan berkala atau pemberian infus kontinu. Agen anestetik yang dapat
digunakan yaitu propofol, benzodiazepin, dan ketamin (Sjamsuhidajat, dkk, 2011).
6. Stadium General Anestesi
Saat dilakukan tindakan anestesi seseorang akan mengalami stadium anestesi
melalui beberapa tahap. (Guedel 1920 dalam Pramono 2015) membagi anestesi umum
dengan eter dalam 4 stadium (stadium III dibagi menjadi 4 plana), yaitu :
a. Stadium satu adalah adalah stadium analgesia atau disorientasi yang berlangsung
antara induksi sampai hilangnya kesadaran.
b. Stadium dua adalah stadium delirium / eksitasi yang dimulai dari hilangnya
kesadaran atau hilangnya reflex bulu mata sampai nafas teratur.
c. Stadium tiga adalah pembedahan (surgical) adapun dibagi menjadi empat plana
1) Plana I
Ventilasi teratur, sifatnya toraco abdominal, mata terfiksasi / ekstrensik, pupil
miosis, reflex cahaya (+), lakrimasi meningkat, reflex faring / muntah (-), tonus
otot mulai menurun.
2) Plana II
Ventilasi teratur, sifatnya abdomino toracal, tidal volume menurun, ferkwensi
napas meningkat, pupil mulai midriasis, refleks cahaya menurun dan refleks
kornea (-).
3) Plana III
Ventilasi teratur dan sifatnya abdominal karena kelumpuhan syaraf intercostals,
lacrimasi (-), pupil melebar, refleks laring dan peritoneum (-), tonus otot
menurun.
4) Plana IV
Ventilasi tidak teratur dan tidak adekuat (megap-megap).
d. Stadium empat adalah stadium paralisis/overdosis yang dimulai dari henti nafas
(apnoe) sampai dengan henti jantung (cardio arrest).

7. Efek General Anestesi


Ada beberapa efek samping yang bisa saja ditimbulkan oleh general anestesi.
Efek samping yang ditimbulkan general anestesi pada tubuh menurut Katzung &
Berkowitz (2002) antara lain :
a. Pernapasan
Pasien dengan keadaan tidak sadar dapat terjadi gangguan pernapasan dan
peredaran darah. Maka dirasa penting dan harus dengan segera untuk melakukan
pertolongan resusitasi jika hal ini terjadi pada waktu anestesi agar pasien terhindar
dari kematian. Obat anestesi inhalasi menekan fungsi mukosilia saluran pernapasan
menyebabkan hipersekresi ludah dan lendir sehingga terjadi penimbunan mukus di
jalan napas.
b. Kardiovaskuler
Keadaan anestesi, jantung dapat berhenti secara tiba-tiba. Jantung dapat
berhenti disebabkan oleh karena pemberian obat yang berlebihan, mekanisme
reflek nervus yang terganggu, perubahan keseimbangan elektrolit dalam darah,
hipoksia dan anoksia, katekolamin darah berlebihan, keracunan obat, emboli udara
dan penyakit jantung. Perubahan tahanan vaskuler sistemik (misalnya: peningkatan
aliran darah serebral) menyebabkan penurunan curah jantung.
c. Gastrointestinal
Pada hal ini, regurgitasi dapat terjadi. Regurgitasi yaitu suatu keadaan
keluarnya isi lambung menuju faring tanpa adanya tanda-tanda. Salah satunya
dapat disebabkan karena adanya cairan atau makanan dalam lambung, tingginya
tekanan darah ke lambung dan letak lambung yang lebih tinggi dari letak faring.
General anestesi juga menyebabkan gerakan peristaltik usus akan menghilang.
d. Ginjal
Anestesi menyebabkan penurunan aliran darah ke ginjal yang dapat
menurunkan filtrasi glomerulus sehingga dieresis juga menurun.
e. Perdarahan
Selama pembedahan pasien dapat mengalami perdarahan, perdarahan dapat
menyebabkan menurunnya tekanan darah, meningkatnya kecepatan denyut jantung
dan pernapasan, denyut nadi melemah, kulit dingin, lembab, pucat serta gelisah.

8. Tata Laksana Post Operasi Pasca General Anestesi


Pada pasien setelah dilakukan tindakan operative akah kembali ke perawatan
pasca operasi di ruang pemulihan atau recovery room. Perawatan pasca operatif
memerlukan pengawasan penuh karena setelah tindakan operasi dan efek obat anestesi
yang masih tersisa menyebabkan fungsi tubuh belum kembali ke fisiologi tubuh yang
sempurna. Pada ruang pemulihan atau recovery room perawat harus memeriksa
kembali informasi perioperative secara relevan, mengkaji status terakhir klien serta
membuat dan mengimplementasikan rencana tindakan asuhan keperawatan yang
efektif. Setelah pasien berada di ruang pemulihan ada beberapa hal yang perlu perawat
perhatikan.
Menurut Potter & Perry (2006) hal yang perlu di perhatikan yaitu pemeriksaan
kondisi umum klien termasuk tanda-tanda vital, tingkat kesadaran, kondisi balutan dan
drain, status infus cairan, tingkat rasa nyaman, dan integritas kulit klien termasuk juga
waktu pulih sadarnya. Klien dalam ruang pemulihan rentan terjadi komplikasi pasca
bedah yang dipengaruhi oleh beberapa hal, diantaranya penurunan metabolisme karena
penurunan fungsi tubuh, adanya insisi luka bedah, ruang operasi dan ruang pemulihan
recovery room yang suhunya dingin, akibat obat-obatan anestesi dan gas oksigen.

9. Teknik Intubasi Endotracheal Tube (ETT)


a. Pengertian Intubasi Endotracheal Tube (ETT)
Intubasi endotracheal tube (ETT) adalah tindakan memasukan pipa trakea
ke dalam trakea melalui rima glottis, sehingga ujung distalnya berada kira- kira
di pertengahan trakea antara pita suara dan bifurkasio trakea (Dachlan, 2007).
Intubasi endotrakea dapat dilakukan melalui beberapa lintasan antara lain melalui
hidung (nasotrakeal), mulut (orotrakeal) dan melalui tindakan trakeostomi
(Latief, 2007).
Intubasi endotrakhea adalah teknik paling penting dan paling aman dalam
menjaga jalan nafas dengan cara memasukkan endotracheal tube (ETT) ke dalam
trakhea melalui mulut. Endotracheal tube (ETT) digunakan sebagai penghantar gas
anestesi dan memudahkan kontrol ventilasi dan oksigenasi, ataupun pada pasien
dengan anestesi umum. Intubasi trakea merupakan tindakan memasukakan pipa
khusus ke dalam trakea sehingga jalan nafas bebas hambatan dan nafas mudah
dibantu atau dikendalikan. Intubasi trakea dapat pula merupakan suatu tindakan
pertolongan darurat atau penyelamatan hidup (Dachlan, 2007).
Endotracheal tube (ETT) digunakan untuk mengalirkan gas anestesi
langsung ke dalam trakhea dan mengizinkan untuk kontrol ventilasi dan
oksigenasi. Pabrik menentukan standar endotracheal tube (ETT) (American
National Standards for Anesthetic Equipment; ANSI Z-79).Eendotracheal tube
(ETT) kebanyakan terbuat dari polyvinylchloride. Pada masa lalu, endotracheal
tube (ETT) diberi tanda “IT” atau “Z-79” untuk indikasi ini telah dicoba untuk
memastikan tidak beracun. Bentuk dan kekakuan dari endotracheal tube (ETT)
dapat dirubah dengan pemasangan mandren.
b. Tujuan Intubasi Endotracheal Tube (ETT)
Endotracheal tube (ETT) digunakan untuk mengalirkan gas anestesi
langsung ke dalam trakhea dan mengizinkan untuk kontrol ventilasi dan
oksigenasi. Pabrik menentukan standar endotracheal tube (ETT) (American
National Standards for Anesthetic Equipment; ANSI Z-79).Eendotracheal tube
(ETT) kebanyakan terbuat dari polyvinylchloride. Pada masa lalu, endotracheal
tube (ETT) diberi tanda “IT” atau “Z-79” untuk indikasi ini telah dicoba untuk
memastikan tidak beracun. Bentuk dan kekakuan dari endotracheal tube (ETT)
dapat dirubah dengan pemasangan mandren.
Tujuannya adalah pembebasan jalan nafas, pemberian nafas buatan dengan
bag and mask, pemberian nafas buatan secara mekanik ( respirator)memungkinkan
pengisapan secret secara adekuat, mencegah aspirasi asam lambung dan pemberian
oksigen dosis tinggi.
c. Indikasi
Indikasi dalam melaksankan tindakan Intubasi Endotrakea Tube adalah
sebagaimana berikut:
1) Ada obstruksi jalan nafas bagian atas
2) Pasien memerlukan bantuan nafas dengan respirator
3) Menjaga jalan nafas tetap bebas
4) Pemberian anestesi seperti pada operasi kepala, mulut, hidung, tenggorokan,
operasi dominal dengan relaksasi penuh dan operasi thoracotomy.
5) Terdapat banyak sputum ( pasien tidak mengeluarkan sendiri )
d. Jenis Instubasi
1) Intubasi Oral
Keuntungan : lebih mudah dilakukan, bisa dilakukan dengan cepat pada pasien
dalam keadaan emergency, resiko terjadinya trauma jalan nafas lebih kecil.
Kerugian : tergigit, lebih sulit dilakukan oral hygiene dan tidak nyaman.
2) Intubasi Nasal
Keuntungan : pasien merasa lebih enak/ nyaman, lebih mudah dilakukan pada
pasien sadar, tidak akan tergigit
Kerugian : pipa ET yang digunakan lebih kecil, pengisapan secret lebih sulit,
dapat terjadi kerusakan jaringan dan perdarahan, dan lebih sering terjadi
infeksi (sinusitis)
e. Komplikasi
1) Ringan : Tenggorokan serak, kerusakan pharyng, muntah,aspirasi, gigi copot/
rusak.
2) Serius : Laryngeal edema, obstruksi jalan nafas, rupture trachea, perdarahan
hidung, fistula trcheoesofagal granuloma, memar, laserasi akan terjadi
dysponia dan dyspagia, bradi kardi, aritmia, sampai dengan cardiac arrest.
f. Penyulit
1) Leher pendek
2) Fraktur servical
3) Rahang bawah kecil
4) Osteoarthritis temporo mandibula joint
5) Trismus
6) Ada masa difaring dan laring
g. Persiapan Pasien dan Alat
1) Persiapan pasien.
a) Beritaukan pasien tentang tindakan yang akan dilakukan.
b) Minta persetujuan keluarga/ informed consent
c) Berikan support mental
d) Hisap cairan atau sisa makanan dari naso gastric tube jika terpasang NGT
e) Yakinkan pasien terpasang IV line dan infuse menetes dengan lancar

2) Persiapan alat
a) Bag and mask + slang 02 dan 02
b) Laryngoscope lengkap dengan blade sesuai ukuran pasien dan lampu
harus menyala dengan terang
c) Alat-alat untuk suction ( yakinkan berfungsi dengan baik )
d) Xillocain jelli/ xyllocain spraydan ky jelli
e) Naso/ orotracheal tube sesuai ukuran pasien
f) Laki-laki dewasa no 7, 7.5, 8
g) Perempuan dewasa no 6.5, 7, 7.5
h) Anak-anak usia ( dalam tahun ) + 4 dibagi 4
i) Konektor yang cocok dengan tracheal tube yang disiapkan
j) Stilet/ mandarin
k) Magyll forcep
l) Oropharingeal tube ( mayo tube )
m) Stethoscope
n) Spuit 20 cc untuk mengisi cuff
o) Flester untuk fiksasi
p) Gunting bantal kecil setinggi 12 cm

h. Prosedur
1) Mencuci tangan
2) Posisi pasien terlentang
3) Kepala diganjal bantal kecil setinggi 12 cm
4) Pilih ukuran pipa endotraceal yang akan digunakan
5) Periksa balon pipa/ cuff ETT
6) Pasang blade yang sesuai
7) Oksigenasi dengan bag dan mask/ ambil bag dengan O2 100%
8) Masukan obat-obat sedasi dan muscle relaxan
9) Buka mulut dengan laryngoscope sampai terlihat epiglottis
10) Dorong blade sampai pangkal epiglottis
11) Lakukan pengisapan lender bila banyak secret
12) Anastesi daerah laring dengan xillocain spray ( bila kasus emergency tidak
perlu dilakukan )
13) Masukan endotraceal tube yang sebelumnya sudah diberi jelli
14) Cekapakah endotraceal sudah benar posisinya
15) Isi cuff dengan udara, sampai kebocoran mulai tidak terdengar
16) Lakukan fiksasi dengan plester
17) Foto thorax

i. Perawatan Intubasi
1) Fiksasi harus baik
2) Gunakan oropharing air way ( guedel )pada pasien yang tidak kooperatif
3) Hati-hati pada waktu mengganti posisi pasien
4) Jaga kebersihan mulut dan hidung
5) Jaga patensi jalan nafas
6) Humidifikasi yang adekuat
7) Pantau tekanan balon
8) Observasi tanda-tanda vital dan suara paru-paru
9) Lakukan fisioterapi nafas tiap 4 jam
10) Lakukan suction setiap fisioterapi nafas dan sewaktu-waktu bila ada suara
lender
11) Yakinkan bahwa posisi konektor dalam posisi baik
12) Cek blood gas untuk mengetahui perkembangan
13) Lakukan foto thorak segera setelah intubasi dan dalam waktu-waktu tertentu
14) Observasi terjadinya empisema kutis
15) Air dalam water trap harus sering terbuang
16) Pipa endotraceal tube ditandai diujung mulut/ hidung

j. Hal – hal Yang Harus Didokumentasikan


1) Tanggal pemasangan, siapa yang memasang
2) No OTT/ ETT
3) Jumlah udara yang dimasukan pada balon
4) Batas masuknya NTT/ ETT
5) Obat-obat yang diberikan
6) Respon pasien/ kesulitan yang terjadi

D. PENATALAKSANAAN ANESTESI PADA BEDAH SARAF


1. Prinsip Neuroanestesi
Prinsip pengelolaan anestesi untuk operasi otak atau operasi lain di luar otak
adalah sebagai berikut dan disebutkan sebagai prinsip ABCDE Neuroanestesi, yaitu:
a. A=Airway → jalan napas harus bebas sepanjang waktu
b. B=Breathing → ventilasi kendali, PaCO2 normokapnia pada cedera kepala,
sedikit hipokapnia pada tumor, PaO2 100-200 mmHg
c. C=Circulation → target normotensi (hindari lonjakan tekanan darah), cairan iso-
osmoler, normovolemia, normoglikemia, tidak ada gangguan drainage vena
serebral/ hindari peningkatan tekanan vena serebral
d. D=Drugs → hindari obat dan teknik meningkatkan tekanan intracranial, berikan
obat-obatan yang mempunyai efek proteksi otak
e. E=Environment → pertahankan suhu permissive hipotermi di OK (35ºC) dan di
ICU (35º-36ºC) (Bisri DY & Bisri T, 2019).

2. Pemeriksaan Pra Bedah


Menurut Bisri DY & Bisri T (2019), pemeriksaan pra bedah pada neuroanestesi
adalah:
a. Evaluasi Neurologik Pra Bedah: Anamnesa
Ditanyakan adanya riwayat kejang, tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial
seperti sakit kepala, mual, muntah, penglihatan kabur. Defisit neurologic fokal:
deficit motoric atau sensorik akibat efek dari penekanan massa, status hidrasi
untuk melihat asupan cairan, dan efek pemberian diuretic. Obat yang sedang
diberikan pada pasien tersebut seperti steroid, obat antiepileptic dan efek
buruknya. Ditanyakan juga kondisi medical yang menyertainya.
b. Evaluasi Neurologik Pra Bedah: Pemeriksaan Fisik
Dilakukan pemeriksaan status mental, level kesadaran, adanya papil edema,
respons Cushing’s (hipertensi, bradikardi), ukuran pupil, deficit bicara, skor
Glasgow Coma Scale (GCS) , deficit focal.
c. Evaluasi Neurologik Pra Bedah: Radiologi (CT atau MRI Scan).
3. Premedikasi
Hindari narkotik karena dapat menyebabkan peningkatan PaCO2 akibat efek
depresi napas, dan menimbulkan mual muntah, yang keduanya dapat meningkatkan
tekanan intracranial. Premedikasi sebaiknya dengan lorazepam atau midazolam (0,5-
1 mg/kg IM) (Bisri DY & Bisri T, 2019).

4. Monitoring
Pemantauan cerebral kontinyu memerlukan kombinasi metode pemantauan
sistemik rutin dan teknik spesifik khusus untuk otak.
a. Pemantauan serebral, yaitu:
1) Fungsi sereblar:
a) EEG
Pemantauan EEG diperlukan untuk mengevaluasi kecukupan perfusi
serebral selama prosedur carotid endarterectomy (CEA) dan kedalaman
anestesi (dengan EEG yang telah diproses) (Butterworth, 2018).
b) Evoked potentials
Evoked potentials somatosensorik dapat mengevaluasi integritas
kolumna dorsal spinalis dan korteks sensorik dapat membantu selama
operasi reseksi tumor spinal, instrumentasi area spinal, CEA dan
pembedahan aorta. Terrdiri atas somatosensory evoked potentials
(SEPs), motor evoked potentials (MEPs), brain auditory evoked
potentials (BAERs), dan visual evoked potentials (VEPs) (Butterworth,
2018).
2) Hemodinamik serebral/ aliran darah:
a) Tekanan arteri rata-rata (mean arterial pressure/MAP)
b) Tekanan intracranial (intracranial pressure/ ICP)
TIK merupakan tekanan CSF di supratentorial yang diukur di ventrikel
lateral atau diatas korteks serebral, normalnya <10 mmHg. Teerdapat
variasi nilai tersebut tergantung tempat pengukuran, namun, pada posisi
lateral rekumben, tekanan CSF lumbar secara normal mendekati tekanan
supratentorial. TIK juga bergantung pada usia, pada bayi sebesar 0-6
mmHg, balita 6-11 mmHg, dan remaja 13-15 mmHg (Szabo &
Luginbuehl, 2019).
c) Tekanan perfusi serebral (cerebral perfusion pressure/ CPP)
Tekanan perfusi serebral (CPP) adalah perbedaan antara tekanan rerata
arteri (MAP) dan tekanan intracranial (TIK) atau tekanan vena sentral
(CVP), bila lebih besar dari TIK. MAP – TIK (atau CVP) = CPP. CPP
normal 80-100 mmHg (Butterworth, 2018).
d) Transcranial doppler (TCD)
Umumnya digunakan untuk mengukur CBF pada middle cerebral artery
dengan tujuan untuk mengevaluasi integritas vaskularisasi otak
(Butterworth, 2018).
e) Cerebral blood flow (CBF)
Aliran darah serebral bervariasi antara 10-300 ml/ 100 g/ menit
tergantung pada aktivitas metabolime otak, dengan rerata 50 ml/ 100 g/
menit pada PaCO2 40 mmHg. Aliran pada substansia nigra 80 ml/ 100
g/ menit dan substansia alba sekitar 20 ml/ 100 g/ menit (4x lipat),
dengan total aliran darah serebral 750 ml/ menit (12-20% curah jantung)
(Butterworth, 2018).
3) Metabolisme serebral:
a) SJO2 (jugular venous oximetry) untuk mengukur oksigenasi serebral
(Schell & Cole, 2000).
b) CEO2
c) AVDO2
d) NIRS (near infrared spectroscopy) mengukur oksigenasi otak dengan
cara yang sama dengan pulse oximetry, yaitu menggunakan cahaya
inframerah jarak dekat (Steppan & Wogue, 2014). Parameter ini disebut
juga saturasi oksigen regional (rSO2) dengan nilai sama seperti pulse
oximetry yaitu 1-100%. Nilai normal rSO2 ialah 70% (seperti nilai
oksigenasi darah vena). Nilai <50% atau penurunan sebanyak 20% dari
nilai dasar diasosiasikan dengan turunnya oksigenasi serebral (Cottrell,
2017).
e) BtiO2.
b. Monitoring sirkulasi: ECG, tekanan darah non invasive atau invasive. CVP, arteri
line, pulomary arteri kateter hanya bila ada indikasi.
c. Monitoring ventilasi: pulse oximetry, end tidal CO2, Analisa gas darah,
konsentrasi O2 inspirasi.
d. Monitoring cairan: mengukur hematokrit atau produksi urin, relaksasi otot
dengan train of four (TOF) dan juga dipasang monitor temperature (Bisri DY &
Bisri T, 2019).

5. Induksi
Berikan oksigen 100% terlebih dulu, lalu fentanyl dengan dosis 1-3 µg/kg
perlahan dalam waktu 1 menit, jangan sampai pasien batuk. Bberikan 1/10 dosis
pelumpuh otot non depolarizing yang akan dipakai lalu berikan pentotal 5 mg/kg atau
propofol 2-2,5 mg/kg. Setelah refleks bulu mata negative (pengecualian yang sudah
koma/ GCS <9), dicoba untuk diventilasi, bila bisa diventilasi berikan sisa pelumpuh
otot ( dapat diberikan vecuronium 0,15 mg/kg atau rocuronium 0,6 mg/kg atau
atrachurium 0,5 mg/kg) lalu diventilasi dengan O2 100%. Bisa diventilasi dengan O2
– Sevofluran atau O2 – Isofluran dengan dosis 1,5 MAC. Berikan lidocaine 1-1,5
mg/kg IV 3 menit sebelum laringoskopi-intubasi. Pentotal ulangan atau propofol
ulangan (setengah dosis awal) dapat diberikan 30 detik sebelum laringoskopi-intubasi.
Selama induksi tekanan darah terus-menerus dipantau.
Intubasi dilakukan setelah tekanan darah menurun kira-kira 20% setelah tekanan
awal, relaksasi otot adekuat, dan dengan kombinasi obat-obat tersebut di atas pada
umumnya tekanan darah tidak terlalu turun (asal sebelumnya normovolemia) dan
tidak naik saat laringoskopi-intubasi.
Pemasangan oropharyngeal airway harus sesuai dengan ukuran agar tidak terjadi
penekanan pada faring. Mata diberi salep mata dan ditutup dengan plester. Untuk
mencegah kenaikan darah saat laringoskopi dan intubasi, dalamkan anestesi dengan
pentotal atau propofol, fentanyl, lidocaine. Jangan didalamkan dengan anestesi
inhalasi karena akan meningkatkan aliran darah otak.
Bila terjadi hipotensi saat induksi, lakukan elevasi tungkai, jangan tredelenburg
karena posisi tredelenburg akan menyababkan kenaikan tekanan intracranial. Berikan
kristaloid kira-kira 500 ml (pada dewasa) dengan cepat, bila tekanan darah masih
belum naik, beri koloid. Vasopressor (efedrin) diberikan bila tekanan arteri rerata
dibawah batas bawah autoregulasi (tekanan arteri rerata <50 mmHg) (Bisri DY &
Bisri T, 2019).
6. Pemeliharaan Anestesi
Pemilihan obat anestesi harus yang mempunyai efek paking kecil atau tidak
memengaruhi autoregulasi serebral dan kemapuan merespon CO2, mempertahankan
kestabilan kardiovaskuler. Pemilihan anestesi inhalasi berdasarkan efeknya pada ICP
dan pembuluh darah otak. Harus diingat bahwa semua anestesi inhalasi berefek
vasodilatasi serebral yang akan meningkatkan CBF, CBV dan ICP. Harus diketahhui
efek anestesi inhalasi terhadap autoregulasi, respon terhadap CO2, efek terhadap
metabolisme otak (CMRO2) dan adakah efek proteksi otak.
Menurut Bisri DY & Bisri T (2019), anjuran rumatan anestesi sebagai berikut:
a. Sevofluran 0,5-1,5%, propofol 50-150 mcg/kg/menit
b. Analgesia: Fentanyl
c. Saat pemasangan pin holder: anestesi local atau beri fentanyl
d. Posisi: head up 10º-20º, vena jugularis bebas
e. Mannitol 0,5-0,75 g//kg atau drainase lumbar
f. Normovolemia: kristaloid isotonic atau 6% HES untuk mengganti kehilangan
darah
g. Saat pemotongan jaringan otak: turunkan dosis narkotik

7. Slack Brain Selama Operasi


Isi tengkorak terdiri dari jaringan otak (80%), darah 8% dan cairan cerebrospinal
(12%) (Szabo & Luginbuehl, 2019). Untuk membuat slack brain (otak kempis) selama
anestesi maka harus mengurangi ketiga volume otak tersebut, jadi kurangi volume
jaringan otak, aliran darah otak, dan cairan cerebrospinal.
Pengurangan volume jaringan otak dapat dilakukan dengan memberikan osmotic
diuretic (mannitol), loop diuretic (furosemide) dan dexamethasone (hanya untuk
mengurangi edema otak akibat tumor otak). Mannitol: dosis 0,25-1 g/kgBB, diberikan
segera setelah induksi anestesi selama >20 menit (kecuali pada aneurisma serebri,
mannitol diberikan setelah dura dibuka). Bekerja dalam waktu 10-15 menit dan efektif
kira-kira selama 2 jam. Mannitol bekerja dengan membuat perbedaan tekanan
osmotic, autoregulassi viskositas, darah menjadi encer sehingga pengeluaran CO2
menjadi lebih baik, mengrangi volume cairan cerebrospinal. Dosis 0,25 g/kgBB akan
menaikkan osmolaritas 10 mOsm/liter. NaCl hipertonik (3%-7,5%) bersifat
hiperosmoler maka dapat digunakan untuk menurunkan tekanan intracranial karena
akan menarik air dari interstitial otak sehingga mengurangi aedema otak, akan tetapi
harus diingat bahwa hypernatremia mempunyai pengaruh yang buruk terhadap
miokardium, ginjal dan dapat terjadi mielinolisis pontin. Furosemide: dosis 0,5-1
mg/kgBB, bekerja di tubulus ginjal, menghambat reabsorbsi natrium dan menurunkan
produksi cairan cerebrospinal karena menghambat karbonik anhydrase.
Pengurangan aliran darah otak dapat dilakukan dengan tindakan ABCDE
neuroanestesi, yaitujalan napas bebas sepanjang waktu, hipokarbia, tidak hipoksia,
normotensi-sedikit hipotensi, obat (pentotal, propofol, etomidate), dan hipotermia.
Drainase aliran darah aka dipengaruhi oleh posisi kepala, maka posisi kepala harus
head up 30º dan dalam posisi netral ( leher tidak boleh miring kanan atau kiri, tidak
hiperfleksi atau hiperekstensi).
Pengurangan volume cairan cerebrospinal dapat dilakukan denganpemberian
obat yang menurunkan produksi cairan cerebrospinal dan atau meningkatkan absorbsi
cairan cerebrospinal (Bisri DY & Bisri T, 2019).
Tabel 2.1 Pencegahan Dan Terapi Hipertensi Intracranial Dan Pembengkakan Otak
Pencegahan Terapi
• Ansiolisis dan analgesia prabedah • Mengatur posisi kepala dan jangan
yang adekuat rotasi berlebihan (hindari
penekanan vena jugularis)
• Preinduksi: hiperventilasi atas • Hipertensi kendali ringan (MAP
instruksi, posisi head up, netral, tidak 100 mmHg) dengan
ada penekanan vena jugularis phenylephrine bila autoregulasi
serebral intact
• Hindari overhidrasi • Drainase CSF
• Osmotic diuretic (mannitol, NaCl • Osmotic diuretic
hipertonik); steroid untuk tumor
• Hemodinamik optimal: MAP, CVP; • Hiperventilasi (PaCO2 25-28
remifentanyl atau beta blocker untuk mmHg)
mencegah hipertensi
• Ventilasi: PaO2 >100 mmHg; PaCO2 • Naikkan kedalaman anestesi
35 mmHg, tekanan intrathoracal dengan anestesi intravena
rendah (tidak menggunakan PEEP) (propofol, thiopental)
• Anestesi intravena untuk induksi dan • Pelumpuh otot
rumatan

8. Ekstubasi
Bangun dari anestesia harus mulus dan hindari straining atau bucking akibat
adanya pipa endotrakea, hipertensi arterial dan kenaikan ICP. Untuk menghindari
bucking saat bangun dari anestesi, pelumpuh otot jangan direverse sampai selesai
membalut kepala. Lidokain IV (1,5 mg/kg) dapat diberikan 90 detik sebelum
penghisapan lendir dan ekstubasi untuk mengurangi batuk, straining dan hipertensi.
Adanya hipertensi saat bangun dari anestesi dapat menimbulkan hematom intracranial
pasca bedah. Cara dalam mencegah hipertensi saat bangun dari anestesi seraya pasien
tetap akan sadar, adalah dengan pemberian alpha-2 agonis dexmedetomidine yang
dimulai 10 menit sebelum ekstubasi, dengan dosis rerata 0,4 µg/kg/jam.
Prekondisi yang memungkinkan pasien dibangunkan segera adalah:
a. Kesadaran preoperative adekuat
b. Kardiovaskuler stabil, temperature tubuh normal, oksigenasi adekuat
c. Tidak ada laserasi otak yang luass atau komplikasi selama pembedahan
d. Tidak ada cedera pada saraf kranial IX, X, XII
e. Bukan operasi AVM (Arteriovenous Malformmation) yang besar (Bisri DY &
Bisri T, 2019)

9. Perawatan Pasca Bedah


Menurut Bisri DY & Bisri T (2019) perawatan passion pasca bedah neuro adalah
sebagai berikut:
a. Penentuan pasca bedah pasien dirawat di ICU atau tidak bergantung pada level
GCS pra bedah, besar dan lokasi tumor, adanya midline shift. Semua pasien
dengan posisi head up 30º netral yaitu tidak miring ke kiri atau ke kanan, tidak
hiperekstensi atau hiperfleksi untuk memperbaiki drainase vena serebral.
b. Bila perlu diventilasi, pertahankan normocapnia. Harus diindari PaCO 2 <35
mmHg selama 24 jam pertama setelah cedera kepala.
c. Kendalikan tekanan darah dalam batas autoregulasi. Sistolik tidak boleh <90
mmHg.
d. Infus dengan NaCl 0,9%, batasi pemberian RL, bisa diberikan koloid. Hematokrit
pertahankan 33%. Bila Hb <10 g% beri darah. Biasanya pada pasien sehat (bukan
kelainan cerebral) transfuse diberikan bila Hb <8%.
e. Untuk pengendalian kejang bisa diberikan phenytoin 10-15 mg/kg dengan
kecepatan 50 mg/menit. Bila sedang memberikan phenytoin terjadi kejang,
berikan diazepam 5-10 mg IV (0,3 mg/kgBB) perlahan-lahan 1-2 menit.

Anda mungkin juga menyukai