Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anestesi umum merupakan kondisi hilangnya respon rasa nyeri (analgesia),
hilangnya ingatan (amnesia), hilangnya respon terhadap rangsangan atau refleks dan
hilangnya gerak spontan (immobility), serta hilangnya kesadaran (unconsciousness)
(McKelvey dan Hollingshead, 2003). Anestesi dapat didefinisikan sebagai keadaan
tidak sadar di mana sensitivitas dan respon terhadap rangsangan berkurang. Anestesi
dan restrain kimia adalah proses reversible yang penting untuk praktek dalam dunia
kedokteran hewan yang memberi pasien kenyamanan dan keterbatasan gerak dan
efektif untuk meminimalisir stress dan rasa sakit serta dapat memfasilitasi berbagai
macam prosedur (Cornick dan Janyce, 2001).
Anestesi sangat berguna apabila akan dilakukan suatu tindakan pembedahan atau
operasi. Tindakan pembedahan sangat berkaitan antara perasaan pelaku pembedahan
dengan hewan yang akan dioperasi. Dengan pembiusan, hewan tidak mengalami
penderitaan, pelaksanaan operasi dapat dilakukan secara cermat, karena hewan dapat
tenang, dan efisien waktu, sehingga tindakan pembedahan dilakukan dengan aman dan
lancar (Hall dan Clarke, 1971). Klien yang menjalani pembedahan akan menerima
anestesi baik anestesi umum (GA), regional (RA) maupun lokal (LA), karena tanpa
anestesi tidak mungkin dilakukan pembedahan terutama prosedur mayor yang
melibatkan anestesi umum (Perry, 2005).
Anestesi dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu anestesi lokal dan anstesi
umum. Pada anestesi lokal, rasa sakit dan kesadaran menjadi hilang. Salah satu cara
pemberian anestesi umum adalah melalui intravena. Pemberian anestetik intravena
tidak mengalami tahap absorpsi, sehingga kadar obat dalam darah diperoleh secara
cepat, tepat, dan dapat disesuaikan langsung dengan respon penderita. Keuntungan
pemberian anestetika intravena ialah cepat dicapai induksi dan pemulihan, hewan tidak
bergejolak, efek analgesik dan relaksasi otot rangka sangat lemah (Handoko, 1995).
Dalam melakukan anestesi, pemilihan anestetika sangat penting karena dapat terjadi

1
kematian pada waktu dilakukan anestesi. Oleh karena itu perlu dilakukan pemilihan
obat-obatan yang mempunyai resiko kematian kecil. Pemilihan obat anestesi umum
harus didasarkan atas beberapa pertimbangan, yaitu jenis operasi, lamanya operasi,
temperamen hewan, fisiologis hewan, dan spesies hewan. Kondisi fisiologis khususnya
frekuensi nafas dan denyut jantung merupakan bagian vital yang perlu dipertahankan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksud dengan anastesi umum?
2. Apa saja klasifikasi anastesi umum?
3. Bagaimana mekanisme kerja obat anastesi umum?
4. Apa saja contoh obat anastesi umum?

1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian dari anastesi umum
2. Untuk mengetahui apa saja klasifikasi obat anastesi umum
3. Untuk mengetahui mekanisme kerja obat anastesi umum
4. Untuk mengetahui contoh obat anastesi umum

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Anastesi Umum


Anestesi Umum adalah obat yang dapat menimbulkan anestesi yaitu suatu keadaan
depresi umum dari berbagai pusat di sistem saraf pusat yang bersifat reversibel, dimana
seluruh perasaan dan kesadaran ditiadakan sehingga lebih mirip dengan keadaan
pinsan. Anestesi digunakan pada pembedahan dengan maksud mencapai keadaan
pingsan, merintangi rangsangan nyeri (analgesia), memblokir reaksi refleks terhadap
manipulasi pembedahan serta menimbulkan pelemasan otot (relaksasi). Anestesi
umum yang kini tersedia tidak dapat memenuhi tujuan ini secara keseluruhan, maka
pada anestesi untuk pembedahan umumnya digunakan kombinasi hipnotika,
analgetika, dan relaksasi otot (Kartika Sari, 2013).
Anestesi umum merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran (reversible). Pada tindakan anestesi umum terdapat
beberapa teknik yang dapat dilakukan adalah anestesi umum dengan teknik intravena
anestesi dan anestesi umum dengan inhalasi yaitu dengan face mask (sungkup muka)
dan dengan teknik intubasi yaitu pemasangan endotrecheal tube atau dengan teknik
gabungan keduanya yaitu inhalasi dan intravena (Latief, 2007).
Anestesi yang ideal akan bekera secara cepat dan baik serta mengembalikan
kesadaran dengan ceat segera sesudah pemberian dihentikan. Tidak satupun obat
anastesi dapat memberikan efek samping yang sangat minimal. Tidak satupun obat
anestesi dapat memberikan efek yang diharapkan tanpa efek samping, bila diberikan
secara tinggal sehingga pemilihan teksik anestesi merupakan hal yang sangat penting
dan membutuhkan pertimbangan dari pasien dan faktor pembedahan yang akan
dilaksanakan. (Latief et al., 2010)
Keuntungan anestesia umum adalah prosedur kerja lebih cepat sehingga sering
dilakukan pada kasuskasus dengan kecepatan waktu menjadi faktor utama, penurunan
insidensi hipotensi dan juga ketidakstabilan kardiovaskular, jalan napas, serta ventilasi
tetap terjaga dan terkontrol.

3
2.2 Klasifikasi Anastesi Umum
Anestesi umum menurut Mangku dan Tjokorda (2010), dapat dilakukan dengan 3
teknik, yaitu:
1. Anestesi umum intravena
Merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan dengan jalan
menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke dalam pembuluh darah
vena. Obat ini biasa digunakan sendiri untuk prosedur pembedahan singkat
dan kebanyakan obat anestetik intravena dipergunakan untuk induksi.
Kombinasi beberapa obat mungkin akan saling berpotensi atau efek salah satu
obat dapat menutupi pengaruh obat yang lain.
Anastesi intravema total menggunakan anestetika secara intravena (IV) untuk
iinduksi dan pemeliharaan anestesi (Miller, 2010)

2. Anestesi umum inhalasi


Merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan dengan jalan
memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan
yang mudah menguap melalui alat/ mesin anestesi langsung ke udara inspirasi.
Anastesi umum yang sering digunakan dan cukum aman adalah anestesi umum
golongan inhalasi yang baik yang volatile ataupun gas, seperti halotan dan
isoflurane. (Fossum, 1997) Anestesi inhlasi memerlukan perangkat yang cukup
mahal dan mempunyai waktu induksi (onset) yang relative lambat serta tidak
praktis untuk menangani hewan di lapangan (Sudisma, I.N. 2004)
Dalam pemberian obat anestesi inhalasi, beberapa cara dalam pemberian
obat, antara lain:
a. Sistem terbuka
Cairan terbang (eter, kloroform, trikloretilen) diteteskan tetes demi tetes
ke atas sehelai kain kassa di bawah suatu kap dari kawat yang menutupi
mulut dan hidung pasien

4
b. Sistem tertutup
Suatu mesin khiusus menyalurkan campuran gas dengan oksigen ke
dalam suatu kap, dimana sejumlah CO2 dari ekshalasi dimasukkan
kembali.
c. Insuflasi
Gas atau uap ditiupkan ke dalam mulut atau tenggorokan dengan
perantaraan suatu mesin. Cara ini berguna pada pembedahan yang tidak
menggunakan kap, misalnya pada pembedahan pengeluaran amandel
(tonsil lectomia)

3. Anestesi imbang
Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obat – obatan
baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau kombinasi
teknik anestesi umum dengan analgesia regional untuk mencapai trias anestesi
secara optimal dan berimbang.

2.3 Mekanisme Kerja Anestesi Umum

Sebagai anestesi inhalasi digunakan gas dan cairan terbang yang masing-masing
sangat berbeda dalam kecepatan induksi, reaksi, melemaskan otot, maupun
menghilangkan rasa sakit. Untuk mendapatkan reaksi secepat-cepatnya, obat ini pada
permulaan harus diberikan alam dosis tinggi, yang kemudian diturunkan sampai hanya
sekedar memelihara keseimbangan antara pemberian dan pengeluaran (ekshalasi).
Keuntungan anestesi inhalasi dibandingkan dengan anestesi intravena adalah
kemungkinan untuk dapat lebih cepat dalam mengubah kedalaman anestesi dengan
mengurangi konsentrasi gas/uap yang diinhalasi.

Anestesi inhalasi bekerja secara spontan menekan dan membangkitkan aktivitas


neuron berbagai area di dalam otak. Sebagai anestesi inhalasi digunakan gas dan cairan
terbang yang masing-masing sangat berbeda dalam kecepatan induksi, aktivitas, sifat
melemaskan otot maupun menghilangkan rasa sakit. Untuk mendapatkan reaksi yang
secepat-cepatnya, obat ini pada permulaan harus diberikan dalam dosis tinggi, yang

5
kemudian diturunkan sampai hanya sekadar memelihara keseimbangan antara
pemberian dan pengeluaran. Keuntungan anestesi inhalasi dibandingkan dengan
anestesi intravena adalah kemungkinan untuk dapat lebih cepat mengubah kedalaman
anestesi dengan mengurangi konsentrasi dari gas atau uap yang diinhalasi. Keuntungan
anastetika inhalasi dibandingkan dengan anastesi intravena adalah kemungkinan untuk
dapat lebih cepat mengubah kedalaman anastesi dengan mengurangi konsentrasi dari
gas/uap yang diinhalasi. Kebanyakan anastesi umum tidak di metabolisasikan oleh
tubuh, karena tidak bereaksi secara kimiawi dengan zat-zat faali. Mekanisme kerjanya
berdasarkan perkiraan bahwa anastetika umum di bawah pengaruh protein SSP dapat
membentuk hidrat dengan air yang bersifat stabil.
Obat-obat intravena seperti thiopental, etomidate, dan propofol mempunyai mula
kerja anestetis yang lebih cepat dibandingkan terhadap senyawa gas inhalasi yang
terbaru, misalnya desflurane dan sevoflurane. Senyawa intravena ini umumnya
digunakan untuk induksi anestesi. Kecepatan pemulihan pada sebagian besar senyawa
intravena juga sangat cepat.
Secara umum, mekanisme kerjanya berdasarkan perkiraan bahwa anastesi umum
dibawah pengaruh protein SSP dapat membentuk hidrat dengan air yang bersifat stabil.
Hidrat gas ini mungkin dapat merintangi transmisi rangsangan di sinaps dan dengan
demikian mengakibatkan anastesia.

2.4 Stadium Anestesi Umum


Semua zat anestetik menghambat SSP secara bertahap, yaitu mula-mula dihambat
adalah fungsi yang kompleks, dan yang paling akhir dihambat adalah medula oblongata
tempat pusat vasomotor dan pernapasan. Anestesi umum dibagi menjadi 4 stadium,
yaitu stadium I (anelgesia), stadium II (eksitasi), stadium III (pembedahan), dan
stadium IV (depresi medulla oblongata) (Gunawan, et al, 2011).
1. Stadium I (Anelgesia)
Stadium anelgesia dimulai sejak pemberian anestetik sampai hilangnya
kesadaran. Pada stadium ini pasien tidak lagi merasakan nyeri (anelgesia),
tetapi masih sadar (Gunawan, et al, 2011). Pernapasan masih dipengaruhi

6
kemauan dan keras, frekuensi nafas, dan pulsus meningkat, pupil melebar,
terjadi urinasi, dan defekasi (Sudisma et al., 2006)

2. Stadium II (Eksitasi)
Stadium ini dimulai sejak hilangnya kesadaran sampai munculnya pernapasan
yang teratur yang merupakan tanda dimulainnya stadium pembedahan. Pada
stadium ini, hewan tampak mengalami delirium (sensasi) dan eksitasi dengan
gerakan diluar kehendak (meronta-ronta). Pernapasan tidak teratur, kadang-
kadang apnea dan hiperpnea, tonus otot rangka meningkat, kadang sampai
mengalami inkontinesia, dan muntah. Hal ini terjadi karena hambatan pada pusat
inhibisi. Pada stadium ini dapat terjadi kematian, maka pada stadium ini harus
diusahakan cepat dilalui (Gunawan et al., 2011). Menurut Sudisma et a.l (2006),
pada tahap ini kehilangan kesadaran, respon terhadap stimulasi meningkat
(hewan masih berteriak di bawah sadar), gerakan kaki ke belakang masih keras,
nafas singkat dan tidak teratur, reflek menelan, dan muntah, masih ada, dan
reflek batuk masih ada.

3. Stadium III (Pembedahan)


Stadium III dimulai dengan tumbulnya kembali pernapasan yang teratur dan
berlangsung sampai pernapasan spontan hilang. Menurut Gunawan et al. (2011)
pada stadium ini dibagi lagi menjadi 4 tingkat dan tiap tingkatan dibedakan dari
perubahan pada gerakan bola mata, refleks bulu mata dan konjungtiva, tonus
otot dan lebar pupil yang menggambarkan semakin dalamnya pembiusan.
a. Tingkat 1: Pernapasan teratur, spontan, dan seimbang antara pernapasan
dada dan perut, gerakan bola mata terjadi di luar kehendak, miosis,
sedangkan tonus otot rangka masih ada (Gunawan et al., 2011). Menurut
Sudisma et al (2006), stadium III tingkat I ditandai dengan pernafasan
bebas dari kemauan gerakan kaki ke belakang terhenti, bola mata
bergerak dari sisi satu ke sisi lainnya, makin lama anestesi bola mata
bergerak lemah, dan berhenti bila masuk ke tingkat II, reflek palpabre,
konjungtiva, dan kornea segera hilang setelah masuk ke tingkat I. Pada

7
anjing dan kucing reflek pedal masih ada dan cepat. Anestesi tingkat I
digunakan untuk pemeriksaan foto Rontgen (X-ray), operasi membuka
abses dan operasi kecil lainnya.
b. Tingkat 2: Pernapasan teratur sampai frekuensinya lebih kecil, bola
mata tidak bergerak, pupil mata melebar, otot rangka mulai melemas,
dan refleks laring hilang, sehingga pada tahap ini dapat dilakukan
intubasi (Gunawan et al., 2011). Menurut Sudisma et al. (2006), ditandai
dengan adanya sedikit perubahan pada sifat respirasinya sampai tingkat
berikutnya, frekuensi nafas meningkat sedangkan amplitudonnya
menurun, reflek laring masih ada hingga pertengahan tingkat ini. Pada
kuda, sapi, domba, dan babi bola mata terfixir di tengah, pada anjing
dan kucing bola mata pada ventrocantus (sudut medial) menggeser ke
bawah. Relaksasi otot lebih nyata kecuali otot abdomen, reflek pedal
pada anjing dan kucing 25 masih ada tetapi lemah. Menurut Welsh
(2009), pada tingkat 2 dan 3 ini prosedur pembedahan yang paling
memuaskan.
c. Tingkat 3: Ditandai dengan adanya respirasi otonom, frekuensi
meningkat, amplitudo menurun, ada antara yang jelas pada inspirasi dan
ekspirasi (kelihatan berhenti sebentar), inspirasi thorak ringan, ritme
pernafasan terganggu jika masuk stadium selanjutnya, pada anjing dan
kucing bola mata menuju ke tengah, reflek pedal hilang, otot abdomen
relaksasi. Pernapasan perut lebih nyata dari pernapasan dada karena otot
interkostal mulai lumpuh, relaksasi otot rangka sempurna, pupil mata
lebar tetapi belum maksimal (Gunawan et al., 2011). Menurut Mangku
dan Senapathi (2010), pada stadium inilah optimal dilakukan operasi.
d. Tingkat 4: Pernapasan perut sempurna karena otot interkostal lumpuh
total, tekanan darah mulai menurun, pupil sangat lebar, dan refleks
cahaya hilang. Pembiusan hendaknya jangan sampai ke tingkat 4 ini
sebab hewan akan sangat mudah sekali masuk ke stadium IV yaitu
ketika pernapasan spontan melemah. Untuk mencegah ini, harus
diperhatikan secara benar sifat dan dalamnya pernapasan, lebar pupil

8
dibandingkan dengan keadaan normal, dan turunnya tekanan darah
(Gunawan et al., 2011)

4. Stadium IV (Depresi medulla oblongata)


Stadium IV ini, dimulai dengan melemahnya pernapasan perut dibanding
stadium III tingkat 4. Tekanan darah tidak dapat diukur karena pembuluh darah
kolaps, dan jantung berhenti berdenyut. Keadaan ini dapat segera disusul dengan
kematian, kelumpuhan napas di sini hanya dapat diatasi dengan alat bantu napas
dan sirkulasi (Gunawan et al., 2011). Menurut Sudisma et al. (2006), stadium ini
ditandai dengan paralisa otot thorak sempurna, hanya diafragma yang masih
aktif selama inspirasi, dinding thorak mengempes kedalam sehingga hewan
tersengalsengal, pulsus meningkat cepat, pupil menggembung, bola mata seperti
mata ikan 26 (sekresi air mata terhenti), pernafasan melemah akhirnya hewan
mati, warna mukosa mulut, mata, dan lidah menjadi abu-abu.

2.5 Farmakokinetik dan Farmakodinamik Obat Anestesi Umum


1. Farmakokinetik
Dalamnya anestesi ditentukan oleh konsentrasi anestetik didalam susunan
saraf pusat. Kecepatan pada konsentrasi otak yang efektif (kecepatan induksi
anestesi) bergantung pada banyaknya farmakokinetika yang mempengaruhi
ambilan dan penyebaran anestetik.
Konsentrasi masing-masing dalam suatu campuran gas anestetik sebanding
dengan tekanan atau tegangan persialnya. Istilah tersebut sering dipergunakan
secara bergantian dalam membicarakan berbagai proses transfer anestetik gas
dalam tubuh. Tercapainya konsentrasi obat anestetik yang adekuat dalam otak
untuk menimbulkan anestesi memerlukan transfer obat anestetik dari udara
alveolar kedalam darah dan otak. Kecepatan pencapaian konsentrasi ini
bergantung pada sifat kelarutan anestetik, konsentrasinya dalam udara yang
dihisap, laju ventilasi paru, aliran darah paru, dan perbedaan gradian
konsentrasi (tekanan parsial) obat anestesi antara darah arteri dan campuran
darah vena.

9
2. Farmakodinamik
Kerja neurofisiologik yang penting pada obat anestesi umum adalah dengan
meningkatkan ambang rangsang sel. Dengan meningkatnya ambang rangsang,
akan terjadi penurunan aktivitas neuronal. Obat anestetik inhalasi seperti juga
intravena barbiturate dan benzodiazepine menekan aktivitas neuron otak
sehingga akson dan transmisisinaptik tidak bekerja. Kerja tersebut digunakan
pada transmisi aksonal dan sinaptik, tetapi proses sinaptik lebih sensitive
dibandingkan efeknya. Mekanisme ionik yang diperkirakan terlibat adalah
bervariasi. Anestetik inhalasi gas telah dilaporkan menyebabkan hiperpolarisasi
saraf dengan aktivitas aliran K+, sehingga terjadi penurunan aksi potensial
awal, yaitu peningkatan ambang rangsang. Penilitian elektrofisiologi sel dengan
menggunakan analisa patch clamp, menunjukkan bahwa pemakaian isofluran
menurunkan aktivitas reseptor nikotinik untuk mengaktifkan saluran kation
yang semuanya ini dapat menurunkan kerja transmisi sinaptik pada sinaps,
kolinergik. Efek benzodiazepine dan barbiturate terhadap saluran klorida yang
diperantai reseptor GABA akan menyebabkan pembukaan dan menyebabkan
hiperpolarasi, tehadap penurunan sensitivitas. Kerja yang serupa untuk
memudahkan efek penghambatan GABA juga telah dilaporkan pemakaian
propofol dan anestetik inhalasi lain.
Mekanisme molecular dengan anestetik gas merubah aliran ion pada
membran neuronal belumlah jelas. Efek ini dapat menghasilkan hubungan
interaksi langsung antara molekul anestetik dan tempat hidrofobik pada saluran
membran protein yang spesifik. Mekanisme ini telah diperkenalkan pada
penilitian interaksi gas dengan saluran kolineroseptor nikotinik interkais yang
tampaknya untuk menstabilkan saluran pada keadaan tertutup. Interpretasi
alternatif, yang dicoba untuk diambil dalam catatan perbedaan struktur yang
nyata diantara anestetik, memberikan interaksi yang kurang spesifik pada obat
ini dengan dengan membran matriks lipid, dengan perubahan sekunder pada
fungsi saluran.

10
2.6 Contoh Obat Anestesi Umum
 Eter
Sifat fisik eter merupakan senyawa yang tidak berwarna dan mempunyai
bau yang enak, titik didihnya lebih rendah dari titik didih senyawa alkohol yang
mernpunyai jumlah atom C sarna. Misalnya adalah (Hart H, 1983:93):
CZHS - 0 - CZH'5 C4H9-OH
Eter n butanol
Td = 35,6°C Td =117,9°C
Rendahnya titik didih eter karena tidak dapat membentuk ikatan hidrogen
dengan molekul eter yang lain, tetapi dapat membentuk ikatan hidrogen dengan
molekul air. Eter tidak bereaksi dengan asam encer, basa encer maupun dengan
senyawa oksidator/reduktor biasa. Kelarutan eter di dalam air adalah 7 gram
per 100 mL air. Sedangkan sifat kimia eter adalah jika disimpan lama akan
teroksidasi oleh udara membentuk peroksida yang mudah meletus. Untuk itu
jika akan digunakan untuk anestesi maka senyawa peroksida tersebut
dihilangkan dahulu dengan menambahkan larutan ferosulfat.
Eter digunakan pada anestesi umum, mekanisme bekerjanya adalah sebagai
berikut: setelah eter disuntikkan pada tubuh pasien akan merambat sampai ke
foramen, makapasien akan merasakan terjadinya parestesia pada daerah
distribusi saraf infraorbital, setelah itu tusukkan jarum di sebelah laterosuperior
foramen, dan sementara jarum bergerak maju ke arah foramen tambahkan obat
anestesi. Dengan terjadinya parestesia menunjukkan bahwa pasien mulai
kehilangan kesadarannya. Jika eter yang disuntikkan telah menguap semua,
maka pasien akan sadar kembali dan untuk mernpercepat hilangnya bau eter
tersebut pasien dianjurkan untuk kumur menggunakdn air dingin.
Penggunaan eter untuk anestesi waktu sekarang telah ditinggalkan karena
dapat meracuni tubuh, seperti terjadinya kerusakan hati dan menimbulkan rasa
pusing, dan mual pasien

11
 Ketamin
Ketamin adalah golongan fenil sikloheksilamin, merupakan “Rapid acting
non barbiturat general anesthesia” yang populer disebut ketalar sebagai 14
nama dagang. Pertama kali diperkenalkan oleh Domino dan Carsen, tahun
1965, yang digunakan sebagai obat anestesi umum (Mangku dan Senapathi,
2010). Ketamin berwarna putih, berbentuk kristal, mendidih pada suhu 258-
261oC, karakteristiknya berbau, dan akan mengalami presipitasi pada pH yang
tinggi. Ketamin dapat bercampur secara kompatibel dalam spuit yang sama,
namun jangan mencampur ketamin dengan barbiturat atau dizepam dalam satu
spuit atau intravena yang sama karena presipitasi dapat terjadi (Plumb, 2005).
Mempunyai efek anelgesia yang sangat kuat, akan tetapi efek hipnotiknya
lemah dan disertai dengan efek disosiasi. Pada mata obat ini menimbulkan
lakrimasi, nistagmus, dan kelopak mata terbuka secara spontan. Pada jantung
dapat meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung. Dan pada otot dapat
menimbulkan kejang-kejang (Mangku dan Senapathi, 2010)
Menurut Plumb (2005), ketamin adalah anestesi umum dengan aksi yang
cepat, juga memiliki aktivitas analgesik yang signifikan dan efek depresannya
pada jantung kurang. Diperkirakan untuk induksi kedua anestesi secara
fungsional mengganggu CNS melalui stimulasi berlebih pada CNS atau
menginduksi bagian kataleptik. Ketamin menghambat GABA (gamma amino
butiric acid) dan juga dapat memblok serotonin, norepineprin, dan dopamin
pada CNS. Sistem thalamoneocrotical ditekan ketika sistem limbik aktif.
Induksi anestetik padastadium I dan II, tapi tidak pada stadium III. Pada kucing,
dapat menyebabkan efek hypotermik ringan, temperatur tubuh turun rata-rata
1,60 C setelah pemberian obat. Efeknya pada tonus otot dilaporkan bervariasi,
tapi ketamin umumnya dapat menyebabkan peningkatan tonus otot atau tidak
sama sekali. Ketamin tidak menghilangkan reflek pinnal dan pedal, baik photik,
korneal, laringeal ataupun reflek pharingeal. Efeknya pada sistem
kardiovaskuler meliputi peningkatan cardiac output, frekuensi jantung, rataan
tekanan aortik, tekanan arteri pulmonari, dan tekanan venosus sentral. Efeknya
pada seluruh daya tahan peripheral dilaporkan bervariasi. Efek kardiovaskuler

12
secara sekunder dapat meningkatkan tonus sympathetik, ketamin juga memiliki
efek negatif pada inotropik jika sistem 15 symphatetik telah diblok. Ketamin
tidak menekan sistem respiratori secara signifikan, namun dosis yang lebih
tinggi dapat menurunkan frekuensi nafas.
Ketamin diikontraindikasikan pada hewan yang memiliki hipertensi, gagal
jantung, dan aneurysms arterial. Pabrik penghasil biasanya memperingatkan
efek penggunaannya pada sistem hepatik dan insufiensi renalis. Kemudian
karena ketamin tidak memberikan efek yang baik pada relaksasi otot, maka obat
ini dikontraindikasikan digunakan tunggal dalam pembedahan mayor. Ketamin
dapat meningkatkan tekanan CSF (cerebro spinal fluid) dan pemakaian tidak
ditujukan pada hewan yang mengalami trauma pada kepala. Penggunaan
Ketamin juga dipertimbangkan secara relatif kontraindikasinya ketika tekanan
intraokuler meningkat dan prosedur yang melibatkan pharing, laring, atau
trakea. Hewan yang kehilangan darah secara signifikan, pemberian dosis
ketamin harus dikurangi. Untuk meminimalkan insiden reaksi emergensi,
direkomendasikan untuk meminimalkan pembukaan (exposure) pada
penanganan atau bunyi yang keras selama periode pemulihan (recovery).
Pemantauan tanda vital tetap dilakukan selama fase pemulihan. Karena ketamin
dapat meningkatkan tekanan darah, lakukan dengan hati-hati dalam mengontrol
haemoragi pasca bedah (seperti declawing). Tidak diperkenankan pemberian
pakan atau air menjelang pembedahan, namun pada prosedur elektif
direkomendasikan untuk tidak memberi pakan 6 jam sebelum pembedahan
(Plumb, 2005).
Interaksi ketamin dengan obat narkotik, barbiturat atau dizepam dapat
memperpanjang waktu pemulihan setelah anestesi ketamin. Ketika digunakan
dengan halotan, rata-rata pemulihan (recovery) ketamin dapat diperpanjang,
dan efek stimulatori pada jantung dari ketamin dapat dihambat. Pemantauan
status jantung direkomendasikan dalam penggunaan ketamin dengan halothan.
chloramphenicol (secara perenteral) dapat memperpanjang aksi anestesi pada
ketamin. Hormon tiroid ketika diberikan bersamaan dengan ketamin dapat
menginduksi hipertensi dan takikardia. Beta-blocker (seperti propranolol) dapat

13
menjadi keuntungan dalam mengobati efek ini. Neuromuskular blokers (seperti
succinylcholine dan tobucurrarin) dapat menyebabkan peningkatan atau 16
perpanjangan depresi respiratori (Plumb, 2005). Antidotum obat untuk Xilasin
adalah dopram (Sudisma et al., 2006). Bille, (2012) melaporkan dari 204 anjing
yang dianestesi ketamin 9 diantaranya mati, jadi resiko kematian dari
penggunaan ketamin 4.41%.
Dosis penggunaan pada anjing.adalah
1. Diazepam 0,5 mg/kg IV, lalu ketamin 10 mg/kg IV untuk induksi anestesi
umum (Booth 1988, dalam Plumb 2005).
2. Midazolam 0,066-0,22 mg/kg IM atau IV lalu ketamin 6.6-11 mg/kg IM
(Mandsager 1988, dalam Plumb 2005).
3. Xilasin 2.2 mg/kg IM, dalam 10 menit diberi ketamin 11 mg/kg IM. anjing
dengan berat lebih dari 22.7 kg (50 pon) dosis dikurangi pada kedua obat di
atas sebesar 25% (Booth 1988, dalam Plumb 2005)
4. Atropin (0,044 mg/kg) IM, dalam 15 menit diberi xylazin (1.1 mg/kg) IM,
5 menit kemudian diberi ketamin (22 mg.kg) IM (Booth 1988, dalam Plumb
2005).

Sebagai catatan, xilasin-ketamin dapat menginduksi aritmia kardia, edema


pulmonary, dan depresi respiratori pada anjing. Obat ini harus dikombinasikan
dengan hati-hati (Plumb, 2005).

 Kombinasi Xylazin-Ketamin Hidroklorida


Anestesi umum pada anjing dapat diberikan secara parenteral atau inhalasi.
Salah satunya adalah kombinasi Xylazin- Ketamin Hidroklorida. Kombinasi
kedua obat ini mempunyai beberapa keuntungan yaitu; ekonomis, mudah dalam
pemberiannya, induksinya yang cepat, mempunyai pengaruh relaksasi yang
baik serta jarang menimbulkan komplikasi klinis. Kombinasi kedua obat ini
sudah pernah dilaporkan penggunaannya pada anjing dan kucing (Benson, dkk.,
1985), burung unta (Gandini, dkk., 1986). Menurut Walter (1985), kombinasi
xylazin-ketamin merupakan agen kombinasi yang saling melengkapi antara

14
etek analgesik dan relaksasi otot serta sangat baik dan efektif untuk anjing
karena memiliki rentang keamanan yang lebar.
Namun kendala yang ditimbulkan adalah dosis pemberian pada anjing ras
yang memiliki keragaman yang kompleks, kelebihan dosis pada anjing ras
dapat berakibat fatal, dan sering anjing teranestesi dengan dosis tinggi memiliki
waktu pemulihan yang lama, sehingga dapat menimbulkan rasa panik bagi
pemilik maupun dokter hewan yang melakukan operasi. Disamping itu pula
kombinasi xylazin-ketamin hidroklorida dapat mengakibatkan penurunan yang
nyata pada denyut jantung, output jantung, volume, stroke, efektifitas ventilasi
alveolar, dan transport oksigen (Steve dkk., 1986).

15
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Anestesi Umum adalah obat yang dapat menimbulkan anestesi yaitu suatu
keadaan depresi umum dari berbagai pusat di sistem saraf pusat yang bersifat
reversibel, dimana seluruh perasaan dan kesadaran ditiadakan sehingga lebih mirip
dengan keadaan pingsan.
Anestesi umum menurut Mangku dan Tjokorda (2010), dapat dilakukan
dengan 3 teknik, yaitu anastesi umum intravena, anestesi umum inhalasi, dan
anestesi umum imbang. Contoh obat anestesi umum adalah ketamine, eter, dan
kombinasi ketamine-xylazine hidroklorida.

3.2 Saran
Saya selaku penulis makalah ini meminta maaf atas adanya kesalahan-
kesalahan maupun kekurangan pada makalah ini. Tidak lupa penulis mengucapkan
terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu penyusunan makalah ini.

16
DAFTAR PUSTAKA

Birnbach DJ. General anesthesia for cesarean section-who needs it? European Society of
Anaesthesiologists, Refresher Course. 2003:165–7

Flora, L, Redjeki, I.S., Wargahadibrata, A.H., 2014. Perbangingan Efek Anestesi Spinal
dengan Anestesi Umum terhadap Kejadian Hipotensi dan Nilai APGAR Bayi pada
Seksio Sesarea Jurnal Anestesi Perioperaif. 2(2):105-16

Kartika Sari Wijayaningsih. 2013. Standar Asuhan Keperawatan: Jakarta. TIM.

Karim, Th. 1992. Peranan Eter dan Morfin dalam Anestesi. Cakrawala Pendidikan Nomor
2. Tahun XI

Latief et al., 2010. Petunjuk Anestesiologi. Edisi Kedua. Bagian Anestesiologi dan Terapi
Intensif FKUI. Jakarta: FKUI

Mangku, Gde. Agung, Gde,Tjokorda. (2010). Buku Ajar Anestesi dan Reanimasi. Jakarta:
Indeks.

Miller, Ronald D. 2000. Anestheia. Fifth ed, Churchcill Livingstone. Elsevier: Espana

Plumb DC. 2005. Veterinary Drug Handbook. 5th edition. Hlm: 376-377; 431- 433; 445-
446; 469; 735-737. Minnesota: Pharma Vet Publishing.

Potter, P.A., & Perry, A.G. (2005). Buku ajar fundamental keperawatan: Konsep, proses,
dan praktik (Fundamentals of nursing: Concepts, process, and practice). Alih Bahasa:
Renata Komalasari. Edisi 4. Volume 2. Jakarta: EGC.

Sudisma, I.G.N. 2004. Respon fisiologis penyuntikan kombinsi atropine-xylazin-ketamin


dan pengulangannya untuk anestesi umum pada anjing lokal. Institut Pertanian Bogor.
Bogor

Sudisma, IGN, Pemayun IGAGP, Wardhita AAGJ, dan Gorda IW. 2006. Ilmu Bedah
Veteriner dan Teknik Operasi. Denpasar: Penerbit Universitas Udayana

17

Anda mungkin juga menyukai