Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH

INDUKSI ANESTESI
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Askan Ambulatory ( ODS ) yang Diampu Oleh
Dosen : Tarkidjo, S.Kep, Ns

Disusun oleh:
Kelompok 3
1. Rizky Arianda Ketaren (190106113)
2. Rodian Tsani (190106116)
3. Sandi Saputra (190106119)

Kelas : 6C

PRODI D4 KEPERAWATAN ANESTESIOLOGI


FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS HARAPAN BANGSA
2022

BAB I

PENDAHULUAN
A. Tinjauan Teori

Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit ketika

dilakukan pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit,

dalam hal ini rasa takut perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal

bagi pelaksanaan pembedahan (Sabiston, 2011).

Induksi anestesi adalah tindakan menghilangkan kesadaran yang bersifat

meniadakan nyeri, yang ditandai dengan hilangnya kesadaran (sedasi/hipnotik), persepsi

nyeri (analgesi), hilangnya memori (amnesi) dan relaksasi. Tahap peralihan dari keadaan

sadar dengan reflek perlindungan utuh hingga hilangnya reflek bulu mata akibat

pemberian obat anestesi (Murphy et al, 1993).

Anestetik inhalasi bisa berupa gas atau cairan volatil (mudah menguap). Kelompok
obat ini dapat digunakan untuk induksi dan pemeliharaan anestesia dan mungkin dapat
juga digunakan setelah induksi dengan anestetik intravena (lihat 15.1.1).

Anestetik berupa gas memerlukan peralatan yang cocok untuk penyimpanan dan
penggunaan. Obat ini dapat disalurkan melalui pipa rumah sakit atau tabung metal.
Pemberian cairan anestetik volatil menggunakan penguap terkalibrasi, menggunakan
udara, oksigen, atau campuran nitrogen oksida-oksigen sebagai gas pembawa. Sebaiknya
diperhatikan bahwa semua gas ini dapat memicu terjadinya hipertermia maligna. Untuk
mencegah hipoksia, anestetik inhalasi harus diberikan dengan kadar oksigen yang lebih
besar daripada kadar di udara.

CAIRAN VOLATIL
Halotan adalah cairan anestetik volatil. Keuntungan penggunaan halotan adalah
efeknya kuat, induksi bersifat halus, uapnya tidak mengganggu bila terhirup, dan jarang
menyebabkan batuk atau menyebabkan orang menahan nafas. Meski memiliki kelebihan
ini, halotan saat ini lebih jarang digunakan karena terkait dengan hepatotoksisitas yang
berat (penting: lihat petunjuk di bawah). Halotan menyebabkan depresi kardiorespiratori.
Depresi pernafasan mengakibatkan peningkat an tekanan karbondioksida arterial dan
mungkin menimbulkan aritmia ventrikuler. Halotan juga mendepresi serat otot jantung
dan mungkin juga bradikardia. Akibatnya, curah jantung berkurang dan tekanan arterial
menurun. Infiltrasi adrenalin/epinefrin sebaiknya dihindarkan pada pasien yang dibius
dengan halotan karena dapat mengakibatkan aritmia ventrikuler.
Halotan menghasilkan relaksasi otot yang sedang, tetapi ini mungkin tidak cukup untuk
tindakan pembedahan mayor pada abdomen, sehingga perlu ditambahkan pelemas otot
spesifik.

Petunjuk untuk mencegah hepatotoksisitas halotan


Dalam publikasi tentang temuan yang mengukuhkan bahwa hepatotoksisitas berat
dapat timbul setelah anestesia dengan halotan, dilaporkan bahwa hal ini lebih sering
terjadi setelah paparan halotan yang berulang kali, dan tingkat mortalitasnya tinggi.
Risiko hepatotoksisitas berat tampaknya bertambah tinggi pada paparan berulang dalam
interval waktu yang singkat, namun demikian setelah interval yang panjang sekalipun
(kadang hingga beberapa tahun) pasien yang rentan juga dapat mengalami ikterus. Karena
tidak ada cara yang tepat untuk mengidentifikasi pasien rentan, dianjurkan agar
memperhatikan hal-hal berikut sebelum penggunaan halotan:

- Riwayat penggunaan anestetik sebaiknya ditelaah secara cermat untuk menentukan


apakah pernah ada paparan atau reaksi terhadap halotan;

- Paparan berulang terhadap halotan dalam jangka paling sedikit 3 bulan sebaiknya


dihindarkan kecuali bila pasien ada dalam keadaaan klinis lain yang mendesak;
- Bila pada anamnesis terungkap bahwa pasien pernah mengalami ikterus atau demam
yang tidak dapat dijelaskan setelah terpapar halotan, maka ini
merupakan kontraindikasi absolut untuk penggunaan halotan pada pasien

Isofluran adalah anestetik yang kekuatannya lebih rendah dari halotan. Irama


jantung umumnya stabil selama anestesia denganisofluran, tetapi denyut jantung dapat
meningkat, terutama pada pasien usia muda. Tekanan arteri sistemik dapat turun akibat
penurunan tahanan vaskuler sistemik, terjadi penurunan curah jantung tetapi dengan
penurunan yang lebih kecil dibanding halotan. Respirasi mengalami depresi. Terjadi
relaksasi otot dan kerja obat pelemas otot diperkuat. Isofluran juga dapat menyebabkan
hepatotoksisitas pada mereka yang sensitif terhadap anestetik terhalogenasi, namun
risikonya lebih sedikit dibandingkan halotan.
Desfluran merupakan anestetik kerja cepat, berupa cairan volatil, dilaporkan
memiliki kekuatan seperlima dari isofluran. Mungkin diperlukan pemberian penghilang
nyeri lebih awal setelah operasi karena pemulihan anestesia berlangsung cepat. Karena
pengalaman yang terbatas, obat ini tidak dianjurkan untuk digunakan pada kasus bedah
syaraf. Obat ini juga tidak direkomendasikan untuk induksi pada anak- anak karena sering
menimbulkan batuk, nafas tertahan (breath holding), apnoe, spasme laring, dan
peningkatan sekresi. Risiko hepatotoksisitas dengan desfluran pada mereka yang sensitif
terhadap anestetik terhalogenasi tampaknya amat sedikit. Sevofluran adalah anestetik
volatil cair kerja cepat, lebih kuat dari des fluran. Pasien mungkin membutuhkan
analgesik pasca bedah sebagai tindakan darurat dan pemulihan anestesia umumnya terjadi
sangat cepat. Sevofluran dapat berinteraksi dengan adsorben karbondioksida membentuk
senyawa A, senyawa vinileter yang berpotensi nefrotoksik. Meskipun digunakan secara
luas, tidak ada laporan kasus kerusakan ginjal permanen yang diinduksi sevofluran.
Adsorben karbondioksida digunakan untuk menghasilkan kadar yang rendah dari
senyawa A, meskipun dalam anestetik dengan aliran yang lambat

Iritasi jalan nafas adalah salah satu sifat terpenting dari agen anestesi inhalasi.

Reseptor yang merespon rangsang iritasi kimia yang terdapat di lapisan epitel dan sub-

epitel pada laring dan faring. Aferen dari jalur reseptor ini terdapat di nervus laringeal

superior dan bersinaps di batang otak. Pada orang dewasa, respon utama pada

rangsang iritasi adalah menutupnya glotis dan menahan nafas. Pada rangsangan yang

lebih kuat akan timbul refleks batuk dan dapat terjadi spasme laring. Aktivitas refleks
saluran nafas atas ini (spasme laring dan batuk) sangat penting untuk menjaga

komplikasi jalan nafas (Klock P et al, 2001).

Halothane (2-bromo-2-kloro-1,1,1-trifluoroethane) dan Isoflurane (2,2,2-

trifluoro-1-kloroetil eter difluoromethyl) adalah agen anestesi yang sering digunakan

dalam anestesi inhalasi. Meskipun mempunyai keuntungan antara lain aman, efek

samping minimal, induksi dan masa pulihnya cepat, namun Halotan dan Isofluran

memiliki efek samping iritatif (komplikasi) pada saluran nafas.

Iritasi jalan nafas (tahan nafas, batuk, spasme laring, spasme bronkus, sekresi

berlebih) yang terjadi akan dinilai dengan 4 poin, yaitu: 0=dinyatakan negatif terjadi, 1=

ringan, 2= sedang, dan 3= berat (Oky, 2004).

b. General Anestesi

General anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit secara sentral

disertai hilangnya kesadaran (reversible). Tindakan general anestesi terdapat beberapa

teknik yang dapat dilakukan adalah general anestesi denggan teknik intravena anestesi

dan general anestesi dengan inhalasi yaitu dengan face mask (sungkup muka) dan

dengan teknik intubasi yaitu pemasangan endotrecheal tube atau gabungan keduanya

inhalasi dan intravena (Latief, 2007).

1) Teknik General Anestesi

General anestesi menurut Mangku dan Senapathi (2010), dapat dilakukan dengan 3

teknik, yaitu:

a) General Anestesi Intravena

Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat anestesi

parenteral langsung ke dalam


11
pembuluh darah vena.

b) General Anestesi Inhalasi

Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat

anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap

melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara inspirasi.

c) Anestesi Imbang

Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obat-obatan baik obat

anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau kombinasi teknik general anestesi

dengan analgesia regional untuk mencapai trias anestesi secara optimal dan berimbang,

yaitu:

(1) Efek hipnosis, diperoleh dengan mempergunakan obat hipnotikum atau obat

anestesi umum yang lain.

(2) Efek analgesia, diperoleh dengan mempergunakan obat analgetik opiat atau obat

general anestesi atau dengan cara analgesia regional.

(3) Efek relaksasi, diperoleh dengan mempergunakan obat pelumpuh otot atau

general anestesi, atau dengan cara analgesia regional.

2) Obat-obat General Anestesi

Pada tindakan general anestesi terdapat beberapa teknik

1
1
12
yang dapat dilakukan adalah general anestesi dengan teknik intravena anestesi dan

general anestesi dengan inhalasi, berikut obat-obat yang dapat digunakan pada

kedua teknik tersebut.

Tabel 1. Obat–obat General Anestesi


Obat-obat Anestesi Intravena Obat-obat Anestesi
Inhalasi
1)Atropine Sulfat 1) Nitrous Oxide
2)Pethidin 2) Halotan
3)Atrakurium 3) Enfluren
4)Ketamine HCL 4) Isofluran
5)Midazolam 5) Sevofluran
6)Fentanyl
7)Rokuronium bromide
8)Prostigmin
Sumber: Omoigui, 2009
c. Gangguan Pasca Anestesi (Potter dan Perry, 2010)

1) Pernapasan

Gangguan pernapasan cepat menyebabkan kematian karena hipoksia

sehingga harus diketahui sedini mungkin dan segera di atasi. Penyebab yang

sering dijumpai sebagai penyulit pernapasan adalah sisa anastesi (penderita

tidak sadar kembali) dan sisa pelemas otot yang belum dimetabolisme dengan

sempurna, selain itu lidah jatuh kebelakang menyebabkan obstruksi hipofaring. Kedua

hal ini menyebabkan hipoventilasi, dan dalam derajat yang lebih berat

menyebabkan apnea

1
2
13

2) Sirkulasi

Penyulit yang sering di jumpai adalah hipotensi syok dan aritmia, hal ini

disebabkan oleh kekurangan cairan karena perdarahan yang tidak cukup diganti.

Sebab lain adalah sisa anastesi yang masih tertinggal dalam sirkulasi, terutama jika

tahapan anastesi masih dalam akhir pembedahan.

3) Regurgitasi dan Muntah

Regurgitasi dan muntah disebabkan oleh hipoksia selama anastesi.

Pencegahan muntah penting karena dapat menyebabkan aspirasi.

4) Hipotermi

Gangguan metabolisme mempengaruhi kejadian hipotermi, selain itu juga

karena efek obat-obatan yang dipakai. General anestesi juga memengaruhi ketiga

elemen termoregulasi yang terdiri atas elemen input aferen, pengaturan sinyal di daerah

pusat dan juga respons eferen, selain itu dapat juga menghilangkan proses adaptasi

serta mengganggu mekanisme fisiologi pada fungsi termoregulasi yaitu menggeser batas

ambang untuk respons proses vasokonstriksi, menggigil, vasodilatasi, dan juga

berkeringat.

5) Gangguan Faal Lain

Diantaranya gangguan pemulihan kesadaran yang disebabkan oleh kerja anestesi

yang memanjang karena

1
3
14
dosis berlebih relatif karena penderita syok, hipotermi, usia lanjut dan malnutrisi

sehingga sediaan anestesi lambat dikeluarkan dari dalam darah.

2. Hipotermi

a. Pengertian

Hipotermi adalah suatu kondisi dimana mekanisme tubuh penghantar suhu

kesulitan untuk mengatasi tekanan suhu dingin. Hipotermi juga dapat

didefinisikan suhu tubuh dibawah 360C. Hipotermi adalah keadaan dimana suhu inti

0
tubuh dibawah batas normal, suhu normal tubuh manusia yaitu antara 36 -

037,5 C (Tamsuri, 2007).

b. Etiologi
Menurut Mangku dan Senapathi (2010), beberapa faktor yang menyebabkan

terjadinya hipotermi pada pasien post operasi antara lain:

1) Suhu kamar operasi yang dingin

Paparan suhu ruangan operasi yang rendah juga dapat mengakibatkan pasien menjadi

hipotermi, hal ini terjadi akibat dari perambatan antara suhu permukaan kulit dan suhu

lingkungan. Suhu kamar operasi selalu dipertahankan dingin (20–240C) untuk

meminimalkan pertumbuhan bakteri.

1
4
15
2) Cairan infus dan tranfusi darah dingin
Cairan intravena yang dingin tersebut akan masuk ke dalam sirkulasi darah dan
mempengaruhi suhu inti tubuh (core temperature) sehingga semakin banyak cairan
dingin yang masuk pasien akan mengalami hipotermi (Butwick et al,2007).
3) Penggunaan agen inhalasi
a) Isofluran yaitu eter berhalotan dengan kadar obat tinggi menyebabkan pasien

dapat menahan nafas lama sehingga durasi anestesi lama.

b) Desfluran yaitu memiliki kelarutan lebih rendah sehingga induksi dan pemulihan

lebih cepat daripada desfluran, desfluran dapat mengakibatkan penurunan

vasokontriksi dan mengakibatkan menggigil.

c) Sevofluran yaitu memiliki kelarutan lebih rendah dari desfluran, tetapi

mengakibatkan vasodilatasi dan mengakibatkan hipotermi.

4) Luas luka operasi

Kejadian hipotermi dapat dipengaruhi dari luas pembedahan atau jenis

pembedahan besar yang membuka rongga tubuh, misal pada operasi ortopedi, rongga

toraks atau. Operasi abdomen dikenal sebagai penyebab hipotermi karena berhubungan

dengan operasi yang berlangsung lama, insisi

1
5
16
yang luas, dan sering membutuhkan cairan guna membersihkan ruang peritoneum.

5) Lama operasi atau anestesi

Induksi anestesi mengakibatkan vasodilatasi. Proses kehilangan panas tubuh terjadi

secara terus menerus. Panas diproduksi secara terus menerus oleh tubuh sebagai hasil

dari metabolisme. Proses produksi serta pengeluaran panas diatur oleh tubuh guna

mempertahankan suhu inti tubuh dalam rentang 36-37,5oC (Putzu, 2007).

6) Aktifitas otot yang menurun (tersedasi)

7) Usia lanjut

Usia lansia telah terjadi kegagalan memelihara suhu tubuh, baik dengan atau tanpa

anestesi, kemungkinan hal ini terjadi karena penurunan vasokonstriksi termoregulasi

yang terkait dengan usia (Kiekkas, 2007).

Kategori umur menurut Depkes RI (2009):

a) Masa balita (0-5 tahun)

b) Masa kanak-kanak (5-11 tahun) c) Masa remaja awal (12 17 tahun)

d) Masa remaja akhir (18-26 tahun) e) Masa dewasa awal (27-36 tahun) f) Masa

dewasa akhir (37-45 tahun) g) Masa lansia awal (46-60 tahun)

1
6
17

h) Masa lansia akhir (61-65 tahun)


i) Masa manula (65 sampai ke atas)
c. Mekanisme Kehilangan Panas
Menurut Lissauer (2009), penurunan suhu tubuh manusia selama anestesi

umum mengikuti suatu pola tertentu, yaitu terbagi menjadi 3 fase.1) Fase

Redistribusi Induksi anestesi umum akan menyebabkan terjadinya vasodilatasi. Hal ini

terjadi melalui dua mekanisme, yaitu obat anestesi secara langsung menyebabkan

terjadinya vasodilatasi pembuluh darah dan anestesi umum menurunkan nilai ambang

vasokonstriksi dengan menghambat fungsi termoregulasi sentral. Vasodilatasi ini

akan mengakibatkaan panas tubuh dari bagian sentral suhu inti mengalir ke bagian

perifer. Redistribusi panas tubuh ini akan menyebabkan peningkatan suhu perifer tetapi

menyebabkan penurunan suhu inti. Penurunan suhu inti pada fase ini terjadi dengan

cepat. Suhu inti turun 1-1,5ºC selama jam pertama.

2) Fase Linear

Setelah fase redistribusi, suhu inti akan turun dengan lambat selama 2-4 jam

berikutnya. Penurunan ini sekitar 0,5ºC setiap jamnya. Hal ini terjadi karena panas

tubuh yang hilang lebih besar daripada panas yang diproduksi. Metabolisme tubuh

1
7
18
menurun sebesar 15-40% selama anestesi umum.

3) Fase Plateau

Setelah klien teranestesi dan melewati fase linear, suhu tubuh akan mencapai

keseimbangan. Pada fase ini, produksi panas seimbang dengan panas yang hilang.

Fase ini terbagi menjadi dua, yaitu fase pasif dan aktif.

a) Fase plateau pasif terjadi jika produksi panas seimbang dengan panas yang hilang

tanpa disertai aktivitas dari termoregulasi, yaitu tanpa disertai terjadinya

vasokonstriksi. Tapi kombinasi dari penurunan produksi panas karena anestesi dan

faktor-faktor operasi yang lain menyebabkan fase ini jarang terjadi. Fase ini lebih sering

terjadi pada operasi-operasi kecil pada penderita yang terselimuti atau terbungkus oleh

insulator yang baik.

b) Fase planteau aktif terjadi saat suhu tubuh telah mencapai keseimbangan dengan

terjadinya mekanisme vasokonstriksi. Pada saat suhu inti mencapai 33-35ºC akan

memicu sistem termoregulasi untuk vasokonstriksi untuk mengurangi panas tubuh yang

hilang dengan membatasi aliran panas dari jaringan inti ke jaringan perifer.

1
8
19
d. Klasifikasi Hipotermi
Hipotermi dapat diklasifikasikan menjadi (O’Connel et all,.2011) :
1) Ringan
Suhu antara 32-36°C, kebanyakan orang bila berada pada suhu ini akan menggigil

secara hebat, terutama di seluruh ekstremitas. Bila suhu lebih turun lagi, pasien

mungkin akan mengalami amnesia. Peningkatan kecepatan nafas juga mungkin

terjadi.

2) Sedang

0 0
Suhu antara 28 -32 C, terjadi penurunan konsumsi oksigen oleh sistem saraf

secara besar yang mengakibatkan terjadinya hiporefleks, hipoventilasi, dan

penurunan aliran darah ke ginjal. Bila suhu tubuh semakin menurun,

kesadaran pasien bisa menjadi stupor, tubuh kehilangan kemampuannya untuk

menjaga suhu tubuh, dan adanya resiko timbul aritmia.

3) Berat
Suhu <28°C, pasien rentan mengalami fibrilasi ventrikular, dan penurunan

kontraksi miokardium, pasien juga rentan untuk menjadi koma, nadi sulit

ditemukan, tidak ada reflek, apnea, dan oliguria.

1
9
20

e. Penatalaksanaan Hipotermi
Pencegahan hipotermi adalah meminimalkan atau membalik proses fisiologis.

Pengobatan mencakup pemberian oksigen, hidrasi yang adekuat, dan nutrisi yang

sesuai. Terdapat 3 macam tehnik penghangatan yang di gunakan (Setiati et

al.,2008) :

1) Penghangatan Eksternal Pasif


Teknik ini dilakukan dengan cara menyingkirkan baju basah kemudian tutupi

tubuh pasien dengan selimut hangat.2) Penghangatan Eksternal Aktif

Teknik ini digunakan untuk pasien yang tidak berespon dengan penghangatan

eksernal pasif (selimut penghangat, mandi air hangat atau lempengan pemanas),

0
dapat diberikan cairan infus hangat intra vena (suhu 39 -40 C) untuk

menghangatkan pasien dan oksigen. 3) Penghangatan Internal Aktif Ada beberapa

metode yang dapat digunakan antara lain irigasi ruang pleura atau peritoneum,

hemodialisis dan operasi bypass kardiopulmonal. Dilakukan bilas kandung

kemih dengan cairan NaCl 0,9% hangat, bilas lambung dengan cairan NaCl

0 0
0,9% hangat (suhu 40 -45 C) atau dengan menggunakan tabung

penghangat esophagus (esophageal warming tubes).

2
0
21
3. Waktu Pulih Sadar a. Pengertian Pulih sadar merupakan bangun dari efek obat

anestesi setelah proses pembedahan dilakukan. Lamanya waktu yang dihabiskan

pasien di recovery room tergantung kepada berbagai faktor termasuk durasi dan jenis

pembedahan, teknik anestesi, jenis obat dan dosis yang diberikan dan kondisi umum

pasien.

Menurut Gwinnutt (2012) dalam bukunya mengatakan sekitar 30 menit

berada dalam ruang pemulihan dan itu pun memenuhi kriteria pengeluaran. Pasca

operasi, pulih dari anestesi general secara rutin pasien dikelola di recovery room atau

disebut juga Post Anesthesia Care Unit (PACU), idealnya adalah bangun dari anestesi

secara bertahap, tanpa keluhan dan mulus dengan pengawasan dan pengelolaan secara

ketat sampai dengan keadaan stabil menurut penilaian Score Aldrete.

b. Penilaian Waktu Pulih Sadar

Penilaian dilakukan saat masuk recovery room, selanjutnya dinilai dan dicatat

setiap 5 menit sampai tercapai nilai minimal 8. Pasien bisa dipindahkan ke ruang

perawatan jika nilai pengkajian pasca anestesi adalah 8-10. Lama tinggal di ruang

pemulihan tergantung dari teknik anestesi yang digunakan (Larson, 2009).

Tingkat pulih sadar seseorang pasca anestesi dilakukan perhitungan

menggunakan Score Aldrete (Nurzallah,2015).

2
1
22

Tabel 2. Score Aldrete

No Kriteria Nilai
1. Aktivitas Motorik
a. Mampu menggerakkan 4 ekstermitas 2
b. Mampu menggerakkan 2 ekstermitas 1
c. Tidak mampu menngerakkan ektermitas 0
2. Respirasi
a. Mampu nafas dalam, batuk dan tangis 2
kuat 1
b. Sesak atau pernafasan terbatas 0
c. Henti nafas
3. Tekanan darah
a. Berubah sampai 20 % dari pra bedah 2
b. Berubah 20-50% dari pra bedah 1
c. Berubah > 50 % dari pra bedah 0
4. Kesadaran
a. Sadar baik dan orientasi baik 2
b. Sadar setelah dipanggil 1
c. Tak ada tanggapan terhadap rangsangan 0
5 Warna kulit
a. Kemerahan 2
b. Pucat 1
c. Sianosis 0

c. Faktor-Faktor Pemindahan Pasien

Faktor-faktor yang perlu diperhatikan sebelum memindahkan

pasien ke ruangan adalah:

1) Observasi minimal 30 menit setelah pemberian narkotik atau

penawarnya (nalokson) secara intavena.

2) Observasi minimal 60 menit setelah pemberian antibiotik,

antiemetik atau narkotik secara intramuskuler.

3) Observasi minimal 30 menit setelah oksigen dihentikan.

4) Observasi 60 menit setelah esktubasi (pencabutan ETT).

5) Tindakan lain akan ditentukan kemudian oleh dokter spesialis

2
2
23

anestesiologi dan dokter spesialis bedah (Mangku dan Senapathi, 2010).

Kembalinya kesadaran pasien dari general anestesi secara ideal harus mulus dan juga

bertahap dalam keadaan yang terkontrol hingga kembali sadar penuh, waktu pulih sadar

tindakan general anestesi sebagai berikut:

1) General Anestesi Intravena

Waktu pulih sadar pasien dengan general anestesi dengan TIVA propofol

TCI (Target Controlled Infusion) adalah 10 menit (Simanjuntak, 2013).

2) General Anestesi Inhalasi

Waktu pasien akan kembali sadar penuh dalam waktu 15 menit dan tidak sadar yang

berlangsung diatas 15 menit dianggap prolonged (Mecca, 2013).

3) Anestesi Imbang

Observasi minimal 30 menit setelah pemberian narkotik atau penawarnya (nalokson)

secara intavena dan observasi 60 menit setelah esktubasi (pencabutan ETT) (Mangku

dan Senapathi, 2010).

f. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Waktu Pulih Sadar

1) Efek Obat Anestesi (premedikasi anestesi, induksi anestesi) Penyebab tersering

tertundanya pulih sadar (belum sadar penuh 30-60 menit pasca general anestesi

adalah pengaruh dari

2
3
24

sisa-sisa obat anestesi sedasi dan analgesik (midazolam dan fentanyl) baik absolut

maupun relative dan juga potensasi dari obat atau agen anestesi dengan obat

sebelum (alkohol) (Andista, 2014).

Induksi anestesi juga berpengaruh terhadap waktu pulih sadar pasien. Pengguna obat

induksi ketamine jika dibandingkan dengan propofol, waktu pulih sadar akan lebih

cepat dengan penggunaan obat induksi propofol. Propofol memiliki lama aksi yang

singkat (5-10 menit), distribusi yang luas dan eliminasi yang cepat. Sifat obat atau

agen anestesi yang umumnya bisa menyebabkan blok sistem saraf,

pernafasan dan kardiovaskuler maka selama durasi anestesi ini bisa terjadi komlikasi-

komplikasi dari tindakan anestesi yang ringan sampai yang berat. Komplikasi pada saat

tindakan anestesi bisa terjadi selama induksi anestesi dari saat rumatan (pemeliharaan)

anestesi. Peningkatan kelarutan anestesi inhalasi serta pemanjangan durasi kerja

pelemas otot diduga merupakan penyebab lambatnya pasien bangun pada saat akhir

anestesi. Waktu pulih sadar saat di ruang pemulihan menjadi lebih lama pada pasien

hipotermi (Mecca, 2013).

Cara mencegah agar tidak terjadi komplikasi-komplikasi selama tindakan anestesi

maka diperlukan monitoring secara ketat sebagai bentuk tanggung jawab kita

sebagai petugas

2
4
25

anestesi. Monitoring pasien selama tindakan anestesi bisa menggunakan panca indera

kita maupun dengan menggunakan alat monitor pasien yang bisa digunakan sekarang.

2) Durasi Tindakan Anestesi

Durasi (lama) tindakan anestesi merupan waktu dimana pasien dalam keadaan

teranestesi, dalam hal ini general anestesi. Lama tindakan anestesi dimulai sejak

dilakukan induksi anestesi dengan obat atau agen anestesi yang umumnya

menggunakan obat atau agen anestesi intravena dan inhalasi sampai obat atau

pembedahan yang dilakukan.

Jenis operasi adalah pembagian atau klasifikasi tindakan medis bedah berdasarkan

waktu, jenis anestesi dan resiko yang dialami, meliputi operasi kecil, sedang,

besar dan khusus dilihat dari durasi operasi.

Table 3. Durasi Operasi

Jenis Operasi
Waktu Operasi kecil Kurang
dari 1 jam Operasi sedang 1-2
jam
Operasi besar >2 jam
Operasi khusus Memakai alat canggih
Sumber: Baradero, 2008

Pembedahan yang lama secara otomatis menyebabkan durasi anestesi

semakin lama. Hal ini akan menimbulkan efek akumulasi obat dan agen anestesi di

dalam tubuh semakin banyak sebagai hasil pemanjangan penggunaan obat atau agen

anestesi tesebut dimana obat diekskresikan lebih lambat

2
5
26

dibandingkan absorbsinya yang akhirnya dapat menyebabkan pulih sadar

berlangsung lama (Latief, 2007).

3) Usia

Umur atau usia adalah satuan waktu yang mengukur waktu keberadaan suatu

benda atau makhluk, baik yang hidup maupun yang mati. Lansia bukan

merupakan kontra indikasi untuk tindakan anestesi. Suatu kenyataan bahwa tindakan

anestesi sering memerlukan ventilasi mekanik, toilet tracheobronchial, sirkulasi yang

memanjang pada orang tua dan pengawasan fungsi faal yang lebih teliti, kurangnya

kemampuan sirkulasi untuk mengkompensasi vasodilatasi karena anestesi menyebabkna

hipotensi dan berpengaruh pada stabilitas keadaan umum pasca bedah (Andista, 2014).

4) Berat Badan dan Indeks Masa Tubuh (Body Mass Index)

Indeks Masa Tubuh (IMT) merupakan alat atau cara yang sederhana untuk

memantau status gizi orang dewasa, khususnya yang berkaitan dengan kekurangan

dan kelebihan berat badan (Depkes RI, 2009). Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah cara

untuk memperkirakan obesitas dan berkolerasi tinggi dengan massa lemak tubuh,

selain itu juga penting untuk mengidentifikasi pasien obesitas yang mempunyai resiko

mendapat komplikasi medis.

2
6
27
5) Jenis Operasi
Beberapa jenis operasi yang dilakukan akan memberikan efek yang berbeda

terhadap kondisi pasien pasca bedah. Operasi dengan perdarahan yang lebih dari

15 sampai 20 persen dari total volume darah normal memberikan pengaruh terhadap

perfusi organ, pengangkutan oksigen dan sirkulasi. Pasien dengan perdarahan yang

banyak memerlukan bantuan yang lebih lanjut, pemberian tranfusi pasca bedah dinilai

lebih efektif untuk menggantikan cairan darah hilang. Cairan koloid dapat membantu

bila darah donor belum tersedia.

6) Status Fisik Pra Anestesi

Status ASA, sistem klasifikasi fisik adalah suatu sistem untuk menilai

kesehatan pasien sebelum operasi. American Society of Anesthesiologis (ASA)

mengadopsi sistem klasifikasi status lima kategori fisik yaitu:

(a) ASA 1, seorang pasien yang normal dan sehat.

(b)ASA 2, seorang pasien dengan penyakit sistemik ringan. (c) ASA 3, seorang pasien

dengan penyakit sistemik berat. (d)ASA 4, seorang pasien dengan penyakit sistemik

berat yang merupakan ancaman bahi kehidupan.

(e) ASA 5, seorang pasien yang hamper mati tidak ada harapan hidup dalam 24 jam

untu berthan hidup tanpa operasi.

2
7
28

Jika pembedahan darurat, klasifikasi status fisik diikuti dengan “E” (untuk darurat)
misalnya “3E”.
Semakin tinggi status ASA pasien maka gangguan sistemik pasien tersebut akan

semakin berat. Hal ini menyebabkan respon organ-organ tubuh terhadap obat atau agen

anestesi tersebut semakin lambat, sehingga berdampak pada semakin lama pulih sadar

pasien (Setiawan, 2010).

7) Gangguan Asam Basa dan Elektrolit

Tubuh memiliki mekanisme untuk mengatur keseimbangan asam, basa, cairan, maupun

elektrolit yang mendukung fungsi tubuh yang optimal. Mekanisme regulasi dilakukan

terutama oleh ginjal yang manpu mengonservasi ataupun meningkatkan pengeluaran

cairan, konstribusi pengaturan asam basa maupun elektrolit apabila terjadi

ketidakseimbangan.

Mekanisme pengaturan keseimbangan asam basa didalam tubuh terutana oleh tiga

komponen yaitu sistem buffer kimiawi, pari-paru dan ginjal. Gangguan keseimbangan

asam basa tubuh terbagi menjadi empat macam yaitu asidosis respiratorik, asidosis

metabolik, alkalosis respiratorik dan alkalosis metabolik. Istilah respiratorik merujuk

pada kelainan system pernafasan, sedangkan istilah metabolik merujuk pada kelainan

yang disebabkan sistem pernafasan.

2
8
29
Pasien yang mengalami gangguan asam basa menyebabkan terganggunya fungsi

pernafasan, fungsi ginjal maupun fungsi tubuh yang lain. Hal ini berdampak pada

terganggunya proses ambilan maupun pengeluaran obat-obatan dan agen anestesi.

Begitu juga dengan gangguan keseimbangan elektrolit di dalam tubuh, baik

hipokalemia, hiperkalemia, hiponatremia, hipokalsemia, ataupun ketidakseimbangan

elektrolit yang lain. Kondisi-kondisi ini bisa menyebabkan gangguan irama

jantung, kelemahan otot, maupun terganggunya perfusi otak. Sehingga ambilan obat-

obatan dan agen inhalasi anestesi menjadi terhalang dan proses eliminasi zat-zat anestesi

menjadi lambat yang berakibat waktu pulih sadar menjadi lebih lama.

2
9
30

B. Kerangka Teori

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan diatas maka kerangka teoritis pada

penelitian ini adalah korelasi hipotermi pasca bedah terhadap waktu pulih sadar

pasien pasca general anestesi adalah digambarkan


seperti dibawah ini:
Waktu Pulih
General Hipoterm Sadar
i Pulih 1. Cepat ≤15
Sadar
Anestesi
menit
Suhu 280-35,90C
2. Lambat
>15 menit

Teknik Faktor-faktor Faktor-faktor


Anestesi yang yang
1. General menyebabkan
Anestesi mempengaruhi
hipotermi: waktu pulih
Intraven
1. Suhu kamar sadar
a
2. operasi yang 1. Efek obat
dingin Anestesi
2. Cairan infus 2. Lama Anestesi
3. dan tranfusi 3. Usia
Anestesi 4. IMT
darah dingin
Imbang 5. Jenis Operasi
3. Penggunaan
6. ASA
agen inhalasi 7. Gangguan Asam
4. Luas luka Basa dan
operasi Elektrolit
5. Lama operasi
6. Aktifitas otot
yan menurun
(tersedasi)
7. Usia lanjut

Gambar 1. Kerangka Teori


Sumber: Latief, 2007; Tamsuri, 2007; Larson, 2009

3
0
31

C. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep pada penelitian ini tergambar sebagai berikut:

Variabel Bebas (Independen) Variabel Terikat (Dependen)


Hipotermi Waktu Pulih
1. Cepat ≤15 menit
0 0 2. Lambat >15 menit
Suhu 28 -35,9 C

Variabel Pengganggu (Confounding) Variabel Pengganggu (Confounding)


Faktor-faktor yang Faktor-faktor yang
menyebabkan mempengaruhi waktu
hipotermi: pulih sadar:
1. Dapat di Tidak dapat
Kendalikan dikendalikan a.
a. Suhu kamar Efek obat Anestesi
operasi yang b. Lama
Anestesi c.
dingin Usia
b. Aktifitas otot d. IMT
yang menurun e. Jenis
Operasi f.
(tersedasi)
ASA
c. Penggunaan g. Gangguan Asam Basa dan
agen inhalasi Elektrolit
d. Cairan infus dan
tranfusi darah
dingin
2. Tidak dapat
dikendalikan a.
Luas luka operasi
b. Lama operasi
c. Usia lanjut

Gambar 2. Kerangka Konsep Penelitian

: di teliti

: tidak diteliti

D. Hipotesis

Ada hubungan antara hipotermi dengan waktu pulih sadar pasca general

anestesi.
3
DAFTAR PUSTAKA 1
32

. Drugbank.ca. Sevoflurane – DrugBank. 2020. Available at:


https://www.drugbank.ca/drugs/DB01236
2. Pusat Informasi Obat Nasional Badan Pengawas Obat dan Makanan. SEVOFLURAN.
2020. Available at: http://pionas.pom.go.id/monografi/sevofluran
3. Edgington TL, Muco E, Maani CV. Sevoflurane. [Updated 2020 May 16]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-. Available
from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK534781/
4. FDA. ULTANE®(sevoflurane)volatile liquid for inhalation. 2020. Available at:
https://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/label/2006/020478s016lbl.pdf
5. Medscape. Ultane (sevoflurane) dosing. indications. interactions. adverse effects. and
more. 2020. Available at: https://reference.medscape.com/drug/ultane-sojourn-
sevoflurane-343101#5
6. Depkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor
HK.01.07/MENKES/659/2017 tentang Formularium Nasional tahun 2017. 2017.
Available at: http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/KMK_No._HK_.01_.07-
MENKES-659-2017_ttg_Formularium_Nasional_.pdf
7. Therapeutic Goods Administration. Prescribing medicines in pregnancy database.
2020. https://www.tga.gov.au/prescribing-medicines-pregnancy-database
8. FDA. Drug Approval Package: Ultane (Sevoflurane) NDA #020478s007. 2020.
Available at:
https://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/nda/2002/020478s007TOC.cfm

3
2

Anda mungkin juga menyukai