Anda di halaman 1dari 38

BAB V

ANASTESIA UMUM (GENERAL ANESTESI)

5.1 Definisi
Anestesia berasal dari bahasa Yunani yang berarti “hilangnya rasa”, yaitu
hilangnya sensasi nyeri (rasa sakit) yang disertai maupun yang tidak disertai hilang
kesadaran. Obat yang digunakan dalam menimbulkan anestesia disebut sebagai
anestetik. Anestetik umum (general anestesi) adalah meniadakan nyeri secara sentral
disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Anestetik umum (general
anestesi) bekerja di susunan saraf pusat. Anestesi umum dapat menyebabkan amnesia
anterogard, yaitu hilangnya ingatan seseorang pada saat dilakukan pembiusan dan
operasi.
Dahulu dikenal istilah “Trias Anestesia”, yaitu hipnosis, analgesia dan
arefleksia. Sekarang anestesia umum tidak hanya mempunyai ketiga komponen
tersebut namun lebih luas. Secara umum komponen yang ada dalam anestesia umum
adalah hipnosis (hilangnya kesadaran), analgesia (hilangnya rasa sakit), arefleksia
(hilangnya refleks-refleks motorik tubuh, memungkinkan imobilisasi pasien),
relaksasi otot (memudahkan prosedur pembedahan dan memfasilitasi intubasi
trakeal), amnesia (hilangnya memori pasien selama menjalani prosedur).

5.2. Stadium Anestesi


Semua zat anestetik menghambat SSP secara beratahap, yang mula-mula
dihambat adalah fungsi yang kompleks, dan yang paling akhir dihambat ialah medulla
oblongata tempat pusat vasomotor dan pernafasan. Kedalaman anastesi dinilai
berdasarkan Kedalaman anastesi dinilai berdasar tanda klinik yang didapat. Guedel
membagai kedalaman anastesi menjadi 4 stadium dengan melihat pernafasan, gerakan
bola mata, tanda pada pupil, tonus otot, sebagai berikut :
5.2.1. Stadium I
Stadium I (Analgesia/Disorientasi) dimulai dari saat pemberian zat
anestetik sampai hilangnya kesadaran. Pada stadium ini pasien masih
dapat mengikuti perintah dan terdapat analgesi. Tindakan pembedahan
ringan, seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan
pada stadium ini. Stadium ini berakhir ditandai oleh hilangnya refleks
bulu mata.
5.2.2. Stadium II
Stadium II (Eksitasi/Delirium) dimulai dari akhir stadium I dan ditandai
dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss cahaya (+),
pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot meninggi dan
diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak mata.
5.2.3. Stadium III
Stadium III (Stadium Pembedahan) yaitu stadium sejak mulai teraturnya
lagi pernapasan hingga hilangnya pernapasan spontan. Stadium ini ditandai
oleh hilangnya pernapasan spontan, hilangnya refleks kelopak mata dan dapat
digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan dengan mudah. Stadium ini dibagi
menjadi 4 tingkat, yaitu :
a. Tingkat I : Dari napas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata.
Ditandai dengan napas teratur, napas torakal sama dengan abdominal.
Gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, refleks cahaya (+), lakrimasi
meningkat, refleks faring dan muntah menghilang, tonus otot menurun.
b. Tingkat II : Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan
paralisis otot interkostal. Ditandai dengan pernapasan teratur, volume
tidak menurun dan frekuensi napas meningkat, mulai terjadi depresi napas
torakal, bola mata berhenti, pupil mulai melebar dan refleks cahaya
menurun, refleks kornea menghilang dan tonus otot makin menurun.
c. Tingkat III : Dari permulaan paralisis otot interkostal sampai paralisis
seluruh otot interkostal. Ditandai dengan pernapasan abdominal lebih
dorninan dari torakal, pupil makin melebar dan refleks cahaya
menghilang, lakrimasi negafif, refleks laring dan peritoneal menghilang,
tonus otot makin menurun.
d. Tingkat IV : Dari paralisis semua otot interkostal sampai paralisis
diafragma. Ditandai dengan paralisis otot interkostal, pernapasan lambat,
iregular dan tidak adekuat, terjadi jerky karena terjadi paralisis diafragma.
Tonus otot makin menurun sehingga terjadi flaccid, pupil melebar, refleks
cahaya negatif, refleks spincter ani negatif.
5.2.4. Stadium IV
Stadium IV (Intoksikasi/overdosis obat anestesia) Ditandai dengan
kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian akan segera diikuti kegagalan
sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien meninggal. Pasien sebaiknya tidak
mencapai stadium ini karena itu berarti terjadi kedalaman anestesi yang
berlebihan.

Gambar Tingkatan Stadium Anestesi Umum

5.3 Metode anestesi umum dilihat dari cara pemberian obat


I. Parenteral
Anestesia umum yang diberikan secara parenteral baik intravena maupun
intramuskular biasanya digunakan untuk tindakan yang singkat atau untuk
induksi anestesia. Anestesi Intravena merupakan salah satu teknik anastesia
umum yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat anastesia parenteral
langsung ke dalam pembuluh darah vena. Obat induksi disuntikkan secara bolus
intravena dengan kecepatan antara 30-60 detik. Contoh obat induksi intravena:
Thiopental, Propofol, dan Ketamin. Sedangkan obat induksi yang dapat
digunakan secara intramuskular yaitu Ketamin.
Teknik anestesi umum intravena terdiri atas anestesi intravena klasik, anestesi
intravena total dan anestesi-anelgesia neurlept.
1. Anestesi Intravena Klasik
a. Pemakaian kombinasi obat ketamin dengan sedatif (misalnya
diazepam atau midazolam)
b. Komponen trias anestesi yang dipenuhi: hipnotik & anestesi
c. Indikasi: pada operasi kecil dan sedang yang tidak memerluan
relaksasi lapangan operasi yang optimal dan berlangsung
singkat.
d. Kontraindikasi:
i. pada pasien yang rentan terhadap obat-obat
simpatomimetik, misalnya penderita DM, hipertensi,
tirotoksikosis, dan phaecromositoma.
ii. pasien dengan hipertensi intrakranial
iii. pasien glaukoma
iv. operasi di daerah jalan napas dan intraokuler
2. Anestesi Intravena Total
a. Pemakaian kombinasi obat anestesia intravena yang berkhasiat
hipnotik, analgetik, dan relaksasi otot secara berimbang.
b. Komponen trias anestesia yang dipenuhi: hipnotik, analgesia
dan relaksasi otot.
c. Indikasi: pada operasi yang memerlukan relaksasi lapangan
operasi yang optimal.
d. Kontraindikasi: tidak ada kontraindikasi yang absolut, pilihan
obat disesuaikan dengan penyakit pasien.
3. Anestesi - Analgesia Neurolept
a. Pemakaian kombinasi obat neuroleptik dengan analgetik opiat
secara intravena.
b. Komponen trias anestesia yang dipenuhi: sedasi atau hipnotik
ringan dan analgesia ringan.
c. Indikasi: - tindakan diagnostik endoskopi, misalnya
laringoskopi, bronkoskopi, esofagoskopi, dll.
- sebagai sumplemen tindakan anestesi lokal.
d. Kontraindikasi: penderita parkinson, penderita penyakit paru
obstruktif, bayi dan anak (kontraindikasi relatif).
II. Perektal
Metode ini sering digunakan pada anak, terutama untuk induksi anestesia
maupun tindakan singkat. Biasanya digunakan Thiopental atau Midazolam.
III. Perinhalasi
Anestesi inhalasi Merupakan salah satu teknik anastesia umum yang
dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat-obatan anastesia berupa
gas dan atau cairan yang mudah menguap (volatile agent) berupa melalui
alat/mesin anastesia langsung ke udara inspirasi. Teknik anestesi umum
inhalasi:
• Sungkup muka (face mask)
Teknik ini banyak dilakukan untuk tindakan singkat antara 1/2 – 1 jam,
keadaan umum baik (ASA I-II). Persiapan yang dilakukan sebelum
penggunaan sungkup muka adalah keadaan lambung yang kosong. Pasien
harus dipuasakan terlebih dahulu selama 6-8 jam, dengan tujuan
meminimalkan risiko refluks/regurgitasi dan aspirasi isi lambung ke
sistem pernafasan.
• LMA (Laringeal Mask Airway)
Manajemen saluran nafas dengan memasukkan LMA ke dalam
hipofaring akan mengurangi resiko aspirasi dan regurgitasi dibandingkan
dengan sungkup muka. Pemasangan LMA dapat dilakukan jika ada
kesulitan pada saat melakukan intubasi.
• Intubasi endotrakea (endotracheal tube)
Manajemen saluran nafas dengan memasukkan pipa endotrakea ke
dalam percabangan trakea (carina) melalui oral atau nasal. Indikasi
pemasangan adalah pasien yang sulit mempertahankan saluran nafas dan
kelancaran dalam proses bernafas (misalnya pada: penurunan kesadaran,
trauma pada wajah dan leher), mencegah aspirasi, ventilasi mekanis
jangka lama.
Pada anestesi umum inhalasi, pemakaian N20 harus selalu dikombinasikan
dengan O2 dengan perbandingan 70:30, 60:40 atau 50:50, tergantung kondisi
pasien. Obat induksi inhalasi yang dapat digunakan yaitu Halotan, Sevofluran
dan Isofluran.

Cara kerja obat anastesi


Apabila obat anestesi inhalasi, dihirup bersama-sama udara inspirasi masuk
kedalam saluran pernapasan, didalam alveoli paru akan berdifusi masuk ke dalam
sirkulasi darah. Demikian pula yang disuntikkan secara intramuskuler, obat
tersebut akan diabsorbsi masuk ke dalam sirkulasi darah. Setelah masuk kedalam
sirkulasi darah obat tersebut akan menyebar ke dalam jaringan. Dengan
sendirinya jaringan yang kaya pembuluh darah seperti otak atau organ vital akan
menerima obat lebih banyak dibandingkan jaringan yang pembuluh darahnya
sedikit seperti tulang atau jaringan lemak.

5.4 Pilihan cara anastesia


Pemilihan prosedur anestesi berdasarkan hal-hal dibawah ini:
1. Usia
- Bayi dan anak paling baik dengan anestesi umum
- Pada dewasa untuk tindakan singkat dan hanya dilakukan dengan anestesi
lokal atau umum
2. Status fisik
- Riwayat penyakit dan anestesia terdahulu. Untuk mengetahui apakah
pernah dioperasi dan anestesi. Dengan itu dapat mengetahui apakah ada
komplikasi anestesia dan pasca bedah.
- Gangguan fungsi kardiorespirasi berat sedapat mungkin dihindari
penggunaan anestesia umum.
- Pasien gelisah, tidak kooperatif, disorientasi dengan gangguan jiwa
sebaikmya dilakukan dengan anestesia umum.
- Pasien obesitas, bila disertai leher pendek dan besar, sering timbul
gangguan sumbatan jalan napas atas sesudah dilakukan induksi anestesia.
Pilihan anestesia adalah regional, spinal, atau anestesi umum endotrakeal.
3. Posisi pembedahan
Posisi seperti miring, tungkurap, duduk, atau litotomi
memerlukan anestesis umum endotrakea untuk menjamin ventilasi
selama pembedahan.demikian juga pembedahan yang berlangsung lama.
4. Keterampilan dan kebutuhan dokter bedah
Memilih obat dan teknik anestesi juga disesuaikan dengan keterampilan dan
kebutuhan dokter bedah antara lain teknik hipotensif untuk mengurangi
perdarahan, relaksasi otot pada laparotomi, pemakaian adrenalin pada bedah
plastik dan lain-lain.
5. Keterampilan dan pengalaman dokter anestesiologi.
6. Keinginan pasien

5.5 Keuntungan dan kerugian anestesia umum


1. Keuntungan anestesia umum
 Pasien tidak sadar, mencegah ansietas pasien selama prosedur medis
berlangsung.
 Efek amnesia meniadakan memori buruk pasien yang didapat akibat
ansietas dan berbagai kejadian intraoperatif yang mungkin memberikan
trauma psikologis.
 Memungkinkan dilakukannya prosedur yang membutuhkan waktu lama.
 Memudahkan kontrol penuh ventilasi pasien.

2. Kerugian anestesia umum


 Sangat memengaruhi fisiologi, hampir semua regulasi tubuh menjadi
tumpul dibawah anestesi umum.
 Memerlukan pemantauan yang lebih holistik.
 Tidak dapat mendeteksi gangguan susunan saraf pusat, misalnya
perubahan kesadaran.
 Risiko komplikasi pascabedah lebih besar
 Memerlukan persiapan pasien yang lebih seksama.

5.6 Indikasi anestesi umum


 Infant dan anak usia muda
 Dewasa yang memilih anestesi umum
 Pembedahan luas
 Penderita sakit mental
 Pembedahan lama
 Pembedahan dimana anestesi lokal tidak praktis atau tidak memuaskan
 Riwayat penderita toksik/alergi obat anestesi lokal
 Penderita dengan pengobatan antikoagulan

5.7 Kontraindikasi Anestesi Umum


Adapun kontraindikasi dalam anestesi umum meliputi:
 Mutlak: dekompensasio kordis derajat III-IV dan AV blok derajat II total
(tidak ada gelombang P). Kontraindikasi mutlak ialah pasien sama sekali tidak
boleh diberikan anestesi umum sebab akan menyebabkan kematian, apakah
kematian DOT (death on the table) meninggal di meja operasi.
 Relatif: hipertensi berat atau tidak terkontrol (diastolik>110 mmHg), diabetes
melitus tidak terkontrol, infeksi akut, sepsis, dan glomerulonefritis akut.
Kemudain kontraindikasi relatif adalah pada saat tersebut tidak dapat
dilakukan anestesi umum tetapi ditunda dan ditunggu perbaikan kondisi pasien
hingga stabil kemudian baru dapat diberikan anestesi umum.

5.8 Tahapan Tindakan Anestesia Umum (General Anastesia)


Manajemen Perioperatif atau Perianestesia
Keseluruhan prosedur anestesia dimulai sejak periode pra-anestesia atau
prabedah dan diakhiri pada periode pasca-anestesia atau pascabedah. Ketiga
periode ini dikenal dengan periode perioperatif. Tujuan utama perioperative
medicine adalah untuk mempersiapkan pasien seoptimal mungkin serta
meminimalkan komplikasi anestesia dan atau pembedahan yang akan dijalani.
Serta dapat menghindari masalah-masalah medikolegal.
1. Evaluasi Pra-anestesia
Tujuan evaluasi pra anestesi antara lain:
- Mengetahui status fisik pasien pra-operatif.
- Mengetahui dan menganalisis jenis operasi.
- Memilih jenis atau teknik anestesi yang sesuai.
- Memprediksi kemungkinan penyulit yang dapat terjadi selama bedah
atau pasca bedah.
- Mempersiapkan obat untuk menanggulangi penyulit yang diprediksi.

Waktu dilakukannya evaluasi pra anestesia pada kasus bedah elektif :


- Evaluasi awal dilakukan beberapa hari sebelum operasi.
- Evaluasi ulang dilakukan sehari menjelang operasi.
- Evaluasi ulang dilakukan lagi pada pagi hari menjelang pasien dikirim ke
kamar operasi.
- Evaluasi terakhir dilakukan dikamar persiapan bedah untuk menentukan
status fisik ASA.

1. Anamnesis
a. Identitas pasien
b. Anamnesa khusus yang berkaitan dengan penyakit bedah (yang akan
dilakukan tindakan bedah) yang mungkin dapat menimbulkan
gangguan fungsi organ.
c. Anamnesa umum meliputi:
- Riwayat penyakit sistemik yang diderita atau pernah diderita yang
bisa mempengaruhi anestesia atau dipengaruhi oleh anestesia
- Riwayat penggunaan obat-obatan yang mungkin dapat berinteraksi
dengan obat-obat anestesia
- Riwayat operasi/ anestesia terdahulu untuk melihat apakah pernah
mengalami komplikasi anestesia
- Kebaisaan buruk: merokok, mengkonsumsi alkohol, pengguna obat
terlarang (sedatif & narkotik)
- Riwayat alergi terhadap obat-obatan atau lainnya.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan atau penilaian: status kesadaran frekuensi napas, tekanan
darah, nadi, suhu tubuh, berat dan tinggi badan untuk menilai status
gizi atau BMI.
b. Pemeriksaan keadaan psikis: gelisah, takut, kesakitan.
c. Pemeriksaan keadaan gigi geligi (gigi palsu, gigi goyang, gigi
menonjol, dll), tindakan buka mulut, dan penilaian lidah. hal-hal ini
penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan meyulitkan
laringoskopi intubasi.
d. Skor Mallampati
Skor Mallampati adalah suatu perkiraan kasar dari ukuran relatif lidah
terhadap rongga mulut yang digunakan untuk memperkirakan tingkat
kesulitan intubasi. Skor Mallampati ditentukan dengan melihat anatomi
dari rongga mulut, khususnya berdasarkan visibilitas dari dasar uvula,
arkus tonsilaris anterior dan posterior, dan palatum mole. Semakin
tinggi skor mallampati, semakin tinggi pula tingkat kesulitan untuk
dilakukan intubasi.
Tabel 1.Klasifikasi skor mallampati
Kelas 1 tonsil, palatum mole, dan uvula terlihat jelas seluruhnya
palatum durum dan palatum mole masih terlihat, sedangkan tonsil
Kelas 2
dan uvula hanya terlihat bagian atas
Hanya palatum mole dan palatum durum yang terlihat, sedangkan
Kelas 3
dinding posterior faring dan uvula tertutup seluruhnya oleh lidah
Hanya palatum durum yang terlihat, sedangkan dinding posterior
Kelas 4
faring, uvula, dan palatum mole tertutup seluruhnya oleh lidah

e. Pasien sesak nafas dapat dilihat dari posisi berbaring (setengah duduk
atau menggunakan bantal yang tinggi), frekuensi nafas, jenis
pernafasan dan tingkat saturasi HbO2 dari pulse oxymeter. Pengamatan
dan pemeriksaan ini penting karena terkadang pasien mengaku tidak
sesak.
f. Pemeriksaan fisik umum dilakukan secara sistematik untuk semua
sistem organ tubuh pasien.

3. Pemeriksaan Laboratorium, radiologi, dan lainnya


a. Persiapan rutin: dilakukan kepada pasien yang dipersiapkan untuk
operasi kecil dan sedang. Hal yang diperiksa meliputi:
- Darah: Hb, HCT, eritrosit, leukosit, trombosit, masa perdarahan
(BT), dan masa pembekuan (CT)
- Urin: pemeriksaan fisik, kimiawi dan sedimen urin.
b. Pemeriksaan khusus: dilakukan kepada pasien yang dipersiapkan untuk
operasi besar dan pasien yang menderita penyakti sistemik tertentu
dengan indikasi tegas. Hal-hal yang diperiksa adalah:
- Pemeriksaan laboratorium lengkap: fungsi hati, fungsi ginjal,
analisis gas darah, elektrolit, hematologi dan faal hemostasis
sesuai indikasi.
- Pemeriksaan radiologi: foto thoraks dan pemeriksaan lain sesuai
indikasi
- EKG terutama untuk pasien >35 tahun
- Pemeriksaan spirometri pada penderita PPOK
c. Konsultasi dan koreksi terhadap kelainan fungsi organ vital apabila
ditemukan gangguan fungsi organ yang bersifat kronis maupun akut
yang dapat mengganggu kelancaran atau dapat diperberat oleh anestesi
dan pembedahan.

4. Status Fisik
Status fisik (physical status) menggambarkan tingkat kebuguran pasien
untuk menjalani anestesia. Klasifikasi status fisik yang disusun oleh
American Society of Anesthesiologists (ASA) telah dikenal dan digunakan
secara luas di dunia. Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan resiko
anestesia, karena dampak samping anestesia tidak dapat dipisahkan dari
dampak samping pembedahan.

Klasifikasi status fisik menurut ASA


ASA 1 Pasien sehat (tanpa disertai penyakit sistemik) yang akan menjalani
operasi.
ASA 2 Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang, tanpa
pembatasan aktivitas.
ASA 3 Pasien dengan penyakit sistemik berat yang membatasi aktivitas
rutin
ASA 4 Pasien dengan kelainan sistemik berat yang menyebabkan
ketidakmampuan melakukan aktivitas rutin, yang mengancam
nyawanya setiap waktu.
ASA 5 Pasien tidak ada harapan, dengan atau tanpa pembedahan
diperkirakan meninggal dalam 24 jam.
Huruf “E” ditambahkan pada nomor status untuk operasi gawat darurat.
Misalnya ASA1 E.

2. Persiapan Pra Anestesia


a. Persiapan di Poliklinik, dirumah atau rawat inap
 Persiapan psikis dengan memberikan penjelasan kepada pasien dan
atau keluarganya agar mengerti perihal rencana anestesi dan
pembedahan sehingga diharapkan pasien dan keluarga bisa tenang.
 Persiapan fisik dengan memberikan informasi kepada pasien agar:
- Menghentikan kebiasaan-kebiasaan seperti merokok, minuman
keras, dan obat-obatan tertentu minimal 2 minggu sebelum anestesia
atau minimal dimulai sejak evaluasi pertama kali di Poliklinik.
- Melepas protesis atau aksesoris, tidak menggunakan kosmetik
 Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan
risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk
meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk
operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral
(puasa) selama periode tertentu sebelum induksi anestesia. Pada pasien
dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4
jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebelum induksi
anestesia.

b. Persiapan di ruang persiapan instalasi bedah sentral


 Evaluasi ulang status pasien, catatan medik dan perlengkapan lainnya
 Konsultasi ditempat jika diperlukan
 Ganti pakaian dengan pakaian khusus kamar operasi
 Memberi premedikasi
 Tindakan lainnya: pemasangan Infus

c. Persiapan diruang operasi


 Meja operasi dan instrumen yang diperlukan
 Mesin anestesi dan sistem aliran gasnya
 Alat dan obat-obatan untuk resusitasi
 Alat pemantau TTV
 Kartu catatan medik anestesia

3. Premedikasi
Premedikasi adalah pemberian obat atau obat-obat 1-2 jam sebelum
induksi anesthesia untuk mendapatkan kondisi yang diharapkan oleh
anestesiologis, dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan dan bangun
dari anestesi diantaranya :
 Mengurangi kecemasan
 Mengurangi nyeri
 Mengurangi kebutuhan obat-obat anestetik
 Mengurangi sekresi saluran pernafasan
 Menyebabkan amnesia
 Mengurangi kejadian mual-muntah pascaoperasi
 Membantu pengosongan lambung danmengurangi produksi asam
lambung atau meningkatkan ph asam lambung
 Serta mencegah refleks-refleks yang tidak diinginkan.

Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seorang dihadapkan pada


situasi yang tidak pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapat
membangun kepercayaan dan menenteramkan pasien. Obat pereda kecemasan
bisa digunakan diazepam peroral 10-15 mg beberapa jam sebelum induksi
anestesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya, dapat diberikan opioid
misalnya petidin 50 mg intramuskular.
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis
asam. Untuk meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor
H2 histamin misalnya oral simetidin 600 mg atau oral ranitidin (zantac) 150
mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi.
Untuk mengurangi mual muntah pasca bedah sering ditambahkan
premedikasi suntikan intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau
ondansentron 2-4 mg (zofran, narfoz).
Obat-obat yang sering digunakan adalah:
 Analgesik narkotik
Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
Morfin ( amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3μgr/kgBB
 Analgesik non narkotik
Ponstan, Tramol, Toradon
 Hipnotik
Ketamin ( fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
 Sedatif
Diazepam/valium/stesolid ( amp 2cc = 10mg), dosis 0,1 mg/kgBB
Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis 0,1mg/kgBB
Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5 mg/kgBB
Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
 Anti emetic
Sulfas atropine (anti kolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg),dosis 0,001 mg/kgBB
DBP, Narfoz, rantin, primperan, Ondancentron, Granon.

4. Periode Intrabedah
A. Induksi
Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar,
sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan, tergantung lama
operasinya, untuk operasi yang waktunya pendek mungkin cukup dengan
induksi saja. Tetapi untuk operasi yang lama, kedalaman anastesi perlu
dipertahankan dengan memberikan obat terus-menerus dengan dosis tertentu, hal
ini disebut maintenance atau pemeliharaan, setelah tindakan selesai pemberian
obat anastesi dihentikan dan fungsi tubuh penderita dipulihkan, periode ini
disebut pemulihan/recovery.

Persiapan induksi “STATICS” :


S = Scope. Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.Laringocope
T = Tubes. Pipa trakea. Usia >5 tahun dengan balon(cuffed)
A = Airway. Pipa mulut faring (orofaring) dan pipa hidung faring (nasofaring)
yang digunakanuntuk menahan lidah saat pasien tidak sadar agar lidah
tidak menymbat jalan napas
T = Tape. Plester untuk fiksasi pipa agar tidak terdorong atau tercabut
I = Introductor. Stilet atau mandrin untuk pemandu agar pipa trakea mudah
dimasukkan
C = Connector. Penyambung pipa dan perlatan anestesia
S = Suction. Penyedot lendir dan ludah

Jenis Induksi dari Cara Pemberian adalah :


 Induksi Intravena
Paling banyak digunakan, dilakukan dengan hati-hati, perlahan- lahan, lembut dan
terkendali. Obat induksi bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik.
Selama induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus
diawasi dan selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
Jenis Induksi intravena:
- Tiopental (pentotal, tiopenton)
(1 amp 500 mg atau 1000 mg) sebelum digunakan dilarutkan dalam
akuades steril sampai kepekatan 2,5% ( 1ml = 25mg). hanya boleh
digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-
lahan dihabiskan dalam 30-60 detik.
Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan menyebabkan
pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis, anestesia atau depresi
napas. Tiopental menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan
intracranial dan diguda dapat melindungi otak akibat kekurangan O2 .
Dosis rendah bersifat anti-analgesia.

- Propofol (diprivan, recofol)


Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonic
dengan kepekatan 1% (1ml = 10 mg). suntikan intravena sering
menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik sebelumnya dapat diberikan
lidokain 1-2 mg/kg intravena. Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg,
dosis rumatan untuk anestesia intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis
sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg. pengenceran hanya boleh
dengan dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada
wanita hamil.
- Ketamin (ketalar)
Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia, hipertensi,
hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan mual-
muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Sebelum pemberian
sebaiknya diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau diazepam
(valium) dengan dosis0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi salvias
diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg. Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk
intramuscular 3-10 mg. ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan
1% (1ml=10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml = 100 mg).
- Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)
Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskular, sehingga
banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan jantung. Untuk
anestesia opioid digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis
rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.
 Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara
intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5menit pasien tidur.

 Induksi inhalasi
- N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen monoksida).
Berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak terbakar dan
beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2 minimal 25%.
Bersifat anastetik lemah, analgesinya kuat, sehingga sering digunakan
untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi
jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu cairan
anastetik lain seperti halotan.
- Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan anestesinya
cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesi semprot
lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring. Kelebihan dosis menyebabkan
depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi,
vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi
reflex baroreseptor. Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan
menghambat pelepasan insulin sehingga meninggikan kadar gula darah.
- Enfluran (etran, aliran)
Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan enfluran lebih iritatif
disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat dibanding
halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi terhadap
otot lurik lebih baik dibanding halotan.
- Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial. Peninggian aliran
darah otak dan tekanan intracranial dapat dikurangi dengan teknik anestesi
hiperventilasi, sehingga isofluran banyak digunakan untuk bedah otak.
Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga
digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan pada
pasien dengan gangguan koroner.
- Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%), bersifat
simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi
napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas
sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi.
- Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran.
Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga
digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping halotan.

 Induksi perektal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau midazolam.

B. Rumatan Anestesi (Maintainance)


Seperti pada induksi, pada fase pemeliharaan juga dapat dipakai obat inhalasi
atau intravena. Obat intravena bisa diberikan secara intermitten atau
continuous drip. Kadang-kadang dipakai gabungan obat inhalasi dan intravena
agar dosis masing-masing obat dapat diperkecil.
Untuk operasi-operasi tertentu diperlukan anastesi umum sampai tingkat
kedalamannya mencapai trias anastesi, pada penderita yang tingkat
analgesinya tidak cukup dan tidak mendapat pelemas otot, maka bila mendapat
rangsang nyeri dapat timbul :
 Gerakan lengan atau kaki
 Penderita akan bersuara, suara tidak timbul pada pasien yang memakai pipa
endotrakeal
 Adanya lakrimasi
 Pernafasan tidak teratur, menahan nafas, stridor laryngeal, broncospasme
 Tanda-tanda adanya adrenalin release, seperti denyut nadi bertambah cepat,
 Tekanan darah meningkat, berkeringat.
Keadaan ini dapat diatasi dengan mendalamkan anastesi. Pada operasi-operasi
yang memerlukan relaksasi otot, bila relaksasinya kurang maka ahli bedah
akan mengeluh karena tidak bisa bekerja dengan baik, untuk operasi yang
membuka abdomen maka usus akan bergerak dan menyembul keluar, operasi
yang memerlukan penarikan otot juga sukar dilakukan.
Keadaan relaksasi bila terjadi pada anastesi yang dalam, sehingga bila kurang
relaksasi salah satu usaha untuk membuat lebih relaksasi adalah dengan
mendalamkan anastesi, yaitu dengan cara menambah dosis obat, bila hanya
menggunakan satu macam obat, keadaan relaksasi dapat tercapai setelah dosis
obat anastesi yang sedemikian tinggi, sehingga menimbulkan gangguan pada
organ vital. Dengan demikian keadaan ini akan mengancam jiwa penderita.
Untuk mengatasi hal ini maka ada teknik tertentu agar tercapai trias anastesi
pada kedalaman yang ringan, yaitu penderita dibuat tidur dengan obat
hipnotik, analgesinya menggunakan analgetik kuat, relaksasinya menggunakan
pelemas otot (muscle relaxant) teknik ini disebut balance anastesi.
Pada balance anastesi karena menggunakan muscle relaxant, maka otot
mengalami relaksasi, jadi tidak bisa berkontraksi atau mengalami kelumpuhan,
termasuk otot respirasi, jadi penderita tidak dapat bernafas.
Karena itu harus dilakukan nafas buatan (dipompa), karena itu balance
anastesi juga disebut dengan teknik respirasi kendali atau control respiration.
Rumatan intravena biasanya menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50
µg/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia
cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan
intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan
dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan anestesi total
intravena, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk mengembangkan paru
digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O + O2.

C. Pemulihan anastesi
Pada akhir operasi, maka anastesi diakhiri dengan menghentikan pemberian
obat anastesi, pada anastesi inhalasi bersamaan dengan penghentian obat
anastesi aliran oksigenasi dinaikkan, hal ini disebut oksigenasi. Dengan
oksigenasi maka oksigen akan mengisi tempat yang sebelumnya ditempati
oleh obat anastesi inhalasi di alveoli yang berangsur-angsur keluar mengikuti
udara ekspirasi. Dengan demikian tekanan parsial obat anastesi di alveoli juga
berangsur-angsur turun, sehingga lebih rendah dibandingkan dengan tekanan
parsial obat anastesi inhalasi dalam darah, maka terjadilah difusi obat anastesi
inhalasi dari dalam darah menuju ke alveoli, semakin tinggi perbedaan tekanan
parsial tersebut kecepata difusi makin meningkat. Kesadaran penderita juga
berangsur-angsur pulih sesuai dengan turunnya kadar obat anastesi dalam
darah.
Bagi penderita yang mendapat anastesi intravena, maka kesadarannya
berangsur pulih dengan turunnya kadar obat anastesi akibat metabolisme atau
ekskresi setelah pemberiannya dihentikan. Selanjutnya pada penderita yang
dianastesi dengan respirasi spontan tanpa menggunakan pipa endotrakeal
maka tinggal menunggu sadarnya penderita, sedangkan bagi penderita yang
menggunakan pipa endotrakeal maka perlu dilakukan ekstubasi (melepas pipa
ETT) ekstubasi bisa dilakukan pada waktu penderita masih teranastesi dalam
dan dapat juga dilakukan setelah penderita sadar. Ekstubasi pada keadaan
setengah sadar membahayakan penderita, karena dapat terjadi spasme jalan
napas, batuk, muntah, gangguan kardiovaskuler, naiknya tekanan intra okuli
dan naiknya tekanan intracranial. Ekstubasi pada waktu penderita masih
teranastesi dalam mempunyai resiko tidak terjaganya jalan nafas dalam kurun
waktu antara tidak sadar sampai sadar.
Pada penderita yang mendapat balance anastesi maka ekstubasi dilakukan
setelah napas penderita adekuat. Untuk mempercepat pulihnya penderita dari
pengaruh muscle relaxan maka dilakukan reserve, yaitu memberikan obat anti
kolin esterase.
Skor Pemulihan Pasca Anestesi
Sebelum pasien dipindahkan ke ruangan setelah dilakukan operasi terutama
yang menggunakan general anestesi, maka perlu melakukan penilaian terlebih
dahulu untuk menentukan apakah pasien sudah dapat dipindahkan ke ruangan
atau masih perlu di observasi di ruang Recovery room (RR).
Aldrete Score
Nilai Warna Kulit
Merah Muda 2
Pucat 1
Sianosis 0
Pernapasan
Bernapas dalam, batuk 2
Bernapas dangkal, dipneu 1
Apneu / obstruksi 0
Sirkulasi
Perbedaan TD < 20% TD awal 2
Perbedaan TD 20 – 50% dari awal 1
Perbedaan TD > 50% dari TD awal 0
Kesadaran
Sadar penuh 2
Bangun namun cepat kembali tertidur 1
Tidak ada respon 0
Aktivitas
Seluruh ekstrimitas dapat digerakkan 2
2 ekstrimitas dapat digerakkan 1
Tidak dapat digerakkan 0
Jika jumlahnya > 8, penderita dapat dipindahkan ke ruangan
BAB VI

MANAJEMEN JALAN NAFAS DAN ALAT BANTU PERNAFASAN

6.1 Definisi Intubasi


Intubasi adalah memasukan pipa ke dalam rongga tubuh melalui mulut atau
hidung. Intubasi terbagi menjadi 2 yaitu intubasi orotrakeal (endotrakeal) dan
intubasi nasotrakeal. Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa trakea
ke dalam trakea melalui rima glottidis dengan mengembangkan cuff, sehingga
ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara dan
bifurkasio trakea. Intubasi nasotrakeal yaitu tindakan memasukan pipa nasal
melalui nasal dan nasopharing ke dalam oropharing sebelum laryngoscopy.

6.2 Tujuan Intubasi


Tujuan intubasi adalah memasukkan suatu lubang atau pipa melalui mulut atau
melalui hidung, dengan sasaran jalan nafas bagian atas atau trachea. Tujuan
dilakukannya intubasi yaitu sebagai berikut :
 Mempermudah pemberian anesthesia.
 Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas serta mempertahankan
kelancaran pernapasan.
 Mencegah kemungkinan terjadinya aspirasi lambung (pada keadaan tidak
sadar, lambung penuh dan tidak ada reflex batuk).
 Mempermudah pengisapan sekret trakeobronkial.
 Pemakaian ventilasi mekanis yang lama.
 Mengatasi obstruksi laring akut.

6.3 Indikasi dan Kontraindikasi Intubasi


Indikasi intubasi yaitu mengontrol jalan napas, menyediakan saluran udara
yang bebas hambatan untuk ventilasi dalam jangka panjang, meminimalkan
risiko aspirasi, menyelenggarakan proteksi terhadap pasien dengan keadaan
gawat atau pasien dengan refleks akibat sumbatan yang terjadi, ventilasi yang
tidak adekuat, ventilasi dengan thoracoabdominal pada saat pembedahan,
menjamin fleksibilitas posisi, memberikan jarak anestesi dari kepala,
memungkinkan berbagai posisi (misalnya,tengkurap, duduk, lateral, kepala ke
bawah), menjaga darah dan sekresi keluar dari trakea selama operasi saluran
napas, Perawatan kritis : mempertahankan saluran napas yang adekuat,
melindungi terhadap aspirasi paru, kebutuhan untuk mengontrol dan
mengeluarkan sekret pulmonal.
Kontraindikasi intubasi endotrakeal adalah : trauma servikal yang memerlukan
keadaan imobilisasi tulang vertebra servical, sehingga sangat sulit untuk
dilakukan intubasi.

6.4 Faktor-faktor yang Berpengaruh dalam Intubasi


Sehubungan dengan manajemen saluran nafas, riwayat sebelum intubasi
seperti riwayat anestesi, alergi obat, dan penyakit lain yang dapat menghalangi
akses jalan napas. Pemeriksaan jalan napas melibatkan pemeriksaan keadaan
gigi; gigi terutama ompong, gigi seri atas dan juga gigi seri menonjol. Visualisasi
dari orofaring yang paling sering diklasifikasikan oleh sistem klasifikasi
Mallampati Modifikasi. Sistem ini didasarkan pada visualisasi orofaring. Pasien
duduk membuka mulutnya dan menjulurkan lidah.
Klasifikasi Mallampati
Mallampati 1 : Palatum mole, uvula, dinding posterior oropharing, pilar tonsil
Mallampati 2 : Palatum mole, sebagian uvula, dinding posterior uvula
Mallampati 3 : Palatum mole, dasar uvula
Mallampati 4 : Palatum durum saja
Gambar 5. Score Mallampati

Dalam sistem klasifikasi, Kelas I dan II saluran nafas umumnya diperkirakan


mudah intubasi, sedangkan kelas III dan IV terkadang sulit.
Selain sistem klasifikasi Mallampati, temuan fisik lainnya telah terbukti
menjadi prediktor yang baik dari kesulitan saluran nafas. Wilson dkk
menggunakan analisis diskriminan linier, dimasukkan lima variable : Berat
badan, kepala dan gerakan leher, gerakan rahang, sudut mandibula, dan gigi ke
dalam sistem penilaian yang diperkirakan 75% dari intubasi sulit pada kriteria
risiko = 2.

Faktor lain yang digunakan untuk memprediksi kesulitan intubasi meliputi :


 Lidah besar
 Gerak sendi temporo-mandibular terbatas
 Mandibula menonjol
 Maksila atau gigi depan menonjol
 Mobilitas leher terbatas
 Pertumbuhan gigi tidak lengkap
 Langit-langit mulut sempit
 Pembukaan mulut kecil
 Anafilaksis saluran napas
 Arthritis dan ankilosis cervical
 Sindrom kongenital (Klippel-Feil (leher pendek, leher menyatu), Pierre Robin
(micrognathia, belahanlangit-langit, glossoptosis), Treacher Collins
(mandibulofacialdysostosis)
 Endokrinopati (Kegemukan, Acromegali, Hipotiroid macroglossia,Gondok)
 Infeksi (Ludwig angina (abses pada dasar mulut), peritonsillar abses,
retropharyngeal abses,epiglottitis)
 Massa pada mediastinum
 Myopati menunjukkan myotonia atau trismus
 Jaringan parut luka bakar atau radiasi
 Trauma dan hematoma
 Tumor dan kista
 Benda asing pada jalan napas
 Kebocoran di sekitar masker wajah (edentulous, hidung datar, besar wajah dan
kepala, Kumis, jenggot
 Nasogastrik tube
 Kurangnya keterampilan, pengalaman, atau terburu-buru.

Gambar 6. Kesulitan Intubasi Trakea


Kelas 1: sebagian besar glotis terlihat, kelas 2 : hanya ekstremitas posterior glotis dan
epiglotis tampak; kelas 3: tidak ada bagian dari glottis terlihat, hanya epiglotis
terlihat; Kelas 4: tidak bahkan epiglotis terlihat. Kelas 1 dan 2 dianggap sebagai
'mudah' dan kelas 3 dan 4 sebagai 'sulit'.

6.5 Persiapan Intubasi


Persiapan untuk intubasi termasuk mempersiapkan alat‐alat dan memposisikan
pasien. ETT sebaiknya dipilih yang sesuai. Pengisian cuff ETT sebaiknya di tes
terlebih dahulu dengan spuit 10 milliliter. Jika menggunakan stylet sebaiknya
dimasukkan ke ETT.Berhasilnya intubasi sangat tergantung dari posisi pasien, kepala
pasien harus sejajar dengan pinggang anestesiologis atau lebih tinggi untuk mencegah
ketegangan pinggang selama laringoskopi. Persiapan untuk induksi dan intubasi juga
melibatkan preoksigenasi rutin. Preoksigenasi dengan nafas yang dalam dengan
oksigen 100 %.
Persiapan alat untuk intubasi antara lain : STATICS
1. Scope
Scope di sini adalah stetoskop dan laringoskop. Stestoskop untuk mendengarkan
suara paru dan jantung serta laringoskop untuk melihat laring secara langsung
sehingga bisa memasukkan pipa trake dengan baik dan benar. Secara garis besar,
dikenal dua macam laringoskop:
 Bilah/daun/blade lurus (Miller, Magill) untuk bayi-anak-dewasa.
 Bilah lengkung (Macintosh) untuk anak besar-dewasa.
Pilih bilah sesuai dengan usia pasien. Yang perlu diperhatikan lagi adalah lampu
pada laringoskop harus cukup terang sehingga laring jelas terlihat.

Gambar 7. Laringoskop

2. Tube
Tubes adalah pipa trakea. Pada tindakan anestesia, pipa trakea mengantar gas
anestetik langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar
polivinil klorida. Ukuran diameter pipa trakea dalam ukuran milimeter. Bentuk
penampang pipa trakea untuk bayi, anak kecil, dan dewasa berbeda. Untuk bayi
dan anak kecil di bawah usia lima tahun, bentuk penampang melintang trakea
hampir bulat, sedangkan untuk dewasa seperti huruf D. Oleh karena itu pada bayi
dan anak di bawah lima tahun tidak menggunakan kaf (cuff) sedangkan untuk
anak besar-dewasa menggunakan kaf supaya tidak bocor. Alasan lain adalah
penggunaan kaf pada bayi-anak kecil dapat membuat trauma selaput lendir trakea
dan postintubation croup.
Pipa trakea dapat dimasukkan melalui mulut (orotracheal tube) atau melalui
hidung (nasotracheal tube). Nasotracheal tube umumnya digunakan bila
penggunaan orotracheal tube tidak memungkinkan, mislanya karena terbatasnya
pembukaan mulut atau dapat menghalangi akses bedah. Namun penggunaan
nasotracheal tube dikontraindikasikan pada pasien dengan farktur basis kranii.
Ukuran pipa trakea yang tampak pada tabel di bawah ini.
Usia Diameter (mm) Skala French Jarak Sampai Bibir
Prematur 2,0-2,5 10 10 cm
Neonatus 2,5-3,5 12 11cm
1-6 bulan 3,0-4,0 14 11 cm
½-1 tahun 3,0-3,5 16 12 cm
1-4 tahun 4,0-4,5 18 13 cm
4-6 tahun 4,5-,50 20 14 cm
6-8 tahun 5,0-5,5* 22 15-16 cm
8-10 tahun 5,5-6,0* 24 16-17 cm
10-12 tahun 6,0-6,5* 26 17-18 cm
12-14 tahun 6,5-7,0 28-30 18-22 cm
Dewasa wanita 6,5-8,5 28-30 20-24 cm
Dewasa pria 7,5-10 32-34 20-24 cm
*Tersedia dengan atau tanpa kaf

Cara memilih pipa trakea untuk bayi dan anak kecil:


Diameter dalam pipa trakea (mm) = 4,0 + ¼ umur (tahun)
Panjang pipa orotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)
Panjang pipa nasotrakeal (cm) = 12 + ½ umur (tahun)

Pipa endotrakea adalah suatu alat yang dapat mengisolasi jalan nafas,
mempertahankan patensi, mencegah aspirasi serta mempermudah ventilasi, oksigenasi
dan pengisapan.

Gambar 8. Pipa endotrakeal

Pipa endotrakea terbuat dari material silicon PVC (Polyvinyl Chloride) yang
bebas lateks, dilengkapi dengan 15mm konektor standar. Termosensitif untuk
melindungi jaringan mukosa dan memungkinkan pertukaran gas, serta struktur
radioopak yang memungkinkan perkiraan lokasi pipa secara tepat. Pada tabung
didapatkan ukuran dengan jarak setiap 1cm untuk memastikan kedalaman pipa.
Anatomi laring dan rima glotis harus dikenal lebih dulu. Besar pipa trakea
disesuaikan dengan besarnya trakea. Besar trakea tergantung pada umur. Pipa
endotrakea yang baik untuk seorang pasien adalah yang terbesar yang masih dapat
melalui rima glotis tanpa trauma. Pada anak dibawah umur 8 tahun trakea berbentuk
corong, karena ada penyempitan di daerah subglotis (makin kecil makin sempit). Oleh
karena itu pipa endotrakeal yang dipakai pada anak, terutama adalah pipa tanpa balon
(cuff). Bila dipakai pipa tanpa balon hendaknya dipasang kasa yang ditempatkan di
faring di sekeliling pipa tersebut untuk mencegah aspirasi untuk fiksasi dan agar tidak
terjadi kebocoran udara inspirasi. Bila intubasi secara langsung (memakai laringoskop
dan melihat rima glotis) tidak berhasil, intubasi dilakukan secara tidak langsung
(tanpa melihat trakea) yang juga disebut intubasi tanpa lihat (blind). Cara lain adalah
dengan menggunakan laringoskop serat optik.
Untuk orang dewasa dan anak diatas 6 tahun dianjurkan untuk memakai pipa
dengan balon lunak volume besar tekanan rendah, untuk anak kecil dan bayi pipa
tanpa balon lebih baik. Balon sempit volume kecil tekanan tinggi hendaknya tidak
dipakai karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa trakea. Pengembangan balon
yang terlalu besar dapat dihindari dengan memonitor tekanan dalam balon (yang pada
balon lunak besar sama dengan tekanan dinding trakea dan jalan nafas) atau dengan
memakai balon tekanan terbatas. Pipa hendaknya dibuat dari plastik yang tidak
iritasif. Ukuran penggunaan bervariasi bergantung pada usia pasien. Untuk bayi dan
anak kecil pemilihan diameter dalam pipa (mm) = 4 + ¼ umur (tahun).
Pemakaian pipa endotrakea sesudah 7 sampai 10 hari hendaknya
dipertimbangkan trakeostomi, bahkan pada beberapa kasus lebih dini. Pada hari ke-4
timbul kolonisasi bakteri yang dapat menyebabkan kondritis bahkan stenosis
subglotis.
Kerusakan pada laringotrakea telah jauh berkurang dengan adanya perbaikan
balon dan pipa. Jadi trakeostomi pada pasien koma dapat ditunda jika ekstubasi
diperkirakan dapat dilakukan dalam waktu 1-2 minggu. Akan tetapi pasien sadar
tertentu memerlukan ventilasi intratrakea jangka panjang mungkin merasa lebih
nyaman dan diberi kemungkinan untuk mampu berbicara jika trakeotomi dilakukan
lebih dini.

Tabel Ukuran Pipa Endotrakeal


3. Airway
Airway yang dimaksud adalah alat untuk menjaga terbukanya jalan napas
yaitu pipa mulut-faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung- faring
(naso-tracheal airway). Pipa ini berfungsi untuk menahan lidah saat pasien tidak
sadar agar lidah tidak menyumbat jalan napas.
4. Tape
Tape yang dimaksud adalah plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong
atau tercabut.
5. Introducer
Introducer yang dimaksud adalah RlasticR atau stilet dari kawat yang dibungkus
Rlastic (kabel) yang mudah dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea
mudah dimasukkan. Size PLAIN Size CUFF
6. Connector 2,5 mm 4,5 mm
Connector yang 3,0 mm 5,0 mm dimaksud adalah
penyambung antara 3,5 mm 5,5 mm pipa dengan bag valve
mask ataupun 4,0 mm 6,0 mm peralatan anesthesia.
7. Suction 4,5 mm 6,5 mm
Suction yang 5,0 mm 7,0 mm dimaksud adalah
penyedot lender, 5,5 mm 7,5 mm ludah dan cairan lainnya.

6.6 Intubasi dan Ekstubasi


1. Intubasi Endotrakeal
Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang laringoskop dipegang dengan
tangan kiri. Daun laringoskop dimasukkan dari sudut kanan dan lapangan pandang
akan terbuka. Daun laringoskop didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat
ke atas dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring serta epiglotis.
Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan kanan. Epiglotis diangkat sehingga
tampak aritenoid dan pita suara yang tampak keputihan berbentuk huruf V. Tracheal
tube diambil dengan tangan kanan dan ujungnya dimasukkan melewati pita suara
sampai balon pipa tepat melewati pita suara. Bila perlu, sebelum memasukkan pipa
asisten diminta untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara akan dapat
tampak dengan jelas. Bila mengganggu, stylet dapat dicabut. Ventilasi atau oksigenasi
diberikan dengan tangan kanan memompa balon dan tangan kiri memfiksasi. Balon
pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan selanjutnya pipa difiksasi
dengan plester.
Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi. Sewaktu ventilasi, dilakukan
auskultasi dada dengan steteskop, diharapkan suara nafas kanan dan kiri sama. Bila
dada ditekan terasa ada aliran udara di pipa endotrakeal. Bila terjadi intubasi
endotrakeal yang terlalu dalam akan terdapat tanda‐tanda berupa suara nafas kanan
berbeda dengan suara nafas kiri, kadang‐kadang timbul suara wheezing, sekret lebih
banyak dan tahanan jalan nafas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi ke satu sisi seperti
ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi
intubasi ke daerah esofagus maka daerah epigastrium atau gaster akan mengembang,
terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop), kadang‐kadang keluar cairan
lambung, dan makin lama pasien akan nampak semakin membiru. Untuk hal tersebut
pipa dicabut dan intubasi dilakukan kembali setelah diberikan oksigenasi yang cukup.
Intubasi yang gagal tidak harus dilakukan berulang-ulang dengan cara yang sama.
Perubahan harus dilakukan untuk meningkatkan kemungkinan keberhasilan, seperti
reposisi pasien, mengurangi ukuran tabung, menambahkan stylet, memilih pisau yang
berbeda, mencoba jalur lewat hidung, atau meminta bantuan dari ahli anestesi lain.
Jika pasien juga sulit untuk ventilasi dengan masker, bentuk alternatif manajemen
saluran napas lain (misalnya, LMA, Combitube, cricothyrotomy dengan jet ventilasi,
trakeostomi) harus segera dilakukan.

2. Intubasi Nasotrakeal
Intubasi nasal mirip dengan intubasi oral kecuali bahwa NTT masuk lewat hidung dan
nasofaring menuju orofaring sebelum dilakukan laringoskopi. Lubang hidung yang
dipilih dan digunakan adalah lubang hidung yang pasien bernafas lebih gampang.
Tetes hidung phenylephrine (0,5–0,25%) menyebabkan pembuluh vasokonstriksi dan
menyusutkan membran mukosa. Jika pasien sadar, lokal anestesi secara tetes dan blok
saraf dapat digunakan.
NTT yang telah dilubrikasi dengan jelly yang larut dalam air, dimasukkan ke dasar
hidung, dibawah turbin inferior. Bevel NTT berada disisi lateral jauh dari turbin.
Untuk memastikan pipa lewat di dasar rongga hidung, ujung proksimal dari NTT
harus ditarik ke arah kepala. Pipa secara berangsur- angsur dimasukan hingga
ujungnya terlihat di orofaring. Umumnya ujung distal dari NTT dapat dimasukan
pada trachea tanpa kesulitan. Jika ditemukan kesulitan dapat diguankan forcep Magil.
Penggunaannya harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak merusakkan balon.
Memasukkan NTT melalaui hidung berbahaya pada pasien dengan trauma wajah
yang berat disebabkan adanya resiko masuk ke intrakranial.

3. Ekstubasi Perioperatif
Setelah operasi berakhir, pasien memasuki prosedur pemulihan yaitu
pengembalian fungsi respirasi pasien dari nafas kendali menjadi nafas spontan. Sesaat
setelah obat bius dihentikan segeralah berikan oksigen 100% disertai penilaian apakan
pemulihan nafas spontan telah terjadi dan apakah ada hambatan nafas yang mungkin
menjadi komplikasi. Bila dijumpai hambatan nafas, tentukaan apakah hambatan pada
central atau perifer. Teknik ekstubasi pasien dengan membuat pasien sadar betul atau
pilihan lainnya pasien tidak sadar (tidur dalam), jangan lakukan dalam keadaan
setengah sadar ditakutkan adanya vagal refleks. Bila ekstubasi pasien sadar, segera
hentikan obat-obat anastesi hipnotik maka pasien berangsu-angsur akan sadar.
Evaluasi tanda- tanda kesadaran pasien mulai dari gerakan motorik otot-otot tangan,
gerak dinding dada, bahkan sampai kemampuan membuka mata spontan. Yakinkan
pasien sudah bernafas spontan dengan jalan nafas yang lapang dan saat inspirasi
maksimal. Pada ekstubasi pasien tidak sadar diperlukan dosis pelumpuh otot dalam
jumlah yang cukup banyak, dan setelahnya pasien menggunakan alat untuk
memastikan jalan nafas tetap lapang berupa pipa orofaring atau nasofaring dan
disertai pula dengan triple airway manuver standar. Syarat-syarat ekstubasi :
 Vital capacity 6 – 8 ml/kg BB.
 Tekanan inspirasi diatas 20 cm H2O.
 PaO2 diatas 80 mm Hg.
 Kardiovaskuler dan metabolic stabil.
 Tidak ada efek sisa dari obat pelemas otot.
 Reflek jalan napas sudah kembali dan penderita sudah sadar penuh.

6.7 Pipa Endotrakeal (Endotracheal Tube, ETT)


Pemberian ventilasi mekanik dapat melalui bag-mask, melalui pipa
endotrakeal atau melalui sungkup laring. Pemberian ventilasi mekanik dengan
cara memompa gas melalui sungkup muka (bag and mask ventilation) tidak dapat
dilakukan untuk jangka lama. Selain itu jalan nafas pasien sama sekali tidak
terlindung. Ventilasi cara ini biasanya hanya persiapan sebelum manajemen
definitif jalan nafas dengan ETT atau LMA. Ukuran pipa endotrakeal
(endotracheal tube / ETT) bergantung pada usia pasien, bentuk badan, dan jenis
operasi yang akan dilakukan. ETT dengan ukuran 7.0 mm digunakan untuk
hampir seluruh wanita, sedangkan ukuran 8.0 pada umumnya digunkan pada pria.
Keuntungan penggunaan ETT adalah pengamanan total jalan nafas
(terutama jika menggunakan cuff) dan kemudahan penghisapan sekret. ETT
termasu invasif, pemasangannya dapat traumatik dan bagi pasien dengan jalan
nafas yang hiperaktf dapat mencetuskan asma, selain itu, jika penempatan ETT
terlalu dalam di salah satu bronkus, justru dapat menyebabkan hipoksia karena
atelektasis satu paru. Intubasi endotrakeal juga terkadang salah arah, masuk ke
esofagus. Hal ini harus segera diketahui dan diperbaiki karena dapat fatal. Cara
terbaik untuk deteksi dini intubasi esofagus adalah dengan menggunakan
kapnograf. Jika ETT masuk esofagus, tidak akan terdeteksi kadar End Tidal CO2
melalui kapnografi. Hal ini dikarenakan CO2 hanya disekresi oleh paru-paru.
Pemasangan ETT yang benar dapat dinilai dari auskultasi pada lima area, yaitu
kedua apeks paru, kedua basal paru, dan epigastrium. Bila suara napas terdengar
hanya pada salah satu sisi paru saja, maka diperkirakan telah terjadi intubasi
endobronkial dan ETT harus ditarik perlahan hingga suara napas terdengar
simetris di lapangan paru kanan dan kiri
Komplikasi intubasi endotrakeal sebagian besar akibat trauma, baik
karena tindakan langsung maupun karena penggunaan alat bantu pernafasan yang
lama. Tindakan laringoskopi sangat beresiko menyebabkan spasme laring,
terutama jika anestesia tidak adekuat. Spasme laring sebenarnya adalah refleks
protektif berupa adduksi pita suara, mengakibatkan obstruksi jalan nafas.

6.8 Laryngeal Mask Airway (LMA)


LMA telah digunakan secara luas untuk mengisi celah antara intubasi ET
dan pemakaian face mask. LMA memberikan ahli anestesi alat baru penanganan
airway yaitu jalan nafas supraglotik, sehingga saat ini dapat digolongkan menjadi
tiga golongan yaitu : (1) jalan nafas pharyngeal, (2) jalan nafas supraglotik, dan
(3) jalan nafas intratracheal. Ahli anestesi mempunyai variasi yang lebih besar
untuk penanganan jalan nafas sehingga lebih dapat disesuaikan dengan kondisi
tiap-tiap pasien, jenis anastesi, dan prosedur pembedahan. LMA di insersi secara
blind ke dalam pharing dan membentuk suatu sekat bertekanan rendah sekeliling
pintu masuk laring.
LMA dibuat dari karet lunak silicone khusus untuk kepentingan medis,
terdiri dari masker yang berbentuk sendok yang elips yang juga berfungsi sebagai
balon yang dapat dikembangkan, dibuat bengkok dengan sudut sekitar 30°. LMA
dapat dipakai berulang kali dan dapat disterilkan dengan autoclave, namun
demikian juga tersedia LMA yang disposable.

Desain dan Fungsi

Gambar 9. Laryngeal Mask Airway

Laringeal mask airway ( LMA ) adalah alat supra glotis airway, didesain
untuk memberikan dan menjamin tertutupnya bagian dalam laring untuk ventilasi
spontan dan memungkinkan ventilasi kendali pada mode level (< 15 cm H2O)
tekanan positif. Alat ini tersedia dalam 7 ukuran untuk neonatus, infant, anak
kecil, anak besar, kecil, normal dan besar.
Ukuran Masker Berat Badan (Kg) Volume Balon (mL)
1 <5 2-4
1½ 5 – 10 7
2 10 – 20 10
2½ 20 – 30 14
3 30 - 50 20
4 50 - 70 30
5 > 70 40
Tabel 5. Daftar Ukuran LMA

Keuntungan dan Kerugian LMA


Keuntungan Kerugian
Dibandingkan - Tangan operator bebas - Lebih invasif
dengan Face Mask - Lebih leluasa pada operasi THT - Resiko trauma pada jalan
- Lebih mudah untuk nafas lebih besar
mempertahankan jalan nafas - Membutuhkan keterampilan
- Terlindung dari sekresi jalan baru
nafas - Membutuhkan tingkat
- Trauma pada mata dan saraf anastesi lebih dalam
wajah lebih sedikit - Lebih membutuhkan
- Polusi ruangan lebih sedikit kelenturan TMJ (temporo-
mandibular joint)
- Difusi N2O pada balon
- Ada beberapa kontraindikasi
Dibandingkan dg- Kurang invasive - Meningkatkan resiko
ETT - Anestesi yang dibutuhkan lebih aspirasi gastrointestinal
dangkal - Tidak aman pada pasien
- Berguna pada intubasi sulit obisitas berat
- Trauma pada gigi dan laryngx- Maksimum PPV (positive
rendah pressure ventilation) terbatas
- Mengurangi kejadian- Keamanan jalan nafas
bronkhospasme dan kurang terjaga
laryngospasme - Resiko kebocoran gas dan
- Tidak membutuhkan relaksasi polusi ruangan lebih tinggi
otot - Dapat menyebabkan distensi
- Tidak membutuhkan mobilitas lambung
leher
- Mengurangi efek pada tekanan
introkular
- Mengurangi resiko intubasi ke
esofagus atau endobronchial
Tabel 6. Keuntungan dan Kerugian LMA dibandingkan dengan sungkup wajah dan
ETT
Indikasi penggunaan LMA
- Sebagai alternatif dari ventilasi face mask atau intubasi ET untuk airway
management. LMA bukanlah suatu penggantian ET, ketika pemakaian ET
menjadi suatu indikasi.
- Pada penatalaksanaan difficult airway yang diketahui atau yang tidak
diperkirakan.
- Pada airway management selama resusitasi pada pasien yang tidak sadarkan diri.
Kontraindikasi penggunaan LMA
 Risiko meningkatnya regurgitasi isi lambung (hernia hiatus, ileus intestinal)
namun penggunaan pada emergency adalah pengecualian.
 Terbatasnya kemampuan membuka mulut atau ekstensi leher (misalnya artitis
rematoid yang berat atau ankilosing spondilitis), menyebabkan memasukkan
LMA lebih jauh ke hipopharynx sulit.
 Compliance paru yang rendah atau tahanan jalan nafas yang besar, karena seal
yang bertekanan rendah pada cuff LMA akan mengalami kebocoran pada tekanan
inspirasi tinggi dan akan terjadi pengembangan lambung. Tekanan inspirasi
puncak harus dijaga kurang dari 20 cm H2O untuk meminimalisir kebocoron cuff
dan pengembangan lambung.
 Obstruksi jalan nafas setinggi level larynx atau dibawahnya
 Kelainan pada oropharynx (misalnya hematoma, dan kerusakan jaringan)
 Ventilasi paru tunggal.
 Pasien-pasien yang membutuhkan dukungan ventilasi mekanik jangka waktu
lama.

Teknik Insersi LMA


Macam-macam teknik insersi LMA :
 Teknik Klasik/standard (Brain’s original technique)
 Inverted/reserve/rotation approach
 Lateral apporoach à inflated atau deflated cuff

Teknik insersi LMA yang dikembangkan oleh dr. Archie Brain telah
menunjukkan posisi terbaik yang dapat dicapai ini pada berbagai variasi pasien dan
prosedur pembedahan. Walaupun sampai sekarang telah banyak teknik insersi yang
dianjurkan namun demikian teknik dari dr.Brain ini membuktikan secara konsisten
lebih baik.
Konsep insersi LMA mirip dengan mekanisme menelan. Setelah makanan
dikunyah, maka lidah menekan bolus makanan terhadap langit-langit rongga mulut
berasamaan dengan otot-otot pharyngeal mendorong makanan kedalam hipopharyng.
Insersi LMA, dengan cara yang mirip balon LMA yang belum terkembang dilekatkan
menyusuri langit-langit dengan jari telunjuk menekan LMA menyusuri sepanjang
langit-langit keras dan langit-langit lunak terus sampai ke hipopharyngx. Teknik ini
sesuai untuk penderita dewasa ataupun anak-anak dan sesuai untuk semua model
LMA.

Gambar 10. Teknik Insersi LMA


Keberhasilan insersi LMA tergantung dari hal-hal detail sebagai berikut :
1. Pilih ukuran yang sesuai dengan pasien dan teliti apakah ada kebocoran pada
balon LMA
2. Pinggir depan dari balon LMA harus bebas dari kerutan dan menghadap keluar
berlawanan arah dengan lubang LMA
3. Lubrikasi hanya pada sisi belakang dari balon LMA
4. Pastikan anastesi telah adekuat (baik general ataupun blok saraf regional)
sebelum mencoba untuk insersi. Propofol dan opiat lebih memberikan kondisi
yang lebih baik daripada thiopental.
5. Posisikan kepala pasien dengan posisi sniffing
6. Gunakan jari telunjuk untuk menuntun balon LMA sepanjang palatum durum
terus turun sampai ke hipofarynx sampai terasa tahanan yang meningkat. Garis
hitam longitudinal seharusnya selalu menghadap ke cephalad (menghadap ke
bibir atas pasien)
7. Kembangkan balon dengan jumlah udara yang sesuai
8. Pastikan pasien dalam anastesi yang dalam selama memposisikan pasien
9. Obstruksi jalan nafas setelah insersi biasanya disebabkan oleh piglotis yang
terlipat kebawah atau laryngospame sementara
10. Hindari suction pharyngeal, mengempeskan balon, atau mencabut LMA sampai
penderita betul-betul bangun (misalnya membuka mulut sesuai perintah).

Malposisi LMA

Teknik-teknik Lain Yang Dapat Dilakukan Bila Kesulitan Insersi LMA


Ditangan yang terampil, teknik standard insersi LMA dapat berhasil pada
sebagian besar pasien (>98%) pada usaha yang pertama atau yang kedua. Penyebab
yang lazim akan kegagalan insersi LMA adalah karena penguasaan teknik yang
rendah, anastesi yang dangkal (yang menyebabkan terjadi batuk, mual, dan
laryngospasme), pengguna belum berpengalaman, sulit mengatasi lengkungan 90°
dibelakang pharynx ke hipopharynx, lidah dan tosil yang besar, dan penggunaan
ukuran LMA yang tidak tepat. Beberapa teknik manuver telah dilakukan untuk
mengatasi kesulitan tersebut diantaranya: menarik lidah kedepan, menggangkat dagu,
dan menggunakan laryngoscope, menggunakan bilah lidah atau forcep Magill untuk
menggangkat lidah. Masukkan LMA dengan balon menghadap ke bawah dan
kemudian diputar 180° setelah sampai dinding posterior parynx.
Balon dapat dikembangkan sebagian atau penuh bila memasukkan LMA tanpa
kesulitan. Walaupun trik ini dapat memudahkan operator yang belum berpengalaman
namun dapat terjadi komplikasi berupa obstruksi parsial jalan nafas jika ujung LMA
arytenoid didepan larynx. lebih jauh hal tersebut dapat menyebabkan batuk atau
laryngospame karena rangsangan pada refleks pelindung jalan nafas yang disebabkan
oleh posisi LMA yang tinggi di dalam pharynx. Pada pasien dengan lengkung
palatum yang tinggi, mendekati palatum durum secara agak diagonal dari samping
dengan posisi LMA bersudut 15° atau 20° dari lateral ke midline dapat juga
membantu.

Komplikasi Penggunaan LMA


1. Komplikasi Mekanikal (kinerja LMA sebagai alat) :
a. Gagal insersi (0,3 – 4%)
b. Ineffective seal (<5%)
c. Malposisi (20 – 35%)
2. Komplikasi Traumatik (kerusakan jaringan sekitar) :
a. Tenggorokan lecet (0 – 70%)
b. Disfagia (4 – 24%)
c. Disartria (4 – 47%)
3. Komplikasi Patofisiologi (efek penggunaan LMA pada tubuh) :
a. Batuk (<2%)
b. Muntah (0,02 – 5%)
c. Regurgitasi yang terdeteksi (0-80%), regurgitasi klinik (0,1%)

Anda mungkin juga menyukai