Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Anastesi berasal dari bahasa Yunani yaitu An berati tidak, dan Aesthesis
berarti rasa atau sensasi. Sehingga anestesi berarti suatu keadaan hilangnya rasa
atau sensasi tanpa atau disertai dengan hilangnya kesadaran. Anestesi adalah
keadaan tanpa rasa (without sensation) tetapi bersifat sementara dan dapat
kembali kepada keadaan semula. Walaupun demikian, istilah ini digunakan untuk
kehilangan rasa nyeri yang diinduksi untuk memungkinkannya dilakukan tindakan
pembedahan.

Tindakan anestesi yang memadai meliputi tiga komponen yaitu hipnotik,


analgesi, dan relaksasi otot rangka. Secara garis besar tipe anestesi dibagi menjadi
3 yaitu anestesi umum, anestesi regional dan anestesi lokal.

Anestesi umum adalah subtansi yang dapat mendepres susunan saraf


pusat (SSP) secara reversibel sehingga hewan kehilangan rasa sakit (sensibilitas) di
seluruh tubuh, reflek otot hilang, dan disertai dengan hilangya kesadaran. Anestesi
ini terdiri atas 2 jenis yaitu, anestesi volatil (inhalasi) dan non-volatil
(injeksi/parenteral).

Tujuan dari pembuatan referat ini adalah untuk memahami anestesi


umum, teknik anestesi umum, dan komplikasi anestesi umum

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFENISI
Anestesi umum atau general anesthesia mempunyai tujuan agar dapat
menghilangkan nyeri, membuat tidak sadar, dan menyebabkan amnesia yang
reversible dan dapat diprediksi. Anestesi umum juga menyebabkan amnesia yang
bersifat anterograde, yaitu hilangannya ingatan ingatan saat dilakukan
pembiussan dan operasi sehingga saat pasien sudah sadar, pasien tidak mengingat
peristiwa pembedahan/pembiusan yang baru saja dilakukan . Anestesi umum juga
dapat diperkirakan durasinya dengan penyesuaian dosis. Tiga pilar anestesi umum
atau disebut trias anestesi meliputi: hipnotik atau sedative, yaitu membuat pasien
tertidur atau mengantuk/tenang, analgesia atau tidask merasakan sakit, dan
relaksasiotot, yaitu kelumpuhan otot skelet.
Umumnya, kombinasi anestesi yang digunakan untuk anestesi umum
akan mengakibatkan gejala klinis sebagai berikut :
1. Tidak berespon terhadap rangsangan yang menyakitkan
2. Tidak dapat mengingat apa yang terjadi (amnesia anterograde)
3. Depresi atau tidak mampu mempertahankan proteksi jalan napas
yang memadai hingga ketidakmampuan melakukan ventilasi spontan
akibat kelumpuhan otot
4. Depresi kardiovaskular sehingga cenderung bradikardi dan hipotensi

B. TEKNIK ANESTESI UMUM

1 . Teknik anestesi umum

Anestesi umum dapat dilakukan dengan 2 teknik, yaitu:


a) Anestesi umum intravena
Merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan dengan jalan
menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke dalam pembuluh
darah vena.
b) Anestesi umum inhalasi
Merupakan salah satu teknik anestesi umum yang dilakukan dengan jalan
memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau
cairan yang mudah menguap melalui alat/ mesin anestesi langsung ke
udara inspirasi

Namun secara klinis ada dua jenis anestesi umum yang sering
digunakan berdasarkan rute dari pemberian obat anestesi yaitu, 1. TIVA
(Total Intravenous Anesthesia), 2. GETA ( General Endotracheal Anesthesia )

 TIVA
Anestesi intravena (TIVA) merupakan teknik anastesi umum dengan
hanya menggunakan obat-obat anastesi yang dimasukkan lewat jalur
intravena. TIVA digunakan untuk ketiga trias anastesi yaitu hipnotik,
analgetik, dan relaksasi otot..Kebanyakan obat-obat anastesi intravena
hanya mencakup 2 komponen anastesi, akan tetapi ketamin mempunyai
ketiga trias anastesi sehingga ketamin dianggap juga sebagai agent anastesi
yang lengkap.

Kelebihan TIVA

1. Dapat dikombinasikan atau terpisah dan dapat dititrasi dalam dosis


yang lebih akurat dalam pemakaiannya.
2. Tidak mengganggu jalan nafas pada pasien
3. Mudah dilakukan dan tidak memerlukan alat-alat serta mesin
anestesi khusus.

Indikasi Pemberian TIVA

TIVA dalam prakteknya sehari-hari digunakan sebagai :


1. Obat induksi anastesi umum
2. Obat tunggal untuk anastesi pembedahan singkat
3. Tambahan untuk obat inhalasi yang kurang kuat
4. Obat tambahan anastesi regional
5. Menghilangkan keadaan patologis akibat rangsangan SSP

Cara pemberian TIVA


1. Suntikan tunggal, untuk operasi singkat Contoh : cabut gigi
2. Suntikan berulang sesuai dengan kebutuhan Contoh : kuretase
3. Diteteskan lewat infuse dengan tujuan menambah kekuatan
anestesi

 GETA

GETA atau General Endotracheal Anesthesia merupakan suatu teknik


anestesi umum dengan melibatkan perlindungan pada jalan napas.
Perlindungan jalan napas tersebut dilakukan dengan memasukkan pipa
endotrakea (Endotracheal tube/ ET) ke dalam trakea melalui hidung atau
mulut. ET dapat digunakan sebagai penghantar gas anestesi ke dalam trakea
dan memudahkan kontrol ventilasi dan oksigenasi.

Indikasi dilakukannya tindakan pemasukkan (intubasi) ET pada pasien antara lain :

1. Untuk patensi jalan napas, menjamin ventilasi, oksigenasi yang adekuat,


dan menjamin keutuhan jalan napas.
2. Perlindungan terhadap paru dengan penutupan cuff dari ET pada pasien
yang baru saja makan atau pasien dengan obstruksi usus.
3. Operasi yang membutuhkan ventilasi tekanan positif paru, misalnya
torakotomi, penggunaan pelumpuh otot, atau ventilasi kontrol yang lama.
4. Operasi yang membutuhkan posisi selain terlentang.
5. Operasi daerah kepala, leher, atau jalan napas.
6. Diperlukan untuk kontrol dan pengeluaran sekret paru (bronchialpulmoner
toilet)
7. Diperlukan proteksi jalan napas pada pasien yang tidak sadar atau dengan
depresi refleks muntah.
8. Adanya penyakit atau kelainan jalan napas atas.
Kontraindikasi dilakukannya intubasi antara lain :
1. Beberapa keadaan trauma jalan napas atas atau obstruksi yang tidak
memungkinkan untuk dilakukannya intubasi.
2. Trauma servikal yang memerlukan immobilisasi sehingga sangat sulit untuk
dilakukan intubasi agar tidak memperberat cedera atau luka.
Teknik Intubasi

Dalam hal ini dilakukan persiapan terlebih dahulu sebelum dilakukan


tindakan intubasi ET ataupun nasotracheal tube.

Persiapan pasien dan keluarga

Persiapan ini mencakup pemberitahuan kepada pasien dan keluarga


mengenai tindakan yang akan dilakukan dan meminta persetujuan (informed
consent), pasien dipasang IV line, kemudian diperkirakan adanya kesulitan intubasi
dengan standard Cormack dan Lehane atau Mallampati.

Derajat kesulitan berdasarkan Cormack dan Lehane :

 Derajat I : Semua glotis terlihat, tidak ada kesulitan


 Derajat II : Hanya glotis bagian posterior yang terlihat
 Derajat III : Tidak ada bagian glotis yang terlihat tetapi epiglotis terlihat
 Derajat IV : Epiglotis tidak terlihat

Gambar 4. Derajat kesulitan Cormack & Lehane

Derajat kesulitan berdasarkan Mallampati :

 Kelas I : Tonsil, uvula, dan soft palatine terlihat


 Kelas II : Soft palatine serta bagian atas tonsil dan uvula terlihat
 Kelas III : Soft palatine dan basis uvula terlihat
 Kelas IV : Hanya hard palatine yang terlihat

Gambar 5. Derajat kesulitan Mallampati

Persiapan obat dan alat intubasi

Obat-obat emergency serta obat-obat anestesi sebagai premedikasi, induksi,


serta obat pelumpuh otot yang akan digunakan sebelum dilakukan intubasi
dipersiapkan. Alat-alat yang akan digunakan antara lain :

 Face mask, untuk dilakukan ventilasi sebelum intubasi. Pilih ukuran yang
sesuai yaitu yang dapat menutupi mulut dan hidung dan tidak terlalu lebar
menutupi pipi.
 Laringoskop, pilih jenis dan ukuran laringoskop yang sesuai, periksa lampu
laringoskop, pastikan alat sudah terpasang dan mudah dijangkau tangan.
 Stetoskop, untuk auskultasi setelah intubasi.
 Pipa Endotrakeal, ukuran ET dinyatakan dalam mm berdasarkan diameter
internal yang tertera dan ada pula yang dinyatakan dalam French unit.
Ukuran rata-rata untuk wanita adalah 7,0-7,5 mm, dan untuk pria adalah
7,5-8,0 mm. Pada anak dapat digunakan rumus 4 + BB/4 untuk
menentukan ukuran ET. Cara lain untuk menentukan ukuran ET adalah
dengan menggunakan patokan besar jari kelingking pasien. Untuk
menentukan kedalaman insersinya adalah besar diameter internal (ukuran
ET) dikalikan tiga. Periksa cuff ET dengan cara menginflasi cuff kemudian
dapat dicelupkan ke dalam air untuk menilai adanya kebocoran. Setelah itu
berikan pelicin atau lidokain jeli.
 Guedel (OPA) atau NPA.
 Plester, akan digunakan untuk fiksasi ET setelah tindakan intubasi.
 Stilet atau forsep intubasi
 Suction

Prosedur Intubasi

a) Pasien terlentang dengan posisi sniffing untuk meluruskan aksis. Oksiput


ditinggikan dan kepala diekstensikan pada sendi atlantooksipital.
b) Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot, lakukan
oksigenasi 3-5 menit. Face mask dipegang dengan tangan kiri dan tangan
kanan memompa bag. Dada harus mengembang setiap pernapasan atau
tidak ada kebocoran udara saat dilakukan oksigenasi.
c) Buka mulut pasien dengan cross finger tangan kanan, blade laringoskop
dimasukkan dari sudut kanan mulut pasien. Dorong dan geser lidah
sehingga lapang pandang tidak terhalang oleh lidah. Akan terlihat uvula,
faring, serta epiglotis, angkat epiglotis dan akan tampak pita suara yang
berbentuk huruf V.
Gambar 6. Intubasi (Dikutip dari daftar pustaka nomer 10)

d) ET yang sesuai ukurannya dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut


kanan mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara kemudian
laringoskop ditarik. Cuff dikembangkan atau diinflasi dengan udara dari
spuit sesuai dengan kebutuhan.
e) Dada dipastikan mengembang saat diberikan ventilasi juga dilakukan
auskultasi paru kanan dan kiri dibandingkan suaranya. Jika suara paru
kanan lebih besar dari kiri berarti ET masuk ke dalam bronkus kanan dan
ET segera ditarik pelan-pelan sampai terdengar suara yang sama antara
kanan dan kiri. Auskultasi juga dilakukan di daerah epigastrium untuk
menyingkirkan kemungkina intubasi esofagus.
f) Fiksasi ET dengan plester melingkar yang ditempatkan di bawah dan di atas
bibir yang diperpanjang sampai ke pipi.

Ekstubasi

1. Ekstubasi ditunda sampai pasien benar-benar sadar, jika:


a. Intubasi kembali akan menimbulkan kesulitan
b. Pasca ekstubasi ada risiko aspirasi
2. Ekstubasi dikerjakan pada umumnya pada anestesi sudah ringan
dengan catatan tak akan terjadi spasme laring.
3. Sebelum ekstubasi bersihkan rongga mulut laring faring dari sekret dan
cairan lainnya.
2. Stadium Anestesi
Stadium anestesi dibagi dalam 4 yaitu; Stadium I (stadium induksi
atau eksitasi volunter), dimulai dari pemberian agen anestesi sampai
menimbulkan hilangnya kesadaran. Rasa takut dapat meningkatkan
frekuensi nafas dan pulsus, dilatasi pupil, dapat terjadi urinasi dan defekasi.
Stadium II (stadium eksitasi involunter), dimulai dari hilangnya kesadaran
sampai permulaan stadium pembedahan. Pada stadium II terjadi eksitasi
dan gerakan yang tidak menurut kehendak, pernafasan tidak teratur,
inkontinensia urin, muntah, midriasis, hipertensi, dan takikardia. Stadium
III (pembedahan/operasi), terbagi dalam 3 bagian yaitu; Plane I yang
ditandai dengan pernafasan yang teratur dan terhentinya anggota gerak.
Tipe pernafasan thoraco-abdominal, refleks pedal masih ada, bola mata
bergerak-gerak, palpebra, konjuctiva dan kornea terdepresi. Plane II,
ditandai dengan respirasi thoraco-abdominal dan bola mata ventro medial
semua otot mengalami relaksasi kecuali otot perut. Plane III, ditandai
dengan respirasi regular, abdominal, bola mata kembali ke tengah dan otot
perut relaksasi. Stadium IV (paralisis medulla oblongata atau
overdosis),ditandai dengan paralisis otot dada, pulsus cepat dan pupil
dilatasi. Bola mata menunjukkan gambaran seperti mata ikan karena
terhentinya sekresi lakrimal.
3. Tahapan Tindakan Anestesi Umum
a) Penilaian dan persiapan pra anestesia

Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor


terjadinya kecelakaan dalam anestesia. Sebelum pasien dibedah
sebaiknya dilakukan kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada
waktu pasien dibedah pasien dalam keadaan bugar. Tujuan dari
kunjungan tersebut adalah untuk mengurangi angka kesakitan operasi,
mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan
kesehatan.

1. Penilaian pra bedah

Anamnesis

Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesia


sebelumnya sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal
yang perlu mendapat perhatian khusus,misalnya alergi, mual-muntah,
nyeri otot, gatal-gatal atau sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat
dirancang anestesia berikutnya dengan lebih baik. Beberapa penelitit
menganjurkan obat yang kiranya menimbulkan masalah dimasa
lampau sebaiknya jangan digunakan ulang, misalnya halotan jangan
digunakan ulang dalam waktu tiga bulan, suksinilkolin yang
menimbulkan apnoe berkepanjangan juga jangan diulang. Kebiasaan
merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya

Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relatif besar


sangat penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan
laringoskopi intubasi. Leher pendek dan kaku juga akan menyulitkan
laringoskopi intubasi.

Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum tentu


tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi
semua system organ tubuh pasien.

Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan
meliputi pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan
masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada
anjuran pemeriksaan EKG dan foto thoraks.

Kebugaran untuk anestesia

Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk


menyiapkan agar pasien dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi
sito penundaan yang tidak perlu harus dihindari.

Klasifikasi status fisik

Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik


seseorang adalah yang berasal dari The American Society of
Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan resiko
anestesia, karena dampaksamping anestesia tidak dapat dipisahkan
dari dampak samping pembedahan.

Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia.

Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.

Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, sehingga aktivitas


rutin terbatas.

Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat


melakukan aktivitas rutin dan penyakitnya merupakan
ancaman kehidupannya setiap saat.

Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa


pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.

Masukan oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi
isi lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan
risiko utama pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk
meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk
operasi elektif dengan anestesia harus dipantangkan dari masukan oral
(puasa) selamaperiode tertentu sebelum induksi anestesia.

Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam
dan pada bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam
sebeluminduksi anestesia. Minuman bening, air putih teh manis
sampai 3 jam dan untuk keperluan minumobat air putih dalam jumlah
terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anestesia.

2. Premedikasi

Sebelum pasien diberi obat anestesia, langkah selanjutnya adalah


dilakukan premedikasi yaitu pemberian obat sebelum induksi
anestesia diberi dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan
dan bangun dari anestesi diantaranya:

1. Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien


a. Menghilangkan rasa khawatir melalui:
i. Kunjungan pre anestesi
ii. Pengertian masalah yang dihadapi
iii. Keyakinan akan keberhasilan operasi
b. Memberikan ketenangan (sedative)
c. Membuat amnesia
d. Mengurangi rasa sakit (analgesic non/narkotik)
e. Mencegah mual dan muntah
2. Memudahkan atau memperlancar induksi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
3. Mengurangi jumlah obat-obat anestesi
a. Pemberian hipnotik sedative atau narkotik
4. Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan (muntah/liur)
5. Mengurangi sekresi kelenjar saliva dan lambung
a. Pemberian antikolinergik atropine, primperan, rantin, H2
antagonis
6. Mengurangi rasa sakit

Waktu dan cara pemberian premedikasi:

Pemberian obat secara subkutan tidak akan efektif dalam1 jam,


secara intramuscular minimum harus ditunggu 40 menit. Pada kasus
yang sangat darurat dengan waktu tindakan pembedahan yang tidak
pasti obat-obat dapat diberikan secara intravena. Obat akan sangat
efektif sebelum induksi. Bila pembedahan belum dimulai dalam waktu
1 jam dianjurkan pemberian premedikasi intramuscular, subkutan
tidak dianjurkan. Semua obat premedikasi bila diberikan secara
intravena dapat menyebabkan sedikit hipotensi kecuali atropine dan
hiosin. Hal ini dapat dikurangi dengan pemberian secara perlahan-
lahan dan diencerkan.

Obat-obat yang sering digunakan:

1. Analgesik narkotik
a. Petidin ( amp 2cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b. Morfin ( amp 2cc = 10 mg), dosis 0,1 mg/kgBB
c. Fentanyl ( fl 10cc = 500 mg), dosis 1-3µgr/kgBB
2. Analgesik non narkotik
a. Ponstan
b. Tramol
c. Toradon
3. Hipnotik
a. Ketamin ( fl 10cc = 100 mg), dosis 1-2 mg/kgBB
b. Pentotal (amp 1cc = 1000 mg), dosis 4-6 mg/kgBB
4. Sedatif
a. Diazepam/valium/stesolid ( amp 2cc = 10mg), dosis 0,1
mg/kgBB
b. Midazolam/dormicum (amp 5cc/3cc = 15 mg),dosis
0,1mg/kgBB
c. Propofol/recofol/diprivan (amp 20cc = 200 mg), dosis 2,5
mg/kgBB
d. Dehydrobenzperidon/DBP (amp 2cc = 5 mg), dosis 0,1
mg/kgBB
5. Anti emetic
a. Sulfas atropine (anti kolinergik) (amp 1cc = 0,25 mg),dosis
0,001 mg/kgBB
b. DBP
c. Narfoz, rantin, primperan.
b) Induksi Anastesi

Merupakan tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi


tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan
pembedahan. Induksi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi,
intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia
langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan
pembedahan selesai.

Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:

S : Scope  Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung.


Laringo-Scope, pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai
dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.

T : Tube  Pipa trakea.pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon
(cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).
A : Airway  Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa
hidung-faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk
menahan lidah saat pasien tidak sadar untuk menjaga
supaya lidah tidak menyumbat jalan napas.

T : Tape  Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau


tercabut.

I : Introducer  Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel)


yang mudah dibengkokan untuk pemandu supaya
pipa trakea mudah dimasukkan.

C : Connector  Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia

S : Suction  penyedot lender, ludah danlain-lainnya.

 Induksi intravena
o Paling banyak dikerjakan dan digemari. Indksi intravena
dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan
terkendali. Obat induksi bolus disuntikan dalam kecepatan
antara 30-60 detik. Selama induksi anestesi, pernapasan pasien,
nadi dan tekanan darah harsu diawasi dan selalu diberikan
oksigen. Dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
o Obat-obat induksi intravena:
 Tiopental (pentotal, tiopenton) amp 500 mg atau
1000 mg
sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril
sampai kepekatan 2,5% ( 1ml = 25mg). hanya boleh
digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kg
disuntikan perlahan-lahan dihabiskan dalam 30-60 detik.

Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental


akan menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi,
hypnosis, anestesia atau depresi napas. Tiopental
menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan
intracranial dan diguda dapat melindungi otak akibat
kekurangan O2 . Dosis rendah bersifat anti-analgesi.

 Propofol (diprivan, recofol)


Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih
susu bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1ml = 1o mg).
suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga
beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2
mg/kg intravena.
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk
anestesia intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi
untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg. pengenceran hanya
boleh dengan dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk anak <
3 tahun dan pada wanita hamil.

 Ketamin (ketalar)
Kurang digemari karena sering menimbulkan
takikardia, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca
anestesia dapat menimbulkan mual-muntah, pandangan
kabur dan mimpi buruk. Sebelum pemberian sebaiknya
diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau diazepam
(valium) dengan dosis0,1 mg/kg intravena dan untuk
mengurangi salvias diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg.
Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg.
ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1ml =
10mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1ml = 100 mg).

 Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)


Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu
kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi
pasien dengan kelianan jantung. Untuk anestesia opioid
digunakan fentanil dosis 20-50 mg/kg dilanjutkan dosis
rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.

 Induksi inhalasi
o N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen
monoksida) berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak
iritasi, tak terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara.
Pemberian harus disertai O2 minimal 25%. Bersifat anastetik
lemah, analgesinya kuat, sehingga sering digunakan untuk
mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada anestesi inhalasi
jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan salah satu
cairan anastetik lain seperti halotan.

o Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan
anestesinya cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan
analgesi semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring.
Kelebihan dosis menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus
simpatis, terjadi hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi
vasomotor, depresi miokard, dan inhibisi refleks baroreseptor.
Merupakan analgesi lemah, anestesi kuat. Halotan menghambat
pelepasan insulin sehingga mininggikan kadar gula darah.

o Enfluran (etran, aliran)


Efek depresi napas lebih kuat dibanding halotan dan
enfluran lebih iritatif disbanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi
lebih kuat dibanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan
aritmia. Efek relaksasi terhadap otot lurik lebih baik disbanding
halotan.

o Isofluran (foran, aeran)


Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial.
Peninggian aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat
dikurangi dengan teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran
banyak digunakan untuk bedah otak.
Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung minimal, sehingga
digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak digunakan
pada pasien dengan gangguan koroner.

o Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%),
bersifat simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi.
Efek depresi napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang
jalan napas atas sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi.

o Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan
isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan
napas, sehingga digemari untuk induksi anestesi inhalasi disamping
halotan.
 Pelumpuh otot nondepolarisasi  Tracurium 20 mg (Antracurium)
o Berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak
menyebabkna depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin
menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja.
o Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasi
selama 20-45 menit, kecepatan efek kerjanya -2 menit.
o Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot:
 Cegukan (hiccup)
 Dinding perut kaku
 Ada tahanan pada inflasi paru

C. KOMPLIKASI ANESTESI UMUM


Secara khusus komplikasi dan efek samping dari anestesi umum
tergantung dari jenis obat yang diberikan. Namun disini efek samping yang
paling umum terjadi adalah mual muntah pasca operasi atau Post
Operative Nausea and Vomiting (PONV) Komplikasi ini sangat
menyusahkan, dan sangat dicegah untuk terjadi. PONV didefinisikan
sebagai mual dan atau muntah terjadi dalam waktu 24 jam setelah operasi.
Mual dan muntah pasca operasi (PONV) tetap merupakan masalah
klinis yang signifikan yang dapat mengurangi kualitas hidup pasien
difasilitas rumah sakit/ perawatan, serta pada hari dimana dapat segera
post discharge. Selain itu, PONV dapat meningkatkan biaya perioperatif,
meningkatkan morbiditas perioperatif, meningkatkan lama perawatan di
Post Anesthesia Care Unit (PACU), memperpanjang rawat inap,
memperlama waktu tinggal/ delay discharge, menunda waktu dimana
pasien dapat kembali bekerja, dan menyebabkan admisi kembali.
Muntah didefinisikan sebagai refleks mengejeksi secara paksa isi
lambung melalui mulut. Muntah biasanya dimulai oleh retching. Hal ini
dikendalikan oleh sekelompok inti yang terkait erat dalam batang otak
disebut sebagai “pusat muntah” yang kaya akan reseptor dopaminergik,
histamin, 5HT (5hidroksitriptamin), neurokinin dan kolinergik muskarinik.
Ketika pusat muntah dirangsang, serangkaian kompleks impuls saraf
mengkoordinasikan relaksasi simultan dari otot – ototlambung serta
kontraksi perut otot dan diafragma, mengeluarkan muntah dari
perut.Gejala muntah bersifat subjektif untuk setiap pasien.
Muntah diawali dengan adanya stimulus otonom yang akan
menimbulkan salivasi, vasokontrikso kutaneus, takikardi, midriasis,
hambatan terhadap sekresi asam dari sel parietal lambung dan
mempengaruhi motilitas serta menimbulkan perasaan mual. Glotis
menutup mencegah aspirasi dari bahan muntahan ke dalam trachea.
Pernafasan ditahan di tengah inspirasi. Otot – otot dinding abdomen
berkontraksi, karena dada dipertahankan pada posisi yang tetap maka
akan terjadi kenaikan tekanan intra abdomen. Hal ini menyebabkan isi
lambung keluar dengan penuh tenaga ke esophagus sedangkan esophagus
dan sphingter kardia lambung melemas, peristaltik membaik dan isi
lambung dikeluarkan lewat mulut.
BAB III
KESIMPULAN

Anestesi umum atau general anesthesia mempunyai tujuan agar dapat


menghilangkan nyeri, membuat tidak sadar, dan menyebabkan amnesia yang
reversible dan dapat diprediksi. Sehingga dalam anesthesia umum perlu
memenuhi trias dari anestesi itu sendiri yaitu sifat sedasi, analgesia dan relaksasi
otot. Dalam anestesi umum ada 2 metode yaitu dengan pemberian intravena dan
pemberian secara inhalasi. Secara umum dikenal 2 teknik anestesi umum yaitu
dengan Total intravena anestesi (TIVA) dan General endotrakeal anestesi (GETA).
Namun keduanya dapat dikombinasikan tergantung pada jenis pembedahan yang
akan dilakukan. Secara garis besar dalam melakukan anestesi umum perlu
dilakukan persiapan, berupa persiapan pra bedah yakni dengan melakukan
penilaian dengan metode yang telah disepakati yaitu ASA, kemudian melakukan
premedikasi. Sebelum tindakan anestesi juga perlu dilakukan persiapan alat serta
obat anestesi yang dibutuhkan berdasarkan teknik anestesi umum yang akan
dilakukan seperti alat STATICS.

Komplikasi dalam anestesi umum bervariasi tergantung dari jenis obat


anestesi yang digunakan, namun efek samping yang paling sering terjadi adalah
mual dan muntah. Efek samping ini sangat penting untuk dicegah karena dapat
menimbulkan aspirasi yang dapat memberikan komplikasi baru bila sampai
mencederai jaringan paru.
DAFTAR PUSTAKA

1. Pramono Ardi.2015.Buku Kuliah : Anestesi.Yogyakarta.Penerbit Buku


Kedokteran EGC
2. Soenarjo, Jatmiko HD. Anestesiologi. Semarang: IDSAI: 2010
3. Ikbal Muhammad, Sudadi, I Gusti Ngurah.2014.Yogyakarta : Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif Fak. Kedokteran UGM Yogyakarta- RSUP Dr.
Sardjito
4. Butterworth, JF. Mackey, DC. Wasnick, JD. 2013. Morgan and Mikhail”s
Clinical Anesthesiology. USA. Lange Mc Graw Hill
5. dr. Budiono Uripno.2009. Jurnal Anestesiologi Indonesia (JAI).Semarang.
6. Ghochan Davarinia Motlagh.2013. Comparison of Complications of General
and Spinal Anesthesia after Cesarean.Iran
7. Jadon Ashok.2010. Complications of regional and general anaesthesia
Complications of regional and general anaesthesia in obstetric practice.
8. Raymer Karim.2013. Understanding Anesthesia A Learner’s Handbook.
9. Aun, T. et al. 2013. Total intravenous anaesthesia using target controlled
infusion. A pocket reference. College of anesthesiologists. Academy of
Medicine of Malaysia.

Anda mungkin juga menyukai