Pascaoperasi
Borja Mugabure Bujedo, Silvia Gonzlez Santos, Amaia Ura
Azpiazu, Anxo Rubn Noriega,David Garca Salazar and Manuel
Azkona Andueza
1. Pendahuluan
Kongres AS yang dinyatkan dalam periode 10-tahun antara 1 Januari 2001,
dan 31 Desember 2010, satu dekade untuk kontrol dan pengobatan nyeri, sedangkan
(tion International Association untuk Studi of Pain) IASP menyatakan periodenya
berakhir pada Oktober 2011, tahun yang didedikasikan untuk nyeri akut. Meskipun
dengan pengukuran ini, kita harus mengakui bahwa upaya ini telah cukup, dan rasa
sakit merupakan salah satu masalah kesehatan utama di abad [1] 21. Tidak ada
rejimen analgesik yang ideal, karena tidak ada karakteristik yang meliputi onset yang
cepat, profil efektivitas, biaya terjangkau, tidak adanya efek samping jangka pendek
dan panjang, interaksi nihil dengan obat lain dan / atau metabolit, dan kemudahan
administrasi, baik untuk pasien dan tenaga kesehatan. Selain itu, kekurangan teknis
dalam sistem pengiriman obat telah memberikan kontribusi terhadap memburuknya
situasi ini, itulah sebabnya, selama beberapa tahun terakhir, mekanisme baru dan lebih
tepat telah muncul untuk memungkinkan kita untuk meningkatkan kualitas
keseluruhan rejimen analgesik, "membuat obat lama jadi baru ", terutama dalam
keluarga opioid [2].
Meskipun kemajuan dalam pengetahuan tentang neurobiologi nosisepsi dan
fisiologi obat analgesik sistemik dan spinal, nyeri pasca operasi tetap tidak terobati.
Pasien pascaoperasi di rumah sakit harus memiliki akses terbaik untuk analgesia,
namun, lebih dari 1/3 dari pasien ini mengalami nyeri sedang sampai berat dalam 24
jam pertama setelah prosedur yang mereka jalani [2]. Selanjutnya, sekitar 60% dari
operasi saat ini bisa rawat jalan, namun pada kenyataannya, hampir 80% dari pasien
mengeluh tentang nyeri pasca operasi yang moderat. Pengobatan yang tidak memadai
dalam
simpatis, yang menentukan tahap pertama sensitisasi perifer yang, jika dipertahankan
dari waktu ke waktu, menguatkan transmisi stimulus sampai kondisi tahap kedua
sensitisasi sentral. Sebagai konsekuensi, itu mengarah ke peningkatan pelepasan
katekolamin dan peningkatan konsumsi oksigen, dengan aktivitas neuroendokrin
peningkatan, menerjemahkan ke dalam hiperaktif pada berbagai organ dan sistem. Hal
ini akan berpengaruhIni pada jantung, paru, endokrin-metabolik, gastrointestinal,
imunologi dan komplikasi psikologis.
Ada hubungan langsung antara proses dengan tingkat keparahan nyeri
pascaoperasi dan proporsi gambaran klinis nyeri kronis, seperti amputasi anggota
tubuh (30-83%), torakotomi (36-56%), kandung empedu atau operasi payudara ( 1157%), hernia inguinalis (37%) dan sternotomi (27%) atau histerektomi abdominal (325%) [7]. Nyeri kronis dapat menjadi parah di sekitar 2-10% dari pasien ini,
menunjukkan bahwa nyeri ini menjadi masalah klinisi mayor yang belum dipahami
dengan baik.. Nyeri neuropatik iatrogenik mungkin adalah penyebab paling penting
dari nyeri pascaoperasi jangka panjang dan konsekuensi teknik bedah dengan
menghindari kerusakan saraf harus diterapkan jika memungkinkan. Juga, terapi nyeri
awal dan agresif selama pengaturan pasca operasi harus diberikan sejak intensitas
nyeri akut berhubungan dengan risiko berkembangnya nyeri menjadi nyeri persisten.
Akhirnya, peran faktor genetik harus dipelajari, karena hanya sebagian tertentu dari
pasien dengan kerusakan saraf intraoperatif berkembang menjadi nyeri kronis [8].
Banyak uji klinis telah menunjukkan efektivitas gabapentin dan pregabalin yang
diadministrasikan pada periode perioperatif sebagai tambahan untuk mengurangi
nyeri akut pasca operasi. Namun, sangat sedikit uji klinis telah meneliti
penggunaannya dalam pencegahan nyeri pascaoperasi kronis (CPSP). Delapan studi
dimasukkan dalam meta-analisis baru-baru ini, enam dari uji coba gabapentin
menunjukkan penurunan sedang hingga berat dalam berkembangnya CPSP (odds
rasio yang dikumpulkan [OR] 0,52; 95% confidence interval [CI], 0,27 0,98; P =
0,04), dan dua percobaan pregabalin menunjukkan penurunan yang sangat besar
dalam berkembangnya CPSP (pooled OR 0,09; 95% CI, 0,02-0,79; P = 0,007). Ulasan
ini mendukung pandangan bahwa administrasi perioperatif dari gabapentin dan
pregabalin efektif dalam mengurangi kejadian CPSP tapi lebih baik dirancang uji
klinis diperlukan untuk mengkonfirmasi temuan awal ini [9].
OIH). Keduanya memiliki potensi tidak diinginkan dan dapat memiliki mekanisme
yang sama-sama mendasarinya seperti keterlibatan asam amino melalui reseptor NMethyl-DAspartat (NMDA) [13]. Hiperalgesia ditandai dengan deviasi ke bawah dan
mengarah ke kiri pada kurva yang mengaitkan intensitas stimulus dengan tingkat
nyeri yang diamati, sehingga stimulus yang biasanya menyakikatkan dianggap
sebagai nyeri dengan intensitas lebih besar, juga stimulus lain yang dianggap tidak
menyakitkan diaggap sebagau stimulus menyakitkan (allodynia). Efek ini dapat
dilihat baik dalam sistem saraf perifer dan pusat. hyperalgesia primer adalah
konsekuensi dari kepekaan nosiseptor perifer selama fase inflamasi yang ditopang
oleh iskemia lokal dan asidosis yang disebabkan oleh rangsangan termal atau mekanis
di daerah dekat dengan sayatan bedah. Hiperalgesia sekunder, pada gilirannya, karena
sensitisasi sentral oleh stimulus aferen yang terus menerus bertambah dari waktu ke
waktu memicu peningkatan spontan aktivitas neuron pada dorsal horn medulla
spinalis. Hanya bermanifes ketika dihadapkan dengan rangsangan mekanik pada
jaringan yang jauh dari lesi [14].
Kepentingan
klinis
pemahaman
hiperalgesia
harus
ditekankan
pada
besar
terkena
sindrom
nyeri
regional
kompleks
[15].
Selain
itu,
3. Analgesia Sistemik
3.1. NSAID
Namun, kedua bentuk ini konstitutif terhadap ganglion dorsal root serta gray
matter medulla spinalis. Oleh karena itu, meskipun pemberian COX-1 inhibitor
melalui spinal belum terbukti efektif, COX-2 inhibitor (Coxib) memainkan peran
penting dalam sensitisasi sentral dan efek anti-hyperalgesic dengan menghalangi
bentuk konstitutif pada tingkat medula dan dengan mengurangi produksi
prostaglandin pusat E-2. Meskipun obat Coxib memiliki risiko perdarahan
gastrointestinal yang rendah dan tidak berefek pada fungsi trombosit, namun belum
terbukti mengurangi komplikasi ginjal (hipertensi, edema, nefrotoksisitas) dan efek
pada osteogenesis, dibandingkan dengan NSAID non-selektif [16, 17, 18]. Telah
disebutkan bahwa COX-2 adalah enzim kardioprotektif dan penghambatan risiko
kardiovaskular disebabkan oleh perubahan dalam keseimbangan antara prostasiklin I-
2 (endotel) dan tromboksan A-2 (trombosit) dalam mendukung yang nanti akan
menyebabkan agregasi platelet, vasokonstriksi pembuluh darah dan proliferasi. Coxib
menignkatkan efek samping dan mempertahankan kondisi obat analgesic sejenis.
Namun, durasi pengobatan dengan obat ini pada pasien yang berisiko, efek samping,
biaya/efektivitas dan kemanjuran coxib dibandingkan dengan NSAID konvensional
terkait dengan perlindungan terhadap lambung dan kehandalan mereka pada pasien
yang biasanya mengkonsumsi obat anti-agregat belum diketahui dengan baik [17, 18].
Berdasarkan banyak penelitian pada manusia, dapat disimpulkan bahwa pemberian
COX-2 Inhibitor pada perioperative , dalam dosis standar, dapat mengurangi
konsumsi opioid, tetapi belum jelas apakah mereka menurunkan efek samping yang
berhubungan dengan penggunaan opioid. Investigasi dimasa mendatang dengan
teknik multimodal yang berbeda dapat membantu menjelaskan dan membuktikan
manfaat sebenaranya dari pemberian COX-2 inhibitor untuk pengelolaan nyeri akut
[18].
Celecoxib adalah sulphonamide dengan volume distribusi yang besar (400
liter / 200 mg), penetrasi jaringan besar, degradasi melalui sitokrom P450 2C9 / 3A4
sistem, dan waktu paruh 11 jam, dengan metabolit tidak aktif. Rofecoxib adalah
sulphone dengan volume distribusi 86-liter / 25 mg, dimetabolisme dengan reduksi
sitosol, tanpa berinteraksi dengan sistem sitokrom, dan waktu paruhnya adalah 17
jam, dengan metabolit aktif. Dosis equipotent untuk pengobatan nyeri akut adalah 400
mg celecoxib / 50 mg rofecoxib. Ini akan menjelaskan perbedaan antara selektivitas
COX-2 / COX-1, dan perbedaan yang ditemukan pada insidensi efek samping
kardiovaskular, yang lebih besar pada rofecoxib [19, 20]. Keputusan untuk menarik
obat ini dari pasar AS pada bulan September 2004 didasarkan pada percobaan tiga
tahun terkontrol klinis pada pencegahan adenomatosa poliposis, di mana terjadi
peningkatan risiko relatif yang berefek pada kardiovaskular seperti iskemia atau
infark miokard yang ditemukan pada pasien dengan pengobatan selama lebih dari 18
bulan. Risiko infark miokard bervariasi dengan NSAID individu. Peningkatan risiko
diamati pada diklofenak dan rofecoxib, yang terakhir memiliki tren dosis-respons
yang jelas. Terdapat pemahaman bahwa risiko sedikit meningkat dengan ibuprofen.
Data yang menunjukkan risiko sedikit berkurang dengan naproxen pada pasien yang
tidak mengkonsumsi aspirin, utamanya pasien yang bebas dari penyakit vascular.
potensiasi pada NSAID & opioid dan pada dosis terapetik tidak menimbulkan efek
samping yang relevan. Paracetamol memiliki rasio efikasi/ tolerabilitas yang sangat
baik, itulah mengapa paracetamol menjadi pilihan utama pada pengobatan pada
rejimen analgesia multimodal pasca operasi. Efek puncak pada CSF tercapau pada 1-2
jam dan konsentrasinya menetap pada kompartemen ini pada plasma setelah dosisnya
diulang. Telah dianjurkan analgesic yang lebih baik dapat diperoleh dengan 2g dosis
awal daripada dengan dosis rekomendasi sebanyak 1 gram. Dosis harian
maksimumnya adalah 4 gram, tetapi 3 g perhari tidak boleh diberikan secara
berlebihan pada pasien dengan penyalahgunaan alkohol atau pasien dengan penyakit
coexisting yang menyebabkan deplesi glutathione. Skema administrasi yang biasa
dilakukan (1 g setiap 6 jam) memiliki efek yang kurang dari 10 mg pada konsumsi
morfin 24 jam dan akibatnya tidak secara signifikan mengurangi efek samping morfin
[24]. Dalam meta-analisis, tujuh perspektif Randomized Controlled Trial, yang
melibatkan 265 pasien dalam kelompok dengan PCA (patient-controlled analgesia-)
morfin ditambah acetaminophen dan 226 pasien dalam kelompok dengan PCA morfin
saja, dipilih. Administrasi asetaminofen tidak dikaitkan dengan penurunan kejadian
efek
samping-morfin
atau
peningkatan
kepuasan
pasien.
Menambahkan
acetaminophen untuk PCA dikaitkan dengan efek morfin 20% (rata-rata, -9 mg; CI
-15 ke -3 mg; P = 0,003) pada 24 jam pertama postoperative [24]. Dalam review
sistematis terbaru, telah diverifikasi bagaimana hubungan parasetamol dengan NSAID
lainnya (diklofenak, ibuprofen, ketoprofen, ketorolac, tenoxicam, rofecoxib dan
aspirin) meningkatkan efektivitas parasetamolnya sendiri (85% dari studi), seperti
pada anti-inflamasi (64% dari studi) [25]. Antinociception yg diinduksikan melalui
administrasi intraperitoneal dengan kombinasi parasetamol denga NSAID; diklofenak,
ibuprofen, ketoprofen, meloxicam, metamizole, naproxen, nimesulide, parecoxib dan
piroksikam yang dipelajari dengan analisis isobolographic dalam uji asam asetat
konstriksi abdominal pada tikus (writhing test). Seperti yang ditunjukkan oleh analisis
isobolographic, semua kombinasi yang sinergis, g ED50s eksperimental yang secara
signifikan lebih kecil dari ED50s yang dihitung secara teoritis. Hasil penelitian ini
menunjukkan interaksi kuat antara parasetamol dan NSAID dan memvalidasi
penggunaan klinis kombinasi obat ini dalam pengobatan pada kondisi nyeri [26].
Metamizole atau dipyrone adalah analgesik lyang kuat juga merupakan agen
antipiretik, dengan kekuatan anti-inflamasi yang terbatas, yang secara luas digunakan
9
di Spanyol, Rusia, Amerika Selatan dan Afrika, tetapi yang tidak dipasarkan di
Amerika Serikat atau Inggris karena kemungkinan resiko agranulositosis dan anemia
aplastik. Ketidaknyamanan lain metamizole termasuk kemungkinan episode reaksi
alergi yang parah dan hipotensi setelah pemberian nya melalui IV [16]. Dapat
menyebabkan efek spasmolitik dan khasiat yang lebih tinggi dari salisilat, itulah
mengapa digunakan dalam nyeri sedang sampai parah pasca operasi dan kolik-jenis
nyeri. Dalam review sistematis [27], lebih dari 70% dari peserta mengalami
setidaknya 50% nyeri lebih dari 4 sampai 6 jam dengan 500 mg dipyrone oral
dibandingkan dengan 30% dengan plasebo dalam lima studi (288 peserta). Lebih
sedikit peserta membutuhkan pengobatan dengan dipyrone (7%) dibandingkan dengan
plasebo (34%, empat penelitian, 248 peserta). Tidak ada perbedaan pada peserta
mengalami setidaknya 50% nyeri dengan 2,5 g dipyrone intravena dan 100 tramadol
intravena mg (70% berbanding 65%, dua studi, 200 peserta). Tidak ada efek samping
serius yang dilaporkan.
Diklofenak adalah anti-inflamasi dengan kapasitas analgesik yang besar,
terutama setelah bedah ortopedi dan Traumatologi, karena penetrasi yang besar ke
dalam jaringan radang dan cairan sinovial. Hal ini juga digunakan dalam penderitaan
yang bersifat kolik, seperti sakit ginjal. Dosis harian maksimum 150 mg,
didistribusikan dalam 2 dosis, dan penting untuk diingat bahwa beberapa negara
hanya menyetujuinya untuk penggunaan intramuskular dalam [28]. Kontraindikasi
terbesar adalah gagal ginjal dan gangguan perdarahan gastrointestinal. Formulasi baru
dari non-selektif NSAID natrium diklofenak yang cocok untuk injeksi bolus intravena
telah dikembangkan menggunakan hidroksipropil siklodekstrin beta sebagai
penambah kelarutan (HPbetaCD diklofenak). HPbetaCD diklofenak intravena injeksi
bolus itu terbukti bioekuivalen dengan formulasi parenteral ada diklofenak yang
mengandung propilen glikol dan benzil alkohol sebagai bahan pelarut (PG-BA
diklofenak), yang relatif tidak larut dan membutuhkan infus intravena lambat selama
30 menit. Untuk pasien dengan nyeri sedang dan berat akut setelah operasi perut atau
panggul, diulang 18,75 mg dan 37,5 mg dosis HPCD diklofenak diberikan khasiat
analgesik yang signifikan, dibandingkan dengan plasebo. Efikasi analgesik yang
signifikan juga disediakan oleh seperti ketorolac. Keduanya HPCD diklofenak dan
ketorolak signifikan mengurangi kebutuhan opioid [29].
10
11
Tabel II, Daftar Oxford tentang khasiat analgesik dosis tunggal berdasarkan
Systematic Reviews. Semakin rendah NNT, semakin besar potensi).
12
3.2. Opioid
Opioid adalah obat dengan khasiat analgesic terbaik yang dikenal. Hal ini
karena aksi kerjanya merupakan hasil dari interaksi gabungan pada empat jenis
reseptor yang dibagi menjadi beberapa subtype (1-3, 1-2, 1-3, ORL-1) yang
terletak di tingkat yang berbeda dari aksis saraf, dari korteks serebral ke sumsum
tulang belakang, dan di beberapa lokasi perifer, serta yang memengaruhi mekanisme
aferen dan eferen pada sensitivitas nosiseptif. Opioid juga merupakan bagian dari
system neuromodulator endogen nyeri, dan berkaitan dengan adrenergic, serotonergic
dan system GABAergic [16]
13
Opioid menghasilkan sifat analgesia tingkat tinggi, tetapi dibatasi oleh munculnya
efek samping seperti depresi pernafasan, mual dan gatal-gatal. Penggunaan parenteral
pada nyeri sedang sampai berat mencapai efek analgesik yang baik dalam waktu
singkat; rute intravena yang lebih dipilih dibandingkan rute intramuskular karena
bioavailabilitas mereka yang lebih besar. Rute oral dengan obat lepas lambat juga
menunjukkan kegunaannya dalam pengaturan ini [34, 35]. Jenis dari opioid parenteral
utama dirangkum dalam tabel III.
dari morfin
diadministrasikan)
dan
(1/5-1/10
tramadol
bergantung pada
memiliki
metabolit
darimana obat
aktif
itu
[M1(mono-o-
14
penggunaan ibuprofen atau parasetamol dan memiliki khasiat nyeri neuropatik karena
mekanisme aksi "-agonist". Sebagai panduan pengobatan, 10 mg oksikodon sama
dengan 20 mg morfin per oral. Oxycodone sangat efektif dan ditoleransikan dengan
baik pada berbagai jenis prosedur bedah dan kelompok pasien, dari preterm hingga
pasien berusia tua. Kedepannya, administrasi oxycodonenalokson trans mukosa dan
enteral akan cenderung meningkat, dan penggunaan bersamaan sesuai formulasi obat
enteral yang berbeda akan mengurangi kebutuhan untuk teknik administrasi yang
lebih rumit, seperti analgesik intravena dengan pasien terkontrol [38].
Tapentadol [39] adalah analgesic campuran yang baru dengan dua aksi
sentral, -opioid agonis dan noradrenalin reuptake inhibitor. Tapentadol 2-3 kali lebih
kuat dari morfin, dan dua kali lebih poten dibanding tramadol. Tapentadol disetujui
pada bulan November tahun 2008 oleh FDA untuk tatalksana nyeri sedang hingga
berat pada pasien dewasa. Tersedia dalam bentuk tablet 50,75,100,150 kerja cepat,
dengan waktu paruh 4-6jam dan dosis harian maksimum 600mg. obat kerja cepat 12
jam telah dipasarkan untuk tatalaksana nyeri kronis. Tapentadol memiliki profil
keamanan yang lebih baik untuk mual dan / atau muntah dan sembelit dibandingkan
dengan oxycodone IR dan juga memiliki tingkat signifikan lebih rendah dari
penghentian
pengobatan.
Tapentadol
telah
berhasil
diuji
pada
operasi
17
pasca operasi pada 24 jam pertama; perbedaan rata-rata yaitu -4.1 mg (CI 95%, -6.0
hingga -2.2) dengan clonidine dan -14.5 mg (-2.1 hingga 6.8) dengan
dexmedetomidine. Ada juga bukti berkuranganya intensitas nyeri pada 24 jam;
perbedaan rata-rata yaitu -0,7 cm (-1.2 hingga -0,1) pada skala analogis visual 10 cm
yang
menggunakan
klonidine
dan
-0.6
cm
(-0,9
hingga
-0,2)
dengan
laparoskopi merupakan faktor risiko. Hal ini tentu menjadi suatu kejadian yang sangat
tinggi setelah operasi laparoskopi ginekologi, yang dilaporkan hampir 70% dalam 24
jam pertama pasca operasi. Kortikoids memiliki sifat analgesik dan anti-inflamasi
karena menghambat siklooksigenase dan lipoksigenase, dan telah menunjukkan
bahwa penggunaan deksametason preoperatif (4-8 mg IV) juga mencegah munculnya
muntah dan mual pasca operasi, terutama setelah laparoskopi. Dalam meta-analisis
baru-baru ini, pemberian deksametason profilaksis menurunkan insiden mual dan
muntah setelah operasi laparoskopi ginekologi di unit perawatan pasca anestesi dan
dalam 24 jam pertama pasca operasi. Pada review mengenai mekanisme mengurangi
rasa nyeri pasca operasi, mual dan muntah, anestesi epidural tidak mengurangi
lamanya untuk tinggal di rumah sakit atau kejadian PONV meskipun dapat
mengurangi intensitas nyeri dan ileus. NSAID lebih efektif daripada parasetamol
dalam mengurangi penggunaan opioid pascaoperasi dan PONV, sedangkan
deksametason dan antagonis 5-HT3, keduanya efektif dalam mengurangi PONV.
Dehydrobenzperidol juga digunakan sebagai agen lini pertama dalam mengatasi
muntah pasca operasi dan dalam tinjauan sistematis kuantitatif dari percobaan
terkontrol secara acak pada 2.957 pasien, dosis dibawah 1mg ditentukan sebagai dosis
IV optimal. Dua pasien yang mendapatkan 0,625 mg droperidol memiliki gejala
ekstrapiramidal. Data toksisitas jantung tidak dilaporkan. Para penulis menyimpulkan
bahwa karena reaksi obat yang merugikan cenderung bergantung terhadap dosis, ada
argumen untuk menghentikan penggunaan dosis lebih dari 1 mg.
Pada suatu meta-analisis dari 1.754 pasien, telah diverifikasi bahwa infus
lidokain perioperatif mengurangi intensitas rasa nyeri dan penggunaan opioid
pascaoperasi, kejadian ileus paralitik dan mual dan muntah, serta lamanya tinggal di
rumah sakit. Manfaat besar pada pasien yang menjalani operasi perut. Menimbang
bahwa dalam beberapa kasus, tingkat keracunan terdeteksi, dan efek samping tersebut
tidak dikumpulkan secara sistematis pada semua penelitian, kita harus menentukan
rentang yang aman sebelum merekomendasikan penggunaan obat tersebut. Pada
review sistematis terbaru terhadap 764 pasien, yang menjalani operasi perut terbuka
dan laparoskopi, serta pasien bedah rawat jalan, infus lidokain intravena perioperatif
mengakibatkan pengurangan yang signifikan terhadap intensitas nyeri pasca operasi
dan penggunaan opioid. Skor nyeri berkurang saat istirahat batuk atau adanya
pergerakan hingga 48 jam pasca operasi. Penggunaan opioid berkurang hingga 85%
pada pasien yang menggunakan lidokain bila dibandingkan dengan kontrol. Infus
19
magnesium IV perioperatif dapat mengurangi nyeri pasca operasi atau tidak. Dua
puluh lima uji coba yang membandingkan magnesium dengan placebo dilakukan.
Terlepas dari cara pemberian (bolus atau infus kontinu), magnesium perioperatif
mengurangi penggunaan morfin IV secara kumulatif yaitu 24,4% (rata-rata
perbedaan: 7,6 mg, 95% CI -9,5 hingga -5,8 mg; p<0,00001) pada 24 jam pasca
operasi. Skor numerik nyeri saat istirahat dan saat bergerak pada 24 jam pasca operasi
jelas membaik dan keduanya mengalami pengurangan masing-masing 4,2 (95% CI
-6,3 hingga -2,1; p<0,0001) dan 9,2 (95% CI -16,1 hingga -2,3; p = 0,009) dari 100.
Para penulis menyimpulkan bahwa magnesium IV perioperatif mengurangi
penggunaan opioid dan pada tingkat lebih rendah, skor nyeri, pada 24 jam pertama
pasca operasi, tanpa melaporkan efek samping yang serius.
Teknik non-farmakologis, seperti transcutaneous electrical nerve stimulation
(TENS), yang bekerja dengan mengaktifkan reseptor opioid dan serat tebal A,
akupunktur aurikula, terapi musik atau psikoterapi, mungkin juga berguna pasca
operasi,
namun
penelitian
lebih
lanjut
diperlukan
untuk
memverifikasi
20
50% dari total dosis yang diberikan (lihat gambar 1). Dalam kasus pasien dengan
pengobatan opioid jangka panjang, infus opioid ini bisa sampai 80%. Total dosis yang
dijadwalkan dapat dihitung sesuai dengan aturan mg/hari/morfin = 100 - usia.
Tinjauan sistematis menunjukkan kualitas analgesik yang lebih baik, bersamaan
dengan morbiditas yang lebih rendah, dibandingkan dengan rejimen analgesik IV lain
tanpa PCA, tetapi tidak ada perbedaan dalam total penggunaan opioid, efek samping
atau lamanya menginap di rumah sakit. Insiden efek samping seperti depresi
pernafasan (<0,5%) tampaknya tidak berbeda dari cara pemberian lain opioid, seperti
parenteral atau neuraksial, dan lebih rendah dalam bentuk murni IV PCA.
morfin dalam PCA IV pada pengobatan nyeri pasca operasi akut, dengan tingkat
kepuasan secara keseluruhan sangat baik dari 74-80%, dan dengan kejadian efek
samping serupa, mual yang paling sering terjadi hampir 40% dari pasien. Penggunaan
sistem ini dapat berfungsi sebagai modalitas alternatif untuk pengelolaan nyeri akut
tanpa meningkatkan efek samping seperti perdarahan, infiltrasi kateter intravena, atau
kerusakan pompa manual.
4.3. PCA Intranasal
Ada juga kemungkinan merawat pasien yyang dikontrol dengan analgesia
intranasal (PCINA) dengan opioid penyerapan cepat. Pemberian obat intranasal
mudah, ditoleransi dengan baik, dengan cara trans mukosa non invasif yang
menghindari metabolisme tahap awal di hati. Mukosa hidung menyediakan
permukaan yang tinggi vaskularisasi yang luas pada epitel bersilia semiberlapis. Ini
mengeluarkan mucus yang mengalami gerakan mukosiliar yang dapat mempengaruhi
durasi kontak antara obat dan permukaan. Penyerapan dipengaruhi oleh faktor-faktor
anatomi dan fisiologi maupun oleh sifat-sifat obat dan cara pemberian. Obat yang
paling sering digunakan adalah fentanil pada dosis yang sama secara intravena, tetapi
opioid lainnya telah digunakan untuk mengobati nyeri akut seperti meperidine,
diamorfin dan butorphanol. Efek sistemik yang merugikan sama dengan yang
dijelaskan untuk pemberian intravena, yang paling umum adalah rasa kantuk, mual
dan muntah. Efek lokal yang dilaporkan yaitu sensasi terbakar dengan meperidin dan
rasa tidak enak.
4.4. Pasien yang dikontrol analgesia regional
Pasien yang dikontrol dengan analgesia regional (PCRA) meliputi berbagai
teknik yang menyediakan penghilang rasa nyeri pasca operasi yang efektif tanpa
paparan sistemik opioid. Penggunaan PCRA, pasien mengontrol penggunaan dosis
pre-program anestesi lokal, paling sering ropivacaine atau bupivakain (kadang-kadang
dikombinasikan dengan opioid), melalui kateter, yang dapat ditempatkan di berbagai
daerah tubuh tergantung pada jenis operasi. Infus dikendalikan baik oleh pompa
elektronik yang diprogram oleh tenaga ahli (mirip dengan yang digunakan untuk PCA
IV) atau pompa elastomer sekali pakai. Pompa elastomer adalah perangkat yang
memiliki bola yang dapat berdistensi di dalam bola pelindung yang telah dibuat
sedemikian rupa, terdapat tabung pengirim dan penyaring bakteri. Analgesia dapat
23
metameric obat analgesik dengan perpanjangan dengan infus dan kemampuan untuk
menyesuaikan kedalaman dan tingkat kualitas optimal pada setiap pasien,
menghasilkan blok pasca operasi yang sensitif, dengan bahaya minimal saat adanya
pergerakan. Penggunaan gabungan dari anestesi umum regional meningkatkan
pemulihan segera pasca operasi, dan memungkinkan untuk kontrol analgesik dengan
kualitas yang lebih tinggi daripada opioid sistemik. Harus adanya lokasi kateter
epidural, bila secara teknis memungkinkan, metameric ke zona pembedahan, seperti
yang telah ditunjukkan bahwa kateter toraks untuk operasi thoracoabdominal
mengurangi morbiditas dan mortalitas kardiorespirasi, meningkatkan kualitas
analgesik dan mengurangi kejadian efek samping seperti retensi urin dan blok
motorik.
Suatu data meta-analisis luas dari 141 percobaan terkontrol acak, yang
mempelajari total 9.559 pasien, menunjukkan bahwa penggunaan anestesi epidural
atau spinal dikaitkan dengan penurunan 30% angka kematian dalam 30 hari, selain
efek menguntungkan lainnya seperti penurunan 55% dalam kejadian emboli paru,
penurunan 39% pada pneumonia, penurunan 50% dalam kebutuhan transfusi, dan
penurunan 44% pada trombosis vena dalam. Ada juga bukti manfaat lebih lanjut
seperti penurunan risiko depresi pernafasan, infark miokard dan gagal ginjal. Namun,
data dari studi yang lebih baru pada pasien yang menjalani operasi besar gagal
menunjukkan penurunan angka kematian dengan perioperatif analgesia epidural bila
dibandingkan dengan kombinasi anestesi umum dan penggunaan opioid sistemik.
Selanjutnya, sebuah penelitian di multisenter Australia (Master Trial), pada anestesi
epidural dalam operasi abdomen pasien yang berisiko tinggi, pada 888 kasus yang
dikumpulkan
selama
enam
tahun
(1995-2001)
tidak
menunjukkan
efek
menguntungkan seperti itu. Tidak ada pengurangan morbiditas pada kelompok yang
menerima pemberian epidural dibandingkan dengan kelompok kontrol dengan opioid
dan pemberian parenteral, dan kematian di 30 hari adalah serupa (4,3% pada kontrol
dibandingkan 5,1% pada kelompok dengan pemberian epidural). Hanya kegagalan
pernafasan akut (ARF), kurang sering terjadi pada kelompok epidural (23% epidural
dibandingkan 30% pada kontrol, p = 0,02). Sebuah NNT dari 15 pasien dihitung
untuk mencapai pencegahan episode ARF. Skor nyeri lebih rendah dan signifikan
secara statistik pada kelompok epidural, meskipun VAS hanya berkurang 1 cm dalam
skala 0-10 cm.
25
Penambahan
adjuvant,
kegagalan untuk teknik ini lebih rendah dibandingkan dengan epidural pada dada dan
diperkirakan berkisar 6-10%, meskipun penggunaan stimulator yang dapat membantu
meningkatkan tingkat keberhasilan. Sebuah tinjauan sistematis dan meta-analisis
terhadap 520 pasien di mana kedua teknik dibandingkan dan mencerminkan kualitas
anestesi yang sama dengan profil yang lebih baik dari efek samping dan komplikasi
paru yang mendukung blok paravertebral. Selain itu, hal ini menguntungkan pada
pasien yang menerima anti agregasi dan berada di bawah pengaruh anestesi umum.
Ini lebih menguntungkan jika digunakan dengan video thoracoscopy yang belum
menunjukkan dengan baik, tetapi mereka telah ditunjukkan pada operasi payudara.
Pada tinjuan Scarci dkk., PVB ditemukan memiliki manfaat yang sama dengan
anestesi epidural pada pasien yang menjalani operasi torakotomi, namun dengan
profil efek samping yang menguntungkan, dan tingkat komplikasi yang lebih rendah.
Pengurangan komplikasi yang paling ditandai dengan komplikasi paru dan
didampingi oleh kembalinya lebih cepat ke fungsi paru yang normal. Blok epidural
dikaitkan dengan efek samping yang sering [retensi urin (42%), mual (22%), gatalgatal (22%) dan hipotensi (3%) dan, jarang, depresi pernafasan (0,07%)]. Selain itu,
lamanya waktu operasi dikaitkan dengan kegagalan teknis atau perpindahan (8%).
Epidural juga berrkaitan dengan tingkat komplikasi yang lebih tinggi (atelektasis
pneumonia) dibandingkan dengan PVB tersebut.
6. Coadjutants Epidural
6.1. Opioid
Pemberian obat opioid secara spinal tidak menjamin adanya aksi selektif dan
analgesia segmental di spinal. Bukti dari penelitian eksperimental pada hewan
menunjukkan bahwa bioavailabilitas dalam biofase sumsum tulang belakang
berkorelasi negatif dengan solubilitas lemak, dan lebih tinggi pada opioid yang
hidrofilik, seperti morfin, dibandingkan opioid lipofilik, seperti fentanil, sufentanil
dan alfentanil. Semua opioid yang diberikan menghasilkan bagian dari efek
analgesiknuya melalui selektivitas spinal, meskipun opioid lipofilik juga cepat
mencapai pusat yang lebih tinggi dari otak akibat penyerapan pembuluh darah yang
baik dan redistribusi. Uji klinis telah menunjukkan bahwa pemberian opioid lipofilik
dengan infus epidural terus-menerus tidak menghasilkan analgesia karena mekanisme
tulang belakang, namun, diperkuat dengan anestesi lokal memungkinkan jumlah
dosis total dikurangi. Hal ini bertentangan dengan injeksi fentanyl epidural tunggal
27
yang dengan jumlah yang cukup tinggi dari obat dapat menjangkau daerah-daerah
tertentu di tingkat spinal.
Morfin merupakan opioid yang mungkin dengan aksi selektif medula terbesar
setelah epidural (3-5 mg/hari) atau pemberian intradural. Morfin adalah opioid
epidural yang paling sering digunakan, dan itu bisa dianggap sebagai standar emas
obat spinal (yang tidak mengartikan bawah itu adalah salah satu yang ideal), karena
sifatnya yang selektif terhadap medula, dosis epidural yang digunakan jauh lebih
rendah dari dosis parenteral (1/5-1/10), dengan dosis maksimum harian yang
direkomendasikan 10 mg. Hal ini dapat diberikan baik dalam bentuk bolus (30-100
g/kg) dan di infus secara kontinu (0,2-0,4 mg/jam), sebagai yang terakhir muncul
untuk menginduksi kualitas analgesik yang lebih besar, dan sebagai obat tunggal atau
yang digunakan bersamaan dengan LA, karena kedua obat ini mempotensiasi efek
analgesik global dengan cara aksi yang sinergis, sehingga menghasilkan analgesia
pascaoperasi dengan kualitas dan durasi yang hebat, tetapi dengan insiden lebih besar
terjadinya efek samping. Meskipun morfin epidural yang dianggap sebagai obat yang
efektif melalui cara pemberian yang sama efektifnya, ini digunakan sebagai dosis
tunggal yang dibatasi oleh waktu paruh efektif kurang dari 24 jam, durasi pendek
dibandingkan dengan nyeri pasca operasi. Liposom adalah partikel berbentuk bola
yang dibentuk oleh lapisan fosfolipid dibagian terluar dan ruang berair di dalam di
mana obat berada. Inilah sebabnya mengapa pada tahun 2004, FDA menyetujui
liposom morfin epidural yang pelepasannya diperpanjang (EREM) hanya untuk
penggunaan epidural lumbal, dengan waktu paruh 48 jam setelah injeksi tunggal,
yang menunda konsentrasi puncak di CSF hingga 3 jam, tanpa adanya masalah yang
berhubungan dengan kateter dan dengan ekspektasi meningkatkan tingkat kegagalan
global yang hampir 30% dari teknik epidural terus-menerus. Poin dasar untuk
penggunaannya termasuk pemberiannya sebelum operasi atau setelah penjepitan tali
pusat selama operasi caesar dan setidaknya 15 menit. Setelah uji dosis epidural dari
LA dan tidak ada lagi obat epidural yang diberikan selama 48 jam, karena infus LA
kontinu dapat meningkatkan pelepasan morfin. Formulasi tidak boleh disuntikkan
melalui filter sebagai partikel yang terganggu. Sama seperti semua opioid, bahaya
utamanya adalah depresi pernafasan terutama pada pasien lanjut usia dan lemah dan
pada mereka dengan fungsi pernapasan yang tidak baik. Dalam meta-analisis terhadap
risiko depresi pernapasan dibandingkan dengan morfin intravena pada pasien
28
dikontrol analgesia (PCA), rasio odds (OR) 5.80 (95% CI 1,05-31,93; p = 0,04)
diperkirakan untuk penggunaan EREM.
fentanil dan sufentanil yang diberikan secara epidurl, terus-menerus
menawarkan sangat sedikit keuntungan dibandingkan dengan pemberian intravena,
yang mengapa digunakan dengan LA untuk mengurangi konsentrasi analgesik efektif
minimumnya yang meningkatkan kepuasan pasien secara keseluruhan. Opioid
lipofilik seperti fentanil dan sufentanil menghasilkan efek analgesik terutama melalui
reuptake sistemik dan pemberiannya sebagai obat tunggal tidak menawarkan
keunggulan dibandingkan dengan parenteral. Namun, penggunaannya dengan LA
meningkatkan efek analgesik, mengurangi dosis total dari masing-masing obat, serta
efek sampingnya, seperti hipotensi dan blok motorik. Fentanil dan sufentanil yang
diberikan secara epidural atau intradural merupakan obat pilihan dalam rawat jalan
kebidanan dan bedah, dan merupakan coadjutants yang paling sering digunakan
bersama-sama secara spinal dengan anestesi lokal pada periode perioperatif,
meningkatkan analgesia tanpa memperpanjang blok motorik. Pemberian alfentanil
melalui spinal menghasilkan analgesia melalui reuptake sistemik dan redistribusi pada
reseptor opioid otak, karena memiliki volume terbesar dari distribusi. Hanya fentanyl
dalam bolus yang muncul untuk memberikan aksi medula tertentu dalam kelompok
opioid lipofilik secara epidural pada konsentrasi >10 g/ml. Pada akhirnya, metadon
epidural dan hydromorphone alternatif yang cocok untuk analgesia pada periode
pasca operasi, mengingat bahwa mereka memiliki karakteristik farmakokinetik
menengah sehubungan dengan dua kelompok opioid tersebut.
6.2. Coadjutants lainnya
Komponen solusio epidural yang ideal untuk mengontrol nyeri pasca operasi
masih belum ditentukan, karena belum mencapai penghilang total rasa nyeri saat
istirahat dan nyeri saat adanya gerakan, tanpa efek samping seperti hipotensi, blok
motorik, mual, gatal atau sedasi. Namun, dari penelitian yang diterbitkan sampai saat
ini (klinis, acak, terkontrol), kita dapat menarik kesimpulan berikut dengan bukti
klinis tingkat tinggi yang terkait dengan penggunaan adrenalin secara epidural:
29
yang sama.
Lokasi kateter epidural harus metameric setingkat dada, karena tidak ada bukti
ilmiah yang cukup untuk merekomendasikan penggunaan infus adrenalin kontinu
pada tingkat lumbal.
Clonidine (5-20 g/jam) meningkatkan efek analgesik dari campuran epidural,
tetapi munculnya efek samping seperti hipotensi, bradikardia atau sedasi membatasi
penggunaannya
secara
rutin.
Neostigmin,
penghambat
cholinesterase,
telah
risiko yang relatif rendah terhadap komplikasi teknis atau kegagalan. Hal ini semakin
sering mengasosiasikan karakteristik opioid yang berbeda secara intradural, opioid
lipofilik, seperti fentanil (20-40 g), dan atau opioid hidrofilik seperti morfin (100300 g), dalam bentuk bolus untuk operasi, bersama-sama dengan LA, untuk
menjamin cakupan baik selama pertengahan (2-4 jam) dan keterlambatan (12-24 h)
pasca operasi. Dengan demikian, opioid lipofilik yang berhubungan dengan
bupivacaine atau lidokain menyebabkan pemendekan timbulnya blok dan peningkatan
analgesia intraoperatif serta selama jam pertama pasca operasi tanpa memperpanjang
blok motorik atau memperpanjang waktu untuk melepaskan membuat ini menjadi
pilihan yang baik untuk bedah rawat jalan.
Dalam tinjauan yang bagus oleh Rathmell JP dkk. pada penggunaan obat
intratekal dalam mengobati nyeri akut, dosis efektif maksimum morfin disarankan,
efek negatif yang tampaknya melampaui efek menguntungkannya; setelah dosis >300
g, mual dan gatal-gatal biasanya muncul, serta retensi urin parah, dan dalam suatu
penelitian terhadap sukarelawan yang sehat, semuanya muncul dengan depresi
pernafasan ketika dosis melebihi 600 g.
Pada meta-analisis 27 penelitian (15 tentang kardiotoraks, 9 abdomen, dan 3 operasi
spinal) pada total 645 pasien yang menerima dosis antara 100 dan 4000 mg, ini
menunjukkan bahwa di antaranya yang diberikan morfin intratekal VAS saat istirahat,
di skala 10cm, adalah 2cm lebih rendah pada 4 jam dan 1 cm lebih rendah pada 12
dan 24 jam, dan efek ini lebih jelas saat adanya gerakan, peningkatan relatif menjadi
lebih dari 2 cm selama observasi. Ini skor VAS yang lebih rendah secara signifikan
yang lebih baik daripada hasil dengan teknik analgesik lainnya seperti pemberian
ketamin IV pada dosis rendah (skor turun 0.4cm), rejimen NSAID pasca operasi (skor
turun 1cm), dan bahkan teknik infus epidural terus menerus (skor turun 1cm),
sebagaimana dinilai oleh penulis yang sama sebelumnya. Dosis opioid yang
dibutuhkan intra dan pasca operasi hingga 48 jam lebih rendah di antara mereka yang
diberikan morfin intratekal dan penggunaan morfin hingga 24 jam secara signifikan
lebih rendah pada kelompok pembedahan abdomen (-24.2mg, CI: -29,5 hingga -19)
dari kelompok operasi kardiotoraks (-9.7mg, CI: -17,6 sampai -1,80).
Manfaat yang lebih marjinal pada kelompok kedua membuat penggunaan morfin
intratekal pada operasi toraks dipertanyakan, sebagai pengurangan serupa dalam
jumlah morfin yang dibutuhkan secara intravena dapat dicapai dengan strategi lain,
31
seperti penggunaan ketamine intraoperatif (-16 mg/24 jam) atau NSAID pascaoperasi
(-10 hingga 20 mg/24 jam) dan bahkan 4 mg parasetamol IV mungkin dapat
menghindari penggunaan hingga 8 mg morfin pada hari pertama setelah operasi. Efek
samping memang lebih sering terjadi pada kelompok yang diberi morfin intratekal
dengan odds ratio 7,8, 3,8, dan 2,3 untuk depresi pernapasan, pruritus dan retensi
urin, uniknya tidak ada satu pun yang lebih tinggi dari mual atau muntah. Selanjutnya,
meta-analisis baru-baru ini telah menunjukkan bahwa penambahan clonidine pada
morfin intratekal memperpanjang waktu sebagai analgesia pertama pada pascaoperasi
selama lebih dari 75 menit dibandingkan dengan morfin saja dan juga mengurangi
jumlah morfin pascaoperasi dengan rata-rata 4,45mg (95% CI: 1,40-7,49). Namun,
dengan efek yang kecil, dan hasilnya sangat dipengaruhi oleh sebuah studi di mana
fentanil intratekal juga diberikan, penulis menyimpulkan bahwa hal ini diimbangi
dengan peningkatan frekuensi hipotensi [89].
Upaya telah dilakukan untuk menentukan dosis optimal dan obat-obatan untuk
serangkaian prosedur bedah dengan rekomendasi sebagai berikut [84-86]:
Sufentanil 5-12,5 mg, atau fentanil 10-25 mg untuk ortopedi, bedah rawat jalan dan
operasi caesar, dan fentanil 5 mg dan sufentanil 2,5-5 mg untuk nyeri pada
persalinan, sebagaimana dosis sufentanil >7,5 mg berkaitan dengan bradikardia
janin.
Morfin: 5-500 g (Diringkas dalam gambar no. 2)
Morfin intratekal dosis rendah berkaitan dengan anestesi lokal dan anestesi regional
-TURP surgery: 50 g
-Caesarean section: 100 g
-Hip replacement: 100 g
-Knee replacement: 200 g
Morfin intratekal dosis menengah berkaitan dengan anestesi umum
-Abdominal Hysterectomy (plus LA): 200 g
-Abdominal Open Colon and mayor gynaecological surgery: 300 g
-Spinal surgery: 400 g
Morfin intratekal dosis tinggi berkaitan dengan anestesi umum
-Thoracotomy surgery: 500 g
-Abdominal Aortic surgery and cardiac surgery: 7-10 g/kg
32
Gambar 2. Rekomendasi dosis morfin intratekal untuk berbagai prosedur operasi pada
dewasa [84-86]
Poin-poin penting dalam memilih dosis opioid intradural yang tepat [84-89]:
Seleksi pasien yang benar dan dosis efektif minimum untuk setiap prosedur bedah.
Jangan menggunakan morfin untuk pasien rawat jalan. Opioid liofilik seperti
12 jam
Morfin dengan dosis < 300 g memiliki risiko yang mirip dengan penggunaan
opioid parenteral
Pemantauan surveillance sangat disarankan pada saat di ruang pemulihan atau
dengan pemantauan minimum pada laju pernafasan, level oksigen (pulse oximetry,
jika dibutuhkan) dan di atas semuanya, pemantauan tingkat kesadaran selama 1224 jam setelah pemberian morfin intradural dan 4-6 jam setelah pemberian fentanil
atau sufentanil.
8. Analgesik Peri-insisional
Analgesia peri-insisional mengalami peningkatan yang besar karena kemudahan
penempatan oleh dokter bedah dan tingkat komplikasi rendah di bangsal rawat inap
(angka infeksi <0,7%, tanpa risiko toksisitas sistemik LA). Hal ini dilakukan dengan
menggunakan kateter multi-perforasi panjang yang mirip dengan luka bedah, dengan
infus LA aksi panjang tanpa vasokonstriktor, di berbagai lokasi dalam literatur, tetapi
terutama di lokasi subkutan atau subfascial. Hal ini memiliki keuntungan dalam
berbagai macam proses dengan sayatan yang panjangnya dari 7 sampai 15 cm, dengan
skor VAS rendah, baik saat istirahat dan bergerak, serta konsumsi opioid yang rendah
dan kepuasan yang lebih besar untuk pasien, tanpa mempengaruhi lama rawat inap di
rumah sakit [16]. Sebuah tinjauan sistematis, termasuk 16 RCT pasien yang menjalani
bedah ortopedi dan 15 RCT menjalani operasi kardiotoraks, menunjukkan bahwa
manajemen nyeri pasca operasi dengan kateter infus pada luka berkaitan dengan
penurunan skor nyeri saat istirahat dan aktivitas, pengurangan dosis opioid, kejadian
PONV dan peningkatan kelegaan pada nyeri [90]. Namun, meta-analisis yang lebih
baru-baru ini jauh lebih positif [91]. Sebanyak 753 studi yang sesuai dengan kriteria
pencarian dan 163 kemudian diekstraksi. Dari jumlah tersebut, 32 studi dimasukkan
dalam meta-analisis. Kateter luka tidak memberikan analgesia yang signifikan pada
33
saat istirahat atau selama aktivitas, kecuali pada pasien yang menjalani operasi
ginekologi dan obstetri pada 48 h (P = 0,03). Konsumsi morfin keseluruhan lebih
rendah (13 mg) selama 0-24 jam (P <0,001) pada pasien ini. Tidak ada perbedaan
yang signifikan dalam efek samping yang ditemukan, kecuali untuk risiko kerusakan
luka yang lebih rendah (P = 0,048) dan lama rawat inap di rumah sakit (P = 0,04) pada
pasien yang menerima LA. Beberapa penulis tidak setuju dengan hasil ini dan
menyatakan bahwa kesimpulan ini adalah karena mengesampingkan pasien ortopedi
dan pasien yang kateternya tidak benar-benar ditempatkan pada luka bedah [92].
Sebuah studi baru-baru ini telah mengevaluasi efektivitas infus kontinyu luka
preperitoneal (CWI) dari ropivacaine untuk analgesia pascaoperasi setelah operasi
kolorektal terbuka di multisenter yang dipilih secara acak terkontrol. Selama periode
72 jam setelah akhir operasi, CWI analgesia tidak kalah dengan analgesia epidural
yang kontinyu (CEA). Perbedaan rata-rata skor VAS pasien antara CEI dan CWI
adalah 1,89 (97,5% confidence interval = -0,42, 4,19) saat istirahat dan 2,76 (97,5%
confidence interval = -2,28, 7.80) setelah batuk. Titik akhir sekunder, konsumsi
morfin dan penyelamatan analgesia, tidak berbeda antara kelompok. Waktu untuk
flatus pertama adalah 3,06 0,77 hari pada kelompok CWI dan 3,61 1,41 hari pada
kelompok CEI (P = 0,002). Waktu untuk pengeluaran tinja pertama lebih pendek di
CWI daripada kelompok CEI (4,49 0,99 vs 5,29 1,62 hari; P = 0,001). Waktu ratarata untuk pulang dari rumah sakit lebih pendek pada kelompok CWI dibandingkan
kelompok CEI (7,4 0,41 dan 8,0 0,38 hari, masing-masing). Lebih banyak pasien
pada kelompok CWI melaporkan kualitas yang sangat baik dari kontrol nyeri pasca
operasi (45,3% vs 7,6%). Kualitas tidur malam lebih baik dengan analgesia CWI,
terutama pada evaluasi 72 jam pasca operasi (P = 0,009). Mual dan muntah pasca
operasi secara signifikan lebih sering dengan analgesia CWI pada 24 jam (P = 0,02),
48 jam (P = 0,01), dan 72 jam s(P = 0,007) setelah operasi [93].
Posisi kateter yang tepat sangat penting, karena tampaknya penempatan pada
preperitoneal berkaitan dengan analgesia yang lebih baik pada pasien yang menjalani
bedah kolorektal terbuka, sementara penempatan subfascial memberikan analgesia
yang baik setelah operasi caesar. Rekomendasi PROSPECT berbasis bukti termasuk
luka infiltrasi untuk herniotomi inguinal, kolesistektomi laparoskopi, histerektomi,
operasi
usus
terbuka
(infus
preperitoneal),
jumlah
arthoplasty
lutut
dan
34
Departemen
Pertahanan
dan
Universitas
Iowa
Group,
35
36
memungkinkan (Kelas D)
Rekomendasi Analgesia Sistemik Pascaoperasi:
NSAID konvensional, jika anestesi regional tidak memadai ( Kelas A)
Inhibitor COX -2-selektif, jika anestesi regional tidak memadai (kelas B)
PCA opioid kuat intravena, jika teknik analgesik regional gagal atau tidak
memungkinkan (Kelas D)
38
o Opioid lemah untuk nyeri intensitas menengah (VAS> 30 < 50 mm) atau
rendah (VAS <30 mm) pada periode akhir pasca operasi, hanya jika NSAID
konvensional / inhibitor COX-2-selektif ditambah parasetamol tidak
mencukupi atau kontra-indikasi (Kelas D)
o Parasetamol, jika analgesia regional tidak memadai, sebagai bagian dari
rejimen multianalgesic (Kelas D)
Rekomendasi untuk Histerektomi Abdominal:
o Anestesi umum, atau anestesi spinal dosis tunggal dengan atau tanpa anestesi
umum ringan pada pasien berisiko rendah (kelas D)
o Anestesi epidural dikombinasikan dengan anestesi umum ringan atau
kombinasi anestesia spinal-epidural, pada pasien berisiko tinggi (kelas A)
o Opioid kuat diberikan pada waktunya untuk mengamankan analgesia ketika
pasien bangun (Kelas A)
o Infiltrasi Luka sebelum penutupan (Kelas A)
o LAVH atau VH daripada histerektomi abdominal, hanya jika diizinkan oleh
persyaratan bedah (berdasarkan teknis kelayakan, indikasi pasien untuk
histerektomi dan faktor risiko) (Kelas A)
o Insisi Pfannenstiel, hanya jika diizinkan oleh persyaratan bedah (berdasarkan
kelayakan teknis, indikasi pasien untuk histerektomi dan faktor risiko) (kelas
o
o
o
o
o
B)
Insisi Diathermy (kelas B)
Pemanasan pasien secara aktif pada pasien berisiko tinggi (Kelas A)
Musik intraoperatif (Kelas A)
Rekomendasi Sistemik Analgesia Pascaoperasi:
COX-2 inhibitor selektif atau NSAID konvensional, dalam kombinasi dengan
opioid kuat untuk nyeri intensitas tinggi (VAS> 50mm ) atau dengan opioid
lemah untuk nyeri intensitas menengah (VAS <50> 30) atau nyeri intensitas
40
mempercepat
42
pada komplikasi pasca operasi, meskipun dapat meningkatkan kepuasan pasien secara
keseluruhan.
Memang, banyak penulis telah mempertanyakan penggunaan analgesia epidural
sebagai teknik yang menjadi pilihan pertama dalam protokol pemulihan setelah
operasi mayor. Rawal N. [103] menyebutkan bahwa analgesia epidural adalah teknik
mapan yang dianggap sebagai standar emas dalam manajemen nyeri pasca operasi.
Namun, yang lebih baru, berbasis bukti data yang menunjukkan bahwa manfaat dari
analgesia epidural tidak signifikan seperti yang diyakini sebelumnya, dan ada
beberapa manfaat dengan menurunkan kejadian komplikasi kardiovaskular dan paru,
tetapi manfaat ini mungkin terbatas pada pasien berisiko tinggi yang menjalani bedah
mayor abdomen atau bedah toraks yang menerima analgesia epidural thoraks dengan
obat anestesi lokal saja. Dalam tinjauan tersebut ditunjukkan bahwa ada peningkatan
kejadian teknik analgesik regional yang sedikit invasif sama efektifnya dengan
analgesia epidural. Hal ini meliputi blok paravertebral pada torakotomi, blok
femoralis pada total hip dan artroplasti lutut, wound chateter infusion pada persalinan
caesar dan bedah kolon, dan teknik analgesia infiltrasi lokal pada artroplasti
ekstremitas bawah. Teknik wound infiltration dan modifikasinya relatif sederhana dan
aman untuk berbagai prosedur bedah lainnya. Penulis juga berpendapat bahwa
meskipun penghilangan nyeri yang terkait dengan analgesia epidural bisa menjadi luar
biasa, harapan klinisi dari teknik invasif ini, biaya tinggi, teknik yang membutuhkan
tenaga terlatih serta jumlah indikasi untuk penggunaan analgesia epidural tampaknya
menurun untuk berbagai alasan. Kesimpulan utama adalah keputusan tentang apakah
akan terus menggunakan teknik epidural dengan dipandu oleh lembaga audit reguler
dan penilaian manfaat-risiko kehati-hatian dibandingkan dengan tradisi.
Akhirnya, pedoman praktek untuk manajemen nyeri akut pasca operasi telah
diterbitkan. Para ahli merekomendasikan kepada anestesi yang mengelola nyeri
perioperatif untuk menggunakan pilihan terapi seperti epidural atau opioid intratekal,
opioid sistemik PCA, dan teknik regional setelah serius mempertimbangkan risiko
dan manfaat bagi masing-masing pasien. Modalitas ini harus digunakan dalam
preferensi untuk opioid IM "sesuai kebutuhan". Konsultan dan anggota ASA juga
sangat setuju bahwa terapi yang dipilih harus mencerminkan keahlian ahli anestesi
secara individu serta kapasitas untuk aplikasi modaliitas dalam tiap praktik. Perhatian
43
khusus harus diambil ketika modalitas infus kontinu digunakan, karena akumulasi
obat dapat menyebabkan efek samping. [95]
12. Kesimpulan
Walaupun pekerjaan besar mengenai rasa nyeri pasca bedah sedang dilakukan, tetapi
masih banyak hal yang harus dicapai. Hal ini perlu untuk menerapkan pendekatan
multimodal dalam mengatasi rasa sakit yang mencakup penggunaan rutin teknik
regional, kombinasi analgesik seperti paracetamol, non-spesifik atau COX-2 OAINS
dan opioid dengan rute yang berbeda, membuat pilihan yang bertanggung jawab
untuk jenis pasien, manajemen operasi dan perkiraan efek samping. Peran dari obat
coadjutant dan terapi non farmakologi memang belum terlihat, dan di masa depan,
hal ini akan menjadi sangat penting untuk memiliki panduan praktis klinis
berdasarkan bukti klinis dalam setiap proses, yang mencakup rehabilitasi pascabedah.
Kita harus mendalami patofisiologi rasa sakit, hal ini secara langsung berguna dalam
penemuan obat baru dan cara kerjanya sehingga bisa mengurangi komplikasi pasca
bedah, serta pemulihan pasien yang lebih baik secara keseluruhan. Petugas kesehatan
profesional harus terlatih dalam bidang nyeri dan pekerjaan mereka harus
dikoordinasikan dalam sebuah unit nyeri akut pasca bedah, struktur yang harus stabil
dan multidisiplin, sehingga untuk sampai pada rejimen analgesik setuju dengan
departemen bedah dan perawat. Di masa mendatang, tujuannya harus juga meliputi
periode akhir pasca bedah dengan membuat unit nyeri akut dan kronik pasca bedah.
44