Anda di halaman 1dari 22

Eksisi Tumor Hipofise dengan Teknik EETH

Case Report

OLEH :

Mimin Kurniati
H1A 013 039

PEMBIMBING :

dr. Rohadi, Sp.BS

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM
RSU PROVINSI NTB
MATARAM
2019
Eksisi pada Makrodenoma Hipofise dengan Teknik EETH
Case Report
Rohadi, Mimin Kurniati
KSM Bedah Saraf, Fakultas Kedokteran Universitas Mataram
RSUD Provinsi NTB, Mataram, Indonesia

ABSTRAK
Pendahuluan. Adenoma hipofisis adalah tumor jinak yang tumbuh dari sel – sel adenohipofisis
yang mengisi ruang sella dan suprasella. Tumor disebut fungsional bila menyebabkan
peningkatan produksi hormon hipofisis anterior, dan disebut nonfungsional bila tidak terjadi
peningkatan hormon hipofisis anterior atau bahkan terjadi penurunan produksi. Wanita
didiagnosa tumor hipofisis lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Pengobatan tumor
hipofisis tergantung pada aktivitas hormonal tumor, ukuran dan lokasi tumor, serta usia dan
kondisi umum dari penderita.
Kasus. Seorang pasien perempuan usia 33 tahun berasal dari Jonggat Lombok Tengah, datang ke
Poliklinik Bedah Saraf RSUP NTB dengan keluhan nyeri kepala yang semakin memberat,
penglihatan mata sebelah kanan gelap. Pada pemeriksaan fisik di dapatkan penciuman hidung
sebelah kanan berkurang dan sering tersumbat, visus mata kanan (-),Pada hasil pemeriksaan CT
Scan kepala di dapatkan masa hipofise / adenoma hipofise yang homogen dengan densitas tinggi
ukuran ± 2,8 cm x 2,6 cm, tepi berbatas tegas, nasofaring tampak normal dan tulang – tulang
intak. Selanjutnya pasien direncanakan untuk pemeriksaan MRI untuk tindakan yang lebih
lanjut. Tatalaksana yang di berikan pada pasien ini adalah eksisi tumor dengan teknik EETH
(Endoscopy Endonasal Transpheinoidal Hipofisektomi).

Diskusi. Tindakan operatif pada adenoma hipofise bertujuan untuk menghilangkan tumor,
mengurangi atau mengontrol ukuran tumor, dan / atau untuk mengatur keseimbangan kadar
hormon, mengembalikan volume intracranial pasien agar kembali ke normal setelah tindakan
operatif. Pada pasien ini telah dilakukan tindakan operatif yaitu EETH (Endoscopy Endonasal
Transpheinoidal Hipofisektomi)

Kata Kunci : Adenoma Hipofise, EETH (Endoscopy Endonasal Transpheinoidal Hipofisektomi)


Pendahuluan

Case Report
Seorang pasien perempuan usia 33 tahun berasal dari Jonggat, Lombok Tengah, datang
ke poliklinik RSUP NTB dengan keluhan penglihatan mata sebelah kanan gelap, dan di sertai
nyeri kepala yang semakin memberat. Pada pemeriksaan fisik di dapatkan penciuman hidung
sebelah kanan berkurang dan sering tersumbat, visus mata kanan (-). Pasien menyangkal
mengalami mual muntah sebelumnya, kejang disangkal, riwayat penggunaan KB suntik
(Keluarga Berencana) 3 bulan ± 16 tahun yang lalu . Pasien juga sebelumnya 6 bulan yang lalu
pernah berobat ke dokter THT dengan keluhan hidung sebelah kanan sering terumbat namun
gejalanya membaik. Selain itu pasien juga pernah berobat ke dokter mata dengan gejala mata
perih, berair dan sulit fokus namun gejalanya tidak membaik dan semakin kabur hingga
penglihatan mata kanan menjadi gelap dalam 2 bulan terakhir ini sehingga di anjurkan untuk
melakukan CT Scan kepala, setelah keluar hasil CT Scan kepala kemudian pasien disarankan ke
poli bedah saraf untuk ditangani lebih lanjut. Dari bagian bedah saraf, pasien di lakukan
pemeriksaan MRI untuk mendeteksi jaringan lunak lebih rinci.
Pemeriksaan fisik didapatkan hasil keadaan umum sedang, kesadaran compos mentis
dengan Glasgow Coma Scale (GCS) E4V5M6. Tanda vital dalam batas normal, yaitu nadi 88
kali permenit, frekuensi pernapasan 22 kali permenit, dan suhu aksila 37,2ºC. Pada pemeriksaan
fisik di dapatkan penciuman hidung sebelah kanan berkurang dan sering tersumbat, visus mata
kanan (-).
Pada hasil pemeriksaan CT Scan kepala di dapatkan masa hipofise / adenoma hipofise
yang homogen dengan densitas tinggi ukuran ± 2,8 cm x 2,6 cm, tepi berbatas tegas, nasofaring
tampak normal dan tulang – tulang intak. Selanjutnya pasien direncanakan untuk pemeriksaan
MRI untuk tindakan yang lebih lanjut.
Pada hasil pemeriksaan MRI kepala di dapatkan lesi ektraaxial dan suprasellar ukuran ±
2.6x2.4x2.8 cm dengan karakteristik sinyal hipointense the white and grey matter pada T1W1,
isointense pada T2W1 dan FLAIR, non restricted on DW1 dengan localling mass erect pada
chiasma opticum, dan ACA serta cavernous sinus.temuan lesi diatas, kesan suatu pituitary
macroadenoma. Ditemukan juga sinusitis sphenoidalis dextra, maxilaris bilateral, frontalis
sinistra, dan ethmoidalis bilateral. Tatalaksana yang di berikan pada pasien ini adalah eksisi
tumor dengan teknik EETH (Endoscopy Endonasal Transpheinoidal Hipofisektomi).

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa
pasien mengalami tumor Hipofise. Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini adalah tindakan
operatif yaitu eksisi tumor. Pada pasien dipilih tatalaksana operatif berupa EETH dan setelah itu
tumor dibebaskan untuk menghilangkan tekanan tumor pada daerah sekitarnya.
Hasil penemuan saat operasi dengan teknik EETH adalah Makroadenoma hipofise dan
dilanjutkan dengan eksisi tumor hipofise. Berikut beberapa penemuan saat tindakan pembedahan
pada pasien adenoma hipofise:

A. Tampak tumor hipofise B. Eksisi tumor hipofise

Pemeriksaan klinis pasien setelah operasi menunjukkan keadaan umum baik, dengan
GCS E4V5M6. Pemeriksaan pada pasien 2 minggu pasca operasi, menunjukkan keadaan umum
baik, pupil isokor, visus OD light projection (+) dan OS (6/60), dan perbaikan perkembangan
pasien pasca operasi adalah kesadaran pasien sudah mulai pulih secara bertahap, penglihatan
mata sebelah kanan yang awalnya light proyeksi (-) namun setelah operasi light proyeksi (+) dan
penciuman masih baik namun hidung sebelah kanan masih sering tersumbat. Pada pasien
direncanakan pemeriksaan CT Scan kepala evaluasi pasca operasi untuk mengetahui perubahan
pada hasil CT Scan kepalanya, berikut hasil CT Scan evaluasi pasca operasi pengangkatan
tumor:
Pada hasil pemeriksaan CT Scan kepala evaluasi tak tampak massa / kelainan
intracranial, tak tampak SOL, dan system willis bilateral.

Diskusi
Tumor intrakranial terdiri dari tumor supratentorial dan infratentorial dimana
pembatasnya adalah tentorium. Yang termasuk ke dalam supratentorial adalah hemisfer otak kiri
dan kanan, ventrikel lateral dan ventrikel tiga. Salah satu jenis tumor supratentorial adalah
adenoma pituitary. 1,3
Adenoma hipofisis adalah pertumbuhan yang abnormal atau tumor pada kelenjar
hipofisis. Kelenjar hipofisis merupakan bagian basal dari diensefalon di bawah hipotalamus dan
terletak pada sela tursika tulang baji pada dasar tulang tengkorak. Disebut sebagai master gland,
yang berperan mengatur hormon pertumbuhan dan beberapa hormon penting lainnya.
Kebanyakan adenoma hipofisis bersifat benign dan tidak menyebar ke organ lain. Adenoma
hipofisis dapat menyebabkan gangguan dan ketidak seimbangan dari metabolisme hormon.1,3
Prevalensi antara wanita dan pria tidak berbeda, akan tetapi sebagian besar tumor
hipofisis ditemukan pada orang dewasa, namun sekitar 10 % dapat ditemukan pada usia anak
maupun remaja. Sementara itu kepustakaan lain menuliskan bahwa tumor hipofisis dapat
ditemukan pada semua umur, namun insidennya meningkat dengan semakin meningkatnya usia,
dan puncaknya antara dekade ketiga dan kelima. Hal ini sesuai dengan usia pasien yang berada
pada decade ketiga dengan usianya 33 tahun. Dengan teknik yang spesifik didapatkan prevalensi
mikroadenoma sekitar 20%, setidaknya 1/3 dari tumor tersebut secara klinis penting karena
menghasilkan satu atau lebih hormon hipofisis anterior; makroadenoma ditemukan pada 1/555
penduduk berusia diatas dekade keempat. Penyakit adenoma hipofisis ini bukan tergolong
penyakit herediter, kecuali pada beberapa kasus jarang dengan adenomatosis multiple endokrin,
autosomal dominant trait, dan penyakit tumor pada organ kelenjar lainnya, kondisi ini akan
meningkatkan prevalensi terjadinya adenoma hipofisis.1,2,6
Gangguan pada hipofisis dapat memiliki gambaran klinis yang bervariasi. Tergantung
dari jenis, besar, dan progresifitas tumor. Adenoma hipofisis seringkali menunjukkan gangguan
yang disebabkan oleh hipofungsi atau hiperfungsi dari hormon yang dihasilkan oleh hipofisis
anterior sebagai regulator diantaranya; adrenocorticotropic hormone, growth hormone,
luteinizing hormone, prolactin, follicle-stimulating hormone, thyroid-stimulating hormone,
antidiuretic hormone, melanocyte-stimulating hormone, oxytocin. Hal ini sesuai dengan hasil
pemeriksaan laboratorium yang dilakukan oleh pasien karena terdapat peningkatan hormone
prolactin mencapai angka 62,1 ng/mL. 4,6,7

Diagnosa pada adenoma hipofisis seringkali terlambat karena kurangnya kewaspadaan,


serta gejala dan tanda klinis yang minimal. Dalam dua dekade terakhir, terjadi peningkatan
insiden yang disebabkan kemajuan pada sarana diagnosis, seperti computed tomography (CT),
magnetic resonance imaging (MRI), dan berbagai macam teknik radioimmunoassay baru untuk
pemeriksaan hormon. Korelasi antara temuan klinis, anatomis dan hormonal, review gambaran
radiologi (terutama MRI) sangatlah akurat digunakan dalam membuat diagnosis adenoma
hipofisis. Hal ini sesuai dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh pasien tersebut dengan hasil
CT dan mri menunjukkan adanya massa atau kelainan pada hipofise dengan ukuran ± 2,8x 2,6
cm. 4,8,9
Pengobatan tumor hipofisis tergantung pada aktivitas hormonal tumor, ukuran dan lokasi
tumor, serta usia dan kesehatan keseluruhan dari penderita. Tujuan pengobatan untuk
menghilangkan tumor, untuk mengurangi atau mengontrol ukuran tumor, dan / atau untuk
mengatur keseimbangan kadar hormone.1 Pengobatan medikamentosa seperti: Agonis dopamin,
seperti bromocriptine atau cabergoline digunakan untuk mengontrol produksi prolaktin. Obat ini
dapat mengurangi ukuran tumor, dan normalisasi jumlah prolaktin.1Analog somatostatin seperti
octreotide (Sandostatin atau Sandostatin LAR, atau Lanreotide) dapat mengurangi kadar Growth
hormon. Obat ini juga dapat digunakan untuk mengontrol produksi thyroid stimulating hormone
pada tumor thyrotropic.1 Ketoconazole (Nizoral) digunakan untuk mengobati tumor sekresi
ACTH yang menimbulkan penyakit Cushing.
Adapun pemberian kortikosteroid (Deksamethason ) akan memberikan efek anti edema,
lebih bermakna pada tumor otak metastase dibandingkan dengan tumor otak primer seperti
adenoma hipofise, meningioma dan lainnya. Pada deksamethason , aktivitas mineralokortikoid
minimal, risiko untuk terjadinya infeksi sangat rendah, dan penurunan fungsi kognitif sangat
kecil. Berikut mekanisme kerja dari deksamethason:10 Menurunkan permeabilitas kapiler tumor,
Berdifusi melalui membran plasma dan selanjutnya berikatan dengan reseptor sitoplasmik yang
menyebabkan komplek steroid-reseptor bergerak ke nukleus sehingga berefek langsung terhadap
gen transkripsi dan faktor transkripsi lain, Bekerja pada tight junction (TJ) dengan menyebabkan
deforforilasi okludin dan komponen TJ lain.10
Dosis pemberian dexamethason pada pasien yang belum mendapat steroid sebelumnya:
Dewasa (10 mg loading intravena, diikuti dosis rumatan 6 mg peroral atau intravena tiap 6 jam;
pada kasus dengan edema vasogenik yang berat maka dosis dapat ditingkatkan sampai 10 mg
tiap 4 jam.) Anak (0,5 - 1 mg/kg loading intravena, dilanjutkan dosis rumatan 0,25 – 0,5
mg/kg/hari (peroral/intravena) dalam dosis terbagi tiap 6 jam, hindari pemberian jangka panjang
karena efek menghambat pertumbuhan). Selanjutnya pada pasien dengan terapi kortikosteroid
sebelumnya : Pada kondisi penurunan kesadaran akut, maka perlu dicoba diberikan dosis dua
kali lipat dari dosis yang biasa diberikan. Berikut obat kortikosteroid yang dapat digunakan:10

Kortikosteroid yang dapat digunakan dengan equivalen dosis sebagai berikut :

Nama obat Glucocorticoid Biologic Half Relative Mineralo


Approximate Equivalent corticoid Activity
Dose
Cortisone 25 mg 8-12 ++
Hydrocortisone 20 mg 8-12 ++
Prednisolone 5 mg 18-36 +
Prednisone 5 mg 18-36 +
Methylprednisolone 4 mg 18-36 0

Potensi
Nama obat Dosis Equivalent Cara Pemberian Dosis
Mineralocorticoid
2/3 Pagi
Cortisone 25 PO, IM 2
1/3 malam
2/3 pagi
Hydrocortisone 20 PO, IV, IM 2
1/3 malam
Terbagi
Prednisone 5 PO 1
2-3 kali perhari
Methylprednisolone 4 PO, IV, IM Terbagi 2x 1
Terbagi 2x
Dexamethasone 0,75 PO, IV 0
Atau 4x perhari

Pemberian profilasis anti kejang pada Pasien dengan riwayat kejang yang berhubungan
dengan tumor otak, direkomendasikan pemberian obat anti kejang; Pasien tumor otak tanpa
riwayat kejang dan tidak ada riwayat pembedahan, tidak direkomendasikan pemberian
profilaksis anti; Pasien tumor otak tanpa riwayat kejang dan dilakukan pembedahan,
direkomendasikan pemberian profilaksis anti kejang. Pemberian anti ulcer berupa H2 Blocker
maupun PPI dan simtomatik anti nyeri kepala bila diperlukan.
Teknik operasi EETH merupakan tindakan operasi melalui sinus sphenoid dan
merupakan teknik operasi yang paling umum dikerjakan untuk tumor hipofisis. Selama operasi
instrument ini, mikroskop dan endoskopi digunakan untuk mengangkat tumor dari dalam hidung
(endonasal).1 Prosedur Operasi Tran-sphenoidal Dokter bedah menggunakan instrument mikro
yang sangat kecil yang dirancang khusus untuk operasi khusus ini dan sinar fibre optik untuk
menerangi anatomi internal. Selain itu, mikroskop memperbesar area bedah 12 kali ukuran
aslinya. Dokter bedah kemudian menuntun instrumen ke dalam rongga hidung dan tulang
sphenoid dibuka. Setelah melalui sinus sphenoid, dinding sela tursika dibuka untuk mengekspos
kelenjar pituitari. Tumor dapat dibedakan dari jaringan kelenjar hipofisis normal dan jaringan
tumor diangkat menyisakan kelenjar normal. Hal ini sesuai dengan tindakan yang dilakukan pada
pasien tumor hipofise tersebut4,5
Berikut tujuan dari pengobatan pasien dengan tumor hipofisis tergantung pada apakah
pasien mempunyai gejala gangguan endokrin atau masalah yang berkaitan dengan kompresi
struktur saraf yang berdekatan. Metode pengobatan yang digunakan adalah: (1) Prosedur
operatif: eksisi trans-sphenoidal dan eksisi transkranial; (2) Radioterapi dan (3) Pengobatan
medis dengan obat antisecretori.4,6,7

Eksisi bedah merupakan metode utama pengobatan untuk: tumor besar yang
menyebabkan kompresi struktur saraf yang berdekatan, terutama jalur visual; Tumor pensekresi
GH yang menyebabkan acromegaly; Tumor pensekresi ACTH yang menyebabkan penyakit
Cushing; pengobatan okasional adenoma pensekresiprolaktin, baik mikroadenoma atau
makroadenoma yang terletak dalam sella, ketika pengobatan medis menggunakan bromocriptine
tidak dapat ditolerir.4,6,7

Sebelum melakukan pembedahan berikut persiapan operasi yang dilakukan: Pemberian


stress dose steroid: diberikan pada semua pasien selama dan segera setelah pembedahan;
Hipotiroidisme: idealnya, pasien dengan hipotiroid seharusnya mempunyai waktu 4 minggu
untuk terapi pengganti guna membalikkan hipotiroidisme, namun: Jangan mengganti hormon
tiroid sampai aksis adrenal dapat diperkirakan. Pemberian pengganti tiroid pada pasien dengan
hipoadrenalisme dapat memicu terjadinya krisis adrenal. Jika pasien hipoadrenal, mulai dengan
pengganti kortisol dulu, pengganti tiroid dapat dimulaidalam 24 jam setelah kortisol;
Pembedahan dikerjakan cukup sering pada pasien dengan hipotiroidisme dan nampaknya
ditoleransi dengan baik pada kebanyakan kasus.4,6,7

Beberapa tindakan Pendekatan pembedahan pada tumor hipofise:4,6,7

1. Transsphenoidal : approach ekstra arachnoid, membutuhkan tidak adanya retraksi otak, tidak
ada skar eksternal. Diindikasikan untuk mikroadenoma, makrodenoma tanpa ekstensi
signifikan ke lateral di atas batas sella tursika, pasien denga rinorea CSF, dan tumor dengan
ekstensi ke sinus sphenoid.
a. Sublabial
b. Trans-nares : alotomy dapat digunakan untuk memperlebar paparan melalui nares jika
diperlukan.
2. Transeithmoidal
3. Transcranial
a. Indikasi : Kebanyakan tumor hipofisis dioperasi dengan teknik transsphenoidal,
walaupun jika ada ekstensi suprasellar yang signifikan. Namun, craniotomy dapat
diindikasikan untuk:
1. Pembesaran minimal dari sella dengan massa supraselar besar, khususnya jika
diafragma sella mendesak tumor dengan kuat (menghasilkan “cottage loaf” tumor)
dan komponen supaselarmenyebabkan kompresi chiasma.
2. Ekstensi ekstra sellar pada fossa media yang lebih besar dari komponen intrasellar.
3. Patologi yang tidak berhubungan dapat menyebabkan komplikasi pendekatan
transsphenoidal. Misalnya aneurysma parasellar.
4. Tumor fibrosa yang tidak umum yang tidak dapat diambil dengan sempurna pada
pendekatan transsphenoidal sebelumnya
5. Tumor rekuren setelah dilakukan reseksi transsphenoidal sebelumnya
b. Pilihan approach
1. Subfrontal : memungkinkan akses pada kedua nervus opticus. Dapat lebih sulit pada
pasien dengan chiasma prefixed.
2. Frontotemporal (pterional) : menempatkan nervus opticus dan terkadang arteri karotis
pada garis pandang tumor. Juga terdapat akses inkomplit pada konten trasellar. Akses
yang baik dari tumor dengan ekstensi ekstrasellar lateral signifikan.
3. Subtemporal: biasanya bukan merupakan pilihan yang viable. Visualisasi yang buruk
terhadap nervus opticus/chiasma da karotis. Tidak memungkinkan pengangkatan total
dari komponen intrasellar.

Variasi dari pendekatan mikroskopik transphenoidal adalah standar pendekatan sublabial


submucosal transeptal, pendekatan transnasal septal displacement/septal pushover, dan direct
transnasal sphenoidotomy.

Pertimbangan sebelum operasi yang direncanakan pada pendekatan mikroskopik


transsphenoidal meliputi karakteristik anatomi dan patologi yang dapat mempengaruhi pilihan
koridor pembedahan dan pertimbangan lebih umum yang dapat diterapkan untuk semua
pendekatan transsfenoidal. Factor anatomi yang penting meliputi usia pasien, ukuran hidung,
nostril (lubang idung), deviasi septum, pendorongan septum lateral atau perforasi,riwayat operasi
septum, penyakit yang berhubungan dengan sinus dan pendekatan pada sublabial, gigi palsu,
penambalan gigi, operasi akar kanal gigi seri depan. Pemanjangan sinus cavernosus paasellar
lateral yang signifikan atau aspek dari pemanjangan tumor suprasellar dapat mempengaruhi
lubang hidung yang akan digunakan sebagai paparan pertama. Dalam kedaan seperti itu,
modifikasi yang mungkin tepat pada pendekatan trenssphenoidal seperti lintasan “cross-court”
dari satu lubang hidung kearah yang berlawanan sinus kavernosus. Berikut beberapa fase teknik
pembedahan pada adenoma hipofise antara lain:
a. Fase Nasal

Bagian awal operasi ini terdiri dari manuver bedah yang diperlukan untuk membuat
koridor sinus sphenoid. Rongga hidung dapat dimasukkan secara langsung (transnasal) atau
melalui pendekatan sublabial. Dengan salah satu dari pendekatan ini, pendekatan transseptal
submukosa dapat digunakan untuk memasuki sphenoid. Di sini akan dibahas mengenai
pendekatan transnasal yang langsung ke sphenoid, perpindahan septum transnasal ("pushover
septum"), dan sphenoidotomi langsung.

Transnasal Submucosal Transseptal

Pendekatan ini membutuhkan diseksi submukosa yang cukup besar, keuntungan


utamanya adalah mobilisasi septum yang luas, koridor bedah yang luas, bidang yang lebih steril,
dan pemeliharaan garis tengah yang ketat. Komplikasi sinonasal dan ketidaknyamanan pasca
operasi yang terkait dengan pendekatan transseptal submukosa dan perbaikan yang lebih baik
pada pendekatan pendekatan ke sphenoid telah mengurangi popularitas pendekatan transseptal
submukosa. Nasal packing biasanya diperlukan untuk mencegah hematoma submukosa, dan
dapat menyebabkan sakit wajah dan sakit kepala pada sebanyak 35% pasien. Prosedur-prosedur
ini dapat menyebabkan keluhan rinologis, termasuk mati rasa alveolar, anosmia, kelainan bentuk
hidung pelana, dan perforasi septum hidung.

Untuk mengurangi perdarahan selama diseksi submukosa, kami menyuntikkan 10 hingga


20 cc Xylocaine 0,5% dengan 1: 200.000 epinefrin di sepanjang aspek inferior dan lateral septum
hidung dengan upaya untuk membedah mukosa hidung menjauh dari septum kartilago dengan
injeksi. Pendekatan transseptal dimulai dengan sayatan hemitransfeksi sisi kanan pada lubang
hidung kanan dengan columella ditarik ke kiri pasien, memfasilitasi diseksi terowongan mukosa
hidung kanan anterior menjauh dari septum. Septum tulang rawan didiseksi tajam, dan satu sisi
septum terpapar submukosa dengan kombinasi diseksi tajam dan tumpul, sehingga menciptakan
terowongan anterior. Diseksi terus ke posterior, mengangkat mukosa hidung menjauh dari
septum kartilaginosa kembali ke persimpangan dengan septum tipis. Insisi septum vertikal
kemudian dibuat di persimpangan ini, dan terowongan submukosa posterior bilateral dibuat di
kedua sisi pelat tegak lurus dengan ethmoid. Artikulasio septum kartilaginosa dengan rahang atas
kemudian dibedah bebas, dan terowongan mukosa inferior di sisi yang berlawanan dinaikkan
sehingga septum kartilaginosa dapat dipindahkan secara lateral tanpa menimbulkan robekan
mukosa inferior. Spekulum hidung dapat dimasukkan untuk mengangkat pelat yang tegak lurus
dnegan ethmoid, dan memperlihatkan sinus sphenoid.

Transseptal Submabosal Sublabial

Pendekatan ini, digunakan oleh Cushing dan diumumkan secara resmi oleh Dott, Hardy,
dan Guiot, memiliki keunggulan utama yaitu koridor bedah lebar dan lintasan garis tengah yang
lurus; kerugiannyaadalah anatomi bedah yang kompleks dan sering tidak dikenal serta potensi
komplikasi dari mati rasa bibir dan gigi bagian atas.

Pendekatan sublabial dimulai dengan insisi transversal gingiva transversal gingiva


transversal dari canine ke canine dan diseksi dari wajah maksila dan tulang belakang anterior
sampai aspek inferior dari aperture. Dari batas lateral secara medial, dua terowongan hidung
inferior dibuat dengan memisahkan mukosa dari permukaan superior palatum keras. Ujung
kaudal septum hidung terpapar menggunakan diseksi tajam, dan terowongan anterior kanan
dibuat di sepanjang sisi kanan septum hidung. Dengan diseksi tajam, terowongan anterior
endonasal submukosa dan terowongan inferior kanan terhubung, dan seluruh sisi kanan septum
hidung terkena kembali ke pelat tegak lurus dari ethmoid tersebut. Menggunakan diseksi tegas
dan tumpul di sepanjang sisi kanan dasar septum hidung, bagian kartilaginosa dari septum
dislokasi di persimpangan dengan pelat tegak lurus ethmoid dan vomer dan dipantulkan ke kiri,
dengan mukosa hidung kanan tidak terganggu. , dan terowongan mukosa posterior kiri
dikembangkan di sepanjang sisi kiri septum tulang. Pada titik ini harus dimungkinkan untuk
memasukkan retractor transsphenoidal, dengan hati-hati menempatkan semua air mata di mukosa
hidung lateral ke bilah retractor. Turbinat akan mengompres saat retractor dibuka. Setelah
retractor berada di tempatnya, diseksi dilakukan hingga rostrum sphenoid, dan retractor
diposisikan ulang.

Pendekatan alternatif memungkinkan ahli bedah untuk melakukan diseksi submukosa


melalui sayatan hemitransfeksi endonasal dengan paparan luas yang diberikan oleh pendekatan
sublabial. Dalam modifikasi ini, diseksi submukosa dapat dilakukan pertama secara endonasal,
diikuti oleh sayatan sublabial, memasuki rongga hidung yang sudah dibedah.

Pemindahan Septal (“Septal Push Over”)

Perpindahan septal transnasal atau teknik pushover septum telah menggantikan


pendekatan transseptal submukosa atau transnasal hampir seluruhnya. Pendekatan ini pada
awalnya diadopsi untuk pasien yang menjalani operasi transsfenoidal berulang di mana mukosa
hidung sering padat dan parut pada septum tulang rawan. Namun, pendekatan ini memberikan
paparan cepat spostoid rostrum pada prosedur transsfenoidal pertama kali, dan di antara
kelebihannya adalah pengurangan komplikasi septum.

Dalam teknik pendorong septum, sayatan vertikal dibuat di sepanjang perbatasan septum
kartilaginosa dan lempeng tegak lurus dengan ethmoid. Diseksi submukosa, di sepanjang
persimpangan septum kartilaginosa dan ridge nasal, memungkinkan septum kartilaginosa untuk
dimobilisasi secara lateral. Diseksi submukosa kemudian dilakukan secara kaudal di kedua sisi
septum tulang menuju roster sphenoid, dan kemudian retraktor transsfenoidal dapat ditempatkan
dengan rostrum sphenoid di garis tengah. Pada akhir operasi, septum kartilaginosa direposisi di
garis tengah, dan tidak ada upaya yang perlu dilakukan untuk menutup sayatan mukosa.
Pushover septum endonasal adalah pendekatan pilihan dalam bedah transsfenoidal mikroskopis;
pendekatan ini berlangsung cepat, sangat mengurangi risiko komplikasi septum, dan mengurangi
rasa tidak nyaman pada hidung.

Sphenoidotomi Langsung

Pilihan lain yang mencapai sphenoid bahkan lebih langsung adalah sphenoidotomy
langsung. Dalam pendekatan ini, sayatan adalah dibuat tepat di persimpangan septum hidung
tulang dan sphenoid rostrum, dan bagian posterior septum saja anterior ke sinus sphenoid
dibelokkan ke lateral, memperlihatkan wajah sfenoid. Pendekatannya mirip dengan septal
pushover dengan sayatan yang ditempatkan lebih posterior, dengan kelebihan dan kekurangan
petugas yang serupa.

Sayatan mukosa dibuat di persimpangan septum hidung dan rostrum sphenoid. Untuk
menyediakan ruang kerja, konka tengah outfractured, dan septum yang tertutupi mukosa di ubah
ke lateral oleh tangkai dari spekulum hidung. Flap mukosa meninggi di atas sphenoid rostrum
dan ostia sphenoid diidentifikasi secara bilateral. Vomer dan lapisan tegak lurus dari ethmoid
tidak terpapar secara luas, sehingga sering tidak tersedia tulang untuk merekonstruksi permukaan
sellar.

b. Fase sphenoid

Setelah mencapai permukaan anterior sinus sphenoid dari salah satu rute yang dijelaskan,
panduan gambar fluoroskopi C-arm digunakan untuk memastikan lintasan awal dan garis tengah.
Bagian dari area tulang septum nasi harus direseksi dengan forsep Koffler-Lillie atau Ferris-
Smith Punch. Tulang rawan atau tulang yang di reseksi bisa disimpan untuk kemungkinan
penggunaan selama penutupan. Hal ini dilakukan, pada medan pembedahan yang terdiri dari
vomer dan permukaan sfenoid sentral, dengan ostia sfenoid di kedua sisi. Fraktur pada sinus
sphenoid biasanya terjadi karena pegangan vomer dengan forsep atau alat pelubang, atau dengan
atau bor jika perlu. Mukosa pada sinus bisa direseksi dengan mangkok forsep untuk mengurangi
perdarahan dan risiko mucocele pasca operasi. Penyebaran yang luas dari spekulum harus
dihindari karena dapat menyebabkan fraktur pada Maxila, sfenoid, atau foramen optik dan dapat
menyebabkan mati rasa daerah wajah yang permanen pada distribusi pertama dan kedua pada
saraf Vth, atau kerusakan pada saluran lakrimal.

Begitu berada di sinus, sangat penting untuk menilai pembagian dari sinus sphenoid dan
korelasi dari temuan intraoperatif dengan pencitraan pra operasi. Prosedur operasi dalam sinus
sphenoid dimulai dengan membuang septasi sphenoid; penting untuk dicatat bahwa pemisahan
tidak jarang mengarah ke satu atau lebih dari kanal karotis. Paparan sphenoid kemudian
dilebarkan dengan alat pelubang Kerrison. Paparan yang luas, seperti yang dilakukan dengan
pendekatan endoskopi, memvisualisasikan kanal karotid, clivus, dinding opticocarotid bila
memungkinkan, dan sangat ideal pada planum sphenoidale. .

Sebelum membuka sella, dipastikan lagi untuk lintasan dan orientasi garis tengah. Setelah
dilakukan, sella kemudian dibuka, Fraktur pada permukaan tipis menggunakan pahat atau, dalam
kasus di mana permukaan sellar sangat tipis, pengait saraf yang tumpul. Pembukaan diperluas
dengan alat pelubang Kerrison 1- dan 2-mm untuk mengekspos luas dura. Dalam kebanyakan
kasus, seluruh permukaan sellar dihilangkan, dan paparan lateral dilakukan dengan hati-hati
sampai dapat mengekspos tepi sinus kavernosa. Penekanan digunakan pada paparan superior
karena dura melekat di area tuberculum sella, dan mungkin ada divertikulum arachnoid di
belakang dura pada tepi atas sella. Mikroskop disesuaikan dengan jarak yang obyektif dari 350
hingga 375 mm sehingga sella menempati keseluruhan bidang pandang dan juga memungkinkan
lewatnya instrumen dengan mudah antara mikroskop dan sella. Dura dievaluasi secara kasar
untuk kemungkinan invasi oleh tumor, untuk memperlihatkan sebagian pembuluh darah, dan
untuk saluran vena yang mungkin terjadi pada dura, terutama sinus sirkuler yang superior dan
inferior. Bila perlu, dura dapat dibakar menggunakan kauterisasi monopolar atau bipolar.

c. Fase Sellar

Anatomi yang perlu diingat perhatikan sebelum membuka dura adalah sinus kavernosa
dan arteri karotis lateral,sinus antar sel di tuberculum superior dan permukaan sella inferior, dan
vena sinus, yang dapat menjalar di antara kedua tangkai dura sellar. Pembedahan dimulai dengan
pembekuan dan pembukaan dura.Aspirasi jarum halus mungkin dapat di pertimbangkan jika
terjadi lesi berupa aneurisma atau sella kosong. dura kemudian dibuka dengan mata pisau yang
sesuai. Biasanya dilakukan tindakan eksisi dura persegi panjang untuk tumor besar
(macroadenoma)dan melakukan sayatan sayatan untuk tumor kecil agar tidak mengenai dura.
Spesimen dura dapat dikirim ke patologi anatomi untuk evaluasi invasi dura secara
mikroskopis.Penggunaan bayonet mikro-Doppler Probe untuk memastikan Lokasi karotis
masing-masing yang sangat membantu jika studi pra operasi menyarankan arteri karotis medial.
Pembukaan dural diperluas secara hati-hati, untuk menghindari cedera pada karotid dan
selanjutnya masuk ke sinus kavernosa lateral. Setelah dura terbuka, langkah awal adalah
membentuk bidang subdural secara hati - hati menggunakan pengait tumpul atau kuret kecil.
kemudian dapat mengidentifikasi dan menghilangkan lesi menggunakan teknik ekstrakapsular
atau dengan bekerja di dalam lesi dan dengan tidak mengenai dari struktur di sekitarnya.
Sebagian dari macroadenoma dihilangkan secara berurutan. selanjutnya Dokter bedah
mengangkat bagian inferior dan lateral dari tumor terlebih dahulu, sehingga membiarkan
ekstensi suprasellar untuk mejauh dari medan operasi. Palpasi pada lateral sella harus dilakukan
dengan kuret tumpul untuk meminimalkan cedera pada arteri karotis dan saraf kranial. Reseksi
sentral dan superior terlebih dahulu dapat memberikan gambaran diafragma sella ,
menyembunyikan sisa tumor dan meningkatkan risiko kebocoran CSF. Tumor suprasellar dapat
di lepaskan melalui injeksi udara melalui drain lumbar dengan menggunakan manuver Valsava
atau dengan kompresi vena jugularis bilateral. Selama fase ini, evaluasi dilakukan secara hati-
hati untuk kemungkinan terjadinya kebocoran cairan serebrospinal, adanya darah hitam pekat
"String" di dalam sella dapat menunjukkan terjadinya kebocoran cairan serebrospinal. Segala
upaya harus dilakukan untuk melindungi dan menjaga kelenjar pituitari anterior dan posterior
agar tetap normal, dan visualisasi yang baik dan homeostasis sangat penting untuk
memungkinkan ini tetap terjadi. Hemostasis dicapai dengan hati-hati di area sellar, dengan
menggunakan kauter bipolar untuk tepi dural, melapiskan dengan Gelfoam untuk sinus
kavernosa, dan kauterisasi bipolar untuk pembuluh darah yang dimakan oleh tumor. Bone wax
bekerja sebagai mikropati yang digunakan untuk pendarahan pada tepi sphenoid, clivus, dan
sella. Kadang-kadang, agen hemostatik yang dioleskan seperti Floseal (Baxter, Deerfield, Ill.) -
gelatin yang saling terkait dan campuran thrombin adalah metode tambahan yang berguna.

Kebanyakan tumor dapat dipotong melalui pendekatan transsphenoidal ke fossa hipofisis.


Perkembangan mikroskop bedah dan radiografi fluoroscopic telah membuat ini menjadi prosedur
yang aman. Sinus sphenoid biasanya dimasuki dengan menggunakan pendekatan trans-septal
unilateral, dengan sayatan baik di mukosa hidung atau sublabial. Mukosa ini tercermin dari
septum dan lantai hidung dan sphenoid terbuka. Dinding anterior sella akan diambil dan
hipofisis fossa dimasuki. Mikroadenoma (tumor kurang dari 10 mm diameter) mungkin terlihat
pada permukaan kelenjar atau dapat menjadi jelas hanya jika kelenjar diinsisi. Tumor ini dapat
dieksisi dengan komplit, mempertahankan fungsi hipofisis. Ekstensi suprasela tumor ke dalam
fossa hipofisis dengan sedikit meningkatkan tekanan intrakranial menggunakan manuver
Valsava atau oleh dokter anestesi dengan menyuntikkan sedikit demi sedikit campuran nitrous
oxide dan oksigen ke dalam teka lumbal sampai tekanan intrakranial memaksa tumor suprasela
ke dalam bidang operasi. Hal ini juga akan mendapatkan manfaat tambahan bahwa gas
intrakranial akan memungkinkan pneumoencephalogram, menguraikan sisa perpanjangan
suprasela dari tumor.1,4
Operasi transcranial kadang-kadang diperlukan, terutama di mana ada ekstensi subfrontal atau
retroclival tumor.

Manajemen pasca operasi membutuhkan perhatian yang cermat terhadap keseimbangan


cairan dan status hormonal. Defisiensi endokrin pada periode pasca operasi segera akan
memerlukan penggantian dengan hidrokortison parenteral dan kemungkinan penggunaan
vasopressin untuk pengobatan diabetes insipidus, yang sering terjadi setidaknya secara transien
setelah eksisi tumor hipofisis besar. Pada periode pasca operasi awal, aqueous vasopressin harus
diberikan melalui suntikan intramuskular atau subkutan dan, jika diabetes insipidus berlanjut,
melalui rute intranasal. Pengganti hormon jangka panjang lainnya mungkin termasuk asetat
kortison (12,5-25 mg dua kali sehari), tiroksin dan testosteron. Pembedahan pada wanita hamil
dengan adenoma hipofisis harus dilakukan dengan hati-hati mengingat efek hipersekresi
hormonal dan komplikasinya.4

Beberapa Indikasi pembedahan pada tumor otak adalah : Massa tumor yang
menimbulkan gejala dan atau tanda penekanan maupun destruksi parenkim otak dan asesibel
untuk dilakukan pembedahan; Pada pemeriksaan imeging serial didapatkan tanda pertumbuhan
tumor dan atau didapatkan gejala akibat lesi tumor yang tidak dapat terkontrol dengan
medikamentosa; Radioterapi; Terapi lain sifatnya suportif guna meningkatkan ketahanan dan
meningkatkan kualitas hidup.4,6,7

Ringkasan
Adenoma hipofisis adalah tumor jinak yang tumbuh dari sel – sel adenohipofisis
yang mengisi ruang sella dan suprasella. Tumor disebut fungsional bila menyebabkan
peningkatan produksi hormon hipofisis anterior, dan disebut nonfungsional bila tidak terjadi
peningkatan hormon hipofisis anterior atau bahkan terjadi penurunan produksi. Wanita
didiagnosa tumor hipofisis lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Pengobatan tumor
hipofisis tergantung pada aktivitas hormonal tumor, ukuran dan lokasi tumor, serta usia dan
kondisi umum dari penderita.
Pada hasil pemeriksaan CT Scan kepala di dapatkan masa hipofise / adenoma hipofise
yang homogen dengan densitas tinggi ukuran ± 2,8 cm x 2,6 cm, tepi berbatas tegas, nasofaring
tampak normal dan tulang – tulang intak. Pasien juga telah dilakukan pemeriksaan MRI untuk
hasil yang lebih rinci. Tatalaksana yang di berikan pada pasien ini adalah eksisi tumor dengan
teknik EETH (Endoscopy Endonasal Transpheinoidal Hipofisektomi).
Tindakan operatif pada adenoma hipofise bertujuan untuk menghilangkan tumor,
mengurangi atau mengontrol ukuran tumor, dan / atau untuk mengatur keseimbangan kadar
hormon, mengembalikan volume intracranial pasien agar kembali ke normal setelah tindakan
operatif. Pada pasien ini telah dilakukan tindakan operatif yaitu EETH (Endoscopy Endonasal
Transpheinoidal Hipofisektomi).
DAFTAR PUSTAKA

1. Greenberg MS. Adenoma hipofise. In: Hiscock T, Landis SE, Casey MJ, Schwartz N,
Scheihagen T, Schabert A, editors. Handbook of Neurosurgery. 8th Edition. New
York: Thieme Medical Publishers; 2016
2. Kaye, A.H. Benign Brain Tumours. Essential Neurosurgery. 3th Edition. Australia:
Blackwell Publishing. 2005. p. 93-100
3. Winn Richard, H. Youmans Neurological Surgery. Vol 4. 6 th Edition. Philadelphia:
Elsevier Saunders; 2011
4. Schwartz, T.H. American Association of Neurological Surgeon. Endoscopic Pituitary
Surgery. 2014
5. Cross, LJ.Australia Brain Tumor Information. 2010. Diunduh dari
http://www.btai.com.au/images/factsheetpdfs/Page%2010to11.pdf
6. R.Laws, Edward Jr., MD, FACS Department of Neurosurgery, Brigham & Women’s Hospital
and Sherry L. Iuliano, MSN, NP-C (Nurse Practitioner) Pituitary/Neuroendocrine Center,
Brigham & Women’s Hospital. Pituitary Tumors. American Brain Tumor Association.
2015.Chicago. available in http://www.abta.org/secure/pituitary-tumors-brochure
7. Arafah B M, Nasrallah M P. 2011. Pituitary tumors: pathophysiology, clinical
manifestations and management. Endocrine-related Cancer. 287-305. Hart IR,
Newton RW. The new medicine endocrinology. 2nd ed. Great Britain: MTP Press
Limited; 1983.p.4-13.
8. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ilmu Bedah Saraf tahun 2016
9. Santosh K et. al. American Brain Tumor Association. About Brain Tumor. 2011.
Diunduh dari www.abta.org/secure/about-brain-tumors-a-primer.pdf
10. Dietrich, J..2012.Corticosteroids In Brain Cancer Patients : Benefits And Pitfalls. ,
4(2), pp.233–242. https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3109638

Anda mungkin juga menyukai