Anda di halaman 1dari 41

BAGIAN ANESTESIOLOGI, PERAWATAN INTENSIF Text Book Reading

DAN MANAJEMEN NYERI November 2008


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN

PENGAWASAN FUNGSI RESPIRASI


( Hess. DR and Kacmarek. RM, Monitoring Respiratory Function, Longnecker. DE. Brown. DL.
Newman. MF. Zapol. WM. (Editor) In :
Anesthesiology, New York: Mc Graw Hill; 2008. p. 579-97.)

Oleh
A. HANDAYANI M.TANRA
C 111 03 101

Pembimbing
dr. ADE HASMAN

Supervisor
Dr. HISBULLAH, Sp.An., KIC

DIBUAT DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


BAGIAN ANESTESIOLOGI, PERAWATAN INTENSIF DAN
MANAJEMEN NYERI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN

1
MAKASSAR
2008

BAB 31

PENGAWASAN FUNGSI RESPIRASI

Pengawasan merupakan lanjutan dalam evaluasi fungsi fisiologik pada pasien pada saat
sekarang ini untuk memandu diagnosis dan memutuskan penatalaksanaan, termasuk saat
membuat keputusan untuk membuat intervensi terapeutik dan penilaian untuk intervensi
tersebut. Banyak parameter fisiologik yang bisa diawasi selama ventilasi mekanik,
termasuk pengawasan invasif dan non-invasif. Pengawasan fungsi respirasi merupakan
bagian integral dari perawatan pasien yang diventilasi secara mekanik diruang operasi
dan di ICU. Gas darah arterial banyak dipakai untuk menilai fungsi respirasi. Bagian ini
meninjau pemakaian gas darah dan monitor untuk penilaian fungsi pernapasan.

GAS DARAH ARTERI

Gas darah arteri menunjukkan pengukuran PCO2 dan PO2. Pengukuran pH juga termasuk
dengan gas darah. Pengukuran saturasi Hb dengan oksigen (O2HgB),
karboksihemoglobin (COHgB), dan methemoglobin (metHgB) juga dimasukkan. Banyak
laboratorium yang juga melaporkan kalkulasi nilai saturasi oksigen, konsentrasi
bikarbonat, dan dasar pengeluaran. Pengukuran ini menilai oksigenasi, ventilasi, dan
status asam-basa.

Oksigenasi

Hipoksemia diakibatkan oleh menurunnya pengantaran oksigen dari atmosfir ke darah


arterial, dan hipoksia menunjukkan berkurangnya pengantaran oksigen ke jaringan (tabel

2
31-1). Oksigen merupakan kombinasi dari pemisahan oksigen dan membentuk jadi
hemoglobin. Jumlah yang dipisahkan pada plasma adalah sedikit dan langsung
dihubungkan dengan PO2. Range normal PO2 arterial adalah 80-100 mmHg pada orang
dewasa muda sehat yang bernapas pada tingkat permukan air laut. PaO 2 normalnya
menurun dengan peningkatan usia dan peningkatan ketinggian. Hipoksia terjadi jika
paru-paru gagal mengoksigenasi darah arterial secara adekuat. PaO2 kadang
mencerminkan fungsi paru-paru dan bukan hipoksia per se. Hipoksia bisa terjadi tanpa
hipoksemia dan perubahan buruk. PaO2 yang adekuat pada pasien dengan penyakit akut
tidak diketahui, tapi banyak klinisi yang setuju bahwa PaO 2 > 60 mmHg biasanya dapat
diterima.

Tabel 31-1

Penyebab hipoksemia dan hipoksia

Hipoksemia

 Penurunan oksigen inspirasi : tinggi


 Hipoventilasi : depresi pusat pernapasan, penyakit neuromuskular, gagal napas.
 Shunt : paru (atelektasis, pneumonia, edema paru, ARDS) atau jantung (patensi
foramen ovale)

Hipoksia

 Hipoksemi hipoksia : rendah dari PaO2 normal (hipoksemia)


 Anemia hipoksia : berkurangnya jumlah sel darah merah, karboksihemoglobin,
methemoglobin, hemoglobinopati.
 Hipoksia sirkulasi : menurunnya output jantung, menurunnya perfusi lokal.
 Hipoksia afinitas : menurunnya pelepasan oksigen dari Hb ke jaringan.
 Hipoksia histotoksik : keracunan sianida.

Persamaan gas alveolar

PO2 alveolar dikalkulasikan dari persamaan gas alveolar :

PAO2 = (FIO x EBP) – (PaCO2 x [FIO2 + (1 – FIO2)/R]) (31-1)

3
Dimana FIO2 = fraksi oksigen inspirasi, EBP = tekanan barometrik efektif (tekanan
barometrik dikurangi tekanan vaporisasi air), dan R = pernapasan. Untuk kalkulasi P AO2,
R = 0.8 banyak dipilih. Untuk FIO2 > 0.6, efek R pada persamaan gas alveolar menjadi
sebagai berikut :

PAO2 = (FIO2 x EBP) – (PaCO2) (31-2)

Untuk FIO2 < 0.6, persamaan gas alveolar menjadi :

PAO2 = (FIO2 x EBP) – (1.2 x PaCO2) (31-3)

Perbedaan peningkatan antara Po2 alveolar (PAO2) dan PaO2, gradient P (A-a)O2, bisa karena
shunt, ketidakserasian V/Q, atau defek difusi. P (A-a)O2 normalnya adalah < 10 mmHg
pernapasan udara dan < 50 mmHg pada pernapasan oksigen 100%. Rasio dari PAO2 (PaO2/
PAO2) juga bisa dikalkulasikan sebagai indeks fungsi paru dan normalnya adalah > 0.75
pada tiap FIO2. PaO2/FIO2 merupakan indikasi tercepat untuk kalkulasi oksigenasi. Gejala
distres pernapasan akut (ARDS) dihubungkan dengan P aO2/FIO2 < 200, cedera paru akut
dihubungkan dengan PaO2/FIO2 < 300. Indeks oksigenasi (OI) dikalkulasikan dari FIO2,
tekanan rata-rata jalan napas (Paw), dan PaO2 :

OI = (FIO2 x Paw x 100)/ PaO2 (31-4)

OI sering dikalkulasikan untuk neonatus tapi jarang dipakai pada perawatan orang
dewasa. Pada neonatus, OI > 41 dengan terapi maksimal kadang dipakai sebagai kriteria
untuk hipoksemia berat yang memerlukan dukungan hidup ekstrakorporeal.

Kurva disosiasi oksihemoglobin

Saturasi oksigen hemoglobin dideterminasikan oleh kurva disosiasi oksihemoglobin


(gambar 31-1), dimana saturasi oksigen merupakan fungsi PO2. Afinitas hemoglobin
untuk oksigen adalah tinggi pada saturasi tinggi dan kurang pada saturasi yang rendah.
Efek ini memfasilitasi pembebanan oksigen pada paru (dimana PO2 tinggi) dan oksigen

4
tidak membebani jaringan (dimana PO2 rendah). Posisi kurva disosiasi oksihemoglobin
tidak pasti. Faktor yang mengubah kurva ke kiri meningkatkan afinitas hemoglobin
untuk oksigen, dan faktor yang mengubah kurva ke kanan menurunkan afinitas
hemoglobin untuk oksigen. Saturasi oksigen hemoglobin juga diubah oleh kondisi seperti
COHgb dan metHgb. Karbon monoksida disertakan pada pengikatan oksigen lokasi
hemoglobin dengan afinitas tinggi dan menurunkan kemampuan hemoglobin membawa
oksigen. Saturasi oksigen hemoglobin tidak bisa > 70% jika level COHgb 30%.
Methemoglobin dihasilkan jika zat besi pada molekul Hb dirubah dari tingkat
pengurangannya (Fe++) pada status oksidasinya. Hb bisa membawa oksigen hanya jika
zat besi berada pada status pengurangan. metHgb menurunkan kemampuan Hb
mengantar oksigen.

Gambar 31-1. kurva dissosiasi Oksihemoglobin. Kondidi fisiologik tampak shift pada kurva
ke kiri dan kanan. Dengan catatan shift ke kiri meningkatkan saturasi untuk pemberian PO2
(meningkatkan afinitas) dan shift ke kanan menurunkan saturasi oksigen untuk pemberian PO2
(menurunkan afinitas).

POIN KUNCI

1. Gas darah arterial digunakan untuk menilai oksigenasi, ventilasi, dan keseimbangan
asam-basa.
2. Fraksi shunt kanan-ke-kiri merupakan indeks standar emas efisiensi oksigenasi paru.
3. Ruang rugi adalah bagian ventilasi met yang tidak berperan pada pertukaran gas.

5
4. Keseimbangan asam-basa dijelaskan oleh persamaan Henderson-Hasselbach atau
pembeda ion kuat.
5. Gas darah arterial umumnya mencerminkan fungsi paru, sementara gas darah vena
mencerminkan adekuasi oksigenasi jaringan dan bersihan karbon dioksida jaringan.
6. Oksimeter pulsasi melewati 2 panjang gelombang cahaya melalui pulsasi vaskular
untuk mengukur saturasi oksigen arterial.
7. Kapnometri adalah pengukuran CO2 pada pembukaan jalan napas selama siklus
ventilasi.
8. PO2 transkutaneus diukur dengan elektroda Clark dan PCO 2 transkutaneus diukur
dengan elektroda Severinghaus.
9. Mekanik paru adalah ekspresi fungsi paru melalui pengukuran tekanan dan aliran; dari
pengukuran ini berbagai derivat bisa dideterminasi , seperti volume, kompliansi,
tahanan, dan pernapasan saat kerja.
10. Keputusan untuk monitor, seperti keputusan klinis lainnya, harus didasarkan pada
pencapaian objek terapeutik pada keamanan dan efektifitas biaya.

Shunt

Fraksi shunt kanan-ke-kiri merupakan indeks standar emas pada efisiensi oksigenasi
paru. Fraksi ini dikalkulasikan dari persamaan shunt : QS/QT = (CVO2 – CaO2)/( CVO2 -
CVO2) (31-5)

Dimana CVO2 = isi oksigen kapiler paru (mL/dL), CaO 2 = isi oksigen arterial, dan C VO2
= isi oksigen campuran vena. Isi oksigen dikalkulasikan sebagai berikut :

CO2 = (1.34 x Hgb x HgbO2) + (0.003 x PO2) (31-6)

Untuk mengkalkulasi CVO2, PO2 kapiler paru diatur agar menyesuaikan PO2 alveolar, dan
saturasi oksigen hemoglobin kapiler paru menjadi 100%. Jika diukur saat pasien
bernapas oksigen 100%, QS/QT memperlihatkan shunt (mis. darah yang mengalir dari
jantung kanan ke jantung kiri tanpa melewati pertukaran gas alveoli). Jika diukur pada
FIO2 < 1.0 , maka QS/QT memperlihatkan fraksi shunt dan ketidakserasian V/Q.
Shunt > 50% gagal napas berat, sementara 5% memperkirakan nilai normal.

6
Ventilasi

PCO2 arterial mencerminkan keseimbangan antara produksi karbon dioksida (VCO 2) dan
ventilasi alveolar (VA) :

PaCO2 = VCO2/ VA (31-7)

Variasi PaCO2 langsung dengan produksi karbon dioksida dan sebaliknya dengan ventilasi
alveolar. Mencatat bahwa PaCO2 dideterminasi oleh ventilasi alveolar dan bukan menit
total menit ventilasi per se. Ventilasi menit mencerminkan P aCO2 hanya untuk
memperlihatkan ia mempengaruhi ventilasi alveolar. Penyebab klinis hipoventilasi
(peningkatan PaCO2) dan hiperventilasi (penurunan PaCO2) dilampirkan pada tabel 31-2.
Karena ventilasi alveolar (VE) dan rasio ruang rugi terhadap ventilasi total (VD/VT).
hubungannya bisa diturunkan sebagai berikut :

PaCO2 = VCO2/[ VE x (1 - VD/VT0] (31-8)

Peningkatan PaCO2 dengan peningkatan VD/VT, peningkatan VCO2, dan penurunan VE


(gambar 31-2). Meskipun tujuan ventilasi mekanik secara tradisional adalah untuk
menormalkan PaCO bisa lebih diharapkan daripada tekanan tinggi alveolar yang
dibutuhkan untuk menormalkan PaCO2 pada pasien dengan gagal napas akut.

Tabel 31-2

Penyebab klinis hipoventilasi dan hiperventilasi

Hipoventilasi

 Depresi pusat pernapasan : patologik, iatrogenik


 Disrupsi jalur saraf mempengaruhi otot pernapasan : neuropati, trauma
 Blokade neuromuskular : penyakit, agent paralisis
 Kelemahan otot pernapasan : lelah, penyakit

Hiperventilasi

 Stimulasi pusat pernapasan : hipoksia, cemas, patologi SSP


 Asidosis metabolik

7
 Iatrogenik : ventilasi mekanik

Gambar 31-2. Hubungan antara PaCO2, Ventialsi permenit, VD/VT, VCO2

Ventilasi ruang rugi

Ruang rugi merupakan bagian dari ventilasi menit yang tidak ada pada pertukaran gas. Ia
terdiri dari ruang rugi anatomik dan ruang rugi alveolar. Ruang rugi dikalkulasikan
menggunakan persamaan Bohr :

VD/VT = (PaCO2 – PECO2)/ PaCO2 (31-9)

Dimana VD/VT = fraksi ventilasi total ruang rugi, dan PECO2 merupakan tekanan parsial
CO2 pada gas campur ekshalasi. Nilai normal VD/VT pada range 0.2 – 0.4. Penyebab
meningkatnya VD/VT termasuk emboli paru, ventilasi tekanan-positif, hipoperfusi paru,
dan angka-tinggi, ventilasi volume tidal rendah. Peningkatan VD/VT dihubungkan dengan
angka mortalitas yang tinggi pada pasien ARDS. Peningkatan VD/VT juga dihubungkan
dengan rendahnya angka pelepasan ventilasi mekanik.

Metode tradisional untuk mendeterminasikan PECO2 adalah mengumpulkan gas


ekshalasi campuran pada kantung besar selam 5 – 15 menit. Selama pengumpulan gas,
pasien tidak diganggu, dengan VE stabil dan sampel darah arterial diambil untuk menilai
PaCO2 selama waktu tersebut. Banyak ventilator mekanik generasi-sekarang memiliki

8
aliran gas bias konstan melalui sirkuit yang menyulitkan pengumpulan gas ekshalasi
campuran untuk mengkalkulasi VD/VT dari VCO2 dan VE :

PECO2 = (VCO2/ VE) x PB (31-10)

Karena determinasi ruang rugi memerlukan sistem bebas-bocor, maka tidak bisa diukur
pada pasien dengan fistula bronkopleural atau dengan kebocoran pipa trakeostomi tanpa
cuff. Dari ekshalasi CO2, VE, dan tekanan barometrik (PB) bisa dikalkulasikan sebagai
berikut :

VA = VE x PECO2/ PB (31-11)

VA juga bisa dikalkulasikan dari VD/VT sebagai berikut :

VA = VE – (VE x VD/VT) (31-12)

Keseimbangan asam-basa

Keseimbangan asam-basa dijelaskan oleh persamaan Henderson-Hasselbach :

pH = 6.1 + log[HCO-3]/(0.03 x PCO2) (31-13)

gangguan asam-basa adalah yang mempengaruhi numerator persamaan Henderson-


Hasselbach, dan gangguan asam-basa pernapasan merupakan hal yang mempengaruhi
denominasi. pH normal adalah (7.40) dimana rasio [HCO-3]/(0.03 x PaCO2) adalah 20 : 1.
Komponen metabolik dari interpretasi asam-basa biasanya diberikan sebagai [HCO-3].
Komponen metabolik juga bisa diekspresikan sebagai base excess. BE bisa diperkirakan
sebagai : BE = [HCO-3] – 24. Dengan kata lain, [HCO-3] < 24 mmol/L berhubungan
dengan BE negatif, dan [HCO-3] > 24 mmol/L berhubungan dengan BE positif. Penyebab
klinis gangguan asam-basa ditampilkan pada tabel 31-3, dan derajat kompensasi
gangguan asam-basa ditampilkan pada tabel 31-4.

Pembedaan ion kuat (SID) merupakan metode untuk mengevaluasi gangguan


asam-basa berdasarkan pendekatan fisiokimia Stewart terhadap kimia asam-basa.

9
Memakai pendekatan ini, hanya variabel yang mempengaruhi pH adalah PCO 2, SID, dan
konsentrasi ion kuat yang tidak terukur. Nilai normal untuk SID adalah 40 mmol/L dan
dikalkulasikan sebagai berikut :

SID = [HCO-3] + 0.28 x [albumin (g/L) + [fosfat inorganik (mmol/L)] (31-14)

Asidosis metabolik dihubungkan dengan menurunnya SID, dan alkalosis metabolik


dihubungkan dengan meningkatnya SID (tabel 31-5)

Anion gap berguna untuk membedakan penyebab asidosis metabolik. Asidosis


metabolik bisa dihubungkan dengan anion gap normal (asidosis hiperkloremik) atau
dengan meningkatnya anion gap (asidosis normokloremik). Anion gap dikalkulasikan
berikut :

Anion gap = [Na+] – [Cl-] + [HCO-3]) (31-15)

Anion gap normal adalah 8 – 12 mmol/L. Penyebab asidosis metabolik dengan


peningkatan anion gap termasuk asidosis laktat, ketoasidosis diabetik, dan asidosis
azotemia (ginjal). Penyebab asidosis metabolik dengan anion gap normal termasuk
berkurangnya bikarbonat dari saluran cerna (mis. diare), terapi asetazolamid (diamox),
dan pemberian klorida yang berlebihan (mis. HCl, NH 4Cl). Osmolalitas merupakan
pembeda antara osmolalitas plasma yang diukur dan dikalkulasi sebagai berikut :

Osmolalitas = 2 [Na+] + [glukosa]/18 + [BUN]/2.8 + [etanol]/4.6 (31-16)

Dimana BUN = nitrogen urea darah. Osmolalitas yang diukur > 10 mOsm/L diatas nilai
kalkulasi, partikel aktif osmolalitas yang memetabolit mungkin asam organik. Asidosis
metabolik dengan gap osmol konsisten dengan adanya metanol toksin, etanol, dan glikol
etilen.

Tabel 31-3

Penyebab klinis asidosis metabolik dan alkalosis metabolik

10
Asidosis metabolik

 Asidosis laktat (hipoksia)


 Ketoasidosis (DM tak terkontrol)
 Asidosis uremik (gagal ginjal)
 Berkurangnya basa dari sal. cerna bawah (diare)
 Berkurangnya basa dari ginjal (asetazolamid, asidosis tubular ginjal)
 Keracunan (metanol, glikol etilen, aspirin)

Alkalosis metabolik

 Hipokalemia
 Berkurangnya asam pada sal. cerna atas (muntah, suksion lambung)
 Pemberian bikarbonat

Tabel 31-4

Kompensasi yang diharapkan pada gangguan asam-basa

Asidosis respirator ΔHCO3- = 0.10 x ΔPaCO2 (akut)

ΔHCO3- = 0.35 x ΔPaCO2 (kronik)

Alkalosis respirator ΔHCO3- = 0.2 x ΔPaCO2 (akut)

ΔHCO3- = 0.5 x ΔPaCO2 (kronik)

Asidosis metabolik PaCO2 = 1.5 x HCO3- + 8

Alkalosis metabolik PaCO2 = 0.9 x HCO3- + 15

Tabel 31-5

Klasifikasi gangguan asam-basa menggunakan pendekatan Stewart

Asidosis Alkalosis

Pernapasan metabolik PCO2 PCO2

Defisit/kelebihan air SID, Na+ SID, Na+

Defisit/kelebihan klorida SID, Cl- SID, Cl-

Pengeluaran ion kuat SID, ion tak terukur

11
yang tak terukur

SID (Strong Ion Difference)

Koreksi suhu gas darah

Gas darah dan pH diukur dilaboratorium pada suhu 37oC. Jika suhu pasien tidak normal,
nilai gas darah in vivo dan pH akan dipisahkan dari mereka yang diukur dan dilaporkan
oleh laboratorium gas darah. Menggunakan persamaan empirik, peng-analisa gas darah
bisa mengatur nilai yang diukur pada suhu tubuh pasien. 2 strategi ventilasi untuk
penanganan asam-basa hipotermik telah ditegaskan (biasanya selama bypass
kardiopulmoner). Selama penanganan α-stat, PaCO2 dipertahankan pada 40 mmHg jika
diukur pada 37oC. Fraksi disosiasi dari imidazol-histidin adalah konstan, sementara
perubahan pH paralel pada pH netral air. Selama penanganan α-stat, PaCO2 dikoreksi pada
suhu tubuh aktual pasien. Karena peningkatan kelarutan gas selama hipotermia, strategi
α-stat menyebabkan hiperventilasi relatif. Hal ini menjadi sangat penting dengan
pemakaian induksi hipotermia setelah henti jantung dan pada terapi iskemik serebral
fokal. Studi hewan menegaskan bahwa penanganan pH-stat, dibandingkan dengan
penanganan α-stat, menyebabkan perbaikan aliran darah otak dan outcome neurologik
pendekatan pH-stat memungkinkan diferensiasi suhu-sehubungan perubahan fisiologik.
Nilai suhu-yang diatur harus digunakan untuk membandingkan level gas darah dengan
nilai gas ekshalasi (mis. PCO2 end-tidal [PETCO2] dan untuk mengkalkulasi isi oksigen (mis.
shunt kanan-ke-kiri) atau tekanan (mis [P(A-a)O2].

Keutamaan pengukuran gas darah

Keutamaan monitoring gas darah dilakukan pada pasien yang dirawat dekat lokasi (mis.
ruang operasi, ICU). Peng-analisa tersedia untuk mengukur gas darah dan pH. Peng-
analisa ini juga bisa membuat pengukuran lainnya yang berguna pada saat rawat inap,

12
termasuk level elektrolit, glukosa, laktat, nitrogen urea, dan hematokrit, dan studi bekuan
[waktu bekuan aktif (ACT), waktu protrombin (PT), dan waktu tromboplastin parsial
(PTT)]. Peng-analisa adalah kecil dan dapat dibawa (beberapa dapat dipegang),
memerlukan volume darah menit (beberapa tetes), dan memberikan laporan hasil yang
cepat (beberapa menit). Relatif mudah digunakan (mis. kalibrasi sendiri) dan secara
tipikal menyatu dengan peluru disposabel yang mengandung biosensor. Manfaat-biaya
dari perangkat ini belum jelas. Selanjutnya, dokumentasi yang sesuai untuk kompliansi
dengan standar rumah sakit adalah perlu. Ini memerlukan kelayakan pemeriksaan kontrol
kualitas dan pemeliharaan instrumen.

Gas darah vena

Gas darah arteri utamanya mencerminkan fungsi paru, sementara gas darah vena
mencerminkan adekuasi oksigenasi jaringan dan bersihan karbon dioksida jaringan. level
PO2 vena campur yang rendah (< 35 mmHg) mencerminkan hipoksia jaringan dan bisa
diakibatkan menurunnya pengantaran oksigen atau meningkatnya ambilan oksigen. PO2
vena secara tipikal lebih rendah daripada PO2 arterial, dan kadang sedikit berhubungan
antara 2. Sebagai contoh, PO2 vena campur bisa rendah dan PO2 arterial bisa tinggi saat
kardiak output berkurang, dan FIO2 tinggi. Normalnya, PCO2 vena campur sedikit lebih
tinggi daripada PCO2 arterial tergantung aliran darah (kardiak output), dan, pada kasus
aliran darah rendah (mis. henti jantung), PCO 2 vena campur bisa tinggi meskipun PCO 2
arterial normal atau menurun. Jika gas darah vena digunakan untuk menilai
keseimbangan asam-basa, sampel darah vena sentral atau vena campur dipilih untuk
sampel vena perifer. Saturasi oksigen vena sentral dinaikkan dengan memakai guna-
terapi sepsis langsung, dimana SVO2 > 70% dilaporkan berhubungan dengan manfaat
survival.

Oksimetri pulsasi

13
Oksimetri pulsasi, teknologi yang tidak tersedia sampai pertengahan 1980, sekarang luas
pemakaiannya. Oksimetri pulsasi kontinyu merupakan standar perawatan di ruang
operasi dan untuk terapi pasien dengan penyakit kritis. Probe melewati 2 panjang
gelombang cahaya (660 dan 940 nm) melalui pulsasi vaskular. Meskipun kebanyakan
oksimeter pulsasi menggunakan oksimetri transmisi (mis. cahaya yang dikeluarkan dari
cahaya – mengeluarkan dioda [LEDs] ditransmisikan melalui jaringan dan foto detektor
adalah sebaliknya), desain lain yang menggunakan pencerminan oksimetri (mis. cahaya
dari LEDs direfleksikan dari jaringan, dan foto detektor pada sisi jaringan yang sama).
Probe oksimeter pulsasi bisa dipasang pada sejumlah lokasi, termasuk jari tangan, jari
kaki, telinga, hidung, dan dahi. Pada bayi penyidik bisa dipasang pada tangan atau kaki.
(Gbr. 31-3)

Gambar 31-3. Contoh pemeriksaan dengan pulsasi oksimetri. (Bahan ini disadur dan
disediakan oleh Nellcor.)

Keterbatasan oksimetri pulsasi harus dikenali, dihargai, dan dimengerti oleh


semua orang yang menggunakan data oksimetri pulsasi.

 Akurasi : banyak kesalahan oksimeter pulsasi terdeteksi oleh karena signal yang
terlalu kecil (mis. level perfusi jaringan rendah, pemasangan penyidik yang tidak
benar) atau terlalu bising (mis. gerakan, level tinggi pada cahaya). Oksimeter pulsasi

14
menggunakan kurva kalibrasi empirik yang dikembangkan dari studi sukarelawan
sehat. Pada saturasi > 80%, akurasi oksimeter pulsasi kira-kira 4-5%. Dibawah 80%
akurasinya menjadi buruk, tapi kepentingan kliniknya masih dipertanyakan. Untuk
menghargai implikasi batas akurasi oksimetri pulsasi, seseorang harus
mempertimbangkan kurva disosiasi oksihemoglobin. Jika oksimeter pulsasi
memperlihatkan SpO2 95%, saturasi sebenarnya bisa serendah 90% atau setinggi
100%. Jika saturasi sebenarnya 90% akan kira-kira 60 mmHg. Jika saturasi
sebenarnya 100%, seseorang tidak tahu seberapa tinggi PaO2. Juga pergeseran kurva
disosiasi oksihemoglobin bisa merubah SpO2, meskipun tidak ada perubahan pada
PaO2.
 Kesalahan pada mereka yang memakai oksimetri pulsasi : meskipun oksimetri pulsasi
banyak dipakai, bisa saja tidak dimengerti oleh mereka yang memakainya. Sebagai
contoh, telah dilaporkan bahwa luas persentase psikian junior dan staf perawat kurang
pengetahuan dan membuat kesalahan serius pada interpretasi SpO2. Masalah ini telah
dapat diperbaiki beberapa tahun ini.
 Perbedaan antara perangkat dan penyidik : oksimeter pulsasi adalah unik bahwa
pemakaiannya tidak memerlukan kalibrasi. Bagaimanapun, kurva kalibrasi derivat –
buatan pabrik diprogramkan kedalam perangkat lunak bervariasi antar pabrik dan
memberi variasi diantara oksimeter pulsasi dari pemberian pabrik. Lebih dari itu,
output LED bisa bervariasi dari penyidik ke penyidik.
 Efek penumbra : jika penyidik oksimeter pulsasi jari tangan tidak mengkoreksi dengan
baik, cahaya bisa di shunt dari LEDs langsung ke fotodetektor. Ini akan menyebabkan
SpO2 rendah palsu jika SaO2 > 85% dan peningkatan palsu SpO2 jika SaO2 < 85%.
 Dishemoglobinemia : karena biasanya tersedianya oksimeter pulsasi yang memakai
hanya 2 panjang gelombang cahaya, mereka hanya mampu mengevaluasi
oksihemoglobin (O2Hgb) dan deoksihemglobin (HHgb). Kenaikan abnormal pada
karboksihemoglobin (COHgb) dan metHgb menyebabkan ketidakakurasian oksimeter
pulsasi, dan oksimeter pulsasi tidak digunakan jika ada kenaikan level Hb abnormal.
Dicatat bahwa design oksimeter pulsasi baru yang mengukur COHgb dan metHgb
sebagai tambahan pada O2Hgb sekarang tersedia. Design ini harus bermanfaat pada

15
pasien dengan suspek peninggian COHgb dan metHgb. Hb fetal dan anemia sel sabit
tidak mempengaruhi akurasi oksimeter pulsasi.
 Pewarnaan endogen dan eksogen dan pigmen : pemberian pewarnaan intravaskular
bisa mempengaruhi akurasi oksimeter pulsasi, dengan metilen blue memberi efek
hebat. Cat kuku juga mempengaruhi akurasi oksimeter pulsasi dan harus dihapus
sebelum oksimeter pulsasi dimulai. Hiperbilirubinemia tampaknya tidak
mempengaruhi akurasi oksimeter pulsasi.
 Pigmentasi kulit : beberapa studi menemukan bahwa akurasi dan performasi
oksimeter pulsasi dipengaruhi oleh kulit pigmen dalam.
 Perfusi : oksimeter pulsasi memerlukan vaskular pulsasi untuk berfungsi dengan baik.
Dibawah kondisi aliran rendah (mis. henti jantung atau vasokonstriksi perifer berat),
oksimeter pulsasi menjadi tidak terpercaya. Dibawah kondisi ini, penyidik telinga bisa
lebih dipercaya dari pada jari tangan.
 Anemia : meskipun oksimeter pulsasi umumnya dipercayai pada seluruh rentang level
Hb, mereka menjadi kurang akurat dan terpercaya pada kondisi anemia berat (Hct <
24 g/dL pada saturasi rendah, dan Hct < 10 g/dL pada seluruh saturasi).
 Pergerakan : pergerakan penyidik bisa membuat artifak dan pembacaan oksimeter
pulsasi tidak dapat dipercaya dan tidak akurat. Masalah ini kadang bisa dikoreksi
dengan menggunakan lokasi penyidik yang lebih stabil (mis. telinga atau kaki
daripada tangan).
 Cahaya intensitas tinggi : karena fotodetektor oksimeter pulsasi tidak spesifik, cahaya
intensitas tinggi bisa menimbulkan gangguan. Masalah ini bisa dikoreksi dengan
membungkus penyidik dengan barier cahaya.
 Pulsasi abnormal : pulsasi vena dan takik diktorik luas bisa mempengaruhi akurasi
oksimeter pulsasi.
 Keamanan : oksimeter pulsasi umumnya dipertimbangkan aman. Bagaimanapun, luka
bakar sebagai akibat defek penyidik dan nekrosis tekanan jarang terjadi.

Jubran dan Tobin mengevaluasi pemakaian oksimeter pulsasi pada titrasi suplemen
oksigen pada 54 pasien penyakit kritis yang tergantung pada ventilator. Pada pasien kulit
putih, mereka menemukan bahwa SpO2 92% terpercaya dalam memprediksi PaO2 > 60

16
mmHg. Pada pasien kulit hitam, SpO 2 95% diperlukan. Meskipun metode ini berguna
dalam titrasi level oksigenasi arterial yang tidak menyebabkan hipoksemia, ia tidak
membatasi keperluan pengukuran gas darah arteri periodik. Jika oksimeter pulsasi
digunakan untuk mentitrasi FIO2 dan pengaturan akhir FIO2 harus dikonfirmasikan
melalui pengukuran gas darah arteri. Jika oksimeter pulsasi bermanfaat secara klinik,
maka angka kegagalan harus rendah. Kegagalan oksimeter pulsasi intra-operatif
dievaluasi oleh Freund dkk, mereka menemukan angka kegagalan < 5%. Kegagalan
oksimeter pulsasi ditemukan lebih banyak pada pasien usia tua, dan selama prosedur
operasi panjang. Kegagalan oksimeter pulsasi pada pengaturan yang lain belum
dilaporkan. Mungkin frekuensi kasus kegagalan oksimeter pulsasi di ICU merupakan
diskoneksi tidak disengaja atau salah pemasangan penyidik.

Gambar 31-4. Atas. Pada pasien kulit putih, mereka menemukan bahwa SpO2 92% terpercaya
dalam memprediksi PaO2 > 60 mmHg. Bawah. Pada pasien kulit hitam, SpO2 95% terpercaya
dalam memprediksi PaO2 > 60 mmHg

Pergerakan artifak dan perfusi rendah banyak menyebabkan kesalahan pada oksimeter
pulsasi. Pabrik oksimeter pulsasi telah mengembangkan perbaikan algoritme perangkat

17
lunak untuk mengkalkulasi SpO2 untuk mengeliminasi pergerakan artifak dari tanda
pulsasi. Tiga perangkat dipasaran adalah FAST, SET, dan Oxismart N-3000. Tinjauan
komprehensif menyimpulkan bahwa performansi klinik dari semua generasi baru
oksimeter pulsasi lebih baik dari perangkat sebelumnya. Meskipun beberapa studi telah
mengevaluasi performansi design baru ini, tidak ada bukti kuat yang memperlihatkan
setiap perangkat tunggal generasi baru menonjol dari perangkat generasi baru lainnya.

Walaupun memungkinkan deteksi dini hipoksemia dan keadaan yang berhubungan,


dampak oksimeter pulsasi pada outcome pasien belum jelas. Studi besar (> 20,000 pasien)
pemakaian oksimeter pulsasi selama anestesi dan post-anestesi tidak menemukan
perbedaan pada outcome. Oksimeter pulsasi diindikasikan pada pasien yang tidak stabil
seperti desaturasi, pada pasien yang mendapat intervensi terapeutik yang menyebabkan
hipoksemia (mis. bronkoskopi), dan pada pasien yang mendapat intervensi yang
menyebabkan perubahan oksigenasi arteri (mis. perubahan FIO2 atau tekanan ekpirasi
akhir positif [PEEP])

Mungkin penting aplikasi monitor non-oksigenasi untuk oksimeter pulsasi. Sebagai


contoh, Harter et al, melaporkan efek pulsus paradoksus, dan penjebakan udara pada
obstruksi hebat pada jalan napas, pada bentuk gelombang pletismografi oksimeter pulsasi.
(Gbr.31-5). Mereka melaporkan bahwa, pada pasien dengan penyakit paru obstruktif dan
kenaikan pulsus paradoksus, merubah batas dasar oksimeter pulsasi yang dimanifestasi
sebagai variasi bentuk gelombang pernapasan. Pulsus paradoksus dihubungkan dengan
derajat variasi bentuk gelombang pernapasan dari jalur oksimeter pulsasi dan jumlah
PEEP otomatis.

18
Gambar 31-5. gambaran tekanan oksimeter pada wanita usia 60 tahun dengan penyakit paru
obstruktiv eksaserbasi kronik yang mana telah dirawat di ICU disertai kegagalan ventilator. A.
gambaran tekanan oksimeter pada pasien yang di .

Variasi pernapasan pada amplituda bentuk gelombang POP telah diperlihatkan


berguna dalam memprediksi respon cairan. Amplituda bentuk gelombang POP diukur
pada dasar beat-to-beat sebagai jarak vertikal antara puncak dan lembah melalui bentuk
gelombang (gambar 31-6). POP maksimal (POP max)dan minimal (POPmin) dideterminasi
oleh siklus pernapasan yang sama. ΔPOP dikalkulasikan menggunakan formula :

ΔPOP (%) = 100 x ([POPmax - POPmin]/ [(POPmax + POPmin)/2]) (31-17)

Hasil satu studi menegaskan bahwa ΔPOP > 15% memprediksikan respon cairan pada
pasien yang diventilasi dengan gagal sirkulasi.

19
Gambar 31-6. perbandingan antara tekanan arteri invasiv dan tekanan oksimeter pletismografi
yang terekam. Rekaman yang simultan pada lead II, tekanan sistemik arteri (PA), tekanan
oksimeter pletismografi (PLETH), dan gambaran ilustratif pasien dengan tanda (RESP). POP,
tekanan oksimeter pletismografi; PP, tekanan nadi.

CAPNOGRAFI

Capnometri adalah pengukur CO2 pada pembukaan jalan napas selama siklus ventilasi.
Kebanyakan kapnometer mengukur CO2 melalui absorpsi infra merah, menganalisa
puncak absorpsi CO2 pada 4.26 um. Spektrometri Mass dan Raman juga bisa digunakan.
Pasien yang memakai perangkat tunggal portabel non-elektronik biasa dipakai untuk
merubah warna (deteksi CO2 end-tidal kolorimetri) pada adanya ekshalasi CO2 (mis.
intubasi trakea). Perubahan warna dari ungu dengan konsentrasi CO 2 rendah ke kuning
dengan konsentrasi CO2 2 - 5%.

Kapnometer bisa dikonfigurasikan sebagai perangkat utama atau pendamping.


Dengan kapnometer aliran utama, pengukuran ruang dipasang langsung pada jalan napas.
Dengan kapnometer aliran pendamping, gas dari jalan napas di aspirasi melalui selang ke
ruang pengukur dalam perangkat. Beberapa perangkat (mis. kapnometer kolorimetrik)
hanya bisa dipakai sebagai perangkat aliran samping. Kapnometer infra merah bisa
dikonfigurasikan sebagai perangkat aliran utama atau aliran samping. Tiap pendekatan

20
memiliki manfaat dan rugi (tabel 31-6). Teknologi baru kapnometer, Microstream, telah
disebutkan, dengan menggunakan molekul berhubungan dengan spektroskopi yang
beroperasi pada suhu ruang dan mengeluarkan radiasi spesifik CO2. Ia menggambarkan
rata-rata aliran rendah, dan kurangnya pelunak-sehubungan masalah oklusi.

Tabel 31-6

Kapnometer aliran utama dan aliran samping

Manfaat Kerugian

Kapnometer aliran utama


Sensor pada jalan napas pasien Sekresi dan basah memblok sensor

Respon cepat (bentuk gelombang bergulung) Sensor dipanaskan untuk mencegah kondensasi

Waktu kerja pendek Sensor besar pada jalan napas pasien

Tidak ada sampel aliran untuk mengurangi volume Tidak mengukur N2O

tidal Sulit digunakan pada pasien non-intubasi

Pembersihan dan sterilisasi pada sensor pakai ulang

Kapnometer aliran samping


Tidak ada sensor besar atau pemanas pada jalan Sekresi memblok selang sampel

napas Penjebakan air diperlukan

Bisa mengukur N2O Lambat merespon perubahan CO2

Jalur sampel sekali pakai Aliran sampel bisa menurunkan volume tidal

Bisa dipakai pada pasien non-intubasi.

Capnografi berdasarkan-waktu

Untuk aplikasi di ruang operasi dan ICU, kapnografi berdasarkan-waktu kadang


diperlihatkan. (Gbr. 31-7). Tidak seperti kapnografi-berdasarkan volume, kapnografi
berdasarkan-waktu memiliki segmen inspirator dan ekspirator. PCO 2 biasanya nol selama

21
fase inspirasi. Pada awal ekshalasi, PCO2 masih nol sebagai gas dari ruang rugi anatomi
yang meninggalkan jalan napas (fase 1). Kapnogram kemudian meningkat secara tajam
sebagai gas alveolar campuran dengan gas ruang rugi (fase II). Kurva kemudian
membentuk plateau alveolar selama ekshalasi (fase III). PCO 2 pada akhir plateau alveolar
adalah PETCO2. Kapnogram dengan obstruksi aliran udara ditandai oleh meningkatnya
kemiringan fase III (gambar 31-8). Ini terjadi karena heterogenitas V/Q yang diakibatkan
obstruksi aliran udara. Pada pasien asmatik dengan bronkospasme akut, kemiringan fase
III telah memperlihatkan hubungan dengan puncak rata-rata aliran ekspirator, dan
kemiringan ini dinormalkan dengan terapi β-agonis.

Gambar 31-7. Capnogram berdasarkan-waktu. I, Ruang rugi anatomi; II. Transisi dari ruang rugi
anatomi dengan ruang plateau alveolar; III. Plateau alveolar.

Gambar 31-8. Capnogram dengan gambaran obstruksi aliran udara

22
Homeostasis karbon dioksida dipengaruhi oleh VCO2, transpor CO2 dari jaringan ke
paru, dan kondisi VA yang meningkatkan VCO2 termasuk demam, aktivitas, sepsis,
hipertiroidisme, trauma, luka bakar, dan diet tinggi karbohidrat. Kondisi yang
menurunkan VCO2 termasuk hipotiroidisme, hipotermia, sedasi, dan paralisis. Karbon
dioksida dari difusi metabolisme jaringan kedalam sirkulasi, menyebabkan PCO2 vena
campuran (PvCO2) kira-kira 45 mmHg. PCO2 unit paru individual tergantung pada V/Q
(gambar 31-9). Tanpa perfusi (ruang rugi murni ; V/Q = ∞), P ACO2 sama pada PCO2
inspirasi. Dengan unit V/Q normal, PACO2 sama dengan PCO2 arterial. Dengan unit V/Q
rendah, PACO2 meningkatkan PvCO2. PACO2, dan PETCO2 harus selalu diantara nol dan
PvCO2. PETCO2 normalnya adalah beberapa mmHg kurang dari PaCO2 . Hubungan antara
PaCO2 dan PETCO2 bervariasi tergantung dari kontribusi relatif dari variasi unit V/Q yang
mengkomposisi paru.

Gambar 31-9. PETCO2 dengan penurunan ˙V/˙Q, normal ˙V/˙Q, peningkatan ˙V/˙Q.

Secara teori, PETCO2 harus serendah PCO2 inspirasi (nol) atau setinggi PvCO2(tapi
tidak lebih tinggi dari nilai ini). Peningkatan atau penurunan P ETCO2 bisa diakibatkan dari
perubahan VCO2 dan pengantaran karbon dioksida ke paru, perubahan pada ventilasi
alveolar, atau malfungsi peralatan. (31-7). Karena homeostasis, perubahan kompensator
bisa terjadi jadi PETCO2 tidak berubah meskipun beberapa berubah. Sebagai contoh, jika
VCO2 meningkat (pada demam) dan ventilasi alveolar meningkat (respon homeostasis
normal), maka PETCO2 tidak berubah. PETCO2 merupakan indikator non-spesifik

23
homeostasis kardiopulmonar dan kadang tidak mengindikasikan adanya masalah spesifik
atau abnormalitas.

Tabel 31-7

Penyebab dari peningkatan dan penurunan PETCO2

Peningkatan PETCO2

Peningkatan produksi dan penyerapan CO2 pada paru: demam, sepsis, penggunaan
bicarbonate, peningkatan meabolisme, kejang.

Penurunan ventilasi alveolar: penekanan pusat pernafasan, kelumpuhan pada otot,


hypoventilasi, penyakit paru obstruksi kronik.

Kegagalan pemakaian alat: rebreating, pengisap CO2 yang habis terpakai, kebocoran
dari sirkuit ventilator.

Penurunan PETCO2

Penurunan produksi dan penyerapan CO2: hypotermia, hypoperfusi paru, henti


jantung, emboli paru, perdarahan, hipotensi.

Peningkatan ventilasi alveolar: hiperventilasi.

Kegagalan pemakaian alat: tidak terhubungnya ventilator, intubasi eosophagus,


obstruksi jalan nafas, kebocoran disekitar pipa endotrakea.

Jika PaCO2 diukur, gradien antara PaCO2 dan PETCO2 [P(a-ET)CO2] bisa dikalkulasikan.
Gradien ini, normalnya kecil, biasanya < 5 mmHg. Dengan ruang rugi-menyebabkan
penyakit (V/Q tinggi), PETCO2 bisa lebih kurang dari PaCO2 (tabel 31-8). Meskipun, shunt
darah kanan-ke-kiri bisa menyebabkan gradien luas antara PAO2 dan PaO2, ia hanya
memiliki sedikit efek pada P(a-ET)CO2. PETCO2 bisa lebih dari PaCO2. Alasan PETCO2 >
PaCO2 belum dimengerti dengan baik dan bisa berhubungan dengan rendahnya region

24
V/Q dalam paru yang mengosong pada akhir-ekshalasi. P(a-ET)CO2 bisa menurun jika
tekanan pada ekshalasi maksimal pada pasien dengan obstruksi jalan napas.

Tabel 31-8

Penyebab peningkatan P(a-ET)CO2

Hypoperfusi pulmoner

Emboli paru

Henti jantung

Tekanan positif ventilasi (khususnya tekanan positif akhir ekspirasi)

Frekuensi yang tinggi, ventilasi yang rendah pada volume tidal

Pengukuran perioperatif P(a-ET)CO2 merupakan standar perawatan untuk


mendeterminasikan posisi selang endotrakeal tepat. Kurangnya ekshalasi CO2 konsisten
dengan intubasi esofagal. Kapnografi juga dilaporkan berguna dalam memverifikasi
pemasangan mag selang. Pada kasus pemasangan mag selang pada daerah trakea, aspirasi
CO2 ditemukan berasal dari pipa mag selang. PETCO2 dapat juga digunakan untuk
menilai adekuatnya resusitasi jantung paru (CPR). Onset dari henti jantung menghasilkan
penurunan PETCO2 sampai nilai nol. Dengan melakukan RJP, PETCO2 meningkat dan
telah dilaporkan terjadi peningkatan segera setelah dilkaukan RJP dimana ditemukan
kembalinya sirkulai secara spontan. Pada satu kasus, pasien yang berhasil di resusitasi
yang disertai henti jantung didapatkan nilai PETCO2 15 ± 4 mmHg selama proses RJP
berlangsung, dimana pada pasien yang tidak dapat diresusitasi ditemukan nilai PETCO2
hanya 7 ± 5 mmHg.

Secara klinis penyebab terjadinya peningkatan ruang rugi adalah emboli paru, dan
dapat menggunakan capnografi pada keadaan tersebut. P(a-ET)CO2 biasanya meningkat
ketika ada emboli paru, tapi dapat juga terjadi peningkatan P(a-ET)CO2 tanpa diserati
emboli paru (mis. Adanya ruang rugi yang ditemukan pada suatu penyakit). Perhitungan

25
pada fase III capnogram volumetri menetapkan PCO2 15% dapat memprediksi kapasitas
total paru dan telah dilaporkan dapat digunakan untuk diagnosis emboli paru.(gambar. 31-
10). Dengan ekshalasi maksimal, di dapatkan gradien mendekati nol pada pasien dengan
penyakit paru obstruktiv tapi pada pasien dengan emboli paru nilainya lebih tinggi.

Gambar 31-10. capnogram pada pasien yang didiagnosa dengan emboli paru. Pasien ini memiliki
nilai VT 612 mL. PaCO2 29 mmHg, PETCO2 22,7 mmHg, dan 15% diprediksikan nilai kapasitas
total paru menjadi 699 mL. PETCO2 pada volume ini adalah 23,5 mmHg setelah perhitungan
pada fase III. Secara teori percentase ini tinggi pada pasien sehat dengan emboli paru atau pasien
dengan penyakit paru obstruktiv kronik.

Capnografi berdasarkan volume

Capnografi berdasarkan volume menggambarkan PCO2 pada ordinat dan volume .


volume jalan nafas pada ruang rugi (ruang rugi anatomi), fraksi fisiologi ruang rugi
(VD/VT), dan volume CO2 ekshalasi dapat ditentukan dari capnografi berdasarkan
volume. (Gbr. 31-11). Jika VCO2 diketahui, sangat mungkin untuk mengkalkulasi nilai
metabolisme:

REE = VCO2 x 5,52 x 1440 (31-18)

Dimana REE = Resting Energy Expenditure (kcal/d), VCO2 dinilai dalam L/menit, 5,52
= ekuivalen kalori untuk CO2 dan 1440 = jumlah menit dalam satu hari.

26
Capnografi volumetri dapat juga digunakan untuk mengukur VD/VT karena PECO2
dapat dihitung dari VCO2 dan VE :

VCO2 = VE X PECO2/PB atau PECO2 = (VCO2/VE) x PB (31-19)

VD/VT dapat dihitung dengan cara:

VD/VT = (PaCO2 – PECO2)/PaCO2. (31-20)

Gambar 31-11. Komponen dari capnogram berdasarkan-waktu. VD, ruang rugi anatomi; Valv,
volume gas alveolar.

Cardiac Output menggunkan sebagian CO2 rebreating

Penggunaan capnografi berdasarkan volume, sangat mungkin untuk melakukan


pengukuran non-ivasiv cardiac output dengan cara rebreating sebagian CO2 (gambar 31-
2). VCO2 dihitung berdasarkan pernafasan dari mulut ke mulut dan persamaan Fick
adalah penerapan untuk menetapkan hubungan antara VCO2 dan cardiac output (Q):

VCO2 = Q x (CVCO2 – CACO2), (31-21)

27
Dimana CVCO2 = CO2 yang terdiri dari campuran aliran vena, dan CaCO2 = CO2 terdiri
dari aliran arteri. CO2 rebreating ditunjukkan dengan 35 detik setiap 3 menit. Dengan
asumsi Q konstan selama prosedur rebreatng menghasilkan :

∆VCO2 = Q x (∆CVCO2 - ∆CaCO2), (31-22)

Dimana ∆VCO2 = perubahan VCO2 antara pernapasan normal dan rebreating. ∆CVCO2
= perubahan co2 pada vena, dan ∆caco2 = perubahan CO2 arteri. Jika sisa CVCO2
konstan selama rebreating, maka persamaan yang digunakan:

∆VCO2 = PCBF x ( -CcC02 CcC02) (31-24)

Gambar 31-12. siklus rebreating menggunakan Repironics Nonivasive Cardiac Output (NICO)
monitor ini digunakan untuk mengukur cardiac output dengan menggunakan sebagian dari teknik
rebreating.

28
Dengan asumsi – CcCO2 sebanding dengan ∆PETCO2, dengan persamaan yang dapat
digunakan:

PCBF = ∆VCO2 / (S x ∆PETCO2), (31-25)

Dimana ∆PETCO2 = perubahan PETCO2 antara pernapasan normal dengan rebreating, dan S
= lekukan pada kurva disosiasi CO2 dari hemoglobin. Karena cardiac output adalah
jumlah PCBF dan aliran intrapulmoner:

Q = PCBF/ (1- QS/QT). (31-26)

Metode nonivasiv untuk estimasi QS/QT merupakan adaptasi dari Nunn’s iso-shunt plots,
dimana didapatkan kurva yang bersambung yang menghubungkan antara tekanan oksigen
arteri (PaO2) dan FIO2 pada tingkat yang berbeda pada right to left shunt. PaO2 noninvasiv
diestimasikan dengan menggunakan tekanan oksimeter.

Pada pasien yang nonparalisis, peningkatan rebreathing pada respirasi, dimana


penurunan sinyal magnitude dan batas kemampuan untuk mendeteksi petubahan pada
PETCO2 dan VCO2. Bising dapat menjadi meningkat dengan ditemukannya gambaran
respirasi yang ireguler yang menghasilkan PETCO2 dan VCO2 yang tidak stabil, dan
mengganggu akurasi dari penilaian tersebut. Penambahan cardiak output tiak dapat
dijumlah karena fraksi shunting dapat diestimasi dari SPO2 dan FIO2, dan dapat tejadi
kesalahan introduce.

Capnometri selama ventilasi spontan

Meskipun capnometri sering digunakan pada saat proses intubasi pasien dan ventilasi
mekanik, cara yang tersedia untuk mengukur PETCO2 selama pernafasan spontan. Nasal
kanul tersedia untuk capnometri (gambar 31-13). Ketika capnometer menggunakan nasal
kanul, penting untuk mengambil contoh yang tidak terkontaminasi dengan udara ruangan
atau aliran oksigen, agar dapat menghasilkan nilai yang signifikan pada PETCO2.
Meskipun secara tehnis sulit untuk menilai secara akurat capnometri pada pasien yang

29
tidak terintubasi, telah dilaporkan bahwa nilai P(a-ET)CO2 pada saat pernafasn spontan
dan pasien dengan intubsi adalah sama.

Gambar 31-13. Nasal kanul yang didesain untuk pemberian CO2 dan oksigen (Smart Capnoline,
Oridion). Kanul CO2 dari kedua nares dan melalui mulut oksigen di antarkan ke lubang yang
langsung menghubungkan kedua hidung dan mulut.

PO2 dan PCO2 transkutaneus

Elektroda PO2 transkutneus menggunakan prinsip polarografik (elektroda Clark). Untuk


menghasilkan PTCO2 yang kira-kira sama dengan PaO2, elektroda harus dipanaskan
sampai suhu sekitar 44ºC. Hubungan antara PaO2 dan PTCO2 merupakan hasil dari
pengaturan kompleks fisiologik. Pada tahap yang sederhana, peningkatan PO2 disebabkan
oleh pemanasan yang menyeimbangakan penurunan PO2 oleh karena pemakaian oksigen
pada kulit dan difusi oksigen melalui kulit. Hal ini harus diperhatikan bahwa terdapat
hubungan yang tidak langsung antara PaO2 dan PTCO2 yang terjadi pada neonatus yang
kemungkinan kejadiannya terjadi secara kebetulan dibanding fisiologik. Pada orang
dewasa, nilai PTCO2 secara frekuen lebih kurang dibanding nilai PaO2 yang diukur
secara langsung. PTCO2 juga dipengaruhi oleh perfusi dan dapat menggambarkan
kuantitas penghantaran O2 dibawah kulit dengan mengunakan elektroda ( produk yang

30
terdiri dari cardiac output dan oksigen arterial). PTCO2 yang digunakan pada orang
dewasa untuk mengawasi dari pembedahan vaskular, dengan maksud untuk mengevaluasi
perfusi yang lebih besar dibanding PaO2 per detik.

PCO2 transkutaneus (PTCO2) adalah pengukuran menggunakan elektroda


Severinghaus. Tidak seperti elektroda PTCO2, hasil yang baik dengan PaCO2 dapat
diperoleh pada suhu 37ºC . Karena PTCO2 secara konstan hasilnya lebih besar dari
PaCO2, hasil penggabungan dari faktor koreksi PTCO2 dapat diatur menyerupai PaCO2,
seperti PTCO2, untuk menghasilkan nilai yang mendekati PTCCO2 kompleks fisologik
harus diatur, dan merupakan hal yang keliru untuk menyamakan PTCO2 adalah PaCO2.
Sebagai contoh, penurunan perfusi jaringan menyebabkan peningkatan PTCO2.

Sensor tunggal mengkombinasikan pengukuran tekanan oksimetri (SpO2) dan


PTCO2 ( TOSCA,sensor medis linde ) kini tersedia (Gbr 31-14). Sistem pengukuran
TOSCA didasarkan pada elektroda Severinghaus yang dikombinasikan dengan sensor
okimeter nadi dan ditempatkan pada lobus telinga dengan alat pelengkap berupa klip.
Dengan menggunakan tekanan alat pelengkap berupa klip ditempatkan pada kulit sekitar
12mmHg. Menurut data yang ada, respon waktu in vitro sebanyak 90% pada PCO2
adalah < 50 detik. Sensor dikalibrasi secara in vitro menggunakan gas pada satu titik
kalibrasi dengan 7% CO2 ketika sensor ditempatkn pada ruang kalibrasi. Kalibrasi
membutuhkan waktu 2 menit, diikuti reposisi setiap 8 jam. Sensor dipanaskan pada suhu
42º C untuk menginduksi vasodilatasi lokal dan menaikkan permeabilitas kulit dengan
CO2 untuk meningkatkan difusi gas pada lokasi pengukuran. Sensor dibersihkan dengan
menggunakan alkohol dan dikeringkan sebelum akan digunakan. Gel diteteskan pada
kulit yang merupakan tempat melekatnya klip sebelum sensor digunakan. Sensor
dilepaskan setelah 8 jam, dikalibrasi ulang, dan dipasangkan pada lobus telinga lainnya.
Beberapa studi telah dilaporkan tentang keakuratan alat ini daripada PaCO2.

31
Gambar 31-14. klip yang dilekatkan pada setiap lobus telinga untuk sensor transkutaneus.klip ini
terdiri atas dua jepitan yang saling dihubungkan oleh gulungan yang membuka. Satu jepitan
ditempatkan pada lobus telinga yang terdapat lubang untuk melekatkan sensor. Jepitan ini juga
dapat ditempatkan pada pertengahan, dimana sebelum menggunakannya kita hars memberi gel.
Sensor dapat berputar untuk mendapatkan posisi agar kabel tidak tertekana atau terlilit.

MEKANIK PARU dan GRAFIK

Mekanik paru menggambarkan fungsi paru dalam mengukur tekanan dan aliran. Dari
pengukuran ini, maka dapat ditentukan volume, komplians, resistensi, dan kerja
pernafasan. Grafik pada paru dapat diperoleh jika parameter dari mekanik paru
digambarkan sebagai fungsi dari waktu atau fungsi dari salah satu parameter lainya.
Dengan prosedur waktu tekanan, waktu aliran, dan grafik waktu volume yang sama
baiknya dengan volume aliran dan tekanan volume. Pada saat ini perawatan intensif dan
anestesi menyediakan ventilator yang dapat memonitor fungsi mekanik paru dan grafik
dalam waktu bersamaan.

Tekanan pada jalan nafas umumnya diukur selama ventilasi mekanik. Tekanan puncak
pada jalan nafas diprediksi secara matematika dengan persamaan gerak, dimana
digambarkan hubungan antara tekanan proksimal jalan nafas (Paw), tekanan dihasilkan
oleh otot pernafasan (Pmus), komplians sistem pernafasan (C), Volume tidal (Vt),
resitensi jalan nafas (R), aliran (V), dan derajat PEEP:

Paw + Pmus = Vt/C + R x V + PEEP. (31-27)

32
Persamaan gerak ini memperkirakan tekanan proksimal jalan nafas akan meningkat
dengan volume tidal yang lebih tinggi, sistem komplians pernafasan bawah, resistensi
jalan nafas yang lebih tinggi, aliran inspirasi yang lebih tingi, PEEP yang lebih tinggi, dan
adanya auto PEEP.

Akibat resistensi jalan nafas, tekanan proksimal jalan nafas akan selalu lebih besar
daripada tekanan alveolar selama fase inspirasi jika terdapat aliran. Selama ventilasi
dengan volume terkontrol, tekanan plateau (Pplat) adalah pengukuran yang dilakukan
pada akhir inspirasi selama 0,5-2 detik, dimana selama proses ini terdapat keseimbangan
pada sistem pernafasan sehingga tekanan diukur pada jalan nafas proksimal terutama pada
puncak tekanan alveolar (gbr. 31-15). Pplat tidak dapat diukur secara akurat selama
pernafasan aktif dan tidak dapat diukur dengan ventilator seperti tekanan pendukung
ventilasi. Selama tekanan ventilasi terkontrol, aliran dapat turun sampai nol sebelum fase
inspirasi akhir, pada tekanan puncak inspirasi dan Pplat nilai adalah sama. Variabilitas
tekanan jalan nafas dari mulut ke mulut terjadi pada keadaan tidak sinkronnya pasien
yang menggunakan ventilator. (gbr. 31-16).

Pplat ditentukan oleh volume tidal dan komplians sistem pernafasan:

Pplat = Vt / C (31-28)

Gambar 31-15. secara skematik menggambarakan gelombang selama ventilasi dengan volume
terkontrol. Perbedaan antara tekanan puncak inspirasi (PIP) dan tekanan plateau (Pplat) ditentukan
oleh adanya resistensi primer pada jalan nafas dan alirannya. Perbedaan antara Pplat dan tingkat
dari PEEP ditentukan oleh komplians dan volume tidal.

33
Gambar 31-16. contoh tidak sinkronnya gelombang pada pasien yang menggunakan ventilator
dimana volume ventilasi yang dikontrol. Dengan catatan pernafasan dari mulut ke mulut dapat
merubah tekanan jalan nafas. (dengan izin dikutip dari Nilsesteun dan Hargett)

Pplat mengindikasikan resiko terjadi nya overdistensi pada alveolar selama ventilasi
mekanik dan harus dipertahankan pada ≤ 30 cm H2O. Pplat yang lebih rendah
mempunyai resiko terjadi nya induksi ventilator pada cedera paru. Bagaimana pun nilai
Pplat yang lebih tinggi aman (dan diperlukan) jika tekanan intrapleura meningkat (mis
distensi abdomen, penurunan komplians dinding dada)

Pengosongan paru yang tidak lengkap terjadi jika fase ekspirasi diakhiri sebelum
terjadi pematangan. Jika ini terjadi, tekanan alveolar tidak seimbang dengan tekanan
proksimal jalan nafas pada akhir ekshalasi, dan akan menghasilkan gas yang
terperangkap. Tekanan yang dihasilkan oleh gas yang terperangkap disebut auto-PEEP
atau instrinsik PEEP. Auto-PEEP meningkatkan volume akhir ekspirasi (hiperinflasi). Hal
tersebut dapat diukur pada waktu ekspirasi akhir selama 0,5-2 detik. (Gbr. 31-17).
Tekanan diukur pada akhir manuver ini dalam menilai pengaturan PEEP pada ventilator
yang merupakan auto-PEEP. Untuk pengukuran yang valid, pasien harus dalam keadaan
relaksasi dan pernafasan yang sinkron dengan ventilator. Banyak pasien dengan penyakit
paru obstruktiv kronik tampak kontraksi otot abdomen selama ekshalasi. Hal ini penting

34
untuk menentukan auto-PEEP pada pasien ini tapi tidak menyebabkan hiperinflasi. Hal
ini juga menunjukkan bahwa metode ekspirasi akhir pada fase istirahat dapat diperkirakan
auto-PEEP dengan penutupan jalan nafas selama ekshalasi, yang dapat terjadi selama
ventilasi mekanik pada pasien asma yang berat. Resiko auto-PEEP lebih besar terjadi
pada peningkatan resistensi dan komplians (mis. Penyakit paru obstruktiv kronik),
peningkatan laju respirasi atau peningkatan waktu inspirasi (waktu ekspirasi menurun
pada keduanya), dan peningkatan volume tidal. Hal ini disertai auto-PEEP dapat
menurunkan waktu ventilasi (laju atau volume tidal), meningkatnya waktu ekspirasi, atau
menurunnya resistensi jalan nafas (mis. Pemberian bronkodilator). Selama ventilasi
mekanik, pengaturan PEEP dapat mengimbangi auto-PEEP pada pasien dengan aliran
yang terbatas, dan kemudian auto-PEEP harus diukur pada PEEP=0.

Gambar 31-17. pengukuran tekanan ekspirasi akhir auto-positif (PEEP) dengan maneuver diakhir
ekspirasi. Perbedaan antara tekanan dan pengaturan tingkat PEEP bedasarkan jumlah auto-PEEP.

Pengukuran tekanan eosophagus dilakukan dengan menggembungkan balon dengan


volume udara yang sedang (<1ml) yang ditempatkan pada eosophagus bagian bawah.
Perubahan tekanan pada eosophagus dapat digambarkan dengan berubahnya tekanan
dalam pleura. Bagaimanapun, tekanan absolut eosophagus tidak dapat digambarkan oleh
tekanan absolut pleura. Perubahan tekanan eosophagus dapat digunakan untuk menilai
upaya dan kerja dari pernafasan selama pernafasan spontan, untuk menilai pengembangan
dinding dada selama bantuan ventilasi total, dan untuk menilai auto-PEEP selama
pernafasan spontan. Jika tidak ada balon eosophagus, perubahan pada tekanan pleura

35
dapat diperkirakan dengan melakukan pengamatan variabel pernafasan dari tekanan vena
sentral (Gbr.31-18).

Gambar 31-18. kiri. Selama ventilasi tekanan positif pada pasien yang dilumpuhkan, peningkatan
pada tekanan vena sentral (CVP) selama fase inspirasi dipengaruhi oleh pengembangan dinding
dada. Kanan. Selama pernafasan spontan, penurunan CVP selama fase inspirasi dipengaruhi oleh
kerja otot inspirasi.

Tekanan pada gaster dapat diukur dengan balon yang dimasukan ke dalam lambung.
Tekanan gaster menggambarkan tekanan intraabdominal. Pengukuran fase tekanan gaster
selama pernafasan spontan biasanya menggambarkan fungsi diafragma. Normalnya,
tekanan gaster (tekanan intraabdomina) meningkat selama inhalasi. Jika tekanan gaster
menurun selama inhalasi spontan, ini berkaitan dengan paralisis diafragma (Gbr.31-19).
Pada keadaan tidak ditemukannya balon pada gaster, variasi pernafasan berdasarkan
tekanan kandung kemih dapat digunakan.

Jika ekshalasi terjadi pasif, perubahan tekanan esofagus diperoleh untuk


mengembalikan aliran pada jalan nafas proximal (mis. Trigger dari ventilator)
menggambarkan besarnya auto-PEEP. Perubahan tekanan negatif esofagus menghasilkan
tidak adanya aliran pada jalan nafas mengindikasikan gagalnya usaha trigger respirasi.
(Gbr.31-17). Secara klinis, ini mencerminkan frekuensi nafas pasien lebih besar dari
frekuensi triger pada ventilator (dapat diamati dengan mengamati pergerakan dinding
dada).

36
Gambar 31-19. perubahan tekanan esophagus dan gaster pada pasien dengan paralysis diafragma.
Catatan bahwa baik tekanan esophagus dan gaster memiliki defleksi negative selama fase
inspirasi. (dengan izin dikutip dari Lecamwasam dkk).

Kegunaan aplikasi gelombang aliran jalan nafas adalah untuk mendeteksi auto-PEEP.
Jika aliran ekspirasi tidak kembali ke tingkat awal, mengindikasikan adanya auto-PEEP.
Meskipun gelombang aliran berguna untuk mendeteksi auto-PEEP, namun ini tidak
mengindikasikan secara kuantitatif mengenai besarnya auto-PEEP. Bunyi dip pada aliran
ekspirasi mengindikasikan usaha trigger saat usaha inspirasi pasien masih belum cukup
untuk menghasilkan auto-PEEP dan trigger ventilator (Gbr.31-20).

Pengembangan sistem pernafasan (Crs) dinilai pada pasien yang diventilasi mekanik
sebagai volume tidal dibagi dengan tekanan yang diperoleh untuk mengalirkan volume
tersebut:

Crs = ∆V / ∆P = Vt / ( Pplat – PEEP). (31-29)

Regangan sistem respirasi lazimnya adalah 50-100 mL / cm H2O pada pasien yang
diventilasi mekanik dan dibatasi oleh pengembangan paru dan dinding dada. Regangan
dinding dada dihitung dari perubahan pada tekanan esofagus (tekanan pleura) selama
inflasi pasif. Regangan dinding dada normalnya adalah 200 ml/ cm H2O dan dapat
berkurang oleh distensi abdomen , edema dinding dada, luka bakar didinding dada,

37
deformitas toraks (misalnya hyposcoliosis), dan peningkatan pada tonus otot (misalnya
pasien yang mengalami ”bucking” saat terventilator). Regangan dinding dada meningkat
pada keadaan flail chest dan paralisis. Regangan paru dihitung menggunakan tekanan
transpulmoner; dengan kata lain, perbedaan antara tekanan alveolar (Pplat) dan tekanan
pleura (esofageal). Regangan paru normal adalah 100 mL / cm H2O dan akan berkurang
oleh edema pulmoner (kardiogenik dan nonkardiogenik), pneumothorax, konsolidasi
paru, atelektasis, fibrosis pulmoner, reseksi paru atau pneumonektomi, intubasi
mainstream dan hiperinflasi. Regangan paru meningkat pada keadaan emfisema.

Gambar 31-20. pengukuran tekanan esophagus pada pasien dengan tekanan akhir ekspirasi auto-
positif. Catatan bahwa tekanan esofagus turun kurang lebih 10 cmH2O jika diperlukan untuk
mentriger ventilator. Ini menghasilkan tingkat auto-PEEP lebih kurang 10 cmH2O . juga dicatat
usaha nafas yang tidak cukup besar untuk menghasilkan auto-PEEP dan mentriger ventilator.
Tekanan ekspirasi tidak kembali ke nol sebelum nafas berikutnya dimulai.

Selama ventilasi dengan kontrol volume, resistensi jalan nafas saat inspirasi dapat
diperkirakan :

R1 = ( PIP – Pplat ) / Vi (31-30)


dimana Vi = aliran inspirasi akhir. Sebuah cara yang sederhana untuk membuat
pengukuran ini dengan mengatur ventilator agar aliran inspirasi tetap konstan 60 L / mnt
(1 L/detik). Menggunakan pendekatan ini, resistensi jalan nafas saat inspirasi adalah PIP –

38
Pplat. Penyebab tersering dari peningkatan resistensi jalan nafas adalah bronkospasme,
sekret, dan diameter dalam pipa endotrakeal yang kecil. Untuk intubasi dan pasien yang
akan diventilasi mekanik, resistensi jalan nafas saat ekspirasi lazimnya lebih besar
daripada resistensi jalan nafas saat inspirasi.

Kurva volume tekanan menunjukkan hubungan yang statis antara tekanan dan volume
dari sistem pernafasan (paru, abdomen, tulang dada, dan otot pernafasan). Hal ini dapat
disusun menggunakan sejumlah teknik yang mengukur tekanan paru yang inflasi atau
deflasi. Hal ini memerlukan relaksasi total dinding dada dengan memperkirakan tekanan
pleural menggunakan balon esofagus. Pada sistem respirasi normal lengkung kurva
volume tekanan berdekatan secara linear diatas volume istirahat. Kurva inflasi dan deflasi
memperlihatkan perbedaan pada lengkung dan tekanan untuk volume yang diberikan
( hysteresis). Kurva inflasi dengan ALI diawali dengan bagian datar diikuti oleh
perubahan ke bagian yang lebih regang (Gbr 31-21). Perubahan ini disebut titik infleksi
bawah (Pflex). Kurva dilanjutkan dengan progresi yang sejajar dan ujung atasnya
berlanjut menjadi transisi yang lain yaitu area yang rata. Perubahan ini disebut titik inflasi
atas. Pada deflasi, kelengkungan yang terjadi tapi pada tekanan yang lebih rendah
daripada kurva inflasi. Pflex yang lebih rendah dihubungkan dengan volume akhir, dan
Pflex yang atas dihubungkan dengan overdistensi. Determinasi titik infleksi sering
menyimpang dan tidak akurat. Metode ini memiliki rentang dari bola mata mendekati
metode kurva grafis. Variabilitas antar pengamat dalam determinasi Pflex pernah
dilaporkan. Metode didasarkan pada persamaan kurva dapat memberikan perkiraan yang
lebih akurat pada titik infleksi. Telah dianjurkan untuk menggunakan kurva volume
tekanan untuk mengoptimalisasi pengaturan ventilator dengan mengatur PEEP diatas pada
Pflex dan mengatur Pflat dibawah Pflex yang lebih diatas. Observasi dan analisi terbaru
dari kurva volume tekanan pada ARDS telah berubah dalam interpretasi dan implikasi
penatalaksanaan. Dinding dada mempengaruhi Pflex dan determinasi dari titik infleksi
yang lebih diatas. Observasi ini menunjukkan bahwa kurva volume tekanan seharusnya
diukur dengan balon esofagus untuk membatasi titik infleksi paru sendiri. Karena kurva
volume tekanan menunjukkan keseluruhan jumlah dari semua unit paru yang diventilasi

39
dan memberikan heterogenitas dari cedera paru, bukan suatru yang tidak mungkin untuk
membatasi titik ideal dari keperluan atau overdistensi. Model matematis mendukung
bahwa pengaturan PEEP didasarkan pada Pflex dapat tidak adekuat untuk memastikan
paru yang terbuka.

Gambar 31-21. kurva tekanan voleme selama ventilasi mekanik. Catatan kurva linear lebih dekat
dari keadaan normal. Pada sindrom distress pernafasan akut, kurva menggambarkan adanya titik
infleksi pada bagian bawah dan titik infleksi pada bagian atas.

PRESPEKTIF DAN MONITORING

Seberapa besar monitoring diperlukan? Ini merupakan pertanyaan penting untuk setiap
klinisi dan administrator. Klinis sering ingin memonitor segala hal yang mungkin, dengan
perilaku bahwa lebih banyak diketahui adalah lebih baik. Pada pihak lain, administrator
dan penyedia perawatan menjadi fokus dengan biaya dan kompleksitas yang dihubungkan
dengan monitoring.

Adanya banyak monitor disamping tempat tidur pasien dapat membingungkan bagi
klinisi. Banyak sistem monitor menyebabkan bunyi yang konstan, memerlukan perhatian
yang lebih. Bent dkk, menemukan bahwa alarm oksimeter pulse muncul hingga 47% dari
waktu (28 menit/ jam) pada 10 pasien bedah di ICU, dan itu merupakan alarm yang salah
yang tidak memerlukan intervensi. Monitoring anestesi, Kestin dkk, menemukan sekitar

40
75% bunyi alarm adalah salah dan hanya 3% mengindikasikan pasien yang beresiko.
Dewasa ini ICU, monitor alarm muncul 20% setiap saat, dengan puncak level bunyi
mendekati 80 dBA (pengukuran menggunakan desibel). Agen pemerhati lingkungan
(EPA) merekomendasikan tingkat kebisingan dalam rumah sakit tidak melebihi 45 dBA.
Monitoring ini sering digunakan untuk mengamati pasien. Bagaimanapun, monitoring
seharusnya tidak hanya karena kemampuan secara teknik. Kemampuan teknisi harus
seimbang dengan kilinis yang bermanfaat, biaya yang efektif, dan aman. Kesimpulan
pada monitor, sama pada setiap kesimpulan klinis, sebaiknya berdasarkan terapi objektif
dalam hal keamanan dan biaya yang efektif.

41

Anda mungkin juga menyukai