Anda di halaman 1dari 192

1

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT atas limpahan Rahmat dan HidayahNya sehingga
penyusunan modul ini dapat terselesaikan dengan baik. Modul ini disusun sebagai
media pembelajaran praktik laboratorium Mahasiswa Prodi Sarjana Terapan
Keperawatan Anestesiologi. Karena setiap praktikum memerlukan pendahuluan
berupa konsep singkat mengenai hal-hal yang akan dipelajari.

Modul Praktika Asuhan Keperawatan Anestesi dapat diselesaikan dengan baik


berkat dukungan dari berbagai piha. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, kami
mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah membantu menyusun
modul ini.

Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan modul ini. Oleh
karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan dan
kesempurnaan modul ini.

Tim Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................................................2

DAFTAR ISI ..................................................................................................................................3

A.Asuhan Keperawatan Anestesi pada Kasus Obstetrik ...............................................................4

B.Asuhan Keperawatan Anestesi pada Kasus Pediatri ................................................................15

C.Asuhan Keperawatan Anestesi pada Kasus Bedah Gigi dan Syaraf ..........................................29

D.Asuhan Keperawatan Anestesi pada Kasus Bedah Mata.........................................................62

F.Asuhan Keperawatan Anestesi pada Kasus Bedah Mulut dan Maxillofacial.............................70

G.Asuhan Keperawatan Anestesi pada Kasus Bedah Thoraks ....................................................77

H.Asuhan Keperawatan Anestesi pada Kasus Bedah Plastik .......................................................90

I.Asuhan Keperawatan Anestesi pada Kasus Bedah Jantung ......................................................92

J.Asuhan Keperawatan Anestesi pada Kasus Bedah Vaskuler .................................................. 128

K.Asuhan Keperawatan Anestesi pada Kasus Bedah Hepar ...................................................... 134

L.Asuhan Keperawatan Anestesi pada Kasus Bedah Urologi .................................................... 156

M.Asuhan Keperawatan Anestesi pada Kasus Bedah Endokrin ................................................ 176

N.Asuhan Keperawatan Anestesi pada Kasus Bedah Ortopedi ................................................. 181

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................................... 187

3
A. Asuhan Keperawatan Anestesi pada Kasus Obstetrik
a. Pelayanan Anesthesia Regional dalam Obstetrik
Pelayanan anestesia regional dalam obstetrik adalah tindakan pemberian anestetik
lokal kepada wanita dalam persalinan :

1. Anestesia regional hendaknya dimulai dan dirumat hanya di tempat dengan


perlengkapan resusitasi serta obat-obatan yang tepat dan dapat segera
tersedia untuk menangani kendala yang berkaitan dengan prosedur.
2. Anestesia regional diberikan oleh dokter spesialis anestesiologi setelah pasien
diperiksa dan diminta oleh seorang dokter spesialis kebidanan dan kandungan
atau dokter yang merawat.
3. Anestesia regional dimulai oleh dokter spesialis anetesiologi dan dapat dirumat
oleh dokter spesialis anetesiologi atau dokter/bidan/perawat
anestesia/perawat di bawah supervisi dokter spesialis anetesiologi.
4. Anestesia regional untuk persalinan per vaginam disyaratkan penerapan
pemantauan dan pencatatan tanda-tanda vital ibu dan laju jantung janin.
Pemantauan tambahan yang sesuai dengan kondisi klinis ibu dan janin
hendaknya digunakan bila ada indikasi. Jika diberikan blok regional ekstensif
untuk kelahiran per vaginam dengan penyulit, maka standar pemantauan dasar
anestesia hendaknya diterapkan.
5. Selama pemulihan dari anestesia regional, setelah bedah sesar dan atau blok
regional ekstensif diterapkan standar pengelolaan pascaanestesia.
6. Pada pengelolaan pasca persalinan, tanggung jawab dokter anestesi adalah
mengelola ibu, sedangkan tanggung jawab pengelolaan bayi baru lahir oleh
dokter spesialis lain. Jika dokter anestesi juga diminta untuk memberikan
bantuan singkat dalam perawatan bayi baru lahir, maka manfaat bantuan bagi
bayi tersebut harus dibandingkan dengan risiko terhadap ibu.

b. Pelayanan Nyeri
Pelayanan nyeri adalah penangulangan nyeri baik akut maupun kronis. Pada
nyeri akut, rasa nyeri timbul tiba-tiba akibat pembedahan, trauma, persalinan dan

4
umumnya dapat diobati. Pada nyeri kronis, nyeri berlangsung menetap dalam waktu
tertentu dan tidak responsif terhadap pengobatan.
Kelompok pasien dengan kebutuhan khusus yang memerlukan perhatian:
anak-anak, pasien obstetric, pasien lanjut usia, pasien gangguan kognitif atau
sensorik, pasien yang sebelumnya sudah ada nyeri atau nyeri kronis, pasien dengan
risiko menderita nyeri kronis, pasien kanker atau hiv/aids, pasien dengan
ketergantungan opioid/obat/bahan.
Penanggulangan nyeri akut dan kronis dilakukan berdasarkan standar
prosedur operasional yang mengacu pada standar pelayanan kedokteran

ANESTESI PADA TUMOR MEDULA

Sekitar 0,75%–2% pembedahan nonobstetrik dilakukan selama masa kehamilan.Di


United States, diperkirakan sekitar 75.000 wanita hamil menjalani anestesi dan
pembedahan setiap tahunnya. Sekitar 42% prosedur pembedahan terjadi pada
trimester pertama, 35% pada trimester kedua, dan 23% pada trimester ketiga.

Laparoskopi merupakan prosedur pembedahan terbanyak yang dikerjakan pada


trimester pertama, sedangkan appendisektomi adalah prosedur pembedahan yang
paling sering dikerjakan pada trimester selanjutnya.

Pembedahan nonobstetri selama periode kehamilan dapat memberi kontribusi


terjadinya morbiditas dan mortalitas perinatal, akibat perjalanan penyakit dasarnya
sendiri atau efek terapi, kemungkinan paparan anestetika yang teratogenik,
gangguan perfusi uteroplasenta dan atau oksigenasi fetal, serta adanya risiko terjadi
abortus atau persalinan premature.

LAPORAN KASUS

Survey sekunder

1) Kepala : buka mulut 3 jari, gigi utuh, Mallampati I, pergerakan


temporomandibular joint baik, fleksi ekstensi leher baik

5
2) Thorak : soufle, bising usus (+), pemeriksaan obstetri: tinggi
fundus uteri 2 jari diatas umbilikus, dan pemeriksaan
ultrasonografi menunjukkan denyut jantung janin
140x/ menit
2) Urogenitalia : terpasang kateter urine, inkontinensia alvi (+)
3) Ekstremitas : deformitas (-), hangat (+), temperatur aksila 36,7°C,
Capillary refill test <2 detik, Allen test radiali
dektra/sinister <5 detik.
4) Pemeriksaan neurologis :level sensorik semua kualitas didapatkan menurun
sampai level sensorik semua kualitas didapatkan
menurun sampai setinggi segmen thorakal 6

Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) thorakolumbal menunjukkan lesi di


daerah epidural setinggi C7–Th1 sisi kanan yang tampak hipointens pada T1W1
menjadi slight hiperintens pada T2W1 dan pada pemberian kontras, tampak slight
contrast enchancement di bagian tepinya.Sebagian lesi tampak menginfiltrasi kanalis
sentralis dan menyebabkan kompresi spinal cord setinggi level tersebut.
Kesan:
1. Suspek massa di daerah epidural setinggi C7‒Th1 sisi kanan yang sebagian
tampak menginfiltrasi kanalis sentralis dan menyebabkan kompresi spinal cord
setinggi level tersebut, diagnosis banding a. epidural abses, b. epidural
lymphoma,
2. Hambatan aliran likuor serebrospinalis setinggi level C7–Th1.
3. Pasien didiagnosis dengan status fisik ASA 2 dengan gravida dan terdapat massa
epidural setinggi C7–Th1 yang telah menimbukan defisit neurologis. Pasien
direncanakan untuk dilakukan tindakan anestesi umum pemasangan pipa
endotrakeal dengan posisi prone. Pasien dipuasakan 8 jam praoperatif, diberikan
antasida syrup 30 ml. Saat mulai puasa, dipasang kanul intravena G 18 di vena
dorsalis manus kiri dan kebutuhan cairan disesuaikan dengan kebutuhan
rumatan selama puasa (100 ml/jam).

6
PENGELOLAAN ANESTESI

1. Diposisikan supine dengan tilt lateral kiri sekitar 15° dengan diganjal kain.
2. Premedikasi diberikan ranitidine 1 mg/kg, ondansetron 0,15 mg/kg, dan
metilprednisolon 2 mg/kg bolus intravena.
3. Di kamar operasi, pemantauan menggunakan EKG, saturasi oksigen perifer,
arterial line di arteri radialis kiri, dan end tidal CO2.
4. Preoksigenasi selama 3 menit dengan oksigen 100% dilanjutkan dengan induksi
dengan propofol 2 mg/kg dan fentanyl 3 mcg/kg, diikuti oleh penekanan kartilago
krikoid.
5. Fasilitas intubasi menggunakan vecuronium 0,12 mg/kg.
6. Intubasi dengan pipa endotrakeal 7,0 kedalaman 21 cm pada tepi bibir.
Pemeliharaan menggunakan isofluran 0,8–1 vol% dengan fresh gas flow
menggunakan kombinasi oksigen dan compressed air 3 L/menit, bolus fentanyl dan
vecuronium intra vena intermitten.
7. Sebelum dilakukan insisi, diberikan paracetamol 10 mg/kg intravena.
8. Pasien diposisikan prone dengan posisi bantalan menyangga bagian bahu dan
pinggul sehingga tidak terjadi penekanan pada abdomen

7
PEMERIKSAAN PENUNJANG

INTRA OPERATIVE
a. Intraoperatif ditemukan tumor ekstradura setinggi level C7–Th1, dilakukan
laminektomi total segmen C7–Th2 serta dilakukan stabilisasi dengan
pemasangan pedicle screw C7–Th2
b. Operasi berlangsung selama 2 jam 25 menit dengan jumlah perdarahan kurang
lebih 500 ml.
c. Pemberian cairan intraoperatif menggunakan ringer laktat sebanyak 1500 ml
dan hydroxyethyl starch 6% sebanyak 500 ml.
d. Selama operasi hemodinamik stabil, tekanan darah sistolik berkisar 89–130
mmHg, tekanan darah diastolik 50-82 mmHg, laju nadi 60–88x/menit, SaO2 99-
100%, ETCO2 32 mmHg.

8
e. Pada akhir operasi diberikan reversal pelumpuh otot yaitu sulfas atropin 0,01
mg/kg dan neostigmin 0,04 mg/kg kemudian pasien dilakukan ekstubasi.

PENGELOLAAN PASCA BEDAH


1. Pascabedah pasien dirawat di ruang terapi intensif.
2. Suplementasi oksigen diberikan nasal kanul 3 L/menit.
3. Terapi yang diberikan adalah ceftriaxon, metylcobalamine, analgetika sistemik
fentanyl 0,35 mcg/kg/jam intravena kontinyu, paracetamol 10 mg/kg oral
setiap interval waktu 6 jam, dan fisioterapi.
4. Dokter obgyn tetap memantau kesejahteraan janin dengan ultrasonografi
Doppler secara berkala
5. Hari kedua, kondisi hemodinamik stabil, mulai tampak perbaikan status
neurologis, pasiendipindahkan ke ruangan.
6. Follow-up pascabedah terjadi perbaikan terhadap defisit neurologis pasien
7. Kekuatan motorik meningkat pada level 3.

9
8. Pasien tetap menjalani rawat inap sampai usia kehamilan 37 minggu untuk
dilakukan seksio ses area.
9. Seksio sesarea dilakukan dengan regional anestesi blok subaraknoid
10. Pada hari ke-4 pascaseksio sesarea, pasien diperbolehkan menjalani rawat
jalan.

TUMOR MEDULA SPINALIS


a. Tumor intramedula
Terletak di dalam medula spinalis, insiden 10%. Sebagian besar adalah glioma
dan ependymoma.
b. Tumor ekstramedula:
a) Intradura
Neurofibroma dan meningioma
b) Ekstradura.
Berasal dari lesi metastase kanker paru, mammae, prostat atau pun myeloma.
Lesi medula spinalis lainnya adalah vertebral hemangioma, abses atau
hematoma.
Tumor sistem saraf pusat meningkat dengan kehamilan:
1) · Meningioma.
2) · Glioma dan spinal vaskular tumor meningkat pada trimester pertama dan
ketiga.

Gejala klinis akibat kompresi medula spinalis:


a. Nyeri
b. gangguan motorik
c. gangguan sensorik,
d. gangguan otonom.

Diagnosis:
a. gejala klinis
b. pemeriksaan penunjang radiologis medula spinalis (MRI).

10
Penatalaksanaan dan prognosis (tergantung lesi):
1. Medikamentosa (kortikosteroid)
2. Radiasi
3. Kemoterapi
4. Pembedahan dekompresi atau
5. Eksisi

11
Operasi elektif sebaiknya tidak dilakukan selama kehamilan. Jika operasi harus
dilakukan selama kehamilan, waktu operasi harus mempertimbangkan resiko ibu, fetus
dan urgensi dari operasi (Gambar 5).

a. Dari sisi fetus, trimester kedua adalah waktu yang optimal untuk operasi. resiko
teratogenik meningkat selama periode organogenesis pada trimester pertama dan
resiko persalinan prematur tinggi selama trimester ketiga.
b. Resiko terhadap ibu lebih besar selama trimester ketiga yang dipengaruhi
perubahan fisiologis kehamilan
c. Resiko terjadinya abortus selama trimester pertama sekitar 12% , berkurang pada
trimester kedua menjadi sekitar 0%–5,6%.
d. Resiko persalinan prematur selama trimester kedua adalah 5%.2,6 Pada pasien ini
tindakan pembedahan tergolong urgent karena telah terjadi defisit neurologis akut
pada pasien.
e. Perfusi Uteroplasenta, mempertahankan aliran darah uteroplasenta merupakan
penanda bagi kesejahteraan janin. Aliran darah uteroplasenta dapat dirumuskan
sebagai berikut:

Maka semua keadaan yang menurunkan tekanan darah rata-rata maternal atau
meningkatkan resistensi vaskuler uterus akan menurunkan aliran darah uterine dan
akhirnya menurunkan aliran darah umbilikal.

12
Penatalaksanaan anestesi

Tehnik anestesi dipilih berdasarkan indikasi maternal dan disesuaikan dengan jenis
pembedahannya. Tidak ada penelitian yang menyatakan bahwa outcome fetal lebih
baik dengan suatu tehnik anestesi tertentu. Jika memungkinkan dipilih tehnik anestesi
lokal atau regional , mengurangi kemungkinan paparan obat yang berefek teratogenik
dan risiko komplikasi respirasi maternal dapat diminimalkan. Selama kehamilan,
kebutuhan oksigen meningkat dan terjadi perubahan mekanika respirasi akibat efek
uterus yang bertambah besar. Penurunan kapasitas residu fungsional dapat
menyebabkan desaturasi maternal yang cepat selama periode hipoventilasi atau apneu.

Pipa endotrakeal dipilih ukuran yang lebih kecil akibat oedem dan pembesaran mukosa
jalan napas atas. Obat premedikasi yang bersifat sedasi dapat diberikan untuk
mengurangi kecemasan maternal karena katekolamin yang meningkat dapat
menurunkan aliran darah uterus. 2 Tidak ada obat anestesi yang terbukti teratogenik
terhadap manusia. Nitrous oxide tergolong teratogenik lemah pada tikus pada keadaan
tertentu melalui inhibisi methionine synthetase yang menyebabkan penurunan
tetrahydrofolate , yang selanjutnya menurunkan sintesis DNA.

13
1. Posisi prone
Perhatian khusus ditujukan untuk menghindari abrasi kornea atau iskemi retina
akibat penekanan bola mata atau nekrosis penekanan pada hidung, telinga, dahi,
dagu, mammae pada wanita, atau genetalia pada pria. Meletakkan padding diatas
pelvis dan klavikula. Penekanan eksternal pada dinding abdomen dihindari karena
dapat meningkatkan reisko perdarahan. Posisi prone secara teknis memberikan
kesulitan untuk pemantauan fetal, persalinan sesar secara emergensi, serta
meningkatkan risiko perdarahan venous epidural. Namun posisi prone dapat
meningkatkan perfusi plasenta pada wanita hamil.

2. Pemantauan Intraoperatif
Meliputi pengukuran TD noninvasif maupun invasif, EKG, pulse oksimetri, kapnografi,
suhu, dan penggunaan stimulator saraf. Idealnya pemantaun denyut jantung janin
dilakukan untuk menentukan oksigenasi serebral yang adekuat untuk fetus dan
aktivitas uterine selama pembedahan berlangsung. Tejadinya penurunan denyut
jantung mencerminkan oksigenasi serebral fetus yang tidak adekuat, dapat
digunakan monitor denyut jantung janin eksternal dengan Doppler.

3. Penatalaksanaan Pascabedah
Adanyalevel katekolamin dalam sirkulasi yang meningkat akibat nyeri akan
menurunkan perfusi uteroplasenta. Pada pasien ini diberikan analgetika sistemik
fentanyl 0,35 mcg/kg/jam intravena kontinyu kombinasi dengan paracetamol 10
mg/kg intravena setiap interval waktu 6 jam. Pemberian obat tokolitik untuk
mencegah persalinan prematur dapat diberikan. Pencegahan tromboemboli menjadi
pertimbangan mengingat fisiologi kehamilan terjadi keadaan hiperkoagulabel dan
meningkatkan risiko penyakit tromboemboli. Dapat dilakukan mobilisasi dini, hidrasi
yang adekuat, penggunaan stoking atau alat kompresi lain, dan profilaksis
farmakologik. Dilakukan pemantauan ketat terhadapt denyut jantung janin dan
aktivitas uterin.

14
B. Asuhan Keperawatan Anestesi pada Kasus Pediatri
a. Definisi
Anestesia pediatrik merupakan anestesi pada pasien anak-anak yang dapat dibagi
menjadi 4 kelompok umur yaitu neonatus (umur 1-28 hari), bayi (sampai 1 tahun),
anak pra sekolah (2-5 tahun), dan anak usia sekolah (6-14 tahun).2 Anestesi pada
pasien pediatrik memerlukan perhatian dan kebutuhan khusus dimana anak- anak
bukan merupakan miniatur dari orang dewasa namun merupakan kelompok individu
yang mempunyai anatomi, fisiologi, psikologi dan biokimia yang berbeda dari orang
dewasa.3 Kebutuhan dan karakteristik juga berbeda pada masing-masing kelompok
umur pasien pediatrik. Ditambah lagi pasien pediatrik mempunyai risiko morbiditas
dan mortalitas yang lebih tinggi daripada orang dewasa.

b. Perubahan pada Pasien Pediatrik


Masa neonatus dan bayi adalah masa dimana terjadi perubahan yang sangat besar
dari kehidupan didalam rahim menjadi diluar rahim. Pada masa ini terjadi
pematangan organ hampir pada semua sistem. Sistem respirasi, sirkulasi, dan
ekskresi penting untuk anestesi pada kelompok umur ini. Begitu pula dengan
kelompok anak pra sekolah dan anak usia sekolah dimana secara anatomi, fisiologi,
psikologi, dan biokimia yang berbeda dari orang dewasa. Kelompok ini cenderung
memerlukan pendekartan-pendekatan psikologis yang berbeda sekali dengan orang
dewasa.Maka dari itu sangatlah diperlukan penataan dan persiapan yang matang
untuk melakukan suatu tindakan anestesi terhadap pasien pediatrik.
1. Sistem Respirasi
Secara anatomi jalur nafas neonatus dan bayi lebih rentan tersumbat daripada
orang dewasa.3,4 Diameter dari lubang hidung, orofaring, dan trakea relatif
lebih kecil pada anak-anak daripada orang dewasa. Diameter tersempit
terdapat didaerah cricoid, berbeda dengan orang dewasa dimana tersempit
pada daerah epiglottis. Perbedaan ini membuat pernfasan lebih mudah
tersumbat oleh edema mukosa yang dapat disebabkan oleh inflamasi ataupun
iritasi dan dapat bersifat fatal. Produksi mukosa pada neonatus dan bayi juga
lebih banyak daripada orang dewasa, sehingga membuat jalur pernafasan lebih
mudah tersumbat. Lidah pada neonatus dan bayi juga relatif lebih besar dan

15
cenderung jatuh saat dalam pengaruh anestesi. Pada neonatus dan bayi ukuran
epiglottis lebih besar, berbentuk U, dan lebih terkulai. Hal ini membuat
terkadang pengangkatan epiglottis diperlukan untuk visualisasi pada proses
intubasi. Ukuran tonsil dan adenoid juga harus diperhatikan karena dapat
mempersulit proses intubasi. Karakteristik anatomis neonatus membuat
neonatus hanya dapat bernafas melalui hidung sampai berumur 5 bulan,
sehingga pemasangan pipa naso-gastrik dapat membahayakan pernafasan.
Hampir sama dengan neonatus dan bayi, pada kelompok anak-anak juga
mempunyai lidah yang lebih besar, laring yang letaknya lebih anterior, epiglottis
yang lebih panjang, serta leher dan trakea yang lebih pendek daripada dewasa
membuat membuat seorang anestesi lebih berhati-hati.

Jenis pernafasan neonatus adalah pernafasan diafragma. Hal ini disebabkan


oleh thoraks pada neonatus berukuran kecil dan iga horizontal, otot-otot
pernafasan pada neonatus belum berkembang dengan baik, diafragma
terdorong keatas oleh isi perut yang besar. Dengan demikian kemampuan
dalam memelihara tekanan negatif intratorakal dan volume paru rendah
sehingga memudahkan terjadinya kolaps alveolus serta menyebabkan neonatus
bernafas secara diafragmatis. Kadang- kadang tekanan negatif dapat timbul
dalam lambung pada waktu proses inspirasi, sehingga udara atau gas anestesi
mudah terhirup ke dalam lambung. Pada bayi yang mendapat kesulitan
bernafas dan perutnya kembung dipertimbangkan pemasangan pipa lambung.
Pada neonatus juga ditemukan pola nafas periodik dimana ada - periode
dimana nafas berhenti sebentar selama kurang dari 10 detik.5 Hal ini harus
dibedakan dengan apneu, dimana apneu berhubungan dengan desaturasi dan
bradikardi. Pada anak yang lebih besar, pola pernafasan sudah hampir sama
dengan orang dewasa namum frekuensi lebih cepat karena berhubungna
dengan tingkat metabolism yang lebih tinggi daripada orang dewasa

Karena pada posisi terlentang dinding abdomen cenderung mendorong


diafragma ke atas serta adanya keterbatasan pengembangan paru akibat
sedikitnya elemen elastis paru atau surfaktan, maka akan menurunkan FRC
(Functional Residual Capacity) sementara volume tidalnya relatif tetap (7

16
mL/kgBB). Untuk meningkatkan ventilasi alveolar dicapai dengan cara
menaikkan frekuensi nafas (40-60 kali/menit), karena itu neonatus mudah
sekali gagal nafas. Peningkatan frekuensi nafas juga dapat akibat dari tingkat
metabolisme pada neonatus yang relative tinggi, sehingga kebutuhan oksigen
juga tinggi, dua kali dari kebutuhan orang dewasa dan ventilasi alveolar pun
relative lebih besar dari dewasa hingga dua kalinya. Tingginya konsumsi oksigen
dapat menerangkan mengapa desaturasi O2 dari Hb terjadi lebih mudah atau
cepat, terlebih pada neonatus prematur, karena adanya stress dingin maupun
sumbatan jalan nafas.

2. Sistem Sirkulasi
Estimasi volume darah pada neonatus dan bayi adalah sekitar 85 mL/kg dan
lebih tinggi pada bayi prematur (95 mL/kg) dengan nilai hematokrit neonatus
dan bayi berisar antara 45-65 %. Komposisi cairan pada neonatus dan bayi
adalah 75- 80% dari berat badan dimana sebanyak 30% berada di ekstraselular,
40% di intraselular, dan sekitar 5% di plasma. Semakin bertambah umur,
komposisi semakin menyerupai orang dewasa dimana komposisi cairan sekitar
60% dari berat badan. Hemoglobin yang terdapat pada bayi terlebih neonatus
kebanyakan adalah hemoglobin fetal (HbF) yang mempunyai afinitas oksigen
yang lebih tinggi daripada hemoglobin dewasa (HbA). Hal ini membuat oksigen
lebih susah untuk ditransfer ke jaringan dalam tubuh. Seiring berjalannya
waktu, jumlah HbF akan berkurang dan HbA akan meningkat dimana kadar
hemoglobin terendah pada saat usia 3 bulan dan HbA menggantikan HbF
seluruhnya pada usia sekitar 6 bulan.

Pada neonatus dan bayi reaksi pembuluh darah masih sangat kurang, sehingga
keadaan kehilangan darah, dehidrasi dan kelebihan volume juga sangat kurang
ditoleransi. Manajemen cairan pada neonatus dan bayi harus dilakukan dengan
cermat dan teliti. Tekanan sistolik merupakan indikator yang baik untuk menilai
sirkulasi volume darah dan dipergunakan sebagai parameter yang adekuat
terhadap penggantian volume. Autoregulasi aliran darah otak pada bayi baru

17
lahir tetap terpelihara normal pada tekanan sistemik antara 60-130 mmHg.
Frekuensi nadi neonatus dan bayi antara 80-160 dengan rata-rata 120
kali/menit dengan tekanan darah sekitar 80/60 mmHg.4,5 Sedangkan tekanan
darah dan frekuensi nadi pada anak-anak bervariasi menurut umur dan semakin
lama semakin sama dengan orang dewasa seiring dengan bertambahya usia
(Tabel 1).

Aktivasi dari sistem saraf parasimpaik, overdosis anestesi, ataupun hypoxia


dapat memicu bradikardi secara cepat meskipun denyut nadi pada bayi lebih
cepat dan mengurangi cardiac output yang dapat menyebabkan hipotensi,
asistol, hingga kematian intraoperative. Sesitivitas jantung terhadap rangsangan
parasimpatis, obat anestesi seperti opioid dan volatile neonatus dan bayi dapat
disebabkan oleh belum matangnya jantung, sistem saraf simpatik, dan reflek
baroreseptor. Untuk itu monitor kardiovaskular harus dilakukan secara hati-
hati.

3. Sistem Ekskresi dan Elektrolit


Filtrasi glomerulus hanya sekitar 30% dibanding orang dewasa akibat belum
matangnya ginjal neonatus. Fungsi tubulus juga belum matang sehingga
resorbsi terhadap natrium, glukosa, fosfat organic, asam amino dan bikarbonat
juga rendah. Fungsi ginjal akan berangsur matang pada puncaknya sekitar umur
8 tahun. Karena rendahnya filtrasi flomerulus, kemampuan mengekskresi obat-
obatan juga menjadi diperpanjang. Oleh karena ketidakmampuan ginjal untuk
menahan air dan garam, penguapan air, kehilangan abnormal atau pemberian
air tanpa sodium dapat dengan cepat jatuh pada dehidrasi berat dan

18
ketidakseimbangan elektrolit terutama hiponatremia. Pemberian cairan dan
perhitungan kehilangan atau derajat dehidrasi diperlukan kecermatan lebih
dibanding pada orang dewasa. Begitu pula dalam hal pemberian elektrolit, yang
biasa disertakan pada setiap pemberian cairan. Perhitungan kebutuhan cairan
per jam pada pasien pediari menggunakan auran “4- 2-1” , dimana 4
ml/kgBB/jam untuk 10 kg pertama, ditambah 2 ml/kgBB/jam untuk 10 kg
kedua, dan ditambah 1 ml/kgBB/jam untuk sisa berat badan.

4. Sistem Saraf
Myelinisasi pada neonatus belum sempurna dan akan matang dan lengkap pada
usia 3-4 tahun. Jadi saat neonatus, otak sangat sensitive terhadap keadaan-
keadaan hipoksia. Perkembangan yang belum sempurna pada neuromuscular
junction dapat mengakibatkan kenaikan sensitifitas dan lama kerja dari obat
pelumpuh otot non depolarizing. Syaraf simpatis belum berkembang dengan
baik sehingga aktivitas parasimpatis lebih dominan, yang mengakibatkan
kecenderungan terjadinya refleks vagal (mengakibatkan bradikardia; nadi <110
kali/menit) terutama pada saat bayi dalam keadaan hipoksia maupun bila ada
stimulasi daerah nasofaring. Sirkulasi bayi baru lahir stabil setelah berusia 24-48
jam. Belum sempurnanya mielinisasi dan kenaikan permeabilitas blood brain
barrier akan menyebabkan akumulasi obat- obatan seperti barbiturat dan
narkotik, dimana mengakibatkan aksi yang lama dan depresi pada periode
pasca anestesi. Sisa dari blok obat relaksasi otot dikombinasikan dengan zat
anestesi intravena dapat menyebabkan kelelahan otot- otot pernafasan,
depresi pernafasan dan apnoe pada periode pasca anestesi. Setiap keadaan
bradikardia harus dianggap berada dalam keadaan hipoksia dan harus cepat
diberikan oksigenasi. Kalau pemberian oksigen tidak menolong baru
dipertimbangkan pemberian sulfas atropin.

5. Fungsi Hati
Fungsi hati belum matang pada bayi terlebih neonatus. Fungsi detoksifikasi obat
masih rendah dan metabolisme karbohidrat yang rendah pula yang dapat
menyebabkan terjadinya hipoglikemia dan asidosis metabolik. Cadangan

19
glikogen hati sangat rendah. Kadar gula normal pada bayi baru lahir adalah 50-
60%. Hipoglikemia pada bayi (dibawah 30 mg/dL) sukar diketahui tanda-tanda
klinisnya, dan diketahui bila ada serangan apnoe atau terjadi kejang. Sintesis
vitamin K juga belum sempurna. Pada pemberian cairan rumatan dibutuhkan
konsentrasi dextrose lebih tinggi (10%).

6. Regulasi Suhu
Pusat pengaturan suhu di hipothalamus belum berkembang, walaupun sudah
aktif. Kelenjar keringat belum berfungsi normal, luas permukaan besar, tipisnya
lemak subkutan, kulit lebih permeable terhadap air membuat mudah
kehilangan panas tubuh, sehingga neonatus sulit mengatur suhu tubuh dan
sangat terpengaruh oleh suhu lingkungan. Produksi panas mengandalkan pada
proses non- shivering thermogenesis yang dihasilkan oleh jaringan lemak coklat
yang terletak diantara scapula, axila, mediastinum dan sekitar ginjal. Hipoksia
mencegah produksi panas dari lemak coklat.

Hipertermia dapat terjadi akibat dehidrasi, suhu sekitar yang panas, selimut
atau kain penutup yang tebal dan pemberian obat penahan keringat (misal:
atropin, skopolamin). Adapun hipotermia bisa disebabkan oleh suhu lingkungan
yang rendah, permukaan tubuh terbuka, pemberian cairan infus atau tranfusi
darah dingin, irigasi oleh cairan dingin, pengaruh obat anestesi umum yang
menekan pusat regulasi suhu, maupun obat vasodilator. Temperatur lingkungan
yang direkomendasikan untuk neonatus adalah 270C. Pemantauan suhu tubuh,
mengusahakan suhu kamar optimal atau pemakaian selimut hangat, lampu
penghangat, incubator, cairan intra vena hangat, gas anestesi, cairan irigasi
maupun cairan antiseptic yang hangat dapat dilakukan untuk mencegah
hipotermia. Untuk anak yang lebih besar, penanganan suhu sama dengan orang
dewasa.

7. Respon Psikologis
Respon psikologis pada pasien pediatrik terutama pada kelompok umur anak
pra sekolah dan usia sekolah sangat berbeda dengan orang dewasa. Pada

20
kelompok ini diperlukan pendekatan-pendekatan khusus. Respon psikologis
kelompok ini terhadap rasa takut, tidak nyaman, dan stress emosional seringkali
membuat masalah pada proses pre operatif, durante, maupun post operatif.
Rasa takut bisa datang dari nyeri fisik seperti jarum suntik, luka pasca bedah,
dan penggantian bebat. Rasa tidak nyaman yang seringkali dirasakan pasien
pediatrik adalah pusing, mual, infus, kateter, drain, dll. Sedangkan stress
emosional yang paling sering dirasakan adalah pisah dari orangtua, bau-bauan,
alat-alat dan suara di rumah sakit atau kamar bedah, ataupun ketakutan akan
operasi yang akan pasien jalani. Menangis, agitasi, retensi urine, nafas dalam,
tak mau bicara, dan pernafasan dalam merupakan respon yang biasa dilakukan
anak-anak. Untuk itu mungkin diperlukan pendekatan terhadap anak-anak
seperti menggunakan mainan atau permainan tertentu, selalu tersenyum dan
menggunakan intonasi yang meyakinkan anak, anak didampingi orangtua, dll.

8. Respon Farmakologi
Farmakokinetik dan farmakodinamik dari obat-obat yang diberikan pada
neonatus dan bayi berbeda dibandingkan dengan dewasa karena:
1. Perbandingan volume cairan intravaskuler terhadap cairan ekstravaskuler
berbeda dengan orang dewasa.
2. Laju filtrasi glomerulus masih rendah
3. Laju metabolisme yang tinggi
4. Kemampuan obat berikatan dengan protein masih rendah
5. Liver/hati yang masih immature akan mempengaruhi proses biotransformasi
obat.
6. Aliran darah ke organ relative lebih banyak (seperti pasa otak, jantung, liver
dan ginjal)
7. Khusus pada anestesi inhalasi, perbedaan fisiologi system pernafasan:
ventilasi alveolar tinggi, minute volume, FRC rendah, lebih rendahnya MAC dan
koefisien partisi darah/gas akan meningkatkan potensi obat, mempercepat
induksi dan mempersingkat pulih sadarnya.

21
c. Tata Laksana Anestesi pada Pasien Pediatrik
1. Evaluasi dan Persiapan Pra Anestesi
a) Evaluasi dan Persiapan
Sebelum anestesi dan pembedahan dilaksanakan, keadaan hidrasi, elektrolit,
asam basa harus berada dalam batas-batas normal atau mendekati normal.
Heteroanamnesis dari orang tua, penilaian keadaan umum dan fisik, serta
menilai masalah anestesi yang akan dialami juga harus dilakukan. Pemeriksaan
tambahan yang rutin dilakukan adalah darah lengkap dan faal hemostatis,
sdangkan pemeriksaan lain sesuai dengan kebutuhan. Transportasi neonatus
dari ruang perawatan ke kamar bedah sedapat mungkin menggunakan
incubator yang telah dihangatkan. Peralatan anestesi neonatus bersifat khusus.
Tahanan terhadap aliran gas harus rendah, anti obstruksi, ringan dan mudah
dipindahkan. Biasanya digunakan system anestesi semi-open modifikasi system
pipa T dari Ayre yaitu peralatan dari Jackson-Rees. Untuk anestesi yang lama,
gas-gas anestetik dihangatkan, dilembabkan dengan pelembab listrik.6 Pada
kelompok anak pra sekolah dan usia sekolah, kunjungan anestesi dilakukan
selain untuk menilai keadaan umum, keadaan fisik, mental, dan menilai
masalah yang akan dihadapi penderita, juga merupakan kesempatan untuk
mendapatkan kepercayaan anak tersebut sehingga mengurangi kecemasan
anak.
b) Puasa
Puasa yang lama menyebabkan dehidrasi dan hipoglikemia. Lama puasa yang
dianjurkan adalah stop susu 4 jam dan pemberian air gula 2 jam sebelum
anestesi untuk umur < 6 bulan. Stop susu 6 jam dan pemberian air gula 3 jam
sebelum anestesi untuk umur 6-36 bulan. Untuk >36 bulan dengan cara stop
susu 8 jam dan pemberian air gula 3 jam sebelum anestesi. Untuk anak yang
sudah lebih besar, puasa seperti orang dewasa yaitu 6-8 jam.
c) Infus
Infus dipasang untuk memenuhi kebutuhan cairan karena puasa, mengganti
cairan yang hilang akibat trauma bedah, akibat perdarahan, dll. Cairan
pemeliharaan/pengganti karena puasa diberikan dalam waktu 3 jam, jam I 50%

22
dan jam II, III maing-masing 25%. Kecukupan hidrasi dapat dipantau melalui
produksi urin (> 0,5ml/kgBB/jam). Untuk pemeliharaan digunakan preparat
D5% dalam NaCl 0,225% untuk anak < 2 tahun dan preparat D5% dalam NaCl
0,45 % untuk anak > 2 tahun.
d) Persiapan Kamar Operasi
Persiapan kamar operasi merupakan hal yang esensial, dan tergantung pada
ukuran tubuh dan status fisik pasien, metode induksi, dan rencana airway
manajemen. Mesin anestesi harus diperiksa terlebih dahulu dan ventilator
diatur sesuai tubuh pasien, ukuran face mask yang sesuai, dan juga oral
airway. Laringoskop harus di cek apakah berfungsi dengan baik, dan ukuran
blade yang sesuai harus dipersiapkan. Obat obatan, tube trakea, stylet yang
sesuai juga merupakan hal yang esensial dalam persiapan. Peralatan untuk
resusitasi, obat-obat emergensi juga harus dipersiapkan. Karena permukaan
tubuh anak lebih besar daripada dewasa, sehingga cenderung untuk terjadi
hipotermi, suhu di ruangan operasi tentu harus disesuaikan, dan alat
pemanas dapat disediakan untuk dapat menjaga suhu pasien.
e) Keberadaan Orang Tua Pasien
Keberadaan orang tua di sisi pasien, merupakan salah satu cara untuk
menghilangkan kecemasan pada pasien, selain dengan menggunakan obat-
obatan. Banyak rumah sakit yang telah menyediakan video tentang petunjuk
baik bagi sang pasien ataupun orang tuanya, tentang apa dan bagaimana
persiapan preoperative yang sebenar dan sebaiknya. Hal ini dapat membantu
terutama pada pasien usia pra sekolah. Anak yang berusia lebih dari 4 tahun
dengan orang tua yang memiliki tingkat kecemasan lebih rendah mendapatkan
keuntungan untuk mengurangi kecemasan pada sang pasien sendiri. Namun
jika orang tua pasien memiliki kecemasan yang berlebih tentu hal ini tak akan
membantu, atau bahkan menjadi lebih sulit. Jika pasien telah ter sedasi,
keberadaan orang tua tak lagi diperlukan, dimana hal ini tidak akan
berpengaruh terhadap kecemasan pasien. Keberadaan orang tua saat induksi
sangat tergantung dari tipe orang tua tersebut, instruksi yang diberikan, pasien
dan sang ahli anestesi sendiri.
f) Premedikasi

23
I. Sulfas Atropine
Hampir selalu diberikan terutama pada penggunaan Halotan, Enfluran,
Isofluran, suksinil cholin atau eter. Dosis atropine 0,02 mg/kg, minimal 0,1
mg dan maksimal 0,5 mg. lebih digemari secara intravena dengan
pengenceran. Hati-hati pada bayi demam, takikardi, dan keadaan
umumnya jelek.3,6
II. Penenang
Tidak dianjurkan pada neonatus dan bayi, karena susunan saraf pusat
belum berkembang, mudah terjadi depresi. Untuk anak pra sekolah dan
usia sekolah yang tidak bisa tenang dan cemas, pemberian penenang dapat
dilakukan dengan pemberian midazolam. Dosis yang dianjurkan adalah
0,5mg/kgBB. Efek sedasi dan hilangnya cemas dapat timbul 10 menit
setelah pemberian.

2. Induksi pada Pasien Pediatrik


Cara induksi pada pasien pediatrik tergantung pada umur, status fisik, dan tipe
operasi yang akan dilakukan. Ahli anestesi tentu memiliki cara dan taktik
tersendiri dalam menginduksi pasien pediatrik dan harus memiliki informasi
yang adekuat dari pasien yang akan diinduksi, minimal umur dan berat badan
pasien, jenis pembedahan, apakah emergensi atau elektif, status fisik dan
mental (kooperatif/tidak) pasien. Hal ini dilakukan untuk persiapan keperluan-
keperluan seperti pipa ETT, pemanjangan anestesi, manajemen nyeri post
operatif, ventilasi, dan perawatan intensif yang memadai.
Induksi anestesia pada bayi dan anak sebaiknya ada yang membantu. Induksi
diusahakan agar berjalan mulus dengan trauma yang sekecil mungkin. Induksi
dapat dikerjakan secara inhalasi atau seintravena.
I. Induksi inhalasi.
Dikerjakan pada bayi dan anak yang sulit dicari venanya atau pada yang
takut disuntik. Diberikan halotan dengan oksigen atau campuran N2O
dalam oksigen 50%. Konsentrasi halotan mula-mula rendah 0,5 vol%
kemudian dinaikkan setiap beberapa kali bernafas 0,5 vol % sampai tidur.

24
Sungkup muka mula-mula jaraknya beberapa sentimeter dari mulut dan
hidung, kalau sudah tidur barn dirapatkan ke muka penderita.3,4
II. Induksi intravena.
Dikerjakan pada anak yang tidak takut pada suntikan atau pada mereka
yang sudah terpasang infus. Induksi dapat dilakukan dengan menggunakan
propofol 2-3 mg/kg diikuti dengan pemberian pelumpuh otot non
depolarizing seperti atrakurium 0,3 -0,6 mg/kg.3,4 Seringkali pada praktik
pediatri, intubasi bisa dilakukan dengan kombinasi propofol, lidokain, dan
opiate dengan atau tanpa agen inhalasi sehingga tidak diperlukan
pelumpuh otot. Pelumpuh otot juga tidak diperlukan saat pemasangan
LMA.

3. Intubasi pada Pasien Pediatrik


Intubasi neonatus dan bayi lebih sulit karena mulut kecil, lidah besar-tebal,
epiglottis tinggi dengan bentuk “U”. Karena occiput menonjol dan membuat
posisi fleksi pada kepala, maka dapat dikoreksi dengan cara sedikit mengangkat
bahu dengan meletakan handuk dan menaruh kepala pada bantal berbentuk
donat. Sebaiknya menggunakan laringoskop bilah lurus-lebar dengan lampu di
ujungnya. Hati-hati bahwa bagian tersempit jalan nafas atas adalah cincin
cricoid. Intubasi biasanya dikerjakan dalam keadaan sadar (awake intubation)
terlebih pada keadaan gawat atau diperkirakan akan dijumpai kesulitan.
Beberapa penulis menganjurkan intubasi sadar untuk bayi baru lahir dibawah
usia 10-14 hari atau pada bayi prematur. Yang berpendapat dilakukan intubasi
tidur atas pertimbangan dapat ditekannya trauma, yang dapat dilakukan
dengan menggunakan ataupun tanpa pelumpuh otot. Pipa trachea yang
dianjurkan adalah dari bahan plastic, tembus pandang dan tanpa cuff. Untuk
premature digunakan ukuran diameter 2-3 mm sedangkan pada bayi aterm 2,5-
3,5 mm. Pipa yang digunakan juga jenis pipa non kinking atau yang tidak mudah
tertekuk.
Pada anak-anak, digunakan blade laringkoskop yang lebih kecil dan lurus,
jenisnya tergantung pada piliban ahli anestesi dan adanya gangguan saluran
pernapasan. Pipa trakea dipilih berdasarkan prinsip babwa pipa yang dapat

25
dibengkokkan tidak digunakan di bawah nomor 7, dan dua nomor lebih rendah
harus disiapkan bila diperlukan.
Pipa trakea pada bayi dan anak dipakai yang tembus pandang tanpa cuff. Untuk
usia diatas 5-6 tahun boleh dengan cuff pada kasus-kasus laparotomi atau jika
ditakutkan akan terjadi aspirasi. Secara kasar ukuran besarnya pipa trakea sama
dengan besarnya jari kelingking atau besarnya lubang hidung. Untuk
menghitung perkiraan diameter dan panjang pipa dapat menggunakan formula
:

4 + umur/4 = diameter pipa (mm)


dan
12 + umur/2 = panjang pipa (cm)

Pada pasien pediatrik, intubasi hidung tidak dianjurkan, karena dapat


menyebabkan trauma, perdarahan adenoid dan infeksi. Peralatan harus dengan
ruang rugi minimal, dan resistensi rendah seperti model T-Jackson Rees.

4. Pemeliharaan pada Pasien Pediatrik


Anestesia neonatus sangat dianjurkan dengan intubasi dan nafas kendali.
Penggunaan sungkup muka dengan nafas spontan pada bayi hanya untuk
tindakan ringan yang tidak lama. Gas anestetika yang umum digunakan adalah
N2O dicampur dengan 02 perbandingan 50:50 untuk neonatus, 60:40 untuk
bayi, dan 70:30 untuk anak-anak. Walapun N2O mempunyai sifat analgesia
kuat, tetapi sifat anestetikanya sangat lemah. Karena itu sering dicampur
dengan halotan, enfluran atau isofluran. Narkotika hanya diberikan untuk usia
diatas 1 tahun atau pacta berat diatas 10 kg. Morfin dengan dosis 0,1 mg/kg
atau per dosis 1-2 mg/kg. Pelumpuh otot non depolarisasi sangat sensitif,
karena itu haus diencerkan dan diberikan secara sedikit demi sedikit. Banyaknya
cairan yang harus diberikan per infus disesuaikan dengan banyaknya cairan
yang hilang. Terapi cairan dimaksudkan untuk mengganti cairan yang hilang
pada waktu puasa, pada waktu pembedahan, adanya perdarahan dan oleh

26
sebab-sebab lain, cairan fistula dan lain-lainnya. Cairan yang seharusnya masuk,
karena puasa harus diganti dengan pedoman:
 Pada jam I diberikan 50% defisit + cairan pemeliharaan/jam
 Pada jam II diberikan 25% nya + cairan pemeliharaan/jam
 Pada jam III diberikan 25% nya + cairan pemeliharaan/jam
Cairan hilang akibat perdarahan yang kurang dari 10 % diganti dengan cairan
kristaloid dalam dekstrosa, misalnya cairan dekstrosa 5% dalam Ringer-Iaktat
sedangkan diatas 10% dilakukan transfusi. Banyaknya perdarahan dapat
diperkirakan dengan :
1. Mengukur darah dalam botol penyedot, menimbang kain kasa sebelum dan
sesudah kena darah dengan bantuan kolorimeter. Jumlahkan keduanya
kemudian tambahkan 25% untuk darah yang sulit dihitung misalnya yang
menempel di tangan pembedah, yang melengket di kain penutup dan lain-
lain.
2. Mengukur hematokrit secara serial. Perdarahan melebihi 10% pada
neonatus harus diganti dengan darah.

5. Pengakhiran Anestesi pada Pasien Pediatrik


Setelah pembedahan selesai, obat anestetika dihentikan pemberiannya.
Berikan oksigen murni 5-15 menit. Bersihkan rongga hidung dan mulut dari
lendir kalau perlu. Jika menggunakan pelumpuh otot, dapat dinetralkan dengan
prostigmin (0,04 mg/kg) atau neostigmine (0,05 mg/kg) dan atropin (0,02
mg/kg).
Depresi nafas oleh narkotika-analgetika netralkan dengan nalokson 0,2-0,4 mg
secara titrasi.Ekstubasi pada bayi dikerjakan kalau bayi sudah sadar benar,
anggota badan. bergerak-gerak, mata terbuka, nafas spontan adekuat.
Ekstubasi dalam keadaan anestesia ringan, akan menyebab kan batuk-batuk,
spasme laring atau bronkus. Ekstubasi dalam keadaan anestesia dalam digemari
karena kurang traumatis. Dikerjakan kalau nafas spontannya adekuat, keadaan
umumnya baik dan diperkirakan tidak akan menimbulkan kesulitan pasca
intubasi.
6. Komplikasi Anestesi pada Pasien Pediatrik
27
Semua pasien anestesi pediatri, terutama yang diintubasi, lebih memiliki resiko
untuk mengalami komplikasi. Mual dan munatah adalah hal yang paling sering
terjadi, terutama pada pasien berumur 2 tahun ke atas. Terjadi karena pipa ETT
dipasang terlalu erat, sehingga mukosa trachea menjadi bengkak.
Laringospasme adalah salah satu komplikasi yang mungkin terjadi. Biasanya
terjadi pada anestesi stadium II. Jika terjadi, suksinilkolin dapat digunakan,
bersama dengan atropine untuk mencegah brakikardi

7. Pasca Anestesi pada Pasien Pediatrik


Setelah selesai anestesia dan keadaan umum baik, penderita dipindahkan ke
ruang pulih. Disini diawasi seperti di kamar bedah, walaupun kurang intensif
dibandingkan dengan pengawasan sebelumnya. Hal yang perlu diawasi adalah
kesadaran, pernafasan yang spontan dan adekuat serta bebas dari pengaruh
efek sisa obat pelumpuh otot, denyut nadi dan tekanan darah, warna kulit, dan
suhu tubuh. Pasien dapat dipindahkan ke ruangan jika skor Aldretenya
mencapai 10 dan tidak ada penyulit.

28
C. Asuhan Keperawatan Anestesi pada Kasus Bedah Gigi dan Syaraf
Anestesia untuk bedah gigi

Garis besar:

Anestesi lokal

Blok gigi

Efek samping dan perawatan toksik

Anestesi umum

IndikasiPotensi masalah anestesi

Teknik anestesi umum dalam bedah gigi

Sedasi sadar (atau sedasi IV)

Potensi masalah jalan napas

Pedoman untuk menggunakan sedasi IV dalam operasi gigi

Peralatan dan obat-obatan untuk sedasi sadar

Teknik sedasi IV

Komplikasi sedasi IV dan cara mengobatinya

Analgesia inhalasi atau relatif

NB: Prosedur gigi harus dilakukan di bawah Anestesi Lokal jika memungkinkan.

29
ANESTESA LOKAL

BLOK GIGI

Pasokan saraf mandibula

Saraf alveolar inferior (IAN atau saraf mandibula) menginervasi gigi dan tulang mandibula
dari daerah molar ke garis tengah mandibula. Saraf lingual memasok gingiva lingual di
daerah molar. Saraf bukal menembus otot buccinator dan menginervasi gingiva bukal di
daerah molar. Saraf mandibula (IAN), lingual dan bukal harus diblokir untuk perawatan gigi
di daerah molar rahang bawah. Saraf mandibula dan lingual dapat diblokir dengan satu
injeksi. Saraf bukal membutuhkan injeksi terpisah.

Gambar 25.1 Anatomi saraf alveolar inferior

Metode untuk blok mandibula.

Mulut pasien terbuka lebar untuk memastikan landmark terlihat jelas.

30
Palpasi takik koronoid dengan jari telunjuk kiri.

Temukan tempat injeksi, hanya medial ke jari telunjuk kiri, lateral ke raphe
pterygomandibular dan 1 cm di atas bidang oklusal molar.

Arahkan jarum dan jarum suntik dari daerah premolar di sisi yang berlawanan.

Setelah Anda memasukkan jarum, minta pasien untuk mengurangi tingkat pembukaan
mulut. Ini mengurangi ketegangan pada raphe pterygomandibular.

Majukan jarum di sepanjang sisi medial ramus. Selama prosedur ini, jarum harus selalu
bersentuhan dengan tulang ramus dan dipegang secara horizontal relatif terhadap bidang
oklusal. Masukkan jarum 1,5 sampai 2 cm. Suntikkan 2,0 ml larutan.

Gambar 25.2 Menghalangi saraf alveolar inferior

31
Metode untuk blok lingual.

Blokir saraf lingual dengan menyuntikkan 0,5 ml larutan pada puncak temporal mandibula.

Lakukan injeksi bersamaan dengan blok mandibula, sambil menarik jarum.

Metode untuk blok saraf bukal

bukal dapat dibius dengan infiltrasi. Tusuk mukosa tepat di atas lipatan bukal, dekat
molar ketiga dan kemudian arahkan jarum secara horizontal ke bawah mukosa dalam
arah distal menuju ramus mandibula.

Suntikkan 0,5 ml.

DOSIS Maksimal ANESTHETIKA LOKAL

Lignocaine dengan adrenalin 7mg / kg

Lignokain saja 3mg / kg

Bupivacaine 2mg / kg

EFEK SAMPING TOXIC TERHADAP OBAT ANESTHETIK LOKAL

Penyebab

Injeksi IV yang tidak disengaja

Melebihi dosis aman

32
Penyerapan cepat karena peningkatan vaskularisasi

Kepekaan pasien meningkat

Reaksi terhadap vasokonstriktor dalam larutan anestesi lokal

Tanda, gejala dan pengobatan

Sistem syaraf pusat: Stimulasi diikuti oleh depresi. Selama stimulasi pasien

banyak bicara dan gelisah, dengan tremor atau kejang-kejang. Selama depresi pasien tidak
sadar.

Pengobatan

Untuk kejang berikan oksigen dengan masker, lalu diazepam (0,1mg / kg) 5mg IV. Ulangi jika
perlu (dewasa) 2,5 mg IV. Tempatkan pasien pada posisi lateral kiri.

Untuk koma berikan oksigen dengan masker. Intubasi (suxamethonium 1,5mg / kg) jika
ada risiko aspirasi atau jalan napas yang tidak adekuat dengan ventilasi masker.
Perhatikan jalan napas, pernapasan, CVS, BP, nadi.

Sistem kardiovaskular: Bradikardia, hipotensi

Pengobatan

Untuk bradikardia, berikan atropin 0,6 mg IV (dosis 10 mikrogram / kg)

Untuk tekanan darah turun, berikan cairan IV, 10ml / kg.

Berikan vasopresor, misalnya efedrin (5-10 mg IV untuk orang dewasa) atau


metaraminol 0,5 mg IV.

33
Berikan oksigen.

Jika anafilaksis diduga terjadi, lihat:

LAKUKAN DAN TIDAK, DAN BEBERAPA MASALAH UMUM

Sistem pernapasan: Depresi, apnea

Pengobatan

Untuk depresi pernapasan dengan hipoventilasi, berikan oksigen dan bantu

pernapasan

Apnea. Berikan oksigen dan IPPV

2. Reaksi terhadap vasokonstriktor dalam anestesi lokal

Tanda-tanda: Pucat, takikardia, jantung berdebar, hipertensi.

*Tanda dan gejala ini biasanya bersifat sementara

ANESTESI UMUM

Indikasi

Masker hidung atau masker laring umumnya digunakan untuk prosedur pendek misalnya
ekstraksi terutama pada anak-anak. Bungkil dan mulut harus dimasukkan oleh dokter gigi.
Untuk prosedur yang lebih lama, intubasi dan ventilasi endotrakeal biasanya diperlukan
tetapi jika masker laring yang diperkuat tersedia dan ahli anestesi berpengalaman, beberapa
prosedur dapat dilakukan dengan teknik pernapasan spontan.

Potensi masalah anestesi

34
Kontaminasi jalan nafas. Jalan nafas selalu dalam bahaya terkontaminasi, oleh cairan
irigasi, sekresi, bahan gigi, gigi, darah dll. Lindungi dengan:

Menggunakan tabung endotrakeal, baik melalui hidung maupun oral

Menggunakan paket faring

Mendorong refleks untuk kembali dengan cepat pasca operasi

Menempatkan pasien dalam posisi tonsil pasca operasi

Tidak menggunakan anestesi lokal di saluran pernapasan

Tidak menggunakan premedikasi berlebihan.

Obstruksi jalan nafas. Perhatikan ini terus-menerus.

Jalan napas bersama. Ahli anestesi dan ahli bedah berbagi jalan napas.

Tabung hidung perlu perhatian cermat

Pilih tabung lunak, satu ukuran lebih kecil dalam diameter interior daripada untuk
intubasi oral

Ukur tabung sesuai dengan bagan, atau setidaknya 2 hingga 2½ kali jarak antara lubang
hidung dan tragus. Pasang konektor dengan erat ke dalam tabung endotrakeal.

Lumasi tabung dengan baik.

Sediakan tabung oral yang sesuai jika dibutuhkan.

Sediakan Magill forceps.

Jangan pernah menggunakan kekuatan saat melewati tabung hidung.

Waspadai bahaya tabung hidung:

trauma pada hidung, epistaksis dan penyebaran infeksi ke saluran pernapasan bagian
bawah.

Kontraindikasi untuk intubasi hidung sekresi purulen dan sumbatan hidung.

35
Ingat bahwa tabung hidung bermanfaat tetapi tidak penting. Dalam kebanyakan kasus,
tabung oral cukup.

Paket faring membutuhkan perhatian yang sangat cermat. Ini dapat dengan mudah
menyebabkan sakit tenggorokan tetapi itu kecil. Lupa menghapus paket bisa
fatal. Paket harus dimasukkan dalam hitungan swab. Baik ahli bedah dan ahli
anestesi harus bertanggung jawab atas situasi tersebut.

TEKNIK UNTUK ANESTESI UMUM DI GIGI

BEDAH (intubasi endotrakeal)

Manajemen pra-operasi

Pasien harus berpuasa sesuai dengan pedoman untuk semua anestesi umum.

Nilai pasien - ambil anamnesis, periksa anestesi umum lainnya, amati lubang hidung untuk
keluarnya cairan purba atau septum yang menyimpang. Periksa riwayat epistaksis dan jika
demikian dari lubang hidung mana.

Catat berat pasien.

Berikan premedikasi: benzodiazepine atau opiat dan atropin dosis kecil tetapi hindari sedasi
berat.

Manajemen intraoperatif

Periksa dengan dokter bedah jika diperlukan tabung hidung

Periksa peralatannya untuk anestesi umum rutin, pastikan Anda memiliki:

Tabung hidung dengan ukuran dan panjang yang tepat. Pastikan konektor cocok dengan
erat (jika konektor terlepas, ETT polos dapat dibawa ke dalam bronkus). Pastikan tabung
dilumasi dengan baik. Jika pasien berusia di atas 10 tahun, tabung harus diborgol, untuk
anak yang lebih kecil gunakan yang tidak diborgol. Periksa jenis tabung: tabung PVC dapat
diterima tetapi tabung RAE atau preformed adalah yang terbaik. Sediakan tabung ukuran
lebih kecil jika dibutuhkan.

36
Tabung oral dengan ukuran yang tepat.

Forceps magill.

Paket faring, dibasahi dengan air dan diperas. Jangan pernah menggunakan

beberapa penyeka yang diikat menjadi satu.

3. Induksi.

Pra-oksigenat.

Berikan IV thiopentone 4 - 5 mg / kg atau ketamine 2mg / kg atau

induksi inhalasi dengan oksigen dan mudah menguap.

4. Intubasi. Berikan suxamethonium 1mg / kg IV. Untuk ventilasi pertama

dengan oksigen 100%. Pada menit kedua, intubasi sebagai berikut:

Langkah 1 Masukkan tabung yang dilumasi ke lubang hidung kanan pasien. Letakkan secara
vertikal ke bawah di sepanjang lantai rongga hidung (menuju lantai ruangan). Jangan paksa
tabung masuk. Jika menempel di lubang hidung kanan, coba ke kiri.

Langkah 2 Setelah tabung telah melewati hidung ke faring, lakukan laringoskopi rutin dan
amati kabelnya. Ujung distal tabung harus terlihat di faring.

Langkah 3 Angkat ujung distal tabung dengan forceps Magill dan masukkan ke laring di
antara pita suara. Asisten memberikan tekanan lembut pada ujung proksimal (atas) tabung.

Masalah selanjutnya yang mungkin terjadi:Tabung masuk ke laring antara pita suara tetapi
tersangkut di dinding anterior laring. Jika ini terjadi, tarik tabung sedikit. Lenturkan kepala
dan naikkan tabung lagi. Tekanan pada bagian depan laring juga dapat membantu. Jika
intubasi hidung tidak berhasil dan pasien masih lumpuh, beri ventilasi dengan oksigen dan
cobalah lagi. Jika masih gagal dalam 30 detik berikutnya, beri ventilasi lagi pada pasien dan
intubasi secara oral. Jika tabung oral digunakan, posisikan di satu sisi mulut. Setengah jalan

37
melalui operasi lepaskan paket, ganti tabung ke sisi lain dan masukkan ke dalam paket
segar.

5. Pemeliharaan. Berikan infus ketamin dan pelemas otot atau oksigen dengan pelemas
otot yang mudah menguap dan pantau dengan cermat, semuanya untuk anestesi umum
rutin.

6. Pembalikan. Berikan atropin atau glikopirrolat, neostigmin, dan ekstubasi ketika

pasien bangun, seperti pada anestesi umum rutin. Hapus paket.

Manajemen pasca operasi

Perawat pasien dalam posisi lateral. Pindahkan pasien setelah 6 jam. Berikan instruksi
tertulis pasca operasi kepada pasien.

SEDASI YANG SADAR (ATAU SEDASI IV)

Ini cocok untuk perawatan gigi konservatif terutama pada pasien yang tidak mau atau tidak
dapat mentoleransi anestesi lokal.

Bahaya sedasi IV dalam kedokteran gigi

Kontaminasi jalan nafas. Kontaminasi mungkin oleh darah, cairan irigasi, sekresi atau bahan
gigi. Karena refleks batuk penting untuk tetap aktif, penting untuk menyedot faring dengan
cermat. Seluruh tim - bedah dan anestesi - harus sadar akan masalah ini.

Obstruksi jalan nafas. Lidah mungkin jatuh kembali dan menghalangi jalan napas

setelah sedasi berlebihan. Mungkin ada benda asing di faring, misalnya bungkus,

38
cairan, sekresi dan bahan gigi.

Hipoventilasi, hipotensi dan kehilangan kesadaran adalah semua efek samping dari obat
yang digunakan.

Pedoman untuk menggunakan sedasi IV dalam operasi gigi

Pemilihan pasien. Sedasi intravena tidak ideal untuk anak kecil dan harus dibatasi pada
anak di atas 8 tahun. Pasien harus diberi ASA 1 atau 2.

Sedasi IV tidak dianjurkan pasien dengan kondisi medis seperti asma, hipertensi, jantung
penyakit dan anemia sel sabit.

Penilaian pra-anestesisangat penting. Ini harus dilakukan sebelum operasi, oleh ahli
anestesi yang akan memberikan obat penenang. Tujuannya adalah:

Untuk menilai kebugaran pasien untuk sedasi IV, seperti untuk anestesi umum. Penilaian
akan mencakup sejarah, pemeriksaan dan penyelidikan jika perlu

Untuk menjalin hubungan dengan pasien (terutama penting dengan anak-anak)

Untuk menjelaskan prosedur kepada pasien

Untuk memesan obat-obatan pra operasi yang diperlukan

Untuk memberikan instruksi tentang puasa kepada pasien (atau orang tua pasien anak).
Pasien harus berpuasa sesuai pedoman untuk operasi GA.

Persetujuan. Ini harus diperoleh sebelum operasi, sesuai dengan aturan rumah sakit.

Durasi. Tetapkan batas waktu untuk operasi. Sedasi intravena harus dibatasi hingga 2 jam
per sesi.

Bobot. Catat berat pasien.

Premedikasi Tidaklah normal dalam operasi gigi untuk memberikan premedikasi tetapi jika
seorang anak cemas luar biasa, ahli anestesi dapat mengatur untuk premedikasi.

39
Posisi. Posisi horizontal paling baik untuk pasien yang mengalami sedasi IV. Sebuah posisi
duduk memperburuk penurunan tekanan darah.

Anestesi lokal.Dokter bedah disarankan untuk memberikan bius lokal jika memungkinkan.
Sedasi IV mempersiapkan pasien untuk anestesi lokal dokter bedah, yang kemudian
memberikan analgesia yang diperlukan.

Pengisapan. Perhatikan dengan sangat hati-hati pengisapan faring.

Paket. Anda mungkin tidak membutuhkan paket faring tetapi jika diperlukan

mereka harus diposisikan dengan hati-hati, untuk menyerap cairan tetapi tidak menghalangi
saluran udara.

Akses IV. Kanula IV harus selalu in situ.

Narkoba. Obat tunggal, misalnya midazolam (atau diazepam) dapat digunakan, atau a
kombinasi midazolam dengan narkotika seperti fentanyl atau midazolam dengan ketamine.

Pantau hal berikut setidaknya setiap 5 menit:

Nadi

Tekanan darah

Tingkat kesadaran

Kemampuan untuk menanggapi perintah verbal

Warna

Pernafasan

Saturasi oksigen arteri, menggunakan oksimeter.

Pendampingan. Dokter bedah harus rela menghentikan operasi dan membantu ahli
anestesi jika terjadi komplikasi.

Pengaturan debit (akan dibahas sebelum sedasi):

Pasien harus ditemani oleh orang yang bertanggung jawab.

40
Instruksikan pasien dengan jelas sebelum sedasi untuk tidak mengendarai mobil atau
mengoperasikan mesin selama 24 jam dan untuk tidak berjalan di jalan yang tidak ditemani.

Beri tahu orang tua untuk mengawasi anak-anak selama 24 jam dan memperingatkan
mereka bahwa efek amnesik obat akan memudahkan anak-anak mereka untuk melupakan
instruksi.

Simpan pasien di ruang operasi setidaknya 45 menit setelah operasi, lebih lama jika ahli
anestesi menganggapnya perlu.

Sebelum pulang, pasien harus sadar sepenuhnya: tanda-tanda vital semua harus dalam
kisaran normal. Pasien harus bisa berjalan dalam garis lurus dan berdiri diam dengan kaki
bersatu dan mata tertutup.

Transportasi pulang harus menggunakan kendaraan bermotor (jika mungkin).

Peralatan dan obat-obatan untuk sedasi sadar dalam operasi gigi

Peralatan ventilasi: Tas yang menggembung sendiri. Ukuran dewasa juga dapat digunakan
untuk anak-anak dengan berat lebih dari 15kg. Untuk anak-anak yang lebih kecil gunakan
Paedivalve (non-rebreathing) dan bellow pediatrik dengan Oxford Inflating Bellows.

Sumber oksigen dengan lampiran

Kateter oksigen

Airway (ukuran yang sesuai untuk pasien)

Masker (ukuran yang sesuai untuk pasien)

Tabung endotrakeal (ukuran yang sesuai untuk pasien)

Laringoskopi (2)

Mesin hisap dan paket faring

Kepala hisap Yankauer

41
Tape

Jarum suntik: 3 masing-masing 10ml, 5ml dan 2ml

Jarum: 21G

Jarum vena kulit kepala

Cairan IV, set IV, kanula. Pastikan manset tekanan darah adalah ukuran yang tepat.

Peralatan pemantauan: Stetoskop , Oksimeter, Sphygmomanometer

Obat penenang: Midazolam atau diazepam, Fentanyl jika tersedia Ketamin

untuk resusitasi: Atropin

Adrenalin 1/1000

Kalsium glukonat

Sodium bikarbonat

Hidrokortison

Vasopresor: Ephedrine dan Metaraminol (Aramin)

Thiopentone

Suxamethonium

Aminofilin

Tablet atau semprotan GTN

Air dan saline 0,9%

42
Teknik sedasi IV

Periksa apakah semua peralatan tersedia, sesuai dengan daftar di atas.

Periksa apakah pasien telah berpuasa.

Periksa apakah persetujuan telah diberikan.

Susun obat-obatan yang dibutuhkan. Labeli jarum suntik. Tentukan dosis untuk pasien.
Gunakan saline 0,9% untuk menyiram tabung infus.

Tempatkan pasien di kursi gigi dalam posisi horizontal.

Periksa tekanan darah.

Masukkan kanula IV

Perlahanmenyuntikkan obat. Jika midazolam, suntik lebih dari 2 menit. Tunggu 2 menit dan
perhatikan responsnya. Berikan 0,1 mg lebih lanjut (1ml) pada waktu yang diperlukan.
Tunggu 2 menit. Catat memperlambat atau mengoceh ucapan dan berhenti pada titik ini.

Berikan ketamine IV, 0,25mg / kg secara perlahan.

Pantau nadi, tekanan darah, pernapasan, warna, level sadar dan saturasi oksigen.

Tanyakan kepada pasien apakah mereka cukup rileks sehingga dokter bedah dapat melihat
ke dalam mulut mereka.

Lanjutkan dengan anestesi lokal.

43
Obat dan dosis yang sesuai

Persiapan Dosis awal Pemelihar


aan

Midazola Dalam jarum 0,02mg / kg, Berikan


m suntik 10ml, jadi pasien dosis lebih
siapkan 40kg akan lanjut 1ml
midazolam membutuhkan sekaligus.
1mg (1ml) 0,02x40 =
dan air 9ml. 0,8mg = 8ml.
(Setiap ml
dengan Suntikkan ini
demikian perlahan
mengandung selama 2
0,1 mg menit, lalu
midazolam). tunggu 2
menit.
Siapkan 2
jarum suntik
untuk pasien
berukuran
sedang.

Diazepa Dalam jarum 0,04mg / kg, Berikan IV


m suntik 10ml, jadi pasien peningkata
buat 40kg akan n bertahap
diazepam membutuhkan 1 ml.
5mg dan 9xt 0,04x40 =
dextrose 5% 1,6mg obat
atau N dalam larutan
saline. encer 3,2ml.
(Setiap ml
karenanya
mengandung
0,5mg
diazepam).

Ketamin Dalam jarum 0,25mg / kg,


suntik 5ml, sehingga

44
siapkan pasien 40kg
ketamin akan
25mg membutuhkan
(0,5ml), 0,25 x 40 =
ditambah air 10mg.
4,5ml (25mg
dalam 5ml) Ini adalah
dosis ketamin
yang sangat
kecil, hanya
dimaksudkan
untuk
menghasilkan
analgesia.

Catatan: Dosis di atas sangat aman meskipun kewaspadaan tetap diperlukan.

Komplikasi sedasi IV dan cara mengobatinya

Komplikasi pernapasan:

Obstruksi jalan nafas disebabkan oleh lidah jatuh ke belakang, paket, cairan di faring dan
kejang laring.

Pengobatan:

Hentikan operasi.

Obati penyebabnya: hisap faring, dukung rahang, rentangkan kepala, gunakan jalan napas
faring.

Berikan oksigen dengan masker.

Jika obstruksi berlanjut, lakukan intubasi endotrakeal (oral) dengan atau tanpa
menggunakan suxamethonium 1mg / kg. Berventilasi dengan oksigen.

Hipoventilasi disebabkan oleh kunjungan pernapasan yang dangkal, atau saturasi oksigen di
bawah 90%

45
Pengobatan:

Dorong pasien untuk bernapas lebih dalam.

Berikan oksigen dengan kateter hidung 4L / mnt.

Jika saturasi oksigen masih di bawah 90%, hentikan operasi. Bantu bernafas dengan
kantong dan masker yang dipompa sendiri, dengan oksigen yang diberikan pada 4L /
menit.

Apnea

Pengobatan:

Hentikan operasi.

Masukkan jalan nafas Guedel.

Kendalikan ventilasi dengan kantong, masker, dan oksigen yang mengembang sendiri.

Jika respirasi spontan tidak dimulai, intubasi dan ventilasi dengan oksigen.

Komplikasi kardiovaskular

Hipotensi

Pengobatan:

Berikan cairan IV dengan cepat: 0,9% saline 500ml.

Jika tidak ada respons, misalnya, jika tekanan darah kurang dari 80mmHg pada orang
dewasa, berikan vasopresor (mis. Efedrin 5mg IV atau metaraminol 0,5mg IV).

Bradikardia

Pengobatan:

Jika denyut nadi kurang dari 50 / menit, berikan atropin 10 mikrogram / kg IV.

Gagal jantung

46
Komplikasi sistem saraf pusat

Jika pasien tidak sadar:

Hentikan operasi.

Jaga kebersihan jalan napas.

Berikan oksigen dengan kateter hidung, 4L / mnt.

Perhatikan komplikasi pernapasan seperti hipoventilasi dan apnea.

Perhatikan komplikasi kardiovaskular seperti hipotensi.

ANALGESIA INHALATIONAL ATAU RELATIF

Teknik ini melibatkan penggunaan campuran nitro oksida / oksigen kurang dari konsentrasi
anestesi umum yaitu <50% nitro oksida dalam oksigen. Ini dapat digunakan bersama dengan
anestesi lokal dalam situasi di mana nitro oksida dan oksigen tersedia secara bebas.

ASUHAN KEPERAWATANA ANESTESIOLOGI PADA KASUS BEDAH SYARAF

Kesulitan Jalan Napas

Teknik anestesi yang aman dalam mengelola jalan napas didasarkan pada mengantisipasi
kesulitan di awal bukannya bereaksi ketika sedang terjadi.

Difficult airway (Kesulitan Jalan Napas), menurut The American Society of Anesthesiology
(ASA) 2003 adalah adanya situasi klinis yang menyulitkan baik ventilasi dengan masker atau
intubasi.

47
Contoh kasus dengan penyulit jalan napas: Karsinoma Nasofaring (KNF).

Anestesi tidak lepas dari system persarafan. Nervus pada system pernapasan yang mengatur
diafragma adalah nervus frenikus.

Evaluasi preoperatif harus mencakup anamnesa atau riwayat terutama yang berhubungan
dengan jalan napas atau gejala-gejala yang berhubungan dengan saluran pernapasan atas.

Bila mungkin, perlu dilakukan dokumentasi terhadap masalah-masalah yang berhubungan


dengan saluran pernapasan atas.

Tanda dan gejala yang berhubungan dengan jalan napas harus dijelaskan misalnya snoring
atau mengorok (misalnya pada sleep apnea yang obstruktif), gigi terkikis, perubahan suara,
disfagi, stridor, nyeri servikal atau pergerakan leher yang terbatas, neuropathi ekstremitas
atas, nyeri atau disfungsi sendi temporo-mandibular dan nyeri tenggorokan atau rahang
yang berlangsung lama setelah pembiusan.

Banyak kelainan kongenital dan gejala yang didapat , berhubungan dengan penyulit
tatalaksana jalan napas. Oleh karena itu peralatan untuk pengelolaan kesulitan jalan napas
perlu disediakan saat tindakan anestesi seperti laryngoscope dengan beberapa alternatif
desain dan ukuran yang sesuai, endotrakea tube berbagai macam ukuran, stylets semirigid
dengan atau tanpa lubang tengah untuk jet ventilasi, senter panjang, dan mangil tang
dirancang khusus untuk dapat memanipulasi bagian distal endotrakeal tube, peralatan
Intubasi fiberoptik, peralatan Intubasi retrograd.

Perangkat ventilasi jalan nafas darurat nonsurgical sebuah jet ventilasi dengan ventilasi,
LMA, dan combitube. Peralatan yang sesuai untuk akses pembedahan napas darurat
(misalnya, cricothyrotomy)

Kondisi Neurosurgery yang sering terjadi

Traumatic brain injury (TBI) menyumbang 70% kematian akibat trauma.

Penyebab yang tersering adalah kecelakaan lalu lintas 49%.

Tehnik minimal invasif cukup berkembang pada beberapa dekade ini, demikian juga pada
bidang bedah saraf.

48
Tujuan utama tatalaksana anestesia adalah immobilisasi intraoperatif, stabilitas
kardiovaskuler, minimal komplikasi pascaoperasi, fasilitasi intraoperatif neurologi
monitoring, kolaborasi tatalaksana peningkatan tekanan intrakranial (TIK) dan rapid
emergence untuk pemeriksaan neurologis dini.

Posisi selama operasi adalah true lateral yang juga menjadi perhatian tersendiri.

Komplikasi akibat posisi harus dihindari karena rentan mempengaruhi luaran operasi.

Beberapa masalah penting menjadi perhatian khusus selama operasi dan pascaoperasi.

Prinsip tatalaksana anestesi pada minimal invasif yang harus dicapai adalah pemeriksaan
dan perencanaan preoperatif yang baik, kontrol hemodinamik serebral untuk menjamin
tekanan perfusi otak (cerebral perfusion presure/CPP) optimal, immobilisasi penuh, dan
dapat dilakukan rapid emergence untuk menilai status neurologis. Komunikasi antara
operator dan ahli anestesi penting untuk keberhasilan kasus ini.

Dalam anestesi yang biasanya dipakai untuk mereverse penderita yang mendapatkan
relaksasi otot non depolarizing yaitu prostigmin.

Agen Anestesi Intravena

Anestesi umum idealnya dapat memberikan induksi yang cepat dan tenang, kehilangan
kesadaran yang dapat diprediksi, kondisi intraoperatif yang stabil, efek samping minimal,
pemulihan refl eks proteksi dan fungsi psikomotor yang cepat dan lancar.

Anestesi umum telah mengalami banyak perkembangan dan modifi kasi, begitu pula yang
terjadi dengan anestesi intra vena sejak diperkenalkan pertama kalinya dalam praktek klinis
yang telah berubah dari hanya sebagai induksi pada anestesi umum menjadi anestesi intra
vena seluruhnya (Total Intravenous Anesthesia) [TIVA].

TIVA adalah teknik anestesi umum di mana induksi dan pemeliharaan anestesi didapatkan
dengan hanya menggunakan kombinasi obat-obatan anestesi yang diberikan melalui jalur
intra vena tanpa penggunaan anestesi inhalasi termasuk N2O untuk mencapai 4 komponen
penting dalam anestesi yaitu ketidaksadaran, analgesia, amnesia dan relaksasi otot.

49
Konsep anestesi intra vena telah berubah dari hanya sebagai induksi pada anestesi umum
menjadi anestesi intra vena total. Di banyak pusat kesehatan di Eropa dan Amerika Selatan,
peran TIVA menjadi lebih populer sebagai general anesthesia dibandingkan tehnik balance
anesthesia klasik maupun anestesi inhalasi.

Beberapa keuntungan dari farmakologi TIVA bila dibandingkan dengan agen anestesi
inhalasi yaitu:

Induksi anestesi yang lebih lembut tanpa batuk ataupun cegukan

Mudah dalam mengendalikan kedalaman anestesi ketika menggunakan obat dengan waktu
kesetimbangan darah-otak yang singkat

Hampir semua agen TIVA memilki onset yang cepat dan dapat diprediksi dengan efek
hangover yang minimal

Angka kejadian PONV yang rendah

Sebagian besar menurunkan CBF dan CMRO2 sehingga ideal untuk bedah saraf

Tingkat toksisitas organ yang rendah

Obat anestesi yang dianjurkan pada ibu hamil adaalah :

Pentothal

Ketamin

Diazepam

Analgesik narkotik

50
Agen Anestesi Inhalasi :

Teknik general anestesi yang dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesi
inhalasi yang berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap melalui alat atau mesin
anestesi langsung ke udara inspirasi.

Nitrous oxide (N2O) merupakan obat anestesi inhalasi pertama yang disintesa pada tahun
1772 dan masih digunakan sampai sekarang.

Pada akhir tahun 1800, anestesi menggunakan N2O, diethyl ether, chloroform.

Setelah itu diciptakan gas anestesi yang bekerja cepat dengan kelarutan rendah : isofluran
(1980), desfluran (1992), sevoflurane (1994).(‗Sevoflurane—a long-awaited volatile
anaesthetic‘, 1996)

Teknik anestesi inhalasi merupakan teknik anestesi umum yang dilakukan dengan jalan
memberikan obat anestesi inhalasi yang mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi
ke inspirasi pasien.

Ambilan dan distribusi dari gas anestesi inhalasi ditentukan oleh ambilan oleh paru, difusi
gas dari paru ke darah, distribusi oleh darah ke organ target.

Pembuangan gas anestesi terutama melalui paru-paru.

Sebagian kecil akan dimetabolisme di hepar dan ginjal melalui sitokrom P450. (Sevoflurane
—a long- awaited volatile anaesthetic‘, 1996)

Potensi dari anestesi inhalasi dinyatakan dalam MAC (Minimum alveolar concentration)
adalah konsentrasi anestesi yang dibutuhkan untuk menekan pergerakan terhadap stimulasi
pembedahan pada 50% subjek atau bisa dikatakan sebagai Effective dose 50 (ED50)

Konsentrasi O2 harus selalu dipantau jika menggunakan N2O lebih dari 65%, sebagai gas
adjuvan.

Pemantauan etCO2 penting untuk menilai fungsi absorber yang baik.

51
Ketika pemantauan end tidal konsentrasi anestesi tersedia, tindakan anestesi dengan aliran
gas rendah menjadi sangat mudah.

Ketika hal ini tidak tersedia, beberapa perhitungan harus dilakukan untuk menentukan
jumlah agen anestesi yang harus ditambahkan kedalam system.

Teknik operasi lubang kunci atau keyhole surgery kini semakin popular di masyarakat.

Operasi khusus atau berat untuk pasien bedah syaraf terutama di kepala sudah
menggunakan teknik ini pada Rumah Sakit yang Besar. Selain lebih tidak berisiko bagi
pasien, juga waktu operasi jadi lebih pendek hanya 70 menit. Dengan begitu, akan
memperpendek waktu rawat inap pasien di rumah sakit. Dengan teknik operasi lubang kunci
ini, dokter cukup membuat lubang kecil diameter satu sentimeter di belakang telinga
pasien.

Tim dokter ahli bedah saraf dari Kortex Comprehensive Brain and Spine (KBSC) yang
melakukan live surgery bedah saraf. Operasi langsung itu dilakukan pada pasien wanita
(30), penderita Hemifacial Spasm (HFS) atau wajah merot dari Manokawari, Papua, di RS
Surabaya, Wajah merot HFS dikarenakan terjadi perlengketan antara saraf nomor tujuh
yaqang berfungsi mengatur gerakan wajah dengan pembuluh darah pada otak.

“Akibatnya gerakan pada wajah menjadi tidak terkendali, wajah pasien menjadi merot,”
kata anggota tim dokter ahli bedah Kortex, dr G, SpBS.

52
Untuk memulihkan agar gerakan wajah normal kembali, tim dokter ahli dari Kortex
melakukan operasi di area batang otak dengan teknik operasi lubang kunci.

Melalui lubang kecil seukuran lubang kunci ps tsb menggunakan proses medis microvascular
decompression (MVD) inilah tim dokter ahli Kortex memisahkan saraf nomor tujuh dengan
memasang serabut teflon agar tidak lengket dengan pembuluh darah.

Operasi dilakukan dengan bantuan mikroskop khusus dan alat-alat monitoring di kamar
operasi. Semua tindakan bisa disaksikan langsung di monitor TV oleh keluarga penderita dan
juga bisa berdialog langsung dengan tim dokter (live surgery).

53
Selain itu, lewat live surgery ini berguna untuk memberikan informasi dan edukasi
tambahan kepada masyarakat bahwa dokter-dokter di Indonesia sudah sangat ahli dan
profesional dalam melaksanakan operasi bedah saraf dengan risiko sangat minim.

“Juga untuk menghilangkan kesan di masyarakat bahwa melakukan operasi saraf itu sangat
berbahaya,” ujar pendiri Kortex,

Kasus yang ditangani antara lain :

Trigeminal Neuragia (nyeri gigi dan separuh wajah),

Hemifacial Spasme (wajah merot),

Spondilosis Leher (saraf terjepit leher),

Spondylosis Pinggang (saraf terjepit pinggang),

tumor otak,

Stroke, dan lainnya.

54
Metode bedah saraf yang sering dilakukan, adalah:

Stereotactic radiosurgery (SRS).

SRS mrpkn metode bedah saraf yang agak berbeda dari metode lainnya, karena tidak
membutuhkan teknik invasif melalui irisan kulit. SRS menggunakan radiasi yang difokuskan
pada titik-titik tertentu di bagian otak untuk menghancurkan sel-sel tumor yang terdapat
pada otak. Radiasi yang dipancarkan akan merusak DNA sel-sel tumor, sehingga sel-sel
tersebut akan mengalami kematian. SRS dapat menggunakan radiasi dalam bentuk sinar
Rontgen, gamma, ataupun tembakan proton.

Neuro endoscopy

Metode bedah yang memfasilitasi dokter untuk memantau kondisi saraf secara visual dan
melakukan operasi tanpa membuka tulang tengkorak. Neuroendoskopi menggunakan
endoskop yang dimasukkan lewat hidung atau mulut hingga mencapai bagian dalam
tengkorak.

Neuroendoskopi diterapkan untuk mendiagnosis adanya tumor secara visual dan


mengambil sampel jaringan, serta mengangkat tumor.

Craniotomi

Kraniotomi merupakan prosedur bedah yang dilakukan dengan membuka dan mengangkat
sebagian kecil tulang tengkorak untuk melakukan tindakan medis pada otak. Bagian tulang
tengkorak yang diangkat tersebut dinamakan bone flap atau penutup tulang tengkorak.

Setelah tulang tengkorak dipotong dan bone flap diangkat, dokter dapat melakukan
berbagai prosedur medis, baik untuk keperluan diagnosis atau untuk tindakan medis.
Kraniotomi dilakukan dengan obat bius total sehingga pasien tidak sadar selama operasi.
Kraniotomi diterapkan untuk berbagai keperluan, seperti mengangkat tumor, membuang
abses otak, memperbaiki tulang tengkorak yang patah, dan membuang gumpalan darah

55
Awake brain surgery (AWS). (AWS) merupakan prosedur bedah saraf kraniotomi yang
dilakukan pada saat pasien sadar.Pasien yang menjalani AWS diberikan obat bius lokal dan
obat penenang.

AWS biasanya dilakukan untuk mengobati tumor otak atau kejang epilepsi, terutama jika
bagian otak yang menyebabkan kejang terletak dekat pusat penglihatan, pergerakan
anggota badan, dan pusat berbicara. Kondisi tersebut menyebabkan pasien harus tetap
sadar selama prosedur bedah dilakukan, agar dapat memberikan respons kepada dokter
untuk memastikan bedah saraf dilakukan pada lokasi yang tepat.

Microsurgery atau bedah mikro.

Teknik bedah saraf yang menggunakan mikroskop untuk memperbaiki saraf tepi pada organ
tubuh yang mengalami kerusakan. Penggunaan mikroskop pada bedah saraf mikro
bertujuan untuk memberikan gambaran visual saraf yang sangat halus dengan lebih teliti
untuk membantu perbaikan saraf.

Ventriculoperineal shunt VP shunt merupakan saluran khusus yang dipasang melalui


prosedur pembedahan untuk mengurangi penumpukan cairan otak pada penderita
hidrosefalus. Alat ini bertujuan untuk mengurangi tekanan pada otak akibat penumpukan
cairan serebrospinal.

Peran Ahli Anestesi dan P A

Manajemen anestesi standar pasien yang menjalani operasi, bedah saraf memerlukan ahli
anestesi dan TIM yg memiliki basis pengetahuan yang kuat tentang neuroanatomi,
neurofisiologi, dan memahami teknik pemantauan lanjutan termasuk neuromonitoring otak
dan sumsum tulang belakang.

OBSERVASI secara rutin "memantau" efek obat pada CBF (aliran darah otak), CMR, atau ICP
(tekanan intra-kranial) karena tidak ada pedoman neuroanestetik dari kateter arteri
pulmonalis atau ekokardiograf transesophageal yang memungkinkan jangkauan luas. efek
fisiologis dan farmakologis otak yang harus diikuti dengan mudah

56
Anestesi pada bedah syaraf yang memerlukan Anestesi Umum/GA

Prosedur bedah syaraf termasuk pembedahan elektif

Pembedahan emergency pada operasi pada

Sistem saraf pusat

Vascularisasi

Cairan LCS beserta struktur tulang tengkorak dan vertebrata

Yang harus diperhatikan Penata Anestesi pada pasien bedah saraf

Mempertahankan tekanan perfusi cerebral

Memfasilitasi akses pembedahan dengan mengurangi perdarahan

Mencegah peningkatan volume jaringan saraf pusat dan edema

Monitoring Pasca anestesi ps craniotomy dan AWS

Tekanan darah.

Kadar oksigen dalam darah.

Denyut jantung.

Laju pernapasan.

Pemulihan pasca anestesi / operasi

Pasien kraniotomi tetap akan dipasangkan alat bantuan pernapasan.

57
Untuk memfasilitasi buang air kecil, pasien akan dipasangi kateter pada saluran
kencingnya.

Pasien juga akan dilatih untuk bernapas setelah alat bantu pernapasan dilepas. Latihan
pernapasan ini berfungsi untuk membantu pasien menggunakan paru-parunya kembali,
serta mencegah pneumonia.

OPERASI KATARAC

Pendahuluan

Katarak merupakan salah satu gangguan penglihatan yang umum terjadi pada lansia dan
dapat menjadi penyebab kebutaan.

Bila diatasi sejak dini, katarak dapat disembuhkan, sehingga penglihatan penderitanya dapat
pulih.

Penyembuhan katarak hanya dapat dilakukan melalui operasi.

Prosedurnya ringan dan aman, bahkan untuk lansia sekalipun.

Prosedur Operasi Katarac

Pada penderita katarak, kemampuan melihat menjadi berkurang akibat dari lensa mata yang
berubah menjadi buram. Operasi katarak adalah suatu prosedur yang dilakukan untuk
mengangkat lensa mata alami yang buram tersebut, dan menggantinya dengan lensa
mata buatan.

Lensa tersebut terbuat dari plastik. Lensa buatan yang permanen tidak memerlukan
perawatan khusus, dan dapat mengembalikan kemampuan mata untuk melihat, atau
bahkan meningkatkannya. Lensa buatan tersebut dinamakan Intra-Ocular Lens (IOL).

Operasi katarak tidak memerlukan rawat nginap

58
Operasi katarac dapat dilakukan dalam waktu kurang dari satu jam.Prosedur ini juga dapat
dilakukandengan bius lokal, sehingga pasien tetap sadar /terbangun saat operasi
dilakukan. Apabila katarak dialami pasien di kedua mata, maka operasi akan dilakukan
secara terpisah. Sehingga, mata pertama yang dioperasi dapat sembuh sebelum operasi
kedua dilakukan.

Tahapan Operasi Katarak

Sebelum operasi dimulai, dokter akan mengukur mata agar lensa buatan yang diberikan
dapat sesuai. Dokter akan menanyakan seputar obat-obatan yang saat ini di konsumsi, dan
mungkin menyarankan untuk menghentikan penggunaannya sebelum operasi.

Persiapan Operasi Katarak

Dokter juga dapat meresepkan obat tetes mata untuk Anda gunakan sebelum operasi
dilakukan. Obat-obatan tersebut dapat mencegah infeksi dan mengurangi pembengkakan
saat maupun setelah operasi.

Pelaksanaan Operasi Katarak

Pada hari operasi dilakukan, dokter akan menginstruksikan Anda untuk tidak makan selama
setidaknya enam jam sebelum operasi. Setelah itu, operasi katarak akan mulai dilakukan
dengan tahapan sebagai berikut:

Dokter akan memberikan bius pada mata menggunakan obat tetes mata atau dengan
menyuntikkannya di area sekitar mata. Anda juga mungkin akan diberikan obat penenang.

Anda akan tetap terbangun saat operasi dilakukan. Anda mungkin masih dapat melihat
cahaya atau pergerakan. Namun, Anda tidak akan dapat melihat apa yang dilakukan dokter
pada mata yang dioperasi.

59
Dokter akan membuat sayatan kecil pada mata menggunakan pisau bedah atau laser di
dekat pinggiran kornea. Kornea adalah lapisan berwarna transparan yang melindungi bola
mata bagian depan. Setelah sayatan terbentuk, dokter akan menggunakannya sebagai pintu
masuk agar dapat mencapai ke lensa mata. Dengan menggunakan alat yang sangat kecil,
dokter akan memotong lensa mata yang mengalami katarak dan mengangkatnya. Setelah
itu, lensa buatan akan ditempatkan di lokasi yang sama. Selanjutnya, dokter umumnya tidak
menjahit bagian yang disayat tersebut, karena akan menutup dengan sendirinya. Anda akan
diinstruksikan untuk memakai pelindung mata selama masa penyembuhan setelah operasi.

Setelah operasi selesai , Pasien akan diantar ke ruangan pemulihan untuk beristirahat
selama 15 hingga 30 menit, sebelum diizinkan pulang.

Masa Penyembuhan Pascaoperasi Katarak

Setelah operasi katarak, dokter akan meresepkan obat tetes mata untuk digunakan
beberapa kali setiap hari, selama beberapa minggu. Pasien perlu menggunakan pelindung
mata saat tidur, selama satu minggu setelah operasi. Untuk melindungi mata dari sinar
matahari dan cahaya lain yang terlalu terang, dokter akan memberikan Anda kacamata yang
dikhususkan untuk digunakan pascaoperasi katarak. Selama masa penyembuhan,
penglihatan Anda juga masih akan sedikit buram selama beberapa hari, atau beberapa
minggu.

Hal yg harus dihindari pasca operasi :

Mengangkat beban yang berat

Melakukan olah raga yang dapat

memberikan tekanan pada mata

Percikan air yang masuk ke mata selama penyembuhan dapat menyebabkan infeksi

Aktivitas yang dapat membuat mata Anda terpapar debu, kuman, atau bakteri

60
Anestesi pada operasi katarak

Anestesi general digunakan pada sekitar 35% kasus operasi mata, dimana kebanyakan pada
operasi retina yang lama dan operasi strabismus pada anak-anak

Indikasi dari anestesi general ini diantaranya

Pasien tidak kooperatif,

Operasi mata yang tidak boleh ada gerakan (akinesia),

Prosedur operasi lama (lebih dari 3-4 jam),

Daerah operasi tidak memungkinkan untuk dilakukan anestesi regional, lokal maupun
topikal.

Refleks okulokardiak merupakan refleks trigeminovagal dengan manifestasi aritmia jantung


yang dapat berupa bradikardia, denyut jantung ektopik, ventrikuler takikardia, atau asistole
yang dapat menjadi berbahaya bila tidak diantisipasi dan ditangani dengan segera.

Insidensi OCR paling sering terjadi pada operasi strabismus pada anak-anak juga pada
operasi retina dan operasi non mata yang mengakibatkan penekanan atau tarikan pada bola
mata.

61
D. Asuhan Keperawatan Anestesi pada Kasus Bedah Mata
a. Cataract surgery
 Katarak bisa bersifat bawaan, traumatik, steroid atau radiasi, atau degeneratif.
 Pada katarak degeneratif juga akan ada kondisi medis lain yang terkait dengan
penuaan.
 Penderita diabetes banyak yang operasi katarak.
 Katarak yang diinduksi steroid pada pasien yang menggunakan steroid jangka
panjang
 Operasi katarak menuntut mata tetap diam dengan tekanan intraokular rendah.
 Kondisi ini biasanya dapat dicapai dengan anestesi halus dengan relaksasi otot
dan ventilasi yang terkontrol untuk mencapai hipokapnia ringan, baik melalui
tabung trakea atau masker laring, meskipun yang terakhir lebih disukai karena
kurangnya respons pressor intubasi atau spasme laring dan batuk pada ekstubasi
 Ada cara untuk anestesi lokal untuk operasi katarak meskipun ini memiliki tingkat
kegagalan yang lebih tinggi, lebih banyak komplikasi dan pengurangan tekanan
intraokular yang kurang dapat diprediksi.
 Pasien yang tidak dapat berbaring tanpa batuk atau tertekan, atau yang tidak
dapat berkomunikasi karena bahasa, tuli atau demensia tidak dapat dengan
aman menjalani operasi katarak mereka di bawah anestesi lokal. Mereka tidak
cocok untuk anestesi umum

b. Operasi Mata Juling


• Mayoritas pasien adalah anak2
• Pada dewasa operasi krn alasan kosmetik
• Operasi ini sulit dilakukan dengan anestesi lokal karena fa usia pasien dan
manipulasi yang diperlukan dalam orbit mata.
• Anestesi umum harus dilakukan dengan jalan nafas yang dipelihara dengan
masker laring atau tabung trakea.
• Pilihan anestesi umum yg lain antara ventilasi spontan dan terkontrol.

62
• Semua pasien yang operasi ini menerima dosis vagolitik yang dihitung sesuai
dengan berat badan seperti glikopirrolat untuk memperoleh refleks okuli-kardiak,
obat ini dapat menyebabkan bradikardia berat
• Pipa trakea pada anak kecil membatasi area penampang jalan napas dengan
peningkatan resistensi terhadap aliran gas
• Setelah ekstubasi, edema laring atau trakea dalam jumlah terkecil dapat
menyebabkan penurunan saturasi oksigen.
• Kejang laring saat ekstubasi menyebabkan risiko re-intubasi dengan relaksan otot
yg harus segera dilakukan.
• Tabung trakea yang digunakan selama operasi tidak boleh dibuang sampai pasien
meninggalkan ruang pemulihan.

c. Retinal Surgery
• Ablasi retina sering sporadis, biasanya tidak begitu mendesak
• .Sering berkaitan dg hipertensi,
• Pembedahan dapat berlangsung lama
• Kondisi mata yang terlalu lunak dapat menjadi kelemahan karena tekanan
intraokular yang rendah dapat menyebabkan robekan retina lebih lanjut.
• Ventilasi yang dikontrol menguntungkan karena lamanya operasi.
• Agen vagolitik harus diberikan untuk mencegah refleks okuli-jantung selama
manipulasi bedah bola mata.
• Refleks okulokardiak juga terjadi selama eksenterasi atau enukleasi.
• Kadang-kadang ahli bedah mungkin menggunakan gelembung gas antara
vitreous dan retina untuk tamponade retina. Jika ini dilakukan maka
dinitrogen oksida harus dihindari atau dimatikan segera setelah keputusan
dibuat.
• Nitro oksida berdifusi ke dalam ruang-ruang yang dipenuhi dengan gas
tertutup dan meningkatkan volume gelembung , tekanan akan naik.
• Penetrating Eye Injury
• Cidera mata penetrasi mungkin membutuhkan induksi anestesi

63
• Suxamethonium menyebabkan peningkatan tekanan intraokular, yang dapat
menyebabkan kerusakan lebih lanjut, terutama jika sudah ada kehilangan
cairan atau lensa terganggu.
• Alternatifnya adalah induksi cepat menggunakan dosis relaksan onset cepat
non-depolarisasi Vecuronium atau rocuronium adalah pilihan yang cocok.
• Rocuronium dengan 1,5 mg kg-1 memberikan kondisi intubasi setara dengan
suxamethonium.
• Dacryocystorhinostomy adalah prosedur yang berpotensi perdarahan
biasanya membutuhkan teknik anestesi yang dirancang untuk mengurangi
kehilangan darah.
• Pasien biasanya ditempatkan dengan kepala meja untuk meningkatkan
drainase vena. Vasokonstriktor dimasukkan di dalam hidung untuk
mengurangi perdarahan mukosa. Tekanan darah sering diturunkan untuk
mengurangi perdarahan lebih lanjut. Hipotensi dapat dicapai dengan
meningkatkan konsentrasi inspirasi dari anestesi uap, atau dengan
memperkenalkan agen yang menyebabkan vasodilatasi perifer seperti
trimetaphan atau sodium nitroprusside. Trimetaphan adalah obat
penghambat ganglion dan penggunaannya menyebabkan pupil menjadi
tetap dan melebar. Agen ini harus digunakan dengan sangat hati-hati.
Hiperventilasi ringan juga akan membantu mengurangi tekanan darah. Jalan
napas biasanya dipertahankan dengan tabung trakea, meskipun topeng
laring akan menghindari respons pressor terhadap keberadaan tabung dan
karenanya dapat menghindari kebutuhan untuk pengurangan tekanan darah
aktif. Paket faring sangat penting untuk menyerap darah yang menetes dari
nasofaring.

64
E. Asuhan Keperawatan Anestesi pada Kasus Bedah THT
a. Poin penting untuk seorang ahli anestetis
1. Lindungi jalan nafas
Di bawah anestesi umum ini dicapai dengan:
• Menggunakan tabung endotrakeal yang diborgol.
• Menggunakan paket faring.
• Memastikan pengembalian refleks yang cepat di akhir operasi.
• Perawatan pasien dalam posisi tonsil pasca operasi.
• Menghindari penggunaan larutan anestesi lokal dalam saluran pernapasan
karena hal ini mengganggu refleks batuk pasca operasi.
2. Cegah obstruksi jalan napas
• Gunakan tabung endotrakeal lapis baja RAE atau non-kinkable.
• Pilih tabung terbesar yang dapat digunakan dengan aman.
• Beri ventilasi dengan tangan, alih-alih secara mekanis, karena sedikit derajat
obstruksi akan tampak jelas.
3. Kurangi pendarahan seminimal mungkin
• Teknik anestesi yang baik seperti induksi dan intubasi yang lancar,
mempertahankan jalan napas yang jernih dan ventilasi tekanan positif yang
terputus-putus membantu berkontribusi terhadap hal ini.
• Gunakan sedikit head-up tilt.
• Gunakan agen vasokonstriktor, misalnya adrenalin atau felypresin
4. Ahli bedah dan ahli anestesi berbagi jalan napas yang sama
5. Ini membatasi akses ke jalan napas untuk ahli anestesi intra-operatif

b. Komplikasi pasca operasi serius


• Obstruksi jalan nafas
• B leeding
• Aspirasi ke saluran pernapasan darah, nanah atau sekresi
• Muntah (umum terjadi setelah operasi telinga tengah)

c. Pertimbangan anestesi lainnya

65
1. Premedikasi tidak boleh berlebihan, karena pengembalian refleks batuk yang
cepat adalah penting.
2. Obat vasokonstriksi seperti adrenalin harus digunakan dengan hati-hati dengan
halotan (seperti disebutkan di tempat lain). Halothane dapat digunakan jika
jumlah adrenalin dibatasi hingga 5 mikrogram / kg. (Konsentrasi adrenalin tidak
lebih dari 1: 100.000 dan dosis dewasa maks 10ml dalam 10 menit atau 30ml
dalam 1 jam) Namun, jika agen anestesi lain tersedia, adalah praktik yang baik
untuk menghindari penggunaan simultan adrenalin dan halotan. Jika halotan
digunakan, yang terbaik adalah mematikan halotan selama infiltrasi dan
ventilasi tangan pasien , untuk menghindari peningkatan karbon dioksida.
Nyalakan kembali halotan segera setelah infiltrasi.
3. Cautery akan mencegah penggunaan anestesi yang mudah terbakar seperti
eter.

d. Manajemen Anestesi
1. Anestesi Lokal dapat digunakan untuk banyak prosedur ini. Jika tidak ada ahli
anestesi yang berpengalaman, itu adalah metode pilihan. Pendarahan
berkurang, pasien terjaga dan karenanya refleks batuk pelindung hadir.
2. Anestesi umum
3. Manajemen pra-operasi
Lakukan penilaian pra-operasi seperti biasa. Untuk premedikasi sebuah o ral
benzodiazepine atau IM opioid dan atropin dalam dosis biasa dapat digunakan
tergantung pada operasi yang diusulkan.
4. Manajemen intraoperatif
• Induksi. Gunakan thiopentone IV atau propofol pada pasien yang tidak
memiliki bukti obstruksi pernapasan. I induksi nhalational dapat
diindikasikan pada anak-anak yang sangat muda atau mereka dengan
obstruksi jalan napas.
• Intubasi biasanya mengikuti dosis standar suxamethonium chloride.
Gunakan RAE atau tabung lapis baja dan masukkan paket faring. Jika masalah
intubasi kemungkinan terjadi, lebih aman untuk melakukan intubasi pada

66
pasien setelah induksi inhalasi dengan agen seperti halotan atau eter atau di
bawah anestesi lokal dengan pasien terjaga.
• Pemeliharaan. Nitrogen oksida udara atau, relaksan volatil dan non-
depolarisasi . Halothane dapat digunakan sebagai suplemen ketika tidak ada
agen lain yang tersedia tetapi dengan hati-hati jika adrenalin digunakan.
Anti-emetik misalnya metoklopramid atau siklizin jika tersedia mungkin
berguna dalam mengurangi mual pasca operasi.
• Pembalikan. Gunakan atropin atau glikopirrolat dan neostigmin. Jika paket
faring telah digunakan pastikan sudah dihapus . Ikuti aturan biasa untuk
ekstubasi tetapi pastikan pasien memiliki refleks jalan napas yang memadai
sebelum ekstubasi.
5. Manajemen Pra Operasi
Tempatkan pasien dalam posisi tonsil (lateral kiri, kepala bawah) dan amati
dengan hati-hati untuk obstruksi dan perdarahan pasca operasi.

PROSEDUR KHUSUS
a. Operasi di Telinga
1. Penghapusan benda asing
Ini dapat dilakukan dengan anestesi lokal . Pada anak-anak dan pada orang
dewasa yang kurang kooperatif, dua teknik yang umum digunakan:
• Teknik respirasi spontan menggunakan induksi tiopenton, udara atau
dinitrogen oksida, oksigen dan volatil.
• Dengan tidak adanya volatil, ketamin dapat digunakan dalam dosis 1-2mg /
kg IV atau 5-7mg / kg IM. Ulangi 0,5 mg / kg sesuai kebutuhan jika pasien
bergerak. Gunakan diazepam / midazolam dan atropin jika diperlukan.
2. Myringotomy
Teknik seperti yang dijelaskan untuk menghilangkan benda asing cocok.
3. Tympanoplasty
Ini operasi dilakukan di unit lebih khusus. Ini adalah operasi yang cukup lama
biasanya berlangsung lebih dari satu jam. Intubasi sangat penting untuk menjaga
jalan napas tetap bersih. Pendarahan harus dikurangi seminimal mungkin.
Nitrous oxide, jika digunakan harus dimatikan 15 menit sebelum cangkok

67
diterapkan. Nitro oksida 35 kali lebih larut dalam darah daripada nitrogen.
Selama anestesi, nitro oksida memasuki rongga yang diisi udara 35 kali lebih
cepat dari nitrogen yang meninggalkan rongga. Ini menghasilkan korupsi yang
ditimbulkan.
4. Eksplorasi saraf wajah
Ini dilakukan dengan anestesi endotrakeal. Jika saraf akan diuji dengan stimulator
saraf, Teknik yang masuk akal adalah dengan menggunakan suxamethonium
untuk intubasi, diikuti dengan ventilasi spontan dengan gen oksi , nitro oksida
dan halotan.
b. Operasi di hidung
1. Benda asing di hidung
Ini biasa terjadi pada anak-anak. Teknik yang dijelaskan untuk menghilangkan
benda asing di telinga sesuai.
2. Pengurangan fraktur hidung
Ini biasanya memerlukan anestesi umum tetapi tidak sering harus dilakukan
sebagai keadaan darurat dan sebagian besar pasien dapat dibiarkan semalam
atau selama 2-3 hari. Jika prosedurnya cenderung cepat dapat dilakukan
dengan menggunakan pra-oksigenasi, thiopentone IV atau propofol dan posisi
kepala turun tetapi teknik teraman melibatkan penggunaan tabung endotrakeal
yang diborgol dan paket faring.
catatan:
 Ventilasi pasien dengan masker mungkin sulit jika hidung patah.
 Ketika dilakukan sebagai makanan darurat yang tidak tercerna atau darah
yang tertelan di lambung berarti bahwa pasien ini harus diperlakukan
sebagai memiliki perut penuh dan RSI harus digunakan.
 Pendarahan intraoperatif membutuhkan penyisipan paket faring.
 Kebangkitan dini dengan kembalinya refleks jalan napas yang baik adalah
penting.
 Jika kantung hidung dimasukkan dengan cara manipulasi, ini akan
mencegah pasien bernafas melalui hidung pasca operasi. Penting untuk
memperingatkan pasien tentang hal ini sebelumnya.

68
 Kehilangan darah harus dinilai dengan cermat. Cairan intravena atau darah
mungkin diperlukan.
3. Polipektomi hidung
Ini dapat dilakukan dengan anestesi lokal. Jika Anda menggunakan anestesi
umum untuk polipektomi hidung atau septoplasti, Anda harus mengikuti
prinsip-prinsip yang disebutkan di awal bab ini. Penting bagi ahli bedah untuk
tidak menggunakan kokain sebagai vasokonstrik jika anestesi umum diberikan
tetapi jika kokain dianggap penting maka pemantauan EKG juga harus
digunakan. Adrenalin, jika digunakan dalam dosis yang aman, diizinkan. Jika
adrenalin digunakan, halotan sebaiknya dihindari (lihat di atas).

69
F. Asuhan Keperawatan Anestesi pada Kasus Bedah Mulut dan Maxillofacial
a. Bedah di Gerak Mulut, Pharynx dan Salivary
1. Tonsilektomi dan adenoidektomi
Untuk prosedur ini gunakan RAE oral atau tabung endotrakeal yang telah
dibentuk sebelumnya. Ini sesuai untuk anak dan orang dewasa. Penting untuk
mewaspadai kemungkinan obstruksi tabung atau kinging. Kehilangan darah harus
dinilai dengan cermat. Cairan intravena diberikan untuk mengkompensasi puasa
sebelum operasi, kehilangan darah intra-operasi dan asupan pasca operasi yang
rendah. Pada akhir operasi, faring harus disedot dengan lembut di bawah
penglihatan langsung termasuk nasofaring di belakang langit-langit lunak di mana
gumpalan dapat menumpuk. Ini dapat dilakukan dengan memutar ujung
pengisap Yankauer ke atas. Tekanan positif pada bellow atau kantung selama
ekstubasi dapat menyebabkan pasien mengeluarkan segera setelah ekstubasi.
Setiap gumpalan darah di laring atau trakea akan batuk.
2. Perdarahan pasca tonsilektomi
Ini menyajikan dua masalah utama bagi ahli anestesi:
• Masalah kehilangan darah dan pasien "kaget".
• Problem perut penuh. Sebagian besar darah yang hilang ditelan. Pasien harus
diresusitasi secara adekuat sebelum operasi. Masukkan kanula besar untuk
memberi cairan dan darah. Terus berikan ini sampai pasien dianggap
normovolemik, seperti dinilai oleh denyut nadi, warna, turgor kulit, lidah,
keluaran urin, dan tekanan darah. Darah harus tersedia untuk penggunaan intra-
operasi. Gunakan induksi urutan cepat dengan pra-oksigenasi dan tekanan
krikoid dan terus memantau kehilangan darah dengan hati-hati.
3. Peritonsil lar abses
Mengeringkan abses semacam itu melepaskan sejumlah besar nanah yang dapat
membanjiri laring dan disedot ke paru-paru. Intubasi mungkin sulit karena kejang
otot (trismus) tidak selalu berkurang dengan relaksan otot. Anestesi lokal adalah
metode pilihan.
4. Bibir sumbing

70
Bibir sumbing mungkin sesederhana takik di bibir atas, atau sama seriusnya
dengan sumbing pada bibir yang memanjang hingga ke dasar hidung. Mungkin
unilateral atau bilateral. Perbaikan dilakukan pada usia sekitar 3 bulan . Prinsip
umum anestesi anak dan prinsip-prinsip yang tercantum di atas untuk operasi di
rongga mulut harus diikuti.
• Diperlukan jalur intravena yang baik. Mungkin dimasukkan ke dalam kaki.
• Sebuah tabung oral seperti tabung RAE dapat digunakan, dengan konektor
yang diturunkan di atas dagu di garis tengah.
• Kecuali jika ahli anestesi sangat berpengalaman, mungkin disarankan untuk
memberikan pasien inhalasi induksi dengan udara / nitro oksida, oksigen dan
volatile dan intubate saat anak bernapas secara spontan. Tidak ada pelemas
otot yang harus diberikan sampai ahli anestesi dapat berventilasi dengan
mudah dengan masker wajah.
• Setelah intubasi, anak lumpuh dan berventilasi.
• Sebungkus faring harus dimasukkan untuk menyerap darah yang menetes ke
tenggorokan.
• Pengisapan yang hati-hati diperlukan pada akhir operasi setelah paket
dikeluarkan dan pasien diekstubasi.
5. Langit-langit mulut sumbing
Ini mungkin ada sebagai celah atau kekurangan pada langit-langit lunak saja, atau
sebagai cacat yang melibatkan kedua langit-langit lunak dan keras. Kondisi ini
diperbaiki pada usia sekitar 12 bulan.
• Palatum sumbing sangat sering dikaitkan dengan kelainan bawaan lainnya,
misalnya sindrom "Pierre Robin" di mana bayi mengalami micrognathia
(mandibula yang berkembang buruk) dan lidah yang besar. Bayi - bayi ini
sulit diintubasi dan intubasi anestesi inhalasi atau lokal adalah yang paling
aman. Aturan yang sama berlaku untuk anestesi untuk bibir sumbing di atas.
• Bayi dengan langit-langit sumbing rentan terhadap infeksi saluran
pernapasan atas kronis. Sekresi hidung yang terinfeksi , atau demam yang
berhubungan dengan hidung yang mengalir akan menjadi kontraindikasi
untuk anestesi.
• Kehilangan darah kadang-kadang cukup untuk membutuhkan transfusi.

71
• Perhatikan tindakan pencegahan yang sama yang diuraikan untuk bibir
sumbing.

b. Bedah di Larynx, Trachea, dan Bronchi


1. Laringoskopi (inspeksi laring)
Ini mungkin diperlukan untuk diagnosis, pengangkatan benda asing atau
perawatan kondisi patologis seperti eksisi tumor. Laringoskopi tidak langsung
dilakukan dengan cermin laring dimasukkan ke dalam mulut.
 Anestesi lokal adalah metode terbaik pada orang dewasa kooperatif.
 Berikan anestesi umum pada anak-anak dan pada orang dewasa yang tidak
kooperatif.
- jika tidak ada obstruksi pra-operasi, inspeksi laring dapat dilakukan
dengan: IV Ketamin 2mg / kg atau Pra-oksigenasi selama 4 menit diikuti
oleh tiopenton , suxamethonium dan ventilasi lebih lanjut dengan
oksigen sebelum laringoskopi. Tabung 1 atau 2 ukuran lebih kecil dari
normal dapat dimasukkan dan digunakan untuk memberikan anestesi
dan ventilasi jika prosedur ini diperpanjang.
- Jika pasien memiliki stridor sebelum operasi, laring harus diperiksa
dengan anestesi inhalasi sementara pasien bernafas secara spontan.
Prosedur bedah pada laring membutuhkan keterampilan dan peralatan
hetic anaest yang sangat berpengalaman . Jika tidak ada ahli anestesi
berpengalaman, yang terbaik adalah mereka tidak berusaha. Dalam
keadaan darurat, masukkan tabung endotrakeal berukuran kecil
(tergantung pada pasien). Pasien dapat lumpuh dan berventilasi melalui
tabung, atau bernapas secara spontan. Ini memberikan kontrol anestesi
pada jalan nafas dan memberikan akses kepada ahli bedah untuk
beroperasi di sekitar tabung.
2. Bronkoskopi
Ini dilakukan untuk diagnosis dan terapi. Bronkoskopi diagnostik dilakukan dalam
kasus-kasus patologi paru-paru atau bronkus , sedangkan bronkoskopi terapeutik
dilakukan untuk menghilangkan benda asing dan sumbat lendir, dll. Jika pasien

72
sakit parah maka bronkoskopi paling baik dilakukan dengan anestesi lokal,
diberikan oleh ahli bedah.

c. Anestesi umum untuk opiat bronkoskopi (dewasa)


1. Barang-barang berikut harus tersedia
 Sarana ventilasi pasien, baik mesin anestesi atau tas / katup / masker "set-
up".
 Sumber oksigen
 Pengisapan
 Jalan nafas Guedel
 Tabung endotrakeal yang sesuai dengan ujung atas bronkoskop
 Drugs: Agen induksi dan suxamethonium
 Laringoskop.
 Tabung endotrakeal dengan ukuran yang benar untuk pasien.
2. Manajemen Pra Operasi
Nilai seperti biasa. Premedikasi tergantung pada kondisi umum pasien.
3. Manajemen intraoperatif
Periksa tekanan darah. Masukkan kanula diam di dalam. Preoksigenasi pasien
selama empat menit dan berikan dosis tidur thiopentone atau propofol. Ini
diikuti oleh 60-80 mg suxamethonium. Beri ventilasi pada pasien dengan oksigen
100%. Semprotkan kabelnya dengan semprotan gnocaine 4% li 2–3ml jika
tersedia. Sementara ahli bedah melakukan bronkoskopi, ahli anestesi
bertanggung jawab untuk:
• Pengamatan yang sangat cermat
- Denyut nadi
- Warna
• Satur Saturasi oksigen
- Tekanan darah
- Bukti pasien bangun.
• Oksigenasi intermiten. Lakukan ini dengan menggunakan tabung endotrakeal
yang pas dengan ujung atas bronkoskop. Tabung dihubungkan ke alat

73
ventilasi (mesin anestesi atau kantong / katup) dan pasien diventilasi
sebentar-sebentar dengan oksigen 100%.
• Dosis tambahan iopenton th (25-50 mg sekaligus) atau propofol (10-20mg)
jika pasien menunjukkan bukti bangun.
• Dosis relaksan tambahan (25 mg suxamethonium ) jika ada bukti bahwa
kekuatan otot kembali, misalnya menelan.
- Metode alternatif ion oksigenat selama bronkoskopi adalah penggunaan
bronkoskop ventilasi, atau lampiran venturi.
4. Manajemen Pasca Operasi
Bronkoskop harus dibiarkan di tempat sampai pasien bernapas secara spontan.
Sangat penting bahwa "refleks batuk" aktif di akhir prosedur. Setelah bronkoskop
dilepas, lakukan pengisapan pada pasien dengan sangat hati-hati. Berikan
oksigen 100% dengan masker selama beberapa menit dan putar pasien ke
samping.

d. Bronkoskopi pada anak-anak


Berbagai bronkoskop mungkin tersedia dan teknik yang direncanakan harus
didiskusikan dengan ahli bedah. Ada dua teknik:
 Anestesi inhalasi menggunakan halotan (eter mudah meledak dan sebaiknya
dihindari). Dosis atropin yang tepat harus diberikan. Menginduksi anestesi
dengan halotan, secara bertahap meningkatkan konsentrasi halotan seperti
yang dijelaskan dalam Teknik Anestesi. (Lihat Bab 16) Jangan mulai bronkoskopi
sampai pasien cukup dalam. Semprotkan tali dengan anestesi lokal. Tingkat
anestesi dipertahankan dengan penyisipan selang endotrakeal intermiten
melalui bronkoskop atau dengan memasang potongan-T dan berventilasi
dengan oksigen / mudah menguap melalui lengan samping. Jika ada benda
asing di saluran pernapasan, induksi mungkin lebih lambat.
 Kaminamin intramuskular dengan suxamethonium intermiten . Teknik ini
mirip dengan yang dijelaskan untuk pasien dewasa. Penting untuk memilih
tabung endotrakeal yang pas dengan ujung atas bronkoskop untuk ventilasi
pasien.

74
 Premedikasi: Berikan atropin dalam dosis biasa. Berikan suntikan ketamin
intramuskular kecil 5mg / kg. Ini memberikan sekitar 20 menit analgesia
disosiatif. Pra-oksigenasi selama empat menit, kemudian berikan
suxamethonium 1mg / kg IV dan berikan ventilasi pada pasien dengan
oksigen 100%. Pasien sekarang siap untuk bronkoskopi. Berikan ventilasi
intermiten melalui tabung endotrakeal yang dimasukkan ke dalam
bronkoskop. Jika lebih banyak suxamethonium diperlukan, berikan setengah
dari dosis aslinya.

e. Oesophagoskoskopi
Esofagoskopi dapat dilakukan untuk terapi atau terapi . Esofagoskopi
terapeutik diindikasikan untuk menghilangkan benda asing di kerongkongan atau
pelebaran striktur esofagus. Esofagoskopi diagnostik dilakukan untuk pemeriksaan
dan biopsi lesi di kerongkongan.
Poin - poin penting yang berkaitan dengan anestesi untuk esofagoskopi
 Obstruksi parsial tabung endotrakeal oleh tekanan dari esofagoskop kaku. Pipa
lapis baja sangat ideal. Cara terbaik adalah ventilasi secara manual, sehingga
Anda dapat mendeteksi obstruksi jalan napas yang minimal.
 Relaksasi sphincter post cricoid memungkinkan esofagoskop dapat dimasukkan
dengan mudah. Gunakan pelemas otot untuk melakukan ini. Batuk dan
mengejan bisa menyebabkan kerongkongan kerongkongan. Anestesi yang halus
sangat penting.
 Lesi obstruktif di oeso phagus dan bahkan benda asing dapat menyebabkan
sekresi atau makanan menumpuk. Oleh karena itu, pasien yang membutuhkan
esofagoskopi harus diperlakukan sebagai "perut penuh". Diperlukan induksi
urutan cepat dengan tekanan krikoid.
 Trauma dan perdarahan dapat terjadi terutama setelah biopsi esofagus. Sebuah
cepat Kembali refleks pada akhir operasi mengurangi kejadian aspirasi ke paru-
paru. Yang terbaik adalah ekstubasi ketika pasien terjaga dan diposisikan di
sisinya.

75
 Pada pasien yang sangat muda, goscopy esofha, terutama jika sulit atau
berkepanjangan, cenderung meningkatkan bahaya edema laring.

Tekinik anestesi umum untuk esofagoskopi


1. Manajemen pra-operasi
Premedikasi Seringkali tidak perlu tetapi benzodiazepine oral atau dosis kecil IM
opioid + atropin dapat digunakan.
2. Manajemen intraoperatif
• Induksi (urutan cepat). Pra-oksigenasi selama empat menit, kemudian
berikan tiopenton diikuti oleh suxamethonium. Berikan tekanan krikoid.
Intubasi pasien menggunakan tabung lapis baja atau PVC dengan ukuran
yang sesuai. Manset mungkin harus dikempiskan sementara untuk
memungkinkan ruang lingkup berlalu.
• Pemeliharaan. Dapat digunakan udara atau nitro oksida, oksigen dan zat
mudah menguap, atau ketamin dan oksigen yang terputus-putus. Berikan
suxamethonium (mis. 25 mg IV) ketika efek dari dosis suxamethonium
sebelumnya sudah habis. Relaksan non-depolarisasi dapat digunakan sebagai
pengganti suxamethonium intermiten.
• Pembalikan. Membalikkan anestesi dengan atropin dan neostigmin jika
relaksan nondepolarisasi telah digunakan.
3. Manajemen pasca- peratifikasi
Lakukan ekstubasi ketika pasien benar-benar terjaga dan bernafas dengan
adekuat, dengan pengisapan faring baik sebelum dan sesudah. Perawat pasien
dalam posisi lateral pasca operasi.

76
G. Asuhan Keperawatan Anestesi pada Kasus Bedah Thoraks
Konsep-Konsep Utama
1. Campura Darah tidak beroksigen dari paru bagian atas yang kolaps dengan darah
berkosigen dari paru yang diventilasi akan memperlebar gradien oksigen dari
alveolus terhadap arteri dan mengakibatkan hipoksemia
2. Malposisi dari suatu selang endotrachea berlumen double biasanya ditunjukkan
oleh komplain paru yang jelek dan rendahnya tidal volume yang diekshalasi
3. Jika opioid intraspinal digunakan postoperatif, penggunaan intravenusnya harus
dibatasai selama pembedahan untuk mencegah depresi respirasi postoperatif yang
berlebihan
4. Perdarahan postoperatif merupakan komplikasi dari lebih kurang 3% torakotomi
dan dapat terkait sampai dengan 20% mortalitas; tanda-tandanya mencakup
peningkatan drainase selang dada (>200ml/jam), hipotensi, takhikardia, dan
penurunan hemtokrit
5. Fistula bronkhopleural nampak sebagai kebocoran besar udara yang tiba-tiba dari
selang dad yang dapat terkait dengan peningkatan penuomotorak dan kolaps paru
parsial
6. Herniasi akut jantung ke dalam hemitorak operatif dapat terjadi melalui defek
parikardial yang tersisa sesudah pneumonektomi radikal
7. Nitrous-oksida berkontraindikasi pada pasien-pasien penderita kista paru karena zat
ini dapat menyerang rongga udara serta menyebabkan ruptur, yang dapat diberi
sinyal oleh adanya hipotensi yang tiba-tiba, bronkhospasme, atau peningkatan tiba-
tiba pada tekanan inflasi puncak, dan memerlukan pemasangan segera selang dada

Indikasi dan teknik untuk bedah-torak telah berkembang dengan kontinyu sejak semula.
Indikasi umum tidak lagi terbatas pada komplikasi tuberkulosis dan penumonitis
supuratiftapi sekarang meliputi keganasan-keganasan thorak (terutama pada paru dan
esofagus), trauma dada, penyakit esofagus, dan tumor-tumor mediastinum. Prosedur-
prosedur diagnostik misalnya bronkhoskopi, mediatinoskopi, dan biopsi paru terbuka
juga merupakan hal umum. Teknik anestesi untuk memisahkan ventilasi dari masing-
masing paru telah memungkinkan penyempurnaan teknik bedah sampai keadaaan
dimana makin banyak prosedur dilakukan secara torakoskopis. Ventilasi jet dan by-pass

77
kariopulmo frekuensi-tinggi sekarang telah memungkinkan prosedur kompleks misalnya
reaksi trakhea dan transplantasi paru, untuk masing-masing.

PERTIMBANGAN FISIOLOGIK SELAMA ANESTESI THORAK


Bedah-thorak menyajikan satu set unik masalah fisiologis bagi ahli anestesi yang
memerlukan pertimbangan khusus. Hal ini mencakup kekacauan fisiologis yan disebabkan
oleh penempatan pasien dengan satu sisi ke bawah (posisi dekubitus lateral), membuka
thorak (pneumothorak terbuka), dan seringnya memerlukan ventiasi satu-paru

Posisi Dekubitus Lateral


Posisi dekubitus lateral memberikan akses optimal untuk sebagian besar operasi pada paru,
pleura, esofagus, pembuluh darah besar, struktur mediastinum lainnya, dan vertebra.
Namun, posisi ini mempunyai potensi untuk mengubah secara signifikan hubungan normal
ventilasi/perfusi paru. Kekacauan ini lebih jauh diperkuat oleh induksi anestesi, inisiasi
ventilasi mekanik, paralisis otot, membuka torak, dan retraksi bedah. Meskipun perfusi
berlanjut cocok bagi paru-paru yang dependen (bagian bawah), ventilasi secara progresif
cocok untuk paru atas yang kurang mendapat perfusi. Pasangan tidak-sesuai secara nyata
meningkatkan risiko hipoksemia.

Keadaan Terjaga
Ketika pasien supinasi mengambil posisi lateral, penyeusaian ventilasi/perfusi terpelihara
selama ventilasi spontan. Paru bagian bawah menerima lebih banyak perfusi dan lebih
banyak venti;asi dibandingkan dengan paru bagian atas. Yang disebut lebih dahulu adalah
edek gravitasi, sedangkan yang disebut kemudian adalah karena :
 Kontraksi hemidiafragma yang dependen lebih efisien seperti ketika mengambil posisi
yang lebih tinggi pada dada(dibandingkan dengan hemidiafragma bagian atas) yang
disebabkan ohe ketidaksebandingan dalam menunjang berat isi perut
 Paru yang depende berada pada bagian yang lebih cocok dari bengkokan komplain.

78
Efek dari posisi baring miring terhadap pengembangan paru

Induksi Anestesi
Penurunan FRC (Functional Residual Capacity) disertai dengan induksi anestesi umum
menggerakan paru bagian atas ke bagian yang lebih cocok dari bengkokan komplain, rapi
menggerakkan paru bagian bawah ke posisi yang kurang komplain. Akibatnya, paru bagian
atas diventilasi lebih banyak daripada paru dependen, ketidakseusaian (mismatching)
ventilasi/perfusi terjadi karena paru dependen berlanjut mengalami perfusi yang lebih
besar.

79
Efek anestesi terhadap komplain paru pada posisi dekubitus lateral. Paru bagian atas
mengasumsikan posisi yang lebih sesuai, sementara paru bagian bawah menjadi kurang
komplain.
Ventilasi tekanan positif
Ventilasi tekanan positif yang terkontrol cocok bagi paru bagian atas pada posisi lateral
karena paru bagian atas lebih komplain daripad paru bagian bawah. Paralisis otot
meningkarkan efek ini dengan cara memungkinkan isi perut naik lebih jauh terhadap
hemidiafragma yang dependen dan menghambat ventilasi paru bagian bawah. Dengan
menggunakan “bean bag” yang kaku untuk mempertahankan pasien dalam posisi dekubitus
lateral jadi lebih jauh membatasi gerakan hemitorak dependen. Akhirnya, membuka sisi
torak non-dependen lebih jauh memperkuat perbedaan-perbedaan komplain antara kedua
sisi karena paru bagian atas sekarang menjadi kurang terbatas dalam gerakannya. Semua
efek ini memperburuk mismatching ventilasi/perfusi dan memprediposisikan ke hipoksemia.

Pneumotorak Terbuka
Paru secara normal dijaga tetap mengembang oleh tekanan pleural negatif yaitu hasil netto
dari kecenderungan paru untuk kolaps dan dinding dada untuk mengembang. Ketika satu
sisi dada dibuka, tekana pleura negatif hilang dan daya balik elastisitas paru pada sisi
tersebut cenderung mengempis. Ventilasi spontam dengan menggunakan pneumotorak
terbuka pada posisi lateral menghasilkan respirasi paradoks dan pergeseran mediastinal.
Kedua fenomena ini dapat menyebabkan hipoksemia dari hiperkapnia progrresif.

Pergeseran Mediastinal
Selama ventilasi spontan pada posisi lateral, inspirasi menyebabkan tekanan pleura menjadi
lebih negatif pada sisi dependen tapi tidak pada sisi pneumotorak terbuka. Hal ini
mengakibatkan pergeseran mediastinum ke arah bawah selama inspirasi dan pergeseran ke
arah atas selama ekspirasi. Efek utama dari pergeseran mediastiunum adalah menurunkan
kontribusi paru dependen terhadap tidal volume.

80
Pergeseran mediastinum pada pasien yang bernafas spontan dalam posisi dekubius lateral

Ventilasi Satu Paru


Kolaps paru internasional pada sisi operatif memudahkan sebagian besar prosedur thorak
tapi sangat mempersulit manajemen anestetik. Karena paru yang kolpas terus diperfusi dan
disengaja tidak diventilasi lagi, pasien mengembangkan right-to-left intrapulmonary shunt
besar (20-30%). Mencampur darah yang tidak dioksigenasi dari paru bagian atas yang kolaps
dngan darah yang sudah dioksigenasi dari paru bagian atas yang kolaps dengan darah yang
sudah dioksigenasi dari paru dependen yang masih duventilasi memperluas gradient O2 PA-
a (alveolus-ke-arteri) dan dapat mengakibatkan hipoksemia. Untungnya, aliran darah ke
paru yang tidak diventilasi berkurang oleh vasokkonriksi paru yang hipoksia dan mungki oleh
kompresi bedah pada paru bagian atas.
Faktor-faktor yang diketahui menghambat HPV dan dengan demikian memperburuk right-
to-left shunting mencakup:
1. Tekanan arteri paru yang sangat rendah
2. Hipokapnia
3. PO2 vena campuran yang tinggi atau sangat rendah
4. Vasidilator, misalnya nitrogliserin, nitropruiside, agonis β adrenergik (mencakup
dobutamin dan salbutamol) dan bloker chanel kalsium
5. Anestetika inhalasi

81
Faktor-faktor yang menurunkan aliran darah ke paru yang diventilas dapat sama-sama
merusak, mereka yang berkontra-aksi efek HPV dengan cara secara tidak langsung
meningkatkan aliran darah ke paru yang kolaps. Faktor-faktor tersebut mencakup :
1) rata2 tekanan saluran pernafasan yang tinggi pada paru yang diventilasi yang
disebabkan oleh PEEP (Positive End-Expiratory Pressure) yang tinggi, hiperventilasi, atau
tekanan inspirasi puncak yang tinggi.
2) FIO2 yang rendah, yang mengakibatkan vasokontriksi paru hipoksik pada paru yang
diventilasi
3) Vasokontriksi yang dapat mempunyai efek yang lebih besar terhadap pembuuluh-
pembuluh darah normoksik dibandingkan dengan pembuluh darah hipoksik
4) PEEP intrinsik yang timbul akibat waktu ekspirasi yang tidak adekuat.
Eliminasi CO2 biasanya tidak dipengaruhi oleh ventilasi satu-paru sehingga minute ventilasi
tidak berubah dan retensi CO2 yang telah ada sebelumnya tidak terdapat ketika
memventilasi kedua paru; tegangan CO2 arteri biasanya tidak berubah secara nyata.

TEKNIK-TEKNIK UNTUK VENTILASI SATU PARU


Ventilasi satu paru juga dapat digunakan untuk mengisolasi satu paru atau mempermudah
manajemen ventilasi kondisi-kondisi tertentu. Tiga teknik yang dapat digunakan:
1. Pemasangan selang endobronkhial lumen-ganda
2. Penggunaan selang endotrakheal lumen-tunggal dalam kaitan dengan bloker bromhial
3. Penggunaan selang endobronkhial lumen-tunggal. Selang lumen-ganda yang paling
sering digunakan

Selang endobronkhial lumen-ganda


Keuntungan utama selang endotrakheal lumen-ganda adalah pemasangan yang relatif
nyaman, kemampuan memventilasi salah satu kedua paru, dan kemampuan menghisap
salah satu paru
 Lumen bronkhial yang lebih panjang yang memasuki salah satu bronkhus utama kanan
atau kiri dan lumen trakhea lainnya yang lebih pendek yang tetap berada di trakhea
bagian bawah
 Bengkokan yang terbentu sebelumnya yang memungkinkan tempat masuk yang lebih
disukai ke dalam salah satu bronkhus

82
 Bronchial cuff
 Tracheal cuff

Ventilasi menurun diberikan hanya pada satu paru dengan cara menjepit salah satu lumen
bronkhial atau lumen tracheal dengan kedua cuff yang digembungkan; membuka tempat
colokan pada konektor yang sesuai memungkinkan paru ipsilateral menjadi kolaps. Karena
perbedaan-perbedaan anatomi bronkhial pada kedua sisi, selang dirancang secara spesifik
untuk bronkhus kanan / kiri. 35, 37, 39, dan 41F (diameter internal lebih kurang 5,0;5,5;6,0
dan 6,5 mm untuk masing-masing). Selang 39F digunakan untuk sebagian besar laki-laki,
sedangkan selang 37F digunakan untuk sebagian besar wanita.

Pemasangan selang lumen ganda


Laringoskopi dengan bilah pisau yang melengkung (Macintosh) biasanya memberikan
visualisasi yang lebih baik dibandingkan dengan bilah pisau-lurus memberikan lebih banyak
manfaat jika laring di anterior. Selang lumen ganda dilewatkan dengan cekungan distal ke
arah anterior dan diputar 90o (ke arah sisi bronkhus yang harus diintubasi) sesudah ujungnya
memasuki laring.

83
Penetapan selang lumen ganda sisi kiri. Perhatikan bahwa selang diputar 90o segera setelah
memasuki laring. A: Posisi awal, B: Diputar 90o, c:Posisi akhir

Ujung selang terus dimajukan sampai retensi terasa; rata-rata kedalaman insersi kurang
lebih 29cm (diukur dari gigi). Pemanasan selang yang benar harus dipastikan dengan
menggunakan protokol yang telah ditetapkan sebelumnya, dan dikonfirmasi menggunakan
bronkhoskopi fiber optik yang fleksibel.

84
Hasil dari penjepitan unilateral selang ensotrakheal ketika selang lumen ganda dalam posisi
yang benar.
Kiri :
- Bunyi nafas ipsilateral menghilang
- Hemithoraks ipsilateral tidak bergerak
- Tidak ada perubahan kelembaban

Kanan :
- Bunyi nafas kontralateral tetap ada
- Hemothoraks kontralateral naik dan turun
- Kelembaban gas respirasi kontralateral menghilang pada inhalasi dan muncul kembali
pada ekshalasi
- Kantung pernafasan mempunyai komplain yang diharapkan pada ventilasi satu paru.

85
Ketika masalah ditemukan dalam mengintubasi pasien dengan menggunakan selang lumen-
ganda, pemasangan selang reguler yang lebih kecil (6,0-7,0) harus dicoba; ketika telah
diposisikan pada trakhea, yang disebut terakhir dapat ditukar dengan selang lumen-ganda
memakai panduan kateter yang dirancang khusus (“tube-exchanger”).

Malposisi selang lumen-ganda biasanya diindikasikan oleh komplain paru yang jelek dan
tidal volume ekshalasi yang rendah. Masalah-masalah selang lumen-ganda left-sided
biasanya terkait dengan salah satu dari 3 kemungkinan ini :
1. Selang terlalu dalam
2. Tidak cukup dalam
3. Selang memasuki bronkhus kanan (sisi yang salah)

Jika selang terlalu dalam, seperti dapat terjadi ketika menggunakan selang yang lebih kecil
pada orang yang tinggi, bronchial cuff dapat mengobstruksi orificium lobus atas kiti dengan
lubang lumen bonkhial pada bronkhus lobus atas kiri. Jika selang tidak dimajukan cukup

86
jauh, bronchial cuff dapat mengoklusi bronkhus kanan. Pada dua keadaan tersebu,
pengempisan bronchial cuff memperbaiki venti;asi ke paru yang akan diventilasi dan
membantu mengidentifikasi masalahnya.

Jika selang-selang memasuki bronkhus yang salah dengan merugikan, bronkhoskop fiber
optik dapat digunakan untuk mereposisi ke sisi yang benar:
1. Bronkhoskop dilewatkan melalui lumen bronkhial ke ujung selang
2. Dengan melihat langsung selang dan bronkhoskop ditarik bersama ke dalam trakhea
tepat diatas
3. Bronkhoskop kemudian dimajukan ke dalam bronkhus yang benar
4. Selang lumen-ganda dimajukan hati-hati di atas bronkhoskop yang berfungsi sebagai
stilet untuk memandu lumen selang bronkhial ke bronkhus yang benar.

Komplikasi-komplikasi selang lumen ganda


Komplikasi utama dari selang lumen-ganda mencakup:
1. hipoksemia yang disebabkan oleh salah pemasangan selang atau oklusi
2. ruptur trakheobronkhial yang diakibatkan oleh over-inflasi (penggembungan berlebihan)
bronchial cuff
3. penjahitan merufikan pada selang ke bronkhus selama pembedahan (terdeteksi sebagai
ketidakmampuan menarik kembali selang selama upaya ekstubasi)

SELANG ENDOTRAKHEAL LUMEN-TUNGGAL DENGAN BLOKER BROMKHIAL


Bloker bronkhial adalah alat yang dapat digembungkan yang dimasukan sepanjang sisi atau
melalui selang endotrakhea; lumen-tungggal untuk secara selektif mengoklusi orificium
bronchial. Selang endotrakheal lumen-tunggal yang mempunyai saluran samping yang built-
in untuk bloker bronkhial yang dapat ditarik lagi setelah tersedia secara komersial. Selang ini
dipasang dengan bloker yang dapat ditarik sepenuhnya;bengkokan cekung tepa ke atah
yang diinginkan sehingga mengarahkan bloker bronkhial ke bronkhus kanan; mrmutar
selang sedemikian rupa dengan bengkokan cekung tepat ke arah yang diinginkan sehingga

87
mengarahkan bloker bronkhial ke bronkhus kiri. Bloker bronkhial harus dimajukan,
diposisikan dan digembungkan dengan dilihat langsung melalui bronkhoskop yang fleksibel.

ANESTESI UNTUK RESEKSI PARU


Pertimbangan Perioperatif
Reseksi paru biasanya dilakukan untuk diagnosis dan pengobatan tumor-tumor paru dan
kurang umum untuk komplikasi infeksi paru necrotizing dan bronkhietaksis
1. Tumor
Tumor-tumor paru dapat bersifat jinak atau malignan atau dapat mempunyai sifat
intermediate. Perbedaan ini sering tidak dapat dibuat sampai saat pembedahan.
Hamartona menduduki 90% tumor paru jinak; mereka biasanya merupakan lesi paru
perifer, dan menggambarkan jaringan paru normal yang disorganisasi. Adenoma
bronkhial biasanya merupakan lesi paru sentral yang tipikal bersifat jinak tapi kadang
bersifat invasif lokal dan jarang dapat bermetastasis. Tumor-tumor ini mencakup
karsinoid paru, silindroma, dan adenoma mukopidermoid. Mereka sering
mengobstruksi lumen bronkhial dan menyebabkan penumonia disebelah distal
obstruksi tersebut pada area yang sama. Karsinoid paru berasal dari sel-sel APUD dan
dapat mensekresikan multiple hormon, yang mencakup ACTH dan arigin vasopressin;
menifestasi sindroma karsinoid merupakan hal yang tak umum dan lebih mungkin
dengan metatastis hepatik.

Manifestasi Klinik
Gejala-gejalanya dapat berupa batuk hemoritis dispnea, mengi, penuruan berat badan,
demam. Nyeri dada pleuritik atau efusi pleura menyatakan perluasan pleura.
Keterkenaan struktur mediastinum ditandai oleh seral akibat kompresi kambuhan pada
saraf laring, yaitu sindroma horner disebabkan keterkenan rantai sipatetik,
peningkatan hemidiafragma yang disebabkan oleh kompresi pada saraf frenik, disfagia
akibat kompresi esofagus, atau sindroma vena cava superior.

Kriteria operatif untuk Pneumonektomi


Operabilitas akhirnya merupakan keputusan klinik tapi tes fungsi paru memberikan
pedoman pendahuluan pendahuluan yang bermanfaat. Derajat gangguan preoperatif

88
preoperatif - ketika diukur dengan menggunakan menggunakan tes fungsi paru rutin
secara langsung terkait dengan risiko operatif. Kriteria pendahuluan standar untuk
operabilitas
2. Infeksi
Infeksi paru dapat paru dapat terlihat sebagai suatu nodul suatu nodul soliter atau lesi
atau lesi cavitari (necrotizing pneumonitis).
Torakotomi eksploratif dapat dilakukan untuk menyingkirkan keganasan dan
mendiagnosis agen2 infeksius.

3. Bronkhietaksis
Bronkhiektasis merupakan dilatasi permanen bronkhiektasis merupakan dilatasi
permanen bronkhu. Keadaan ini biasanya merupakan hasil-akhir dari
peradangan peradangan berat atau kambuhan dan obstruksi. Penyebabnya mencakup
berbagai berbagai macam patogen virus, bakteri dan cendawan, dan juga inhalasi gas-
gas toksik, aspirasi asam lambung, dan klierens mukosiliari defektif &fibrosis kistik dan
gangguan-gangguan disfungsi siliari).

89
H. Asuhan Keperawatan Anestesi pada Kasus Bedah Plastik
ASKAN UMUM PADA BEDAH PLASTIK
- Prinsipny kalau operasi plastik d area wajah/ kepala jenis dan teknik anestesi yg
idealny GENERAL ANESTESI dengan ETT (apabila lama operasi > 1jam).Bila sekiranya
kurang dri itu LMA dan apabila lebih singkat Cukup TIVA
- Intinya patensi jalan nafas nomer 1
- Memudahkan operator bekerja, dengan melapangkan area pembedahan. Bisa
dengan cara memposisikan pasien sesuai kebutuhan operator.Perlu d perhatikan
juga, posisi letak sircuit/ selang mesin anestesi. Karna lokasi pembedahan atas (ex.
Area kepala) lokasi mesin d tempat longgar agar tidak mengganggu kerja operator
- Teknik anestesiSecara umum, teknik anestesi regional lebih direkomendasikan
daripada anestesi umum karena mereka memiliki komplikasi lebih sedikit dan
mendukung pemulihan yang lebih aman, dengan analgesia pasca operasi yang lebih
baik
- Faktor risiko diidentifikasi,misalnya, merokok, obesitas, penggunaan alkohol,
hipertensi, diabetes mellitus, dan kemoterapi atau radioterapi sebelumnya. Pasien
dengan kanker kepala dan leherumumnya lansia dengan status gizi buruk, perokok
berat dan peminum, dan mungkinmemiliki komorbid jantung
dan pernapasan yang signifikan.
- Investigasi rutin harus mencakuphitung darah lengkap, urea dan elektrolit, nilai
pembekuan, hal-hal tersebutdikelompokkan dan disimpan. Rontgen toraks, EKG, tes
fungsi pernapasan, analisisgas darah, ekokardiogram, dan tes latihan jantung paru
harus dipertimbangkan pada pasien dengan faktor risiko jantung dan pernafasan
- Darah harus dicrossmatch jikadiseksi dan rekonstruksi luas direncanakan, sehingga
kehilangan darah yang berlebihan dapat diantisipasi. Penjelasan yang hati-
hati kepada pasien tentanganestesi diperlukan, termasuk operasi yang
berkepanjangan dan anestesi, penghilangrasa sakit, monitor invasif, kateter urin,
transfusi darah yang mungkin, dan perawatan pasca operasi.

Pre Anestesi
- Evaluasi pra-anestesi harus dilakukan beberapa hari sebelumnya.

90
- Para pasien harus dievaluasi mengenai keadaan emosional mereka dan kemampuan
mereka untuk mentolerir operasi dengan waktu yang lama dan pemulihan yang sulit
- Sebagian besar pasien operasi plastik dalam kondisi fisik yang baik (ASA 1-2);

Intra Operasi
- Pemantauan rutin harus mencakup EKG, tekanan darah non-invasif, pulseoximetry,
dan suhu inti dan perifer. Bahkan, ada juga praktik rutin untuk memantau(kontinu,
non-invasif) CO, stroke volume (SV)

Post Operasi
- Nyeri pasca operasi akut adalah masalah yang belum terselesaikan, termasuk
pasien operasi plastik. Sebagian besar prosedur operasi plastik disertai dengan
rasa sakit pasca operasi moderat / intens yang dapat melumpuhkan dan
memperpanjang masa tinggal di rumah sakit.
- Analgesia yang ideal harus dimulai dari fase pra-anestesi menggunakan obat
pencegahan dan pencegahan.

91
I. Asuhan Keperawatan Anestesi pada Kasus Bedah Jantung

a. Definisi
Penyakit kardiovaskuler terutama penyakit jantung hipertensif, ischemic, dan
valvular, adalah penyaki medis yang paling sering ditemukan dalam praktek
anesthesia dan merupakan penyebab utama dari morbiditas dan mortalitas
pra-operasi. Perawatan pasien dengan penyakit2 ini terus-menerus menentang
keaslian dan sumber2 anesthesiologi. Respon adrenergic terhadap stimulasi
surgical dan efek sirkulasi dari agen anesthesia, intubasi endotracheal, ventilasi
tekanan positif, kehilangan darah, perpindahan cairan, dan pengalihan suhu
tubuh menambah beban tambahan terhadap system kardiovaskuler yang
sudah sering terungkap. Kebanyakan agen anesthesia menyebabkan depresi
kardiak, vasolidasi, ataupun keduanya. Bahkan anesthesia yang tidak
menyebabkan efek sirkulatif secara langsung dapat menyebabkan depresi
sirkulatif pada beberapa pasien yang terungkap yang bergantung pada aktivitas
sympathetic yang telah ditingkatkan secara kronis. Interupsi terhadap aktivitas
ini sebagai konsekuensi dari kedaan ter-anesthesi dapat menyebabkan
dekompensasi sirkulatif akut.
Pemberian anesthesia yang optimal pada pasien dengan penyakit
kardiovaskuler membutuhkan pengetahuan yang menyeluruh tentang fisiologi
kardiak normal, efek sirkulatif dari berbagai agen anesthesia, dan perawatan
serta patophysiologis terhadap penyakit2 ini. Prinsip yang sama digunakan
dalam perawatan terhadap penyakit2 ini pra-operasi. Pada kebanyakan situasi,
pilihan agen anesthesia tidak sepenting tentang bagaimana agen2 tersebut
digunakan memahami patofisiologi yang melandasinya.

b. Faktor Resiko Kardiak


Frekuensi penyakit kardiovaskuler meningkat secara progresif dengan
bertambahnya umur. Lebih dari itu, jumpah pasien diatas 65% diperkirakan
akan meningkat 25-35% pada 2 dekade mendatang. Myocardial infarction (MI)

92
pra-operasi, edema pulmonary, kegagalan jantung congestive, arrhythmias,
dan thromboembolism paling sering ditemukan pada pasien dengan penyakit
kardiovaskuler yang telah ada sebelumnya. Komplikasi kardiovaskuler terjadi
pada 25-50% penyakit yang mengikuti kematian setelah operasi non-kardiak.
Insiden edema pulmonary kardiogenik setelah operasi sekitar 2 % dari pasien
selama 40 tahun, namun terjadi 6% pada pasien yang mempunyai sejarah
kegagalan jantung dan 16% pasien yang mengalami kegagalan jantung yang
terkompensasi secara lemah. Frekuensi yang relative tinggi terhadap
ketidakwajaran kardiovaskuler pada pasien operasi mendorong usaha
pendefinisian resiko kardiak atau kecendeungan komplikasi kardiak selama
operasi atau pasca-operasi yang fatal dan mengancam jiwa.
Sebuah laporan dari American College of Cadiology/American Heart
Association Task Force telah membagi penanda2 klinis pada peningkatan resiko
kardiovaskuler menjadi predictor mayor, menengah, dan minor. Prediktor
mayor menuntut manajemen secara intensif, predictor menengah adalah
penanda bagi resiko yang meningkat dan menuntut perlakuan pasca-operasi
secara hati2, dan predictor minor merupakan penanda penyakit kardiovaskuler
yang belum ditunjukkan secara jelas pada peningkatan resiko perioperative.
Pasien dengan predictor mayor harus menjalani evaluasi kardiak non-infasif
dan apabila sesuai, seperti yang akan dibahas pada bab selanjutnya,
angiography koroner. Mayoritas pasien dengan predictor peningkatan resiko
kardiovaskuler jatuh pada kategori menengah dan minor. Sebuah skema
penanganan yang telah disederhanakan memerlukan pengujian kardiak non-
infasif bila pasien mempunyai 2 atau 3 kriteria klinis seperti yang ada pada
table.
Faktor resiko sebelum operasi yang paling penting adalah sindrom
koroner yang tidak stabil dan bukti CHF. Kontraindikasi yang diterima secara
umum terhadap operasi non-kardiak terpilih termasuk myocardial infarction
yang kurang dari 1 bulan sebelum operasi dengan bukti adanya resiko ischemic
yang kuat dengan gejala atau pengujian non-invasif, kegagalan jantung yang
tidak terkompensasi, dan stenosis mitral atau aortic yang parah.

93
Faktor intraoperative yang paling penting adalah urgensi dari operasi dan
titik operasi. Komplikasi kardiak dapat terjadi 2 hingga 5 kali lipat lebih banyak
pada pasien yang menjalani operasi darurat. Mayoritas komplikasi kardiak
dihubungkan dengan operasi thoracic, abdominal, dan vaskuler besar. Operasi
vaskuler terutama prosedur bypass infrainguinal, menunjukkan prosedur
beresiko tinggi karena penyakit vaskuler penyerta dan penyakit arteri koroner
(CAD) mempunyai factor resiko yang sama (diabetes, sejarah merokok,
hyperlipidemia, dan bertambahnya umur); gejala CAD ditunjukkan oleh batas
aktivitas oleh claudication dan sifat prosedur itu sendiri, yang mungkin
mengalami perpanjangan dan sering dihubungkan dengan kehilangan darah
secara signifikan. Resiko kardiovaskuler untuk operasi arteri carotid lebih
sedikit daripada operasi bypass arterial aortic maupun infrainguinal. Walaupun
hipertensi yang dikendalikan secara lemah tidak dinyatakan secara jelas
sebagai rsiko komplikasi pasca-operasi, hal itu sering dihubungkan dengan
dengan fluktuasi tekanan darah pasca-operasi secara luas. Menariknya,
hipertensi intraoperatif lebih banyak dihubungkan dengan mordibitas kardiak
daripada hipotensi.
Walaupun superioritas anesthesia regional terhadap anesthesia umum
bagi pasien dengan penyakit kardiovaskuler mungkin terlihat jelas, penelitian
yang mendukung pandangan ini sangat kurang. Lebih dari itu, efek
hemodinamik dari anesthesia spinal dan epidural mungkin lebih detrimental
daripada anesthesia umum yang dilakukan secara baik untuk beberapa pasien.

c. Hipertensi
1. Pertimbangan Preoperative
Hipertensi adalah sebab2 utama kematian dan ketidakmampuan pada
sebagian besar masyarakat Barat dan abnormalitas yang paling sering pada
pasien operasi, dengan frekuensi 20-25%. Hipertensi yang tidak
dikendalikan dalam jangka waktu lama mempercepat atherosclerosis dan
kerusakan organ hipertensif.Hipertensi adalah factor utama penyebab
penyakit kardiak, cerebral, renal, dan vaskuler. Komplikasinya meliputi MI,

94
kegagalan jantung congestive, stroke, kegagalan renal, penyakit oklusif
tambahan, dan klasifikasi aortic. Adanya hypertrophy ventrikuler kiri (LVH)
pada pasien hipertensi dapat menjadi predictor penting bagi kematian
kardiak. Peningkatan kematian kardiak juga telah dilaporkan pada psien
dengan bruit carotid, bahkan tanpa adanya gejala.

2. Definisi
Pengukuran tekanan darah dipengaruhi oleh banyak variable,
termasuk postur, waktu malam atau siang, keadaan emosional, aktivitas
saat itu, dan konsumsi obat serta perlengkapan dan teknik yang dipakai.
Diagnosis terhadap hipertensi tidak dapat dilakukan dengan satu
pembacaan preoperative namun namun membutuhkan konfirmasi dari
sejarah pengukuran secara konsisten. Walaupun kecemasan atau rasa sakit
pra-operasi dapat menghasilkan hipertensi bahkan pada pasien normal,
pasien dengan sejarah hipertensi biasanya mengalami kenaikan tekanan
darah lebih tinggi pra-operasi.
Penelitian epidemiologis menunjukkan hubungan langsung dan
berkesinambungan antara tekanan darah diastolic dan sistolik dan tingkat
kematian. Garis batas hipertensi aa pada tekanan diastolic 85-89 mm Hg
atau tekanan sistolik pada 130-139 mm Hg. Hipertensi hebat (tahap 3)
didefinisikan oleh peningkatan tekanan darah secara progresif,
berkesinambungan, dan langsung, biasanya dengan tekanan darah
diastolic 110-119mm Hg; disfungsi renal juga sering terjadi.

3. Pathofisiologi
Hipertensi dapat menjadi esensial atau kadang2 sekunder terhadap
kondisi medis yang lain seperti penyakit renal, hyperaldosteronism
primer, sindrom Cushing, acromegaly, kehamilan, atau terapi estrogen.
Hipertensi esensial terjadi pada 80-95% kasus dan mungkin dihubungkan
dengan kenaikan landasan abnormal pada output kardiak, SVR, ataupun
keduanya. Volume cairan ekstraseluler dan aktivitas plasma rennin
mungkin rendah, normal, atau tinggi. Hipertensi juga mengalihkan

95
autoregulasi serebral (sehingga aliran darah serebral normal
dipertahankan pada tekanan darah tinggi, batas autoregulasi mungkin
pada rentang rata2 110-180 mm Hg.
Mekanisme penyebab perubahan yang diamati pada pasien hipertensi
tetap samar namun Nampak melibatkan hypertrophy vaskuler,
hyperinsulinemia, peningkatan abnormal dalam kalsium intraseluler, dan
peningkatan konsentasi sodium intraseluler dalam otot halus vaskuler dan
sel tubular renal. Pasien hipertensi sering menunjukkan respon berlebihan
terhadap vasopressor. Aktivitas berlebihan dari system rennin-angiotensin-
aldosterone Nampak memainkan peran penting dalam pasien dengan
hipertensi hebat.

4. Perawatan Jangka Panjang


Terapi obat telah menunjukkan kegunaannya untuk mengurangi
progresi hipertensi dan insiden stroke, kegagalan jantung congestive, CAD,
dan kerusakan renal. Perawatan dapat juga membalikkan beberapa
perubahan patofisiologis, seperti LVH dan autoregulasi serebral yang
dialihkan.
Kebanyakan pasien dengan hipertensi ringan membutuhkan hanya
satu terapi obat, yang dapat terdiri dari thiazide diuretic, penghambat
enzim pengubah angiotensin (ACE), penghambat reseptor angiotensin
(ARB), atau penghambat kalsium. The Joint National Committee on
Hypertension (USA) menyarankan thiazide diuretic dosis rendah untuk
kebanyakan pasien. Sebuah inhibitor ACE dianggap sebagai pilihan utama
untuk pasien dengan disfungsi ventrikuler kiri, dimana inhibitor ACE dan
ARB dianggap sebagai agen tunggal optimal untuk hyperlipidemia,
penyakit ginjal kronis, atau diabetes.
Pasien dengan hipertensi menengah hingga hebat memerlukan obat
kedua dan ketiga. Diuretic sering digunakan untuk mendukung
penghambat adrenergic β dan inhibitor ACE ketika terapi obat tunggal
tidak efektif. Sebagai tambahan, agen2 ini mempertahankan fungsi renal
pada pasien diabetes atau dengan penyakit renal yang melandasinya.

96
Kesamaan nama dan mekanisme aksi umunya digunakan agen
antihipertensif penting untuk anesthesiologist.

5. Manajemen Preoperative
Pertanyaan pada praktek anesthesia adalah tingkat hipertensi pra-
operasi yang dapat diterima. Kecuali ungtuk pasien yang dikontrok secara
optimal, kebanyakan pasien hipertensif yang masuk kamar operasi
membawa hipertensi pada tingkat tertentu. Penyesuaian pada kedalaman
anesthesia dan penggunaan obat vasoactive seharusnya dapat
menurunkan insiden komplikasi pasca-operasi yang berhubungan dengan
pengendalian hipertensi yang lemah pasca-operasi.
Walupun idealnya pasien seharusnya menjalani operasi hanya ketika
telah disesuaikan secara normotensif, hal ini tidak selalu perlu dilakukan
karena autoregulasi serebral. Penurunan tekanan darah secara berlebihan
dapat mengungkap perfusi serebral. Lebih dari itu, keputusan untuk
melanjutkan operasi harus disendirikan, berdasarkan tingkat kenaikan
tekanan darah pra-operasi; kecenderungan ischemia myocardial, disfungsi
ventrikuler, atau komplikasi renal maupun serebrovaskuler, dan prosedur
operasi. Pada beberapa situasi, hipertensi sebelum operasi dikarenakan
oleh ketidak-cocokan pasien dengan obat. Kadang dengan perkecualian,
terapi antihipertensif tetap dilanjutkan hingga operasi. Prosedur operasi
pada pasien dengan tekanan darah preoperative tetap lebih dari 110 mm
Hg, terutama merka dengan kerusakan organ akhir, harus ditunda hingga
tekanan darah lebih terkontrol selama beberapa hari.

1) Pengujian Fisik dan Evaluasi Laoratorium


Ophtalmoscopy mungkin merupakan pengujian yang paing berguna
bagi pasien hipertensif, namun sayangnya hal ini biasanya tidak
dilakukan. Perubanah yang terlihat pada vasculature retinal biasanya
parallel terhadap progresi arteriosclerosis dan kerusakan hipertensif
pada organ2 yang lain. Perubahan orthostatic dapat dikarenakan oleh

97
penurunan volume), vasolidasi berlebihan , atau terapi obat
sympathetic; pemberian cairan sebelum operasi dapat mencegah
hipotensi hebat setelah induksi anesthesia pada pasien. Walaupun
bruit carotid asymptomic biasanya tidak signifikan secara
hemodynamic, mereka reflektif terhadap penyakit vaskuler
atherosclerotic.
Electrocardiogram (ECG) sering normal, namun bagi pasien dengan
sejarah panjang hipertensi sering menunjukkan bukti ischemia,
abnormalitas konduksi, infarction lama. Echocardiography lebih
sensitive terhadap LVH dan dapat digunakan untuk mengevaluasi
systole ventrikuler dan fungsi diastolic pada pasien dengan gejala
gagal jantung Radiograph dada biasanya tidak istimewa namun dapat
menunjukkan jantung berbentuk bot , cardiomegaly akurat, atau
congestion vaskuler pulmonary.
Fungsi renal paling baik dievaluasi menggunakan pengukuran serum
creatinine dan tinglat nitrogen urea darah Hypokalemia ringan hingga
menengah sering ditemukan pada pasien yang menjalani dieretic (3-
3,5 mEq/l), namun biasanya tidak mempengaruhi keluaran secara
buruk. Penggantian potassium seharusnya dilakukan hanya pada
pasien yang symptomatic atau yang juga mengkonsumsi digoxin
Hyperkalemia mungkin terjadi pad apasien, khususnya yang
mempunyai fungsi renal yang rusak , yang mengkonsumsi diuretic
pemasangan potassium. Atau inhibitor ACE.

Premedikasi
Premedikasi mengurangi kecemasan preoperative dan sangat
disarankan untuk pasien hipertensif. Agen antihipertensif
preoperative harus dilanjutkan hingga mendekati jadwal dan dapat
diberikam dengan sedikit hisapan air. Agonist adrenergic α2 dapat
menjadi tambahan yang berguna bagi pasien hipertensif premedikasi;

98
clonidine (0,2 mg) mendukung sedasi, mengurangi anesthesia
intraoperative, dan mengurangi juga hipertensi preoperative.

2) Manajemen Intraoperative
Tujuan
Rencana anesthesia keseluruhan untuk pasien hipertensif adalah
untuk memeprtahankan rentang tekanan darah stabil. Pasien dengan
hipertensi ambang batas dapat ditangani seperti pasien normal.
Pasien dengan hipertensi jangka panjang telah melakukan pengalihan
autoregulasi aliran darah serebral; aliran darah yang lebih tinggi
mungkin perlu untuk mempertahankan aliran darah serebral secara
cukup. Hipertensi, terutama yang berhubungan dengan tachycardia
dapat mempercepat ischemia myocardial, disfungsi ventrikuler,
ataupun keduanya. Tekanan darah arterial harus dipertahankan pada
10-20% dari level preoperative. Jika hipertensi yang telah ditandai
(>180/120 mm Hg) ada pra operasi, tekanan darah arterial harus
dipertahankan pada rentang normal yang tinggi (150-140/90-80 mm
Hg).

Pengawasan
Sebagian besar pasien hipertensi tidak memerlukan pengawasan
intraoperative khusus. Tekanan intraarterial langsung harus
dipertahanakan untuk pasien dengan rentang fluktuasi tekanan darah
yang lebar dan mereka yang menjalani prosedur operasi besar yang
berhubungan dengan perubahan yang cepat pada preload atau
afterload kardiak. Keluaran urine harus diamati secara seksama
dengan kateter urine pada pasien dengan kerusakan renal yang
menjalani prosedur yang diperkirakan akan berlangsung lebih dari 2
hari. Ketika pengawasan hemodinamik digunakan, penyesuaian
ventrikuler yang terkurangi (lihat bab 19) sering terlihat jelas dengan
hypertrophy ventrikuler; tekanan kapiler pulmonary yang lebih tinggi

99
(12-18 mm Hg) mungkin diperlukan untuk memeprtahankan volume
diastolic akhir ventrikel kiri dan output kardiak.

Induksi
Induksi anesthesia dan intubasi endotracheal sering menjadi periode
instabilitas hemodinamik. Tanpa menghiraukan tingkat pengaturan
tekanan dara pra-operasi, banyak pasien dengan hipertensi
menunjukkan respon hypotensive yang jelas terhadap induksi
anesthesia, diikuti oleh respon hypertensive yang berlebihan terhadap
intubasi. Pasien hypertensive dapat menunjukkan respon berlebihan
terhadap catecholmaines endogenous (dari intubasi maupun stimulasi
surgical) dan agonist sympathetic yang diberikan secara exogenous.
Sebagai tambahn, banyak pasien hipertensi telah mengalami
penghabisan volume. Agen sympathetic juga memudahkan reflek
sirkulatif protektif normal Hampir 25% pasien mungkin mengalami
hipertensi hebat mengikuti intubasi endotracheal. Durasi laryngoscopy
yang memungkinkan hubungan hingga setara hipertensi harus
sependek mungkin. Lebih dari itu, intubasi harus dilakukan umumnya
dibawah anesthesia dalam. Satu atau lebih teknik dapat digunakan
sebelum intubasi untuk memudahkan respon hipertensi:
 Pendalaman anesthesia dengan agen potensial mudah
menguap utk 5-10 menit.
 Pemberian bolus dari sebuah opioid (fentanyl, 2,5-5 µg/kg;
alfentanil, 15-25 µg/kg; sufentanil, 0,25-0,5 µg/kg; atau
remifentanil, 0,5-1 µg/kg)
 Pemberian lidocaine, 1,5 mg/kg secara intravenous atau
intratracheal.
 Pencapaian blockade adrenergic β dengan esmolol, 0,3-1,5
mg/kg; propanolol, 1-3 mg; atau labetalol, 5-20 mg.
 Menggunakan anesthesia saluran topical

100
Pilihan Agen Anesthesia
Agen Induksi
Superioritas antara agen hipertensi manapun belum pernah
ditentukan secara jelas. Propofol, barbiturates, benzodiazepines, dan
etomidate sama amannya untuk menginduksi anesthesia umum pada
sebagian besar pasien hipertensif. Ketamine yang berdiri sendiri
dikontraindikasikan untuk prosedur tertentu, karena stimulasi
symphatetic dapat mempercepat hipertensi; bagian stimulant
sympathetic daoat dihilangkan oleh pemberian agen lain dalam dosis
kecil.

Agen Pertahanan (Maintenance)


Anesthesia dapat dilanjutkan secara aman dengan agen mudah
menguap, teknik yang seimbang, atau teknik intravenous total.
Tambahan agen mudah menguap atau vasolidator intravenous
umunya memungkinkan kontral tekanan darah intraoperative yang
yang lebih memuaskan. Beberapa ahli meyakini bahwa opioid,
sufentanil dapat menyediakan control otonomik yang paling besar
terhadap tekanan darah.

Relaksan Otot
Dengan pengecualian bolus pancuronium besar, relaksan otot apapun
dapat digunakan. Ketika pancuronium diberikan secara perlahan
dalam jumlah kecil, peningkatan detak jantung atau tekanan darah
jarang terjadi. Lebih dari itu, pancuronium berguna untuk penyesuaian
tone vagal berlebihan oleh opioid atau manipulasi surgical. Hipotensi
yang mengikuti dosis tubocuraine dalam jumlah besar, metocurine,
attacurium, atau mivacurium dapat terlihat jelas pada pasien
hipertensi.

101
Vasopressor
Pasien hipertensif dapat menunjukkan respon berlebihan terhadap
catecholamines endogenous dan agonist sympathetic yang diberikan
secara exogenous. Jika vasopressor diperlukan untuk diberikan,
sejumlah dosis kecil dari agen langsung seperti phenylephrine (25-50
µg) mungkin lebih disarankan. Sejumlah dosis kecil ephedrine (5-10
mg) lebih lebih cocok ketika tone vagal tinggi. Dosis epinephrine yang
tidak sesuai untuk pasien hipertensif dapat menyebabkan morbidity
vaskuler secara signifikan.

3) Hipertensi Intraoperative
Hipertensi yang tidak merespon terhadap kenaikan kedalaman
anesthesia dapat ditangani dengan berbagai agen parenteral.
Beberapa pilihan agen hipotensif tergantung pada keparahan,
keakutan, dan sebab hipertensi, ambang fungsi ventrikuler, detak
jantung, dan kehadiran penyakit pulmonary bronchospastic.
Nicardipine dapat menjadi pilhan untuk pasien dengan penyakit
bronchospastik. Nitroprusside tetap menjadi agen paling cepat dan
efektif untuk menangani hipertensi menegah hingga hebat
intraoperative. Hydralzine menyediakan control tekanan darah yang
berkesinambungan, namun mempunyai serangan tunda yang dapat
menyebabkan tachycardia reflek.

4) Manajemen Pasca-operasi
Hipertensi pasca-operasi umum terjadi dan harus dantisipasi pada
pasien yang kurang control terhadap hipertensi. Pengawasan tekanan
darah secara seksama harus tetap dilanjutkan di ruang pemulihan dan
masa2 awal pasca-operasi.
Hipertensi pada masa pemulihan sering disebabkan oleh banyak
factor dan diperparah oleh abnormalitas respirasi , Faktor2 yang
berkontribusi harus diantisipasi dan pemberian agen antihipertensif

102
diberikan jika perlu. Jika pasien melanjutkan masukan oral,
pengobatan preoperative harus dilanjutkan kembali.

d. Penyakit Jantung Ischemic


1. Pertimbangan preoperative
Ischemia myocardial dikarakterisasikan oleh permintaan oksigen metabolic
yang melebihi suplai oksigen. Penyebab umum termasuk hipertensi atau
tachycardia hebat; vasospasm arterial koroner; hipotensi hebat;
hypoxemia atau anemia; dan stenosis aortic hebat.
CAD mungkin dapat dimanifestasi secara klinis oleh gejala myocardial
necrosis, ischemia, arrhythmias, atau disfungsi ventrikuler. Ketika gejala
kegagalan jantung congestive mendominasi, terminilogi ischemia
digunakan. 3 sindrom klinis besar dikenali secara umum: MI, angina tidak
stabil, dan angina stanil kronik. MI akut dibasah pada.

2. Perawatan Penyakit Jantung Ischemic


Pendekatan umum dalam penanganan pasien dengan penyakit jantung
ischemic ada 5:
 Koreksi faktor resiko koroner dengan harapan memeprlambat
perkembangan penyakit.
 Modifikasi gaya hidup pasien untuk menghilangkan stress dan
meningkatkan toleransi
 Koreksi atas kondisi komplikasi medis yang dapat memperparah
ischemia.
 Manipulasi pharmacological hubungan myocardial antara suplai
dan permintaan oksigen
 Koreksi lesion koroner dengan intervensi koroner
percutaneous(PCI)

Agen pharmacological yang paling umum digunakan adalah nitrat,


pemblok β, dan pemblok saluran kalsium. Obat2 ini juga mempunyai

103
ptensi pengaruh sirkulatif , yang diperbandingkan pada table 20-8.
Kesemuanya dapat digunakan untuk penanganan angina ringan.
Nitrat

Nitrat merelaksasikan semua otot halus vaskuler namun mempunyai efek


yang lebih besar pada vena daripada pembuluh arteri. Penurunan tone
vena dan vena balik kejantung mengurangi tegangan dinding dan
afterload.
Mungkin yang sama pentingnya, nitrat mendilatasi arteri koroner.
Bahkan dilatasi minor pada titik stenotis mungkin cukup untuk
meningkatkan aliran darah, karena aliran darah berhubungan langsung
dengan tekanan ke-4 dari radius.
Nitrat dapat digunakan baik untuk penanganan ischemia akut dan
prophylaxis terhadap episode angina yang sering terjadi. Nitrat tidak
mempunyai pengaruh inotropic negative, fitur yang diinginkan dengan
adanya disfungsi ventrikuler. Nitrogliserin intravenous juga dapat
digunakan untuk mengendalikan anesthesia hipotensif.

Pemblok Saluran Kalsium

Efek dan kegunaan dari pemblok saluran kalsium yang paling umum
digunakan ditunjukkan pada table 20-8 dan 20-9. Pemblok saluran kalsium
mengurangi permintaan oksigen myocardial dengan menurunkan afterload
kardiak dan tambahan suplai oksigen dengan meningkatkan aliran darah.
Potensi efek nifedipine pada tekanan darah sistemik dapat
mempercepat hipotensi, tachycardia reflek, atau keduanya; preparasi
serangan cepatnya telah dihubungkan dengan MI pada beberapa pasien.
Formulasi pelepasan lambat dari nifedipine dihubungkan dengan
tachycardia reflek yang lebih kecil dan lebih cocok dengan agen yang lain
untuk pasien dengan disfungsi ventrikuler.
Pemblok saluran kalsium dapat mempunyai interaksi signifikan
dengan agen anesthesia. Semua agen nampaknya memungkinkan agen

104
pemblok neuromuscular pendepolarisasi dan non-depolarisasi dan efek
sirkulatif dari agen volatile.

Agen Pemblok Adrenergic β

Obat2 ini menurunkan permintaan oksigen myocardial dengan


menurunkan detak jantung dan kontraktibilitas dan di beberapa kasus,
afterload. Agen2 yang ada bervariasi di dalam selektivitas reseptor,
aktivitas sympathomimetic intrinsic, dan property penyeimbang
membrane. Pemblok β dosis rendah telah menunjukkan berguna untuk
beberapa pasien dengan kegagalan jantung congestive. Pemblokiran
respetor adrenergic β2 juga menyamarkan gejala hypoglycemic pada
pasien diabetes yang sadar, menunda pemulihan metabolic dari
hypoglycemia dan merusak pengendalian muatan potassium besar. Agen
kardioselektif harus digunakan dengan hati2 pada pasien dengan saluran
udara reaktif, Krena selektivitas agen2 ini cenderung bergantung pada
dosis.

Agen Lain

Inhibitor ACE memperpanjang tingkat keselamatan pasien dengan


kegagalan jantung congestive atau disfungsi ventrikuler kiri. Digoxin
berguna untuk pasien dengan fibrilasi atrial yang mampu untuk melakukan
respon ventrikuler secara cepat dan untuk pasien dengan cardiomegaly,
terutama ketika ada gejala kegagalan jantung. Terapi antyarrythmic pada
pasien dengan ectopy ventrikuler kompleks yang mempunyai CAD
signifikan dan disfungsi ventrikuler kiri harus dipandu dengan penelitian
elektrofisiologis. Pasiebn dengan tachycardia ventrikuler tetap atau
fibrilasi ventrikuler merupakan kandidat untuk internal cardioverter-
defibrillator (ICD) otomatis. ICD telah terbukti untuk meningkatkan
keselamatan pasien dengan cardiomyopathy (pecahan pengambilan <30%)
bahkan tanpa adanya arrhythmias yang nampak.

105
1) Manajemen Preoperative

Arti penting penyakit jantung ischemic, khususnya sejarah MI, sebagai


faktor resiko bagi morbiditas dan mortalitas preoperative telah
dibahas pada awal bab ini.Kebanyakan penelitian membenarkan
bahwa output perioperative berhubungan dengan keparahan penyakit
dan fungsi ventrikuler. Pasien dengan CAD ekstensif, sejarah MI, atau
disfungsi ventrikuler mempunyai resiko lebih besar terhadap
komplikasi kardiak. Walaupun mayoritas MI perioperative dilaporkan
sebagai infarction non gelombang Q, tingkat mortalitas bagi infarction
perioperatiove pada beberapa penelitian yang lampau mendekati
50%.
Angina stabil kronis (ringan hingga menengah) tidak meningkatkan
resiko perioperative secara substansial. Sama dengan itu, sejarah
operasi bypass arteri koroner atau angioplasty koroner tidak nampak
meningkatkan resiko perioperative secara substansial. Pemblokir
reseptor β preoperative dilaporkan telah menurunkan kematian
preoperative dan insiden komplikasi kardiovaskuler pasca-operasi.

Pengujian Fisik dan Evaluasi Laboratorium


Evaluasi pasien CAD mirip dengan pasien hipertensi; kedua penyakit
mempunyai keberadaan yang simultan pada pasien yang sama.
Pengujian untuk pasien yang mempunyai sejarah angina tidak stabil
dan menjalani prosedur darurat sebaiknya juga termasuk enzim
kardiak serum. Tingkat serum troponin spesifik kardiak (T atau I),
kreatin kinase (isoenzim MB), dan dehidrogenase laktat (isoenzim tipe
1) berguna untuk mengeluarkan MI.
Ambang ECG normal dalam 20-25% dari pasien dengan CAD namun
tidak MI. Bukti elektrokardiografik dari ischemia sering nampak hanya
ketika adanya sakit dada. Abnormalitas ambang yang paling sering

106
adalah segmen ST non-spesifik dan perubahan gelombang T. Blok AV
tingkat pertama, blok cabang, atau hemiblock mungkin
ditemukan.Interval QT panjang yang terkoreksi (>0,44 detik) mungkin
menunjukkan adanya ischemia, racun obat, abnormalitas elektrolit,
disfungsi otonomik, penurunan kandungan valve mitral, atau
abnormalitas congenital (namun lebih jarang). Interval QT yang
panjang menunujukkan perpanjangan yang berbeda2 dari repolarisasi
ventrikuler dan mencegah pasien terhadap fenomena reentry (lihat
bab 19). Operasi harus ditunda hingga racun obat dan
ketidakseimbangan elektrolit hilang.

Penelitian Khusus
Ketika digunakan sebagai uji pengamatan untuk pengamatan umum,
tes stress noninvasive mempunyai prediktibilitas yang rendah pada
pasien normalnamun cukup bisa diandalkan untuk pasien dengan
kecurigaan penyakit koroner (Bayes’ theorem). Monitoring Halter,
elektrokardiografi, pemindaian perfusi myocardial, dan
echocardiography adalah penting untuk menentukan resiko
perioperative dan kebutuhan angiography koroner.

 Monitoring Holter
Monitoring elektrokardiografi ambulatory secara berkesinambungan
(Holter) berguna untuk mengevaluasi arrhythmias, terapi obat
antiarrythmic, dan keparahan serta frekuensi episode ischemic.
Ischemic tanpa gejala adalah temuan yang sering ada pada pasien
CAD. Lebih dari itu, frekuensi kejadian ischemic paa monitoring Holter
berkorelasi dengan ischemia intraoperative dan pasca-operasi.
Monitoring Holter dapat menjadi pengujian yang bagus karena

107
mempunyia nilai prediktif negative yang baik untuk komplikasi kardiak
pasca-operasi.

 Electrocardiography
Kegunaan ujian ini terbatas bagi pasien dengan abnormalitas ambang
segmen ST dan mereka yang tidak mampu meningkatkan detak
jantung karena fatigue, dyspnea, atau terapi obat. Sensitivitas
keseluruhan adalah 65% dan kekhususan 90%. Tes ini paling sensitive
(85%) terhadapa pasien dengan CAD 3 pembuluh atau kiri utama.
Ectopy ventrikuler terinduksi sering mengindikasikan CAD hebat yang
berhubungan dengan disfungsi ventrikuler.

 Pemindaian Perfusi Myocardial


Pencitraan perfusi myocardial menggunakan thallium-201 atau
technetium-99m dipakai untuk mengevaluasi pasien yang tidak dapat
menjalani ECG atau mempunyai abnormalitas ECG yang dapat
menghalangi interpretasi. Penelitina perfusi myocardial mengikuti
injeksi dipyridamole atau adenosine mempunyai sesitivitas yang tinggi
namun hanya baik bila khusus digunakan untuk deteksi CAD. Nilai
prediktif negative dari pemindaian perfusi normal hampir mencapai
99%.

 Echocardiography
Teknik ini menyediakan informasi mengenai fungsi ventrikuler regional
maupun global, dan dapat dijalankan pada awal, lanjutan, atau
dengan pemberian dobutamine. Gerakan dinding regional yang dapat
dideteksi dan pecahan pengeluaran ventrikuler kiribekorelasi secara
baik dengan temuan angiographic. Abnormalitas gerakan dinding baru
atau semakin parah setelah infusi dobutamine merupakan indikasi
ischemia signifikan.

108
 Angiography Koroner
Angiography koroner tetap menjadi standar utama bagi evaluasi CAD
dan dihubuingkan dengan tingkat komplikasi rendah (<1%).
Angiography koroner seharusnya dilakukan hanya untuk menentukan
apakah pasien terpengaruh oleh angioplasty koroner percutaneous
atau bypass arteri koroner karena operasi non-kardiak. Stenosis
signifikan dari arteri koroner utama kiri adalah tidak menguntungkan
kaena memepengaruhi hampir ventrikel kiri., Lebih dari itu, bahkan
50-75% kemacetan pada arteri utama kiri dapat menjadi signifikan
secara hemodinamis.

Premedikasi
Menghilangkan kecemasan, rasa takut, dan rasa sakit merupakan
tujuan yang diingini oleh pasien CAD. Premedikasi yang memuaskan
mencgah aktivasi sympathetic, yang mempunyai pengaruh buruk
terhadap keseimbangan suplai dan permintaan oksigen myocardial.
Benzodiazepine, sendiri atau dengan kombinasi opioid, adalah yang
paling umum dilakukan. Penarikan secara mendadak terhadap
pengobatan antianginal pra-operasi, khususnya penyumbat β, dapat
mempercepat peningkatan tiba2 dari episode ischemic
(rebound/pantulan). Lebih dari itu, pemblokir adrenergic β
prophylactic menurunkan insiden ischemic intraoperative dan
postoperative dan superior terhadap prophylaxis dengan pemblokir
saluran kalsium secara sendiri. Banyak ahli klinis memberikan nitrat
secara intravenous atau transderrmal pada pasien dengan CAD pada
masa perioperative.

109
2) Manajemen Intraoperative
Periode intraoperative biasanya diasosiasikan dengan faktor dan
kejadian yang dapat berpengaruh buruk terhadap keseimbngan suplai-
permintaaan oksigen myocardial. Hipertensi dan kontraktibilitas yang
ditingkatkan telah meningkatkan permintaan oksigen myocardial,
selanjutnya tachycardia meningkatkan permintaan dan mengurangi
suplai.

Tujuan
Prioritas yang berlimpah dalam penagnanan pasien dengan penyakit
jantung ischemic adalah mempertahankan hubungan suplai-
permintaan myocardial. Peningkatan yang dimediasi secara otonomik
pada detak jantung dan tekanan darah seharusnya dikendalikan
melalui anesthesia dalam atau penyumbatan adrenergic, dan reduksi
yang berlebihan pada tekanan perfusi koroner atau isi oksigen arterial
harus dihindari. Walaupun limit pasti tidak dapat diperkirakan,
tekanan arterial diastolik seharusnya dijaga pada level 50 mm Hg.
Tekanan diastolik yang lebih tinggi mungkin diperlukan bagi pasien
dengan penyumbatan koroner tingkat tinggi. Peningkatan yang
berlebihan pada, seperti yang disebabkan oleh kelebihan cairan, pada
tekanan diastolik akhir ventrikel kiri harus dihindari karena
menyebabkan kenaikan tegangan dinding ventrikuler dan dapat
mengurangi perfusi subendocardial.

Monitoring
Monitoring tekanan intraarterial disarankan untuk pasien dengan CAD
hebat dan resiko kardiak multifaktor (lihat tabel 20-1). Tekanan vena
sentral atau arteri pulmonary harus dimonitor saat prosedur rumit
atau yang diperpanjang yang melibatkan perpndahan cairan dalam
jumlah besar serta hilangnya darah TEE dapat menyediakan informasi
yang berharga terhadap kontraktibilitas dan ukuran rongga, baik
kualitatif maupun kuantitatif. Deteksi intraoperative terhadap

110
ischemia tergantung pada pengenalan perubahan
electrocardiography, manifest hemodynamic, atau abnormalitas
gerakan dinding regional pada echocardiography tansesophageal.

 Electrocardiography
Perubahan ischemic awal adalah samar dan sering terlewatkan. Hal ini
melibatkan perubahan morfologi gelombang T, termasuk inversi,
tenting, atau keduanya (bagan 20-3). Ischemia yang lebih jelas dapat
terlihat pada pembentukan depresi segmen ST progresif. Peningkatan
segmen ST baru jarang terjadi pada operasi non-kardiak dan indikatif
terhadap ischemia parah. Harap dicatat bahwa kenaikan ST minor
terisolasi pada ujung precordial menengah (V3 dan V4) dapat menjadi
varian yang wajar pada pasien muda. Sensitivitas ECG dalam deteksi
ischemia berhubungan dengan jumlah ujung yang termonitor.
Penelitian menyarankan bahwa ujung V5, V4, II, DAN V3 (dalam
penurunan sensitivitas) adalah yang paling berguna. Ketika hanya ada
1 saluran yang dapat dimonitor, V5 adalah ujung dengan sensitivitas
yang paling tinggi.

 Monitoring Hemodinamik

Abnormalitas hemodinamik yang paling umum diamati selama


periode ischemik hipertensi dan tachycardia. Mereka selalu menjadi
akibat daripada sebab ischemia. Korelasi hemodinamik yang paling
sensitif ada pada monitoring tekanan arteri pulmonary. Kemunculan
tiba2 dari gelombang v biasanya indikatif terhadap regurgasi mitral
akut dari disfungsi otot papillary ischemic dilatasi ventrikuler kiri akut.

111
 Echocardiography Transesophageal
TEE dapat berguna untuk mendeteksi disfungsi kardiak global maupun
regional demikian juga dengan fungsi valvular pada beberapa pasien.
Lebih dari itu, deteksi abnormalitas gerakan dinding regional baru
lebih cepat dan sensitif terhadap ischemia myocardial daripada ECG.
Abnormalitas global maupun regional dapat disebabkan oleh
perubahan detak jantung, , konduksi yang dialihkan, preload,
afterload, erubahan yang diinduksikan oleh obat pada kontraktibilitas.
Sayangnya, TEE memerlukan peralatan yang mahal dan pengakraban
terhadap teknik yang dipakai untuk menghasilkan penafsiran yang
cepat dan akurat selama operasi.

Manajemen Cardioverter-Defibrillator Internal


Peningkatan pasien dengan CAD dan ICD otomatis terjadi pada pasien
operasi. Pasien biasanya mempunyai sejarah cardiomyopathy dan
atau sejarah gejala tachycardia ventrikuler atau fibrilasi. ICD yang
dapat berfungsi sebagai pemacu detak juga sebagai defibrilator,
mempunyai masalah karena penggunaan electrocautery surgical. Hal
ini dapat mengakibatkan (1) pengapian ICD karena alat ini dapat
mengartikannya sebagai fibrilasi ventrikuler, (2) penghambatan
pemacuan detak karena artifak cautery, (3) peningkatan detak karena
pengaktifan sensor detak responsif, dan (4) penyetelan ulang secara
temporer maupun permanen ke mode setel ulang cadangan.
Alat2 ICD harus dimatikan fungsi defibrilatornya segera sebelum
operasi dan dinyalakan segera setelah operasi. Landasan defibrilasi
eksternal harus diletakkan dan dihubungkan dengan mesin eksternal
saat operasi. Monitoring secara hati2 terhadap tekanan arterial
dengan oximetry detak atau pengukur ghelombang arterial diperlukan
guna memastikan bahwa pemacu tidak terhambat dan ada perfusi
arterial selama artefak ECG dari cautery surgical.

112
Pilihan Anesthesia
 Anesthesia Regional
Walupun beberapa penelitian yang mendokumentasikan
superioritas anesthesia regional daripada umum masih kurang,
anesthesia regional sering merupakan palihan yang baik bagi prosedur
yang melibatkan tingkat ke-ekstriman, perineum, dan mungkin juga
abdomen bawah. Penurunan tekanan darah secara tergesa-gesa
mengikuti anesthesia spinal maupun epidural harus ditangani dengan
phenylephrine dalam dosis kecil (25-50 mg) atau agen yang sama
untuk mempertahankan tekanan perfusi koroner hingga cairan
intravenous yang cukup dapat diberikan. Ephedrine dalam dosis kecil
(5-10 mg) juga lebih dipilih untuk pasien dengan bradycardia.
Pasien dengan kegagalan jantung congestive yang
terkompensasi biasanya toleran terhadap symphatectomy dengan
baik dan tidak memerlukan penambahan volume sebelum operasi.
Konversi dari anesthesia regional ge umum cocok untuk keadaan
tersebut dan mengkoreksi hipertensi yang sering dihubung2kan,
tachycardia, hypoxia, atau hypercapnia.

 Anesthesia Umum
Induksi
Prinsip umum yang sama yang diterapkan pada pasien hipertensi juga
dapat diterapkan pada pasien penyakit jantung ischemic. Sebagian
besar pasien dengan CAD mempunyai hipertensi. Induksi bagi pasien
CAD menegah hingga hebat memerlukan beberapa modifikasi. Induksi
tersebut harus mempunyai efek hemodinamis minimal, menghasilkan
tingkat ketidak-sadaran yang dapat diandalkan, dan menyediakan
kedalaman anesthesia yang cukup untuk mencegah respon
vasopressor terhadap intubasi (jika intubasi diperlukan); namun pada
beberapa kasus, hipertensi ringan hingga menengah lebih mudah
ditoleransi daripada hipotensi.

113
Pemberian relaksan otot (segera setelah kemampuan reflek kelopak
mata hilang) dan ventilasi yang terkontrol memastikan oksigenasi
umum yang cukup selama induksi. Hypercarbia sering diasosiasikan
dengan hipertensi. Intubasi endotrcheal dilakukan setelah kedalaman
anesthesia tercapai atau tekanan darah arterial mencapai tekanan
paling bawah yang dapat diterima.

Pilihan Agen
Agen induksi - Pilihan agen tertentu tidak terlalu kritis bagi
sebagian besar pasien. Propofol, barbiturates, etomidate,
benzodiazepine, opioid, dan beberapa kombinasi dari obat2an ini
sering digunakan. Ketamine secara sendiri sering dikontraindikasikan
karena efek sympathomimetic yang tidak langsung dapat
berpengaruh buruk terhadap keseimbangan suplai-permintaan
oksigen myocardial.
Anesthesia opioid dosis tinggi telah digunakan sebelumnya untuk
pasien dengan disfungsi ventrikuler yang signifikan. Dengan
penbgecualian terhadap meperidine, opioid sendiri secara umum
dihubungkan dengan depresi kardiak minimal atau tidak sama sekali.
Mengkobinasikan obat2 tersebut dengan agen2 intravenous lain dapat
menyebabkan depresi kardiak yang tergantung dosis secara signifikan.
Depresi kardiak juga dapat terjadi dengan onduksi opioid dosis tinggi
(lihat bab 21); hal ini menggambarkan penarikan tone sympathetic
ambang yang mengalami kenaikan. Kontrol terhadap respon
adrenergic terhadap intubasi endotracheal telah dibahas di bagian
hipertensi.
Agen penjaga- Pasien umumnya ditangani dengan teknik
anesthesia opioid mudah menguap. Pasien dengan pecahan
pengambilan kurang dari 40% dapat menjadi sensitif terhadap efek
depressan dari agen volatile atau opioid bolus besar. Potensi efek
agen volatile pada sirkulasi koroner dibahas pada bab 19. Semua agen
volatile umunya mempunyai efek yang diperlukan terhadap

114
keseimbangan oksigen myocardial, mengurangi permintaan lebih dari
suplai. Isoflurane mendilatasi arteri intramyocardial lebih dari
pembuluh epicardial yang lebih besar namun hanya ada sedikit bukti
bahwa isoflurane menyebabkan fenomena pengambilan intrakoroner
pada praktek klinis.
Deteksi ischemia intraoperative harus menjelaskan pencarian
faktor pendorong dan pemicu intervensi untuk mengkoreksi hal
tersebut. Oksigenasi dan hematocrit harus diperiksa dan abnormalitas
hemodinamik harus dikoreksi. Kegagalan untuk mengidentifikasi
penyebab atau membalikkan manifestasi ischemic dapat
mengindikasikan nitrogliserin intravenous harus dimulai. Pasta
nitrogliserin dapat digunakan jika nitrogliserin intravenous tidak dapat
digunakan, namnu hal itu diasosiasikan dengan penundaan serangan
dan absorpsi yang beragam.
Relaksan otot – Kurangnya efek samping sirkulatif secara
signifikan secara umum menjadikan doxacurium relaksan otot yang
bagus bagi pasien dengan penyakit jantung ischemic. Bradycardia
hebat telah dilaporkan karena penggunaan vecuronium pada
beberapa kejadian langka, namun pada tiap kejadian hal ini
dihubungkan dengan pemberian opioid sintetis. Jika digunakan secara
benar, relaksan otot yang lain dapat diberikan secara aman terhadap
pasien dengan CAD. Atracurium pada dosis kurang dari 0,4 mg/g dan
mivacurium pada dosis hingga 0,15 mg/g yang diberikan secara
perlahan mempunyai efek hemodinamik minimal.
Pembalikan paralysis otot dengan agen standar tidak terlihat
mempunyai efek detrimental apapun terhadap pasien dengan CAD.
Penggunaan glycopyrolate daripada atropine dapat menurunkan
kemungkinan tachycardia sementara (lihat bab 10).

115
3) Manajemen Postoperative
Pemulihan dari anesthesia dan segera setelah operasi dapat
melanjutkan stress pada myocardium. Pasien harus menerima oksigen
tambahan hingga oksigenasi yang cukup tercapai. Penggigilan
biasanya terjadi setelah pemberian meperidine 20-30 mg secara
intravenous; penanganan lain yang dilaporkan meliputi clonidine 75
mg, atau butorphanol 1-2 mgsecara intravenous. Hipothermia harus
dikoreksi dengan penghangat permukaan udara. Rasa sakit setelah
operasi harus dikontrol dengan analgesic atau teknik anesthesi
regional (lihat bab 18). Congestion pulmonary dapat diatangani secara
cepat dengan furosemide 20-40 mg secara intravenous, atau terapi
vasolidatory intravenous (biasanya nitrogliserin).
Resiko terbesar pada pasien setelah operasi adalah ischemia yang
tidak dikenal. Walaupun mayoritas gelombang Q setelah operasi
terjadi pada saat 3 hari setelah operas (biasanya setelah 24-48 jam),
infarction non-gelombang Q secara signifikan terjadi pada 24 jam
pertama. Karena 50% pasien tidak mengeluhkan sakit di dada, ECG 12
titik sutin setelah operasi mungkin diperlukan untuk mendeteksi
kejadian ini.

e. Penyakit Jantung Valvular


1. Evaluasi Umum terhadap Pasien
Tanpa menghiraukan lesion atau akibatnya, evaluasi pra-operasi terutama
harus meliputi penentuan keparahan lesion dan signifikansi
hemodinamikanya, fungsi ventrikuler residual, renal, dan hepatic. CAD
tidak perlu diperhatikan, terutama pada pasien lansia dan mereka dengan
faktor resiko yang dikenali (lihat penjelasan diatas). Ischemia myocardial
juga dapat terjadi dalam ketiadaan penyumbatan koroner pada psien
dengan stenosis aortic hebat dan regurgitasi.

116
Pengujian Fisik
Tanda2 yang paling penting untguk dicari pada pengujian fisik adalah
kegagalan jantung congestive. Tanda2 sebelah kiri serta kanan
kemungkinan akan ada. Temuan auscultatory mungkin dapat memastikan
disfungsi valvular, namun penelitian echocardiografis umumnya lebih bisa
diandalakan.

Evaluasi Laboratorium
Sebagai tambahan bagi evaluasi laboratorium yang telah dibahas untuk
pasien dengan hipertensi dan CAD, uji fungsi hati berguna untuk
menyatakan disfungsi hepatic yang disebabkan oleh congestion hepatic
pasif pada pasien dengan kegagalan sebelah kiri kronis. Gas darah arterial
harus diukur pada pasien dengan gejala pulmonary signifikan. Pembalikan
antikoagulan harus didokumentasikan dengan waktu prothrombin dan
waktu thromboplastin parsial pada operasi. Temuan elektrokardiografis
biasanya tidak spesifik. Interval P-R yang diperpanjang mungkin
menandakan keracunan digoxin. Film dada tidak berarti dalam
memastikan ukuran kardiak dan congestion vaskuler pulmonary.
Pembesaran rongga kardiak dapat ditemukan

Penelitian khusus
Echocardiography, angigraphy radionuclide, kateterisasi kardiak dapaty
menyediakan diagnosa yang penting info prognostic mengenai lesion
vaskuler. Pertanyaan2 berikut harus terjawab:
 Abnormalitas valvular mana yang paling penting secara hemodinamis?
 Seberapa tingkat keparahan lesion tersebut?
 Seberapa parah kerusakan ventrikuler yang ada?
 Seberapa signifikansi hemodinamika dari abnormalitas lain yang
teridentifikasi?
 Adakah bukti2 CAD?

117
2. Premedikasi
Premedikasi dengan dosis standar dari agen apapun yang umum
digunakan lebih dipilih dan ditolerir pada pasien dengan fungsi ventrikuler
normal atau hampir normal. Pasien harus mendapat pengobatan seperti
biasanya pada pagi hari operasi. Oksigen tambahan mungkin diperlukan
bagi pasien dengan hipertensi pulmonary atau mengidap penyakit paru2.

Prophylaxis Antibiotik
Resiko endocarditis terhadap abnormalitas Resiko endocarditis infektif
pada pasien dengan penyakit jantung valvuler yang mengikuti kejadian
bacteremic, termasuk operasi dental, oropharyngeal atau nasopharyngeal,
gastrointestinal, atau genitourunary. Prohylaxis sebaiknya mengikuti
panduan umum yang disarankan oleh The American Heart Association.

Manajemen antikoagulasi
Pasien yang menerima antikoagulasi secara umum dapat menerima
penghentian sementara resimen obatnya selama 1-3 hari sebelum operasi
tanpa bahaya. Insiden komplikasi thromboembolisme meningkat
sehubungan dengan embolisme dan adanya thrmobus, fibrilasi atrial, atau
klep mekanis prostetik.

3. Ketidakwajaran Valvular Tertentu Stenosis Mitral


1) Pertimbangan Preoperative
Stenosis mitral selalu terjadi ketika komplikasi yang tertunda dari
demam rematik akut. 2/3 dari pasien dengan stenosis mitral adalah
perempuan. Gejala biasanya terjadi setelah 20-30 tahun. Kurang dari
50% pasien mempunyai stenosis mitral terisolasi; sisanya juga
mempunyai regurgasi mitral dan sekitar 25% juga mempunyai
keterlibatan rematik pada klep aortik.

118
Patofisiologi
Proses rematik menyebabkan klep menebal, dan menjadi berbentuk
saluran. Pencegahan aliran darah melalui klep mitral menyebabkan
gradien tekanan transvulvar yang bergantung pada keluaran kardiak,
detak jantung, dan ada atau tidaknya dorongan atrial normal.
Peningkatan output kardiak atau detak jantung menyebabkan aliran
yang lebih besar melalui klep tersebut dan berujung apada gradien
tekanan transvulvar yang lebih tinggi. Atrium kiri sering terdilasi dan
mendorong tachycardial supraventrikuler, khususnya fibrilasi atrial.
Hilangnya sistole atrial normal mendorong aliran diastolik yang lebih
besar melintasi klep untuk mempertahankan output kardiak yang
sama dan meningkatkan gradien transvulvar.
Fungsi ventrikel kiri normal dalam mayoritas pasien dengan stenosisi
mitral murni (bagan 20-5), namun fungsi ventrikuler kiri yang rusak
dapat terjadi pada 25% pasien dan dianggap mewakili kerusakan
residual dari myocarditis rematik atau adanya penyakit jantung
hipertensif atau ischemic.

2) Penanganan
Waktu dari timbulnya gejala hingga inkapasitasi rata2 5-10 tahun.
Pada fase itu, kebanyakan pasien meninggal dalam waktu 2-5 tahun.
Koreksi surgical oleh karenanya dilakukan ketika gejala signifikan
muncul. Mnajemen medis sangat mendukung dan mencakup batasan2
aktivitas fisik, pembatasan sodium, dan diuretic. Digoxin hanya
berguna bagi pasien dengan fibrilasi atrial dan respon ventrikuler
cepat.

3) Manajemen Anesthesia
Tujuan
Prinsip dari tujuan hemodynamic dalam mengatur stenosis mitral
adalah untuk mempertahankan irama/rhythym sinus (apabila ada

119
pada saat pra-operasi) dan untuk menghindari yachycardia, kenaikna
output kardiak dalam jumlah yang besar, serta kelebihan hypovolemia
dan cairan oleh terapi cairan secara hati2.

Monitoring
Monitoring hemodinamika penuh umunya dilakukan untuk semua
prosedur operasi besar, terutama yang berhubungan dengan
perpindahan cairan dalam jumlah besar. Tekanan arteri pulmonary
harus dimonitor secara seksama. Gelombang cv yang menonjol pada
gelombang tekanan vena sentral biasanya mengindikasikan regurgitasi
tricuspid sekunder. ECG biasanya menunjukkan gelombang P pada
pasien dengan rhythym sinus.

Pilihan Agen
Pasien dapat menjadi sangat sensitif terhadap efek vasolidasi
anesthesia spinal dan epidural. Epidural lebih dipillih daripada spinal
karena serangan yang lebih bertahap dari pemblokir sympathetic.
Ketamine sendiri merupakan agen induksi yang buruk bagi anesthesia
umum karena stimulasi sympatheticnya. Dari semua agen volatile,
halothane mungkin yang paling sesuai karena menurunkan detak
jantung dan paling sedikit berpengaruh secara vasolidatif, namun agen
lain juga telah digunakan secara aman.

4. Regurgitasi Mitral
1) Pertimbanagan Preoperative
Regurgitasi mitral dapat timbul secara akut sebagai hasil dari penyakit
dalam jumlah yang banyak. Regurgasi mitral kronis biasanya karena
demam rematik, abnormalitas congenital atau developmental dari
klep; atau dilatasi, penghancuran annulus mitral.

Patofisiologi

120
Kekacauan yang utama adalah reduksi pada volume stroke maju
karena aliran darah mundur menuju atrium kiri selama sistole.
Ventrikel kiri berkompensasi dengan mendilasi dan meningkatkan
volume diastolik akhir (bagan 20-5).
Dengan meningkatkan volume diastolik akhir, ventrikel kiri yang
terlalu penuh dapat mempertahankan output kardiak normal
walaupun pecahan pengambilan menurun.
Volume regurgitan melalui klep mitral bergantung pada ukuran
ukuran lubang klep mitral, detak jantung, dan gradien tekanan
ventrikel kiri-atrium kiri selama sistole. Faktor yang terakhir
dipengaruhi oleh resistan relatif dari 2 jalur aliran dari ventrikel kiri,
kesesuaian SVR dan atrial kiri.
Echocardiography, khususnya TEE, sangat berguna dalam
mendelineasi patofisiologi regurgitasi mitral demikian juga memandu
penanganan. Jet regurgitan eksentrik pada echocardiography Doppler
berwarna merupakan tipikal regurgitasi dengan gerakan klep normal
atau terbatas.

Menghitung Pecahan Regurgitasi


Untuk menghitung pecahan regurgitasi (RF), volume stroke maju (SV)
dan volume stroke regurgant (RSV) harus diukur. Volume stroke
diukur pada tract aliran keluar ventrikuler kiri (LVOT) dan pada klep
mitral (MV):

Volume stroke = lintas area (A) x (TVI)


Dan (A) dapat digambarkan sebagai

121
A = 0,785 x diameter2

RSVregurgitasi mitral = (AMV x VTIMV) – (ALVOT x TVILVOT)

Dan

RF = RSV/SV

2) Penanganan
Penanganan medis meliputi digoxin, diuretic, dan vasilidator,
termasuk inhibitor ACE. Pengurangan afterload penting bagi
kebanyakan pasien dan bahkan dapat menyelamtkan jiwa pada pasien
dengan regurgitasi mitral akut. Pengurangan SVR meningkatkan SV
maju dan mengurangi volume regurgitasi. Penanganan operasi
biasanya diperuntukkan bagi pasien dengan gejala mengah hingga
parah.
3) Manajemen Anesthetis
Tujuan
Pemberian anesthesia harus disesuaikan dengan tingkat keparahan
regurgitasi mitral begitu juga dengan fungsi ventrikuler kiri yang
melandasinya. Faktor2 yang menambah parah regurgitasi, seperti
detak jantung yang lambat (systole panjang) dan kenaikan akut pada
afterload, harus dihindari. Ekspansi volume yang berlebihan dapat
juga menambah parah regurgitasi dengan mendilatasi ventrikel kiri.

Monitoring
Pengawasan berdasarkan tingkat keparahan disfungsi ventrikuler serta
prosedur. Monitoring tekanan arterial pulmonary sangat berguna
pada pasien dengan penyakit symptomatic. Pengurangan afterload
intraoperative dengan sebuah vasolidator memerlukan monitoring
hemodinamik penuh. Regurgitasi mitral dapat dikenali pada
gelombang arteri pulmonary sebesar gelombang v dan secepat

122
turunan y (bagan 20-7). TEE Doppler berwarna dapat menjadi tidak
berarti dalam menghitung tingkat keparahan regurgitasi dan
memandu intervensi therapeutic pada pasien dengan regurgitasi
mitral parah (tabel 20-16).
Pilihan Agen
Pasien dengan fungsi ventrikuler yang terpelihara baik cenderung baik
dalam teknik anesthesia apapun. Teknik anesthesia spinal dan epidural
diterima dengan baik. Pasien dengan kerusakan ventrikuler menengah
hingga parah kadang sangat sensitif terhadap efek depressan dari
agen volatile. Anesthesia berdasarkan opioid mungkin sesuai untuk
pasien jenis ini, bradycardia dihindari.

5. Prolapse Klep Mitral


1) Pertimbanagan Preoperative
Prolapse Klep Mitral secara klasik dikarakterisasikan oleh klik
midsistolik dengan atau tanpa murmur sistolik apical akhir pada
auscultation. Hal ini adalah abnormalitas yang relatif umum yang ada
pada sekitar 5% populasi keseluruhan sebagian besar pada wanita
(mencapai 15%). Diagnosis berdasarkan temuan auscultatory dan
dipastikan oleh echocardiography, yang menunjukkan prolapse sistolik
dari leaflet klep mitral menuju atrium kiri. Sedcara patologis,
kebanyakan pasien mempunyai kecenderungan berulang atau
semacam degenerasi myxomatous pada leaflet klep.
Sebagian besar pasien mempunyai rentang umur normal. Sekitar 15%
mempunyai regurgitasi mitral progresif . Persentase yang lebih kecil
mempunyai fenomena embolik atau endocarditis infektif. Pasien
dengan murmur sistolik maupun klik mempunyai resiko yang lebih
besar terhadap komplikasi.

123
2) Manajemen Anesthesia
Penanganan pasien jenis ini berdasarkan keadaan klinis mereka.
Sebagian besar pasien asymptomatic dan kecuali untuk prophylaxis
antibiotik, tidak memerlukan penanganan khusus. Anesthesia relatif
dalam dengan agen volatile biasanya menurunkan kemungkinan
arrythmias intraoperatif. Regurgasi mitral yang disebabkan oleh
prolapse umumnya didorong oleh penurunan ukuran ventrikuler.
Hypovolemia dan faktor2 yang meningkatkan pengosongan
ventrikuler seperti peningkatan tone sympathetic atau penurunan
afterload, harus dihindari.

6. Regurgitasi Tricuspid
1) Pertimbangan Preoperative
70-90% pasien mempunyai regurgitasi tricuspid pada
echocardiography; volume regurgitasi pada kasus2 ini hampir selalu
insignifikan. Regurgitasi tricuspid yang signifikan secara klinis paling
umum karena dilasi ventrikel kanan dari hipertensi pulmonary yang
dihubungkan dengan kegagalan ventrikel kiri kronis.

Patofisiologi
Kegagalan ventrikuler kiri kronis sering menyebabkan kenaikan
tekanan vaskuler pulmonary. Peningkatan afterload kronis
menyebabkan dilasi progresif terhadap dinding tipis ventrikel kanan,
dan dilasi berlebihan annulus tricuspid pada akhirnya menyebabkan
regurgasi. Peningkatan volume diastolik akhir memungkinkan ventrikel
kanan untuk berkompensasi terhadap volume regurgitasi dan
memeprtahankan aliran maju yang efektif. Oleh karena atruium kanan
dan vena cava cocok dan biasanya dapat mengakomodir kelebihan
volume, tekanan rata2 atrial kanan dan vna sentral biasanya
meningkat sedikit. Kenaikan akut pada tekanan arteri pulmonary
meningkatkan volume regurgitasi dan ditunjukkan dengan kenaikan

124
tekanan vena sentral. Lebih dari itu, kenaikan tiba2 pada afterload
ventrikel kanan menurunkan secara tajam output ventrikel kanan
efektif, menurunkan preload ventrikle kiri, dan memeprcepat
hipotensi sistemik.

Menghitung Volume Regurgitasi dan Tekanan Arteri Pulmonary


Untuk menghitung volume regurgitasi, volume stroke dikalkulasi pada
klep tricuspid dan pada situs lain seperti LVOT atau klep mitral:

RSVregurgitasi tricuspid = (ATV x VTITV) – (ALVOT x TVILVOT)

dimana Atv adalah area klep tricuspid dan VTITV adalah integral
kecepatan waktu dari aliran sepanjang klep tricuspid.
Tekanan arteri pulmonary sistolik (PAS) dapat diperkirakan dari
kecepatanpuncak dari regurgitan:

∆P = 4 x V2

dimana ∆P adalah gradien tekanan sistolik (mm Hg) antara ventrikel


kanan dan atrium kanan dan V adalah kecepatan aliran darah puncak
(CVP) dikenal, maka:

PAS = CVP + ∆P

2) Penanganan
Regurgitasi tricuspid biasanya ditolerir secara baik oleh kebanyakan
pasien. Pada ketiadaan hipertensi pulmonary, banyak yang mentolerir
eksisi surgical penuh terhadap klep tricuspid. Karena penyakit yang
dikandung umunya lebih penting daripada regurgitasi tricuspid itu
sendiri, penanganan difokuskan pada penyakit yang yang dikandung.

125
3) Manajemen Anesthetis
Tujuan
Tujuan hemodinamik harus diarahkan utamanya terhadap penyakit
yang diderita. Hypovolemia dan faktor2 yang meningkatkan afterload
ventrikuler, seperti hypoxia dan acidosis, harus dihindari untuk
mempertahankan SV ventrikel kanan yang efektif dan preload
ventrikel kiri.

Monitoring
Pada pasien jenis ini, monitoring vena sentral dan tekanan arteri
sangat berguna. Yang kedua tidak selalu dimungkinkan, karena aliran
regurgitan jumlah besar dapat membuat saluran kateter arteri
pulmonary sepanjang klep tricuspid adalah sulit. CVP sangat penting
pada fungsi ventrikuler, selanjutnya tekanan arteri pulmonary
memungkinkan pengukuran afterload dan preload ventrikel kiri.
Pengukuran output kardiak thermodilusi ditingkatkan secara salah
karena regurgitasi tricuspid. TEE Doppler berwarna berguna untuk
mengevaluasi tingkat keparahan regurgitasi dan abnormalitas lain
yang berhubungan.

Pilihan Agen
Pilihan agen anesthesia harus didasarkan pada ketidakwajaran yang
ada. Kebanyakan pasien mentolerir anesthesia spinal dan epidural
secara baik. Selama anesthesia umum, nitrous oxide mungkin
mendorong perkembangan hipertensi pulmonary dan harus diberikan
secara hati2.

7. Pasien dengan transpalansi jantung


1) Pertimbangan Preoperative
Jumlah pasien dengan transplantasi jantung meningkat karena
peningkatan frekuensi transplantasi dan tingkat keselamatan. Pasien2
ini dapat hadir pada ruang operasi pada awal masa preoperative untuk

126
eksplorasi mediastinal atau retransplantasi, atau hadir kemudian
untuk insisi drainase infeksi, operasi ortopedik, atau prosedur yang
tidak terungkap. Jantung yang di-transplantasi sepenuhnya mengalami
denervasi, sehingga pengaruh otonomik secara langsung tidak ada.
Pembentukan dan konduksi impuls kardiak normal, namun ketiadaan
pengaruh vagal menyebabkan detak jantung awal yang relatif tinggi
(100-200 detak/menit). Walaupun serat sympathetic terganggu,
respon terhadap catecholamine sirkulatif adalah normal, bahkan
ditingkatkan karena denervasi sensitivitas. Karena hubungan Starling
antara volume diastolik akhir dan output kardiak (lihat bab 19)
normal, jantung yang ditransplantasi juga sering disebut bergantung
pada preload. Autoregulasi koroner tetap dipertahankan.
Evaluasi preoperative sebaiknya berfokus pada status fungsional
organ yang ditransplantasi dan mendeteksi komplikasi dari
immunosuppresi. Insiden penolakan tertinggi terjadi pada 3 bulan
pertama; tingkat penolakan sekitar 1:3.

2) Manajemen Anesthesia
Hampir semua teknik anestesi, termasuk anestesi regional, telah
berhasil digunakan.

127
J. Asuhan Keperawatan Anestesi pada Kasus Bedah Vaskuler
a. Pendahuluan
Manajemen pasien yang menjalani operasi vaskular menyangkut pasien usia lanjut,
tingginya insiden penyakit yang menyertai penyakit arteri koroner, hipertensi, dan
diabetes mellitus, perubahan akut pada tekanan arteri atau stres metabolik yang
berhubungan dengan iskemia arteri atau penjepitan silang arteri. Akibatnya,
serangan iskemik ke organ vital (jantung, ginjal, dan sumsum tulang belakang)
menyebabkan morbiditas dan mortalitas perioperatif lebih sering daripada prosedur
pembedahan lainnya. Ketidakstabilan kardiovaskular lebih umum dan ditandai pada
pasien dengan penyakit kardiovaskular atau mereka yang menerima obat vasoaktif
dan menjalani prosedur bedah kardiovaskular.
Perawatan harus difokuskan pada pemeliharaan organ vital, khususnya jantung,
yang merupakan penyebab morbiditas terpenting setelah operasi vaskular.
Pembedahan vaskular mayor sangat menantang ahli anestesi karena ini adalah
operasi berisiko tinggi pada populasi pasien dengan prevalensi tinggi penyakit arteri
koroner yang jelas atau tersembunyi, yang merupakan penyebab utama kematian
perioperatif dan jangka panjang setelah operasi vaskular. Dekade terakhir bidang
multidisiplin bedah endovaskular telah memberikan pendekatan yang kurang invasif
atau alternatif untuk rekonstruksi vaskular konvensional. Prosedur yang kurang
invasif ini, awalnya ditawarkan kepada pasien yang secara tradisional dianggap tidak
cocok untuk operasi terbuka, sedang diterapkan secara luas pada kelompok pasien
yang menjalani operasi vaskular.

b. Perbaikan sebelum operasi


Risiko perioperatif adalah multifaktorial dan bergantung pada interaksi anestesi,
pembedahan dan faktor-faktor khusus pasien. Tujuan mendasar dari evaluasi pra
operasi adalah pertama, identifikasi pasien yang periode perioperatifnya dapat
meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas, selain dari risiko yang terkait dengan
penyakit yang mendasari melalui informasi riwayat medis dan, kedua, merancang
perioperatif. strategi untuk mengoptimalkan kondisi pasien jika terdapat faktor
risiko dan mengurangi risiko perioperatif tambahan. Bagaimanapun juga, usia
tampaknya hanya bertanggung jawab atas sedikit peningkatan risiko komplikasi;

128
risiko yang lebih besar dikaitkan dengan urgensi dan penyakit jantung, paru, dan
ginjal yang signifikan.
Sebuah pertanyaan menarik tentang siapa yang harus - pada titik tertentu dalam
lintasan pra-operasi - bekerja sama erat dengan pasien - memutuskan apakah
intervensi bedah harus dilakukan atau tidak. Keputusan tidak hanya merupakan
tindakan pembedahan dan harus didasarkan pada pengetahuan tentang risiko
tetapi juga pada pengetahuan pasien secara menyeluruh, prosedur yang
direncanakan dan juga prosedur alternatif. Meningkatnya beban investigasi teknis
yang mahal pada sistem perawatan kesehatan sosial akan mengharuskan kami
untuk mempertimbangkan aspek manajemen pra operasi pasien ini dalam waktu
dekat.
Komplikasi jantung merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas
perioperatif. Komplikasi jantung perioperatif dapat terjadi pada pasien dengan
penyakit jantung iskemik yang didokumentasikan atau asimtomatik, disfungsi
ventrikel, dan penyakit jantung katup. Diperkirakan bahwa pada operasi non-
jantung, kejadian jantung perioperatif mayor dapat terjadi pada hingga 4% pasien
jantung, dan 1,4% dari populasi pasien yang tidak dipilih. Secara khusus, pasien
bedah vaskular berada pada peningkatan risiko dengan tingkat kematian dilaporkan
1,5-2% untuk endovaskular dan 3-4% untuk prosedur terbuka. Kematian terutama
disebabkan oleh infark miokard perioperatif (terhitung 10-40% dari kematian pasca
operasi), selain itu infark miokard perioperatif non-fatal dikaitkan dengan
peningkatan risiko kematian lanjut. Karena sifat sistemik penyakit aterosklerotik,
pasien vaskular sering kali memiliki penyakit arteri yang mempengaruhi beberapa
wilayah vaskular. Tidak jelas apakah kategori penyakit vaskular tertentu dikaitkan
dengan kemungkinan penyakit jantung koroner yang lebih besar. Komplikasi jantung
perioperatif dapat disebabkan oleh iskemia miokard akibat peningkatan kebutuhan
oksigen miokard (takikardia, hipertensi, nyeri) atau penurunan suplai (hipotensi,
vasospasme, takikardia, hipoksia, anemia) atau, oleh pecahnya plak koroner akut
yang disebabkan oleh faktor-faktor yang meningkatkan stres dinding intra-koroner
dan adanya keadaan hiperkoagulasi, aktivasi leukosit, dan aktivasi respons inflamasi
dapat berkontribusi.

129
Pada tahun 2009, European Society of Cardiology menerbitkan pedoman untuk
penilaian risiko jantung pra-operasi dan manajemen jantung perioperatif dalam
bedah non-jantung, yang didukung oleh European Society of Anaesthesiology
(www.escardio.org/guidelines). Ini menunjukkan bukti saat ini (dan kurangnya
bukti) di bidang ini yang sangat penting untuk spesialisasi. Pedoman Eropa tidak
boleh mengesampingkan pedoman nasional tetapi harus dilihat sebagai bantuan
untuk menciptakan harmonisasi praktik. Tidak semua ini dapat dicakup oleh
rekomendasi. Selain itu, bukti tentang banyak masalah langka dan berkualitas
rendah. Oleh karena itu, jika memungkinkan, rekomendasi akan diberikan
berdasarkan bukti terbaik yang tersedia dan jika tidak memungkinkan, bukti terbaru
yang tersedia akan diringkas.
Ketika teknik pembedahan menjadi semakin kompleks, kebugaran fisik yang
dibutuhkan pasien serta dampak pembedahan pada risiko perioperatif meningkat.
Bergantung pada durasi prosedur, perkiraan kehilangan darah, perkiraan
perpindahan cairan, dan wilayah anatomi, risiko pembedahan dapat sangat
bervariasi. Risiko bedah untuk kejadian jantung telah dijelaskan oleh klasifikasi 3
bagian yang membedakan antara prosedur berisiko rendah, menengah dan tinggi
menurut pedoman AHA / ACC dan pedoman European Society of Cardiology (ESC).
Oleh karena itu, untuk menentukan stratifikasi risiko perioperatif secara
keseluruhan, penting untuk mempertimbangkan sifat dan durasi prosedur
pembedahan. Risiko jantung juga dapat mempengaruhi jenis operasi dan memandu
pilihan untuk intervensi yang kurang invasif, seperti angioplasti arteri perifer alih-
alih bypass infra-inguinal, atau rekonstruksi ekstraanatomik alih-alih prosedur aorta,
bahkan ketika ini dapat menghasilkan hasil yang kurang menguntungkan dalam
jangka panjang.
Komponen kunci dalam penilaian pra operasi adalah evaluasi adanya kondisi
jantung yang aktif atau tidak stabil (tabel 1), faktor risiko pembedahan (tabel 2),
kapasitas fungsional pasien (<atau> 4 MET), dan adanya faktor risiko jantung (tabel
3). Keputusan untuk pengujian lebih lanjut dan kemungkinan pengobatan harus
dilakukan dengan kerjasama erat dengan ahli jantung.

130
c. Penatalaksanaan intraoperatif Aneurisma Aorta Abdominal
Bagian penting dari perawatan pasien perioperatif terletak pada kemungkinan
dampak perawatan pasien intra operatif pada hasil akhir. Namun, bukti kuat tetap
harus dikumpulkan tentang pengaruh manajemen anestesi intra-operasi pada hasil
pasca operasi jangka pendek dan jangka panjang. Misalnya, sementara analgesia
epidural umumnya dianggap sebagai alat yang berharga dalam pengobatan nyeri
perioperatif, masih harus dibuktikan bahwa pengobatan tersebut secara positif
mempengaruhi morbiditas dan mortalitas perioperatif. Namun, peningkatan
penggunaan antiplatelet dan obat anti koagulan sebelum operasi akan mengganggu
kemungkinan penerapan teknik neuro-aksial secara bebas. Harus disadari bahwa
pilihan teknik anestesi akan mempengaruhi potensi untuk memulai dan / atau
melanjutkan terapi anti koagulan. Dengan demikian, ahli anestesi diharuskan untuk
mempertimbangkan pekerjaannya dalam konteks kursus perioperatif total. Lebih
lanjut, pertanyaan penting tentang pengelolaan cairan belum menghasilkan
rekomendasi khusus karena kombinasi antara bukti yang bertentangan dan kurang.
Pentingnya (kurangnya) intervensi pernafasan perioperatif tidak terbukti. Beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa komplikasi paru pasca operasi dikaitkan
dengan hasil yang lebih buruk. Namun, ada bukti yang bertentangan sejauh mana
tindakan pencegahan telah efektif, sebuah fakta yang dicerminkan dalam Panduan.
Ada penelitian yang melaporkan keefektifan penerapan awal tekanan jalan napas
positif non invasif kontinu dengan adanya cedera paru akut.
Aneurisma aorta abdominalis infrarenal (AAAs) lebih sering terjadi (70%). Aorta
abdominalis aneurismal bila diameternya lebih dari 3,0 cm. Gangguan ini lebih
sering terjadi pada pria dibandingkan pada wanita. Sakalihasan melaporkan bahwa
prevalensi AAAs meningkat antara 1,3% dan 8,9% pada pria dan antara 1,0% dan
2,2% pada wanita di atas usia 65 tahun.
Sakalihasan et alt. juga merujuk bahwa sebagian besar kematian akibat AAAs yang
pecah berpotensi dapat dicegah karena perbaikan elektif dapat dilakukan dengan
angka kematian perioperatif dalam kisaran 2% hingga 4% bahkan dalam
pengalaman kontemporer karena komplikasi jantung. Seri berbasis populasi yang
menggunakan database negara bagian atau nasional menunjukkan angka kematian
yang lebih tinggi, dalam kisaran 4% hingga 8%. Sebaliknya, dengan kemajuan dalam

131
mortalitas perbaikan elektif, tidak ada peningkatan mortalitas operasi dari ruptur
aneurisma yang telah dilaporkan selama dekade terakhir tetap setinggi 30-70%.
Kematian tergantung pada status hemodinamik pasien pada saat pembedahan.
Kematian keseluruhan dari ruptur aneurisma aorta abdominalis sekitar 80% terkait
dengan syok hipovolemik dengan kelangsungan hidup operasi 50%. Kematian terjadi
di lokasi ruptur, selama pemindahan, segera setelah masuk ke unit gawat darurat,
dan selama operasi digabungkan, maka hanya 18% pasien dengan aneurisma aorta
pecah yang bertahan hidup.
Kebanyakan pasien dengan AAAs tidak menunjukkan gejala dan ditemukan secara
kebetulan saat pemeriksaan lain dilakukan. Pasien yang datang dengan nyeri
punggung, perut, atau selangkangan dengan adanya massa yang berdenyut
memerlukan evaluasi segera untuk menyingkirkan kemungkinan pecah atau diseksi.
Faktor risiko utama untuk mengembangkan AAA adalah usia lanjut, riwayat
keluarga, merokok, dan hipertensi.

d. Indikasi Bedah
Pedoman terkini Asosiasi Amerika untuk Bedah Vaskular untuk pengobatan
aneurisma aorta abdominalis menawarkan intervensi operasi bila aneurisma
melebihi 5,5 cm. Risiko pecahnya aneurisma 5,5 cm (per tahun) sama dengan atau
lebih besar daripada risiko kematian perioperatif. Risiko pecahnya 6 cm atau lebih
melebihi 20%. Semakin besar aneurisma, semakin cenderung pecah.
Insiden ruptur pada aneurisma kecil kurang dari 5 cm adalah 2%. Tidak ada manfaat
kelangsungan hidup dari intervensi bedah dini. Pasien dengan aneurisma kecil harus
menjalani pemindaian ultrasonografi rutin untuk memantau ukuran aneurisme.
Perbaikan terbuka tetap menjadi perawatan standar emas. Perbaikan aneurisma
endovaskular (EVAR) muncul sebagai pengobatan invasif minimal untuk beberapa
AAA yang sesuai secara anatomis.

e. Evaluasi Pre Operasi


Kita harus mencari faktor risiko dan komorbiditas. Pasien yang datang untuk operasi
vaskular abdominal memiliki insiden komorbiditas yang tinggi:

132
- Penyakit arteri koroner yang sering kali dengan gangguan fungsi ventrikel
diamati pada 80% pasien yang dijadwalkan untuk operasi vaskular
- Penyakit serebrovaskular
- Hipertensi
- Penyakit paru (sering terkait dengan merokok)
- Gangguan ginjal
- Diabetes mellitus
- Obesitas
- Dislipemy
Penilaian pra operasi yang cermat diperlukan oleh ahli bedah dan ahli anestesi
untuk mengidentifikasi pasien berisiko tinggi dan untuk mengoptimalkan
manajemen medis sesuai pedoman di bagian sebelumnya:
- Nasihat gaya hidup harus diberikan.
- Penghentian merokok dan program olahraga terstruktur dapat meningkatkan
kebugaran pernapasan kardio.
- Pasien harus menerima obat antiplatelet untuk melindungi dari komplikasi
tromboemboli.
- Statin harus diresepkan karena stabilisasi plak.
- Pasien dengan iskemia yang dapat diinduksi pada uji stres farmakologis
memiliki hasil yang lebih baik jika diresepkan penghambat b. Keberhasilan
perawatan medis modern pada arteri koroner.
Penyakitmenawarkan keuntungan dibandingkan revaskularisasi koroner sebelum
operasi non jantung. Operasi bypass arteri koroner sebelum operasi hanya boleh
dilakukan jika diindikasikan berdasarkan prognostik (penyakit batang utama kiri
yang parah atau penyakit pembuluh darah triple yang parah dengan gangguan
fungsi ventrikel kiri). Ini harus dilakukan 1-2 bulan sebelum operasi.
- Pasien harus menerima semua pengobatan rutin mereka pada hari operasi. -
Memperbaiki premedikasi untuk mengurangi kecemasan
- Profilaksis antibiotik
- Pembersihan usus untuk memastikan kelangsungan hidup prostesis vaskular.

133
K. Asuhan Keperawatan Anestesi pada Kasus Bedah Hepar

a. Definisi
Hepar merupakan organ terbesar dalam tubuh manusia, berperan dalam
berbagai proses fisiologis tubuh, termasuk metabolisme nutrient dan obat-
obatan, sintesis protein plasma dan faktor hemostatik, detoksikasi dan
eliminasi banyak substansi endogen dan eksogen.
Tindakan anestesia atau pemberian obat-obat anestetik/analgetik sangat erat
hubungannya dengan hati. Hati mempunyai peranan dalam pemecahan hampir
semua obat-obat anestesi yang sekarang kita gunakan. Masalah akan menjadi
lebih rumit bila anestesi diberikan kepada penderita dengan fungsi hati
terganggu. Pemilihan obat anestesi dan teknik anestesi yang akan digunakan,
memerlukan pengetahuan tentang penyakit hati, peranan hati dalam
detoksifikasi obat-obat dan efek-efek obat-obat terhadap hati, serta faktor-
faktor yang mempengaruhi fungsi hati selama berlangsungnya pembedahan.

b. Anatomi dan Fisiologi Hepar


Hepar terdiri dari 4 Lobi, yaitu lobus kiri, kanan, kaudal dan quadratus
(Stoelting, 1999). Hepar memiliki berat kira-kira 2% dari berat tubuh pada
orang dewasa, dan 5% pada neonatus. Perdarahan di hepar meliputi 10-15%
total volume darah dan bertindak sebagai penampung darah yang penting bagi
tubuh. Sekitar 20% darah hepar terdapat di arteri, 10% di kapiler dan 70% di
vena (Morgan, et al, 2002).

134
Gambar 1. (b) Anterior surface dan (c) Post surface

Hepar tersusun dari  50.000 – 100.000 unit anatomik yang disebut Lobulus.
Lobulus-lobulus ini terdiri dari lempengan-lempengan sel hepar yang tersusun
secara radier dan sentrifugal dari vena sentralis seperti jari-jari sebuah roda.
Tiap lobulus dipisahkan oleh jaringan interseptal dimana banyak terdapat
pembuluh-pembuluh darah cabang-cabang kecil dari vena porta, a. hepatis;
selain itu duktus terminalis saluran empedu, saluran limfe dan jaringan ikat
lainnya.
Tiap lobulus tersusun dari hepatosit yang mengelilingi vena
sentrilobuler (gambar 1), dan dikelilingi 4 sampai 5 traktus portalis. Traktus
portalis tersusun dari arteriola hepatik, venula portal, kanalikuli empedu,
limfatik, dan nervus. Asinus adalah unit fungsional hepar yang terdiri dari
traktus portalis di tengah dan vena sentrilobuler di tepinya.
Darah dari arteriola hepatik dan venula portal akan menuju ke saluran
sinusoidal. Dua tipe sel yang terdapat di sinusoid hepatik yaitu sel endothelial
dan makrofag (disebut juga sel Kupffer). Ruang Disse terletak di antara kapiler
sinusoid dan hepatosit. Drainase venosa dari vena sentral lobulus hepatik
bergabung menjadi vena hepatik dan berakhir ke vena kava.
Kanalikuli empedu terletak di antara hepatosit dan bergabung menjadi
duktus biliaris. Sistem saluran limfatik juga terletak di antaranya dan
berhubungan dengan ruang Disse. Hepar dipersarafi oleh serabut saraf
simpatis (T6-T11), serabut parasimpatis (serabut vagus kanan dan kiri), dan
nervus frenikus kanan. Beberapa serabut otonomik bersinaps pada pleksus
seliakus dan beberapa lainnya mencapai hepar secara langsung melalui nervus
splangnikus dan cabang vagus sebelum membentuk pleksus hepatik. Serabut
afferen berjalan melalui serabut simpatis (Morgan, et al, 2002).

135
Gambar 2. Hepatosit yang mengelilingi vena sentrilobuler dan
dikelilingi 4 sampai 5 traktus portalis

c. Fungsi Vaskuler Hepar


Hati mempunyai sumber pengadaan darah yang unik.
1. Berasal dari vena porta yang dibentuk vena mesenterika superior dan
vena limpa.
2. Berasal dari arteri hepatis cabang dari ”axis coeliaca” cabang dari aorta
abdominalis.
Sirkulasi hepatis merupakan juga sirkulasi splangnikus, oleh karena sirkulasi
splangnikus terbagi dalam tiga komponen utama: sirkulasi hepatis, sirkulasi
mesentrik, dan sirkulasi limpa; sedangkan sirkulasi hepatis adalah
penggabungan darah mesentrik dan aliran darah limpa.
Aliran darah hepar normal sekitar 1500 mL/menit pada orang dewasa,
dan 25-30% berasal dari arteri hepatis dan 70-75% dari vena portal (Stoelting,
1999; Morgan, et al, 2002) (gambar 2). Arteri hepatik memasok 45-50%
kebutuhan oksigen hepar sedang sisanya dipasok oleh vena portal. Sistem
aliran darah ini merupakan 25-30% total kardiak output. Aliran darah arterial
hepar tergantung dari kebutuhan metabolik postprandial (autoregulasi),
sedangkan aliran darah vena portal tergantung dari aliran darah di traktus

136
gastrointestinal dan limpa. Kedua aliran darah ini bertindak saling melengkapi
sehingga aliran darah hepar tetap stabil.
Saturasi oksigen dalam vena porta sekitar 85%, sedangkan darah
arteri hepatis sekitar 95%, secara normal hati membutuhkan oksigen kira-kira
60 ml/menit, kira-kira 17 ml diberikan oleh a. hepatis sisanya dipenuhi oleh
vena porta ( kira-kira 1/3 kebutuhan oksigen hati ).
Arteri hepatik memiliki reseptor vasokonstriktor 1-adrenergik dan 2-
adrenergik, dopaminergik D1, dan vasodilator kolinergik. Vena portal hanya
memiliki reseptor 1-adrenergik dan dopaminergik D1. Aktivasi simpatis
menghasilkan vasokonstriksi arteri hepatik dan pembuluh mesenterikal,
sehingga aliran darah hepar menurun. Rangsangan -adrenergik membuat
vasodilatasi arteri hepatis, sehingga pemblok reseptor  akan menurunkan
aliran darah dan menurunkan tekanan portal (Stoelting, 1999; Morgan, et al,
2002).

(A) (B)

Gambar 3. (A), (B) The splanchnic circulation

Volume darah di hepar normalnya sekitar 450 ml (hampir 10% volume


total darah) dan memiliki tekanan yang rendah sekitar 7-10 mmHg. Sifat ini

137
menyebabkan hepar berfungsi sebagai reservoir darah. Penurunan tekanan
vena hepar seperti pada perdarahan akan mengakibatkan pergeseran darah
dari vena hepatik dan sinusoid ke sirkulasi vena sentral sehingga menambah
darah 300 ml ke sirkulasi. Pada pasien dengan gagal jantung kongestif;
peningkatan tekanan vena sentral menyebabkan terkumpulnya darah di hepar.
Sel Kupffer yang terdapat di sinusoid hepar dan merupakan bagian dari
sistem monosit-makrofag (retikuloendotelial) berfungsi sebagai agen
pembersih darah. Kemampuannya untuk memfagositosis bertanggungjawab
untuk mencegah koloni bakteri dan endotoksin masuk ke sirkulasi darah
melalui sirkulasi portal. Debris seluler, virus, protein dan partikulat dalam
darah juga dapat difagositosis (Morgan, et al, 2002).
Dalam keadaan normal hati membutuhkan  60 ml O2/menit. Jumlah
total O2 yang dibutuhkan hati dapat berkurang karena:
1. Anestesi, sebab: a) berkurangnya aliran darah ke hati; b) berkurangnya
saturasi O2 arteri karena adanya shunting pulmonal.
2. Turunnya cardiac out put misal shock, perdarahan, dan hipotensi.
3. Inspirasi dengan O2 konsentrasi rendah.
4. Hipermetabolisme: demam.
5. Obat-obat hepatotoksik.
6. Obstruksi vena porta/a. hepatika.

d. Fungsi Metabolik Hepar


Secara keseluruhan, hepar memiliki enzim yang bertanggung jawab pada
metabolisme karbohidrat, protein, lemak dan substansi lainnya seperti
bilirubin, faktor koagulasi, endokrin, fungsi imunitas dan inflamasi, serta obat-
obatan (Stoelting, 1999, Marks, et al, 1996, Morgan, et al, 2002).
1. Metabolisme karbohidrat
Hati tempat terjadinya proses glikogenesis, glikogenolisis, dan
glukoneogenesis.
2. Metabolisme protein
Erat hubungannya dengan produksi dan penyimpanan protein-protein.
Hati membentuk albumin dan globulin, mendeaminasi asam amino.

138
Mensintesa asam amino tertentu, membentuk ureum dari amonia,
membentuk asam urat, dan lain-lainnya.
3. Metabolisme lemak
3% sampai 5% lemak badan disimpan di dalam hati, hal ini tergantung
dari beberapa keadaan, zat-zat seperti alkohol, pelarut lemak, dan toksin
bakteri mengganggu penyimpanan lemak. Proses-proses yang penting
dalam metabolisme lemak yang terjadi di hati antara lain desaturasi,
oksidasi dari asam lemak dengan pembentukan benda-benda keton.
Hati membentuk phospholipid yang penting untuk transportasi lemak.
Pengubahan glukosa menjadi asam lemak, kontrol kadar kolesterol,
produksi kolesterol dengan esterifikasinya terjadi di hati sekaligus
mengekskresinya.
4. Metabolisme vitamin
Penyimpanan vitamin B kompleks dan vitamin D. Sel-sel Kupffer di sinus
hepatis menyimpan vitamin A. Penyerapan vitamin-vitamin A, D, E, K
yang larut dalam lemak tergantung ekskresi empedu ke usus.
5. Metabolisme mineral
Penyimpanan besi dan tembaga di hati.
6. Metabolisme air
Sebagian besar sel interstisialis dan jaringan mengandung air, lebih
kurang sebanyak 500-600 ml darah tersimpan di dalam sinusoid-sinusoid
sebagai cadangan. Steroid maupun antidiuretik hormon dihancurkan oleh
hati, jadi mempengaruhi metabolisme air di dalam tubuh.
Metabolisme karbohidrat akan mengubah hampir semua karbohidrat
yang di makan menjadi glukosa. Glukosa akan digunakan oleh sel untuk
menghasilkan energi berupa adenosin tri phosphat (ATP) secara anaerob
melalui proses glikolisis dan aerob melalui siklus asam sitrat (Krebs). Kelebihan
glukosa akan disimpan sebagai glikogen dalam sel hepar dan sedikit dalam otot
serta sebagai lemak di jaringan adiposa.
Jika simpanan karbohidrat telah tercukupi, maka hepar akan
mengkonversi karbohidrat, protein dan lemak yang dimakan menjadi lemak.
Lemak ini dapat disimpan di jaringan adiposa dan hepar untuk dapat

139
dipergunakan kemudian atau langsung digunakan. Hepar mempunyai
kemampuan mengubah asam lemak yang terjadi menjadi ATP melalui
pembentukan asetil KoA, dan menghasilkan benda keton yang juga dapat
digunakan oleh sel sebagai sumber energi (Marks, et al, 1996).
Metabolisme protein di hepar dibagi dalam beberapa tahap. Pertama
adalah deaminasi asam amino, kedua dengan pembentukan urea, ketiga
dengan interkonversi antara asam amino nonesensial, dan keempat berupa
pembentukan plasma protein. Deaminasi diperlukan untuk mengubah asam
amino, dengan bantuan enzim transaminase, menjadi karbohidrat atau lemak,
dengan hasil samping berupa amoniak. Karena amoniak merupakan zat toksik,
maka diubah oleh hepar menjadi urea yang tidak toksik dan dikeluarkan
melalui ginjal. Banyak jenis protein dihasilkan di hepar termasuk albumin,
faktor koagulasi, plasma kolinesterase, protein transpor (transferrin,
haptoglobin, ceruloplasmin), dan C-reaktif protein (Marks, et at, 1996; Morgan,
et al, 2002, Connor, et al, 2005). Produksi albumin dipengaruhi oleh asam
amino yang diperoleh dari makanan, keseimbangan hormonal, dan tekanan
onkotik plasma (Morgan, et al, 2002).
Beberapa zat eksogen, termasuk obat-obatan, mengalami
biotransformasi di hepar. Hasil akhirnya berupa zat inaktif atau zat yang lebih
larut air sehingga mudah dikeluarkan lewat empedu atau urine.
Biotransformasi hepatik dikategorikan dalam 3 fase. Reaksi fase I melibatkan
oksidase dan sistem enzim sitokrom P-450. Obat-obatan yang diinaktifkan oleh
fase I yaitu barbiturat dan benzodiazepin. Reaksi fase II yang dapat merupakan
kelanjutan dari reaksi fase I melibatkan konjugasi zat dengan glukuronida,
sulfat, taurin, atau glisin dan kemudian diekskresikan melalui empedu atau
urin, sedangkan fase III merupakan reaksi yang melibatkan eliminasi obat
melalui sistem transpor yang tergantung energi. Beberapa sistem enzim
sitokrom P-450 dapat diinduksi oleh obat-obatan seperti etanol, barbiturat,
ketamin dan mungkin benzodiazepin. Akibatnya adalah peningkatan
metabolisme obat-obatan tersebut. Hal ini terjadi pada peningkatan toleransi
terhadap obat ( Morgan, et al, 2002).
Fungsi metabolik hepar yang lain adalah perannya pada metabolisme

140
hormon, vitamin, dan mineral. Hormon yang mengalami metabolisme di hepar
antara lain pembentukan T3 dari T4, degradasi insulin, hormon steroid,
glukagon dan hormon antidiuretik. Beberapa vitamin disimpan dalam hepatosit
yaitu vitamin A, B12, E, D dan K (Morgan, et al, 2002).

e. Fungsi Detoksifikasi
Berfungsi sebagai penyaring antara usus dan sirkulasi umum untuk benda-
benda yang merugikan atau tidak berguna bagi tubuh.
Dalam proses ini dikenal:
1. Detoksifikasi secara kimia; aktivitasnya meliputi cara hidrolisa, oksidasi-
reduksi, esterifikasi dan konyugasi.
2. Detoksifikasi secara ekskresi; banyak zat seperti logam berat yang
dihilangkan dari tubuh, dengan ekskresi bersama-sama cairan empedu.
3. Detoksifikasi secara penyimpanan; banyak zat diambil dari sirkulasi dan
disimpan dalam sel hati dari sistem retikuloendotelial, seperti morfin
dalam waktu sementara. Setelah itu dilepaskan dalam jumlah non-
toksik untuk biotransformasi dan diekskresi.
Biotransformasi dilakukan melalui 4 mekanisme yaitu oksidasi,
konjugasi, reduksi, dan hidrolisis. Bentuk obat yang hanya dihidrolisa adalah
ester, misalnya suksametonium dan prokain. Kebanyakan obat
dibiotransformasikan secara konjugasi atau suatu kombinasi dari oksidasi
dengan konjugasi. Seperti morfin, semata-mata dikonjugasi oleh asam
glukoronat.
Enzim yang bertanggung jawab terhadap oksidasi dan konjugasi terletak
dalam endoplasmik retikulum dari sel-sel hati. Diketahui beberapa obat terma-
suk barbiturat dan berbagai anestetik inhalasi bisa menghasilkan enzim mi-
krosoma dalam kuantitas tinggi yang akan meningkatkan kecepatan bio-
transformasi obat. Fenomena ini disebut sebagai induksi enzim. Enzim mi-
krosoma terutama pada tahap induksi enzim adalah penting dalam biotrans-
formasi obat inhalasi sebagaimana juga anestetik intravena.
Penyakit hati berat mungkin disertai dengan menurunnya kecepatan
biotransformasi obat, agaknya sekunder terhadap penurunan aktivitas enzim

141
mikrosoma. Perpanjangan kerja tiopental serta perpanjangan waktu paruh
diazepam dan meperidin telah diperlihatkan pada penderita dengan gangguan
fungsi hati. Jadi dosis obat yang digunakan selama anestesi hendaknya dipakai
secara hati-hati, tidak hanya untuk menurunkan metabolisme karena penyakit
seluler, tapi juga untuk menurunkan protein yang terikat dan meningkatkan
kecepatan metabolisme karena induksi enzim.

f. Fungsi Hematologi
1. Pembentukan darah; pembentukan sel darah pada janin sampai 8 bulan
kehamilan, penyimpanan faktor anti anemia perniciosa (faktor
pematangan sel darah) dari orang dewasa.
2. Pembekuan darah; hati membuat fibrinogen dan prothrombin, faktor
pembekuan darah yang diduga juga faktor V, VII, VIII ( anti hemofilik erat
hubungannya dengan penyimpanan vitamin K di hati ).
3. Anti koagulan seperti heparin diproduksi di hati untuk mengontrol
pembekuan darah.

g. Fungsi Sistem Retikuloendotelial


Sel Kupffer memegang peranan penting dalam kemampuannya menelan
bakteri yang berasal dari usus ataupun benda asing, sistem ini juga membentuk
antibodi.
Diantara banyaknya fungsi hati, metabolisme bilirubin, sintesis
protein, dan biotransformasi obat merupakan perhatian yang primer bagi
dokter spesialis anestesiologi. Hal ini tidak hanya disebabkan adanya dampak
terhadap fungsi hati tapi juga mempunyai dampak terhadap obat yang
digunakan pada anestesia. Hati bertanggung jawab mensintesa kebanyakan
protein dalam plasma tetapi gama globulin merupakan kekecualian karena
diproduksi oleh sistem retikuloendotelial.

Walaupun sintesis albumin diatur secara primer oleh status nutrisi,


penyakit hepatoseluler sendiri dapat menyebabkan penurunan kadar
albumin. Kemungkinan besar secara kuantitatif protein yang terpenting

142
adalah albumin.
Kebanyakan obat anestetik yang digunakan diikat oleh protein.
Sebagai suatu konsekuensi menurunnya kadar albumin serum, tempat
ikatan yang tersedia berkurang dan obat yang bebas akan menjadi tinggi.
Ini bisa menyebabkan sensitivitas obat meningkat atau memperpanjang
kerja obat. Sebagai contoh, Ghoneim dan Pandya telah memperlihatkan
pada penderita penyakit hati dengan kadar albumin yang menurun terlihat
bahwa satu dosis tiopental terikat kurang dari 50% dibanding pada keadaan
normal terikat 75%. Ini adalah keterangan kenapa terjadi kenaikan
sensitivitas pada penyakit hati dengan pemberian barbiturat. Hal ini bisa
terbalik pada obat yang lain. Seperti pada obat pelumpuh otot non depolarisasi
(tubokurare dan pankuronium) terlihat volume distribusi bertambah tapi
eliminasi waktu paruh memanjang. Jadi walaupun pada permulaan dosis
pankuronium dibutuhkan besar tapi total dosis lebih kecil daripada yang
diharapkan. Hati juga mensintesis protein pseudokolinesterase (kolinesterase
plasma) yang berperanan penting pada metabolisme suksametonium dan
tipe ester dari analgesia lokal seperti prokain. Walaupun terlihat korelasi
yang terbalik antara lamanya kerja suksametonium dengan banyaknya
psedokolinesterase, ternyata pada penyakit hati lama kerja suksametonium
hanya menaik dua sampai tiga kali lipat saja ini, disebabkan begitu besarnya
cadangan hati.
Gangguan yang bermakna pada penyakti hati berat terhadap fungsi
hati lain yang penting ialah gangguan produksi berbagai faktor pembekuan,
termasuk protrombin dan faktor V, VII, IX, dan X. Selain itu vitamin K akan
diabsorbsi sangat buruk pada keadaan sekresi garam empedu yang kurang.
Juga trombositopenia bisa muncul secara sekunder akibat hipertensi portal
dan splenomegali. Pembekuan yang tidak wajar dapat dideteksi pra-bedah
dengan menghitung keping darah, waktu protrombin dan waktu tromboplastin
plasma. Darah simpan akan melengkapi protrombin, faktor VII, IC, dan X,
sedangkan dari darah segar didapatkan keping darah, faktor V dan VIII.

h. Efek Anestesi pada Fungsi Hepar

143
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa gas anestesi akan
berpengaruh pada fungsi dan aliran darah ke hepar. Meskipun aliran darah
arterial hepatik meningkat, tetapi kebanyakan gas anestesi menurunkan aliran
darah portal karena menurunkan cardiac output. Hal ini sering tidak dapat
mencukupi kebutuhan total aliran darah hepar. Halotan merupakan agen
anestesi yang penurunannya paling besar dibandingkan enfluran, isofluran, dan
sevofluran . Pada penelitian dengan objek anjing, halotan juga menghasilkan
penurunan pengangkutan oksigen arteria hepar paling besar dibandingkan
agen lain pada 1,5 dan 2,0 MAC .
Penelitian dengan agen anestesi intravena menunjukkan bahwa
etomidat dan tiopental menurunkan aliran darah hepar karena peningkatan
resistensi vaskuler arterial hepar atau penurunan cardiac output dan tekanan
darah , sedangkan ketamin sedikit berpengaruh pada aliran darah hepar.
Penelitian Carmichael, el al, tahun 1993 menunjukkan bahwa propofol
meningkatkan aliran darah total hepar baik pada arteri hepatik maupun vena
portal karena efek vasodilatasi splanknik. Dari semua efek agen intravena
tersebut maka dapat dikatakan bahwa dampak agen ke aliran darah hepar
dapat diabaikan jika tekanan darah dapat dipertahankan dengan adekuat
(Connor, et al, 2005).

i. Efek Gangguan Fungsi Hepar pada Obat Anestesi


Adanya gangguan atau penurunan fungsi hepar akibat penyakit hepar
akan berpengaruh pada ikatan dengan protein, penurunan serum albumin dan
obat yang berikatan dengan protein, juga berpengaruh pada volume distribusi
karena adanya ascites dan peningkatan kompartemen air total tubuh.
Metabolisme obat-obatan juga akan berkurang karena kerusakan sel hepar.
Penggunaan opioid seperti morfin, meperidin, fentanil, sufentanil, dan
alfentanil pada pasien dengan sirosis akan memperpanjang waktu paruh
eliminasi obat, sehingga disarankan pemberiannya dengan interval antara 1,5
sampai 2 kali pada pasien dengan fungsi hepar normal. Ramifentanil, suatu
opioid sintetis dengan ikatan ester akan dihidrolisis oleh esterase darah dan
jaringan, sehingga eliminasinya tidak berpengaruh pada gangguan fungsi

144
hepar (Connor, et al, 2005).

Pada sirosis, penggunaan obat-obat sedatif atau hipnotik tidak banyak


mempengaruhi farmakokinetik obat. Perlu diperhatikan bahwa pemberian
yang berulang atau secara infus mungkin akan menyebabkan akumulasi dan
perpanjangan efek obat, sedangkan pemakaian relaksan otot seperti
vekuronium, rokuronium, dan mivakurium dapat mempunyai durasi yang
memanjang dan eliminasi yang lama, terutama pada pemakaian berulang dan
lama. Atrakurium dan cisatrakurium tidak bergantung pada hepar untuk
eliminasinya sehingga dapat digunakan tanpa perubahan pada pasien dengan
sirosis dan penyakit hepar (Stoelting, 1999, Connor, el al, 2005).

j. Tes Laboratorium pada Fungsi Hepar


Beberapa tes fungsi hepar dapat menunjukkan hasil yang abnormal
meskipun pada orang yang sehat. Tes tersebut termasuk alanin
aminotransferase (ALT) dan alkali fosfatase yang meningkat pada 0,1–4%
populasi sehat (Connor, et al, 2005). Untuk mengetahui adanya gangguan
fungsi hepar diperlukan perhatian yang lebih teliti. Manifestasi klinis mungkin
ringan dan gejalanya tidak khas seperti kehilangan nafsu makan, lesu, dan
perubahan pola tidur. Riwayat yang menyebabkan gangguan fungsi hepar
seperti minum alkohol, pengguna obat-obatan, terpapar zat kimia berbahaya,
dan transfusi darah dapat ditelusuri. Dicari pula gambaran klinis penyakit
hepatobilier seperti pruritus, abdominal pain, perubahan warna feses atau urin
dan jaundice terutama setelah terpapar anestesi. Ikterus, ascites, spider
angioma, palmar eritema, xantelasma, ensefalopati, dan foetor hepatikus
merupakan gambaran yang terdapat pada penyakit hepar lanjut.
Tes biokimia yang dapat dilakukan dapat dilihat pada tabel 1. Adanya
jejas pada sel hepar dapat dilihat dengan tes aspartat aminotransferase (AST)
dan alanin aminotransferase (ALT). Enzim ini berperan pada proses
glukoneogenesis dengan membentuk glutamat. ALT lebih spesifik pada hepar
sedangkan AST banyak juga terdapat di otot, jantung, otak, ginjal, pankreas,
adiposa, dan darah. Peningkatan ringan aminotransferase (<250 IU/L) terjadi

145
pada semua proses patologis yang menyebabkan injuri sel hepar seperti
alkohol, obat-obatan tertentu, hepatitis virus kronik, sirosis, kolestasis, dan
neoplasma. Peningkatan sedang (250-1000 IU/L) terjadi pada proses yang
menyebabkan nekrosis sel hepar seperti pada hepatitis virus akut, obat-obat
yang mempengaruhi hepar dan eksaserbasi hepatitis kronik. Peningkatan AST
dan ALT di atas 1000 IU/L terjadi pada penyakit virus atau obat-obatan yang
merusak sel hepar dengan superimpose penyakit hepar alkoholik atau
autoimun hepatitis. Nilai di atas 2000 IU/L biasanya terjadi pada nekrosis hepar
masif (akibat asetaminofen, halotan), toksin, iskemik hepatitis, atau autoimun
hepatitis. Meskipun AST dan ALT dapat membantu menegakkan diagnosis
kerusakan sel hepar, tetapi harus dikuatkan dengan gejala klinik dan
pemeriksaan lain seperti urea nitrogen darah, kreatinin, amonia dan bilirubin.

Tabel 1. Abnormalities in liver tests

146
Serum bilirubin total normal mempunyai nilai kurang dari 1,5 mg/dL.
Jaundice akan tampak secara klinis jika konsentrasi serum mencapai 3 mg/dL.
Jika nilai bilirubin terkonjugasi yang lebih banyak (>50%) menunjukkan adanya
disfungsi hepatoseluler, kolestatik intrahepatik, atau obstruksi bilier
ekstrahepatik (Morgan, et al, 2002). Bilirubin tak terkonjugasi biasanya karena
terdapat reaksi hemolitik (Connor, et al, 2005), atau defek dapatan atau
kongenital konjugasi bilirubin. Bilirubin tak terkonjugasi bersifat tidak toksik
terhadap sel sebalikya dengan bilirubin terkonjugasi (Morgan, et al, 2002).

Penanda untuk fungsi hepar lainnya adalah serum alkalin fosfatase.


Alakalin fosfatase dibuat oleh hepar, tulang, ginjal, lekosit, neoplasma, dan
plasenta dan diekskresikan ke empedu (Morgan, et al, 2002; Connor, et al,
2005). Nilai normalnya antara 25-85 IU/L. Peningkatan ringan hampir dua kali
normal terdapat pada jejas hepatoseluler, atau metastase hepar. Nilai yang
lebih tinggi menunjukkan adanya kolestatik intrahepatik atau obstruksi bilier
(Morgan, el al, 2002). Serum gama glutamil transferase dapat diperiksa untuk
menunjukkan apakah peningkatan alkalin fosfatase berasal dari ganguan
hepatobilier atau yang lain (Connor, et al, 2005).
Serum albumin normal antara 3,5-5,5 g/dl. Konsentrasi albumin pada
penyakit hepar akut menunjukkan nilai yang normal, karena waktu paruh
albumin sekitar 2-3 minggu. Nilai albumin kurang dari 2,5 g/dl umumnya
menunjukkan penyakit hepar yang kronis, stress akut, atau malnutrisi berat.
Kehilangan albumin dalam urin seperti pada sindroma nefrotik atau kehilangan
lewat saluran gastrointestinal dapat menyebabkan hipoalbuminemia (Morgan,
et al, 2002).
Protrombin time (PT) merupakan tes yang berguna untuk mengevaluasi
fungsi sintesis hepar pada pasien dengan penyakit hepar akut atau kronik. Nilai
normal antara 11-14 detik, tergantung kontrol. Pemanjangan lebih dari 3-4

147
detik dari kontrol merupakan hasil yang bermakna. PT mengukur aktivitas
fibrinogen, protrombin, dan faktor V, VII, dan X (Morgan, et al, 2002).

k. Penyakit Hati serta Perubahan Patofisiologi yang Terjadi


Pembagian Penyakit Hati
Untuk memudahkan penatalaksanaan anestesia/analgesia pada penderita
penyakit hati, Strunin dan Pettingale membagi penyakit hati dalam empat
golongan.
Tabel 2. Pembagian Penyakit Hati

1. Gangguan Hepatobilier
Gangguan ini ditandai dengan kolestasis, gangguan atau
berhentinya aliran empedu. Penyebab tersering adalah obstruksi
traktus biliaris ekstrahepatik. Obstruksi dapat disebabkan adanya batu
empedu, striktur, atau tumor pada duktus hepatikus. Adanya sumbatan
akan menyebabkan munculnya jaundis pada pasien, urin yang berwarna
gelap, dan feses yang pucat tergantung tingkatan sumbatan. Pada
obstruksi intrahepatik terdapat supresi atau sumbatan aliran empedu di
hepatosit atau kanalikuli empedu. Kolestasis intrahepatik biasanya
disebabkan oleh infeksi virus hepatitis atau reaksi iodosinkratik obat-
obatan. Untuk membedakan asal sumbatan apakah intra atau
ekstrahepatik memang sulit. Kedua keadaan akan mengalami
peningkatan bilirubin terkonjugasi lebih banyak daripada tak
terkonjugasi (lebih dari 50%) dan peningkatan sedang sampai berat
alkalin fosfatse. Diperlukan pemeriksaan imaging seperti USG, CT scan,
kolangiogram, atau radioisotop untuk membedakannya (Morgan, et al,
2002).

148
2. Sirosis Hepatis
Sirosis hepatis (SH) adalah kelainan hati yang kronis, dimana sebagian
parenkim hati rusak dan sebagian lagi berupa menjadi jaringan fibrosis.
Menurunnya jumlah sel hati mengakibatkan terjadinya gangguan pada
seluruh fungsi hati. Aliran darah hati juga menurun karena
meningkatnya tahanan pada vena porta akibat proses fibrosis tersebut.
Keadaan ini dikenal sebagai hipertensi porta.
Penyebab sirosis antara lain alkohol, hepatitis kronik aktif, inflamasi
bilier kronik atau sumbatan, sirosis karena gagal jantung,
hemokromatosis, penyakit Wilson, dan defisiensi alfa 1-antiripsin.
Sirosis hepatitis dapat terjadi komplikasi di luar hati yang tentunya
akan mengakibatkan angka mortalitas yang tinggi pada tindakan
anestesi dan pembedahan. Akibat dari sirosis akan terjadi distorsi
bangunan sel dan vaskuler hepar normal yang menyumbat aliran vena
portal dan menyebabkan hipertensi portal. Tanda yang paling sering
ditemukan berupa jaundis dan asites, spider angioma, palmar eritem,
ginekomasti dan splenomegali.
Asites merupakan komplikasi terbanyak pada penderita dengan
sirosis hepatis. Asites ini disebabkan menurunnya sintesa albumin
dengan akibat tekanan osmotik plasma menurun. Pada penderita
Sirosis Hepatis dapat ditemukan kelainan pada paru berupa
hipoksemi, efusi pleura, gangguan ventilasi perfusi, dan hipertensi
pulmonal. Pada sirosis hepatis sering ditemukan peningkatan curah
jantung, gangguan pembekuan darah juga merupakan komplikasi
sirosis hepatis.
Secara umum terjadi tiga komplikasi mayor yaitu: 1) hemoragi
variseal akibat hipertensi portal, 2) retensi cairan berupa asites dan
sindroma hepatorenal, 3) ensefalopati hepatal atau koma. Sekitar 10%
pasien akan mengalami peritonitis bakterial spontan, dan beberapa
diantaranya berkembang menjadi karsinoma hepatoseluler.
Sirosis merupakan kelainan patologis yang ditemukan dan

149
biasanya berhubungan dengan penyalahgunaan alkohol, penyakit
imunologis, penyakit virus atau malnutrisi. Cadangan hati pasien ini
hendaknya ditentukan seperti di atas. Akibat sirosis adalah
obstruksif aliran darah hati yang dapat mengakibatkan hipertensi
portal. Perdarahan akibat varises esofagus yang pecah dapat
mengancam nyawa dan mungkin perlu tindakan pembedahan yang cu-
kup berat. Hendaknya tetap diingat bahwa perdarahan varises sering
merupakan tahap terminal karena kerusakan hati yang terjadi
sedemikian luas sehingga tidak dapat mempertahankan hidup
walaupun perdarahan dapat dikontrol.
Setelah dilakukan persiapan di atas, maka dapat pula
ditentukan atau diperkirakan resiko yang mungkin timbul bila penderita
tersebut menjalani pembedahan. Untuk maksud ini Child dan Pugh
masing-masing telah membuat klasifikasi cadangan hati untuk
mengetahui tingkat mortalitas dengan kriteria sebagai berikut:

3. Hepatitis
Hepatitis dapat digolongkan sebagai akut dan kronis. Kesakitan
akibat hepatitis dikarenakan jejas pada sel hepar dengan tingkatan yang
bervariasi dari sel yang mengalami nekrosis. Hepatitis akut biasanya
disebabkan oleh infeksi viral, reaksi obat, atau terpapar oleh toksin,

150
sedangkan hepatitis kronis merupakan inflamasi hepatik yang persisten
selama lebih dari 6 bulan, ditandai dengan meningkatnya serum
aminotransferase. Berdasarkan biopsi hepar maka hepatitis kronis
dibagi menjadi hepatitis persisten kronis, hepatitis lobular kronis, atau
hepatitis aktif kronis.
Hepatitis viral karena virus biasanya disebabkan oleh virus
hepatitis A, B atau C (disebut pula hepatitis virus non A-non B), D (delta
virus), E (enterik non A-non B). Hepatitis virus A dan E ditularkan melalui
rute oral-fekal, sedangkan tipe B dan E ditularkan lewat kulit yang luka,
atau kontak dengan cairan badan. Hepatitis D memerlukan adanya
hepatitis B dalam tubuh agar dapat menginfeksi. Virus lain seperti
Epstein-Barr, herpes simpleks, sitomegalovirus, dan coxackievirus dapat
pula menyebabkan hepatitis. Kejadian hepatitis virus menjadi kronik
sebesar 3-10% pada hepatitis virus B dan 50% pada hepatitis virus C.
Hepatitis karena obat-obatan dapat terjadi karena efek toksik
obat langsung atau metabolit obat. Penemuan klinisnya sering susah
dibedakan dengan hepatitis akibat virus. Beberapa obat yang sering
menimbulkan hepatitis obat antara lain asetaminofen, klorpromazin,
kontrasepsi oral, dan inhalasi halotan (Morgan, et al, 2002; Hurford, et
al, 2002).

l. Penatalaksanaan Anestesi pada Gangguan Fungsi Hepar


Untuk dapat melakukan anestesi dan pembedahan pada pasien dengan
gangguan fungsi hepar pada hepatitis, sirosis atau gangguan hepatobilier,
maka diperlukan pemeriksaan fisik dan laboratorium yang memadai.
Diperlukan pemeriksaan preoperatif dan selanjutnya merencanakan tindakan
intraoperatif dan resiko paska operasi yang dapat terjadi. Pembedahan dan
anestesi akan mempengaruhi perfusi hepatik yang dapat memberikan jejas
pada sel hepar, dan karena fungsi hepar yang penting terutama dalam
metabolisme obat, hemostasis dan koagulasi, maka tindakan yang akan
dilakukan harus dapat melindungi fungsi hepar yang masih tersisa dari
kerusakan lebih lanjut (Morgan, et al, 2002).

151
m. Penatalaksanaan pada Hepatitis Akut dan Kronis
Pada hepatitis akut, maka pembedahan elektif harus menunggu sampai
fungsi hepar membaik yang ditunjukkan dengan tes fungsi hepar yang normal.
Penelitian menunjukkan peningkatan morbiditas perioperatif sebesar 12% dan
mortalitas sampai 10% pada pasien yang dilakukan laparotomi dengan
hepatitis akut (Morgan, et al, 2002). Penelitian Powel-Jackson (1982)
menunjukkan morbiditas pada 62% pasien yang diketahui mempunyai hepatitis
virus dan alkohol yang mengalami laparotomi, dan 31% meninggal dalam 1
bulan setelah pembedahan. Laboratorium yang perlu diperiksa adalah BUN
(blood urea nitrogen), elektrolit serum, kreatinin, glukosa, transaminase,
bilirubin, alkalin fosfatase, albumin, protrombin time dan angka trombosit. Jika
pembedahan harus segera dilaksanakan, maka harus dikoreksi dehidrasi, fungsi
koagulasi dengan pemberian vitamin K dan fiesh.frozen plasma serta gangguan
elektrolit. Tidak diperlukan pemberian obat premedikasi untuk memperkecil
paparan obat (Morgan, et al, 2002).
Perlakuan anestesi untuk hepatitis akut maupun kronik adalah sama.
Pada hepatitis kronik resiko anestesi berhubungan dengan seberapa parah
gangguan fungsi hepar yang terjadi (Connor, et al, 2005), tetapi pada akut
hepatitis kronik perlu diasumsikan telah terjadi sirosis hepatis (Morgan, et al,
2002). Umumnya anestesi akan mendepresi sistem saraf pusat, sehingga
diperlukan sesedikit mungkin agen anestesi. Agen inhalasi lebih disarankan
daripada intravena karena kebanyakan obat intravena akan tergantung pada
hepar untuk metabolisme dan eliminasi. Isofluran merupakan inhalasi terpilih
karena efeknya yang kurang terhadap aliran darah hepar ( Morgan, et al,
2002 ). Pemakaian opioid dapat diberikan dalam dosis berulang untuk
mencegah pemanjangan durasi.

n. Penatalaksanaan pada Sirosis Hepatis


Sirosis merupakan sindroma penyakit hepar stadium akhir, yang secara
patologis ditemukan fibrosis berat dan regenerasi noduler dari parenkim

152
hepar. Manajemen anestesi akan berhasil naik tergantung dari pengenalan
sifat alami multisistem dari sirosis dan mengontrol atau mencegah komplikasi
yang terjadi (tabel 2) (Morgan, et al, 2002). Sistem skoring Child-Pugh yang
dimodifikasi sering digunakan untuk memprediksi resiko perioperatif pada
pasien sirosis yang akan mengalami pembedahan abdominal. Skoring ini
berdasarkan nilai albumin dan bilirubin serum, INR, derajat asites, dan adanya
ensefalopati. Hasil skor dibagi menjadi A, B, atau C. Pasien dengan skor C
diperkirakan merupakan faktor resiko mayor untuk dilakukan operasi
nonhepatik (Connor, et al, 2005).

Tabel 5. Manifestations of cirrhosis

Pada penderita sirosis, respon terhadap obat-obatan tidak dapat


diperkirakan. Biasanya terjadi perubahan sensitifitas sistem saraf pusat,
volume distribusi, protein binding, metabolisme, dan eliminasi obat. Dosis
penggunaan eliminasinya tergantung hepar (pankuronium, rokuronium dan
vekuronium) harus dikurangi. Teknik anestesi yang digunakan dapat anestesi
umum, atau regional jika profil koagulasi baik. Harus dijaga agar tidak terjadi
hipotensi, karena akan menurunkan aliran darah ke hepar. Pada pasien dengan
keadaan tidak stabil dan dengan perdarahan aktif intubasi sadar atau rapid
sequence induction dengan penekanan krikoid menggunakan ketamin atau
etomidat dan suksinilkolin sangat dianjurkan.

153
Anestesi umum atau regional dapat menurunkan aliran darah hepatik
total. Isofluran dan sevofluran pada konsentrasi sampai 2 kali MAC mempunyai
efek minimal pada aliran repatik pada hewan percobaan. Hiperventilasi harus
dihindarkan karena hipokarbi dan ventilasi tekanan positif dapat mengurangi
aliran darah hepatik (Hurford, et al, 2002).
Diperlukan monitor ketat respirasi dan kardiovaskuler, dengan EKG lima
lead untuk memantau adanya miokardial iskemi. Status asam basa dimonitor
dengan pulse oksimetri dan pemeriksaan analisis gas darah arterial. Secara
umum diperlukan monitor tekanan intra arterial sehingga perubahan tekanan
darah dapat segera terdeteksi. Dipantau juga keluaran urin. Untuk mencegah
overload natrium dan meningkatkan tekanan onkotik, maka infus dengan
koloid dapat digunakan. Hati-hati dengan transfusi darah karena sitrat yang
terdapat dalam darah transfusi dapat menyebabkan hipokalsemia, sehingga
diperlukan pemberian kalsium intravena (Morgan, et al, 2002).

o. Penatalaksanaan pada Penyakit Hepatobilier


Pasien dengan sumbatan bilier ekstrahepatik biasanya mengalami
kekurangan vitamin K. Pada keadaan tersebut dapat diberikan vitamin K secara
parenteral dalam 24 jam. Bilirubin yang meningkat berhubungan dengan
peningkatan resiko gagal ginjal postoperasi, sehingga diperlukan rehidrasi
preoperasi. Penggunaan opioid tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan
spasme spinkter Oddi. Agen anestesi yang digunakan sebaiknya yang
dieliminasi melalui ginjal. (Morgan, et al, 2002).

p. Kesimpulan
Hati merupakan organ terbesar dalam tubuh manusia yang sangat
penting fungsinya dalam metabolisme obat, termasuk obat anestesi. Tindakan
anestesi dapat mempengaruhi fungsi hati dan sebaliknya, fungsi hati dapat
mempengaruhi tindakan anestesi yang akan dilakukan. Karena hubungan
timbal balik dan sangat erat tersebut, maka seorang anestesiolog harus
mempelajari dan mengerti benar–benar korelasi antara anestesi dan fungsi

154
hati agar hasil akhir dari tindakan anestesi sesuai dengan yang diharapkan,
yaitu untuk keselamatan pasien.
Pasien dengan gangguan/gagal fungsi hati sering memerlukan tindakan
pembedahan untuk komplikasi penyakitnya sendiri. Pasien dengan gangguan /
gagal fungsi hati yang akan menjalani pembedahan memerlukan perhatian
yang seksama dalam prosedur anestesi. Persiapan pre operatif seperti
anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang diagnostik harus
lengkap dan dapat memberi gambaran kondisi terakhir pasien. Demikian juga
saat melakukan tindakan anestesi (pembiusan), pertimbangan–pertimbangan
khusus dalam pemberian obat harus diperhatikan agar tidak menjadikan
kondisi pasien/fungsi hati malah memburuk .
Dengan menguasai ilmu anestesi khususnya pada pasien dengan
gangguan/gagal fungsi hepar dengan baik dan mengaplikasikannya kepada
pasien, maka diharapkan ”keselamatan pasien” dapat terjaga sejak dari pre
operatif, intra operatif sampai dengan post operatif, pasien dapat pulih sadar
dalam keadaan baik tanpa komplikasi.

155
L. Asuhan Keperawatan Anestesi pada Kasus Bedah Urologi

a. Definisi
Anestesi untuk pembedahan urologi memiliki perbedaan yang unik, seperti
pada semua departemen bedah lainnya. Oleh karena itu, anestesi untuk
operasi urologi memerlukan pelatihan dan pengalaman khusus.
Untuk mengurangi risiko komplikasi dalam pembedahan urologi, seperti
semua jenis pembedahan lainnya, teknik anestesi regional menjadi terkenal
dengan bantuan perkembangan teknologi. Untuk banyak usaha urologi, hanya
aplikasi blokade neuraksial yang cukup. Ini juga menghasilkan penurunan risiko
komplikasi. Pada pembedahan yang harus dilakukan dengan anestesi umum,
anestesi epidural dapat digunakan untuk pemeliharaan anestesi atau pada
periode pasca operasi. Dengan cara ini, angka komplikasi intraoperatif dapat
dikurangi dan kenyamanan pasien dapat ditingkatkan dengan memberikan
kontrol nyeri pasca operasi dan juga durasi rawat inap dapat dikurangi.
Selama operasi urologi, komplikasi yang berbeda dapat berkembang
tergantung pada teknik bedah yang digunakan. Misalnya, sebagian besar usaha
urologi membutuhkan banyak cairan irigasi. Dalam usaha ini, penggunaan
cairan irigasi yang tidak dipanaskan dapat menyebabkan komplikasi seperti
hipotermia, pemulihan yang tertunda dari anestesi dan tremor.
Selain blokade neuraksial, penggunaan blokade perifer menjadi penting
dalam pembedahan urologi. Misalnya, aplikasi blokade obturator untuk kanker
kandung kemih yang terlokalisasi di dinding lateral dapat mengurangi
komplikasi intraoperatif dan meningkatkan kelangsungan hidup bebas kanker.

b. Anestesi untuk ginjal dan operasi saluran kemih bagian atas


1. Bedah Onkologis Ginjal dan Saluran Kemih Bagian Atas
1) Nefrektomi radikal dan parsial
Karsinoma sel ginjal (RCC) adalah kanker umum kesembilan di
AS. Berdasarkan analisis database SEER, diperkirakan akan ada
62.700 kasus baru dan 14.240 orang meninggal karena penyakit ini.

156
Insiden kanker ginjal dan pelvis ginjal adalah 15,6 per 100.000 di AS
antara tahun 2009 dan 2013 [5]. Di seluruh dunia, nefrektomi
radikal atau parsial diterima sebagai pengobatan kuratif untuk
tumor ginjal. Nefrektomi parsial dapat dilakukan tergantung pada
ukuran tumor dan lokalisasi tumor. Selama nefrektomi parsial,
massa padat terlokalisasi harus dihilangkan seluruhnya dengan
margin bedah yang jelas. The European Association of Urology
(EAU) Renal Cell Cancer Guidelines Panel merekomendasikan
nefrektomi parsial untuk tumor kurang dari 4 cm .
Insisi panggul memberikan keuntungan dalam hal akses ke
ginjal secara langsung, tetapi dalam kasus keterlibatan vena kava,
secara anatomis mungkin tidak memadai. Jika ukuran tumor sangat
besar dan eksplorasi abdo- men atau eksplorasi retroperitoneal
kontralateral diperlukan, insisi subkostal dapat memberikan
keuntungan bagi ahli bedah. Berbagai faktor termasuk pengalaman
ahli bedah, ukuran tumor dan lokalisasi, kebiasaan tubuh pasien
dan lokalisasi ginjal yang terkena dapat mempengaruhi jenis
sayatan.
2) Nefroureterektomi radikal
Karsinoma sel urothelial bagian atas adalah tumor langka di
antara tumor sistem genitourinari yang berjumlah sekitar 5%.
Nefroureterektomi radikal dengan reseksi manset kandung kemih
adalah pengobatan kuratif standar untuk pasien dengan karsinoma
sel urothelial bagian atas non-metastasis, meskipun terdapat
perkembangan lanjutan dari pembedahan invasif minimal dan
teknik pembedahan untuk pembedahan radikal.
3) Pertimbangan pra operasi
Faktor risiko yang diketahui untuk RCC termasuk merokok dan
berusia di atas 60 tahun. Insiden puncak RCC adalah pada usia 60
tahun dan rasio pria-wanita adalah 2: 1. Oleh karena itu, pasien
dengan RCC ini umumnya memiliki penyakit penyerta seperti
penyakit koroner setelah penyakit danobstruktif kronik penyakit

157
paru. Hanya sebagian kecil dari pasien (sekitar 10%) memiliki trias
diagnostik klasik dari gejala termasuk nyeri pinggang, hematuria
dan massa abdomen yang teraba. Gejala paraneoplastik dan
gangguan tes laboratorium termasuk peningkatan laju sedimentasi
eritrosit, eosinofilia dan peningkatan kadar hormon prolaktin, renin
dan glukokortikoid. Status kesehatan pasien juga dioptimalkan
dengan manajemen anemia, kontrol glikemik dan pengobatan
untuk hipertensi, serta saran diet, berat badan dan berhenti
merokok sebelum operasi.
Keputusan multidisiplin yang dipimpin oleh konsultan dapat
dibuat mengenai prosedur dan pendekatan mana yang diperlukan
untuk setiap pasien. Karena pasien ini biasanya memiliki penyakit
komorbid seperti usia lanjut, hipertensi, diabetes, penyakit paru
obstruktif kronik dan gagal jantung kongestif dan mereka telah
menjalani operasi yang lama dan besar, sebaiknya menyiapkan
tempat tidur perawatan intensif untuk pasien ini. di unit perawatan
intensif untuk periode pasca operasi kritis. Unit perawatan intensif
dapat tepat untuk menindaklanjuti dan mengganggu masalah pasca
operasi yang harus ditangani dengan cepat seperti hipotermia,
ketidakseimbangan elektrolit, perdarahan, infeksi, gangguan paru
dan kebutuhan dialisis.
4) Pertimbangan intraoperatif
Pada pendekatan thoraco-abdominal, karena ruang pleura
dimasuki, menggunakan pipa endotrakeal lumen mulia dapat
memfasilitasi operasi dengan mengempiskan paru ipsilateral.
Ventilasi pasca operasi mungkin diperlukan karena retraksi paru
yang berkepanjangan yang menyebabkan penyumbatan. Selama
diseksi diafragma, saraf frenikus juga dapat terluka oleh insisi
torako-abdominal dan insisi panggul. Selama operasi, kehilangan
darah yang berlebihan dapat terjadi pada setiap tahap operasi,
yang merupakan alasan vaskularisasi tumor yang tinggi.
Pendarahan bisa disebabkan oleh kelenjar surrenal. Akhirnya,

158
organ perut yang berdekatan termasuk usus besar, duodenum dan
hati bisa terluka. Jika massa ginjal berada di sisi kiri, perdarahan
akibat cedera limpa dapat terjadi dengan insiden setinggi 10%.
Ketika perdarahan ekstensif diamati, kanulasi vena saluran
lebar dan kanulasi vena sentral harus diperoleh untuk memantau
tekanan vena sentral dan memasok transfusi darah cepat. Retraksi
vena kava yang berkepanjangan dapat terjadi akibat hipotensi
sementara.
Oleh karena itu, pemantauan tekanan arteri langsung dapat
memfasilitasi kontrol tekanan darah, terutama pada pasien dengan
penyakit penyerta jantung. Selain itu, aplikasi ini mungkin berguna
untuk pasien yang membutuhkan ventilasi mekanik pasca operasi.
Jika pasien mengalami obstruksi kavaleri akibat trombus angkatan
laut, manajemen tambahan mungkin diperlukan. Embolisasi
fragmen tumor dapat terjadi selama aplikasi kateter vena sentral,
jika trombus di vena kava meluas ke atrium kanan. Ketika trombus
atrium diamati, kateter arteri pulmonalis terkendali. Untuk alasan
ini, banyak penulis menyarankan agar penggunaan ekokardiografi
transesofageal intraoperatif untuk mendeteksi perluasan tumor di
vena kava inferior.
5) Pilihan anestesi
Manajemen anestesi pada pasien yang menjalani nefrektomi
radikal harus mencakup anestesi endotrakeal umum. Sebagai
alternatif, anestesi endotrakeal gabungan regional / umum
disarankan untuk digunakan. Jika anestesi umum dan epidural
digabungkan, kateter epidural harus dipasang dan dosis uji harus
diberikan sebelum induksi anestesi umum.
Untuk melakukan induksi anestesi umum setelah
mengevaluasi efek dosis uji akan mengurangi risiko injeksi
intratekal dan intravaskular yang tidak diinginkan. Meskipun dosis
uji diberikan, akan lebih aman untuk memberikan dosis epidural
sebagian dan sebentar-sebentar. Saat blokade neuraksial dilakukan,

159
level blok sensorik harus Th4. Telah ditunjukkan bahwa infus
epidural intraoperatif dari anestesi lokal menekan respon hormon
stres dan mengurangi kebutuhan opioid jika dibandingkan dengan
anestesi umum langsung pada nefrektomi terbuka. Selain itu,
komplikasi paru-paru disarankan untuk dikurangi dan lebih efektif
untuk mengontrol nyeri pasca operasi.
6) Komplikasi
Pasien dengan gagal ginjal mungkin sensitif terhadap
benzodiazepin. Cisatracurium dapat dipertimbangkan untuk
relaksasi otot karena dimetabolisme melalui hidrolisis ester dan
eliminasi Hofmann. Pertimbangan farmakologis lain untuk pasien
dengan gagal ginjal termasuk dosis antibiotik yang disesuaikan dan
menghindari agen anti inflamasi nonsteroid. Penderita gagal ginjal
kronis mengalami penurunan fungsi trombosit dan faktor von
Willebrand serta penurunan volume sel darah merah. Jadi ahli
anestesi harus mentransfusikan produk darah yang sesuai.

2. Bedah nononkologis ginjal dan saluran kemih bagian atas


Bedah urologis nononologis ginjal dan saluran kemih bagian atas
mencakup prosedur seperti nefrektomi sederhana, pieloplasti,
nefrolitotomi atau pyelolithotomy, perkuta- neous nephrolithotomy
(PNL), extracorporeal shockwave lithotripsy (ESWL), bedah retrograde
intrarenal (RIRS), nefrostomi perkutan, penggantian ureterorenoskopi
dan ureteral stent. Operasi batu terbuka (nephrolithotomy atau
pyelolithotomy) sekarang secara dramatis berkurang dan metode
endoskopi dan ekstrakorporeal meningkat, overcoat ESWL di rumah
sakit yang memiliki litotripter sendiri. Pembedahan terbuka sebenarnya
diindikasikan untuk batu ginjal kompleks dan batu ureter yang rumit.
Secara klasik, PNL dilakukan pada pasien pertama dalam posisi
terlentang untuk penggantian kateter ureter dan kemudian dalam
posisi tengkurap untuk mengakses sistem caliceal. Prosedur lain seperti
nefrektomi sederhana, pieloplasti, nefrolitotomi, dan pyelolithotomy

160
dilakukan pada pasien dengan posisi dekubitus lateral.
1) Pertimbangan pra operasi
Ahli anestesi harus mengevaluasi tidak hanya riwayat pasien
dan pemeriksaan fisik tetapi juga infeksi saluran kemih yang ada.
Jika ada, antibiotik harus diberikan perioperatif. Semua obat
antikoagulasi termasuk aspirin dan obat anti inflamasi nonsteroid
(NSAID) biasanya disimpan selama 5 hari sebelum pembedahan.
Jenis darah dan skrining direkomendasikan untuk pasien yang
berisiko tinggi mengalami perdarahan intraoperatif.
2) Pertimbangan intraoperatif
Antegrade atau retrograde ureteropyelography (RPG) sering
digunakan untuk mendemonstrasikan struktur anatomi sistem
kemih atau menentukan tingkat obstruksi sistem kemih. Karena
media kontras beryodium radiografi yang digunakan dalam
prosedur PNL tersebut, pasien memiliki faktor predisposisi untuk
reaksi merugikan terkait media kontras iodinasi seperti reaksi
merugikan sebelumnya untuk media kontras beryodium, riwayat
asma dan atopi, dehidrasi, penyakit ginjal akut atau kronis dan usia
lanjut, di mana reaksi merugikan yang diinduksi media kontras
teryodium dapat diamati.
Posisi tengkurap saja untuk PNL dikaitkan dengan berbagai
komplikasi terkait posisi. Untuk menghindari cedera tulang
belakang leher selama pemosisian, kepala harus dipegang dalam
posisi netral melalui pergantian dan pemosisian. Perpanjangan
leher atau rotasi kepala juga dapat menghambat aliran darah arteri
karotis dan / atau vertebralis dan aliran balik vena. Penyebab
cedera saraf perifer biasanya multifaktorial, membutuhkan tekanan
langsung dan komponen regangan. Banyaknya cairan irigasi yang
digunakan selama PCNL dapat menurunkan suhu tubuh. Oleh
karena itu, pemantauan suhu teras rutin.
3) Pilihan anestesi
Umumnya, anestesi umum dengan intubasi endotrakeal lebih

161
disukai untuk nefrektomi sederhana, pieloplasti, nefrolitotomi,
pyelolithotomy dan PNL, meskipun sedasi dan anestesi neuraksial
untuk PNL juga berhasil. Jika blokade neuraksial dilakukan, tingkat
blok sensorik harus Th4.
Baru-baru ini, manajemen anestesi dari perawatan ESWL rutin pada
orang dewasa mencakup praktik obat penenang dan analgesik yang
efektif. Aplikasi yang berbeda dapat digunakan dengan sukses
seperti meperi‐ dine dan promethazine, midazolam dengan
alfentanil, fentanyl dan ketamine. Penelitian substansial tentang
penggunaan alfentanil dengan berbagai rute melaporkan bahwa
obat ini sangat efektif.
4) Komplikasi Komplikasi
Utama selama pembedahan urologi nononologis pada ginjal dan
saluran sistem kemih bagian atas termasuk perdarahan, cedera
usus dan sistem pengumpul, fistula arteri-riovenosa traumatis atau
aneurisma palsu, sepsis, atelektasis, pneumotoraks, efusi pleura
dan hemotoraks.
Karena jumlah larutan irigasi yang berlebihan digunakan selama
operasi dalam prosedur bedah seperti PCNL, hipotermia sering
diamati. Tekgül dan rekan melaporkan bahwa efek dari solusi
irigasi, diberikan pada baik 21 atau 37 ° C di perkutan
nephrolithotomy (PCNL), pada hipotermia dan terkait komplikasi
pasca operasi seperti akhir kemunculan dan akhir pemulihan dari
anestesi, menggigil, asidosis laktat dan kelebihan bleeding.

c. Anestesi untuk kandung kemih dan prostat


1. Operasi Onkologi Kandung Kemih dan Prostat
Bagian ini meliputi reseksi tumor kandung kemih transurethral (TUR
BT), kistektomi radikal dan operasi prostatektomi radikal sebagai
operasi urologi. Kanker kandung kemih adalah kanker paling umum
keempat di Amerika Serikat. Diagnosis dan pengobatan awal kanker
kandung kemih invasif non-otot adalah TUR BT. Kistektomi radikal

162
adalah pengobatan pilihan untukkemih invasif.
Kanker prostat merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas dan diperkirakan akan ada 240.890 diagnosis baru kanker
prostat pada tahun 2011 dan bahwa kanker prostat akan bertanggung
jawab atas sekitar 33.720 kematian pada tahun 2011.
1) Pertimbangan sebelum operasi
Kehilangan darah rata-rata terkait dengan kistektomi radikal telah
dilaporkan dari 560 hingga 3000 mL dan kehilangan darah terkait
dengan prostatektomi retropubik radikal biasanya dilaporkan
antara 550 dan 800 mL, meskipun perkiraan yang lebih tinggi jarang
dilaporkan. Transfusi darah untuk pasien dengan risiko perdarahan
tinggi telah direkomendasikan sebelum prosedur elektif.
Pada pasien yang menjalani pembedahan, penyebab utama dan
tersering dari kematian nonsurgical adalah trombosis vena dalam
(DVT) dan tromboemboli paru terkait. Terutama, pasien yang
menjalani pembedahan radikal seperti prostatektomi dan
kistektomi memiliki faktor risiko utama perkembangan DVT karena
keganasan, pembedahan, imobilitas, dan usia lanjut. Untuk
perawatan pasien pasca operasi yang baik dan untuk mencegah
perkembangan DVT, profilaksy DVT diperlukan sebelum operasi
pada pasien dengan risiko tinggi untuk DVT. Risiko pengembangan
DVT pada pasien yang menjalani prostatektomi radikal terbuka
tanpa profilaksy DVT diperkirakan 32%..
2) Pertimbangan intraoperatif
Karena kemungkinan kehilangan darah yang berlebihan, diperlukan
kanula vena saluran lebar. Setelah memposisikan pasien, kanula
arteri harus dipasang untuk memantau pasien. Jika ada risiko
kehilangan darah yang berlebihan, kateter vena sentral harus
digunakan untuk tujuan transfusi. Namun, pemantauan tekanan
vena sentral tidak bisa menunjukkan kinerja jantung terkait dengan
infus cairan.
3) Pilihan anestesi

163
Endotrakeal umum diindikasikan; Pertimbangan harus diberikan
pada teknik gabungan umum / neuraksial untuk analgesia pasca
operasi. Tingkat blok sensorik harus Th10 untuk TUR BT dan Th6
untuk kistektomi radikal atau prostatektomi. Terutama, blokade
saraf obturator harus ditambahkan ke blok neuraksial untuk
mencegah sentakan adduktor karenaelektrik stimulasidari kauter
yang diterapkan pada tumor kandung kemih yang terlokalisasi di
dinding lateral.
Blok saraf obturator dilakukan setelah verifikasi tingkat anestesi
spinal dengan pasien dalam posisi litotomi. Jarum yang dapat
distimulasi dengan ukuran 21 gauge 100 mm dimasukkan tegak
lurus 2 cm inferior dan 2 cm lateral point dari tuberkulum pubis.
Menurut “pendekatan tradisional”, jarum dimasukkan dari kulit
melalui rami inferior tulang kemaluan, dialihkan ke anterolateral
dan bersentuhan dengan saraf obturator setelah masuk ke
kedalaman 2-4 cm. Setelah kontraksi kelompok otot adduktor
diamati, 10 mL 0,25% levobu‐ pivacaine diberikan dengan arus
pada 0,3-0,5 mA.
4) Komplikasi
Ahli anestesi harus selalu mempertimbangkan bahwa pasien yang
menjalani kistektomi radikal dan pengalihan urin dapat
menyebabkan bakteremia. Jika operasi saluran ileum
dilakukan,ionic perubahan dapat menyebabkan gangguan
metabolik. Gangguan ini biasanya muncul dalam bentuk asidosis
metabolik hiperkloremik. Ketika urin bersentuhan dengan segmen
usus, amonium, amonia, hidrogen, dan klorida diserap kembali dari
segmen usus. Agen alkali atau obat-obatan seperti klorpromazin
atau asam nikotinat yang memblokir transportasi klorida dapat
digunakan dengan sukses untuk pengobatan gangguan ini.
Perdarahan adalah komplikasi yang paling sering diamati dari
operasi radikal di bidang urologi. Untuk operasi prostatektomi
radikal selama diseksi kelenjar getah bening panggul, pembuluh

164
darah hipogastrik dapat terluka dan mengakibatkan kehilangan
darah yang ekstensif. Demikian pula, kompleks vena dorsal dalam
dapat mengalami cedera selama transeksi kompleks vena ini dan
kehilangan darah yang luas juga dapat terjadi. Selain itu, trombosis
vena dalam dan tromboemboli paru adalah komplikasi utama
terkait prostatektomi radikal lainnya.

2. Bedah nononkologis kandung kemih dan prostat


Prosedur bedah urologis nononkologis kandung kemih dan prostat
termasuk seperti reseksi transuretra prostat, prostatektomi transvesikal
suprapubik, dan sistoskopi. Sebagian besar pasien dengan obstruksi
kandung kemih yang disebabkan oleh hiperplasia prostat jinak berhasil
diobati dengan reseksi transurethral prostat (TURP) atau, jika ukuran
prostat lebih dari 70 cc, prostatektomi transvesikal suprapubik dapat
dilakukan. Pemeriksaan diagnostik saluran kemih bagian bawah sering
dilakukan dengan menggunakan cystoscope dan diagnosis awal serta
pengobatan kanker kandung kemih dilakukan dengan reseksi
transurethral kandung kemih.
1) Pertimbangan sebelum operasi
Prosedur ini sering dilakukan pada pasien usia lanjut dengan
gangguan fungsi ginjal, kardiovaskular, dan masalah pernapasan.
Dengan demikian, penting untuk membatasi level blok untuk
meminimalkan perubahan hemodinamik selama anestesi spinal
pada pasien tersebut.
2) Pertimbangan intraoperatif
Selama reseksi prostat, ahli bedah harus sangat berhati-hati agar
tidak merusak kapsul prostat. Pada 2% pasien yang menjalani
reseksi prostat, perforasi kapsul dapat terjadi. Pada pasien ini,
gejala seperti gelisah, mual, muntah dan sakit perut dapat diamati.
Jika terjadi perforasi, operasi harus segera dihentikan.
Pendarahan dapat terjadi selama TURP tetapi dapat dikontrol
dengan mudah. Karena cairan irigasi dan darah bercampur selama

165
TURP, sulit untuk menentukan jumlah perdarahan. Menurut
penelitian, perkiraan perdarahan selama operasi TURP adalah 2-4
mL / menit waktu reseksi atau 20-50 mL / g jaringan prostat yang
direseksi. Kebutuhan transfusi karena perdarahan selama TURP
adalah 2,5% dari pasien yang menjalani TURP. Presentasi klinis
sindrom TURP multifaktorial, dimulai oleh absorpsi yang berlebihan
dari larutan irigasi yang mempengaruhi sistem saraf pusat (SSP),
kardiovaskular, respirasi dan homeostasis metabolik. Tanda-tanda
awal sindrom TURP meliputi sensasi terbakar di wajah dan leher
bersama dengan kelesuan dan ketakutan. Selain itu, sakit kepala
dan iritabilitas dapat diamati karena SSP yang terkena.
Akhirnya, gangguan visual, kebingungan, kejang dan akhirnya
koma dapat diamati. Gangguan SSP ini telah dikaitkan dengan
hiponatremia, yang terjadi dengan penyerapan semua jenis larutan
irigasi dan hiperglikinemia dan / atau hiperamonemia jika glisin
digunakan.
Jumlah dan kecepatan absorpsi cairan bergantung pada beberapa
faktor seperti tekanan hidrostatik dari cairan irigasi, distensi
kandung kemih, ukuran sinus vena yang terbuka dan lamanya
waktu reseksi. Jika ada kecurigaan sindrom TURP, operasi harus
dihentikan segera dan sampel darah termasuk elektrolit, kreatinin,
glukosa dan gas darah arteri harus dikirim untuk dianalisis dan
elektrokardiogram harus diperoleh.
Pengobatan hiponatremia dan kelebihan cairan harus disesuaikan
dengan tingkat keparahan gejala pasien. Jika gejala pasien ringan
(kadar natrium serum lebih besar dari 120 mEq / L), hanya
pembatasan cairan yang dikombinasikan dengan diuretik loop yang
cukup untuk meningkatkan kadar natrium serum ke kadar normal.
Jika kadar natrium serum kurang dari 120 mEq / L,intravena
pemberian garam hipertonikdirekomendasikan untuk pasien
dengan gejala yang parah. Larutan natrium klorida 3% 100 mL / jam
harus diinfuskan dan kadar natrium serum pasien harus dikoreksi

166
pada kecepatan tidak lebih dari 0,5 mEq / L / jam.
3) Pilihan anestesi
Sedasi dan pemantauan rutin pasien sudah cukup untuk prosedur
minor. Tetapi prosedur lain seperti prostatektomi transvesikal
suprapubik dan TURP atau memerlukan distensi penuh dari
kandung kemih, anestesi neuraksial harus digunakan. Level blok
harus Th10.
4) Komplikasi
Perdarahan, sindrom reseksi transurethral (TUR), perforasi
kandung kemih, hipotermia, kejadian intraoperatif dan awal pasca
operasi dari koagulasi intravaskular diseminata adalah komplikasi
TURP yang paling umum diamati. Pemberian anestesi yang stabil
penting bagi pasien ini untuk meminimalkan perubahan
hemodinamik.
Di bawah anestesi umum, mungkin sulit untuk menyadari
komplikasi seperti sindrom TUR dan perforasi kandung kemih,
sehingga anestesi regional direkomendasikan untuk operasi TURP.
Efek samping TUR BT adalah perforasi kandung kemih yang
dilaporkan memiliki insiden 0,9-5% dan muncul dengan tanda dan
gejala ketidakmampuan untuk membengkak, kembalinya larutan
irigasi yang rendah, distensi perut dan takikardia.. Ekstravasasi
cairan intraperitoneal yang berhubungan dengan perforasi kandung
kemih selama TUR BT dapat diidentifikasi sebagai 'sindrom TUR BT'.
Gejala klinik serupa dapat diamati seperti sindrom TUR P, tetapi
pada sindrom TUR BT, defisit cairan intravaskular yang
menyebabkan gangguan ginjal tidak diamati.
Mekanisme dari kemungkinan penyebab hipovolemia
intravaskular adalah natrium menyeimbangkan dengan cairan
intraperitoneal. Jika massa tumor terlokalisasi di dekat saraf
obturator di dinding kandung kemih, perforasi kandung kemih
dapat terjadi selama reseksi. Saraf obturator biasanya melewati
panggul dekat dengan dinding kandung kemih lateral, leher

167
kandung kemih dan uretra prostat.
Selama reseksi kanker kandung kemih, saraf obturator dapat
distimulasi oleh elektrokauter yang menyebabkan perforasi
kandung kemih oleh kontraksi paha yang kuat dari otot-otot
adduktor. Baru-baru ini, penyumbatan saraf neuraksial dan
obturator direkomendasikan untuk mencegah komplikasi ini.
Teknik gabungan ini direkomendasikan untuk mengurangi
komplikasi anestesi umum pada pasien ini yang seringkali menutupi
pasien yang lebih tua dengan banyak komorbiditas.
d. Anestesi untuk bedah uretra dan genital
1. Bedah Onkologis Legiun Genital
Pada bagian ini yang berjudul Bedah Onkologis Daerah Genital meliputi
operasi orchiectomy radikal dan diseksi kelenjar getah bening
retroperitoneal. Pengobatan awal kanker testis adalah orchiectomy
radikal dengan sayatan inguinal. Diseksi kelenjar getah bening
retroperitoneal (RPLND) untuk pengobatan kanker testis adalah operasi
yang relatif jarang dan kompleks setelah kemoterapi.
1) Pertimbangan
Pra operasi Evaluasi medis pra operasi pasien kanker harus
mencakup penilaian status gizi, status fungsional dan pengendalian
gejala (terutama mengenai nyeri yang berhubungan dengan
kanker) selain penilaian masalah medis umum. Riwayat alami dari
kanker dan efek kemoterapi atau terapi radiasi sebelumnya juga
harus dipertimbangkan [52].
Insufisiensi paru dapat terjadi pada pasien yang menjalani
diseksi kelenjar getah bening retroperitoneal dan memiliki
bleomisin adjuvan sebelum operasi. Toksisitas oksigen dan
kelebihan cairan juga dapat berkembang. Dokter harus berhati-hati
dalam mengembangkan sindrom gangguan pernapasan akut pasca
operasi untuk pasien ini.
2) Pertimbangan intraoperatif
Pemantauan rutin pasien sudah cukup. Jika terjadi bradikardia,

168
ahli bedah harus diperingatkan untuk mengurangi regangan korda
spermatika dan jika tidak membaik, harus diberikan 1 mg atropin.
3) Pilihan anestesi Anestesi
Neuraksial telah dianggap sebagai teknik anestesi pilihan
untuk orchiectomy radikal. Tingkat blok sensorik harus Th10, tetapi
diminimalkan untuk trauma psikiatrik, sedasi harus ditambahkan ke
blokade neuraksial. Untuk prosedur RPLND, anestesi umum harus
dipilih. Jika blokade neuraksial dipilih (jika anestesi umum
merupakan kontraindikasi), blok sensorik tingkat tinggi (Th4)
dengan sedasi harus dilakukan.
4) Komplikasi
Kadang-kadang dalam prosedur ini, refleks vagal dan
bradikardia dapat terjadi selama operasi karena korda spermatika
meregang dan pasien dapat merasakan nyeri.

2. Bedah nononkologis uretra dan legiun genital


Bagian ini mencakup prosedur urologis seperti sistoskopi, uretrotomi
interna, orkiektomi skrotum, hidrokelektomi, varikokelektomi, dan
implantasi prostesis penis.
1) Pertimbangan pra operasi
Prosedur ini umumnya tidak memerlukan teknik anestesi tertentu,
tergantung pada prosedur, kondisi medis pasien dan pilihan pasien
dan / atau ahli bedah, satu teknik mungkin lebih tepat.
2) Pertimbangan intraoperative
Pemantauan rutin disarankan. Selama varikokelektomi, bradikardia
dapat terjadi karena peregangan korda spermatika.
3) Pilihan anestesi
Banyak dari prosedur ini bersifat rawat jalan, dilakukan di ruang
sistoskopi dengan pergantian pasien yang cepat dan pilihan
anestesi juga harus mempertimbangkan masalah ini. Evaluasi
sistem saluran kemih bagian bawah sering dilakukan oleh ahli
urologi dengan sistoskopi fleksibel. Prosedur ini umumnya

169
dilakukan oleh ahli urologi dengan anestesi topikal lokal diterapkan
ke bagian dalam uretra karena tidak memerlukan distensi kandung
kemih penuh. Jika pasien tidak dapat mentolerir rasa sakit,
prosedur harus dilakukan di bawah perawatan anestesi yang
dipantau dengan sedasi. Anestesi neuraksial telah lama dianggap
sebagai teknik anestesi pilihan untuk prosedur urologi ini. Level
blok sensorik harus Th10.
4) Komplikasi
Selama varikokelektomi, bradikardia dapat terjadi karena
peregangan korda spermatika.

e. Anestesi untuk bedah


Laparoskopi urologi Prosedur laparoskopi dalam urologi mencakup
bedah onkologi seperti nefrektomi, prostatektomi, kistektomi, dan bedah
nonkonologis seperti pieloplasti. Bedah laparoskopi telah menemukan aplikasi
yang luas dalam bedah urologi dengan teknologi yang berkembang. Setelah
operasi laparoskopi, beberapa komplikasi akibat pneumoperitoneum mulai
lebih sering terjadi.
1. Pertimbangan sebelum operasi
Rencana anestesi yang dikembangkan tidak hanya berdasarkan status
fisik pasien yang ditentukan oleh pelayanan tetapi juga bagaimana pasien
akan mentolerir pneumoperitoneum dan melayani selama operasi.
Beberapa faktor seperti obesitas dan tingkat Trendelenburg dapat
meningkatkan tekanan dalam perut selama operasi laparoskopi.
Faktor-faktor ini harus dipertimbangkan, ketika manajemen anestesi
direncanakan. Jalan nafas yang sulit, status kardiopulmoner, alergi, obat-
obatan dan kondisi komorbiditas merupakan masalah penting bagi pasien
yang menjalani operasi laparoskopi. Terutama, keputusan operasi
laparoskopi harus dipertimbangkan dengan hati-hati pada pasien dengan
gangguan pernapasan lanjut karena risiko anestesi yang tinggi.
2. Pertimbangan intraoperatif
Pneumoperitoneum dan posisi pasien menghalangi mekanisme

170
pernapasan normal. Penempatan tabung endotrakeal memungkinkan
ventilator memasok pekerjaan yang diperlukan untuk bernapas. Sekresi
lambung biasanya terlihat di orofaring atau di wajah pasien di akhir
operasi.
Penempatan jalur arteri dapat diindikasikan jika kondisi medis pasien
memerlukan pemantauan tekanan darah yang lebih dekat dari dekompresi
selang nasogastrik pada lambung dan drainase kateter Foley pada kandung
kemih adalah prosedur dasar untuk sebagian besar operasi laparoskopi
urologi. Hipotermia sering terjadi diawali dengan terganggunya regulasi
termal akibat anestesi.
3. Pilihan anestesi
Rencana anestesi yang paling umum adalah anestesi umum. Anestesi
endotrakeal umum dipilih untuk mengatasi kondisi buruk yang disebabkan
oleh pneumoperitoneum, posisi pasien, dan waktu pembedahan. Jika
anestesi umum merupakan kontraindikasi, blok sensorik tingkat tinggi
(Th4) dapat dilakukan.
4. Komplikasi
Komplikasi anestesi ditangani melalui prisma itu: strategi anestesi untuk
meminimalkan perubahan hemodinamik karena pneumoperitoneum dan
posisi pasien. Peningkatan volume darah intratoraks meningkatkan fungsi
hemodinamik di semua posisi tubuh dengan pneumoperitoneum.
Manajemen cairan adalah elemen yang paling penting untuk
meminimalkan efek samping pneu‐ moperitoneum.
Komplikasi yang paling umum diamati dari operasi laparoskopi adalah
pembengkakan wajah, kelopak mata, konjungtiva dan lidah bersama
dengan warna plethoric dari stasis vena di kepala dan leher. Meskipun
edema wajah sering terjadi, tetapi edema laring dapat mencegah ekstubasi
pasien dan dapat menyebabkan penundaan ekstubasi pada 5% pasien.

f. Anestesi untuk kegawatdaruratan urologi


Keadaan darurat urologi yang membutuhkan intervensi bedah relatif jarang
terjadi. Bagian ini meninjau kedaruratan urologi yang umum dan jarang terjadi

171
seperti trauma ginjal, trauma kandung kemih, trauma uretra, trauma skrotum,
torsio testis dan gangren fournier.
Torsi testis terjadi karena perputaran korda spermatika. Rotasi ini
menghalangi aliran darah testis dan merusak drainase vena. Sebagai hasil dari
patologi ini, timbul edema, iskemia dan nekrosis. Torsi testis biasa terjadi
dalam dua periode kehidupan. Sementara puncak pertama terjadi pada usia 1-
2 tahun, puncak kedua sering terjadi pada masa remaja. Torsi testis jarang
diamati setelah usia 40.
1. Pertimbangan pra operasi
Pada pasien dengan gangren empat tingkat, biasanya terjadi
perkembangan yang cepat dari toksemia berat yang menyebabkan
sepsis dan disfungsi organ progresif. Pemberian terapi cairan intra-vena
yang tepat untuk mempertahankan volume sirkulasi yang efektif dan
mencegah serta perfusi jaringan yang tidak adekuat adalah elemen inti
dari praktik anestesi pra operasi.
2. Pertimbangan intraoperatif
Pemantauan rutin disarankan untuk semua pasien dengan keadaan
darurat urologi. Pasien dengan risiko hipovolemia dan hipotensi,
kateterisasi vena sentral harus dilakukan untuk memantau tekanan
vena sentral dan memberikan transfusi cairan yang cepat. Tekanan
darah arteri invasif harus dilakukan untuk mengikuti tekanan darah
pada pasien dengan risiko hipotensi.
3. Pilihan anestesi
Rencana anestesi yang paling umum adalah anestesi umum pada
pasien trauma, tetapi blokade neuraksial dapat dipilih untuk torsi testis.
Jika area yang terkena terlokalisasi pada pasien dengan gangren empat
kali lipat atau pasien tidak septik, blokade neuraksial juga dapat dipilih.
Level blok sensorik harus dipilih sesuai dengan level legiun. Level blok
sensorik Th10 cukup untuk torsi testis.

g. Posisi pasien untuk operasi urologi


Cedera saraf mencakup 22% dari semua klaim medis terkait anestesi

172
di Amerika Serikat. Dalam sebuah penelitian ekstensif yang meninjau 380.680
kasus selama 10 tahun di pusat tunggal melaporkan bahwa cedera saraf
perioperatif diamati pada 112 kasus. Prosedur urologi adalah 15% dari semua
kasus dan 13% kasus memiliki cedera saraf perifer.
Cedera mata yang berbeda dapat diamati. Meskipun komplikasi kecil
seperti abrasi kornea yang dapat terjadi di semua posisi sering terjadi,
komplikasi utama seperti neuoropati optik iskemik terjadi pada posisi rawan
atau Trendelenburg. Sindrom kompartemen telah dilaporkan terjadi di
beberapa posisi setelah operasi urologi berkepanjangan.
1. Posisi terlentang
Ekstremitas atas harus diamankan dengan baik untuk menghindari
tekanan pada alur ulnaris atau hiperekstensi. Satu atau kedua lengan
bisa adduksi atau abduksi saat terlentang. Bantalan harus ditempatkan
di atas siku dan benda tajam dan lengan diamankan menggunakan draw
sheet yang diselipkan di bawah pasien dan bukan di kasur.
Neuropati ulnaris adalah tempat yang paling sering (28%) dari cedera
saraf terkait anestesi menurut ASA Closed Claims Database [63]. Saraf
median rentan terhadap neuropati karena peregangan berlebihan saat
mengalir melalui fosa antekubiti. Perhatian yang hati-hati harus
diberikan untuk menghindari hiperekstensi pada siku.
2. Posisi tengkurap
Ini paling sering digunakan untuk nefrolitotomi perkutan,
adrenalektomi dan pieloplasti pediatrik melalui pendekatan lumbotomi
dorsal. Selama pemosisian, perhatian harus diberikan untuk
menghindari ekstubasi trakea yang tidak disengaja dan untuk menjaga
leher dalam posisi netral, tetap relatif terhadap toraks. Semua titik
tekanan, termasuk dahi, dagu, siku, lutut, tulang kering dan jari kaki,
harus dilapisi dengan benar.
Penurunan indeks jantung (CI) dapat terjadi saat mengubah pasien
dari posisi terlentang ke posisi tengkurap mulai dari 12,9 hingga 24%
[20].
Berbeda dengan posisi terlentang, hasil posisi tengkurap dalam

173
pengurangan minimal dalam kapasitas sisa fungsional relatif terhadap
posisi tegak [65].
Komplikasi langka lainnya yang terkait dengan posisi tengkurap adalah
cedera mata, edema saluran napas bagian atas, dan emboli udara vena.
3. Posisi litotomi
Posisi litotomi paling sering digunakan untuk prosedur cystoscopy
transurethral atau untuk prosedur urologi terbuka di mana akses ke
perineum dan anus diperlukan. Mengangkat kaki ke posisi litotomi
mentranslokasi volume darah ekstremitas bawah ke kompartemen
pusat, meningkatkan aliran balik vena. Serupa dengan posisi terlentang,
menempatkan kaki pada posisi litotomi akan menggeser cephalad
jeroan perut ke diafragma, menurunkan kapasitas dan kepatuhan paru.
Neuropati saraf peroneal umum adalah neuropati ekstremitas bawah
yang paling umum terlihat pada posisi litotomi, terhitung 78% dari
cedera saraf ekstremitas bawah [66]. Saraf obturator, yang mensuplai
persarafan motorik ke adduktor paha, dapat diregangkan ketika pinggul
pasien tertekuk melebihi 80–100 °. Saraf tibialis posterior, saraf kulit
femoralis lateral, dan saraf saphaneus dapat cedera selama posisi
litotomi.
4. Posisi Trendelenburg
Posisi Trendelenburg diperoleh dengan memiringkan pasien dalam
posisi terlentang hingga kepala menunduk. Menurut posisi
Trendelenburg, organ perut bergerak menuju dia‐ phragm dan
memfasilitasi eksplorasi perut bagian bawah dan panggul oleh ahli
bedah. Lengan harus diculik <90 ° dalam posisi netral sebaiknya. Dokter
harus berhati-hati tentang meluncurnya lengan dari papan saat pasien
dimiringkan [68].
Posisi Trendelenburg dapat menyebabkan kehilangan penglihatan
dengan mengganggu drainase vena kepala. Jika kepala pasien berada di
bawah ketinggian jantung, peningkatan tekanan intrakranial dan vena
dapat meningkatkan tekanan pada saraf optik [69].
Edema dapat diamati di kepala atau leher, karena peningkatan

174
tekanan intrakranial dan vena yang disebabkan oleh posisi
Trendelenburg yang berkepanjangan. Dapat terjadi pembengkakan
pada wajah, mata, laring dan lidah dan penting untuk indikasi resusitasi
cairan.
5. Posisi lateral dekubitus
Posisi lateral dekubitus umumnya lebih disukai untuk mengeksplorasi
sistem kelenjar, ginjal atau kolektor surealis tanpa memasuki ruang
peritoneal. Posisi ini cocok untuk prosedur nefrektomi sederhana,
menghilangkan tonus ginjal yang memerlukan pembedahan terbuka
dan batu ureter yang terlokalisasi di sistem saluran kemih bagian atas.
Curah jantung saat dalam posisi dekubitus lateral harus tetap tidak
berubah kecuali aliran balik vena terhalang. Ventilasi meningkat di
paru-paru yang bergantung dan pertukaran gas tetap tidak berubah

175
M. Asuhan Keperawatan Anestesi pada Kasus Bedah Endokrin

a. Definisi
Sistem Endokrin disebut juga kelenjar buntu, yaitu kelenjar yang tidak
mempunyai saluran khusus untuk mengeluarkan sekretnya. Sekret dari
kelenjar endokrin dinamakan hormon. Hormon berperan penting untuk
mengatur berbagai aktivitas dalam tubuh hewan, antara lain aktivitas
pertumbuhan, reproduksi, osmoregulasi, pencernaan, dan integrasi serta
koordinasi tubuh. organ target endokrin: pankreas, tiroid.
b. Pankreas
Orang dewasa normalnya mensekresikan sekitar 50 U insulin tiap harinya dari
sel-sel β pulau langerhans pankreas. Kecepatan sekresi insulin utamanya
ditentukan oleh level glukosa darah. Insulin, hormon anabolik paling penting,
memiliki banyak efek metabolik, termasuk meningkatnya pemasukan glukosa
dan potassium ke sel adiposa dan dan sel otot; meningkatnya sintesis glikogen,
protein dan asam lemak; dan menurunnya glikogenolisis, glukoneogenesis,
ketogenesis, lipolisis, dan katabolisme protein. Secara umum, insulin
menstimulasi anabolisme, dimana kekurangan insulin dikaitkan dengan
katabolisme dan keseimbangan nitrogen negatif.
c. Diabetes mellitus
Diabetes mellitus merupakan penyakit kronis yang disebabkan oleh gagalnya
organ pankreas memproduksi jumlah hormon insulin secara memadai sehingga
menyebabkan peningkatan kadar glukosa dalam darah. DM merupakan salah
satu penyakit tidak menular dan merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang penting.
Diabetes mellitus dicirikan dengan dengan gangguan metabolisme
karbohidrat dikarenakan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif atau
kemampuan insulin dalam bereaksi yang terganggu, yang memacu
hiperglikemia dan glikosuria. Diagnosisnya berdasarkan peningkatan glukosa
plasma puasa (>140 mg/dL) atau gula darah (126 mg/dL).
d. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah kondisi ketika kadar glukosa (gula darah) berada di

176
bawah normal. Umumnya, seseorang dianggap mengalami hipoglikemia saat
kadar gula darahnya kurang dari 60 mg/dl. Hipoglikemia adalah salah satu
komplikasi akut pada pengidap diabetes
Ketergantungan otak kepada glukosa sebagai sumber energi membuatnya
sebagai organ paling rentan terhadap hipoglikemi. Jika hipoglikemia tidak
diatasi, perubahan status mental akan berubah dari kesadaran penuh atau
kebibgubgan (confusion) menjadi kejang dan koma permanen. Manifestasi
sistemik hipoglikemia menyebabkan keluarnya cathecolamine dan
menyebabkan terjadinya diaphoresis, takikardi, dan kegugupan.
1. Preoperatif
1) Nilai GDS terakhir
2) Type DM, terkontrol tidak, apakah pasien pakai injeksi insulin
atau tidak
3) Komplikasi ada/ tdk ada…ex ginjal, jantung
4) Hiperglikemia kronis dapat memacu glikosilasi protein jaringan
dan sindroma keterbatasan gerak sendi. Pasien diabetes
sebaiknya dievaluasi preoperatif secara rutin untuk mobilitas
sendi temporomandibula dan vertebra cervicalis yang adekuat
untuk membantu mengantisipasi intubasi yang sulit, yang
muncul pada kira-kira 30% orang dengan diabetes tipe I.
5) Karena tingginya angka kejadian infeksi akibat sistem immun
yang compromised, perhatian yang ketat pada teknik aseptik
harus menyertai pemasangan semua kateter intravena dan
monitor yang invasif.
2. Intraoperatif
1) Tujuan primer dari manajemen gula darah intraoperatif adalah
untuk mencegah hipoglikemia, ketergantungan otak terhadap
glukosa sebagai pemasok energi membuat sangat pentingnya
menghindari hipoglikemia.
2) Extra waspada pembiusan dgn pasien DM bila gunakan GA,
perubahan TTV perlu d pantau sangat
3) Hiperglikemia telah dihubungkan dengan hiperosmolaritas ,

177
infeksi, dan penyembuhan luka yang buruk
3. Postoperatif
1) Pengawasan yang dekat dari gula darah pasien diabetes harus
dilanjutkan sampai postoperatif
2) Alasan lain untuk pengawasan dekat adalah progresi stress
hiperglikemia pada periode pemulihan. Jika cairan intravena
dalam volume besar yang mengandung laktat diberikan secara
intraoperatif, gula darah akan cenderung meningkat 24-48 jam
saat postoperatif karena hepar mengubah laktat menjadi
glukosa.
e. Tiroid
Iodine dari makanan diabsorbsi oleh traktus gastrointestinal, diubah
menjadi ion iodine, dan secara aktif dikirim ke kelenjar tiroid. Sekali masuk,
iodida dioksidasi kembali menjadi iodine, yang mana terikat pada asam amino
tirosin. Hasil akhirnya adalah 2 hormon-triiodotironin (T3) dan tiroksin (T4)–
yang terikat pada protein dan disimpan dalam tiroid.
Hormon tiroid meningkatkan metabolisme karbohidrat dan lemak dan
merupakan faktor penting dalam menentukan pertumbuhan dan kecepatan
metabolik. Peningkatan kecepatan metabolik disertai dengan peningkatan
konsumsi oksigen dan produksi CO2, secara tidak langsung meningkatkan
minute ventilation. Denyut jantung dan kontraktilitasnya juga meningkat,
barangkali dari pengaruh fisiologi reseptor adrenergik dan pengaruh protein
internal lainnya, sebagai lawan terhadap peningkatan level cathecholamine.
f. Hipertiroid
Penyakit akibat kadar hormon tiroid terlalu tinggi di dalam tubuh. Manifestasi
klinis dari kelebihan hormon tiroid termasuk penurunan berat badan,
intoleransi panas, kelemahan otot, diare, refleks hiperaktif, dan gugup.
Tremor halus, eksoftalmos, atau goiter(gondok) mungkin diperhatikan,
terutama ketika penyebabnya adalah penyakit Grave’s.
1. Preoperatif
Penilaian preoperatif harus mencakup tes fungsi tiroid normal, dan
denyut jantung istirahat kurang dari 85 kali/menit telah

178
direkomendasikan.
Benzodiazepin adalah pilihan yang baik untuk sedasi
preoperatif SERING DI PAKAI MIDAZOLAM.
2. Intraoperatif
Fungsi kardiovaskuler dan suhu tubuh harus sangat diperhatikan pada
pasien yang memiliki riwayat hipertiroid. Mata pasien harus dilindungi
dengan baik, karena eksoftalmos pada Grave’s disease meningkatkan
resiko abrasi atau ulserasi kornea. Kepala meja operasi dapat dinaikkan
15-20o untuk membantu drainase vena dan mengurangi kehilangan
darah, walaupun melakukannya meningkatkan resiko emboli udara
pada vena.
Kedalaman anesthetik yang adekuat harus dicapai, namun, sebelum
laringoskopi atau stimulasi pembedahan untuk menghindari takikardi,
hipertensi, dan arritmia ventrikuler.
3. Postoperatif
Ancaman paling serius terhadap pasien hipertiroid pada periode
postoperatif adalah badai tiroid, yang diciri-cirikan dengan
hiperpireksia, takikardi, gangguan kesadaran (misal, agitasi, delirium,
koma), dan hipotensi. Onsetnya biasanya 6-24 jam setelah
pembedahan namun dapat muncul intraoperatif, meniru hipertermia
maligna. Badai tiroid adalah kegawatan yang memerlukan manajemen
dan pengawasan yang agresif.
g. Hipotiroid
Penyakit hipotirodisme adalah kelainan akibat kekurangan hormon tiroid.
Kelainan ini akan membuat penderitanya mudah lelah dan sulit untuk
berkonsentrasiPenyakit hipotirodisme adalah kelainan akibat kekurangan
hormon tiroid. Kelainan ini akan membuat penderitanya mudah lelah dan
sulit untuk berkonsentrasi
1. Preoperatif
Pasien dengan hipotiroid parah yang tidak terkoreksi (T4 < 1 mg/dL)
atau koma mixedema seharusnya tidak menjalani pembedahan elektif
dan seharusnya terutama diatasi dengan hormon tiroid pada

179
pembedahan emergensi
Pasien hipotiroid biasanya tidak membutuhkan banyak sedasi
preoperatif dan sangat rentan terhadap depresi napas terinduksi obat.
2. Intraperatif
Pasien hipotiroid lebih rentan terhadap efek hipotensif dari agen
anesthetik karena mereka mengurangi cardiac output, menumpulkan
refleks baroreseptor, dan menurunkan volume intravaskuler. Untuk
alasan ini, ketamin sering direkomendasikan untuk induksi anestesia
Masalah lain yang potensial adalah hipoglikemia, anemia,
hiponatremia, kesulitan intubasi karena lidah yang besar, dan
hipotermia dari kecepatan metabolik dasar yang rendah.
3. Postoperatif
Pemulihan dari anestesia umum dapat tertunda pada pasien
hipotiroid oleh hipotermia, depresi pernapasan, atau biotransformasi
obat yang melambat. Pasien-pasien ini sering membutuhkan vntilasi
mekanik diperpanjang. Pasien-pasien seharusnya tetap diintubasi
sampai terbangun dan normotermik. Karena hipotiroid meningkatkan
kerentanan terhadap depresi napas, nonopioid seperti ketorolac akan
menjadi pilihan yang baik untuk meringankan nyeri postoperatif.

180
N. Asuhan Keperawatan Anestesi pada Kasus Bedah Ortopedi

a. Definisi
Pembedahan ortopedi merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi
para anestesiologis. Pasien dapat datang dengan beragam komorbiditas dan
dan dalam kelompok usia yang sangat bervariasi, mulai dari neonatus dengan
deformitas tungkai kongenital, remaja dengan cidera karena olahraga, hingga
orang dewasa dengan eksisi soft tissue mass sampai arthroplasty.Pemeriksaan
yang dilakukan juga harus bersifat holistik karena mungkin saja terdapat
penyakit jaringan ikat kronis yang dapat mempengaruhi perencanaan anestesi.
Komplikasi yang terjadi pun dapat beragam. Pasien dengan fraktur
tulang panjang dapat mengalami sindrom emboli lemak. Pasien yang
menjalani operasi pelvis, panggul, dan lutut mengalami peningkatan risiko
terjadinya venous thromboembolism. Penggunaan bone cement pada
arthroplasty dapat menyebabkan instabilitas hemodinamik
Teknik anestesi neuraxial dan teknik anestesi regional lainnya
memainkan peranan penting dalam penurunan insiden komplikasi
thromboemboli post operatif, memberikan analgesia post operatif, dan
memfasilitasi rehabilitasi lebih dini dan pemulihan hingga pemulangan pasien
lebih cepat. Kecanggihan teknik bedah seperti pendekatan invasive yang
minimal pada knee dan hip replacement , memerlukan modifikasi dalam
manajemen anestesi, bila pasien ingin dipulangkan segera !overnight
atau same-day service/ one day care.
b. Anestesi Pada Operasi Panggul
Pembedahan panggul yang biasa dilakukan pada pasien dewasa antara lain,
kasus fraktur panggul, total hip arthroplasty, dan reduksi tertutup pada
dislokasi panggul.
1. Fraktur pada panggul
Fraktur panggul sering terjadi pada pasien usia lanjut (1 dari 50 pada
usia lebih dari 50 tahun) dengan morbiditas dan mortalitas yang
bermakna. Tingginya komplikasi perioperatif dihubungkan dengan
banyak faktor, termasuk kondisi jantung, paru, DVT dan delirium.

181
&elirium dan rasa pusing post op adalah hal yang umum terjadi,
dilaporkan pada 50% ( pasien usia lanjut setelah pembedahan, dan
berhubungan dengan peningkatan mortalitas.
1) Pertimbangan Preoperatif
Sebagian besar pasien yang menjalani operasi ini adalah
pasien dengan kondisi lemah dan usia lanjut. Namun,
kadangkala terdapat juga pasien pada usia muda dengan trauma
mayor pada tulang femur atau pelvis. Beberapa penelitian
melaporkan angka mortalitas fraktur panggul 1%( selama awal
perawatan dan lebih 25% dalam 1 tahun. Banyak dari pasien ini
mempunyai penyakit penyerta seperti penyakit arteri koroner,
penyakit serebrovaskuler, penyakit paru obstruktif kronis atau
diabetes.
Pasien dengan fraktur panggul seringkali mengalami dehidrasi
karena intake oral yang tidak adekuat. Tergantung pada lokasi
fraktur panggul, perdarahan terselubung dapat terjadi secara
signifikan dan selanjutnya dapat menurunkan volume intra
vascular. Pada umumnya fraktur intrakapsular (subkapsular,
transcervical) mengalami perdarahan yang lebih sedikit
dibandingkan dengan fraktur ekstrakapsular (dasar kolum
femur, intertrokanter, subtrokanter ). Pada perdarahan
terselubung, kadar hematokrit preoperatif dapat terlihat normal
atau dalam batas bawah.
Pasien dapat datang ke rumah sakit dengan rasa nyeri hebat
dan stres berat yang dapat menjadi tanda dan gejala dari
iskemik miokard. Meskipun persiapan pre op itu penting,
namun penundaah pembedahan dapat
menimbulka permasalahan ini dan meningkatkan angka
kejadian komplikasi. Pembedahan yang lebih cepat 1-12jam"
terbukti menurunkan tingkat nyeri (VAS), mengurangi lama
perawatan, dan mengurangi komlikasi perioperative.
Karakteristik lain pada pasien fraktur panggul adalah sering

182
terjadinya hipoksia preoperatif, yang dapat sebagai akibat dari
emboli lemak, atau akibat faktor lain, termasuk atelektasis
bibasilar akibat bedrest, bendungan paru (dan efusi), gagal
jantung kongestif, atau akibat infeksi.
2) Manajemen intra operatif
Menurut Association of Anaesthetist in Great Britain and
Ireland (2012), anestesi pada pembedahan fraktur panggul
harus dapat memblok nervus kutaneus lateralis pada paha,
nervus obturator, ischiadika, dan lower subcostal nerve, dan
hanya bisa dicapai pada pasien yang sadar dengan blok
neuraxial.
Pilihan antara anestesi regional (spinal atau epidural) dan
anestesi umum pada pembedahan kasus fraktur panggul telah
dievaluasi secara luas. Sebuah studi meta0analisis dari 15
randomized clinical trials menunjukkan penurunan kejadian DVT
postoperatif dan angka mortalitas bulan pertama yang lebih
rendah pada anestesi regional, namun setelah bulan ketiga tidak
tidak ada perbedaan bermakna antara anestesi regional dan
anestesi umum. Sebuah studi metaanalisis lain terhadap pasien
dengan fraktur neck of femur menyatakan bahwa insiden DVT 4
kali lebih besar pada pasien dengan anestesi umum,
dibandingkan anestesi regional. (miller, morgan. Selain itu,
sebuah studi sistematik terhadap penggunaan anestesi pada
pembedahan fraktur panggul menemukan bahwa anestesi
regional dapat mengurangi insiden pusing post operatif.
Teknik anestesi neuraxial dengan atau tanpa disertai anestesia
umum, memberikan keuntungan tambahan untuk kontrol nyeri
post op. Jika anestesi spinal direncanakan, penggunaan anestesi
lokal hipobarik mempermudah positioning karena pasien dapat
tetap pada posisi yang sama saat anestesi
maupun pembedahan. opioid intra thecal seperti morfin juga
dapat digunakan analgesia post op tetapi berpotensi untuk

183
terjadinya peningkatan resiko depresi pernapasan sehingga
memerlukan pengawasan ketat post op.
Pertimbangan harus juga diberikan terkait dengan tipe reduksi
dan fiksasi yang digunakan. Hal ini tergantung pada lokasi
fraktur, derajat displacement , status fungsional pasien preop,
dan pilihan dokter bedah. Fraktur femur proksimal undisplaced
biasanya ditatalaksana dengan dengan percutaneous pinning
atau cannulated screw fixation dengan pasien pada posisi
supinasi. 4ip compression screw dan side plate paling sering
dikerjakan untuk fraktur intertrochanter. Fraktur intrakapsular
displaced terkadang membutuhkan fiksasi internal,
hemiarthroplasty, atau total hip replacement . 3perasi fraktur
panggul ekstrakapsular dilakukan dengan implant ekstramedula
(seperti sliding screw and plate) atau intramedula (seperti
Gamma nail).
Hemiarthroplasty dan total hip replacement membutuhkan
waktu yang lebih lama, dan bersifat lebih invasif dibanding
prosedur lainnya. Biasanya dikerjakan dalam posisi lateral
decubitus. Pada prosedur ini dapat terjadi kehilangan darah
dengan jumlah lebih banyak dan berpotensi menimbulkan
gangguan hemodimik yang lebih hebat, terutama jika semen
digunakan. Oleh karena itu, harus dipastikan adanya akses vena
yang memadai untuk persiapan transfusi cepat.
2. Total hip Arthroplasty / Total hip Replacement
Komplikasi yang umum terjadi adalah serangan jantung, emboli
paru, pneumonia dan gagal nafas, serta infeksi. Pasien0pasien usia
lanjut dengan faktor komorbid berat seperti penyakit jantung, paru,
dan diabetes harus diperiksa secara menyeluruh saat pre op.
1) Pertimbangan preoperatif
Sebagian besar pasien yang menjalani total hip replacement
menderita penyakit osteoartritis, rheumatoid arthritis, atau
nekrosis avaskular. Osteoartritis merupakan penyakit degeneratif

184
yang dapat melibatkan satu atau banyak sendi, termasuk dapat
juga melibatkan tulang belakang, sehingga manipulasi leher pada
intubasi harus diminimalisir untuk menghindari kompresi radiks
saraf atau protrusi diskus.
Rheumatoid arthritis (RA) dicirikan dengan destruksi sendi yang
dimediasi oleh respon imun dengan inflamasi kronik dan progesif
pada membrane synovial. Selain itu, RA juga merupakan penyakit
sistemik yang dapat melibatkan berbagai sistem organ lain. lebih
lanjut lagi, RA seringkali melibatkan sendi kecil pada tangan,
pergelangan tangan, dan kaki dan menimbulkan deformitas berat.
Hal ini dapat mempersulit kanulasi intravena atau arteri radialis.
Kasus ekstrem rheumatoid arthritis dapat melibatkan sebagian
besar membran synovial, termasuk sendi vertebra servikal dan
sendi temporomandibular. Subluksasi atlantoaxial yang dapat
didiagnose secara radiologi, dapat menyebabkan protrusi prosesus
odontoid ke dalam foramen magnum selama intubasi, melemahkan
aliran darah vertebra dan menekan medulla spinalis atau batang
otak. Jika terdapat instabilitas atlantoaxial, intubasi harus
dikerjakan dengan inline stabilization dan menggunakan
laringoskop fiberoptik atau video. Keterlibatan sendi
temporomandibular dapat membatasi mobilitas rahang dan
rentang gerakan sehingga tidak memungkinkan dilakukannya teknik
intubasi konvensional.
Suara serak atau stridor inspirasi dapat menjadi tanda
penyempitan pembukaan glottis yang disebabkan arthritis
krikoarytenoid. Kondisi ini menyebabkan obstruksi jalan napas post
ekstubasi, walaupun sudah menggunakan tube dengan ukuran yang
lebih kecil.
Pasien dengan rheumatoid arthritis atau osteoarthritis umumnya
mengkonsumsi OAINS untuk meredakan nyeri nyerinya. Obat-
obatan ini dapat mempunyai efek samping yang serius seperti
perdarahan saluran cerna, toksisitas pada ginjal, dan disfungsi

185
platelet.
2) Manajemen intraoperatif
Total hip replacement (THR) melibatkan beberapa tahapan
pembedahan termasuk mengatur posisi pasien (biasanya pada
posisi lateral dekubitus), dislokasi dan pemindahan kaput femoris,
melebarkan asetabulum dan insersi prostetik kap acetabulum
(dengan atau tanpa semen) dan membuka femur dan insersi
komponen femur (kaput femur dan stem) ke dalam femoral shaft
(dengan atau tanpa semen).
THR juga dikaitkan dengan tiga komplikasi yang mengancam
kehidupan : bone cement implantation syndrome, peradarahan
intra dan post op, dan thromboemboli vena. Jadi terdapat banyak
alasan mengapa monitoring arteri invasif pada umumnya
direkomendasikan untuk prosedur-prosedur ini. Pemberian opioid,
seperti morfin, secara neuraxial pada periode perioperatif dapat
memperlama durasi analgesia postoperatif.
THR dapat dilakukan dengan pendekatan anterior maupun lateral.
Kelebihan pendekatan anterior antara lain, memberikan akses
tanpa mengganggu otot, namun akses yang didapatkan terbatas,
dengan risiko cidera nervus kutaneus femoral lateralis. Sedangkan
pendekatan lateral posterior memberikan akses yang lebih baik
untuk femur dan asetabulum dengan kerusakan otot minimal
namun dengan peningkatan risiko dislokasi posterior. Kebanyakan
ahli bedah memilih pendekatan lateral posterior, sehingga pasien
diposisikan secara lateral dekubitus, dimana posisi ini dapat
mengurangi oksigenasi.

186
DAFTAR PUSTAKA

Connor CJ, Rothenberg DM, Tuman KJ: Anesthesia and the Hepatobiliary System. In: Miller
RD: Miller's Anesthesia, 6th ed. Elsevier, Churchill Livingstone, Philadelphia, 2005.

Harrison, et al, Principle of Internal Medicine, 13th edition, volume 1, 1994, page 1437-1497.

Hurford, William E. MD, et al, Clinical Anesthesia Procedures of the Massachusetts General
Hospital, Sixth edition, 2002, page 56-67.

Marks DB, Marks AD, Smith CM: Basic Medical Biochemistry, A Clinical Apporach.
William and Wilkins. 1996

Miller, Ronald D, MD, Miller’s Anesthesia sixth edition, volume 2, 2005, page 2209-2224.

Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ: Chilical Anesthesiology. Lange Mc Graw Hill, 2002

Stoelting RK: Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice. Lippincot Raven. 1999.

Hammady A, Abdelgalil W, Rashed E, Elbadry MS. Upper urinary tract retroperitoneo‐


scopic surgery under epidural anesthesia: Shifting towards outpatient treatment. Scand J Urol.
2015;49(2):181–184.
Tekgül ZT, Pektas S, Yildirim U, Karaman Y, Cakmak M, Ozkarakas H, Gonullu M. A
prospective randomized double‐blind study on the effects of the temperature of irriga‐ tion
solutions on thermoregulation and postoperative complications in percutaneous
nephrolithotomy. J Anesth. 2015;29:165–169.
Tekgül ZT, Divrik RT, Turan M, Konyalioğlu E, Simsek E, Gönüllü M. Impact of obtura‐
tor nerve block on the short‐term recurrence of superficial bladder tumors on the lateral wall.
Urol J. 2014;11(1):1249–1252.
Bolat D, Aydogdu O, Tekgul ZT, Polat S, Yonguc T, Bozkurt IH, Sen V, Okur O. Impact
of nerve stimulator‐guided obturator nerve block on the short‐term outcomes and com‐
plications of transurethral resection of bladder tumour: A prospective randomized con‐ trolled
study. Can Urol Assoc J. 2015;9(11–12):780–784.
Howlader N, Noone AM, Krapcho M, Miller D, Bishop K, Altekruse SF, Kosary CL, Yu
M, Ruhl J, Tatalovich Z, Mariotto A, Lewis DR, Chen HS, Feuer EJ, Cronin KA (eds). SEER
Cancer Statistics Review, 1975–2013. Bethesda, MD: Institut Kanker Nasional; 2016.
http://seer.cancer.gov/csr/1975_2013/, based on November 2015 SEER data submis‐
Uzzo R, Novick A. Nephron sparing surgery for renal tumors:Indications, techniques and

187
outcomes. J Urol. 2001;166:6–18.
Ljungberg B, Bensalah K, Bex A, Canfield S, Dabestani S, Hofmann F, et al. EAU guide‐
lines on renal cell carcinoma. 2015;67(5):913–24.
[8] Whalley DG, Berrigan MJ. Anesthesia for radical prostatectomy, cystectomy, nephrec‐
tomy, pheochromocytoma and laparoscopic procedures. Anesthesiol Clin North Am.
2000;18(4):899–991.
Jemal A, Siegel R, Ward E, Hao Y, Xu J, Thun MJ. Cancer statistics, 2009. CA Cancer J
Clin. 2009;59:225–249.
Babjuk M, Burger M, Zigeuner R, et al. EAU guidelines on non‐muscle‐invasive urothe‐
lial carcinoma of the bladder: Update 2013. Eur Urol. 2013;64:639–653.
Garnick MB. Bladder, renal and testicular cancer. In: Dale DC, Federman DD, editors.
Scientific American Medicine. New York: Scientific American; 1999.
Cockcroft JOB, Berry CB, McGrath JS, Mark O. Anesthesia for major urologic surgery.
Anesthesiol Clin. 2015;33:165–172.
Li Y. Combined general/epidural anesthesia (ropivacaine 0.375%) versus general anes‐
thesia for upper abdominal surgery. Anesth Analg. 2008;106(5):1562–1565.
Hasnain JU, Watson RJN. Transesophageal echocardiography during resection of renal cell
carcinoma involving the inferior vena cava. South Med J. 1994;87:273–275.
Mizoguchi T, Koide Y, Ohara M, et al. Multiplane transesophageal echocardiographic
guidance during resection of renal cell carcinoma extending in the inferior vena cava. Anesth
Analg. 1995;81:1102–1105.
Ohara J, Sprung J, Whalley D, et al. Transesophageal echocardiography in monitoring of
intrapulmonary embolism during inferior vena cava tumor resection. J Cardiothorac Vasc
Anesth. 1999;13:69–71.
Dorgalaleh A, Mahmudi M, Tabibian S, Khatib ZK, Tamaddon GH, Moghaddam ES,
Bamedi T, Alizadeh S, Moradi E. Anemia and thrombocytopenia in acute and chronic renal
failure. Int J Hematol Oncol Stem Cell Res. 2013;7(4):34–39.
González Enguita C, Calahorra Fernández FJ, Cabrera Pérez J, García Cardoso J,
Rodríguez‐Miñón Cifuentes JL, García de la Peña E, et al. Surgery of renoureteral lithia‐ sis.
Current indications. Actas Urol Esp. 2001;25(9):610–617.
Meth MJ, Maibach HI. Current understanding of contrast media reactions and implica‐
tions for clinical management. Drug Saf. 2006;29:133–141.
Edgcombe H, Carter K, Yarrow S. Anaesthesia in the prone position. Br J Anaesth.
2008;100:165–183.

188
Rozentsveig V, Neulander AZ, Roussabrov E, et al. Anesthetic considerations during
percutaneous nephrolithotomy. J Clin Anesth. 2007;19:351–355.
68 Current Topics in Anesthesiology
Aravantinos E, Karatzas A, Gravas S, Tzortizs V. Feasibility of percutaneous nephroli‐
thotomy under assisted local anaesthesia: A prospective study on selected patients with upper
urinary tract obstruction. Eur Urol. 2007;51:224–228.
Morgulis R, Yarmush J, Woglom J, et al. Alfentanil analgesia/sedation for extracorporeal
shock wave lithotripsy: A comparison with general and epidural anesthesia. AANA J.
1991;59:533–537.
McCullough DL. Extracorporeal shock wave lithotripsy. In: Walsh PC, Retic AB, Stamey
TA, et al., editors. Campbell's Urology. Philadelphia: WB Saunders; 1992. pp. 2168–2177.
Chin CM, Tay KP, Lim PHC, et al. Use of patient‐controlled analgesia in extracorporeal
shockwave lithotripsy. Br J Urol. 1997;79:848–851.
Giusti G, Piccinelli A, Taverna G, et al. Miniperc? Tidak terima kasih! Eur Urol.
2007;51:810–815.
Zagoria RJ, Dyer RB. Do's and don'ts of percutaneous nephrostomy. Acad Radiol.
1999;6:370–377.
Howlader N, Noone A, Krapcho M, et al. SEER Cancer Statistics Review, 1975–2008.
Bethesda: National Cancer Institute; 2010. SEER data submission, posted on the SEER web
site, 2011.
Soulie M, Straub M, Game X, et al. A multicenter study of the morbidity of radical
cystectomy in select elderly patients with bladder cancer. J Urol. 2002;167:1325–1328.
Knap N, Lundbeck F, Overguard J. Early and late treatment‐related morbidity following
radical cystectomy. Scand J Urol Nephrol. 2005;39:153–160.
Jurczok A, Zacharias M, Wagner S, et al. Prospective non‐randomized evaluation of four
mediators of the systemic response after extraperitoneal laparoscopic and open retropu‐ bic
radical prostatectomy. BJU Int. 2007;99(6):1461–1466.
Rocco B, Matei DV, Melegari S, et al. Robotic vs open prostatectomy in a laparoscopi‐
cally naïve centre: a matched‐pair analysis. BJU Int. 2009;104(7):991–995.
Nicolaides AN, Breddin HK, Fareed J, Goldhaber S, Haas S, Hull R, et al. Cardiovascular
Disease Educational and Research Trust and the International Union of Angiology.
Prevention of venous thromboembolism. International Consensus Statement. Guidelines
compiled in accordance with the scientific evidence. 2001;20(1):1–37.
Kumar A, Anel R, Bunnell E, et al. Pulmonary artery occlusion pressure and central venous

189
pressure fail to predict ventricular filling volume, cardiac performance, or the response to
volume infusion in normal subjects. Crit Perawatan Med. 2004;32:691–699.
Maffezzini M, Campodonico F, Canepa G, et al. Current perioperative management of
radical cystectomy with intestinal urinary reconstruction for muscle‐invasive bladder cancer
and reduction of the incidence of postoperative ileus. Surg Oncol. 2008;17:41–48.
Van der Aa F, Joniau S, Van Den Dranden M, et al. Metabolic changes after urinary diver‐
sion. Adv Urol. 2011;2001:Article ID 764325, p. 5.
Mebust WK, Holtgrewe HL, Cockett ATK, Peters PC. Transurethral prostatectomy:
Immediate and postoperative complications‐a cooperative study of 13 participating
institutions evaluating 3,885 patients. J Urol. 2002;167:5–9.
Kim SY, Cho JE, Hong JY, Koo BN, Kim JM, Kil HK. Comparison of intrathecal fentanyl
and sufentanil in low‐dose dilute bupivacaine spinal anaesthesia for transurethral pros‐
tatectomy. Br J Anaesth. 2009;103:750–754.
Azar I. Transurethral prostatectomy syndrome and other complications of urological
procedures. In: McLeskey CH, editor. Geriatric Anesthesia. Edisi ke-1. Baltimore: Williams
& Wilkins; 1997. pp. 595–607.
Fitzpatrick JM, Mebust WK. Minimally invasive and endoscopic management of benign
prostatic hyperplasia. In: Walsh PC, editor. Campbell's Urology. Edisi ke-8. Philadelphia:
WB Saunders; 2002. pp. 1379–1422.
Hatch PD. Surgical and anaesthetic considerations in transurethral resection of the pros‐
tate. Anesth Intensive Care. 1987;15:203–211.
Swaminathan R, Tormey WP. Fluid absorption during transurethral prostatectomy. Br J
Urol. 1981;282:317.
Hawary A, Mukhtar K, Sinclair A, Pearce I. Transurethral resection of the prostate syn‐
drome: almost gone but not forgotten. J Endourol. 2009;23:2013–2020.
Jensen V. The TURP syndrome. Can J Anaesth. 1991;38:90–96.
Hahn RG. The transurethral resection syndrome. Acta Anaesthesiol Scand. 1991; 35:557–
1567.
Monk TG, Weldon BC. The renal system and anesthesia for urologic surgery. In: Barash
PG, Cullen BF, Stoelting RK, editors. Clinical anesthesia. Edisi ke-4. Philadelphia:
Lippincott, Williams & Wilkins; 2001. pp. 105–1033.
Sterns RH, Riggs JE, Schochet Jr SS. Osmotic demyelinization syndrome following cor‐
rection of hyponatremia. N Engl J Med. 1986;314:1535–1542.
Bevacqua BK. Continuous spinal anaesthesia: What's new and what's not. Best Pract Res

190
Clin Anaesthesiol. 2003;17:393–406.
Malhotra V, Sudheendra V, Diwan S. Anesthesia and the renal and genitourinary systems.
In: Miller R, editor. Miller's Anesthesia, vol. 54, 6th ed. Philadelphia: Churchill Livingstone;
2005. pp. 2175–2208.
Rassweiler J, Teber D, Rainer KR, Hofmann R. Complications of transurethral resection of
the prostate (TURP)‐incidence. Manage Prevent Eur Urol. 2006;50:969–980.
Herkommer K, Hofer C, Gschwend JE, Kron M, Treiber U. Gender and body mass index as
risk factors for bladder perforation during primary transurethral resection of bladder tumors. J
Urol. 2012;187:1566–1570.
Pahira JJ, Razack AA. In: Hanno PM, Malkowitz SB, Wein AJ, editors. Penn Clinical
Manual of Urology, Nephrolithiasis, 3rd ed. New York: McGraw Hill; 2001. pp. 231–252.
Duffty J, Hilditch G. Anaesthesia for urological surgery. Anaesth Intensive Care Med.
2009;10:307–312.
Junghans T, Modersohn D, Dorner F. Systemic evaluation of different approaches for
minimizing hemodynamic changes during pneumoperitoneum. Surg Endosc. 2006;20:763–
769.
Phong SVN, Kohl LKD. Anaesthesia for robotic‐assisted radical prostatectomy: con‐
siderations for laparoscopy in the Trendelenburg position. Anaesth Intensive Care.
2007;35(2):281–285.
Badawy M, Beique F, Al‐Halal H, et al. Anesthesia considerations for robotic surgery in
gynecologic oncology. J Robot Surg. 2011;5(4):235–239.
Samm BJ, Dmochowski RR. Urologic emergencies. Postgrad Med. 1996;100:187–200.
Denny Z, Levvett H. The effect of fluid optimization on outcome following major sur‐ gery.
Transfus Altern Transfus Med. 2002;4(3):75.
Metzner J, Posner KL, Lam MS, Domino KB. Closed claims' analysis. Best Pract Res Clin
Anaesthesiol. 2011;25:263–276.
Welch MB, Brummett CM, Welch TD, et al. Perioperative peripheral nerve injuries: A
retrospective study of 380,680 cases during a 10‐year period at a single institution.
Anestesiologi. 2009;111:490–497.
Weber ED, Colyer MH, Lesser RL, Subramanian PS. Posterior ischemic optic neuropathy
after minimally invasive prostatectomy. J Neuroophthalmol. 2007;27:285–287.
Ubee SS, Manikandan R, Athmanathan N, Singh G, Vesey SG. Compartment syndrome in
urological practice. BJU Int. 2009;104:577–578.
Cheney FW, Domino KB, Caplan RA, Posner KL. Nerve injury associated with anesthe‐

191
sia: A closed claims analysis. Anestesiologi. 1999;90:1062–1069.
Mizuno J, Yonenaga K, Arita H, Hanaoka K. Right median nerve injury following lapa‐
roscopic sigmoidectomy. Masui. 2008;57:752–755.
Pelosi P, Croci M, Calappi E, et al. The prone positioning during general anesthesia
minimally affects respiratory mechanics while improving functional residual capacity and
increasing oxygen tension. Anesth Analg. 1995;80:955–960.
Warner MA, Martin JT, Schroeder DR, Offord KP, Chute CG. Lower‐extremity motor
neuropathy associated with surgery performed on patients in a lithotomy position.
Anestesiologi. 1994;81:6–12.
Glenn J. Neural damage resulting from dorsal lithotomy positioning. Surg Rounds.
1981;4:42–46.
Kroll DA, Caplan RA, Posner K, Ward RJ, Cheney FW. Nerve injury associated with
anesthesia. Anestesiologi. 1990;73:202–207.
Rupp‐Montpetit K, Moody ML. Visual loss as a complication of non‐ophthalmic sur‐ gery:
A review of the literature. Wawasan. 2005;30:10–17.
De Keulenaer BL, De Waele JJ, Powell B, Malbrain ML. What is normal intra‐abdominal
pressure and how is it affected by positioning, body mass and positive end‐expiratory
pressure? Perawatan Intensif Med. 2009;35:969–976.

192

Anda mungkin juga menyukai