Anda di halaman 1dari 18

ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI PADA KONDISI EMERGENCY

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Anestesi III


Dosen Pembimbing: Harmilah

Disusun Oleh :
1. Siti Nurhaliza P07120216004
2. Novia Andriyani P07120216006
3. Arinadya Hanifa P. P P07120216013
4. Noka Roji Mamola P07120216037

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES YOGYAKARTA
JURUSAN KEPERAWATAN
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pasien yang membutuhkan anestesi untuk operasi gawat darurat akan lebih
sulit bagi ahli anestesi yang harus mempersiapkan dan menanggulangi masalah
yang ada, karena pasien tidak dipersiapkan lebih dahulu dan tidak dalam keadaan
ideal. Pada umumnya masalah yang dihadapi oleh dokter anestesi pada kasus
emergency antara lain: keterbatasan waktu untuk mengevaluasi pra anesthesia
yang lengkap, pasien sering dalam keadaan takut dan gelisah, lambung sering
berisi cairan dan makanan, sistem hemodinamik terganggu, keadaan umum yang
buruk, menderita cedera ganda atau multiple, kelainan yang harus dibedah
kadang-kadang belum diketahui dengan jelas (diagnosa belum tegak), riwayat
kesehatan sebelum sakit tidak diketahui, komplikasi yang ada kadang-kadang
tidak dapat diobati dengan baik sebelum pembedahan. Keadaan terakhir ini yang
sering menyebabkan mortalitas pasien bedah darurat menjadi lebih tinggi
dibandingkan dengan bedah elektif ± sekitar 8x lebih besar (Imarengiaye, 2005).
Keadaan patologis yang mungkin ada misalnya, kekurangan cairan harus
ditanggulangi dengan cepat sebelum anestesi tetapi apabila terdapat infeksi
misalnya, infeksi dada maka penanggulangan dilakukan dalam waktu terbatas
karena apabila terlalu lama akan mengganggu kondisi pasien. Pasien yang sakit
berat dengan sirkulasi yang buruk dapat menerima obat dalam dosis yang lebih
kecil terutama hati-hati terhadap obat yang diberikan secara intravena dan
anestesi lokal, biasanya makin berat keadaan pasien makin besar resiko yang
berhubungan dengan anestesi spinal sehingga dipilih anestesi umum.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian anestesi pada kondisi emergency
2. Bagaimana masalah anestesi pada kondisi emergency
3. Bagaiaman kondisi penyulit pelaksanaan anestesi pada kondisi emergency
4. Bagaimana penatalaksanaan anestesi pada kondisi emergency

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian anestesi pada kondisi emergency
2. Mengetahui masalah anestesi pada kondisi emergency
3. Mengetahui kondisi penyulit pelaksanaan anestesi pada kondisi emergency
4. Mengetahui penatalaksanaan anestesi pada kondisi emergency

BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan nyeri secara sentral
disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversibel).
Komponen anestesi yang ideal yaitu terdiri dari, hipotonik, analgesik dan
relaksasi otot. Metode anestesi umum dapat dilihat dari cara pemberian obat,
yaitu secara inhalasi dan intravena.
Anestesia pada kasus bedah darurat adalah tindakan anestesia
analgesia yang diberikan pada pasien yang menjalani pembedahan darurat
akibat penyakit bedah yang dideritanya secara mendadak (Gde Mangku,
2010). Berdasarkan ancaman kegawatan yang diderita pasien, kasus penyakit
bedah darurat dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Bedah darurat absolute
Bedah darurat absolute adalah bedah darurat yang mengancam keselamatan
jiwa atau anggota badan akibat kelainan atau gangguan anatomi dan fungsi
organ vital yang harus segera dikerjakan dalam kurun waktu kurang dari
satu jam setelah diagnosis ditegakkan. Penundaan pembedahan akan
membahayakan jiwa atau menyebabkan kehilangan anggota badan.
2. Bedah darurat relatif
Bedah darurat relatif adalah kasus bedah darurat yang tidak mengancam
nyawa atau keselamatan anggota badan akibat kelainan atau gangguan
anatomi dan atau fungsi organ yang harus dikerjakan dalam kurun waktu
kurang dari 6 jam setelah diagnosis ditegakkan.
Kasus penyakit bedah darurat dipertimbangkan untuk ditunda tindakan
pembedahannya apabila disertai dengan penyakit sistemik yang mengancam
jiwa pasien yaitu status asmatikus, dekompensasi kordis, dan stadium
terminal dari penyakit yang dideritanya.

B. Masalah Anestesi pada Kondisi Emergency


Pada anestesi dengan kondisi emergency, sering terjadi beberapa
masalah dalam melakukan asuhan keperawatan, antara lain:
1. Waktu yang tersedia untuk melakukan evaluasi dan persiapan pra
anesthesia atau bedah sangat terbatas.
2. Masalah yang dijumpai tidak menentu dan setiap saat bisa berubah.
3. Koreksi yang dilakukan pada fase praoperatif tidak adekuat karena
keterbatasan faktor penunjang baik medis maupun non medis.
4. Pengosongan lambung terlambat.
5. Psikologis pasien dan keluarga belum siap.
6. Diagnosis dan tindakan bedah sering tidak menentu akibat dari faktor-
faktor nomor 1, 2, dan 3 di atas (Gde Mangku, 2010).

C. Kondisi Penyulit Pelaksanaan Anestesi pada Kondisi Emergency


1. Lambung penuh
Aspirasi isi lambung ketika induksi anestesi atau ketika akan sadar
kembali harus dicegah. Waktu pengosongan akan memanjang oleh
makanan berlemak tinggi (8—10 jam), gangguan emosional, dan obat
narkotik. Interval waktu antara makan terakhir dengan mulainya sakit
tersebut timbul sangat penting sebab lambung akan berhenti bekerja
disaat timbul nyeri. Hiperventilasi atau gangguan pernafasan,
menyebabkan pasien menelan udara sehingga perut menjadi kembung,
hal tersebut memudahkan terjadinya regurgitasi atau refleks muntah.
Sekalipun telah dipasang NGT, pengosongan lambung secara sempurna
melalui NGT tidak terjamin.
Wanita dalam proses partus harus dianggap mengalami lambung
penuh. Partus, rasa nyeri dan takut memperpanjang waktu pengosongan
lambung. Partus yang lama menyebabkan jumlah cairan lambung
bertambah. Isi perut terdorong ke arah kepala, menekan sfingter kardia
dan menyebabkan regurgitasi atau muntah (Brown, 2010).
Pasien dalam keadaan koma atau setengah sadar, mudah
mengalami aspirasi. Bila akan melakukan tindakan menguras lambung,
maka jalan pernafasan harus diamankan terlebih dahulu dengan ET yang
ber-cuff. Sekalipun ada reflek batuk, hal ini tidak mampu menjamin
perlindungan terhadap aspirasi. Posisi kepala juga tidak boleh dinaikan
(head up) karena dapat menyebabkan gravitational gradien dari faring ke
paru (Bernards, 2006).
Terdapat tiga cara untuk mengatasi masalah lambung penuh dan
aspirasi selama anestesi, antara lain :
a. Induksi inhalasi dengan kepala diekstensikan ke belakang dan
penderita dimiringkan. Cara ini sudah kuno tapi merupakan metode
yang baik untuk dicoba dan masih berguna, terutama jika penderita
dalam keadaan mendekati ajal. Cara ini banyak digunakan sebelum
dikenalnya relaksan otot, tetapi meningkatkan bahaya regurgitasi
pasif.
b. Intubasi secara sadar di bawah anestesi lokal. Cara ini dahulu
banyak digunakan di Amerika Serikat, tetapi menjadi tidak nyaman
bagi penderita yang tidak ditolong oleh seorang pakar.
c. Induksi cepat secara berurutan, metode yang hampir secara

universal dipraktikkan di Inggris. Praoksigenasi, induksi intravena,


relaksasi dengan suksametonium, intubasi. Induksi berurutan cepat,
sekarang kadang-kadang disertaidengan penekanan krikotiroid
(perasat Selick) untuk menghalangi terbukanya esofagus (Brown,
2010).
Beratnya efek dari aspirasi isi lambung ditentukan oleh:
a. pH cairan (makin asam makin berat pneumoninya)
b. Volume cairan
c. Partikel-partikel dari cairan aspirasi
Tatalaksana aspirasi isi lambung :
a. Head down pasien
b. Segera intubasi, dihisap bersih dan ventilasi positif.
c. Bronkhi dibilas dengan larutan garam steril, 3 - 5 cc dan diventilasi,
selanjutnya dihisap ulang sampai bersih.
d. Antibiotika berspektrum luas
e. Bila terdapat spasme bronkhial. Beri hidrokortison 1 gr IV; Aminofilin

240 mg dilarutkan dengan 250 cc 5% D/W diberikan pelan secara


intravena dan segera dihentikan bila timbul aritmia atau hipotensi.
f. Foto rontgen toraks segera dilakukan apabila dicurigai adanya
aspirasi. Diulang 6 - 8 jam kemudian bila yang hasil foto rontgen yang
pertama negatif. Hal tersebut perlu dilakukan karena ada
kemungkinan terdapat delayed aspirasi dan terjadinya akut pneumonia
(Morgan, 2005).

2. Hipotensi
Hipotensi adalah penurunan 30 - 35% dari MAP normal. Sebab-
sebab hipotensi :
a. Hipovolemia
b. Shock kardiogenik
c. Shock neurogenik
d. Sepsis
e. Hipofungsi atau kegagalan adrenal
f. Kelainan metabolik (misalnya koma diabetikum).
Sebagian besar penderita bedah darurat mengalami gangguan
hemodinamik berupa perdarahan atau fluid loss. Secara umum
kehilangan darah 10% dari Estimated Blood Volume dapat ditolerir
tanpa perubahan-perubahan yang serius (EBV dewasa 75cc/kg BB),
anak < 2 th (80 cc/kg BB). Kehilangan > 10% memerlukan penggantian
berupa Ringer Laktat. Batas penggantian darah dengan Ringer Laktat
adalah sampai Kehilangan 20% EBV atau Hematokrit 28% atau
Hemoglobin ± 8 gr%. Jumlah cairan masuk harus 2- 4 x jumlah
perdarahan. Cara ini bukan untuk menggantikan transfusi darah, tetapi
untuk:
a. Tindakan sementara, sebelum darah datang
b. Mengurangi jumlah transfusi darah sejauh transpor oksigen masih
memadai.
c. Menunda pemberian transfusi darah sampai saat yang lebih baik
(misalnya pemberian transfusi perlahan-lahan/postoperatif setelah
penderita sadar, agar observasi lebih baik jikalau terjadi reaksi
transfusi)
Cairan Ringer Laktat mengembalikan sequestrasi/third space loss
yang terjadi pada waktu perdarahan/shock. Jumlah darah yang hilang tidak
selalu dapat diukur namun dengan melihat akibatnya pada tubuh penderita.
Jumlah darah yang hilang dapat diperkirakan sebagai berikut:
a. Preshock : kehilangan s/d 10%
b. Shock ringan : kehilangan 10 - 20%. Tekanan darah turun, nadi naik,
perfusi dingin, basah, pucat.
c. Shock sedang : kehilangan 20 - 30%. Tekanan darah turun sampai 70
mmhg. Nadi naik sampai diatas 140. Perfusi buruk, urine berhenti.
d. Shock berat : kehilangan lebih dari 35% : tekanan darah sampai tak
terukur, nadi sampai tak teraba.
Untuk fluid lose pada kasus-kasus abdomen akut diberikan Ringer
Laktat dengan pedoman berkurangnya volume cairan intertisial
menyebabkan terjadinya tanda-tanda intertisial yaitu : turgor kulit jelek,
mata cekung, ubun-ubun cekung, selaput lendir kering. Berkurangnya
volume plasma menyebabkan terjadinya tanda-tanda plasma yaitu,
takhikardia, oli-guria, hipotensi, shock (Brown, 2010).
Sedangkan kehilangan darah pada patah tulang tertutup dapat
diestimasi sebagai berikut :
a. Fraktur dari telapak kaki dengan sedikit bengkak 250-500 ml.
b. Fraktur bagian bawah dari kaki dengan sedikit bengkak 500 - 1000
ml.
c. Fraktur tungkai femur 500 - 2000 ml.
d. Fraktur persendian patella sampai 2000 ml.
e. Fraktur antebrakhii 500 - 750 ml.
f. Fraktur humerus dan bahu sampai 2000 ml.

3. Gagal Nafas
Sebab-sebab mekanik dan masalah pernafasan :
a. Jalan pernafasan bagian atas
1) Trauma yang mengenai jaringan lunak dan jaringan tulang dari
muka dapat menyebabkan obstruksi mekanis dari pernafasan.
Bila ada keraguan pada kemampuan mempertahankan airway
sewaktu diinduksi, maka pasien tersebut harus diintubasi dalam
kondisi sadar.
2) Fraktur dari bagian tengah muka berbahaya karena terdapat
kemungkinan fraktur ethmoidalis. Sedapat mungkin dihindari
intubasi nasal, sebab tube nasal mampu menyebarkan infeksi
ke dalam otak. Juga terdapat kemungkinan masuknya NGT
melalui fraktur ethmoidalis ke dalam jaringan otak.
3) Kanul penghisap sangat penting terutama ketika dilakukan
intubasi pada pasien dengan trauma fasial ataupun intra-oral.
4) Trauma pada muka terkadang berhubungan dengan trauma
pada laring
5) Aspirasi korpus alienum. Pada pasien dewasa yang kooperatif,
untuk melakukan bronkhoskopi cukup dengan anestesia topikal
saja, karena lebih mudah melakukan inspeksi airway serta
mengurangi risiko pendorongan corpus alienum masuk lebih
dalam ke trakheobronkhial. Selain itu perlu diberikan
oksigenisasi yang cukup tinggi, apabila korpus alienum
menyumbat bagian bronkhus besar untuk menjaga kecukupan
oksigenasi.
Obstruksi jalan napas sering disebabkan oleh laserasi,
sekresi, benda asing, fraktur, atau sumbatan jaringan pada pasien
yang tidak sadar. Intrervensi awal meliputi oksigen supplemental,
head tilt chin lift, jaw thrust, pembersihan orofaring dan
pamasangan jalan napas oral atau nasal. Ventilasi harus dibantu
jika diperlukan dengan menggunakan ambu bag serta imobilisasi
spinal cervical.
Sianosis kadang sulit untuk dideteksi pada pasien yang
anemis, hipovolemik dan pasien yang berpigmen kulit gelap.
Pulse oxymetri sering diperlukan untuk menilai oksigenasi dan
analisis gas darah arterial harus segera dilakukan jika terdapat
kecurigaan gangguan gas darah (Bernards, 2006). Bila diperlukan
anestesi umum, harus disiapkan beberapa ukuran ET. Biasanya
dibutuhkan juga ukuran yang lebih kecil.
b. Thoraks dan isinya
1) Trakhea yang sobek, kontusio pulmonum dan pneumothoraks
adalah keadaan emergency yang berhubungan dengan trauma
tumpul terhadap thoraks atau trauma tembus tajam. Endotrakheal
tube harus dimasukkan melalui sobekan trakhea kemudian cuff
dikembangkan untuk mengamankan jalan nafas. Bila kontusionya
berat maka tube seperti Robert Shaw atau Carlens diperlukan
untuk mengisolasi paru yang rusak, mencegah masuknya benda
asing ke dalam paru yang sehat, atau untuk mengempiskan paru
sewaktu proses perbaikan.
2) Pneumothoraks
Dengan auskultasi, x-ray thoraks, inspeksi gerakan pernafasan
dan adanya/bertambahnya emfisema subkutan, keluhan sesak
nafas dan sianosis dari pasien dapat digunakan sebagai diagnosa
prabedah. Sedangkan pada intraoperatif bila didapatkan nadi
yang kecil, takiaritmia, hipoksia, compliance paru yang
berkurang dan kemudian bertambahnya emfisema subkutan;
semua ini menunjukkan kemungkinan adanya pneumothoraks.
Perlu dilakukan monitoring dengan stetoskop yang ditempelkan
di kiri-kanan thoraks selama operasi (Bernards, 2006).
4. CNS (Central Nervous System)
a. Medula spinalis
Pasien dengan trauma akut berupa kompresi medula spinalis di
bagian leher membutuhkan posisi yang sangat stabil. Leher harus
distabilisasi dengan penunjang leher (neck collar) untuk
menghindari paralisis permanen. Apabila pasien kooperatif, minta
kepada pasien untuk menggerakkan kepala dan lehernya sampai
posisi pasien merasa tidak nyaman. Hal ini akan memberikan
informasi pada ahli anestesi sampai posisi mana yang
diperbolehkan dalam menggerakan leher pasien, bila pasien sudah
ditidurkan. Perubahan posisi pasien dengan kemungkinan kerusakan
medula spinalis harus dilakukan secara perlahan, hati-hati dan
dilakukan oleh cukup orang supaya lancar dan dapat mencegah
terjadinya tekanan yang tidak perlu terhadap medula spinalis.
Suksinilkolin harus dihindari karena penggunaannya dapat
menyebabkan fasikulasi. Bila terdapat tekanan ICP meninggi, maka
obat-obat depolarizer (suksinilkolin) hanya boleh dipakai apabila
didahului dengan sedikit obat non depolarizing
b. Penyakit dan trauma intrakranial
Perhatian utama pada hal ini adalah menghindari bertambahnya
ICP. ICP dapat meningkat oleh :
1) Posisi kurang tepat dari pasien.
Obstruksi dari venous return akan meninggikan tekanan CSF.
2) Fasikulasi oleh obat depolarisasi.
3) Hiperkapnia oleh karena vasodilatasi serebral.
4) Penggunaan N2O
5) Pasien mengejan atau bergerak sebelum kranium terbuka.
6) Hidrasi yang berlebihan (Longnecker, 2008).

5. Kelainan Asam Basa


Kelainan asam basa yang paling banyak dialami pada pasien bedah
darurat adalah asidosis metabolik maupun respirasi. Asidosis respiratorik
sering terjadi pada keadaan hipoventilasi yang ditandai dengan
penurunan kesadaran, atelaktasis, pneumothorax dan kontusio pulmoner.
Penempatan ventilasi mekanik atau bantuan jalan napas definitive
dengan cukupnya ventilasi semenit akan memperbaiki kejadian asidosis
respiratorik.
Asidosis metabolic (pH<7,35, HCO3<21 mEq) sering disebabkan
oleh curah jantung yang rendah akibat hipovolemia dan perdarahan.
Pengecualian antara lain kontusi jantung, tamponade atau pneumothorax
tekan yang dapat mengakibatkan penurunan curah jantung dengan
volume intravaskuler yang realatif normal. Pertimbangan lain
diantaranya asidosis laktat alkoholik atau ketoasidosis, ketoasidosis
diabetic, dan cidera termal akibat karbonmonoksida. Untuk membedakan
ketiga etiologi tersebut dibutuhkan pemeriksaan laktat serum, kadar
keton urin, glukosa darah, dan monitoring volume intravaskuler.
Keparahan dari asidosis dapat dinilai dari pemeriksaan gas darah arterial,
bikarbonat serum, dan defisit basa. Pada defisit basa -10mEq, efek
kardiovaskuler menjadi bukti, termasuk disritmia, penurunan
kontraktilitas jantung, peningkatan resistensi vaskuler pulmoner,
hipotensi dan resistensi dari katekolamin eksogen. Kadar -14 mEq atau
lebih mengindikasikan hipovolemi yang parah. Tingginya kadar laktat
serum meyakinkan adanya aktivitas anaerobik dan asam laktat, namun,
nilai ini dapat membaik secara perlahan setelah dilakukannya koreksi
pH.
Terapi definitif untuk asidosis metabolik membutuhkan koreksi dari
etiologi yang mendasarinya. Langkah awal meliputi penatalaksanaan
hypoxemia, ekspansi volume intravaskuler, memperbaiki kapasitas
pengangkutan oksigen, dan memaksimalisasi kerja jantung.
Terdapat perdebatan pendapat menganai penggunaan natrium
bikarbonat pada kasus asidosis metabolik yang parah. Pendekatan
tradisional adalah pemberian natrium bikarabonat jika pH menurun di
bawah 7,2. Hal ini didasarkan pada konsep bahwa alkalinisasi akan
memperbaiki hemodinamik sistemik, dan akan merespon katekolamin.
Hanya ada sedikit data yang mendukung penggunaan natrium bikarbonat
ini untuk mengatasi asidosis laktat, dan tidak ada penelitian yang
menunjukkan adanya perbaikan hasil. Pada penelitian dengan model
binatang, natrium bikarbonat dapat sementara meningkatkan tekanan
darah sistemik dan pH, namun pH intraseluler tidak dapat diperbaiki.
Asidosis bahkan dapat memburuk dangan perubahan enzimatik pada
natrium bikarbonat, dan meningkatkankan kadar PaCO2. Ventilasi
mekanis dan aliran darah pulmoner yang adekuat sangatlah penting
untuk mengatasi peningkatan PaCO2 ini dan natrium bikarbonat harus
digunakan dengan hati-hati pada pasien yang tidak mendapatkan bantuan
ventilasi. Pergeseran ke kiri pada kurva disosiasi oksihemoglobin yang
menurunkan distribusi oksigen jaringan merupakan kerugian dari
natrium bikarbonat, dan dapat memperburuk hipoksemia. Hipernatremia,
yang disebabkan oleh keadaan hiperosmoolar, serta hiperkalemia,
merupakan faktor berbahaya lain dari pemberian natrium bikarbonat.
Meskipun data pendukung yang tersedia sedikit, natrium bikarbonat
masih secara luas digunakan sebagai penanganan sementara sebelum
etiologi yang mendasari dapat dipastikan. Pengukuran defisit basa tubuh
total ((berat badan/kg x 0,3 x (24-HCO3)):2) dapat menjadi panduan
terapi. Setengah dari defisit ini dikoreksi di awal dan diikuti oleh
pengukuran gas darah ulangan (Bernards, 2006).

D. Penatalaksanaan Anestesi pada Kondisi Emergency


Terdapat empat penatalaksanaan anestesi pada kondisi emergency
menurut Gde Mangku (2010), yaitu:
1. Evaluasi
a. Evaluasi prabedah dilakukan segera sebelum pembedahan dan

kadang-kadang saat pasien didorong ke meja operasi. Penilaian harus


mengikuti prinsip triage yaitu Airway control and cervical spine
control, oksigenasi dan ventilasi, pertahankan stabilitas hemodinamik
termasuk pengendalian aritmia jantung dan perdarahan, evaluasi
problem medis dan cedera lain, serta harus dilakukan observasi dan
monitoring terus menerus sampai menjelang operasi. Tindakan sedini
mungkin memperbaiki ventilasi/ oksigenasi (kalau perlu dengan
intubasi dan ventilasi kendali) dan gangguan sirkulasi pasien bedah
darurat sangatlah vital karena tindakan ini akan menentukan prognosa
pasien. Trauma sering menyebabkan hipoksemia yang tidak langsung
berhubungan dengan kelainan yang harus dibedah secara darurat
misalnya trauma kepala, dada muka, leher, syok, sepsis dan
sebagainya. Resusitasi pada trauma meliputi 2 fase, yaitu kontrol
perdarahan dan perawatan luka. Evaluasi awal harus meliputi tiga
komponen, yaitu penilaian cepat, survey primer dan survey sekunder.
1) Penilaian cepat
Fase ini harus mengambil waktu beberapa detik saja dan harus
dapat menentukan apakah pasien stabil, tidak stabil, meninggal
atau kritis.
2) Evaluasi
Evaluasi segera dilakukan waktu penderita datang (primary
survey) dalam waktu 2-5 menit, yaitu menilai :
A: Airway = jalan nafas
B: Breathing = pernafasan
C: Circulation = sirkulasi
D: Disability = kecacatan
E: Exposure = paparan (Morgan, 2006)
atau ada juga pembagian primary survey yang lain, yaitu :
B — 1 : Breath = pernafasan
B — 2 : Bleed = hemodinamik
B — 3 : Brain = otak dan kesadaran
b. Pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan:
1) Pada operasi besar
a) Darah rutin, Hb, Ht, leokosit, trombosit, waktu, perdarahan
dan pembekuan.
b) Kimia darah, gula darah, ureum, dan kreatinin serum, protein
dan kalau mungkin periksa elektrolit dan analisis gas darah.
c) Reduksi dan protein urin
d) Pemeriksaan lain terkait dengan penunjang penyakit dalam
atau bedah.
2) Pada operasi sedang
a) Darah rutin
b) Reduksi rutin
c) Pemeriksaan lain terkait dengan penunjang diagnostik
bidang penyakit dalam atau bedah.
3) Pada operasi ringan dan rawat jalan
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan sesuai dengan indicator
bidang penyakit dalam/bedah.
c. Pemeriksaan radiologis: sesuai dengan indikasi
d. Konsultasi kepada disiplin atau bidang penyakit lain yang terkait
dengan masalah yang dijumpai.

2. Persiapan Pra Anestesia


a. Persiapan rutin
b. Persiapan khusus
1) Koreksi keadaan patologis yang dijumpai, disesuaikan dengan
kesempatan yang tersedia, terutama koreksi terhadap masalah-
masalah oksigenasi dan stabilisasi hemodinamik.
2) Pencegahan bahaya aspirasi asam lambung
a) Berikan obat antagonis reseptor H2 secara intravena 5-10

menit atau intramuscular 30-45 sebelum induksi.


b) Berikan antasid peroral 30-45 menit pra induksi.
3) Upaya pengosongan lambung dengan memasang pipa nasogastrik
dan dihisap secara berkala.
c. Premedikasi sesuai dengan kebutuhan
1) Pasien koma, tidak perlu premedikasi
2) Pasien stress dan kesakitan, berikan sedative dan analgetik
narkotik intravena atau intramuscular dengan dosis disesuaikan
3) Anti kholinergik diberikan apabila tidak ada indikasi kontra,
seperti demam dan takikardi
4) Pasien rawat jalan, tidak perlu premedikasi
d. Infus
1) Pada pasien dengan status fisik 1-2 yang direncanakan operasi
ringan sampai sedang, berikan cairan kristaloid.
2) Pada pasien yang menderita dehidrasi atau goncangan
hemodinamik, berikan cairan koreksi sesuai dengan kebutuhan.
Kalau perlu dipasang kateter yang sentral untuk memantau terapi
cairan yang diberikan
3) Pada pasien rawat jalan, tidak perlu dipasang.

3. Pilihan anestesi dan reanimasi


a. Analgesia regional disesuaikan dengan indikasi
b. Anestesi umum
1) Intravena hipnotik untuk reposisi dan dilatasi kuretase
2) Intravena deazepam-ketamin diberikan sesuai indikasi apabila

puasanya cukup memadai


3) Inhalasi (balans) PET nafas kendali, dengan pertimbangan
lambung penuh terutama pada oprasi didaerah kepala leher, dada
dan perut atau dengan posisi khusus (miring atau tengkurap) dan
durasi operasi yang lama
Penatalaksanaan:
a) Lakukan prekurarisasi dengan obat pelumpuh otot non
depolarisasi seperempat dari dosis lazim untuk mencegah
vasikulasi otot rangka dan peningkatan tekanan intra gastrik.
b) Preoksigenasi dengan oksigen 100% selama 3 sampai 5 menit.
c) Induksi dengan teknik “head up crush intubation” (posisi kepala
lebih tinggi) mempergunakan obat hipnotik intravena atau
ketamin sesuai dengan indikasi.
d) Setelah pasien tertidur, lakukan manuver “sellick” dengan
menekan tulang krikoid ke posterior untuk mencegah regurgitasi
sampai terpasang PET dan balonnya sudah dkembangkan dengan
udara
e) Berikan suksinilkholin 1-2 mg/kgbb intravena secara cepat
f) Lanjutkan oksigenasi sampai pasien henti nafas dan tidak boleh
melakukan ventilasi tekanan positif
g) Lakukan laringoskopi dilanjutkan dengan intubasi PET.
h) Balon/kaf PET segera dikembangkan dan lepaskan manufer
sellick’s
i) Hubungkan PET yang telah terpasang dengan mesin anestesi
dan berikan nafas buatan.
j) Pemeliharaan anestesi dilakukan dengan inhalasi atau balans
dan nafas kendali
k) Pemulihan dilakukan sesuai dengan tata laksana pemulihan
anestesi umum PET nafas kendali
l) Ekstubasi PET dilakukan bila pasien sudah sadar, bernafas
spontan adekuat dan jalan nafas bersih
m) Waspaidai terhadap kemungkinan terjadinya regurgitasi atau
muntah pasca ekstubasi
n) Pada kasus-kasus resiko tinggi tidak dilakukan ekstubasi PET dan
pasien langsung dikirim keruang terapi intensif untuk terapi lebih
lanjut
c. Pemantauan selama operasi
1) Sesuai dengan standar pemantauan dasar intra operatif
2) Apabila dianggap perlu dipasang kateter vena sentral untuk
memantau terapi cairan dan status hemodinamik
d. Terapi cairan dan transfusi darah selama operasi
1) Pada pasien dengan status fisik ASA 1-2 yang tidak disertasi
dengan perdarahan pra operatif:
a) Berikan cairan kristaloid atau kombinsi dengan koloid,
apabila terjadi perdarahan <20% dari perkiraan volume darah
pasien
b) Berikan transfusi darah bila perdarahan yang terjadi >20%
dari perkiraan volume darah pasien, apalagi perdarahan
masih teteap berlangsung
2) Pada pasien resiko tinggi yang disertai dehidrasi, goncangan
hemodinamik, perdarahan dan anemia pra bedah program terapi
cairan dan transfusi yang telah dikerjakan dilanjutkan dengan
pemantauan tekanan vena sentra selama pembedahan

4. Pasca Anestesi
a. Pasien dengan status fisik ASA 1-2 dirawat diruang pulih sesuai
dengan tata laksana pasca anestesi
b. Perhatian ditunjukkan pada kemungkinan terjadinya muntah atau
regurgitasi yang dapat menimbulkan aspirasi
c. Pasca blok subarakhnoid perhatian ditunjukkan pada perangai
hemodinamik
d. Pasien boleh dikembalikan atau dikirim keruangan apabila sudah
memenuhi kriteria pemulihan
e. Pasien resiko tinggi yang disertai dengan koma, guncangan
hemodinamik dan ancaman gagal nafas dirawat diruang terapi
intensif untuk perawatan terapi lebih lanjut.
Pasien yang memerlukan operasi darurat biasanya lambungnya
penuh. Pada pasien trauma pengosongan lambung akan berhenti setelah
trauma. Pasien dengan penyakit intra-abdomen dan pasien hamil harus
diperkirakan bahwa lambungnya penuh dengan konsentrasi asam
lambung yang tinggi, jika isi lambung masuk ke dalam paru-paru selama
anestesi maka akan menimbulkan cidera berat yang dapat menyebabkan
kematian. Maka jika sudah diperkirakan akan terjadi aspirasi sebaiknya
dilakukan pencegahan. Pasanglah balon pipa endotrakhea selama
anestesi umum. Tujuan anestesi adalah memasang intubasi secepat dan
semulus mungkin sehingga aspirasi dapat dicegah.
DAFTAR PUSTAKA

Bernards, C.M. 2006. Epidural and Spinal Anesthesia. Dalam : Barash Clinical
Anesthesiology, 5th ed., edited by Barash, P.G., Cullen, B.F., Stoelting, R.K.,
Lippincott Williams and Wilkins, hal. 318-332.

Brown, D.L. 2010. Spinal, Epidural and Caudal Anesthesia. Dalam : Miller’s
Anesthesia, 7th edition, edited by Miller, R.D., Churchill Livingstone
Elsevier, hal. 734-762.

Mangku, G. dan Senapathi, I.G.A. 2010 Buku Ajar Ilmu Anastesi dan Reanimasi.
Jakarta: Indeks Jakarta.

Morgan, G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J., 2005. Geriatri Anesthesia. Dalam :
Morgan, G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J. Clinical Anesthesiology,
4thedition, McGraw Hill, Hal. 951-958.

Anda mungkin juga menyukai