Disusun Oleh :
1. Siti Nurhaliza P07120216004
2. Novia Andriyani P07120216006
3. Arinadya Hanifa P. P P07120216013
4. Noka Roji Mamola P07120216037
A. Latar Belakang
Pasien yang membutuhkan anestesi untuk operasi gawat darurat akan lebih
sulit bagi ahli anestesi yang harus mempersiapkan dan menanggulangi masalah
yang ada, karena pasien tidak dipersiapkan lebih dahulu dan tidak dalam keadaan
ideal. Pada umumnya masalah yang dihadapi oleh dokter anestesi pada kasus
emergency antara lain: keterbatasan waktu untuk mengevaluasi pra anesthesia
yang lengkap, pasien sering dalam keadaan takut dan gelisah, lambung sering
berisi cairan dan makanan, sistem hemodinamik terganggu, keadaan umum yang
buruk, menderita cedera ganda atau multiple, kelainan yang harus dibedah
kadang-kadang belum diketahui dengan jelas (diagnosa belum tegak), riwayat
kesehatan sebelum sakit tidak diketahui, komplikasi yang ada kadang-kadang
tidak dapat diobati dengan baik sebelum pembedahan. Keadaan terakhir ini yang
sering menyebabkan mortalitas pasien bedah darurat menjadi lebih tinggi
dibandingkan dengan bedah elektif ± sekitar 8x lebih besar (Imarengiaye, 2005).
Keadaan patologis yang mungkin ada misalnya, kekurangan cairan harus
ditanggulangi dengan cepat sebelum anestesi tetapi apabila terdapat infeksi
misalnya, infeksi dada maka penanggulangan dilakukan dalam waktu terbatas
karena apabila terlalu lama akan mengganggu kondisi pasien. Pasien yang sakit
berat dengan sirkulasi yang buruk dapat menerima obat dalam dosis yang lebih
kecil terutama hati-hati terhadap obat yang diberikan secara intravena dan
anestesi lokal, biasanya makin berat keadaan pasien makin besar resiko yang
berhubungan dengan anestesi spinal sehingga dipilih anestesi umum.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pengertian anestesi pada kondisi emergency
2. Bagaimana masalah anestesi pada kondisi emergency
3. Bagaiaman kondisi penyulit pelaksanaan anestesi pada kondisi emergency
4. Bagaimana penatalaksanaan anestesi pada kondisi emergency
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian anestesi pada kondisi emergency
2. Mengetahui masalah anestesi pada kondisi emergency
3. Mengetahui kondisi penyulit pelaksanaan anestesi pada kondisi emergency
4. Mengetahui penatalaksanaan anestesi pada kondisi emergency
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan nyeri secara sentral
disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversibel).
Komponen anestesi yang ideal yaitu terdiri dari, hipotonik, analgesik dan
relaksasi otot. Metode anestesi umum dapat dilihat dari cara pemberian obat,
yaitu secara inhalasi dan intravena.
Anestesia pada kasus bedah darurat adalah tindakan anestesia
analgesia yang diberikan pada pasien yang menjalani pembedahan darurat
akibat penyakit bedah yang dideritanya secara mendadak (Gde Mangku,
2010). Berdasarkan ancaman kegawatan yang diderita pasien, kasus penyakit
bedah darurat dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Bedah darurat absolute
Bedah darurat absolute adalah bedah darurat yang mengancam keselamatan
jiwa atau anggota badan akibat kelainan atau gangguan anatomi dan fungsi
organ vital yang harus segera dikerjakan dalam kurun waktu kurang dari
satu jam setelah diagnosis ditegakkan. Penundaan pembedahan akan
membahayakan jiwa atau menyebabkan kehilangan anggota badan.
2. Bedah darurat relatif
Bedah darurat relatif adalah kasus bedah darurat yang tidak mengancam
nyawa atau keselamatan anggota badan akibat kelainan atau gangguan
anatomi dan atau fungsi organ yang harus dikerjakan dalam kurun waktu
kurang dari 6 jam setelah diagnosis ditegakkan.
Kasus penyakit bedah darurat dipertimbangkan untuk ditunda tindakan
pembedahannya apabila disertai dengan penyakit sistemik yang mengancam
jiwa pasien yaitu status asmatikus, dekompensasi kordis, dan stadium
terminal dari penyakit yang dideritanya.
2. Hipotensi
Hipotensi adalah penurunan 30 - 35% dari MAP normal. Sebab-
sebab hipotensi :
a. Hipovolemia
b. Shock kardiogenik
c. Shock neurogenik
d. Sepsis
e. Hipofungsi atau kegagalan adrenal
f. Kelainan metabolik (misalnya koma diabetikum).
Sebagian besar penderita bedah darurat mengalami gangguan
hemodinamik berupa perdarahan atau fluid loss. Secara umum
kehilangan darah 10% dari Estimated Blood Volume dapat ditolerir
tanpa perubahan-perubahan yang serius (EBV dewasa 75cc/kg BB),
anak < 2 th (80 cc/kg BB). Kehilangan > 10% memerlukan penggantian
berupa Ringer Laktat. Batas penggantian darah dengan Ringer Laktat
adalah sampai Kehilangan 20% EBV atau Hematokrit 28% atau
Hemoglobin ± 8 gr%. Jumlah cairan masuk harus 2- 4 x jumlah
perdarahan. Cara ini bukan untuk menggantikan transfusi darah, tetapi
untuk:
a. Tindakan sementara, sebelum darah datang
b. Mengurangi jumlah transfusi darah sejauh transpor oksigen masih
memadai.
c. Menunda pemberian transfusi darah sampai saat yang lebih baik
(misalnya pemberian transfusi perlahan-lahan/postoperatif setelah
penderita sadar, agar observasi lebih baik jikalau terjadi reaksi
transfusi)
Cairan Ringer Laktat mengembalikan sequestrasi/third space loss
yang terjadi pada waktu perdarahan/shock. Jumlah darah yang hilang tidak
selalu dapat diukur namun dengan melihat akibatnya pada tubuh penderita.
Jumlah darah yang hilang dapat diperkirakan sebagai berikut:
a. Preshock : kehilangan s/d 10%
b. Shock ringan : kehilangan 10 - 20%. Tekanan darah turun, nadi naik,
perfusi dingin, basah, pucat.
c. Shock sedang : kehilangan 20 - 30%. Tekanan darah turun sampai 70
mmhg. Nadi naik sampai diatas 140. Perfusi buruk, urine berhenti.
d. Shock berat : kehilangan lebih dari 35% : tekanan darah sampai tak
terukur, nadi sampai tak teraba.
Untuk fluid lose pada kasus-kasus abdomen akut diberikan Ringer
Laktat dengan pedoman berkurangnya volume cairan intertisial
menyebabkan terjadinya tanda-tanda intertisial yaitu : turgor kulit jelek,
mata cekung, ubun-ubun cekung, selaput lendir kering. Berkurangnya
volume plasma menyebabkan terjadinya tanda-tanda plasma yaitu,
takhikardia, oli-guria, hipotensi, shock (Brown, 2010).
Sedangkan kehilangan darah pada patah tulang tertutup dapat
diestimasi sebagai berikut :
a. Fraktur dari telapak kaki dengan sedikit bengkak 250-500 ml.
b. Fraktur bagian bawah dari kaki dengan sedikit bengkak 500 - 1000
ml.
c. Fraktur tungkai femur 500 - 2000 ml.
d. Fraktur persendian patella sampai 2000 ml.
e. Fraktur antebrakhii 500 - 750 ml.
f. Fraktur humerus dan bahu sampai 2000 ml.
3. Gagal Nafas
Sebab-sebab mekanik dan masalah pernafasan :
a. Jalan pernafasan bagian atas
1) Trauma yang mengenai jaringan lunak dan jaringan tulang dari
muka dapat menyebabkan obstruksi mekanis dari pernafasan.
Bila ada keraguan pada kemampuan mempertahankan airway
sewaktu diinduksi, maka pasien tersebut harus diintubasi dalam
kondisi sadar.
2) Fraktur dari bagian tengah muka berbahaya karena terdapat
kemungkinan fraktur ethmoidalis. Sedapat mungkin dihindari
intubasi nasal, sebab tube nasal mampu menyebarkan infeksi
ke dalam otak. Juga terdapat kemungkinan masuknya NGT
melalui fraktur ethmoidalis ke dalam jaringan otak.
3) Kanul penghisap sangat penting terutama ketika dilakukan
intubasi pada pasien dengan trauma fasial ataupun intra-oral.
4) Trauma pada muka terkadang berhubungan dengan trauma
pada laring
5) Aspirasi korpus alienum. Pada pasien dewasa yang kooperatif,
untuk melakukan bronkhoskopi cukup dengan anestesia topikal
saja, karena lebih mudah melakukan inspeksi airway serta
mengurangi risiko pendorongan corpus alienum masuk lebih
dalam ke trakheobronkhial. Selain itu perlu diberikan
oksigenisasi yang cukup tinggi, apabila korpus alienum
menyumbat bagian bronkhus besar untuk menjaga kecukupan
oksigenasi.
Obstruksi jalan napas sering disebabkan oleh laserasi,
sekresi, benda asing, fraktur, atau sumbatan jaringan pada pasien
yang tidak sadar. Intrervensi awal meliputi oksigen supplemental,
head tilt chin lift, jaw thrust, pembersihan orofaring dan
pamasangan jalan napas oral atau nasal. Ventilasi harus dibantu
jika diperlukan dengan menggunakan ambu bag serta imobilisasi
spinal cervical.
Sianosis kadang sulit untuk dideteksi pada pasien yang
anemis, hipovolemik dan pasien yang berpigmen kulit gelap.
Pulse oxymetri sering diperlukan untuk menilai oksigenasi dan
analisis gas darah arterial harus segera dilakukan jika terdapat
kecurigaan gangguan gas darah (Bernards, 2006). Bila diperlukan
anestesi umum, harus disiapkan beberapa ukuran ET. Biasanya
dibutuhkan juga ukuran yang lebih kecil.
b. Thoraks dan isinya
1) Trakhea yang sobek, kontusio pulmonum dan pneumothoraks
adalah keadaan emergency yang berhubungan dengan trauma
tumpul terhadap thoraks atau trauma tembus tajam. Endotrakheal
tube harus dimasukkan melalui sobekan trakhea kemudian cuff
dikembangkan untuk mengamankan jalan nafas. Bila kontusionya
berat maka tube seperti Robert Shaw atau Carlens diperlukan
untuk mengisolasi paru yang rusak, mencegah masuknya benda
asing ke dalam paru yang sehat, atau untuk mengempiskan paru
sewaktu proses perbaikan.
2) Pneumothoraks
Dengan auskultasi, x-ray thoraks, inspeksi gerakan pernafasan
dan adanya/bertambahnya emfisema subkutan, keluhan sesak
nafas dan sianosis dari pasien dapat digunakan sebagai diagnosa
prabedah. Sedangkan pada intraoperatif bila didapatkan nadi
yang kecil, takiaritmia, hipoksia, compliance paru yang
berkurang dan kemudian bertambahnya emfisema subkutan;
semua ini menunjukkan kemungkinan adanya pneumothoraks.
Perlu dilakukan monitoring dengan stetoskop yang ditempelkan
di kiri-kanan thoraks selama operasi (Bernards, 2006).
4. CNS (Central Nervous System)
a. Medula spinalis
Pasien dengan trauma akut berupa kompresi medula spinalis di
bagian leher membutuhkan posisi yang sangat stabil. Leher harus
distabilisasi dengan penunjang leher (neck collar) untuk
menghindari paralisis permanen. Apabila pasien kooperatif, minta
kepada pasien untuk menggerakkan kepala dan lehernya sampai
posisi pasien merasa tidak nyaman. Hal ini akan memberikan
informasi pada ahli anestesi sampai posisi mana yang
diperbolehkan dalam menggerakan leher pasien, bila pasien sudah
ditidurkan. Perubahan posisi pasien dengan kemungkinan kerusakan
medula spinalis harus dilakukan secara perlahan, hati-hati dan
dilakukan oleh cukup orang supaya lancar dan dapat mencegah
terjadinya tekanan yang tidak perlu terhadap medula spinalis.
Suksinilkolin harus dihindari karena penggunaannya dapat
menyebabkan fasikulasi. Bila terdapat tekanan ICP meninggi, maka
obat-obat depolarizer (suksinilkolin) hanya boleh dipakai apabila
didahului dengan sedikit obat non depolarizing
b. Penyakit dan trauma intrakranial
Perhatian utama pada hal ini adalah menghindari bertambahnya
ICP. ICP dapat meningkat oleh :
1) Posisi kurang tepat dari pasien.
Obstruksi dari venous return akan meninggikan tekanan CSF.
2) Fasikulasi oleh obat depolarisasi.
3) Hiperkapnia oleh karena vasodilatasi serebral.
4) Penggunaan N2O
5) Pasien mengejan atau bergerak sebelum kranium terbuka.
6) Hidrasi yang berlebihan (Longnecker, 2008).
4. Pasca Anestesi
a. Pasien dengan status fisik ASA 1-2 dirawat diruang pulih sesuai
dengan tata laksana pasca anestesi
b. Perhatian ditunjukkan pada kemungkinan terjadinya muntah atau
regurgitasi yang dapat menimbulkan aspirasi
c. Pasca blok subarakhnoid perhatian ditunjukkan pada perangai
hemodinamik
d. Pasien boleh dikembalikan atau dikirim keruangan apabila sudah
memenuhi kriteria pemulihan
e. Pasien resiko tinggi yang disertai dengan koma, guncangan
hemodinamik dan ancaman gagal nafas dirawat diruang terapi
intensif untuk perawatan terapi lebih lanjut.
Pasien yang memerlukan operasi darurat biasanya lambungnya
penuh. Pada pasien trauma pengosongan lambung akan berhenti setelah
trauma. Pasien dengan penyakit intra-abdomen dan pasien hamil harus
diperkirakan bahwa lambungnya penuh dengan konsentrasi asam
lambung yang tinggi, jika isi lambung masuk ke dalam paru-paru selama
anestesi maka akan menimbulkan cidera berat yang dapat menyebabkan
kematian. Maka jika sudah diperkirakan akan terjadi aspirasi sebaiknya
dilakukan pencegahan. Pasanglah balon pipa endotrakhea selama
anestesi umum. Tujuan anestesi adalah memasang intubasi secepat dan
semulus mungkin sehingga aspirasi dapat dicegah.
DAFTAR PUSTAKA
Bernards, C.M. 2006. Epidural and Spinal Anesthesia. Dalam : Barash Clinical
Anesthesiology, 5th ed., edited by Barash, P.G., Cullen, B.F., Stoelting, R.K.,
Lippincott Williams and Wilkins, hal. 318-332.
Brown, D.L. 2010. Spinal, Epidural and Caudal Anesthesia. Dalam : Miller’s
Anesthesia, 7th edition, edited by Miller, R.D., Churchill Livingstone
Elsevier, hal. 734-762.
Mangku, G. dan Senapathi, I.G.A. 2010 Buku Ajar Ilmu Anastesi dan Reanimasi.
Jakarta: Indeks Jakarta.
Morgan, G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J., 2005. Geriatri Anesthesia. Dalam :
Morgan, G.E., Mikhail, M.S., Murray, M.J. Clinical Anesthesiology,
4thedition, McGraw Hill, Hal. 951-958.