Disusun Oleh :
1. Arsinda Prastiwi
P07120213007
2. Nia Handayani
P07120213027
P07120213037
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pasien yang membutuhkan anestesi untuk operasi gawat darurat akan
lebih sulit bagi ahli anestesi yang harus mempersiapkan dan menanggulangi
masalah yang ada, karena pasien ini tidak dipersiapkan lebih dahulu dan tidak
dalam keadaan ideal. Pada umumnya masalah yang dihadapi oleh dokter
anestesi pada kasus emergency antara lain: keterbatasan waktu untuk
mengevaluasi pra anesthesia yang lengkap, pasien sering dalam keadaan takut
dan gelisah, lambung sering berisi cairan dan makanan, system hemodinamik
terganggu, keadaan umum sering buruk, menderita cedera ganda/multiple,
kelainan yang harus dibedah kadang-kadang belum diketahui dengan jelas
(diagnosa belum tegak), riwayat sebelum sakit tak dapat diketahui,
komplikasi yang ada kadang-kadang tidak dapat diobati dengan baik sebelum
pembedahan. Keadaan terakhir ini yang sering menyebabkan mortalitas
pasien bedah darurat menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan bedah elektif
(sekitar 8x lebih besar). (Imarengiaye, 2005).
Keadaan patologis yang mungkin ada misalnya, kekurangan cairan
harus ditanggulangi dengan cepat sebelum anestesi tetapi apabila terdapat
infeksi misalnya, infeksi dada maka penanggulangan dilakukan dalam waktu
terbatas karena apabila terlalu lama akan mengganggu kondisi pasien. Pasien
yang sakit berat dengan sirkulasi yang buruk dapat menerima obat dalam
dosis yang lebih kecil terutama hati-hati terhadap obat yang diberikan secara
intravena dan anestesi local, biasanya makin berat keadaan pasien makin
besar resiko yang berhubungan dengan anestesi spinal sehingga dipilih
anestesi umum.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Anestesi pada Kondisi Emergency
2. Masalah Anestesi dan Reanimasi pada Kondisi Emergency
3. Persiapan Umum Tindakan Anestesi pada Kondisi Emergency
4. Penatalaksanaan Anestesi pada Kondisi Emergency
C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian anestesi pada kondisi emergency
2. Mengetahui masalah anestesi dan reanimasi pada kondisi emergency
3. Mengetahui persiapan umum tindakan anestesi pada kondisi emergency
4. Mengetahui penatalaksanaan anestesi pada kondisi emergency
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Anestesi umum adalah tindakan menghilangkan nyeri secara sentral
disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversibel).
Komponen anestesi yang ideal adalah: hipotonik, analgesik dan relaksasi otot.
Metode anestesi umum dilihat dari cara pemberian obat adalah : inhalasi dan
intravena. Anestesia pada kasus bedah darurat adalah tindakan anesthesia
analgesia yang diberikan pada pasien yang menjalani pembedahan darurat
akibat penyakit bedah yang dideritanya secara mendadak.
Berdasarkan ancaman kegawatan yang diderita pasien, kasus penyakit
bedah darurat dibagi menjadi 2 (dua) :
1. Bedah darurat absolute
dan cedera lain, serta harus dilakukan observasi dan monitoring terus
menerus sampai menjelang operasi. Tindakan sedini mungkin
memperbaiki ventilasi/ oksigenasi (kalau perlu dengan intubasi dan
ventilasi kendali) dan gangguan sirkulasi pasien bedah darurat sangatlah
vital karena tindakan ini akan menentukan prognosa pasien. Trauma
sering menyebabkan hipoksemia yang tidak langsung berhubungan
dengan kelainan yang harus dibedah secara darurat misalnya trauma
kepala, dada muka, leher, syok, sepsis dan sebagainya. Resusitasi pada
trauma meliputi 2 fase, yaitu kontrol perdarahan dan perawatan luka.
Evaluasi awal harus meliputi tiga komponen, yaitu penilaian cepat,
survey primer dan survey sekunder :
1) Penilaian cepat : fase ini harus mengambil waktu beberapa detik
saja dan harus dapat menentukan apakah pasien stabil, tidak stabil,
meninggal atau kritis.
2) Evaluasi segera dilakukan waktu penderita datang (primary survey)
dalam waktu 2-5 menit, yaitu menilai :
A:
Airway
= jalan nafas
B:
Breathing
= pernafasan
C:
Circulation
= sirkulasi
D:
Disability
= kecacatan
E:
Exposure
goncangan
3.
Pasca Anestesi
a. Pasien dengan status fisik ASA 1-2 dirawat diruang pulih sesuai
dengan tata laksana pasca anestesi
b. Perhatian ditunjukkan pada kemungkinan terjadinya muntah atau
regurgitasi yang dapat menimbulkan aspirasi
c. Pasca blok subarakhnoid perhatian ditunjukkan pada perangai
hemodinamik
d. Pasien boleh dikembalikan atau dikirim keruangan apabila sudah
memenuhi kriteria pemulihan
e. Pasien resiko tinggi yang disertai dengan koma, guncangan
hemodinamik dan ancaman gagal nafas dirawat diruang terapi intensif
untuk perawatan terapi lebih lanjut.
timbul
nyeri.
Hiperventilasi
atau
gangguan
pernafasan,
a.
b.
c.
a.
b.
c.
negatif.
Hal
tersebut
perlu
dilakukan
karena
ada
kemungkinan
terdapat
delayed
aspirasi
dan
terjadinya
akut
kehilangan darah 10% dari Estimated Blood Volume dapat ditolerir tanpa
perubahan-perubahan yang serius (EBV dewasa 75cc/kg BB), anak < 2 th
(80 cc/kg BB). Kehilangan > 10% memerlukan penggantian berupa
Ringer Laktat. Batas penggantian darah dengan Ringer Laktat adalah
sampai Kehilangan 20% EBV atau Hematokrit 28% atau Hemoglobin 8
gr%. Jumlah cairan masuk harus 2- 4 x jumlah perdarahan. Cara ini
bukan untuk menggantikan transfusi darah, tetapi untuk:
a. Tindakan sementara, sebelum darah datang
b. Mengurangi jumlah transfusi darah sejauh transpor oksigen masih
memadai.
c. Menunda pemberian transfusi darah sampai saat yang lebih baik
(misalnya pemberian transfusi perlahan-lahan/postoperatif setelah
penderita sadar, agar observasi lebih baik jikalau terjadi reaksi
transfusi)
Cairan Ringer Laktat mengembalikan sequestrasi/third space loss
yang terjadi pada waktu perdarahan/shock. Jumlah darah yang hilang
tidak selalu dapat diukur namun dengan melihat akibatnya pada tubuh
penderita. Jumlah darah yang hilang dapat diperkirakan sebagai berikut:
a. Preshock : kehilangan s/d 10%
b. Shock ringan : kehilangan 10 - 20%. Tekanan darah turun, nadi naik,
perfusi dingin, basah, pucat.
bertambahnya
menunjukkan
emfisema
kemungkinan
adanya
subkutan;
semua
pneumothoraks.
ini
Perlu
dilakukan monitoring dengan stetoskop yang ditempelkan di kirikanan thoraks selama operasi. (Barash, 2001)
4. CNS (Central Nervous System)
a. Medula spinalis
Pasien dengan trauma akut berupa kompresi medula spinalis di bagian
leher membutuhkan posisi yang sangat stabil. Leher harus distabilisasi
dengan penunjang leher (neck collar) untuk menghindari paralisis
permanen. Apabila pasien kooperatif, minta kepada pasien untuk
menggerakkan kepala dan lehernya sampai posisi pasien merasa tidak
nyaman. Hal ini akan memberikan informasi pada ahli anestesi sampai
posisi mana yang diperbolehkan dalam menggerakan leher pasien, bila
pasien
sudah
ditidurkan.
Perubahan
posisi
pasien
dengan
intravaskuler
yang
realatif
normal.
Pertimbangan
lain
kontraktilitas
hipotensi dan resistensi dari katekolamin eksogen. Kadar -14 mEq atau
lebih mengindikasikan hipovolemi yang parah. Tingginya kadar laktat
serum meyakinkan adanya aktivitas anaerobik dan asam laktat, namun,
nilai ini dapat membaik secara perlahan setelah dilakukannya koreksi pH.
Terapi definitif untuk asidosis metabolic membutuhkan koreksi
dari etiologi yang mendasarinya. Langkah awal meliputi penatalaksanaan
hypoxemia, ekspansi volume intravaskuler, memperbaiki kapasitas
pengangkutan oksigen, dan memaksimalisasi kerja jantung.
Terdapat perdebatan pendapat menganai penggunaan natrium
bikarbonat pada kasus asidosis metabolik yang parah. Pendekatan
tradisional adalah pemberian natrium bikarabonat jika pH menurun di
bawah 7,2. Hal ini didasarkan pada konsep bahwa alkalinisasi akan
memperbaiki hemodinamik sistemik, dan akan merespon katekolamin.
Hanya ada sedikit data yang mendukung penggunaan natrium bikarbonat
ini untuk mengatasi asidosis laktat, dan tidak ada penelitian yang
menunjukkan adanya perbaikan hasil. Pada penelitian dengan model
binatang, natrium bikarbonat dapat sementara meningkatkan tekanan
darah sistemik dan pH, namun pH intraseluler tidak dapat diperbaiki.
Asidemia bahkan dapat memburuk dangan perubahan enzimatik
pada natrium bikarbonat, dan meningkatkankan kadar PaCO2. Ventilasi
mekanis dan aliran darah pulmoner yang adekuat sangatlah penting untuk
mengatasi peningkatan PaCO2 ini dan natrium bikarbonat harus
digunakan dengan hati-hati pada pasien yang tidak mendapatkan bantuan
ventilasi. Pergeseran ke kiri pada kurva disosiasi oksihemoglobin yang
menurunkan distribusi oksigen jaringan merupakan kerugian dari natrium
bikarbonat, dan dapat memperburuk hipoksemia. Hipernatremia, yang
disebabkan oleh keadaan hiperosmoolar, serta hiperkalemia, merupakan
faktor berbahaya lain dari pemberian natrium bikarbonat.
BAB III
PENUTUP
Masalah-masalah yang ada pada pembedahan darurat adalah bahaya
terjadinya aspirasi dari lambung yang berisi, gangguan pernafasan, gangguan
hemodinamik, dan kesadaran yang tidak selalu dapat diperbaiki sampai optimal
serta terbatasnya waktu untuk persiapan mencari data dan perbaikan fungsi tubuh.
Penundaan pembedahan akan membahayakan jiwa atau penyebabkan kehilangan
anggota badan.
Pemilihan teknik anestesi adalah suatu hal yang kompleks, memerlukan
kesepakatan dan pengetahuan yang dalam baik terhadap pasien dan faktor-faktor
pembedahan. Sehingga dapat dipertimbangkan pemakaian tehnik anestesi tersebut
menurut indikasi karena pada pembedahan darurat, pemakaian anestesi umum
memberikan risiko lebih besar dari pada anestesi lokal dan risiko anestesi spinal
tidak lebih kecil daripada anestesi umum.