Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Perioperatif adalah suatu ilmu kedokteran yang mencangkup masalah


masalah sebelum anesthesia/pembedahan, selama anesthesia/ pembedahan dan
sesudah anesthesia/pembedahan. Meliputi semua aspek fisiologis dan patologis
yang mempengaruhi anesthesia dan pembedahan, pengaruh anethesia dan
pembedahan terhadap fisiologis tubuh dan resiko maupun komplikasi yang
diakibatkannya. Perioperatif terdiri atas pre-operatif, intra-operatif, dan post-
operatif.

Pneumotoraks merupakan keadaan emergensi yang disebabkan oleh


akumulasi udara dalam rongga pleura, sebagai akibat dari proses penyakit atau
cedera. Pneumotoraks didefinisikan sebagai adanya udara di dalam kavum/
rongga pleura. Tekanan di rongga pleura pada orang sehat selalu negatif untuk
dapat mempertahankan paru dalam keadaan berkembang (inflasi). Tekanan pada
rongga pleura pada akhir inspirasi 4 s/d 8 cm H2O dan pada akhir ekspirasi 2 s/d 4
cm H2O. 9
Pneumotoraks dibagi menjadi Tension Pneumotoraks dan non-tension
pneumotoraks. Tension Pneumotoraks merupakan medical emergency dimana
akumulasi udara dalam rongga pleura akan bertambah setiap kali bernapas.
Peningkatan tekanan intratoraks mengakibatkan bergesernya organ mediastinum
secara masif ke arah berlawanan dari sisi paru yang mengalami tekanan. Non-
tension pneumothorax tidak seberat Tension pnemothorax karena akumulasi udara
semakin bertambah sehingga tekanan terhadap organ di dalam rongga dada juga
semakin meningkat. 1, 4, 7.
Peran evaluasi preoperatif pasien dengan tension pneumothoraks adalah
untuk memastikan keparahan disfungsi organ lain, mengidentifikasi pasien yang
memiliki hemodinamik tidak seimbang, mengidentifikasi komorbiditas terkait.
Memastikan hemodinamik agar tetap stabil, memastikan trauma yamg lebih
lanjut. Pada referat ini akan membahas mengenai menejemen perioperatif pada
pasien dengan tension pneumothoraks.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perioperatif
2.1.1 Definisi
Perioperatif adalah suatu ilmu kedokteran yang mencangkup masalah-
masalah sebelum anesthesia/pembedahan, selama anethesia/pembedahan, dan
sesudah anesthesia/pembedahan. Meliputi semua aspek fisiologis dan
patologis yang mempengaruhi anesthesia dan pembedahan, pengaruh
anesthesia dan pembedahan terhadap fisiologis tubuh dan resiko maupun
komplikasi yang diakibatkannya.

2.1.2 Penilaian Pra Anestesi


Penilaian pra anestesi meliputi:
1. Penilaian terhadap keadaan pasien secara menyeluruh termasuk
riwayat penyakit (identifikasi faktor-faktor resiko anestesi),
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang
mendukungnya. Perhatian khusus harus diberikan pada hal-hal
berikut yang ditemukan pada anamnesis, seperti:
a) Riwayat penyakit terdahulu, operasi dan pembiusan
sebelumnya
b) Terapi obat-obatan seperti kortikosteroid, insulin, obat anti
hipertensi, tranqualixers, antidepresan trisiklik,
antikoagulan, barbiturate, diuretic, alergi obat.
c) Gejala-gejala yang berhubungan dengan sistem respirasi
seperti batuk, sputum, bronkospasme, kemampuan untuk
mengeluarkan lendir.
d) Sistem Kardiovaskuler: toleransi latihan, nyeri angina,
gagal jantung, hipertensi yang tidak diterapi.
e) Kecenderungan untuk muntah. Pilihan obat dan tindakan
anestesi untuk mengurangi mual muntah pasca bedah.
f) Riwayat kehamilan dan menstruasi
g) Kebiasaan pasien: merokok, minum alkohol, dan adiksi
obat.
2. Pemeriksaan fisik rutin yang dilakukan:
a) Pemeriksaan fisik rutin meliputi: keadaan umum,
kesadaran, anemis/tidak, BB, TB, suhu, tekanan darah,
denyut nadi, pola dan frekuensi pernapasan.
b) Dilakukan penilaian kondisi jalan nafas yang dapat
menimbulkan kesulitan intubasi.
3. Pemeriksaan penunjang rutin yang harus dilakukan:
a) Darah: Hb, Ht, hitung jenis leukosit, golongan darah, waktu
pembekuan dan perdarahan.
b) Urine: protein, sediman, reduksi
c) Foto thorak: terutama untuk bedah mayor
d) EKG: rutin untuk umur >40 tahun
e) Elektrolit: natrium, kalium, klorida
f) Dilakukan pemeriksaan khusus bila ada indikasi, misal:
a. EKG: pada anak dan dewasa < 40 tahun dengan
tanda-tada penyakit kardiovaskuler
b. Fungsi hati (bilirubin, urobilin) bila dicurigai adanya
gangguan fungsi hati
c. Fungsi ginjal (ureum, cretainin) bila dicurigai
adanya gangguan dalam fungsi ginjal
4. Mengoptimalkan kondisi kesehatan pada sebelum tindakan anestesi
dan pembedahan, seperti melakukan fisioterapi dada, latihan nafas.
5. Menentukan status fisik berdasarkan American Society of
Anesthesiologist (ASA).
a. ASA 1: pasien tidak memiliki kelainan organic,
fisiologik, biokimia atau gangguan psikiatri
b. ASA 2: gangguan sistemik ringan sampai sedang yang
disebabkan oleh kondisi yang akan diterapi dengan
pembedahan atau oleh proses patofisiologi lainnya.
c. ASA 3: keterbatasan melakuakn aktifitas, pasien dengan
penyakit sistemik berat.
d. ASA 4: pasien dengan penyakit sistemik berat dengan
mengancam nyawa.
e. ASA 5: penderita yang diperkirakan tidak ada selamat
dalam 24 jam, dengan atau tanpa operasi.
f. ASA 6: penderita mati batang otak yang organ-organnya
dapat digunakan untuk donor.

Klasifikasi ASA merupakan sistem yang secara umum


sering digunakan untuk menilai status fisikpasien,
walaupun ahli anestesi yang lain tidak selalu setuju
dengan klasifikasi ini. Kalsifikasi ini tidak dapat diapkai
untuk pasien tanpa gejala, misalnya penderita dengan
penyakit jantung koroner berat.

6. Merencakan teknik anestesi dan penatalaksanaan perioperatif


seperti terapi cairan dan tarnsfusi darah
7. Memperkenalkan diri kepada pasien agar dapat mengurangi rasa
cemas dan akan mempermudah dalam melakukan induksi anestesi
8. Memberikan instrusi yang jelas tentang obat yang harus diteruskan
dan dihentikan pada hari pembedahan
9. Mempersiapkan obat-obat premedikasi.

2.1.3 Monitoring Perioperatif


Monitoring adalah segala usaha untuk memperlihatkan, mengawasi dan
memeriksa pasien dalam anestesi untuk mengetahui keadaan dan reaksi
fisiologis pasien terhadap tindakan anestesi dan pembedahan. Tujuan
monitoring umtuk membantu anestesi mendapatkan informasi fungsi organ
vital selama perianestesi, supaya dapat bekerja dengan aman. Hal-hal ini yang
harus diperhatiakan saat melakukan monitoring saat operasi:
a) Monitoring kardiovaskuler, pemantauan kardiovaskuler dilakukan
dengan memonitoring nadi, tekanan darah, dan banyaknya pendarahan
b) Monitoring Respirasi, dapat dilakukan dengan tanpa alat stetoskop,
oksimeter (untuk mengetahui saturasi oksigen pasien) dan kapnometri.
c) Monitoring suhu badan, selama tindakan anestesi, terutama dalam
waktu yang lama atau pada bayi dan anak kecil, temperature pasien
harus selalu dipantau. Alat yang digunakan untuk memantau suhu
adalah termistor. Dilakukan pada bedah lama atau pada bayi dan anak
kecil, pengukuran suhu sangat penting pada anak terutama bayi, karena
bayi mudah sekali kehilangan panas secara radiasi, konveksi, evaporasi,
dan konduksi. Dengan konsekuensi depresi otot, jantung, hiposia,
asidosis.
d) Monitoring ginjal, jumlah urin yang keluar menggambarkan fungsi dan
perfusi dari ginjal. Semua ini adalah petunjuk keadaan fungsi ginjal,
kardiovaskuler, volume cairan. Urin yang keluar dianggap baik apabila
volumenya lebih atau sama dengan 0,5ml/kgBB/jam, dan bila kurang
dari jumlah tersebut perlu mendapatlan perhatian.
e) Monitoring blokade neuromuskular, stimulasi saraf untuk mengetahui
apakah relaksasi otot sudah cukup baik atau sebliknya setelah selsai
anestesi apakah tonus otot sudah kembali.
f) Monitoring sistem saraf, dikerjakan dnegan memeriksa respterhadap
otot apakah cukup atau tidak.

2.1.4 Monitoring Post Operatif


a) Gangguan pernapasan
b) Gangguan kardiovaskuler.
1.1 Definisi
Tension pneumotoraks adalah bertambahnya udara dalam ruang pleura
secara progresif, biasanya karena laserasi paru-paru yang memungkinkan
udara untuk masuk ke dalam rongga pleura tetapi tidak dapat keluar atau
tertahan di dalam rongga pleura. Hal ini dapat terjadi secara spontan pada
orang dengan kondisi paru-paru kronis ("primer") dan juga pada mereka
dengan penyakit paru-paru ("sekunder"), dan banyak pula yang terjadi setelah
trauma fisik ke dada, cedera ledakan , atau sebagai komplikasi dari perawatan
medis. Ventilasi tekanan positif dapat memperburuk efek one-way-valve.
Peningkatan progresif tekanan dalam rongga pleura mendorong mediastinum
ke hemithorax berlawanan, menghalangi aliran balik vena ke jantung, dan
menekan paru-paru pada hemithorax kontralateral.. Hal ini menyebabkan
1, 5,
ketidakstabilan peredaran darah dan dapat menyebabkan traumatic arrest.
10.

1.2 Epidemiologi
Insidensi dari tension pneumotoraks di luar rumah sakit tidak mungkin
dapat ditentukan. Revisi oleh Department of Transportation (DOT) Emergency
Medical Treatment (EMT) Paramedic Curriculum menyarankan tindakan
dekompresi jarum segera pada dada pasien yang menunjukan tanda serta gejala
yang non-spesifik. Sekitar 10-30% pasien yang dirujuk ke pusat trauma tingkat
1 di Amerika Serikat menerima tindakan pra rumah sakit berupa dekompresi
jarum torakostomi, meskipun pada jumlah tersebut tidak semua pasien
menderita kondisi tension pneumotoraks. 4, 7.
Insidensi umum dari tension pneumotoraks pada Unit Gawat Darurat
(UGD) tidak diketahui. Literatir-literatur medis hanya menyediakan gambaran
singkat mengenai frekuensi pnemotoraks desak. Sejak tahun 2000, insidensi
yang dilaporkan kepada Australian Incident Monitoring Study (AIMS), 17
pasien yang diduga menderita pneumotoraks, dan 4 diantaranya didiagnosis
sebagai tension pneumotoraks. Pada tinjauan yang lebih lanjut, angka kematian
prajurit militer dari trauma dada menunjukan hingga 5% dari korban
pertempuran dengan adanya trauma dada mempunyai tension pneumotoraks
pada saat waktu kematiannya.4, 7.

1.3 Anatomi
Batas Rongga Thoraks
Penampakan thorax dari luar adalah batas bawah leher dan batas atas
abdomen. Namun pada bagian dalam tidaklah demikian, batas ronga
thorax adalah :
Batas belakang thorax setinggi C7, lebih tinggi dari bagian depan
karena melalui bidang yang dibentuk oleh iga pertama agak miring
kebawah
Batas depan thorax setinggi vertebrae thorakal ke-2
Batas bawah thorax adalah diafragma yang berbentuk seperti
kubah ke atas. Karena bentuk diafragma yang seperti kubah, dari
permukaan tidak dapat dipakai peregangan bahwa bawah thorax
adalah batas bawah costae.
Batas atas thorax dapat diraba di incisura jugularis, yatu cekungan
antara caput klavikula kanan dan kiri. Incisura ini berseberangan
dengan batas atas bawah dari vertebrae thorakal ke-2. 10,11,12

Tulang dinding dada


Dinding dada dibentuk oleh 12 tulang vertebrae thorakalis, 12 pasang iga
dan sternum.
Vertebrae
Persendian vertebrae dengan tulang iga menyebabkan iga ini
mempunyai bentuk yang agak spesifik. Vertebrae thorakalis pertama
memiliki persendian yang lengkap dengan costae I dan setengah persendian
dengan costae II. Selanjutnya costae II-VIII mempunyai dua persendian, di
atas dan di bawah korpus vertebrae untuk costae II sampai dengan VIII,
sedangkan costae IX-XII hanya satu. 10,12
Costae
Secara umum costae ada 12 pasang kanan dan kiri, Tujuh pasang iga
pertama dinamakan costae vera (iga sejati). Costae I-VII bertambah panjang
secara bertahap, yang kemudian memendek secara bertahap. Costae VIII-X
berfungsi membentuk tepi costal sebelum menyambung dengan tepi bawah
sternum, maka disebut costae spuriae (iga palsu). Costae XI-XII disebut
costae fluctuantes (iga melayang). 10,12
Sternum
Sternum terdiri dari manubrium sterni, korpus sterni dan procesus
xiphoideus. Angulus sterni ludovici yang terbentuk antar manubrium dan
korpus sterni dapat teraba dan merupakan patokan dalam palpasi iga ke-2 di
lateralnya. 10,12

Otot-otot pada dinding thoraks


Musculus pectoralis mayor dan minor merupakan musculus utama
dinding anterior thorax. Musculus latisimus dorsi, trapezius, rhomboideus,
dan musculus gelang bahu lainnya membentuk lapisan muskulus dinding
posterior thorax. Tepi bawah musculus pectoralis mayor membentuk lipatan
/ plica aksilaris anterior, lengkungan dari musculus latisimus dorsi dan teres
mayor membentuk lipatan axial posterior.10,11
Vaskularisasi dan Persarafan 13
Pleura
Pleura adalah membrane aktif serosa dengan jaringan pembuluh darah
dan limfatik. Di sana selalu ada pergerakan cairan, fagositosis debris,
menambal kebocoran udara dan kapiler. Pleura viseralis menutupi paru dan
sifatnya tidak sensitive. Pleura ini berlanjut sampai ke hilus dan
mediastinum bersama dengan pleura parietalis, yang melapisi dinding
thorax dan diafragma. Pleura parietalis mendapatkan persarafan dari nerve
ending, sehingga ketika terjadi penyakit atau cedera maka timbul nyeri.
Pleura sedikit melebihi tepi paru pada tiap arah dan sepenuhnya terisi
dengan ekspansi paru-paru normal. 10,13
Pleura parietalis hampir semua merupakan lapisan dalam, diikuti tiga
lapisan muskulus yang mengangkat iga selama respirasi tenang. Vena arteri,
dan nervus dari tiap rongga intercostals berada di belakang tepi bawah iga.
Karenanya jarum torakosintesis atau klem yang digunakan untuk masuk
kepleura harus dipasang melewati bagian atas iga yang lebih bawah dari sela
iga yang dipilih.10,13

Diafragma
Bagian musculus perifer berasal dari bagian bawah iga ke-6 dan kartilago
costae, dari vertebrae lumbalis, dan dari lengkung lumbosakral, sedang
bagian muscular melengkung membentuk tendosentral. Serabut ototnya
berhubungan dengan M.transverse abdominis di batas costae. Diafragma
menempel di bagian belakang costae melalui serat-serat yang berasal dari
ligamentum arcuata dan crura. Nervus prenicus mempersarafi motorik dan
intercostals bawah mempersarafi sensorik. Diafragma berperan besar pada
ventilasi paru selama respirasi tenang.13

1.4 FISIOLOGI PERNAFASAN


Gerakan dinding dada
Sewaktu inspirasi terjadi pembesaran dinding dada kea rah ventrodirsalis
dan lateralis. Pengembangan dada ini dimungkinkan karena mobilitas
artikulatio kostovertebralis, elatisitas tulang rawan iga, dank arena sedikit
bertambahnya kifosis kolumna vertebralis. Otot-otot yang berperan dalam
inspirasi adalah diafragma (otot primer inspirasi), M intercostalis externa
(otot komplementer inspirasi), dan otot-otot leher, yakni M. skalenus dan M.
sternokleidomastoideus, keduanya berperan pada inspirasi paksa dengan
mengangkat bagian atas rongga thorax. 10
Ekspirasi terjadi akbat proses pasif dengan melemasnya otot-otot
inspirasi sehingga rongga dada dan paru kembali ke ukuran prainspirasi.
Pada ekspirasi paksa, otot-otot yang berperan adalah otot-otot abdomen dan
mm.intercoastalis interna. 10
Gaya yang menggerakkan rangka dada secara umum adalah mm.
intercostalis dan mm. scalene. Otot-otot tersebut merupakan otot metametrik
primitive yang harus dimasukkan ke dalam golongan otot authochthonus
dada. Termasuk pula mm.transverses thoracis dan mm.subcostales. Otot-
otot tersebut dipersarafi oleh rami anterior N.spinalis dan N. intercostalis 10
Gambar 1. Anatomi cavum thorax 3.

1.4 Klasifikasi
Pneumothorax dapat diklasifikasikan berdasarkan:
a. Etiologi
b. Ekspansi
c. Mekanisme
d. Durasi
Etiologi
1. Pneumothorax spontan
Merupakan kejadian pneumothorax yang paling sering. Dan
merupakan patologi sekunder dari kelainan paru atau pleura yang
sudah terjadi sebelumnya. Terjadi tanpa didahului oleh trauma.
Biasanya terjadi pada usia 20-40 tahun dengan manifestasi nyeri
yang tajam, dan sesak nafas. Pada pasien dengan bronkitis kronis
dan emfisema yang berusia lebih dari 40 tahun, sudah terjadi
destruksi progresif dari dinding alveolar dan peningkatan tekanan
intrapulmonari yang terus meningkat yang disebabkan oleh batuk
kronisnya dapat berujung pada bocornya dinding paru-paru ke ruang
pleura yangbisa menyebabkan pneumothorax spontan. 4.
2. Traumatik pneumothorax non-iatrogenik
Tejadi pada trauma dada baik langsung maupun tidak langsung
seperti pada kecelakaan lalu lintas, luka tusuk, atau luka perang.
3. Iatrogenik pneumothorax
Terjadi sebagai hasil atau komplikasi dari tindakan diagnostik atau
teraupetic.
Ekspansi
1. Lokal
Terjadi setelah pleura parietal dan visceral mengalami adhesi.
2. General
Terjadi bila ada lubang pada ruang pleural seperti pada
hematopneumothorax.
Mekanisme
1. Pneumothorax terbuka
Termasuk kedalam pneumothorax terbuka bila didapatkan adanya
pergerakan udara didalam ronga pleura yang dikarenakan adanya
hubungan dari dalam rongga ke udara bebas di luar.. hal ini nantinya
bisa berlanjut menjadi bronco pneumonial fistula.
2. Pneumothorax tertutup
Termasuk kedalam pneumothorax terbuka bila tidak didapatkan
adanya pergerakan udara didalam ronga pleura. Jadi udara yang ada
di rongga intrapleural seperti terperangkap di dalamnya.
3. Pneumothorax valvular
Termasuk kedalam pneumothorax valvular ketika udara bisa masuk
kedalam rongga pada saat inspirasi tapi tidak dapat keluar saat
ekspirasi. Tipe pneumothorax ini yang nantinya akan sangat bisa
menjadi kondisi yang emergensi karena adanya peningkatan tekanan
intrapelura yang meningkat dengan pasti dan bisa menyebabkan
penekanan mediastinum dan vena-vena besar. Sehingga
mediastinum akan menyempit dan tertekan, vena-vena besar akan
terjepit sehingga dapat menurunkan arus balik vena ke jantung. Hal
ini bisa meningkatkan kerja jantung dan respirasi yang nantinya akan
bermanifestasi menjadi tension pneumothorax apabila tidak segera
ditangani dengan cepat dan tepat.

1.5 Etiologi
Etiologi Tension Pneumotoraks yang paling sering terjadi adalah karena
iatrogenik atau berhubungan dengan trauma. Yaitu, sebagai berikut:
Trauma benda tumpul atau tajam meliputi gangguan salah satu pleura
visceral atau parietal dan sering dengan patah tulang rusuk (patah tulang
rusuk tidak menjadi hal yang penting bagi terjadinya Tension
Pneumotoraks)
Pemasangan kateter vena sentral (ke dalam pembuluh darah pusat),
biasanya vena subclavia atau vena jugular interna (salah arah kateter
subklavia).
Komplikasi ventilator, pneumothoraks spontan, Pneumotoraks sederhana
ke Tension Pneumotoraks
Ketidakberhasilan mengatasi pneumothoraks terbuka ke pneumothoraks
sederhana di mana fungsi pembalut luka sebagai katup satu arah.
Akupunktur, baru-baru ini telah dilaporkan mengakibatkan pneumothoraks
4, 5.

1.6 Diagnosis
Diagnosa tension pneumothorax merupakan diagnosa dari klinis, bukan
dari radiologi.Tanda-tanda klasik dari tension pneumotoraks adalah adanya
distress nafas, takikardi, hiporensi, adanya deviasi trakea, hilangnya suara
nafas unilateral, distensi vena leher, dan bisa menjadi sianosis pada
manifestasi lanjutnya. Gelaja klinis dari tension pneumothorax ini mungkin
mirip dengan gejala klinis dari cardiac tamponade, tetapi angka kejadian
tension pneumotorax ini lebih besar dari cardiac tamponade. Selain itu untuk
membedakannya juga bisa dilakukan dengan mengetahui bahwa dari perkusi
didapatkan adanya hiperresonansi pada bagian dada ipsilateral, 1
Pada pemeriksaan fisik thorak didapatkan :
1. Inspeksi :
a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi
dinding dada)
b. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggal
c. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat
2. Palpasi :
a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebar
b. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehat
c. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit

3. Perkusi :
a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani
b. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan
intrapleura tinggi
4. Auskultasi :
a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilang15
Pada pemeriksaan penunjang, didapatkan pada:
1. Foto Rntgen
Gambaran radiologis yang tampak pada foto rntgen kasus
pneumotoraks antara lain 16:
a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang
kolaps akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-
kadang paru yang kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi
berbentuk lobuler sesuai dengan lobus paru.
b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio
opaque yang berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan
kolaps paru yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak selalu
berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang dikeluhkan.
c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium
intercostals melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah.
Apabila ada pendorongan jantung atau trakea ke arah paru yang
sehat, kemungkinan besar telah terjadi pneumotoraks ventil dengan
tekanan intra pleura yang tinggi.

Foto R pneumotoraks (PA), bagian yang ditunjukkan dengan


anak panah merupakan bagian paru yang kolaps
2. Analisa Gas Darah
Analisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi
meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada
pasien dengan gagal napas yang berat secara signifikan meningkatkan
mortalitas sebesar 10%.
3. CT-scan thorax
CT-scan thoraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema
bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra
dan ekstrapulmoner dan untuk membedakan antara pneumotoraks
spontan primer dan sekunder.
4. USG
Pneumotoraks dapat juga didiagnosis oleh USG. Udara di rongga
pleura ditampilkan pantulan gelombang yang sangat tajam. Tidak seperti
udara intrapulmoner, pantulan gelombang tidak bergerak saat respirasi.
Bagaimanapun juga, luas pneumotoraks ditentukan dengan radiologis
dada9.
Menggunakan Linear array transducer (Small parts/high frequency probe)
dengan pasien dalam posisi supinasi, scan dipermukaan anterior dinding
dada menarik garis sagital (longitudinal). Scan mulai dari anterior axillary
line ke para sternal line.

Gambar 6 Anatomi Normal


Rib shadows (R) are visible as bright reflectors with distal shadow.
The Pleura (* *) is a bright echogenic line beneath the ribs.
Comet Tail artifacts (> arrows) arise from normal pleura reflecting
sound waves.
Gambar 7 Video Anatomi Normal
Lung sliding back and forth
Note the pleura moves with respect to the ribs
Comet tail artifacts

Gambar 8 Video Pneumotoraks


NO lung sliding back and forth
Note the pleura and ribs move together
NO comet tail artifacts

Tension pneumotoraks dapat berkembang (memburuk) dengan


sendirinya, terutama pada pasien dengan ventilasi tekanan positif. Hal ini bisa
segera terjadi atau dalam beberapa jam ke depan. Sebuah takikardi hipotensi,
dijelaskan dan peningkatan tekanan udara sangat progresif dari tekanan yang
semakin meningkat. 13.
Deviasi trakhea menjauh dari sisi dada yang terkena tension.
Pergeseran mediastinum.
Depresi dari diafragma-hemiselulosa. 7, 8

Dengan derajat tension pneumotoraks, tidak sulit untuk menilai


bagaimana fungsi kardiovaskuler dapat terganggu akibat tension, karena
terdapat adanya obstruksi pada vena yang kembali ke jantung. Masif
tension pneumotoraks memang seharusnya sudah dapat dideteksi secara
klinis dan, dalam menghadapi kolaps hemodinamik, telah tatalaksana
dengan cara emergency thoracostomy - needle atau sebaliknya. 1, 7, 8.

Tension pneumotoraks kiri


Sebuah tension pneumotoraks mungkin berkembang saat pasien
menjalani pemeriksaan lanjutan, seperti CT scan (gambar di bawah) atau
operasi. kalaupun ada penurunan oksigenasi pasien atau status ventilasi,
dada harus kembali diperiksa. 7, 13.
CT dari tension pneumotoraks
Adanya (chest tube) bukan berarti pasien tidak bisa berkembang
menjadi tension pneumotoraks. Pasien di bawah ini memiliki ketegangan
sisi kanan meskipun adanya sebuah chest tube. Sangat mudah untuk
menilai bagaimana hal ini dapat terjadi pada gambar CT yang
menunjukkan chest tube dalam fisura oblique. Chest tube disini akan
ditempatkan bagian belakang dada, sehingga akan di pertahankan tetap
disana ketika paru-paru didepannya menekan ke arah atas-belakang. Chest
tube pada pasien trauma terlentang harus ditempatkan secara posterior
untuk menghindari komplikasi ini. Komplikasi lain dari tension
pneumothorax lainnya seperti haemothoraks masih akan di-drainase
asalkan paru-paru telah mengembang sepenuhnya. 7, 5, 8, 10, 12.
CT scan juga menunjukkan mengapa tension pneumotoraks tidak
terlihat pada X-ray dada polos paru yang dikompresi belakang tetapi
meluas keluar ke tepi dinding dada, sehingga tanda-tanda paru-paru
terlihat di seluruh bidang paru-paru. Namun ada pergeseran garis tengah
dibandingkan dengan film sebelumnya. 7, 8.
Foto dada awal

Setelah insersi chest tube dalam ruang mediastinum

Dada bagian atas menunjukkan posisi chest tube


Tension pneumotoraks kanan
Tension pneumotoraks juga dapat bertahan jika ada cedera pada jalan
napas besar, mengakibatkan fistula bronkhopleura. Dalam hal ini sebuah
tabung dada tidak dapat mengatasi kebocoran udara utama. Dalam kasus ini
thorakotomi biasanya ditunjukkan untuk memperbaiki saluran udara dan paru-
paru yang rusak. 7, 8.
Hati-hati juga pasien dengan tension pneumotoraks bilateral. Trakea
merupakan central, ketika perkusi dan suara nafas yang sama di kedua sisi.
Pasien-pasien ini biasanya secara haemodinamika terancam atau dalam
traumatik arrest. Gawat darurat dekompresi dada bilateral dapat menjadi
bagian dari prosedur untuk traumatik arrest dimana hal ini dimungkinkan.

ketegangan Bilateral pneumothoraces


1.7 Penatalaksanaan
Needle Thoracostomy
Tension pnumothorax membutuhkan dekompresi yang segera.
Dekompresi ini dapa dilakukan dengan memasukkan jarum ke ruang
intercostal ke dua pada garin midclavicular pada sisi dada yang terkena.
Terapi definitifnya biasanya membutuhkan insersi chest tube ke dalam ruang
pleural melalui ruang intercostal ke lima (setinggi puting susu) dibagian depan
di garis midclavicular. 1
Prinsip terapi dari tension pneumothrax ini adalah menjaga jalan nafas
agar tetap terbuka, menjaga kualitas ventilasi, oksigenasi, menghilangkan
penyebab traumanya dan menghilangkan udara di ruang pleura, dan
mengontrol ventilasi. 4
Keberhasilan dari terapi yang kita lakukan bisa dinilai dari hilangnya
udara bebas pada ruang interpleural dan pencegahan pada kekambuhan atau
recurensi. 4.
Pada kasus tension pneumotoraks, tidak ada pengobatan non-invasif yang
dapat dilakukan untuk menangani kondisi yang mengancam nyawa ini.
Pneumotoraks adalah kondisi yang mengancam jiwa yang membutuhkan
penanganan segera. Jika diagnosis tension pneumotoraks sudah dicurigai,
jangan menunda penanganan meskipun diagnosis belum ditegakkan.
Pada kasus tension pneumotoraks, langsung hubungkan pernafasan pasien
dengan 100% oksigen. Lakukan dekompresi jarum tanpa ragu. Hal-hal
tersebut seharusnya sudah dilakukan sebelum pasien mencapai rumah sakit
untuk pengobatan lebih lanjut. Setelah melakukan dekompresi jarum, mulailah
persiapan untuk melakukan torakostomi tube. Kemudian lakukan penilaian
ulang pada pasien, perhatikan ABCs (Airway, breathing, cirvulation) pasien.
Lakukan penilaian ulang foto toraks untuk menilai ekspansi paru, posisi dari
torakostomi dan untuk memperbaiki adanya deviasi mediastinum.
Selanjutnya, pemeriksaan analisis gas darah dapat dilakukan. 4, 5, 7, 12, 13.
Dekompresi sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus
pneumothoraks yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk
mengurangi tekanan intra pleura dengan membuat hubungan antara rongga
pleura dengan udara luar dengan cara :
a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga
pleura, dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan
berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar melalui jarum tersebut.
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :
1) Dapat memakai infus set
Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam rongga pleura,
kemudian infus set yang telah dipotong pada pangkal saringan tetesan
dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan
tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infus set yang berada di dalam
botol.
2) Jarum abbocath
Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum dan
kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di dinding toraks
sampai menembus ke rongga pleura, jarum dicabut dan kanula tetap ditinggal.
Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastik infus set. Pipa infuse ini
selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat
dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infuse set yang
berada di dalam botol.
3) Pipa water sealed drainage (WSD)
Water Seal Drainage (WSD) adalah Suatu sistem drainage yang
menggunakan water seal untuk mengalirkan udara atau cairan dari cavum
pleura (rongga pleura)
Tujuan :
Mengalirkan / drainage udara atau cairan dari rongga pleura untuk
mempertahankan tekanan negatif rongga tersebut
. Dalam keadaan normal rongga pleura memiliki tekanan negatif dan hanya
terisi sedikit cairan pleura / lubrican.1,15
1. Tindakan bedah
a. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian
dicari lubang yang menyebabkan pneumothoraks kemudian dijahit
b. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang
menyebabkan paru tidak bisa mengembang, maka dapat dilakukan dekortikasi.
c. Dilakukan reseksi bila terdapat bagian paru yang mengalami
robekan atau terdapat fistel dari paru yang rusak
d. Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang,
kemudian kedua pleura dilekatkan satu sama lain.1,15
e.
Skema gambar dari seseorang dengan chest tube di rongga dada kiri. Yang
terhubung ke segel air.

1.8 Komplikasi
Pneumotoraks tension (terjadi pada 3-5% pasien pneumotoraks) dapat
mengakibatkan kegagalan respirasi akut. Pio-pneumotoraks, hidro-
pneumotoraks/hemo-pneumotoraks, henti jantung paru dan kematian (sangat
jarang terjadi); pneumomediastinum dan emfisema subkutan sebagai akibat
komplikasi pneumotoraks spontan, biasanya karena pecahnya bronkus,
sehingga kelainan tersebut harus ditegakkan (insidensinya sekitar 1%),
pneumotoraks simultan bilateral (insidensinya sekitar 2%), pneumotoraks
kronik (insidensinya sekitar 5 %), bila tetap ada selama waktu lebih dari 3
bulan3.
Misdiagnosis adalah komplikasi yang paling umum terjadi dari dekompresi
jarum. Jika pneumotoraks tetapi bukan tipe terjadi yang terjadi, dekompresi
jarum akan mengubah pneumotoraks menjadi tension pneumotoraks. Jika
tidak terdapat pneumotoraks, pasien akan mengalami kondisi pneumotoraks
setelah dekompresi jarum dilakukan. Sebagai tambahan jarum akan melukai
jaringan paru, yang mungkin pada kasus langka dapat menyebabkan cedera
paru atau hemotoraks. Jika jarum yang ditempatkan terlalu dekat ke arah
tulang sternum, dekompresi jarum dapat menyebabkan hemotoraks karena
laserasi dari pembuluh darah intercosta.
Penempatan torakostomi tube dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan
saraf intercostae dan dapat menyebabkan kerusakan jaringan parenkim paru,
terutama jika menggunakan trokar untuk penempatannya. 7, 8.

1.9 Prognosis
Baik, apabila segera dilakukan pertolongan dan pengobatan intensif,
terutama yang mengenai penderita muda yang sehat. Pasien dengan
pneumotoraks spontan hampir separuhnya akan mengalami kekambuhan,
setelah sembuh dari observasi maupun setelah pemasangan tube toracostomy.
Kekambuhan jarang terjadi pada pasien-pasien pneumotoraks yang dilakukan
torakotomi terbuka. Pasien-pasien yang penatalaksanaannya cukup baik,
umumnya tidak dijumpai komplikasi. Pasien pneumotoraks spontan sekunder
prognosisnya tergantung penyakit paru yang mendasari2,3.
Lebih dari 50% pasien dengan pneumothorax akan mengalami hal
yang sama di kemudian hari. Tidak ada komplikasi jangka panjang setelah
terapi yang berhasil. Follow up dilakukan setidak-tidaknya dalam satu
tahun setelah pneumothorax teratasi yang dilakukan melalui pengambilan
x-ray setiap tiga bulan. 4
DAFTAR PUSTAKA

1. Comittee Of Trauma. Advance Trauma Life Support Chapter 4: Thoracic


Trauma P:111-126. United States Og America: American College Of
Surgeons.

2. Airlangga University. 2008. Pedoman Teknik Operasi OPTEK, Teknik


Operasi Sistema Kardiothorax, P:130-148. Surabaya: Airlangga
University.

3. Putz,R., Pabst, R., Et All.2007. SOBOTTA Ed.22 Atlas Anatomi Manusia


Jilid2. Jakarta: EGC.

4. Jain, Dhruv, Et.All. 2008. Understanding And Managing Tension


Pneumothorax. New Delhi. Journal Indian Academy Of Clinical Medicine.

5. Sharma, Anita. Jindad, Parul. 2008. Principles Of Diagnosis And


Management Of Traumatic Pneumothorax. Uttarakhand: Journal Of
Emergencies.

6. Luh, Shi-Ping. 2010. Diagnosis And Treatment Of Primary Spontaneous


Pneumothorax. Zhejiang. Journal Of Zhejiang University Science B.

7. Daley, Brian James, Et.All. 2013. Pneumothorax. Tennesse. Department Of


Surgery Division Of Trauma And Critical Care University Of Tennesse
Health Science Center College Og Medicine: Emedicine.Mescape.Com.

8. Al-Hameed, Farhan. 2013. Pneumothorax Imaging. Saudi Arabia. Intensive


Care Department Of King Abdulaziz Medical City:
Emedicine.Medscape.Com

9. Departemen Ilmu Penyakit Paru. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru.
Surabaya: FK UNAIR RSD dr.Soetomo.

10. Sideras, Jim. 2011. Tension Pneumothorax: Identification And


Treatment. Harvard University: EMS1.com

11. Blaivas, Allen. J. 2007. Tension Pneumotorax. New York: Health Guides
The New York Times.

12. Brohi K. 2006. Tension Pneumothorax. London, Uk :Trauma.Org.

13. Moore, O. Forrest, et all. 2011. Blunt traumatic occult pneumothorax: is


observation safe? Result of a prospective, AAST multicenter study. The
journal of trauma injury, infection, and critical care volume 70 number 5.

Anda mungkin juga menyukai