Disusun oleh:
Randy Khampai Edwar
1811604023
Rinosinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek dokter sehari-
hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab gangguan kesehatan tersering di dunia.
Konsensus Internasional 2004 membagi rinosinusitis menjadi akut dengan batas sampai 4
minggu, subakut antara 4 minggu sampai 3 bulan dan kronik jika lebih dari 3 bulan
(Mangunkusumo, 2012).Rinosinusitis kronik mempunyai prevalensi yang cukup tinggi.
Diperkirakan sebanyak 13,4 - 25 juta kunjungan ke dokter per tahun dihubungkan dengan
rinosinusitis kronik atau akibatnya. Di Eropa, rinosinusitis diperkirakan mengenai 10%-30%
populasi. Sebanyak 14% penduduk Amerika, paling sedikitnya pernah mengalami episode
rinosinusitis semasa hidupnya dan sekitar 15% diperkirakan menderita rinosinusitis kronik.
Dari Respiratory Surveillance program, diperoleh data demografik mengenai rinosinusitis
paling banyak ditemukan secara berturut-turut pada etnis kulit putih, Amerika, Spanyol dan
Asia (Bubun et al., 2009).
Di Indonesia, dimana penyakit infeksi saluran napas akut masih merupakan penyakit utama
di masyarakat, angka kejadiannya belum jelas dan belum banyak dilaporkan. Insiden kasus
baru rinosinusitis pada penderita dewasa yang berkunjung di Divisi Rinologi Departemen
THT RS Cipto Mangunkusumo, selama Januari–Agustus 2005 adalah 435 pasien (Soetjipto
et al., 2006).Faktor fisik, kimia, saraf, hormonal dan emosional dapat mempengaruhi mukosa
hidung, demikian juga mukosa sinus dalam derajat yang lebih rendah. Secara umum, sinusitis
kronik lebih lazim pada iklim yang dingan dan basah. Defisiensi gizi, kelemahan, tubuh yang
tidak bugar, dan penyakit sistemik umum perlu dipertimbangkan lagi dalam etiologi sinusitis.
Perubahan dalam faktorfaktor lingkungan, misalnya dingin, panas, kelembaban, dan
kekeringan, demikian pula polutan atmosfer termasuk asap tembakau, dapat merupakan
faktor predisposisi infeksi. Dalam daftar faktor predisposisi umum ini harus ditambahkan
paparan terhadap infeksi sebelumnya, misalnya common cold (Peter A. Hilger, M.D., 1997)
B. Rumusan Masalah
• Apa pengertian dari sinusitis?
• Apa Etiologi dari sinusitis?
• Apa anatomi fisiologi dari sinusitis?
• Apa Patofisiologi dari sinusitis?
• Apa manifestasi klinik dari sinusitis?
• Apa komplikasi dari sinusitis?
• Apa pemeriksaan Penunjang dari sinusitis?
• Apa penatalaksanaan medis dari sinusitis?
C. Tujuan Penulisan
General anestesi sendiri merupakan suatu tindakan meniadakan nyeri secara sentral
disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversible. Cara kerja anestesi umum selain
menghilangkan rasa nyeri, menghilangkan kesadaran, dan membuat amnesia, juga
merelaksasi seluruh otot. Pasien yang mendapatkan anestesi general (general anesthesi)
berasumsi anestesi adalah maut dan beranggapan bahwa anestesi itu “tidur terus tidak bangun
kembali” (Long, 1996, hlm.6).
2. Indikasi
Pembedahan luas atau ekstensif ,Memiliki riwayat alergi terhadap anastesi local, Pasien yang
memilih anastesi umum ,Berpotensi gagal dalam mendapatkan kerja sama dengan pasien,
terutama pasien dengankesulitan belajar,Pasien memiliki fobia, terutama klaustrofobia
berat.,Anak – anak,Pembedahan lama,Pembedahan luas atau ekstensif ,Memiliki riwayat
alergi terhadap anastesi local. Pasien yang memilih anastesi umum
3. Kontra Indikasi
4. Teknik
Teknik General Anestesi General anestesi menurut Mangku dan Senapathi (2010), dapat
dilakukan dengan 3 teknik, yaitu:
c) Anestesi Imbang
Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obat-obatan baik obat
anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau kombinasi teknik general anestesi
dengan analgesia regional untuk mencapai trias anestesi secara optimal dan berimbang.
5. Komplikasi
Beberapa komplikasi anestesi umum di bawah ini termasuk jarang sekali terjadi.
Kemungkinan efek samping dari anestesi umum antara lain:
A. Konsep Teori
1. Pengertian
Sinusitis merupakan peradangan pada saluran rongga tengkorak yang menghubungkan
hidung dengan rongga mata. Biasanya sinus berisi udara, tetapi ketika sinus tersumbat dan
berisi cairan, maka kuman, bakteri, virus, dan jamur dapat berkembang dan menyebabkan
infeksi.Sinusitis merupakan istilah bagi suatu proses inflamasi yang melibatkan mukosa
hidung dan sinus paranasal, merupakan salah satu masalah kesehatan yang mengalami
peningkatan secara nyata dan memberikan dampak bagi pengeluaran finansial masyarakat.
2. Klasifikasi
Klasifikasi sinusitis maksilaris berdasarkan waktunya menurut Cauwenberg:
• Akut, bila infeksi terjadi kurang dari 4 minggu
• Subakut, bila infeksi terjadi sampai 4 minggu-3 bulan
• Kronis, bila infeksi terjadi lebih dari 3 bulan
3. Etiologi
Etiologi sinusitis dapat dibedakan menjadi infeksi dan non-infeksi. Kuman patogen penyebab
sinusitis akut sedikit berbeda dengan sinusitis kronis.
a. Non Infeksi
Etiologi non-infeksi pada sinusitis merupakan segala penyebab yang dapat menimbulkan
sumbatan pada ostium sinus, mengganggu fungsi dan pergerakan silia, serta mengganggu
kualitas dan kuantitas mukus sinus. Etiologi non infeksi sinusitis antara lain :
• Iritan : polusi udara, asap rokok, bahan kimia
• Alergen : rhinitis alergi karena serbuk sari, debu, atau alergen lain
• Kelainan anatomi hidung: infundibulum lebih sempit, deviasi septum nasal
• Trauma : fraktur tulang hidung
• Gangguan silia : jaringan parut, diskinesia silia
b. Infeksi Virus
Hampir 90% sinusitis akut disebabkan oleh infeksi virus. Virus yang sering menimbulkan
sinusitis akut adalah rhinovirus, virus influenza, virus parainfluenza, adenovirus, dan
enterovirus. Sekitar 0,5-2% kasus sinusitis akut akibat infeksi virus dapat berkembang
menjadi sinusitis bakterial akut. [2]
c. Infeksi Bakteri
Sinusitis akibat infeksi bakteri kebanyakan berhubungan dengan infeksi virus pada saluran
nafas atas ataupun faktor-faktor lain yang dapat mengganggu fungsi silia sinus.
4. Anatomi Fisiologi
Sinus paranasal terdiri atas empat pasang yaitu sinus maksila, sinus etmoid, sinus sfenoid
dan sinus frontal. Mukosa sinus dilapisi oleh epitel respiratorius pseudostratified yang terdiri
atas empat jenis sel yaitu sel kolumnar bersilia, sel kolumnar tidak bersilia, sel mukus tipe
goblet dan sel basal. Membran mukosa bersilia bertugas menghalau mukus menuju ostium
sinus dan bergabung dengan sekret dari hidung. Jumlah silia makin bertambah saat mendekati
ostium. Ostium adalah celah alamiah tempat sinus mengalirkan drainasenya ke hidung.
Jumlah silia makin bertambah saat mendekati ostium (Ballenger, 2016).
Berdasarkan lokasi perlekatan konka media dengan dinding lateral hidung, sinus dibagi
menjadi kelompok sinus anterior dan posterior. Kelompok sinus anterior terdiri dari sinus
frontal, maksila dan etmoid anterior yang bermuara ke dalam atau dekat infundibulum.
Kelompok sinus posterior terdiri dari etmoid posterior dan sinus sfenoid yang bermuara di
atas konka media. Fungsi utama sinus paranasal adalah mengeliminasi benda asing dan
sebagai pertahanan tubuh terhadap infeksi melalui tiga mekanisme yaitu terbukanya
kompleks osteomeatal, transport mukosiliar dan produksi mukus yang normal (Ballenger,
2016).
Kompleks ostiomeatal atau KOM adalah jalur pertemuan drainase kelompok sinus anterior
yang terdiri dari meatus media, prosesus unsinatus, hiatur semilunaris, infundibulum etmoid,
bula etmoid, ostium sinus maksila dan resesus frontal. KOM bukan merupakan struktur
anatomi tetapi merupakan suatu jalur yang jika mengalami obstruksi karena mukosa yang
inflamasi atau massa yang akan menyebabkan obstruksi ostium sinus, stasis silia dan terjadi
infeksi sinus (Ballenger, 2016).
5. Fisiologi
Faktor yang paling penting yang mempengaruhi patogenesis terjadinya sinusitis yaitu apakah
terjadi obstruksi dari ostium. Jika terjadi obstruksi ostium sinus akan menyebabkan terjadinya
hipooksigenasi yang menyebabkan fungsi silia berkurang dan epitel sel mensekresikan cairan
mukus dengan kualitas yang kurang baik. Disfungsi silia ini akan menyebabkan retensi
mukus yang kurang baik pada sinus.
Kejadian sinusitis maksila akibat infeksi gigi rahang atas terjadi karena infeksi bakteri
(anaerob) menyebabkan terjadinya karies profunda sehingga jaringan lunak gigi dan
sekitarnya rusak. Pada pulpa yang terbuka, kuman akan masuk dan mengadakan pembusukan
pada pulpa sehingga membentuk gangren pulpa. Infeksi ini meluas dan mengenai selaput
periodontium menyebabkan periodontitis dan iritasi akan berlangsung lama sehingga
terbentuk pus. Abses periodontal ini kemudian dapat meluas dan mencapai tulang alveolar
menyebabkan abses alveolar. Tulang alveolar membentuk dasar sinus maksila sehingga
memicu inflamasi mukosa sinus. Disfungsi silia, obstruksi ostium sinus serta abnormalitas
sekresi mukus menyebabkan akumulasi cairan dalam sinus sehingga terjadinya sinusitis
maksila.
Dengan ini dapat disimpulkan bahwa patofisiologi sinusitis ini berhubungan dengan tiga
faktor, yaitu patensi ostium, fungsi silia, dan kualitas sekresi hidung. Perubahan salah satu
dari faktor ini akan merubah sistem fisiologis dan menyebabkan sinusitis.
6. Patofisiologi
7. Manifestasi Klinis
Gejala sinusitis maksilaris akut berupa demam, malaise, nyeri kepala, wajah terasa
bengkak dan penuh, gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak (sewaktu naik atau turun
tangga), nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, sekret mukopurulen dapat keluar dari
hidung dan berbau busuk.
Gambaran klinis yang sering dijumpai pada sinusitis maksilaris kronik berupa hidung
tersumbat, sekret kental, cairan mengalir di belakang hidung, hidung berbau, indra pembau
berkurang, dan batuk.
8. Komplikasi
a. Eksoftalmus
Eksoftalmus merupakan salah satu komplikasi orbita dari sinusitis, dimana merupakan
penonjolan mata keluar orbita, biasanya merupakan manifestasi penyakit lain. Sinusitis
maksila akut dan kronis jarang berkomplikasi eksoftalmus kecuali jika infeksinya sudah
meluas ke dalam rongga retrobulbar karena terjadi flebitis. Pada etmoiditis akut dan kronis
dapat juga menyebabkan eksoftalmus akibat perluasan infeksi melalui lamina papirasea.
Tumor sinus etmoid jarang ditemukan.
b. Nyeri orbita
Nyeri orbita merupakan penyerta dari sinusitis, dimana nyeri di mata dapat merupakan gejala
sinusitis maksila akut atau sinusitis frontalis sedangkan sinusitis maksila kronis lebih jarang
menyebabkan nyeri orbita. Nyeri orbita meningkatkan infeksi meluas ke dalam orbita melalui
dasar sinus frontal atau karena flebitis. Sinusitis frontal kronis dan tumor jinak atau ganas
dapat menyebabkan nyeri orbita jika sudah meluas ke daerah tersebut.
c. Pembengkakan kelopak mata
Sinusitis akut, etmoid, atau frontal seringkali menyebabkan pembengkakan pada kelopak
mata. Edema yang terjadi pada kelopak mata ini mempunyai tekstur lunak tanpa adanya titik
atau daerah yang nyeri tekan. Gerakan bola mata dan pengelihatan tidak terganggu namun
jika proses peradangan sinus ini meluas ke dalam orbita dapat berbahaya seperti halnya
selulitis orbita. Pada umumnya, kelopak mata atas lebih bengkak pada sinusitis frontal. Pada
etmoiditis pembengkakan terjadi pada kedua kelopak 7 mata dan kelopak bawah dapat lebih
bengkak pada perluasan infeksi dari sinus maksila.
d. Selulitis dan abses orbita
Selulitis dapat terjadi sebagai respon terhadap salah satu kelainan peradangan di sinus
maksilaris. Mula-mula didapati edema peradangn pada satu atau kedua kelopak mata disertai
nyeri. Dengan makin berlanjutnya penyakit timbul eksoftalmus, kemosis konjungtiva,
gangguan gerakan mata yang progresif dan juga didapati gangguan pengelihatan. Pada saat
ini penderita biasanya dalam keadaan sakit berat dengan demam tinggi dan nyeri hebat,
dimana kedaan ini harus mendapat penanganan dengan cepat karena keadaan terburuk dapat
menyebabkan kebutaan.
e. Osteomielitis dari maksila superior
Pada maksila superior seringkali mengalami osteomielitis akut. Osteomielitis diawali dengan
nekrotik pada kantung gigi, dimana nekrotik akan meluas ke dinding antrum maksila,
membentuk pus yang keluar ke dalam hidung dan mulut. Lederer berpendapat bahwa
osteomielitis yang timbul bersamaan ini terjadi akibat infeksi vena bukan merupakan
penyebabnya. Pendapatnya ini berdasarkan penyelidikan serial yang diteliti pada autopsy satu
kasus, Osteomielitis pada bayi dapat disebabkan karena infeksi hidung dan sinusitis.
f. Pneumokel
Suatu pneumokel adalah pengumpulan udara dengan tekanan di jaringan. Udara biasanya
lepas dari defek di dinding tulang sinus frontal dan berkumpul di jaringan sekitar sinus. Jika
hal ini terjadi di dahi, berakibat pneumokel eksterna. Jika defek di dinding posterior, terjadi
pneomokel interna atau intrakranial. Suatu pneumokel dapat timbul sebagai akibat fraktur,
trauma, operasi, celah kongenital, defek, atau nekrosis tulang. Nekrosis tulang dapat terjadi
karena sifilis, osteomielitis, sinusitis, dan lain-lain.
9. Pemeriksaan Penunjang
Metode yang dapat digunakan untuk mendiagnosis sinusitis adalah:
• Endoskopi Hidung.
• Studi Pencitraan
• Tes Alergi
Pengobatan dari sinusitis ini tergantung pada gejala dan riwayat individu. Pengobatan
sinusitis akut dapat dilakukan secara konservatif, yaitu dengan memberikan terapi
medikamentosa berupa antibiotika selama 10-14 hari, meskipun gejala klinik telah hilang.
Antibiotika yang diberikan ialah golongan penisilin. Selain itu juga diberikan dekongestan
lokal berupa tetes hidung atau obat semprot hidung untuk memperlancar drainase sinus yang
hanya dipakai selama waktu yang terbatas (pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan
penyumbatan dan pembengkakan pada saluran hidung) untuk mengurangi penyumbatan,
pembengkakan dan peradangan dapat diberikan obat semprot hidung yang mengandung
steroid dan analgetika untuk menghilangkan rasa nyeri.
B. Konsep Teori
1. Pengertian
Konsep bedah sinus endoskopi fungsional adalah pengangkatan jaringan yang
menyumbat kompleks ostiomeatal dan memfasilitasi drainase sekaligus mempertahankan
mukosa dan struktur anatomi normal. Teleskop memberikan visualisasi yang baik sewaktu
operasi dari kompleks ostiomeatal, yang memungkinkan operasi yang akan difokuskan
tepatnya pada daerah yang patologis. Gambar dapat diproyeksikan ke monitor televisi melalui
kamera kecil yang menempel pada lensa teleskop. Selama 20 tahun terakhir, bedah sinus
endoskopi telah banyak digunakan sebagai penatalaksanaan yang aman dan efektif untuk
gangguan sinus paranasal. Didukung dengan instrumen dan operasi yang dipandu monitor
telah meningkatkan efisiensi dan keamanan prosedur ini (Al-Mujaini, Wali & Alkhabori
2009).
2. Indikasi
3. Komplikasi
Di tangan yang berpengalaman, komplikasi sangat sedikit. Pada laporan kasus lebih
dari 4000 kasus, Stammberger dan Wolf melaporkan hanya dua kasus rinorea cairan
serebrospinal, tidak ada komplikasi intrakranial dan mata. Wigand melaporkan dari 220
pasien yang menjalani etmoidektomi lengkap terutama untuk poliposis, kebocoran cairan
serebrospinal pada dua kasus dan satu kasus hematoma orbital (Busquets & Hwang 2006).
Universitas Sumatera Utara Komplikasi yang paling sering dari bedah sinus endoskopi adalah
terbentuknya sinekia (Lee & Kennedy 2006).
Riwayat Obat
Riwayat Alergi
Tidak mempunyai Riwayat Alergi
b. Analisa Data
Data Etiologi Problem
DS Berhubungan dengan Ketidakefektifan
- Klien penyumbatan pada jalan nafas
mengatakan sulit hidung
bernafas melalui
hidung
- Klien
mengatakan
sesak nafas
DO :
- Klien terlihat
sulit bernafas
melalui hidung
dan bernafas
melalui mulut
RR: 20x/m
TD:
130/80mmhg
T:37°C
N: 72x/i
DS - Pengaruh anestesi Resiko hipotermi
DO
RR: 20x/m
TD:
130/80mmhg
T:35,5°C
N: 72x/i
- Klien
mengatakan
skala nyeri 5
DO :
- Klien terlihat
meringis kesakitan
Implementasi :
Evaluasi :
Pukul : 08.00 WIB
S:
- Klien mengatakan paham tentang teknik napas dalam yang di ajarkan
perawat.
O:
RR: 20x/m
TD: 130/80mmhg
T:37°C
N: 72x/i
A:
Setelah di lakukan tindakan Masalah pasien yeratasi sebagian.
P:
Intervensi di lanjutkan
2. Intra Anestesi
a. Pengkajian intra anestesi
3) Identitas Pasien :
Nama : Tn. x
Umur : 26 tahun
Alamat : jambi
No.CM : 123456
Diagnosa Medis : sinusitis
Tanggal masuk : Selasa, 16 Juni 2020
Tanggal Pengkajian : Selasa,16 Juni 2020
4) Riwata Kesehatan :
Keluhan Utama
Klien mengatakan nyeri pada daerah hidung, susah bernafas melalui hidung,
merasa hidungnya berlendir dan bau, sulit untuk tidur pada malam hari.
Riwayat Obat
Riwayat Alergi
Tidak mempunyai Riwayat Alergi
d. Analisa Data
Data Etiologi Problem
DS Berhubungan dengan Ketidakefektifan
- Klien penyumbatan pada jalan nafas
mengatakan sulit hidung
bernafas melalui
hidung
- Klien
mengatakan
sesak nafas
DO :
- Klien terlihat
sulit bernafas
melalui hidung
dan bernafas
melalui mulut
RR: 20x/m
TD:
130/80mmhg
T:37°C
N: 72x/i
DS - Pengaruh anestesi Resiko hipotermi
DO
RR: 24x/m
TD:
120/80mmhg
T:35,5°C
N: 80x/i
- Klien
mengatakan
skala nyeri 5
DO :
- Klien terlihat
meringis kesakitan
Implementasi :
- Monitor suhu pasien setiap 30 menit
- Bebaskan pasien dari lingkungan yang dingin
- Selimuti pasien dengan selimut hangat
- Kolaborasi pemberian cairan iv mengunakan pemanas animex
Evaluasi :
Pukul : 08.00 WIB
S:-
O:
RR: 24x/m
TD: 120/80mmhg
T:35,5°C
N: 80x/i
A:
Setelah di lakukan tindakan Masalah pasien yeratasi sebagian.
P:
Intervensi di hentikan
3.Post Anestesi
Pengkajian post anestesi
1) Identitas Pasien :
Nama : Tn. x
Umur : 26 tahun
Alamat : jambi
No.CM : 123456
Diagnosa Medis : sinusitis
Tanggal masuk : Selasa, 16 Juni 2020
Tanggal Pengkajian : Selasa,16 Juni 2020
2) Riwata Kesehatan :
Keluhan Utama
Klien mengatakan nyeri pada daerah hidung, susah bernafas melalui hidung,
merasa hidungnya berlendir dan bau, sulit untuk tidur pada malam hari.
Riwayat Obat
Riwayat Alergi
Tidak mempunyai Riwayat Alergi
f. Analisa Data
Data Etiologi Problem
DS Berhubungan dengan Ketidakefektifan
- Klien penyumbatan pada jalan nafas
mengatakan sulit hidung
bernafas melalui
hidung
- Klien
mengatakan
sesak nafas
DO :
- Klien terlihat
sulit bernafas
melalui hidung
dan bernafas
melalui mulut
RR: 20x/m
TD:
130/80mmhg
T:37°C
N: 72x/i
DS - Pengaruh anestesi Resiko hipotermi
DO
RR: 24x/m
TD:
120/80mmhg
T:35,5°C
N: 80x/i
- Klien
mengatakan
skala nyeri 5
DO :
- Klien terlihat
meringis kesakitan
1. Nyeri berkurang
Implementasi :
Evaluasi :
Pukul : 08.00 WIB
S:
- RR: 22x/m
- TD: 120/80mmhg
- T:36,5°C
- N: 80x/i
Augesti, G., Oktarlina, R. Z., & Imanto, M. (2016). Sinusitis Maksilaris Sinistra Akut Et
Causa Dentogen. Jurnal Pengabdian Masyarakat Ruwa Jurai, 2(1), 33-37.