Anda di halaman 1dari 9

I.

MATERI PENYULUHAN
ABSES ATAU BISUL LEHER
DEFINISI ABSES
Abses merupakan pus yang terlokalisir akibat adanya infeksi dan
supurasi jaringan. Abses (Latin: abscessus) merupakan kumpulan nanah
(netrofil yang telah mati) yang terakumulasi di sebuah kavitas jaringan
karena adanya proses infeksi (biasanya oleh bakteri atau parasit) atau
karena adanya benda asing (misalnya serpihan, luka peluru, atau jarum
suntik).
Abses leher dalam adalah abses yang terbentuk di dalam ruang
potensial di antara fasia leher akibat penjalaran infeksi dari berbagai
sumber, seperti infeksi pada daerah faring dan tonsil, gigi, kelenjar liur,
telinga tengah atau bisa juga akibat trauma pada saluran cerna,
limfadenitis, serta penggunaan obat injeksi secara intravena
dan
subkutan.
ETIOLOGI ABSES
Suatu infeksi bakteri bisa menyebabkan abses melalui beberapa cara:
- bakteri masuk ke bawah kulit akibat luka yang berasal dari tusukan
jarum yang tidak steril
- bakteri menyebar dari suatu infeksi di bagian tubuh yang lain
- bakteri yang dalam keadaan normal hidup di dalam tubuh manusia
dan tidak menimbulkan gangguan, kadang bisa menyebabkan
terbentuknya abses.
KLASIFIKASI ABSES LEHER DALAM
Klasifikasi abses leher dibagi menjadi 4, yaitu :
a. Abses peritonsil
b. Abses retrofaring
c. Abses parafaring
d. Abses submandibula
ABSES PERITONSIL
Definisi
Abses peritonsil merupakan kumpulan / timbunan nanah yang
terlokalisir / terbatas pada jaringan peritonsillar yang terbentuk sebagai
hasil dari suppurative tonsillitis.
Etiologi
Abses ini dapat terjadi sebagai komplikasi dari tonsillitis akut atau infeksi
yang bersumber dari tonsil. Biasanya kuman penyebab merupakan kuman
aerob dan anaerob.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang.

a. Anamnesis
Informasi dari pasien sangat diperlukan untuk menegakkan
diagnosis abses peritonsil. Adanya riwayat pasien mengalami nyeri
pada tenggorokan adalah salah satu yang mendukung terjadinya abses
peritonsil. Riwayat adanya faringitis akut yang disertai tonsilitis dan
rasa kurang nyaman pada pharingeal unilateral.
b. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tonsilitis akut dengan asimetri
faring. Inspeksi terperinci daerah yang membengkak mungkin sulit
karena ketidakmampuan pasien membuka mulut. Didapatkan
pembesaran dan nyeri tekan pada kelenjar regional. Pada pemeriksaan
kavum oral didapatkan hiperemis. Tonsil hiperemis, eksudasi, mungkin
banyak detritus dan terdorong ke arah tengah, depan, dan bawah.
Uvula bengkak dan terdorong ke sisi kontralateral. Abses peritonsil
biasanya unilateral dan terletak di pole superior dari tonsil yang
terkena, di fossa supratonsiler. Mukosa di lipatan supratonsiler tampak
pucat dan bahkan seperti bintil-bintil kecil. Diagnosis jarang diragukan
jika pemeriksa melihat pembengkakan peritonsilaris yang luas,
mendorong uvula melewati garis tengah, dengan edema dari palatum
mole dan penonjolan jaringan dari garis tengah. (1) Asimetri palatum
mole, tampak membengkak dan menonjol ke depan, serta pada palpasi
palatum mole teraba fluktuasi.

Gambar 7 Penampakan klinis abses peritonsilar (1) dekstra (2) sinistra


c. Pemeriksaan Penunjang
Nasofaringoskopi dan laringoskopi fleksibel direkomendasikan untuk
penderita yang mengalami gangguan pernafasan. Gold standard
pemeriksaan yaitu dengan melakukan aspirasi jarum (needle
aspration). Tempat yang akan dilakukan aspirasi di anestesi dengan
menggunakan lidokain atau epinefrin dengan menggunakan jarum
berukuran 16-18 yang biasa menempel pada syringe berukuran 10 cc.
Aspirasi material yang purulen merupakan tanda khas, dan material
dapat dikirim untuk dibuat biakannya sehingga dapat diketahui
organisme penyebab infeksi demi kepentingan terapi antibiotika. Pada
penderita abses peritonsil perlu dilakukan pemeriksaan:

Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar


elektrolit (electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood
cultures).
Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien
dengan tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy.
Throat culture atau throat swab and culture diperlukan untuk
identifikasi organisme yang infeksius.
Plain radiographs
Computerized tomography (CT scan)
Peripheral Rim Enhancement Ultrasound

Terapi
Beberapa macam terapi yang selama ini dikenal adalah :
a) Pemberian antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik.
b) Pungsi dan aspirasi disertai antibiotik parenteral.
c) Insisi dan mengeluarkan nanah disertai pemberian antibiotika secara
parenteral atau peroral.
d) Segera tonsilektomi disertai pemberian antibiotika parenteral.
e) Pemberian steroid.
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi, dan obat
simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan cairan hangat dan kompres
dingin pada leher. Pemilihan antibiotik yang tepat tergantung dari hasil
kultur mikroorganisme pada aspirasi jarum. Penisilin merupakan drug of
chioce pada abses peritonsil dan efektif pada 98% kasus jika
dikombinasikan dengan metronidazole. Dosis untuk penisilin pada dewasa
adalah 600 mg IV tiap 6 jam selama 12-24 jam, dan anak 12.500-25.000
U/Kg tiap 6 jam. Metronidazole dosis awal untuk dewasa 15 mg/kg dan
dosis penjagaan 6 jam setelah dosis awal dengan infus 7,5 mg/kg selama
1 jam diberikan selama 6-8 jam dan tidak boleh lebih dari 4 gr/hari.
Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses,
kemudian di insisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di
daerah yang paling menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis
yang menghubungkan dasar uvula dengan geraham atas terakhir.
Intraoral incision dan drainase dilakukan dengan mengiris mukosa
overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan supratonsillar. Drainase
atau aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segera gejala-gejala
pasien.
Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan
analgesia lokal di ganglion sfenopalatum. Kemudian pasien dinjurkan
untuk operasi tonsilektomi a chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari
setelah drainase abses disebut tonsilektomi a tiede, dan bila
tonsilektomi 4-6 minggu sesudah drainase abses disebut tonsilektomi a
froid. Pada umumnya tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu
2-3 minggu sesudah drainase abses.
Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita
abses peritonsil berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan
sekitarnya. Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk
kambuh. Angka kekambuhan yang mengikuti episode pertama abses
peritonsiler berkisar antara 0% sampai 22%. Sampai saat ini belum

ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil.


Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 68 minggu kemudian
mengingat kemungkinan terjadi perdarahan atau sepsis, sedangkan
sebagian lagi menganjurkan tonsilektomi segera.
Penggunaan steroid masih kontroversial. Penelitian terbaru yang
dilakukan Ozbek mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal
intravenous dexamethasone pada antibiotik parenteral telah terbukti
secara signifikan mengurangi waktu opname di rumah sakit (hours
hospitalized),
nyeri
tenggorokan
(throat
pain),
demam,
dan
trismus dibandingkan dengan kelompok yang hanya diberi antibiotik
parenteral.
ABSES RETROFARING
Definisi
Abses retrofaring adalah suatu peradangan yang disertai
pembentukan pus pada daerah retrofaring. Biasanya terjadi pada anak
usia 3 bulan hingga 5 tahun. Umumnya terjadi karena pada usia tersebut
ruang retrofaring masih berisi kelenjar dari hidung, sinus paranasal,
nasofaring, faring, tuba eustachius dan telinga tengah. Sedangkan pada
usia 6 tahun kelenjar-kelenjar tersebut mengalami atrofi.
Etiologi
Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya abses ruang retrofaring
ialah:
1. Infeksi saluran nafas atas yang menyebabkan limfadenitis retrofaring.
2. Trauma dinding belakang faring oleh benda asing seperti tulang ikan
atau tindakan medis, seperti adenoidektomi, intubasi endotrakea dan
endoskopi.
3. Tuberkulosis vertebra servikalis bagian atas (abses dingin).
Tanda dan Gejala
Pada anak dari anamnesis biasanya didahului oleh infeksi saluran
nafas atas. Pada orang dewasa dari anamnesis biasanya didahului riwayat
tertusuk benda asing pada dinding posterior faring, pasca tindakan
endoskopi atau adanya riwayat batuk kronis.
Gejala utama abses retrofaring ialah rasa nyeri dan sukar menelan.
Pada anak kecil, rasa nyeri menyebabkan anak menangis terus (rewel)
dan tidak mau makan dan minum. Juga terdapat demam, leher kaku dan
nyeri. Dapat timbul sesak napas karena sumbatan jalan napas, terutama
di hipofaring. Bila proses peradangan berlanjut sampai mengenai laring
dapat timbul stridor. Sumbatan oleh abses juga dapat mengganggu
resonansi suara sehingga terjadi perubahan suara.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan adanya riwayat infeksi saluran
nafas bagian atas atau trauma, gejala dan tanda klinik serta pemeriksaan
penunjang foto rontgen lateral jaringan lunak leher. Pada kasus-kasus ini,
radiografi jaringan lunak lateral leher menunjukkan peningkatan
bayangan jaringan lunak yang jelas antara saluran udara faring dan

korpus vertebra servikalis. Laring dan trakea ditunjukkan dalam posisi ke


arah depan. Jika terdapat keraguan mengenai radiografi, maka dapat
dipertegas dengan radiografi penelanan barium.
Tatalaksana
a. Medikamentosa
Sebagai terapi medikamentosa diberikan antibiotika dosis tinggi,
untuk kuman aerob dan anaerob, diberikan secara parenteral. Tujuan
dari farmakoterapi adalah untuk membasmi infeksi, mengurangi
morbiditas, dan mencegah komplikasi.
b. Tindakan bedah
Dilakukan pungsi dan insisi abses melalui laringoskop langsung
dalam posisi pasien baring Trendelnburg. Pus yang keluar segera
diisap, agar tidak terjadi aspirasi. Tindakan dapat dilakukan dalam
analgesia lokal atau anesthesia umum. Pasien dirawat inap sampai
gejala dan tanda infeksi reda. Kadang-kadang, intubasi endotrakeal
atau krikotirotomi mungkin diperlukan jika pasien menunjukkan
tanda-tanda obstruksi saluran napas atas.
ABSES PARAFARING
Definisi
Abses parafaring adalah abses leher dalam paling sering terjadi
kedua setelah abses peritonsilar. Insidensi kejadian abses parafaring
diseluruh dunia adalah 1 dalam 6-10.000 orang setiap tahun.
Etiologi
Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara 1)
Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi
dengan analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang
telah terkontaminasi kuman menembus lapisan otot tipis (m.konstriktor
faring superior) yang memisahkan ruang parafaring dari fosa tonsilaris. 2)
Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring,
hidung, sinusparanasal, mastoid dan vertebra servikal dapat merupakan
sumber infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring. 3) Penjalaran
infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring atau submandibula.
Manifestasi Klinis
Pada infeksi dalam ruang parafaring terdapat pembengkakan
dengan nyeri tekan di daerah submandibula terutama pada angulus
mandibula, leukositosis dengan pergeseran ke kiri dan adanya demam.
Terlihat edem uvula, pilar tonsil, palatum dan pergeseran ke medial
dinding lateral faring. Sebagai perbandingan pada abses peritonsil, hanya
tonsl yang terdorong ke medial.
Trismus yang dapat disebabkan oleh meregangnya m.pterigoid
internus merupakan gejala yang menonjol, tetapi mungkin tidak terlihat
jika infeksi jauh di dalam sampai prosesus stiloid dan struktur yang
melekat padanya sehingga tidak mengenai m.pterigoid internus.
Diagnosis

Diagnosa ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit, gejala dan


tanda klinik. Bila meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang
berupa fotorontgen, jaringan lunak AP atau CT scan.
Foto jaringan lunak leher antero-posterior dan lateral merupakan
prosedur diagnostik yang penting. Pada pemeriksaan foto jaringan lunak
leher pada kedua posisi tersebut dapat diperoleh gambaran deviasi
trakea, udara di daerah subkutis, cairan di dalam jaringan lunak dan
pembengkakan daerah jaringan lunak leher.
Keterbatasan pemerikasaan foto polos leher adalah tidak dapat
membedakan antara selulitis dan pembentukan abses. Pemeriksaan foto
toraks dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya edema paru,
pneumotoraks, pneumomediastinum atau pembesaran kelenjar getah
hilus. Pemeriksaan tomografi komputer dapat membantu menggambarkan
lokasi dan perluasan abses. Dapat ditemukan adanya daerah densitas
rendah, peningkatan gambaran kontras pada dinding abses dan edema
jaringan lunak disekitar abses. Pemeriksaan kultur dan tes resistensi
dilakukan untuk mengetahui jenis kuman dan pemberian antibiotika yang
sesuai.
Tatalaksana
Tatalaksana absen parafaring dilakukan dengan medikamentosa dan
terapi bedah. Terapi medikamentosa meliputi pemberian antibiotika baik
untuk kuman aerob maupun anaerob dan simptomatis sesuai keluhan
serta gejala klinik yang timbul. Terapi bedah dapat dilakukan dengan 2
cara pendekatan eksternal atau intra oral.
Jika terdapat pus maka tidak ada cara lain kecuali dengan evakuasi
bedah. Sebelumnya diperlukan tirah baring dan kompres panas untuk
menekan lokalisasi abses. Terapi antimikroba sangat perlu, lebih baik
berdasarkan tes sensitivitas.
1. Pemberian antibiotika
Banyak mikroorganisme yang dapat menjadi penyebab infeksi
kepala dan leher, dan berasal dari berbagai sumber. Flora bakteri
campuran sering ditemukan pada hasil kultur. Bakteri gram positif,
streptococcus beta hemolitik dan staphylococcus aureus adalah
bakteri yang paling sering ditemukan. Bakteri gram negatif dan juga
anaerob juga sering ditemukan. Anaerob biasanya ditemukan
terutama pada infeksi-infeksi akibat penyebaran dentogen. Bakteribakteri penghasil beta laktamase ditemukan meningkat frekuensinya
pada infeksi kepala dan leher.
Dengan insidensi bakteri gram negatif dan bakteri penghasil beta
laktamase yang tinggi, penisilin bukan lagi merupakan obat pilihan
untuk kasus infeksi ini. Sebelum hasil kultur dan uji sensitifitas
didapatkan, antibiotik yang digunakan adalah yang memiliki
spektrum terhadap bakteri gram positif, gram negatif, anaerob dan
penghasil beta laktamase. Biasanya diberikan kombinasi antibiotik,
seperti klindamisin dan cefuroxime serta ampisilin dan sulbaktam,
sebagai pilihan yang paling baik.
2. Drainase abses
Sebagian besar abses leher dalam perlu dilakukan drainase untuk
penyembuhan dan mencegah komplikasi. Tindakan drainase pada

abses parafaring dilakukan dengan dengan pendekatan eksterna dan


intra oral.
a. Insisi intraoral
Insisi intra oral dilakukan jika timbul penonjolan ke dalam faring,
dilakukan anestesi sebelum tindakan dan dilanjutkan dengan insisi
dan drainase.
Insisi intra oral dilakukan pada dinding lateral faring harus dilakukan
dengan memakai klem arteri, eksplorasi dilakukan dengan
menembus m. konstriktor faring superior ke ruang parafaring. Insisi
intra oral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan dari insisi
eksternal.
b. Insisi eksterna
Insisi ekterna jika suatu abses menonjol ke luar atau tampak
pembengkakan yang jelas. Drainase eksterna dilakukan secara teknik
Mosher yaitu insisi seperti huruf T yang dilakukan pada 2 jari di
bawah dan sejajar mandibula. Secara tumpul eksplorasi dilanjutkan
dari anterior m. sternokleidomastoideus ke arah kranio-posterior
menyusuri medial mandibula dan m. pterygoid internus mencapai
ruang parafaring dengan meraba prosesus styloideus. Bila nanah
terdapat di selubung karotis, insisi dilanjutkan secara vertikal dari
pertengahan
insisi
horizontal
ke
bawah
di
depan
m.
sternokleiodomastoideus.
ABSES SUBMANDIBULA
Definisi
Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai
pembentukan pus pada daerah submandibula. Abses submandibula dan
angina ludovici (Ludwigs angina) dapat terjadi karena adanya infeksi
yang bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar limfe
submandibula. Mungkin juga kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam
lain.
Etiologi
Sumber infeksi seringkali dari gigi molar ke dua atau ke tiga,
ataupun peradangan supuratif kelenjar limfe servikal di ruang sub
mandibula yang merupakan penyebab dari abses sub lingual ataupun
submental. Pada kasus yang berasal dari infeksi gigi, sering ditemukan
kuman
anaerob
Bacteroides
melaninogenesis,
Eubacterium
Peptostreptococus dan yang jarang adalah kuman Fusobacterium.
Tanda dan Gejala
Demam dan nyeri leher yang disertai pembengkakan di bawah dagu
atau dibawah lidah baik unilateral atau bilateral, disertai rasa demam,
nyeritenggorok atau trismus. Mungkin didapatkan riwayat infeksi atau
cabut gigi. Pembengkakan dapat berfluktuasi atau tidak.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis yang cermat,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada beberapa kasus

terkadang sulit untuk menentukan lokasi abses terutama jika melibatkan


beberapa daerah infeksi leher dalam dan jika pasien sudah mendapatkan
pengobatan sebelumnya, pada pasien biasanya dijumpai riwayat sakit
gigi, mengorek atau mencabut gigi.
Terapi
Antibiotika dosis tinggi terhadap kuman aerob dan anaerob harus
diberikan secara parenteral. Evakuasi abses dapat dilakukan dalam
anastesi lokal untuk abses yang dangkal dan terlokalisasi atau eksplorasi
dalam narcosis bila letak abses dalam dan luas. Insisi dibuat pada tempat
yang paling berfluktuasi atau setinggi os hyoid, tergantung letak dan luas
abses. Pasien dirawat inap sampai 1-2 hari gejala dan tanda infeksi reda.
ANGINA LUDOVICI
Definisi
Angina ludovici adalah infeksi ruang submandibula berupa selulitis
dengan tanda khas berupa pembengkakan seluruh ruang submandibula,
tidak membentuk abses sehingga keras pada perabaan submandibula.
Etiologi
Penyebab angina ludovici adalah trauma bagian dalam mulut,
infeksi lokal pada mulut, karies gigi, terutama gigi molar dan premolar,
tonsillitis dan peritonsilitis, trauma pada ekstraksi gigi, angina vincent,
erysipelas wajah, otitis media dan eksterna serta ulkus pada bibir dan
hidung. Jika infeksi berasal dari gigi, organism pembentuk gas tipe
anaerob sangat dominan. Jika infeksi bukan berasal dari gigi, biasanya
disebabkan oleh streptokokus.
Tanda dan Gejala
Tanda-tanda dan gejala ludwigs angina adalah selulitis, nyeri
tenggorok dan leher, disertai selulitis yang berkembang pesat atau
pembengkakan di daerah submandibula, yang tampak hiperemis dan
keras pada perabaan. Demam, sakit gigi, malaise, disfagia dan napas
berbau trismus, merupakan gejala yang umum.
Peradangan ruang ini menyebabkan kekerasan yang berlebihan
pada jaringan dasar mulut dan mendororng lidah ke atas dan belakang
dengan demikian dapat menyebabkan obstruksi jalan napas secara
potensial.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat sakit gigi, gejala dan
tanda klinik. Pada Pseudo Angina Ludovici, dapat terjadi fluktuasi.
Diagnosis menurut kriteria Grodinsky yaitu :
Keterlibatan secara bilateral atau lebih ruang leher dalam
Gangren yang disertai dengan pus serosanguinous
Keterlibatan jaringan ikat, fasia, dan otot tetapi tidak mengenai
struktur kelenjar.
Penyebaran melalui ruang fasial lebih sering daripada melalui sistem
limfatik.

Terapi
Sebagai gold standard dalam penanganan angina ludovici adalah
bebaskan jalan nafas, kemudian diberikan terapi antibiotika dengan dosis
tinggi, untuk kuman aerob dan anaerob, dan diberikan secara parenteral.
Selain itu dilakukan eksplorasi yang dilakukan untuk tujuan dekompresi
(mengurangi ketegangan) dan evakuasi pus (pada angina ludovici jarang
terdapat pus) atau jaringan nekrosis. Insisi dilakukan di garis tengah
secara horizontal setinggi os hyoid (3-4 jari di bawah mandibula), dengan
demikian menghentikan ketegangan yang terbentuk di dasar mulut.
KOMPLIKASI ABSES LEHER DALAM
Komplikasi abses leher dalam terdiri dari:
Perdarahan pada arteri karotis
Trombosis pada sinus kavernosus
Defisit neurologi yang terdiri dari: Horner Syndrome, pada nervus
kranial IX dan XII
Edema paru
Mediastinitis
Perikarditis
Aspirasi
Sepsis
PROGNOSIS
Prognosis baik apabila diberikan terapi yang adekuat berupa
antibiotik dan drainase yang adekuat. Abses dapat sembuh dalam
beberapa hari.
PENCEGAHAN ABSES

Anda mungkin juga menyukai