Anda di halaman 1dari 12

MEDIASTINITIS

Penyusun :
Kalia Labitta Yudhasoka
Leni Ruslaini

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


BEDAH THORAX DAN KARDIOVASKULAR
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PADJAJARAN
2019
MEDIASTINITIS

I. Pendahuluan

Mediastinitis merupakan infeksi yang terjadi pada mediastinum, dan dapat

memberikan dampak mortalitas serta morbiditas yang tinggi. Kesulitan

mendiagnosis dari mediastinitis menjadi perhatian dalam makalah ini serta terapi

yang agresif merupakan pilihan utama dalam penanganannya. Diagnosis faktor

penyebab mediastinitis juga penting karena reinfeksi yang terjadi dapat berakibat

fatal. Dengan membandingkan kasus dan kepustakaan penanganan bedah terhadap

abses mediastinum sudah tepat dari segi waktu dan teknik pembedahan yang

dilakukan, hanya intervensi terhadap faktor penyebab yang terlambat

menyebabkan penanganan yang tidak optimal.

II. Definisi

Mediastinitis adalah infeksi yang terjadi pada mediastinum. Infeksi pada

mediastinum dapat berasal dari esophagus, faring atau leher, juga dapat berasal

dari daerah yang berdekatan seperti paru-paru, pleura dan vertebrata, infeksi ini

meluas ke bawah dari oropharyng, dan biasa disebut juga Descending Necrotizing

Mediastinitis. Tingkat mortality dari infeksi mediastinitis berkisar 19-47 %.

Prevalensi pada pria lebih tinggi dibandingkan dengan wanita, ratio 6 : 1 dan

usianya berkisar 30-50 tahun (Wesley, 1999).


III. Letak Anatomi Mediastinum

Mediastinum adalah suatu ruangan diantara pleura kanan dan kiri yang

mengelilingi perikardium jantung (gambar 1).

Ruang ini meluas dari sternum di bagian depannya, batas belakang adalah

keduabelas vertebra torakalis, di bagian bawah berbatasan dengan diagfragma,

sedangkan batas atasnya aperture torakalis superior (Wesley, 1999).

Gambar 1. Mediastinum dalam potongan transversal

Daerah di atas perikardium disebut sebagai mediastinum superior, di

depan perikardium disebut mediastinum posterior sedangkan daerah dimana

terdapat perikardium disebut mediastinum medium (Gambar 2) (Wesley, 1999).

Mediastinum superior merupakan bagian mediastinum di atas perikardium,

dimana batas bagian bawah adalah garis khayal yang menghubungkan angulus

sterni dan diskus vertebralis antara vertebra torakalis empat dan lima, spatium

retrofaringeal yang letaknya di belakang faring. Isi mediastinum superior antara

lain : vena cava superior, vena brachiocephalica, arteri brachiocephalica, arcus

aorta, arteri carotis communis kiri dan arteri subklavia kiri.


Mediastinum anterior adalah suatu ruang sempit yang terletak di depan

pericardium dimana letaknya antara pleura kanan dan kiri serta di bagian bawah

berbatas denagn diagfragma. Mediastinum anterior berisi timus yang dikelilingi

jaringan lemak dan sejumlah kelenjar limfe.

Mediastinum posterior terletak di belakang perikardium yang meluas ke

arah bawah sampai ke diagfragma dengan batas superiornya adalah bagian

baawah dari vertebra torakalis empat. Isi mediastinum posterior antara lain :

esophagus, nervus vagus, aorta desendens, vena azygos dan vena hemiazygos.

Mediastinum medium diliputi oleh pericardium yang didalamnya

mengandung organ jantung dan pembuluh-pembuluh darah besar yang melintas

masuk dan keluar jantung. Isi dari mediastinum medium antara lain : jantung

dibungkus pericardium, aorta asendens, bagian bawah vena cava superior,

bifurkasi trachea dengan bronchus kanan dan kiri, arteri pulmonalis, vena

pulmonalis dan kelenjar limfe bronchial.

Gambar 2. Gambaran ilustrasi mediastinitis dalam potongan sagital


IV. Etiologi dan Patogenesis

Mediastinitis diakibatkan penyebaran infeksi dari spatium dasar mulut

yang meluas ke leher dan mediastinum, disebabkan karena pada daerah kepala

dan leher terdapat spatium yang satu dengan yang lain berhubungan sehingga

memungkinkan penjalaran infeksi sampai ke mediastinum (Fried 1980).

Ada tiga jalan utama masuknya infeksi dari leher ke mediastinum. Yang

pertama, infeksi dapat melalui spatium pretrakheal yang terletak di bagian anterior

trachea. Penjalaran infeksi melalui spatium ini ± 8 %. Spatium ini merupakan

bagian paling luar dari kartilago tiroid dan meluas sampai bagian anterior

mediastinum. Fasia dari spasium ini bersatu dengan pericardium dan melekat pada

pleura parietal. Keadaan ini erat hubungannya dengan terjadinya empiema pleura

dan efusi pericardial yang menyertai abses pada bagian anterior mediastinal

(Hendler, 1978).

Yang kedua, infeksi dapat menjalar melalui spatium viserovaskular yang

meliputi selaput carotid, juga jaringan-jaringan saraf dan vascular. Infeksi melalui

spatium ini jarang terjadi, karena susunan pembuluh darah yang padat dan sedikit

jaringan ikat. Penjalaran infeksi melalui spatium ini ± 21 %.

Yang ketiga, perluasan infeksi yang paling sering ke mediastinum adalah

melalui spatium retrofaringeal. Penjalaran infeksi melalui spatium retrofaringeal

ke mediastinum ± 71 %.

Spatium retrofaringeal ini meluas dari dasar tengkorak sampai bagian

posterior mediastinum. Infeksi yang terjadi pada gigi molar dua dan molar tiga

rahang bawah dapat menimbulkan infeksi pada spatium dasar mulut ( Ludwig
Angina) dan meluasnya infeksi menembus batas lapisan lapisan luar otot

milohioid ke spatium parafaringeal dan selanjutnya meluas melalui otot

stiloglosus ke spatium retrofaringeal yang berhubungan dengan mediastinum

posterior, maka dapat terjadi infeksi pada mediastinum (Levine, 1986).

Gambar 1. Spasia faringeal lateral, terletak antara M. pterigoideus lateral

dan M. konstriktor faringeal superior. Spasia retrofaringeal dan spasia

prevertebral terletak antara faring dan kolumna vertebral. Spasia

retrofaringeal terletak antara M. konstriktor faringeal superior dan portio

alar fascia prevertebral. Spasia prevertebral terletak antara alar dan lapisan

prevertebral dari fascia prevertebral (Peterson, 1993).


Keterlibatan spasia retrofaringeal dapat juga meliputi spasia prevertebral.

Spasia prevertebral meluas dari basis kranii ke arah inferior dengan diafragma.

Spasia ini juga dikenal dengan danger space No.4 (gambar 4). Jika spasia

prevertebral terlibat, pasien sakit parah dan dengan bahaya kematian. Terdapat

tiga komplikasi yang berpotensi besar (Peterson, 1993 ; Peterson, 2003).

Pretrakheal Space Danger Space 4

Gambar 4. Jika spasia retrofaringeal terlibat, mediastinum posterosuperior

dapat juga menjadi terinfeksi sekunder. Jika spasia prevertebral terinfeksi,

tepi inferior merupakan diafragma dan juga seluruh mediastinum beresiko

ikut terinfeksi (Peterson, 2003).


IV. Gejala Klinis

Menurut Topazian, perluasan infeksi dentogen ke mediastinum ditandai

dengan rasa sakit pada dada daerah substernal dan kesulitan bernafas, juga disertai

demam yang terus menerus, takhikardi, krepitasi dan warna kemerahan pada

bagian bawah leher sebagai tanda infeksi meluas dari leher ke mediastinum.

Gejala klinis lainnya berupa kesukaran bernafas yang hebat karena tekanan pada

laringdapat menimbulkan kematian.

V. Pemariksaan penunjang

Pemeriksaan untuk menunjang diagnosis mediastinitis adalah sebagai berikut :

A. Pemeriksaan bakteriologis

Pemeriksaan ini penting dan hendaknya dilakukan segera sejak dilakukan

isolasi dari organisme penyebab infeksi. Mikroorganisme pada infeksi

mediastinum, biasanya campuran aerob dan anaerob, sering dengan flora mulut

lebih dominan. Baik organisme gram (+) maupun gram (-) dapat dikultur. Spesies

Streptokokus hemolitikus-β grup A (Streptokokus pyogenes), spesies

Streptokokus hemolitikus-α (Streptokokus viridan, Streptokokus pneumonia),

Stafilokokus aureus, Fusobakterium nukleatum, Bakteroides melaninogenikum,

Peptostreptokokus, dan spesies Neisseria sering ditemukan di dalam kultur.

(Hupp, 2000).
Selain itu dilakukan tes kultur bakteri dan tes sensitivitas untuk

mengatahui bakteri penyebab infeksi dan kepekaan bakteri tersebut terhadap

bermacam-macam antibiotik.

B. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan radiologis untuk penderita mediastinitis sangat membantu

dalam menegakan diagnosa. Dari hasil rontgen pada dada terlihat adanya

pelebaran pada mediastinum (Topazian, 2002).

C. Pemeriksaan CT Scan

Pemeriksaa dengan menggunakan CT Scan sangat bermanfaat sekali

untttuk menegakan diagnose mediastinitis (gambar 5). Akan tetapi kemungkinan

banyak penderita yang sudah berat sehingga sulit untuk mendapatkan hasil CT

Scan yang baik. Untuk kasus-kasus seperti ini dokter yang menangani harus jeli

terhadap hasil pemeriksaan radiografi biasa (Levine, 1986).

Gambar 5. Gambaran CT Scan


VI. Diagnosa

Diagnosa mediastinitis ditegakkan dari hasil pemeriksaan klinis,

pemeriksaan radiologis serta CT Scan.

Pada pemeriksaan klinis terlihat adanya sakit pada dada dan daerah

substernal, suhu tubuh yang meningkat disertai penurunan kesadaran, takhikardi,

krepitasi dan warna kemerahan pada bagian bawah leher, kesukaran menelan dan

kesulitan bernapas yang hebat. Pada pemeriksaan rontgen terlihat adanya abses

pada leher, dan tampak pelebaran pada mediastinum. Pada pemeriksaan CT Scan

dapat terlihat adanya abses pada mediastinum, efusi pleura atau empiema pleura.

VII. Perawatan dan pengobatan

Penanganan awal infeksi mediastinum memerlukan terapi antibiotik secara

parenteral yang intensif. Umumnya antibiotik yang efektif untuk melawan bakteri

Streptokokus dan Stafilokokus yang dipilih. Jika pasien mengalami sesak nafas

yang hebat maka sangat penting untuk membebaskan jalan napas, dapat melalui

intubasi endotrakeal atau nasotrakeal, trakeostomi.

Penentuan pemilihan antibiotik ditentukan berdasarkan hasil tes kultur

darah dan tes sensitivitas. Selain pemberian antibiotik secara parenteral, juga

dilakukan pananganan pembedahan untuk drainase mediastinum secara

“transcervikal”.

Tahapan prosedur pembedahan transcervikal yaitu, leher dibuka dengan

insisi di bagian anterior otot sternokledomastoideus yang memanjang ke bagian

tengah bawah. Semua spatium pada leher yang terkena dibuka, didrainase dan
jaringan nekrotik dibuang. Bagian anterior mediastinum dibuka melalui spatium

pretrakheal. Pembukaan dilakukan dengan jari tangan sehingga mediastinum

dapat dibuka sampai kebatas bifurkasi trachea tanpa menimbulkan kerusakan pada

struktur vaskular.

Selain dilakukan tindakan tersebut di atas maka tindakan perawatan

lainnya meliputi pangamatan denyut nadi, tekanan darah, suhu dan respirasi,

pemberian cairan yang diperlukan tubuh dan pemberian nutrisi yang cukup.

VIII. Komplikasi

Mediastinitis mempunyai komplikasi yang berpotensi mengancam

kehidupan. Infeksi ini jika tidak dirawat atau tidak dirawat secara memadai, serta

keterlambatan diagnosis dan perawatan dapat mempunyai resiko komplikasi

seperti sumbatan jalan napas akibat edema faring dan laring. Selain itu komplikasi

lain dapat terjadi empiema pleura yang merupakan penyebaran infeksi ke pleura

dimana ditemukan pus dalam pleura, dapat juga terjadi komplikasi syok septik.

(Peterson, 1993)

IX. Kesimpulan

Pasien dengan mediastinitis memerlukan penanganan yang cepat dan tepat,

oleh karena itu diperlukan pengetahuan dan pengalaman dalam pengobatan yang

tepat. Keterlambatan dalam pengobatan dapat menimbulkan banyak komplikasi

dan menyebabkan penyembuhan menjadi lambat. Jika infeksi telah sembuh, faktor

predisposisi yang dapat menyebabkan berulangnya infeksi harus dihilangkan.


DAFTAR PUSTAKA

Fried A. Lawrence. 1980. Anatomy of The Head, Neck, Face and Jaws. 2 th. Ed.

Philadelphia. Lea & Febiger. H. 228-252.

Hendler, H. B., Peter D. Quinn. 1978. “Fatal Mediastinitis Secondary to

Odontogenic Infection : report of case.” J. Oral Surg. Vol.36.h. 308-310.

Hupp, J.R. 2000. Infections of Soft Tissue of The Maxillofacial and Neck
Regions. In: Topazian, R.G. & Goldberg, M.H.(Ed). Oral and
Maxillofacial Infections. 4th ed. Philadelphia: W.B. Saunders.
Levine, M.T., Carl F.W., Yosef P.K. 1986. “ Mediastinitis Occuring as a

Complication of Odontogenic Infections, report of case”. Vol 96. h 747

Peterson, L.J. 1993. Odontogenic Infections. In: Cummings C.W. et al. (Ed).
Otolaryngology Head and Neck Surgery. Vol.2 2nd ed. St. louis: Mosby
Year Book.
Peterson, L.J. 2003. Complex Odontogenic Infections. In: Peterson, L.J. et al.
(Ed). Contemporary Oral & and Maxillofacial Surgery. 4th ed. St. Louis:
Mosby.
Topazian, R G. 2002. Oral and Maksilofacial Infections. 4th ed. Philadelpia. WB.
Saunders Company

Anda mungkin juga menyukai