Anda di halaman 1dari 51

Laporan Kasus

Batu Pyelum Dextra

Oleh:
Frandi Wirajaya, S.Ked
04084821517027

Pembimbing:
dr.Arizal Agoes, SpB, SpU

BAGIAN ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT Dr. MOH. HOESIN PALEMBANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2015

HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Judul: Batu Pyelum Dextra

Disusun oleh: Frandi Wirajaya, S.Ked


NIM

: 04084821517027

Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian
Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP dr. Mohammad Hoesin
Palembang, Periode 15 Juni 2015-22 Agustus 2015.

Palembang,

Agustus 2015

Pembimbing

dr. Arizal Agoes, Sp.B, Sp.U

ii

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................................. iii
PENDAHULUAN .......................................................................................................... iv
BAB I LAPORAN KASUS ........................................................................................... 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 10
2.1 Anatomi Sisterm Urinarius ........................................................................................ 10
2.2 Batu Saluran Kemih .................................................................................................. 18
2.3 Hidroneforis ............................................................................................................... 38
BAB III ANALISIS KASUS ......................................................................................... 40
DAFTAR PUSTAKA

iii

PENDAHULUAN
Penyakit batu saluran kemih (BSK) merupakan penyakit umum yang masih
menimbulkan beban kesehatan yang signifikan pada populasi usia kerja dan merupakan
tiga penyakit terbanyak di bidang urologi disamping infeksi saluran kemih dan
1

pembesaran prostat benigna. Penyakit ini diduga sudah dikenal dan telah melanda
manusia sejak catatan paling awal peradaban. Sebagai salah satu buktinya adalah
ditemukan batu pada kandung kemih seorang mumi Mesir yang diperkirakan berumur
sekitar 7000 tahun.

1, 26

Di Amerika Serikat 5-10% penduduknya menderita penyakit ini,

sedangkan di seluruh dunia rata-rata terdapat 1-12% penduduk yang menderita batu
saluran kemih.

26

Di Indonesia, penyakit BSK masih memegang andil terbesar dari total

pasien di klinik urologi, dan kejadian yang tepat masih belum ditentukan.
Menurut tempatnya, BSK digolongkan menjadi batu ginjal dan batu kandung kemih,
tetapi batu ginjal merupakan penyebab terbanyak. Batu ginjal merupakan suatu keadaan
27

dimana terdapat satu atau lebih batu di dalam pelvis atau kaliks dari ginjal. Secara garis
besar pembentukan batu ginjal dipengaruhi oleh faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor
intrinsik yaitu umur, jenis kelamin, dan keturunan, sedangkan faktor ekstrinsik yaitu
kondisi geografis, iklim, kebiasaan makan, zat yang terkandung dalam urin, dan
sebagainya. Prevalensi seseorang mengalami batu ginjal sepanjang hidupnya diperkirakan
bervariasi antara 1-15%,dengan jumlah penderita laki-laki tiga kali lebih banyak
dibandingkan dengan perempuan, dan umumnya didapatkan pada dekade ketiga sampai
dekade kelima.1

iv

BAB I
LAPORAN KASUS

1.1. Identifikasi
Nama

: Heriono Bin Yanto

Jenis Kelamin : Laki-laki


Usia

: 30 tahun (5 Oktober 1985)

Pekerjaan

: Sopir mobil truk kelapa sawit

Alamat

: Dusun II Mekar Jaya Sungai Keruh, Kabupaten Musi Banyuasin,


Sumatera Selatan

Status

: Menikah

Agama

: Islam

MRS

: 07-07-2015

No. Rek Med

: 885129

1.2. Anamnesis

Keluhan Utama
Nyeri pinggang kanan

Keluhan Tambahan
Tidak ada

Riwayat Perjalanan Penyakit Sekarang


Penderita datang dengan keluhan nyeri pinggang kanan yang semakin
sering intensitasinya sejak 1 bulan SMRS. Nyeri hilang timbul dan menjalar ke
perut depan. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk. Nyeri timbul tiba-tiba, bisa
pada saat tidur ataupun sedang duduk. Nyeri pinggang kanan ini sebenarnya
telah dikeluhkan pasien sejak 3 bulan SMRS, hanya saja nyeri dirasakan
sesekali saja dan dianggap tidak mengganggu. Keluar batu saat BAK tidak ada,
nyeri saat BAK tidak ada, BAK menetes tidak ada. Pasien pernah mengalami
BAK bercampur darah seperti air cucian daging yang hilang timbul. BAK

berdarah ini timbul bila pasien kurang minum dan sering beraktivitas duduk.
BAK bercampur darah mulai dari awal hingga akhir berkemih. BAB seperti
biasa. Keluhan demam, mual, muntah, badan lemas, dan penurunan berat badan
tidak ada.

Riwayat Pengobatan
1,5 bulan yang lalu penderita berobat ke RS Umum Sekayu dengan
keluhan yang sama dan dilakukan USG TUG, kesan batu staghorn dextra.
Kemudian pasien dirujuk ke RSMH untuk pemeriksaan lanjutan. Di RSMH
dilakukan pemeriksaan BNO IVP kesan pyelolithiasis dekstra ukuran 2,5-2,5 cm
+ hidronefrosis grade II dekstra, fungsi kedua ginjal baik. Penderita dirawat inap
dan direncanakan pyelolithotomi.

Riwayat Penyakit Terdahulu


Riwayat keluhan yang sama sebelumnya disangkal. Riwayat penyakit
ginjal maupun infeksi saluran kemih disangkal. Riwayat penyakit sendi dan
asam urat disangkal. Riwayat operasi sebelumnya disangkal. Riwayat darah
tinggi dan kecing manis disangkal.

Riwayat Penyakit Keluarga


Keluhan seperti ini dalam keluarga disangkal oleh penderita. Riwayat
penyakit dan batu ginjal dalam keluarga juga disangkal.

Riwayat Kebiasaan
Pasien jarang berolahraga dan pola minum yang sedikit tiap harinya.
Pasien sering beraktivitas duduk lama (seorang supir truk).

Riwayat Alergi obat


Disangkal

1.3. Pemeriksaan Fisik


Status Generalis
Kadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran

: Kompos mentis

Tekanan Darah : 120/80 mmHg


Pernapasan

: 18 x/menit, reguler

Nadi

: 86 x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup

Suhu

: 36,7 oC

Kepala dan Leher


Kepala

: Normochepali

Mata

: Konjungtiva anemis (-/-), skelera ikterik (-/-), pupil bulat isokor,


reflex cahaya (+/+), diameter 3 mm / 3 mm

Hidung

: Sekret (-/-), mukosa hiperemis (-/-)

Telinga

: Dalam batas normal

Mulut

: Bibir simetris, sianosis (-), bibir kering (-), tonsil dan faring dalam
batas normal

Leher

: Tidak ada pembesaran KGB, JVP (5-2) cmH2O

Thorax
Paru
I: Statis dan dinamis simetris, lesi kulit (-), retraksi (-)
P: Stem fremitus kanan=kiri, nyeri tekan tidak ada
P: Sonor diseluruh lapangan paru
A: Suara nafas vesikuler (+) normal, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)
Jantung
I : Iktus cordis tidak terlihat
P: Iktus cordis teraba di ICS V linea midclavicula sinistra
P: Batas jantung dalam batas normal
A: Bunyi jantung I/II (+) normal, murmur (-), gallop (-)

Abdomen
I : Datar
A: BU (+) normal
P: Lemas, Nyeri tekan tidak ada, hepar dan lien tidak teraba
P: Timpani

Ekstremitas
Deformitas (-), edema (-), akral hangat, CRT < 3
Status Lokalis
Regio CVA

Dextra Sinistra

Inspeksi
Bulging

Tanda Radang

Massa

Nyeri tekan

Ballotement

Palpasi

Perkusi
Nyeri ketok CVA

Regio Suprapubis
Inspeksi: Bulging (-) tanda radang (-)
Palpasi : Massa (-), nyeri tekan (-)
Regio Genetalia Eksterna
Tidak ada kelainan

Pemeriksaan Fisik Tambahan


Rectal touche:
-

Tonus sfingter ani baik

Mukosa rektum licin

Prostat teraba kenyal, simetris (+), batas atas teraba, tak teraba membesar,
permukaan rata, mobilitas (+), tidak teraba nodul, nyeri tekan (-)

HS: Feses (-), darah (-)

1.4 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Laboratorium (7 April 2015)
Hematologi
Hemoglobin

: 15.0 gr/dL

Eritrosit

: 5.40 juta/mm3

Leukosit

: 7.800/mm3

Hematokrit

: 45 %

Trombosit

: 191.000/uL

Diff count

: 0/3/63/26/8

Kimia Klinik
Hati
Albumin

: 4.5 g/dL

Metabolisme Karbohidrat
Glukosa Sewaktu: 91 mg/dL

Ginjal
Ureum

: 14 mg/dL

Kreatinin

: 0.83 mg/dL

Elektrolit
Na+

: 145 mEq/L

: 3.9 mEq/L

Urinalisis
Urin lengkap

Warna

: Kuning

Kejernihan

: Agak keruh

Berat jenis

: 1.010

pH urin rutin

: 7.0

Protein

: negatif

Glukosa

: negatif

Keton

: negatif

Darah

: negatif

Bilirubin

: negatif

Urobilinogen

:1

Nitrit

: negatif

Leukosit esterase: positif +++

Sedimen urin

Epitel

: negatif

Leukosit

: 25-30/LPB

Eritrosit

: 0-1/LPB

Silinder

: negatif

Kristal

: negatif

Bakteri

: negatif

Muccus

: negatif

Jamur

: negatif

b. Radiologi
USG TUG (4 April 2015)

Hasil Ekspertise USG TUG


Tampak batu renal kanan multiple (staghorn)
Tidak tampak pelebaran kalix renal kanan
Renal kiri dan buli-buli normal
Kesan: Batu staghorn renal dextra

BNO IVP (20 April 2015)

Hasil ekspetise BNO IVP


Pada pemeriksaan foto BNO didapatkan:

Tampak bayangan opaque pada abdomen atas kanan triangular ukuran 2,5 x 2,5
cm

Pada pemeriksaan foto IVP didapatkan:

Fungsi ekskresi ginjal kanan dan kiri normal

Nefrogram kanan makin lama makin opaque dan kiri normal

Pelvio-calyceal kanan letak grade II dan kiri normal

Ureter normal

Buli-buli normal

Kesan:
Pyelolithiasis dekstra ukuran 2,5 x 2,5 cm + hidronefrosis grade II dekstra

1.4. Diagnosis
-

Diagnosis Kerja

: Kolik Renal Dextra

Diagnosis Primer

: Batu Pielum Dextra

Diagnosis Sekunder: -

Komplikasi

: Hidronefrosis grade II Dextra

1.5. Penatalaksanaan
Pro Pyelolitotomi dextra
IVFD RL gtt XX/menit

1.6. Prognosis
Prognosis ad vitam pada pasien ini bonam karena penyakit ini tidak mengancam
nyawa pasien. Pada kasus ini fungsi kedua ginjal masih baik sehingga prognosis ad
functionamnya adalah dubia ad bonam. Angka kekambuhan batu saluran kemih
rata-rata 7% per tahun atau kurang lebih 50% dalam 10 tahun sehingga prognosis
ad sanactionam pasien ini adalah dubia ad bonam. Walaupun demikian jika faktor
risiko pada pasien tidak diapat dikontrol, kemungkinan rekurensi tetap ada.

10

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Sistem Urinaria 1


Sistem urinaria atau disebut juga sebagai sistem ekskretori adalah sistem organ
yang memproduksi, menyimpan, dan mengalirkan urin. Pada manusia normal, organ
ini terdiri dari ginjal berserta sistem pelvikalises, ureter, buli-buli, dan uretra.

Gambar: Anatomi Sistem urinaria

11

2.1.1 Ginjal
Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga
retroperitoneal bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya
menghadap ke medial. Cekungan ini disebut sebagai hilus renalis, yang didalamnya
terdapat apeks pelvis renalis dan struktur lain yang merawat ginjal, yakni pembuluh
darah, sistem limfatik, dan sistem saraf. 1,2
Besar dan berat ginjal sangat bervariasi; hal ini tergantung pada jenis kelamin, umur,
serta ada tidaknya ginjal pada sisi yang lain. Dalam hal ini, ginjal lelaki relatif lebih
besar ukurannya daripada perempuan. Pada orang yang mempunyai ginjal tunggal
yang didapat sejak usia anak, ukuranya lebih besar daripada ginjal normal. Pada
autopsi klinis didapatkan bahwa ukuran rerata ginjal orang dewasa adalah 11,5 cm
(panjang) x 6 cm (lebar) x 3,5 cm (tebal). Beratnya bervariasi antara 120-170 gram,
atau kurang lebih 0,4% dari berat badan.1,2

12

a.Struktur di sekitar ginjal


Ginjal terbungkus oleh jaringan fibrosa tipis dan mengkilat yang disebut kapsula
fibrosa (true capsule) ginjal, yang melekat pada parenkim ginjal. Di luar kapsul
fibrosa terdapat jaringan lemak yang di sebelah luarnya dibatasi oleh fasia gerota.
Diantara kapsula fibrosa ginjal dengan kapsula gerota terdapat rongga perirenal.1,2
Disebelah kranial ginjal terdapat kelenjar anak ginjal atau glandula adrenal atau
disebut juga kelenjar suprarenal yang berwarna kuning. Kelenjar adrenal bersamasama ginjal dan jaringan lemak perirenal dibungkus oleh fasia gerota. Fasia ini
berfungsi sebagai barier yang menghambat meluas-nya perdarahan dari parenkim
ginjal serta mencegah ekstravasasi urin pada saat terjadi trauma ginjal. Selain itu
fasia gerota dapat pula berfungsi sebagai barier dalam menghambat penyebaran
infeksi atau menghambat metastasi tumor ginjal ke organ di sekitarnya. Di luar fasia
gerota terdapat jaringan lemak retroperitoneal yang terbungkus oleh peritoneum
posterior. Rongga diantara kapsula gerota dan peritoneum ini disebut rongga
pararenal.1,2

Gambar. Nefron ginjal

13

a. Struktur Ginjal
Secara anatomis ginjal terbagi menjadi 2 bagian, yaitu korteks dan medula
ginjal. Korteks ginjal terletak lebih superfisial dan didalamnya terdapat berjuta-juta
nefron. Nefron merupakan unit fungsional terkecil ginjal.1,2 Medula ginjal yang
terletak lebih profundus banyak terdapat duktuli atau saluran kecil yang mengalirkan
hasil ultrafiltrasi berupa urin.
Nefron terdiri atas glomerulus, tubulus kontortus proksimalis, loop of Henle,
tubulus kontortus distalis, dan duktus kolegentes. Darah yang membawa sisa hasil
metabolisme tubuh difiltrasi (disaring) di dalam glomerulus dan kemudian setelah
sampai ditubulus ginjal, beberapa zat yang masih diperlukan tubuh mengalami
reabsorbsi dan zat sisa metabolisme yang tidak diperlukan oleh tubuh mengalami
sekresi membentuk urin.
Setiap hari tidak kurang 180 liter cairan tubuh difiltrasi di glomerulus dan
menghasilkan urin sebanyak 1-2 liter. urin yang terbentuk di dalam nefron
disalurkan melalui piramida ke sistem pelvikalises ginjal untuk kemudian disalurkan
ke dalam ureter.1,2 Sistem pelvikalises ginjal terdiri atas kaliks minor, infudibulum,
kaliks major, dan pielum atau pelvis renalis. Mukosa sistem pelvikalises terdiri atas
epitel transisional dan dindingnya terdiri atas otot polos yang mampu berkontraksi
untuk mengalirkan urin sampai ke ureter.
b. Vaskularisasi ginjal
Suplai darah ke ginjal diperankan oleh arteri dan vena renalis. Arteri renalis
merupakan cabang langsung dari aorta abdominalis dan vena renalis, yang bermuara
langsung kedalam vena cava inferior. Vena dan arteri renalis keduanya membentuk
pedikel ginjal. Arteri memasuki ginjal dan vena keluar dari ginjal di dalam area
yang disebut hilus renalis. Pada sisi kanan, vena terletak di sebelah anterior arteri
renalis. Pada sisi kiri, vena renalis lebih panjang daripada arteri. Di belakang dari
kedua pedikel ini terdapat pelvis renalis.1,2
Arteri renalis bercabang menjadi anterior dan posterior. Cabang posterior
merawat segmen medius dan posterior. Cabang anterior merawat kutub atas, bawah
dan seluruh segmen anterior ginjal. Arteri renalis bercabang menjadi arteri
interlobaris, yang berjalan di dalam kolumna Bertini (ai antara piramida renalis),

14

kemudian membelok membentuk busur mengikuti basis piramida sebagai arteri


arkuata, dan selanjutnya menuju korteks sebagai arteri lobularis. Arteri bercabang
kecil menuju ke glomeruli sebagai arteri afferen, dan dari glomeruli keluar arteri
eferen yang menuju ke tubulus ginjal. Sistem arteri ginjal adalah end arteries, yaitu
arteri yang tidak mempunyai anastomosis dengan cabang dari arteri lain, sehingga
jika terdapat kerusakan pada salah satu cabang arteri ini, berakibat timbulnya
iskemia/nekrosis pada daerah yang dilayaninya. Sistem cairan limfe ginjal dialirkan
ke dalam limfonodi yang terletak di dalam hilus ginjal. Seperti halnya pada sistem
pembuluh darah dan persarafan, sistem limfatik berada di dalam rongga
retroperitoneum.1,2

Gambar. Vaskularisasi ginjal

15

c. Persarafan
Ginjal mendapatkan persarafan melalui pleksus renalis, yang seratnya berjalan
bersama dengan arteri renalis. Input dari simpatetik menyebabkan vasokonstriksi
yang menghambat aliran darah ke ginjal. Ginjal diduga tidak mendapat persarafan
parasimpatetik. Impuls sensorik dari ginjal berjalan menuju korda spinalis segmen
T10-11 dan memberikan sinyal sesuai dengan level dermatomnya. Oleh karena itu
dapat dimengerti bahwa nyeri di daerah pinggang bisa merupakan nyeri referal dari
ginjal.1

d. Fungsi Ginjal
Ginjal memerankan berbagai fungsi tubuh yang sangat penting bagi kehidupan,
yakni menyaring (filtrasi) sisa hasil metabolisme dan toksin dari darah, serta
mempertahankan homeostasis cairan dan elektrolit tubuh, yang kemudian dibuang
melalui urin. Fungsi tersebut di antaranya:
-

mengontrol sekresi hormon aldosteron dan ADH (antidiuretic hormone) yang


berperan dalam mengatur jumlah cairan tubuh

mengatur metabolisme ion kalsium dan vitamin D

menghasilkan beberapa hormon, antara lain eritropoetin yang berperan dalam


pembentukan sel darah merah, renin yang berperan dalam mengatur tekanan
darah, serta hormon protaglandin yang berguna dalam berbagai mekanisme
tubuh.
Pembentukan urin adalah fungsi

ginjal

yang paling esensial

dalam

mempertahankan homeostasis tubuh. Pada orang dewasa sehat, lebih kurang 1200
ml darah, atau 25% cardiac output, mengalir ke kedua ginjal. Pada keadaan tertentu
aliran darah ke ginjal dapat meningkat hingga 30% (pada saat latihan fisik), dan
menurun hingga 12% dari cardiac output. Kapiler glomeruli berdinding porous
(berlubang-lubang), yang memungkinkan terjadinya filtrasi cairan dalam jumlah
besar ( 180 L/hari). Molekul yang berukuran kecil (air, elektrolit, dan sisa
metabolisme tubuh, di antaranya kreatinin dan ureum) akan difiltrasi dari darah,
sedangkan molekul berukuran lebih besar (protein dan sel darah) tetap tertahan di

16

dalam darah. Oleh karena itu komposisi cairan filtrat yang berada di kapsula
bowman, mirip dengan yang ada di dalam plasma, hanya saja cairan ini tidak
mengandung protei dan sel darah. Volume cairan yang difiltrasi oleh glomerulus
setiap satuan waktu disebut sebagai rerata filtrasi glomerulus atau glomerular
filtration rate (GFR). Selanjutnya cairan filtrat akan direabsorbsi dan beberapa
elektrolit akan mengalami sekresi di tubulus ginjal, yang kemudian menghasilkan
urin yang akan disalurkan melalui duktur kolegentes. Cairan urin tersebut disalurkan
ke dalam sistem kalises hingga pelvis ginjal.1
Pada saat darah mengalir ke ginjal, sensor di dalam ginjal menentukan jumlah
kebutuhan cairan yang akan dieksresikan melalui urin, dengan mempertimbangkan
konsentrasi elektrolit yang terkandung di dalamnya. sebagai contoh jika pasien
mengalami dehidrasi, ginjal akan menahan cairan tubuh tetap beredar melalui darah,
sehingga urin sangat kental. Jika tubuh telah ter-rehidrasi, dan cairan yang beredar
telah cukup, urin kembali encer dan warnanya menjadi lebih jernih. Sistem
pengaturan tadi dikontrol oleh hormon renin, yakni hormon yang diproduksi di
dalam ginjal, yang berperan dalam meregulasi cairan dan tekanan darah. Hormon ini
diproduksi di dalam sel juxta-glomerulus sebagai respon dari penurunan perfusi
jaringan. Renin merubah angiotensinogen (dari liver) menjadi angiotensin I (AT I)
yang kemudian dirubah oleh enzim ACE (angiotensi converting enzyme) menjadi
angiotensi II (AT II), yang menyebabkan vasokonstriksi dan reabsorbsi natrium,
untuk mengembalikan fungsi perfusi jaringan.1
2.1.2 Ureter
Ureter adalah organ berbentuk tabung kecil yang berfungsi mengalirkan urin
dari pielum (pelvis) ginjal ke dalam buli-buli. Pada orang dewasa panjangnya lebih
kurang 25-30 cm, dan diameternya 2-4 mm. Dindingnya terdiri atas (1) mukosa
yang dilapisi oleh sel transisional, (2) otot polos sirkuler, (3) otot polos longitudinal.
Kontraksi dan relaksasi kedua otot polos itulah yang memungkinkan terjadinya
gerakan peristaltik ureter guna mengalirkan urin ke dalam buli-buli. Jika karena
sesuatu sebab terdapat sumbatan pada lumen ureter sehingga menyumbat aliran urin,
otot polos ureter akan berkontraksi secara berlebihan, yang bertujuan untuk

17

mendorong/mengeluarkan sumbatan itu dari saluran kemih. Kontraksi itu dirasakan


sebagai nyeri kolik yang datang secara berkala, sesuai dengan irama peristaltik
ureter.

Ureter membentang dari pielum hingga buli-buli, dan secara anatomis terdapat
beberapa tempat yang ukuran diameternya relatif lebih sempit daripada tempat lain.
Tempat penyempitan itu antara lain adalah (1) pada perbatasan antara pelvis renalis
dan ureter atau pelvi-ureter junction, (2) tempat pada saat ureter menyilang arteri
iliaka di rongga pelvis, dan (3) pada saat ureter masuk ke buli-buli. Di ketiga tempat
itu batu dan benda lain yang berasal dari ginjal seringkali tersangkut. Ureter masuk
ke buli-buli dalam posisi miring dan berada di dalam otot buli-buli (intramural);
keadaan ini dapat mencegah terjadinya aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau
refluks vesiko-ureter pada saat buli-buli berkontraksi.
Untuk kepentingan pembedahan, ureter dibagi menjadi du bagian, yakni ureter
pars abdominalis, yang membentang mulai dari pelvis renalis sampai menyilang
vasa iliaka, dan ureter pars pelvika, yang membentang dari persilangannya dengan
vasa iliaka sampai muaranya di dalam buli-buli. Disamping itu secara radiologis
ureter dibagi dalam tiga bagian, yaitu (1) ureter 1/3 proksimal mulai dari pelvis
renalis sampai batas atas sakrum, (2) ureter 1/3 medial mulai dari batas atas sakrum
sampai pada batas bawah sakrum, dan (3) ureter 1/3 distal mulai dari batas bawah
sakrum sampai masuk ke buli-buli.1,2

18

2.2 Batu Saluran Kemih


2.2.1 Definisi
Batu saluran kemih adalah massa keras seperti batu yang terbentuk di sepanjang
saluran kemih dan bisa menyebabkan nyeri, perdarahan, penyumbatan atau infeksi.
Batu bisa terbentuk di dalam ginjal maupun di kandung kemih. Proses pembentukan
batu disebut urolitiasis.4 Batu ini terbentuk dari pengendapan garam kalsium,
magnesium, asam urat, atau sistein.5 Batu yang terdapat di pielum disebut
pielolitiasis.
2.2.2 Etiologi dan faktor resiko
Terbentuknya batu saluran kemih diduga ada hubungannya dengan gangguan
aliran urin, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi, dan keadaankeadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik).
Secara epidemiologis terdapat beberapa faktor yang mempermudah terjadinya
batu saluran kemih pada seseorang. faktor itu meliputi faktor intrinsik yaitu keadaan
yang berasal dari tubuh seseorang dan faktor eksterinsik, yaitu pengaruh yang
berasal dari lingkungan di sekitarnya.1
Faktor intrinsik
Hereditair

: Penyakit ini diduga diturunkan dari orang tuanya

Umur

: Penyakit ini paling sering didapatkan pada usia 30-50


tahun

Jenis Kelamin

: Jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak


dibandingkan dengan pasien perempuan

Faktor ekstrinsik
Geografi

: Pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu


saluran kemih yang lebih tinggi daripada daerah lain
sehingga dikenal sebagai daerah stone belt (sabuk batu),
sedangkan daerah bantu di Afrika selatan hampir tidak
ditemukan penyakit batu saluran kemih

Iklim dan temperatur


Asupan air

: Kurangnya asupan air dan tingginya kadar mineral


kalsium pada air yang dikonsumsi, dapat meningkatkan

19

insiden batu saluran kemih


Diet

: Diet tinggi purin, oksalat, dan kalsium mempermudah


terjadinya penyakit batu saluran kemih

Pekerjaan

: Penyakit ini sering dijumpai pada orang yang


pekerjaannya banyak duduk atau kurang aktifitas atau
sedentary life

Insiden puncak batu saluran kemih dialami laki-laki pada usia 30 tahun
sementara perempuan memiliki insiden puncak bimodal yaitu pada usia 35 dan 55
tahun. Ditinjau dari faktor jenis kelamin, laki-laki lebih sering menderita batu
saluran kemih daripada perempuan. Suatu studi dilakukan untuk meneliti perbedaan
jenis kelamin terhadap risiko menderita batu saluran kemih dengan mengukur
volume dan komposisi mineral urin pada musim panas dan musim dingin di USA.
Pada musim panas, kedua jenis kelamin memberikan hasil deplesi natrium dan
kalsium yang bermakna dalam urin tetapi hanya laki-laki yang menghasilkan
volume urin lebih sedikit sehingga meningkatkan kejadian supersaturasi urin.
Supersaturasi urin berarti volume urin menurun dan kepekatan urin meningkat yang
dapat dijelaskan secara fisiologis bahwa laki-laki lebih banyak berkeringat pada
iklim panas sehingga ekskresi air melalui urin menurun. Sementara perempuan akan
menghasilkan urin yang lebih sedikit pada awal musim dingin. Patofisiologi lain
yang menjelaskan banyaknya laki-laki yang menderita batu saluran kemih adalah
serum testosteron yang menghasilkan peningkatan produksi oksalat endogen oleh
hati. Rendahnya serum testosteron pada wanita dan anak-anak menyebabkan
rendahnya kejadian batu saluran kemih pada wanita dan anak-anak. Kadar kalsium
air kemih sebagai bahan utama pembentuk batu lebih rendah pada perempuan
daripada laki-laki, dan kadar sitrat air kemih sebagai bahan penghambat terjadinya
batu pada perempuan lebih tinggi daripada laki-laki.

13

Faktor keturunan biasanya berinteraksi dengan faktor diet dan gaya hidup dalam
meningkatkan prevalensi batu saluran kemih. Kurangnya asupan air dan tingginya
kadar mineral kalsium pada orang tanpa gangguan gastrointestinal meningkatkan
insiden batu saluran kemih. Diet tinggi purin, protein, dan oksalat pula

20

meningkatkan terbentuknya batu asam urat dan batu kalsium oksalat. Kebutuhan
protein untuk hidup normal per hari 600 mg/kg BB, bila berlebihan maka risiko
terbentuk batu saluran kemih akan meningkat. Protein hewani akan menurunkan
keasaman (pH) air kemih sehingga bersifat asam, maka protein hewani tergolong
acid ash food, Akibat reabsorbsi kalsium dalam tubulus berkurang sehingga kadar
kalsium air kemih naik. Selain itu hasil metabolism protein hewani akan
menyebabkan kadar sitrat air kemih turun, kadar asam urat dalam darah dan air
kemih naik. Konsumsi protein hewani berlebihan dapat juga menimbulkan kenaikan
kadar kolesterol dan memicu terjadinya hipertensi, maka berdasarkan hal tersebut
diatas maka konsumsi protein hewani berlebihan memudahkan timbulnya batu
saluran kemih Dari segi iklim, temperatur, dan geografi, individu yang tinggal di
daerah beriklim panas dengan paparan sinar ultraviolet tinggi cenderung mengalami
dehidrasi serta peningkatan produksi vitamin D3 dan vitamin C memicu
peningkatan ekskresi kalsium dan oksalat. Kedua hal tersebut meningkatkan risiko
terjadinya batu saluran kemih. Penyakit ini juga dijumpai pada orang dengan
pekerjaan yang sering duduk, kurang aktivitas, terpapar panas dalam waktu yang
lama.
2.2.3 Mekanisme terbentuknya batu
Secara teoritis batu dapat terbentuk di seluruh saluran kemih terutama pada
tempat-tempat yang sering mengalami hambatan aliran urin (stasis urin), yaitu pada
sistem kalises ginjal atau buli-buli. Adanya kelainan bawaan pada pelvikalises
(stenosis uretero-pelvis), divertikel, obstruksi infravesika kronis seperti pada
hiperplasia prostat benigna, striktura, dan buli-buli neurogenik merupakan keadaankeadaan yang memudahkan terjadinya pembentukkan batu.
Ada banyak terori pembentukkan batu saluran kemih diantaranya adalah teori
fisikokimia dan teori infeksi. Prinsip dari teori fisikokimia yaitu terbentuknya batu
saluran kemih karena adanya proses kimiawi, fisika, maupun gabungan fisikokimiawi. Dari hal tersebut diketahui terjadinya kristal batu di dalam sistem
pelvikaliks ginjal sangat dipengaruhi oleh konsentrasi bahan pembentuk batu dalam
tubulus renalis. Berdasarkan faktor fisiko-kimiawi fikenal teori pembentukkan batu
sebagai berikut.3,8,9

21

a. Teori Supersaturasi
Kenaikan konsentrasi bahan pembentuk batu di dalam tubulus renalis akan
mengubah zona stabil saturasi rendah menjadi zona supersaturasi metastabil dan bila
konsentrasinya makin tinggi menjadi zona saturasi tinggi. Pada teori supersaturasi
bisa dipengaruhi oleh pH dan suhu air kemih. Pembentukkan batu berdasarkan teori
supersaturasi dapat dilihat pada gambar di bawah ini.3,8

Gambar. Mekanisme supersaturasi


b. Teori Inhibitor
Pada penelitian diketahui bahwa walaupun kadar bahan pembentuk batu sama
tingginya pada beberapa orang tetapi tidak semua menderita penyakit batu. Hal ini
disebabkan pada orang yang tidak terbentuk batu dalam air kemihnya mengandung
bahan penghambat untuk terbentuknya batu (inhibitor) yang lebih tinggi kadarnya di
banding pada penderita batu. Dikenal 2 jenis inhibitor yaitu inhibitor organik yang
sering terdapat ialah sitrat, nefrokalsin, dan tamm-horsefall glikoptotein, dan yang
jarang terdapat yaitu glikosaminoglikan, uropontin, dan lain-lain. Inhibitor
anorganik yaitu pirofosfat, magnesium dan seng. Menurut penelitian, inhibitor yang
paling kuat yaitu sitrat, karena sitrat akan bereaksi dengan kalsium membentuk
kalsium sitrat yang larut dalam air. Sitrat terdapat pada hampir semua buah-buahan
tetapi kadar tertinggi pada buah jeruk.8 Sedangkan ion magnesium dikenal
menghambat pembentukan batu karena jika berikatan dengan oksalat, membentuk

22

garam magnesium oksalat sehingga jumlah oksalat yang akan berikatan dengan
kalsium untuk membentuk kalsium oksalat menurun.1,8
Sedangkan teori infeksi menjelaskan, terbentuknya batu saluran kemih juga
dapat terjadi karena adanya infeksi dari kuman tertentu. Pengaruh infeksi pada
pembentukan batu saluran kemih adalah sebagai berikut: 3
a. Teori terjadinya batu struvit
Batu struvit disebut juga batu infeksi atau tripel fosfat mempunyai komposisi
magnesium amonium fosfat. Terjadinya batu jenis ini karena kristalisasinya
dipengaruhi oleh pH air kemih lebih dari sama dengan 7,2 dan terdapatnya amonia
dalam air kemih. Hal ini terjadi pada infeksi bakteri pemecah urea (urea splitting
bacteria). Urease yang terbentuk akan menghidrolisa urea menjadi karbon dioksida
dan amonium dengan reaksi seperti dibawah ini: 3
NH2- CO NH2 + H2O 2 NH3 + CO2
NH3 + H2O NH4 + OHCO2 + H2O H2CO3
NH4- + Mg++ +PO43 + 6 H2O MgNH4PO4 + 6H2O
Akibat infeksi ini maka pH air kemih akan naik lebih dari 7 dan terjadi reaksi
antara ammonium yang terbentuk dengan molekul magnesium dan fosfat menjadi
magnesium ammonium fosfat (batu struvit).1
Bakteri penghasil urease sebagian besar gram negatif yaitu golongan proteus,
klebsiela, providensia, dan pseudomona. Ada juga bakteri gram positif yaitu
stafilokokus, mikrokokus dan konne bacterium serta golongan mikoplasma, seperti
T-strain mikoplasma dan ureaplasma urelitikum.8
2.2.4 Jenis Batu
Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsur: kalsium oksalat atau
kalsium fosfat, asam urat, magnesium ammonium fosfat (MAP), xanthyn, dan sistin,
silikat, dan senyawa lainnya. Batu kalsium merupakan batu paling banyak dijumpai,
yakni kurang lebih 70-80% dari seluruh batu saluran kemih.12
a. Batu Kalsium
Terdiri atas batu kalsium fosfat dan kalsium oksalat, atau campuran dari kedua
unsur itu.

23

Faktor terjadinya batu kalsium adalah:1


Hiperkalsiuria

Menurut Pak (1976) terdapat 3 macam penyebab terjadinya

(250-300 mg/24

hiperkalsiuria, antara lain:

jam)

Hiperkalsiuria absorbtif yang terjadi karena adanya


peningkatan absorbsi kalsium melalui usus

Hiperkalsiuri renal terjadi karena adanya gangguan


kemampuan reabsorbsi kalsium melalui tubulus ginjal

Hiperkalsuri resorptif terjadi karena adanya peningkatan


resorptif kalsium tulang, yang banyak terjadi pada
hiperparatiroidisme primer atau pada tumor paratiroid.

Hiperoksaluria (

Keadaan ini banyak dijumpai pada pasien yang mengalami

> 45 gr/hari)

pada usus sehabis menjalani pembedahan usus dan pasien


yang banyak mengkonsumsi makanan yang kaya akan
oksalat, diantaranya adalah teh, kopi instan, minuman soft
drink, kokoa, arbei, jeruk sitrun, dan sayuran berwarna hijau
terutama bayam.

Hiperurikosuria

Asam urat yang berlebihan dalam urin bertindak sebagai inti

(> 850 mg/24

batu/nidus untuk terbentuknya batu kalsium oksalat. Sumber

jam)

asam urat dalam urin berasal dari makanan yang mengandung


banyak purin maupun berasal dari metabolisme endogen.

Hipositraturia

Dapat terjadi pada penyakit asidosis tubuli ginjal atau renal


tubular acidosis, sindrom malabsorbsi, atau pemakaian
diuretik golongan thiazide dalam jangka waktu lama.

Hipomagnesuria

Penyebab tersering adalah penyakit inflamasi usus yang


diikuti dengan gangguan malabsorbsi.

b. Batu Struvit
Batu jenis ini juga disebut batu infeksi karena terbentuknya batu ini disebabkan
oleh adanya infeksi saluran kemih. Batu jenis ini merupakan 5-15% dari seluruh
batu saluran kemih.

24

c. Batu Asam Urat


Batu jenis ini merupakan 5-10% dari seluruh batu saluran kemih. Faktor yang
menyebabkan terbentuknya batu asam urat adalah (1) pH urin yang terlalu asam, (<
6), (2) volume urin yang jumlahnya sedikit (< 2 liter/hari) atau dehidrasi, dan (3)
hiperurikosuria atau kadar asama urat yang tinggi.12
d. Batu jenis lain (1%)
Batu sistin, batu xanthin, batu triamteren, dan batu silikat sangat jarang
dijumpai. Batu sistin didapatkan karena kelainan metabolisme sistin, yaitu kelainan
dalam absorbsi sisti di mukosa usus. Demikian batu xanthin terbentuk karena
penyakit bawaan berupa defisiensi enzim xanthin oksidase yang mengkatalisis
perubahan hipoxanthin menjadi xanthin dan xanthin menjadi asam urat. Pemakaian
antasida yang mengadung silikat ( magnesium silikat atau alumino-metilsalisilat)
yang berlebihan dan dalam jangka waktu lama dapat menyebabkan timbul batu
silikat.12
2.2.5 Gambaran Klinis
Batu ginjal terbentuk pada tubuli ginjal kemudian berada di kaliks, infudibulum,
pelvis ginjal, dan bahkan bisa mengisi pelvis serta seluruh kaliks ginjal. Batu yang
mengisi pielum dan lebih dari dua kaliks ginjal memberikan gambaran menyerupai
tanduk rusa sehingga disebut batu staghorn. Batu yang tidak terlalu besar didorong
oleh peristaltic otot pelvikaliks dan turun ke ureter menjadi batu ureter. Tenaga
peristaltik ureter mencoba untuk mengeluarkan batu hingga turun ke buli-buli. Batu
yang ukurannya kecil ( < 5 mm) pada umumnya dapat keluar spontan sedangkan
yang lebih besar sering tetap berada di ureter dan menyebabkan reaksi radang
(periuretritis) serta menimbulkan obstruksi kronis berupa hidroureter atau
hidronefrosis.1
Batu yang terletak pada ureter maupun sistem pelvikaliks mampu menimbulkan
obstruksi saluran kemih dan menimbulkan kelainan struktur saluran kemih sebelah
atas. Obstruksi di ureter menimbulkan hidroureter dan hidronefrosis, batu di pielum
menimbulkan hidronefrosis dan batu di kaliks mayor dapat menimbulkan
kaliekstasis pada kaliks yang bersangkutan.1

25

Keluhan yang akan disampaikan oleh pasien yang mengalami batu ginjal
tergantung pada posisi atau letak batu, besar batu dan penyulit yang telah terjadi.
Nyeri yang akan dirasakan dapat berupa nyeri kolik atau bukan kolik. Nyeri kolik
terjadi karena aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises ataupun ureter meningkat
dalam usaha untuk mengeluarkan batu dari saluran kemih. peningkatan peristaltik
itu menyebabkan tekanan intraluminalnya meningkat sehingga terjadi perenggangan
dari terminal saraf yang memberikan sensasi nyeri. Nyeri non kolik terjadi akibat
perenggangan kapsul ginjal karena terjadi hidronefrosis atau infeksi pada ginjal.
Keluhan klasik penderita batu ginjal adalah kolik ginjal, yaitu sensasi nyeri di
pinggang atau perut bawah unilateral, nyeri dapat menjalar ke scrotum, penis atau
vulva, yang muncul secara mendadak, bersifat hilang timbul, dengan intensitas nyeri
yang kuat. Lokasi nyeri dan keluhan lainnya tergantung di mana batu berada. Batu
di ginjal menimbulkan nyeri bersifat ringan disertai hematuria. Batu di ureter
proksimal menyebabkan kolik ginjal, nyeri pinggang dan perut bagian atas. Batu di
ureter tengah menimbulkan kolik ginjal, nyeri pinggang dan perut atas. Bila batu di
ureter distal menimbulkan kolik ginjal, disuria, frekuensi berkemih meningkat nyeri
pinggang dan nyeri menjalar ke penis atau vulva.1
Pada kasus batu yang terletak di sebelah distal ureter dirasakan oleh pasien
sebagai nyeri pada saat kencing atau sering kencing. Batu dengan ukuran kecil
mungkin dapat keluar spontan setelah melalui hambatan pada perbatasan ureteropelvik, saat ureter menyilang vasa iliaka, dan saat ureter masuk ke dalam saluran
kemih yang disebabkan oleh batu. Hematuria sering kali dikeluhkan oleh pasien
akibat trauma pada mukosa saluran kemih yang disebabkan oleh batu. Kadangkadang hematuria didapatkan dari pemeriksaan urinalisis berupa hematuria
mikroskopik.1
Gejala gastrointestinal baru akan muncul ketika pleksus celiac terstimulasi
menyebabkan nausea dan muntah.27
Jika didapatkan demam harus dicurigai suatu urosepsis dan ini merupakan
kedaruratan di bidang urologi. Dalam hal ini harus secepatnya ditentukan letak
kelainan anatomik pada saluran kemih yang mendasari timbulnya urosepsis dan
segera dilakukan terapi berupa drainase dan pemberian antibiotik.

26

Pada pemeriksaa fisik mungkin didapatkan nyeri ketok daerah kosto vertebra,
teraba ginjal pada sisi sakit akibat hidronefrosis, terlihat tanda-tanda gagal ginjal,
retensi urin, dan jika disertai infeksi didapatkan demam atau menggigil.
Pemeriksaan sedimen urin ditemukan adanya leukosituria, hematuria, dan
dijumpai berbagai kristal pembentuk batu. Pemeriksaan kultur urin mungkin
menunjukkan adanya pertumbuhan kuman pemecah urea. Pemeriksaan faal ginjal
bertujuan untuk mencari kemungkinan terjadinya penurunan fungsi ginjal dan untuk
mempersiapkan pasien menjalani pemeriksaan foto IVU. Perlu juga diperiksa kadar
elektrolit yang diduga sebagai faktor penyebab timbulnya batu saluran kemih (antara
lain kadar: kalsium, oksalat, fosfat maupun urat di dalam darah maupun di dalam
urin).

2.2.6 Pemeriksaan imaging


Pemeriksaan imaging yang sering digunakan untuk membantu menegakkan
diagnosis batu ginjal adalah foto polos abdomen, ultrasonografi, Intravenous
Pyelography (IVP) dan helical CT scan.

a. Ultrasonografi
Pemeriksaan ultrasonografi bermanfaat untuk memvisualisasi batu yang
berlokasi di ginjal di buli-buli serta hidronefrosis. Kelemahan alat ini adalah tidak
mampu mendeteksi batu yang berlokasi di ureter dan nilai sensitivitasnya hanya
19%.7 Pemeriksaan ini relatif murah dan dilakukan tanpa persiapan khusus kecuali
hanya minum 2-3 gelas air putih dan pasien diminta untuk menahan kencing sampai
pemeriksaan ultrasonografi selesai dikerjakan. Pemeriksaan ultrasonografi menjadi
pilihan utama bagi wanita hamil yang mengalami kolik renal.8
Prinsip pemeriksaan ultrasonografi atau USG adalah menangkap gelombang
bunyi ultra yang dipantulkan oleh organ (jaringan) yang berbeda kepadatannya.
Pemeriksaan ini tidak invasive dan tidak menimbulkan efek radiasi. USG dapat
membedakan antara massa padat (hiperekoik) dengan massa kistus (hipoekoik),
sedangkan batu non opak yang tidak dapat dideteksi dengan foto ronsen akan
terdeteksi oleh USG sebagai echoic shadow.1

27

USG banyak dipakai untuk mencari kelainan-kelainan pada ginjal, buli-buli,


prostat, testis, dan pemeriksaan pada kasus keganasan. Pemeriksaan pada ginjal
dipergunakan: (1) untuk mendeteksi keberadaan dan keadaan ginjal (hidronefrosis,
kista, massa, atau pengkerutan ginjal) yang pada pemeriksaan IVU menunjukkan
non visualized, (2) sebagai penuntun pada saat melakukan pungsi ginjal atau
nefrostomi perkutan, dan (3) sebagai pemeriksaan penyaring pada dugaan adanya
trauma ginjal derajat ringan.1

Gambar. Ultrasonografi ginjal

b. Pemeriksaan foto polos abdomen


Pemeriksaan foto polos abdomen atau plain film radiography merupakan
pemeriksaan yang relatif sederhana dengan memanfaatkan sinar X untuk
memberikan informasi mengenai ukuran, lokasi dan densitas batu ginjal.
Pemeriksaan ini memiliki kelemahan karena tidak semua batu dapat divisualisasi.
Batu yang mengandung kalsium dapat divisualisasi dengan memberikan densitas
warna putih, radiopaque. Sedangkan batu yang tidak mengandung kalsium tidak
dapat divisualisasi karena bersifat radiolucent. Nilai sensitivitas pemeriksaan foto
polos abdomen sebesar 4559% dan spesifisitasnya 7177%.7

28

Gambar. Sketsa foto polos abdomen


Foto polos abdomen atau KUB adalah foto skrining untuk pemeriksaan kelainan
urologi.

Menurut

Blandy,

cara

pembacaan

foto

yang

sistematis

harus

memperhatikan 4S yaitu, Side (sisi), Skeleton (tulang, Soft tissue (jaringan lunak),
dan Stone (batu).1
Side

Diperiksa apakah penempatan sisi kiri dan kanan sudah benar.


Sisi kiri ditandai dengan adanya bayangan gas pada lambung
sedangkan sisi kanan oleh banyangan hepar.

Skeleton

Perhatikan tulang-tulang vertebra, sacrum, kosta serta sendi


sakroiliaka. Ada kelainan bentuk (kifosis, skoliosis, atau fraktur)
atau perubahan densitas tulang (hiperden atau hipodens) akibat
suatu proses metastasis.

Soft tissue

Perhatikan adanya pembesaran hepar, ginjalm buli-buli akibat


retensi urin atau tumor buli-buli, serta perhatikan bayangan garis
psoas.

Stone

Perhatikan adanya bayangan opak dalam sistem urinaria, yaitu


mulai dari ginjal, ureter, hingga buli-buli. Bedakan dengan
kalsifikasi pembuluh darah atau fleboit dan feses yang mengeras
atau fekolit.

29

c. Intravenous Pyelography (IVP)


Pada saat ini pemeriksaan IVP masih merupakan pemeriksaan standar untuk
menegakkan penyakit batu ginjal meskipun nilai sensitivitas dan spesifisitasnya
masih di bawah pemeriksaan helical CT scan. Pemeriksaan IVP dapat memberikan
informasi mengenai ukuran, lokasi, radiodensitas, struktur anatomi ginjal, derajat
obstruksi

dan

perbandingan

fungsi

kedua

ginjal.

Dibandingkan

dengan

ultrasonografi, IVP memberikan akurasi lebih baik, dengan nilai sensitivitas dan
spesifisitas masing masing adalah 64% vs 87% dan 92% vs 94%.12
Pielografi intra vena (PIV) atau intravenous pyelography (IVP) atau dikenal
dengan Intra Venous Urography (IVU) atau urografi adalah foto pencitraan yang
dapat menggambarkan keadaan sistem urinaria melalui bahan kontras. Pencitraan ini
dapat menunjukkan adanya kelainan anatomi dan kelainan fungsi ginjal dan saluran
kemih.1
Bahan kontras yang dipakai biasanya adalah yodium dengan dosis 300 mg/kgBB
atau 1 ml/kgBB (sediaa komersial).Teknik pelaksanaannya yaitu pertama kali dibuat
foto polos perut (sebagai kontrol). Setelah itu bahan kontras disuntikan secara
intravena, dan dibuat foto serial beberapa menit hingga satu jam, dan foto setelah
miksi. Jika terdapat keterlambatan fungsi ginjal, pengambilan foto diulang setelah
jam ke-2, jam ke-6, atau jam ke-12.
Pada menit-menit pertama tampak kontras mengisi glomeruli dan tubuli ginjal
sehingga terlihat pencitraan dari parenkim (nefrogram) ginjal. Selanjutnya kontras
akan mengisi sistem pelvikalises pada fase pielogram.1
Menit

Uraian

Foto polos abdomen

Melihat fungsi ekskresi ginjal. Pada


ginjal normal sistem pelvikaliseal
sudah tampak

15

Kontras sudah mengisi ureter dan bulibuli

30

Foto

dalam

keadaan

berdiri,

30

dimaksudkan

untuk

menilai

kemungkinan

terdapat

perubahan

posisi ginjal (ren mobilis)


Melihat keseluruhan anatomi saluran

60

kemih, antara lain: filling defect,


hidronefrosis, double system, atau
kelainan lain
Pada buli-buli diperhatikan adanya
identasi prostat, trabekulasi, penebalan
otot detrusor, dan sakulasi buli-buli.
Pasca Miksi

Menilai sisa kontras (residu urin) dan


divertikel pada buli-buli

Perlu diwaspadai bahwa pemberian bahan kontras secara intravena dapat


menimbulkan reaksi alergi berupa urtikaria, syok anafilaktik, sampai timbulnya
laringospasmus. Di samping itu foto PIV tidak boleh dikerjakan pada pasien gagal
ginjal, karena pada keadaan ini bahan kontras tidak dapat diekskresikan oleh ginjal
dan selain itu bahan kontras dapat menyebabkan kerusakan ginjal yang lebih parah
karena dapat menyebabkan kerusakan ginjal yang lebih parah karena bersifat
nefrotoksik.1

d. Helical CT scan.
Pada saat ini modalitas diagnostik yang paling baik khususnya untuk
menegakkan diagnosis pasien batu ginjal dengan kolik renal adalah helical CT scan.
Miller dkk (1998) membandingkan akurasi helical CT scan dengan IVP pada pasien
dengan batu ureter. Kesimpulan dari penelitian tersebut adalah helical CT scan
memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih baik dibandingkan dengan IVP, masingmasing: 96% vs 87% dan 100% vs 94% (p<0,001). Di masa depan helical CT scan
akan menjadi standar pelayanan dalam membantu menegakkan batu ginjal, hanya
sayangnya hal ini akan terhambat oleh masalah mahalnya pemeriksaan CT scan.

31

2.2.7 Penatalaksanaan
Pengobatan batu ginjal terdiri atas terapi konservatif dan intervensi urologi. Terapi
konservatif dapat diangani oleh dokter umum atau penyakit dalam. Sedangkan
intervensi urologi merupakan kompetensi dokter urologi. Terapi konservatif
diindikasikan apabila batu berukuran kecil dan berpeluang keluar secara spontan
serta pasien tidak mengalami komplikasi. Batu ginjal dengan penyulit harus segera
dirujuk ke urologi. 1,12

1. Pengobatan konservatif
Pada dasarnya pengobatan konservatif dilakukan untuk mengatasi rasa nyeri,
infeksi dan mengupayakan batu khususnya yang berada di ureter dapat keluar
spontan. Ukuran batu sangat mempengaruhi kemungkinan bisa keluar dari tubuh.
Berdasarkan studi meta analisis, kemungkinan batu keluar secara spontan sebesar
68% bagi batu ureter yang berukuran 5 mm (n = 224 pasien) dan 47% untuk batu
yang berukuran 510 mm (n=104 pasien). Menurut 2007 guideline for
management of ureteral calculidirekomendasikan bahwa pasien yang didiagnosis
untuk pertama kalinya menderita batu ureter dengan ukuran <10 mm dan keluhan
koliknya dapat dikendalikan, pasien ini dapat ditawarkan untuk menjalani terapi
konservatif. Dengan catatan bahwa pasien harus selalu dimonitor selama menjalani
pengobatan konservatif agar nyeri selalu dapat diatasi, tidak terjadi sepsis dan
penurunan fungsi ginjal. Monitoring dilakukan menggunakan ultrasonografi dan
foto polos abdomen untuk menilai posisi batu dan keadaan hidronefrosis.13

a. Mengatasi rasa nyeri


Masalah yang segera harus diatasi pada pasien dengan batu ginjal adalah
keluhan nyeri yang kuat atau kolik renal. Rasa nyeri yang tidak segera diatasi akan
mengganggu kualitas hidup seseorang. Mereka yang pernah merasakan nyerinya
batu ginjal tidak mampu melakukan pekerjaan apapun kecuali hanya merintih
kesakitan. Sebab itu rasa nyeri harus diredakan atau dihilangkan saat itu juga. Secara
standar obat penghilang nyeri yang kuat adalah golongan narkotika, seperti
misalnya: meperidine, morfin sulfat, kombinasi parasetamol dengan kodein. Kalau

32

diinginkan efek yang kuat dan cepat morfin injeksi pilihannya. Alternatif lain obat
pereda nyeri yang mempunyai efek kuat adalah golongan antiinflamasi nonsteroid
seperti misalnya: ketorolac, diclofenac, celecoxib, ibuprofen, dan sebagainya.12

b. Mengatasi infeksi
Batu ginjal sering disertai dengan infeksi saluran kemih. Kehadiran infeksi
ditandai dengan adanya demam, disuria, leukosituria. Kepastian infeksi saluran
kemih didasarkan temuan bakteri penyebab kuman melalui pemeriksaan
pengembangbiakan kuman atau kultur. Infeksi saluran kemih harus diatasi dengan
antibiotik.11,12

c. Mengupayakan batu keluar spontan


Menjaga jumlah air kemih yang cukup melalui asupan minum 23 liter/hari akan
memberikan peluang bagi batu yang berada di ureter untuk turun ke buli-buli dan
keluar menuju dunia luar. Beberapa obat, seperti kortikosteroid, Ca entry blockers
dan -blockers sering digunakan untuk membantu mengeluarkan batu ureter selama
periode watchful waiting. Kortikosteroid melalui efek antiinflamasinya dan
antiedemanya diharapkan dapat mempermudah pengeluaran batu ureter. Ca entry
blockers, dalam hal ini yang sering digunakan adalah nifedipine, dan -blockers
(tamsulosin) melalui efek relaksasi otot polos ureter dapat memudahkan
pengeluaran batu ureter.16 Francesco dkk (2006)17 melakukan penelitian dengan
membandingkan kortikosteroid (deflazacort) dan tamsulosin pada pasien dengan
batu di ureter distal simptomatik dengan diameter batu kurang lebih 6 mm. Mereka
membagi pasien menjadi 4 kelompok: (1) pada kelompok pertama (N=33 pasien),
pasien mendapatkan tamsulosin 0,4 mg/hari, (2) kelompok kedua (N=24 pasien),
kortikosteroid (deflazacort) 30 mg/hari, (3) kelompok ketiga (N=33 pasien), pasien
mendapatkan tamsulosin 0,4 mg/hari dan deflazacort 30 mg/hari, (4) kelompok
keempat (N=24 pasien), pasien mendapatkan hanya analgetik. Lama pengobatan
diberikan hanya 10 hari mengingat risiko efek samping dari kortikosteroid.
Berdasarkan penelitian tersebut disimpulkan bahwa angka keluarnya batu ureter
masing masing adalah: 60%, 37,5%, 84,8% dan 33,3%. Kelompok ketiga atau

33

pasien yang memperoleh kombinasi tamsulosin dan kortikosteroid memberikan


peluang keluarnya batu ureter lebih besar secara bermakna dibandingkan kelompok
lainnya (P <0,001). Pada keadaan di mana steroid tidak mungkin diberikan
pemberian tamsulosin saja cukup efektif dalam membantu keluarnya batu ureter.
Alternatif obat yang digunakan untuk membantu pengeluaran batu ginjal adalah
nifedipine. Francesco et al (2004)18 membandingkan antara nifedipine dan
tamsulosin pada pasien yang menderita batu ureter dengan diameter <10 mm.
Mereka membagi pasien menjadi 3 kelompok, yaitu: (1) kelompok pertama (N=30
pasien) mendapatkan kortikosteroid (deflazacort) 30 mg (maksimal selama 10 hari)
dan nifedipine 30 mg (maksimal selama 28 hari), (2) kelompok kedua (N=28)
mendapatkan kortikosteroid (deflazacort) 30 mg (maksimal selama 10 hari) dan
tamsulosin 0,4 mg (maksimal selama 28 hari), (3) kelompok ketiga (N=28 pasien)
adalah kelompok kontrol. Angka pengeluaran batu masingmasing adalah 80% untuk
kelompok pertama, 85% untuk kelompok kedua dan 43% kelompok kontrol.
Menurut Portis,10 seandainya batu ginjal yang berukuran <5 mm tidak berhasil
keluar secara spontan, khususnya batu uereter yang menimbulkan sumbatan, dan
pengobatan konservatif gagal setelah diupayakan dalam waktu 2-4 minggu, pasien
harus segera dirujuk untuk menjalani tindakan urologi.

2. Tindakan urologi
Ada beberapa alaternatif tindakan urologi dalam rangka mengeluarkan batu
ginjal, yaitu extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL), ureteroskopi,
nefrolitotomi perkutan dan bedah terbuka. Prosedur mana yang akan dipilih tentu
sangat tergantung pada jenis, ukuran serta lokasi batu berada (di ginjal, ureter
proksimal, tengah atau distal, atau di buli-buli), fasilitas yang ada di rumah sakit dan
ketrampilan dokter bedah urologi serta keadaan pasien. Pada prinsipnya tindakan
urologi dilakukan dengan pertimbangan untuk menghilangkan nyeri atau kolik renal
akibat batu ginjal yang tidak menghilang dengan obat obatan, mencegah infeksi dan
mencegah kerusakan ginjal akibat sumbatan batu. Menurut Mange (1999),19 indikasi
tindakan urologi dilakukan pada keadaan di mana kolik renal tidak segera
menghilang, terjadi hidronefrosis permanen, oliguri, batu ginjal dengan infeksi, batu

34

ureter yang sudah lama, batu staghorn, pasien dengan ginjal transplantasi dan
berhubungan dengan profesi pekerjaan (pilot).
Indikasi intervensi urologi 19
-

Batu ginjal yang menyebabkan nyeri yang tidak segera reda/menghilang

Hidronefrosis permanen

Jumlah urin <500 cc/24 jam pada seseorang dengan satu ginjal

Batu ginjal dengan infeksi

Batu di ureter yang sudah lama

Batu staghorn

Pasien dengan ginjal transplantasi

Ada hubungan dengan pekerjaan (misalnya pilot)

a. Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy


Extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL) merupakan tindakan medis
untuk menghancurkan batu dari luar tubuh dengan memanfaatkan gelombang kejut.
Dalam terapi ini, ribuan gelombang kejut ditembakkan ke arah batu ginjal hingga
batu menjadi serpihan kecil sehingga dapat dikeluarkan secara alamiah bersama
dengan urin. Ather (2001) melaporkan hasil penelitiannya, yang membandingkan
antara ESWL vs ureteroskopi+intra-corporal lithotripsy (ISWL). Sebanyak 150
pasien dengan batu ureter menjalani ESWL dan 214 menjalani ISWL. Keberhasilan
ESWL dalam menghancurkan batu ureter proksimal dengan ukuran 7 x 10 mm
sebesar 92% dibandingkan dengan ISWL yang hanya 75%. Sedangkan untuk batu di
daerah pelvis keduanya mencapai 95%.14 Agar batu ginjal dapat menjadi serpihan
rata-rata diperlukan tindakan ESWL 1,4 kali (atau 1-2 kali). Angka komplikasi
ESWL sebesar 5%, meliputi: perdarahan bawah kulit, hematom ginjal, pankreatitis,
hidronefrosis, kolik ginjal dan infeksi. ESWL kurang efektif dilakukan pada batu
ginjal yang besar, batu staghorn, terdapat gangguan anatomi di ginjal, pasien
gemuk, batu bersifat radiolucent, batu berjenis kalsium oksalat monohidrat, dan
hambatan teknis lain yang menyulitkan dokter dalam memfokuskan gelombang
kejut ke arah batu ginjal.1

35

b. Nefrolitotomi perkutaneus
Prosedur ini dimulai dengan melakukan insisi kulit yang akan selanjutnya
melalui lubang ini akan dimasukkan sebuah nephroscope yang diarahkan ke ginjal.
Apabila ukuran batu relatif besar, batu terlebih dahulu harus dihancurkan menjadi
butiran kecil menggunakan energi ultrasonik atau elektrohidrolik. Pecahan batu lalu
diambil melalui penyedotan atau alat pengait lain. Nefrolitotomi perkutan menjadi
pilihan utama untuk batu yang kompleks, yaitu batu yang ukuran >2 cm, batu tidak
hancur dengan ESWL dan terdapat kelainan anatomi ginjal.20,21

c. Ureteroskopi
Pada awalnya tindakan ureteroskopi dilakukan untuk mengeluarkan batu ureter
yang berlokasi di bagian distal dan bagian tengah ureter. Sedangkan batu di ureter
proksimal

dipecah

menggunakan

ESWL.

Namun

dengan

pengembangan

ureteroskopi yang semirigid dan fleksibel serta ditemukannya laser holmium yang
dapat memecah batu secara internal (litotripsi), saat ini ureteroskopi dapat
digunakan untuk mengambil batu di lokasi manapun. Keberhasilan mengevakuasi
batu di ureter proksimal mencapai 81%, 86% untuk batu ureter tengah dan 94% batu
ureter distal. Komplikasi ureteroskopi kurang dari 5%, yang dapat berupa: cedera
ureter, infeksi, perdarahan saluran kemih dan nyeri perut. Prosedur ureteroskopi
pada umumnya diindikasikan terutama pada keadaan di mana ESWL secara teknis
sulit dilakukan atau karena ada kontra indikasi tindakan ESWL (obesitas, batu
bersifat radiolusen, densitas batu >750 HU, hamil, gangguan koagulopati), batu
terletak di ureter distal dengan ukuran >10 mm.10,22

d. Bedah terbuka
Prosedur bedah terbuka kini semakin ditinggalkan karena disamping komplikasi
yang lebih besar dan masa penyembuhan memerlukan waktu yang lebih lama, bisa
mencapai 46 minggu. Tindakan bedah terbuka baru dilakukan apabila ESWL
nefrolitotomi perkutan tidak mungkin dilakukan. Misalnya pada batu staghorn yang
besar. Melalui tindakan ini batu staghorn dapat diangkat secara lengkap. Hanya
prosedur bedah terbuka berisiko menyebabkan penurunan fungsi ginjal, yang

36

mencapai 3050%. Angka rekurensi batu setelah pembedahan terbuka mencapai 30


% dalam kurun waktu 6 tahun.20

- Nefrolitotomi terbuka adalah pengangkatan batu dari dalam ginjal dan


pielolitotomi terbuka adalah pengangkatan batu dari dalam pelvis ginjal, (daerah
berbentuk corong untuk koleksi urin dalam ginjal). Kedua operasi biasanya
dilakukan melalui sayatan 10-15 cm di sisi (sisi tubuh antara tulang rusuk dan
pinggul) yang memperlihatkan posisi batu. Operasi batu terbuka seperti
nefrolitotomi dan pielolitotomi biasanya disediakan untuk komplikasi, batu yang
sulit dan menyebabkan penyumbatan atau gejala seperti nyeri dan infeksi
berulang yang tidak dapat diatasi dengan perawatan kurang invasif.14

- Pielolitotomi bermanfaat dalam pengelolaan batu pielum ginjal, di mana ESWL


dan PCNL tidak layak karena kurangnya peralatan atau keahlian. Indikasi lain
untuk pielolitotomi yakni batu staghorn minimal di dalam pelvis renalis dan
obesitas morbid yang berlebihan.14

- Pielolitotomi merupakan prosedur bedah terbuka pada kasus yang melibatkan


batu di dalam pelvis renalis. Ini adalah prosedur umum sampai pengembangan
pengobatan ESWL, PNL, dan ureteroscopic laser lithotripsy. Namun,
pyelolithotomy terus dilakukan ketika modalitas lainnya gagal atau fasilitas yang
tepat tidak tersedia. Meskipun sekarang dianggap terlalu invasif untuk
penggunaan rutin, pielolitotomi terus memiliki peran dalam kasus-kasus tertentu.
Kriteria meliputi ukuran batu, kebutuhan untuk operasi terbuka secara
bersamaan, dan tidak dapat diaksesnya ke ESWL atau PCNL. Pedoman saat ini
menganjurkan pielolitotomi atau nefrolitotomi anatropik ketika beban batu lebih
besar dari 2500 mm2, dalam kasus-kasus ekstrim obesitas morbid, atau ketika
pasien datang dengan sistem pengumpulan kompleks. Indikasi lainnya adalah
relatif dan termasuk kegagalan kliring batu melalui PCN, ureteroskopi, atau
ESWL karena ekstraksi sulit, komposisi batu (yaitu, sistin), atau anatomi (yaitu,
ektopik, panggul, atau ginjal tapal kuda). Pielolitotomi juga ditunjukkan dalam
kombinasi dengan pyeloplasty, tanpa meningkatkan morbiditas atau menurunkan
tingkat

keberhasilan.

Indikasi

untuk

menghilangkan

batu

(mungkin

37

pielolitotomi) termasuk sepsis, nyeri pinggang yang parah, obstruksi dengan


kehilangan parenkim ginjal, dan hematuria.15

Gambar. Nefrolitotomi dan pielolitotomi


2.2.8 Pencegahan
Setelah batu dikeluarkan dari saluran kemih, tindakan selanjutnya yang tidak
kalah pentingnya adalah upaya menghindari timbulnya kekambuhan. Angka
kekambuhan batu saluran kemih rata-rata 7% per tahun atau kurang lebih 50%
dalam 10 tahun.1
Pencegahan yang dilakukan adalah berdasarkan atas kandungan unsur yang
menyusun batu saluran kemih yang diperolah dari analisis batu. Pada umumnya
pencegahan itu berupa (1) menghindari dehidrasi dengan minum cukup dan
diusahakan produksi urin sebanyak 2-3 per hari (2) diet untuk mengurangi kadar zat
komponen pembentuk batu (3) aktivitas harian yang cukup, dan (4) pemberian
medikamentosa.1
Beberapa diet yang diajurkan untuk mengurangi kekambuhan adalah (1) rendah
protein, karena protein akan memacu ekskresi kalsium urin dan menyebabkan
suasana urin menjadi lebih asam (2) rendah oksalat, (3) rendah garam karena
natriuresis akan memacu timbulnya hiperkalsiuri, dan (4) rendah purin.1

38

2.3 Hidronefrosis
Hidronefrosis diartikan sebagai akumulasi urin dalam pelvis dan kaliks pada satu
atau kedua ginjal diakibatkan adanya obstruksi aliran urin normal menyebabkan
terjadinya refluks atau aliran balik urin sehingga tekanan di ginjal meningkat.
Awalnya, kejadian hidronefrosis masih dianggap jarang dan belum diketahui pasti
etiologi dan patofisiologinya. Namun semenjak kemajuan teknologi di bidang
radiologi, insiden hidronefrosis meningkat tajam dari dugaan sebelumnya.
Hidronefrosis biasanya terjadi disebabkan oleh tiga penyebab utama yaitu
obstruksi ureteropelvic junction (UPJ), obstruksi ureterovesical junction (UVJ), dan
vesicoureteral reflux (VUR). Pada obstruksi UPJ, urin terakumulasi di sistem
kolektif ginjal menyebabkan dilatasi pelvis ginjal. Sementara pada obstruksi UVJ,
urin terakumulasi di ureter dan sistem kolektif ginjal menyebabkan megaureter dan
dilatasi pelvis ginjal. UPJ dan UVJ merupakan tempat diameter ureter menyempit
dan sedikit berbelok meningkatkan risiko batu saluran kemih tersumbat. VUR pula
biasanya terjadi disebabkan obstruksi di buli menyebabkan aliran balik urin ke
ureter meningkatkan risiko hidronefrosis bilateral.

Gambar. Tempat Utama Obstruksi Batu Saluran Kemih yang Menyebabkan


Hidronefrosis

Derajat keparahan hidronefrosis dibagi menjadi 4 berdasarkan gambaran


radiologi BNO IVP sebagai berikut:

39

a. Hidronefrosis derajat 1 ditemukan gambaran dilatasi pelvis renalis tanpa


dilatasi kaliks. Ujung-ujung kaliks berbentuk blunting atau tumpul.
b. Hidronefrosis derajat 2 ditemukan gambaran dilatasi pelvis renalis dan kaliks
mayor. Kaliks berbentuk flattening atau mendatar.
c. Hidronefrosis derajat 3 ditemukan gambaran dilatasi pelvis renalis, kaliks
mayor, dan kaliks minor. Penipisan lapisan parenkim ginjal yang terdiri dari
korteks dan medulla belum terlihat. Kaliks berbentuk clubbing atau menonjol.
d. Hidronefrosis derajat 4 ditemukan gambaran dilatasi pelvis renalis, kaliks
mayor, kaliks minor, serta penipisan korteks ginjal. Penipisan korteks
menunjukkan gambaran crescent atau menyerupai bulan sabit. Kaliks
berbentuk ballooning atau menggembung dan struktur kaliks mayor dan kaliks
minor tidak dapat dibedakan lagi.

Gambar. Derajat Keparahan Hidronefrosis

40

BAB III
ANALISIS KASUS
3.1 Resume
Seorang laki-laki, usia 30 tahun datang dengan keluhan nyeri pinggang kanan
yang semakin sering intensitasinya sejak 1 bulan SMRS. Nyeri hilang timbul dan
menjalar ke perut depan. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk. Nyeri timbul tibatiba, bisa pada saat tidur ataupun sedang duduk. Nyeri pinggang kanan ini
sebenarnya telah dikeluhkan pasien sejak 3 bulan SMRS, hanya saja nyeri
dirasakan sesekali saja dan dianggap tidak mengganggu. Pasien pernah mengalami
BAK berdarah seperti air cucian daging yang hilang timbul.
Pasien mempunyai kebiasaan jarang berolahraga dan pola minum yang sedikit
tiap harinya. Pasien sering beraktivitas duduk lama (seorang supir truk). Pasien
mempunyai kebiasaan makan jengkol dan petai.
Pada pemeriksaan fisik khususnya status urologis ditemukan nyeri ketok CVA
kanan positif.
Pada pemeriksaan tambahan radiologi didapatkan echoic shadow pada USG
TUG ginjal kanan. Pada BNO-IVP didapatkan kesan Pyelolithiasis dekstra ukuran
2,5 x 2,5 cm + hidronefrosis grade II dekstra.
Pada pemeriksaan laboratorium terutama urinalisis ditemukan urin agak keruh
dengan leukosit 25-30/LPB curiga kearah infeksi saluran kemih, tetapi pada pasien
ini belum dilakukan kultur urin.

41

3.2 Analisis
Penegakkan diagnosis batu saluran kemih didasarkan pada anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan pemeriksaan imaging.12
Pada anamnesis didapatkan keluhan pada pasien ini yaitu nyeri pinggan kanan,
hilang timbul, tiba-tiba, seperti ditusuk-tusuk dan menjalar ke dinding perut depan.
Beberapa penyebab keluhan nyeri pinggang kanan, antara lain gangguan pada
muskuloskeletal seperti mialgia maupun low back pain, gangguan pada saraf yaitu
hernia nukleus pulposus, gangguan sistem urinarius yakni batu maupun infeksi pada
ginjal dan ureter.6
Penyebab dari gangguan muskuloskeletal dapat disingkirkan karena tidak
didapatkan keluhan nyeri yang dipengaruhi oleh aktivitas yakni memberat saat
bekerja dan membaik saat istirahat. Keluhan berasal dari appendisitis bisa
disingkirkan juga karena tidak didapatkan keluhan nyeri perut kanan bawah dan
gangguan BAB serta posisi khas appendisitis yakni tungkai yang terfleksi juga tidak
ditemukan pada pasien ini. Kolelitiasi maupun kolesistitis juga dapat disingkirkan
karena tidak ditemukan keluhan nyeri yang menjalar ke punggung disertai demam
maupun kuning. Adanya keluhan nyeri yang menjalar ke tungkai dapat mendukung
ke arah hernia nukleus pulposus (HNP).6
Pada kasus ini dapat dipikirkan kearah gangguan salurah kemih didukung oleh
letaknya yang sesuai dengan proyeksi ginjal sehingga kemungkinan ini merupakan
nyeri kolik ginjal akibat adanya sumbatan di saluran kemih. Nyeri dirasakan
menjalar dari pinggang kanan ke dinding perut depan, hal ini terjadi karena nyeri
merambat sepanjang saraf sensorik yang mempersarafi ginjal yaitu T10-11, sesuai
dengan area dermatomnya.1 Kemungkinan trauma dapat disingkirkan dari
anamnesis karena pada pasien tidak didapatkan riwayat trauma. Pada pasien ini juga
pernah mengalami adanya BAK seperti air cucian danging yang kemungkinan ialah
hamturia. Hematuria dapat disebabkan oleh trauma mukosa oleh batu.1
Batu dan infeksi ginjal merupakan diagnosis banding yang kuat pada kasus ini.
Dimana kedua hal tersebut dapat saling keterkaitan satu sama lain.
Keluhan yang akan disampaikan oleh pasien yang mengalami batu ginjal
tergantung pada posisi atau letak batu, besar batu dan penyulit yang telah terjadi.

42

Nyeri yang akan dirasakan dapat berupa nyeri kolik atau bukan kolik. Nyeri kolik
terjadi karena aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises ataupun ureter meningkat
dalam usaha untuk mengeluarkan batu dari saluran kemih. peningkatan peristaltik
itu menyebabkan tekanan intraluminalnya meningkat sehingga terjadi perenggangan
dari terminal saraf yang memberikan sensasi nyeri. Nyeri non kolik terjadi akibat
perenggangan kapsul ginjal karena terjadi hidronefrosis atau infeksi pada ginjal.1
Pada kasus batu yang terletak di sebelah distal ureter dirasakan oleh pasien
sebagai nyeri pada saat kencing atau sering kencing. Batu dengan ukuran kecil
mungkin dapat keluar spontan setelah melalui hambatan pada perbatasan ureteropelvik, saat ureter menyilang vasa iliaka, dan saat ureter masuk ke dalam saluran
kemih yang disebabkan oleh batu.1
Hematuria sering kali dikeluhkan oleh pasien akibat trauma pada mukosa
saluran kemih yang disebabkan oleh batu. Kadang-kadang hematuria didapatkan
dari pemeriksaan urinalisis berupa hematuria mikroskopik.1
Pada kasus ini, pasien adalah seorang laki-laki usia 30 tahun. Berdasarkan
epidemiologis usia tersering terjadinya batu ginjal adalah 30-50 tahun.1 Sedangkan
distribusi penderita batu ginjal berdasarkan jenis kelamin pada penelitian Elsy dkk.
(2012) 7 menunjukkan bahwa jumlah penderita laki-laki (n= 21, 60%) lebih banyak
daripada perempuan (n=14, 40%) yaitu dengan perandingan 3:2. Penelitian ini
sesuai dengan kepustakaan yang menyatakankan bahwa batu ginjal lebih banyak
diderita oleh laki-laki, dengan angka kejadian 3 kali lebih banyak daripada
perempuan.1 Hal ini karena kadar kalsium air kemih sebagai bahan utama
pembentuk batu lebih rendah pada perempuan daripada laki-laki, dan kadar sitrat air
kemih sebagai bahan penghambat terjadinya batu pada perempuan lebih tinggi
23

daripada laki-laki. Selain itu, hormon estrogen pada perempuan mampu mencegah
agregasi garam kalsium,sedangkan hormon testosteron yang tinggi pada laki-laki
menyebabkan peningkatan oksalat endogen oleh hati yang selanjutnya memudahkan
terjadinya kristalisasi.

23,24

Berdasarkan anatomi dari ginjal, lokasi batu ginjal biasanya dijumpai khas di
dalam pelvis (pielum) dan kaliks. Batu pielum didapatkan dalam bentuk yang
sederhana sehingga hanya menempati bagian pelvis, tetapi dapat juga tumbuh

43

mengikuti bentuk susunan pelviokaliks sehingga bercabang menyerupai tanduk rusa


25

(batu staghorn). Dari hasil penelitian Elsy dkk. (2012)7, menunjukkan bahwa batu
ginjal lebih banyak terletak pada pielum yaitu 30 penderita (85,7%), kemudian di
dalam pelviokaliks yaitu 3 penderita (8,6%), dan paling sedikit di dalam kaliks yaitu
2 penderita (5,7%). Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa batu
biasanya terletak di dalam pelvis ginjal, dan tempat terbanyak berikutnya adalah di
kaliks.

15

Berdasarkan anatomi dari ginjal, sebelum memasuki ureter terdapat

penyempitan (diameter berkurang 2-3 mm) di uretero-pelvic junction yaitu tempat


pertemuan pelvis ginjal dengan ureter. Secara umum, batu yang berukuran kecil
dengan diameter maksimum 4-5 mm akan mampu melewati ureter dan biasanya
keluar bersama urine, sedangkan batu yang berukuran lebih besar akan tersangkut di
pelvis ginjal yang

menyebabkan obstruksi dan menjadi penyebab terjadinya

hidronefrosis bahkan kerusakan dari ginjal. Pada kasus ini telah didapatkan bahwa
letak batu adalah di pielum. Hal ini berhubungan dengan kepustakaan yang
menyatakan bahwa sesuai dengan gangguan yang terjadi, batu ginjal yang terletak di
pelvis (pielum) dapat menyebabkan terjadinya hidronefrosis sebagai akibat dari
obstruksi.
Kebiasaan kurang minum berhubungan dengan risiko terjadi batu saluran kemih.
Asupan air yang kurang menyebabkan peningkatan osmolalitas plasma dan
penurunan volume arteri efektif. Hasil akhirnya menurunnya volume urin dan
ekskresi natrium. Adanya penurunan volume urin akan meningkatkan osmolalitas
urin dengan kata lain meningkatkan konsentrasi solut urin. Sesuai dengan
patogenesisnya, menurunnya volume urin serta kecepatan aliran urin akan
meningkatkan saturasi zat pembentuk batu atau terjadi keadaan supersaturasi. Hal
ini didukung oleh penelitian Borghi dkk. yang menyatakan bahwa volume urin
berperan dalam pengulangan terbentuknya batu kalsium, dan disarakan minimal
volume urin 2 liter/24 jam.
Pada pemeriksaan fisik di dapatkan yeri ketok CVA positif, hasil ini dapat
mengarahkan ke diagnosis batu saluran kemih. Kemudian untuk memastikan
diagnosis pada kasus ini, maka dilakukan pemeriksaan tambahan yakni USG TUG
yang didapatkan accoustic shadow di ginjal kanan. Kemudian untuk melihat

44

keadaan anatomis dan fungsi ginjal serta mengkonfirmasi batu pada pemeriksaan
ultrasonografi dilakukan pemeriksaan IVP didapatkan gambaran radiopak di perut
kanan atas dan fungsi kedua ginjal masih baik serta hidronefrosis grade II ginjal
kanan. Sebelum melakukan IVP harus dilakukan pemeriksaan ureum kreatinin, jika
kreatinin lebih dari 0,15 mg/dl maka IVP tidak dilakukan karena fungsi ginjal
menurun selanjutnya dapat dilakukan pielografi retrograd. Selain pemeriksaan
ureum kreatinin, juga dilakukan pemerisaan darah rutin, dan terpenting dilakukan
pemeriksaan urinalisis untuk mencari tanda-tanda infeksi saluran kemis. Pada kasus
ini hasil urinalisis mengarah kepada infeksi saluran kemih karena ditemukan adanya
leukosituria pada sedimen urin curiga adanya infeksi. Infeksi saluran kemih dapat
terjadi sebagai komplikasi dari batu saluran kemih atau bisa juga menyebabkan
terbentuknya batu saluran kemih. Pada kasus ini tidak dilakukan kultur urin pasien
sehingga diagnosis infeksi saluran kemih belum bisa di tegakkan karena menurut
european association of urology diperlukan hasil kultur urin positif dengan
bakteruria bermakna > 105 koloni/ml.
Pada kasus ini akan dilakukan pielolitotomi. Pielolitotomi merupakan prosedur
bedah terbuka pada kasus yang melibatkan batu di dalam pelvis renalis.
Pielolitotomi bermanfaat dalam pengelolaan batu pielum ginjal, di mana ESWL dan
PCNL tidak layak karena kurangnya peralatan atau keahlian dan modalitas lainnya
gagal atau fasilitas yang tepat tidak tersedia. Indikasi lain untuk pielolitotomi yakni
batu staghorn minimal di dalam pelvis renalis dan obesitas morbid yang
berlebihan.14 Pedoman saat ini menganjurkan pielolitotomi ketika beban batu lebih
besar dari 2500 mm2, dalam kasus-kasus ekstrim obesitas morbid, atau ketika pasien
datang dengan sistem pengumpulan kompleks. Pielolitotomi juga ditunjukkan dalam
kombinasi dengan pyeloplasty, tanpa meningkatkan morbiditas atau menurunkan
tingkat keberhasilan. Indikasi untuk menghilangkan batu (mungkin pielolitotomi)
termasuk sepsis, nyeri pinggang yang parah, obstruksi dengan kehilangan parenkim
ginjal, dan hematuria.15

45

DAFTAR PUSTAKA
1. Purnomo, Basuki, B. 2011. Dasar-dasar urologi, edisi ketiga. Jakarta. Sagung Seto,
hal. 6-14; 40-42; 85-98
2. Snell, R. S. 2011. Anatomi klinik untuk mahasiswa kedokteran edisi ke-7. Jakarta:
EGC, hal. 250-256
3. Muslim, R. 2007. Batu saluran kemih suatu problema gaya hidup dan pola makan
serta analisis ekonomi pada pengobatannya (diakses tanggal 1 agustus 2015)
4. Syamsuhidayat R, Jong WD. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. 2nd ed. Jakarta: EGC
5. Sabiston, David C.2005. Infeksi Saluran Kemih, Buku Ajar Ilmu Bedah. 2nd ed.
Jakarta: EGC
6. Rully, M.A. 2010. Batu staghorn pada wanita: faktor risiko dan tata laksananya
(diakses tanggal 1 agustus 2015)
7. Elsy, M.B.T, dkk. 2012. Angka kejadian batu ginjal di RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado Periode Januari 2010-Desember 2012 (diakses tanggal 1 agustus
2015)
8. Menon M, Resnick, Martin I. 2002. Urinary lithiasis: Etiology and endourology,
Dalam: Campbells Urology, 8th ed, vol. 4. WB, Sauders Company, Philadephia,
hal. 3230-3292
9. Marangela M, Vitale C, Petraulo M, dkk. 2000. Renal Stones: from metabolic to
physicochemical abnormalitises. How useful are inhibitor. J. Nephrol, hal. 51-60
10. Portis AJ, Sundaram CP. 2001. Diagnosis and initial management of kidney stone.
Am Fam Physician, hal. 1329-1338
11. Teichman JMH. 2004. Acute renal colic from ureteral calculus. N Engl J Med, hal.
350-684
12. Suharjo, JB., Cahyono, B. 2010. Manajemen Batu Ginjal. Scientific Journal of
Pharmaceutical Development and Medical Application (diakses tanggal 1 Agustus
2015)
13. Preminger GM, dkk. 2007. Guideline for management or ureteral calculi. J Urol,
hal. 2418-2434

46

14. Mushtaq, dkk. 2012. Laparoscopic retroperitoneal pyelolithotomy and open


pyelolithotomy: a comparative study. Turkish journal of urology, hal. 195
(http://www.turkurolojidergisi.com/sayilar/5/buyuk/195-200.pdf, diakses tanggal 1
Agustus 2015)
15. Martha, dkk. 2013. Pyelolithotomy (http://emedicine.medscape.com/article/448503overview#showall, diakses tanggal 26 Juli 2015)
16. Michel MC, Rosette JJ.2006. -blocker treatment of urolithiasis. European
Urology, hal. 213214
17. Francesco P, dkk. 2006. Corticosteroid and tamsulosin in the medical expulsive
therapy for symptomatic distal ureter stones: single drug or association, European
Urology, hal. 339-344
18. Francesco P, Ghignone G, Fiori C, Fontana D, Scarpa RM. 2004. Nifedipine versus
tamsulosin for the management of lower ureteral stones. J Urol, hal. 568571
19. Mange KC, Aradhye S. 1999. Management and prevention of nephrolithiasis.
Hospital Phycisian, hal. 2436
20. Rassweiller JJ, Renner C, Eisenberger F. 2000. The management of complex renal
stones. Br J Urol, hal. 919928
21. Miller NL, Lingeman JE. 2007. Management of kidney stones. BMJ, hal. 468-472
22. Francis Lee. 2008. Update on the management of ureteric stones. The Hongkong
Medical bulletin, hal. 1112
23. Lina, N. 2008. Faktor-faktor resiko kejadian batu saluran kemih pada laki-laki (studi
kasus di RS Dr. Kariadi, RS Roemani, dan RSI Sultan Agung Semarang) [Tesis].
Semarang Universitas Diponegoro
24. Syafrina I. 2008. Karateristik penderita batu saluran kemih rawat inap di RS Haji
Medan Tahun 2005-2007 [Skripsi]. Medan: Universitas Sumatera Utara
25. Achmad IA (alm), Bowolaksono,Manuputty David, Sukasah CL, Swantari
NM,Umbas Rainy, dkk. 2010. Saluran Kemih dan Alat Kelamin Lelaki. Dalam:
Karnadihardja W, Prasetyono TOH, Rudiman R, Sjamsuhidajat R, editor. Buku Ajar
Ilmu Bedah. Jakarta: EGC, hal. 850-877.
26. Syahputra FA. 2011. Terapi Batu Ginjal: Dari Era Hippocrates ke Era Minimal
Invasif. The Journal of the Indonesian Medical Association, hal. 99-100.

47

27. Sjabani M. 2009. Batu Saluran Kemih. Dalam: Alwi IK, Marchellus S, Setiati S,
Setiyohadi B, Sudoyo AW, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Ed 5. Jakarta:
InternaPublishing;hal.1025-1030.

Anda mungkin juga menyukai