Anda di halaman 1dari 27

REFERAT

HUBUNGAN ANTARA TERAPI HIPERBARIK OKSIGEN


DENGAN KEJADIAN BAROTRAUMA PARU

Pembimbing:
Letkol Laut (K) dr.Djati Widodo EP, M.Kes

Penyusun :
M. Fahmi Budiman 2015.04.2.0090
Maria Gabriella S. 2015.04.2.0094
Melia Yunita 2015.04.2.0097

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HANG TUAH

RSAL dr.RAMELAN SURABAYA

2015
LEMBAR PENGESAHAN

Judul referat “Hubungan Antara Terapi Hiperbarik Oksigen dengan


Kejadian Barotrauma Paru” telah diperiksa dan disetujui sebagai salah
satu tugas baca dalam rangka menyelesaikan studi kepaniteraan Dokter
Muda di bagian LAKESLA RSAL dr Ramelan Surabaya.

Mengetahui,

Dosen Pembimbing I

Letkol Laut (K) dr. Djati Widodo EP., M.Kes

Dosen Pembimbing II Dosen Pembimbing III

Mayor Laut (K/W) dr Titut H., M.Kes dr. Ni Komang S.D., M.Kes, Sp.S

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas berkah dan rahmatNya, kami bisa menyelesaikan referat dengan
topik “Hubungan Antara Terapi Hiperbarik Oksigen dengan Kejadian
Barotrauma Paru” dengan lancar. Referat ini disusun sebagai salah satu
penilaian tugas untuk menyelesaikan kepaniteraan klinik di bagian
LAKESLA RSAL dr. RAMELAN Surabaya. Penulis berharap referat ini
dapat dijadikan sebagai tambahan ilmu pengetahuan yang bermanfaat
bagi penulis maupun pembaca.

Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada


pihak-pihak yang membantu penulis dalam penyusunan referat ini, yaitu:

a. dr.Djati Widodo, M.Kes, selaku Pembimbing dari referat ini.

b. dr. Titut Harnanik, M.Kes dan dr. Ni Komang Sri Dewi, M.Kes, Sp.S

c. Para perawat dan pegawai di LAKESLA RSAL dr. RAMELAN


Surabaya.

d. Kelompok DM 39N dan 39O

Kami menyadari bahwa referat yang kami susun ini masih jauh dari
kesempurnaan, maka penulis berharap ada masukan, saran, atau kritik
yang membangun dari semua pihak. Semoga referat ini dapat memberi
manfaat bagi kita semua.

Surabaya, Agustus 2015

Penulis

ii
DAFTAR ISI

Cover
Lembar Pengesahan .............................................................................. i
Kata Pengantar....................................................................................... ii
Daftar Isi ................................................................................................. iii

Bab 1 Pendahuluan............................................................................... 1
Bab 2 Tinjauan Pustaka ........................................................................ 3
2.1. Anatomi dan Fisiologi Paru ..................................................... 3
2.1.1 Anatomi Paru ................................................................. 3
2.1.2 Topografi Paru ............................................................... 4
2.1.3 Fisiologi Paru ................................................................. 5
2.2 Barotrauma .............................................................................. 6
2.2.1 Definisi ........................................................................... 6
2.2.2 Pembagian Barotrauma ................................................. 6
2.2.3 Barotrauma Paru ............................................................ 7
2.3 Terapi Oksigen Hiperbarik ....................................................... 11
2.3.1 Definisi ........................................................................... 11
2.3.2 Sejarah Terapi Hiperbarik .............................................. 12
2.3.3 Aspek Fisika ................................................................... 12
2.3.4 Efek fisiologis ................................................................. 13
2.3.5 Indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik ................................ 15
2.3.6 Kontraindikasi Terapi Oksigen Hiperbarik ...................... 16
BAB 3 Hubungan antara Terapi Oksigen Hiperbarik dengan
Barotrauma Paru .................................................................................... 19
BAB 4 Kesimpulan ............................................................................. 22

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 23

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri


dari 13.466 pulau, dimana luas laut yang ada di Indonesia adalah 2/3 total
dari luas seluruh wilayah Indonesia. Luasnya perairan di Indonesia ini
berdampak pada kegiatan bawah laut yang dilakukan baik untuk rekreasi,
penyelaman, aktivitas ekonomi, dan juga keperluan militer. Banyaknya
penyelam baik yang professional maupun awam, juga berdampak pada
pengembangan kesehatan kelautan.

Kegiatan penyelaman harus didahului dengan pengetahuan akan


penyelaman terlebih dahulu. Sebagian besar penyelam tidak mengetahui
bahaya penyelaman bagi tubuh penyelam tersebut, ini terlihat dari
timbulnya keluhan yang sering dialami oleh penyelam. Menurut survey
dari 251 responden penyelam di 9 (Sembilan) propinsi di Indonesia,
keluhan yang sering didapat penyelam antara lain 21.2% pusing / sakit
kepala; 12.6% lelah; 12.5% pendengaran berkurang; 10.8% nyeri sendi;
10.2% perdarahan hidung; 9.7% sakit dada/ sesak; 6.4 % penglihatan
berkurang; 6,0% bercak merah di kulit; 5,6 gigitan binatang; 3.2 %
lumpuh; dan 1.7 % hilang kesadaran (Subdit Kesehatan Matra tahun
2009). Salah satu hal yang paling penting untuk diketahui penyelam
adalah kedalaman penyelaman. Kedalaman ini sangat berpengaruh
karena semakin dalam penyelaman, maka tekanan akan menjadi semakin
tinggi. Peningkatan tekanan tersebut akan mempengaruhi semua organ
tubuh penyelam. Penyelam yang tidak dapat mengimbangi pengaruh
tekanan ini, maka akan terjadi barotrauma yang dapat berakibat buruk
bagi penyelam tersebut..

Barotrauma adalah kerusakan jaringan dan sequelenya akibat


ketidakseimbangan antara tekanan udara rongga fisiologis dalam tubuh
dengan tekanan lingkungan di sekitarnya. Berdasarkan patogenesisnya,
barotrauma dapat dibedakan menjadi dua, yaitu barotrauma waktu turun

1
(descent barotrauma) dan barotrauma waktu naik (ascent barotrauma).
Berdasarkan organ yang terkena, maka barotrauma dapat dibedakan
menjadi: barotrauma telinga, barotrauma paru, barotrauma gigi,
barotrauma wajah, kulit dan barotrauma intestinal. Barotrauma paru
merupakan barotrauma yang paling serius diantara barotrauma yang lain
(Riyadi, 2013).

Terapi oksigen hiperbarik adalah suatu terapi dimana pasien diberi


oksigen murni 100% dan tekanan tinggi dalam suatu Ruang Udara
Bertekanan Tinggi (RUBT). Dalam penanganan kasus barotrauma paru,
pemberian oksigen murni merupakan pengobatan utama yang harus
diberikan. Dalam referat ini, penulis berusaha mencari hubungan antara
terapi oksigen hiperbarik dalam penyembuhan kasus barotrauma paru.

2
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Paru

2.1.1 Anatomi Paru

Anatomi Paru-paru adalah struktur atau bagian-bagian dari paru-


paru. Paru-paru itu sendiri sangat penting bagi tubuh manusia, sebab
salah satu fungsi paru-paru adalah memasukkan oksigen dan
mengeluarkan karbondioksida ketika tubuh menghirup udara.

Paru-paru merupakan sebuah alat tubuh yang sebagian besar


terdiri dari gelembung-gelembung (gelembung hawa = alveoli).
Gelembung-gelebung alveoli ini terdiri dari sel-sel epitel dan dan endotel.
Jika dibentangkan luas permukaannya lebih kurang 90 m2 pada lapisan
inilah terjadi pertukaran udara, O2 masuk ke dalam darah dan CO2
dikeluarkan dari darah. Banyaknya gelembung paru-paru ini kurang lebih
700.000.000 buah yang terdapat pada paru-paru kiri dan kanan. Paru-
paru sendiri dibagi menjadi dua, yakni :

1) Paru-paru kanan, terdiri dari 3 lobus (belah paru) yaitu:


 Lobus pulmo dekstra superior
 Lobus medial
 Lobus inferior
2) Paru-paru kiri, terdiri dari 2 lobus yaitu
 Lobus superior
 Lobus inferior.
Tiap-tiap lobus terdiri atas belahan-belahan yang lebih kecil
bernama segment.
Paru-paru kiri mempunyai 10 segment yaitu :

• 5 buah segment pada lobus superior dan,

3
• 5 buah segment pada inferior

Paru-paru kanan mempunyai 10 segmet yakni :

• 5 buah segment pada lobus inferior

• 2 buah segment pada lobus medialis

• 3 buah segment pada lobus inferior

Tiap-tiap segment ini masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang


bernama lobulus. Diantara lobulus yang satu dengan yang lainnya dibatasi
oleh jaringan ikat yang berisi pembuluh-pembuluh darah getah bening dan
saraf-saraf, dalam tiap-tiap lobulus terdapat sebuah bronkiolus. Di dalam
lobulus, bronkiolus ini bercabang-cabang banyak sekali, cabang-cabang
ini disebut duktus alveolus. Tiap-tiap duktus alveolus berakhir pada
alveolus yang diameternya antara 0,2 – 0,3 mm.

2.1.2 Topografi Paru

Paru-paru terletak pada rongga dada, datarannya menghadap ke


tengah rongga dada/kavum mediastinum. Pada bagian tengah itu terdapat
tampuk paru-paru atau hilus. Pada mediastinum depan terletak jantung.
Paru-paru dibungkus oeh selaput selaput yang bernama pleura. Pleura
dibagi menjadi dua :

• Pleura viseral (selaput dada pembungkus), yaitu selaput paru yang


langsung membungkus paru-paru.

• Pleura parietal, yaitu selaput paru yang melapisi bagian dalam


dinding dada.

Antara kedua pleura ini terdapat rongga (kavum) yang disebut kavum
pleura. Pada keadaan normal kavum pleura ini vakum/hampa udara
sehingga paru-paru dapat berkembang kempis dan juga terdapat sedikit
cairan (eksudat) yang berguna unuk meminyaki permukaannya (pleura),

4
menghindarkan gesekan antara paru-paru dan dinding dada dimana
sewaktu bernafas bergerak.

2.1.3 Fisiologi Paru

Pernapasan mencakup 2 proses, yaitu:

a. Pernapasan luar yaitu proses penyerapan oksigen (O2) dan


pengeluaran karbondioksida (CO2) secara keseluruhan.

b. Pernapasan dalam yaitu proses pertukaran gas antar sel jaringan


dengan cairan sekitarnya (penggunaan oksigen dalam sel). Proses
fisiologi pernapasan dalam menjalankan fungsinya mencakup 3 proses,
yaitu:

• Ventilasi yaitu proses keluar masuknya udara dari atmosfir ke


alveoli paru.

• Difusi yaitu proses perpindahan/pertukaran gas dari alveoli ke


dalam kapiler paru.

• Transfer yaitu proses perpindahan oksigen dari paru-paru ke


seluruh jaringan tubuh.

Untuk menyalurkan oksigen ke tubuh, udara dihirup melalui hidung,


mulut atau keduanya. Hidung adalah rute yang lebih disukai karena
merupakan filter yang lebih baik daripada mulut. Hidung menurunkan
jumlah iritasi yang dikirim ke paru-paru, sambil memberi pemanasan
menambah kelembaban udara yang kita hirup. Ketika sejumlah besar
udara diperlukan, hidung bukan cara yang paling efisien untuk
mendapatkan udara ke paru-paru dan karena itu pernapasan mulut dapat
digunakan. Pernapasan mulut umumnya diperlukan saat berolahraga.
Setelah memasuki hidung atau mulut, udara turun ke batang tenggorok
atau “pipa udara”. Trakea adalah tabung paling dekat dengan leher.
Bagian belakang trakea adalah kerongkongan atau “tabung makanan”.
Ketika kita bernafas, udara bergerak ke bawah trakea dan ketika kita

5
makan, makanan bergerak ke bawah kerongkongan. Jalur udara dan jalur
makanan dikendalikan oleh epiglotis, gerbang yang mencegah makanan
memasuki trakea. Kadang-kadang, makanan atau cairan dapat masuk ke
trakea mengakibatkan tersedak dan batuk kejang.

Trakea terbagi menjadi dua, satu tabung kiri dan satu tabung
kanan, dan ini disebut bronkus. Bronkus kiri mengarah ke paru-paru kiri
dan bronkus kanan mengarah ke paru-paru kanan. Tabung pernapasan ini
terus membagi menjadi tabung lebih kecil dan lebih kecil yang disebut
bronkiolus. Bronkiolus berakhir pada kantung-kantung udara kecil yang
disebut alveoli.

Alveoli, yang berarti “buah anggur” dalam bahasa Italia, terlihat


seperti gugusan anggur yang melekat pada tabung pernapasan kecil. Ada
lebih dari 300 juta alveoli pada paru-paru normal. Jika alveoli dibuka dan
ditata datar, mereka akan menutupi area seluas lapangan tenis . Tidak
semua alveoli digunakan pada satu waktu, sehingga paru-paru memiliki
banyak cadangan jika terjadi kerusakan karena penyakit, infeksi atau
pembedahan.

2.2 Barotrauma

2.2.1 Definisi

Barotrauma adalah kerusakan jaringan dan sequelenya akibat


ketidakseimbangan antara tekanan udara rongga fisiologis dalam tubuh
dengan tekanan lingkungan di sekitarnya ( Riyadi, 2013).

2.2.2 Pembagian Barotrauma

Berdasarkan patogenesisnya, barotrauma dapat dibedakan


menjadi dua, yaitu: barotrauma waktu turun ( Descent barotrauma) dan
barotrauma waktu naik ( ascent barotrauma) ( Riyadi, 2013).

6
Berdasarkan organ yang terkena, maka barotrauma dapat
dibedakan menjadi: barotrauma telinga, barotrauma paru, barotrauma gigi,
barotrauma wajah, kulit dan barotrauma intestinal ( Riyadi, 2013).

2.2.3 Barotrauma Paru

Barotrauma paru merupakan barotrauma yang paling serius


diantara barotrauma yang lain ( Riyadi, 2013). Barotrauma paru dapat
dibedakan menjadi:

1) Barotrauma Paru Waktu Turun ( Descent )

Barotrauma ini terjadi saat pengurangan volume paru-paru


melampaui batas akibat dari tekanan di sekitarnya, akibatnya terjadi
kompensasi berupa distensi pembuluh darah paru, dimana ketika sudah
melebihi ambang batasnya, maka dapat terjadi ruptur pembuluh darah
paru, dan menyebabkan perdarahan paru (CFUA, 2010).

Kerusakan jaringan paru pada barotrauma ini (squeeze), adalah


kerusakan pada pembuluh-pembuluh vena kecil, perembesan cairan lewat
membran alveoli dari kapiler-kapiler dan jaringan ke dalam alveoli dari
kapiler-kapiler dan jaringan ke dalam alveoli dan saluran-saluran nafas.
Lebih lanjut bisa terjadi perdarahan( Riyadi, 2013).

Klinis dari barotrauma paru ini berupa nyeri dada dan eksudasi
ringan, pada barotrauma yang berat, bisa dijmpai batuk, sesak, dan
hemoptisis setelah menyelam( Riyadi, 2013).

Terapi dari barotrauma jenis ini berupa pemberian O2 100% dan


bronkodilator dan gravitational drainage bila ada perdarahan atau
eksudasi yang berat (Riyadi, 2013).

2) Barotrauma Paru Waktu Naik ( Ascent )

Saat naik ke permukaan, terjadi penurunan tekanan sekeliling dan


sesuai hukum Boyle udara dalam paru akan mengembang volumenya.
Masalah akan timbul apabila ekshalasi terhambat waktu naik, maka udara

7
yang mengembang dalam paru akan terperangkap dan bila batas
elastisitas paru terlampaui, maka mengakibatkan ruptura paru (Burst lung)
( Riyadi, 2013). Ada 4 kemungkinan akibat dari barotrauma paru waktu
ascent, yaitu:

1) Kerusakan jaringan paru

Manifestasi kliniknya berupa wheexing ekspirasi, gejala dispneu,


batuk, dan hemoptisis( Riyadi, 2013). Pengobatannya ialah harus segera
diberikan oksigen 100% tanpa tekanan karena dapat memperbesar
kerusakan jaringan paru ( Mathieu, 2006).

2.) Emfisema surgikalis

Robekan dari alveolus menyebabkan gas lepas ke jaringan


interstisial paru-paru. Udara akan memenuhi jaringan sekitar paru dan
mediastinum. Dari sana udara akan bermigrasi ke leher ( Riyadi, 2013).

8
Manifestasi klinisnya berupa rasa nyeri di bawah sternum, pada
kasus yang berat dapat terjadi gangguan kardiovaskuler seperti sesak
nafas, takikardi, sianosis, hipotensisampai sinkop akibat syok sebagai
akibat tekanan langsung pada jantung dan pembuluh pembuluh darah
besar ( Riyadi, 2013).

Manajemennya adalah berupa pemberian inhalasi O 2 100%. Pada


kasus emfisema mediastinalis yang berat, dapat diberikan terapi
rekompresi untuk mengurangi ekspansi gas ( Mathieu, 2006).

3.) Pneumothorak
Apabila terjadi perobekan pada pleura viceralis, udara akan masuk
ke cavum pleura dan menimbulkan pneumothorak. Udara yang
terperangkap akan erus mengembang dan menimbulkan kenaikan
tekanan dalam cavum pleura selama ascent ( Riyadi, 2013).
Gejala-gejalanya berupa nyeri pleural yang mendadak di daerah
yang terkena, takipnea, dispnea ( Riyadi, 2013).
Terapinya berupa pemberian inhalasi oksigen 100%, dan pada
tension pneumothorak dilakukan thorakosintesis (CFUA, 2010).

9
4.) Emboli udara
Akibat yang paling serius dari barotrauma paru ascent adalah
masuknya gas dari alveoli ke sistem vena paru. Emboli gas terbawa
jantung dan kemudain masuk ke dalam sirkulasi arterial sehingga
menimbulkan obstruksi emboli gas di pembuluh-pembuluh koroner,
cerebral, dan lain-lain ( Riyadi, 2013).
Gejala-gejala klinik emboli udara muncul segera setelah penyelam
mencapai ke permukaan. Udara yang berada di otak menyebabkan
kehilangan kesadaran, gelisah, dan gejala-gejala yang mirip dengan
“cerebral stroke”. Hal ini disebut dengan Cerebral Arterial Gas Embolism
atau CAGE. Gejala-gejala neurologis lain seperti keram, paralisis atau
kelemahan, ganggua pengelihatan, gangguan berbicaragangguan
koordinasi (CFUA, 2010). Gejala-gejala lain dapat berupa nyeri dada,
EKG abnormal ( Riyadi, 2013 ).
Terapi emboli udara harus segera dilaksanakan. Terapi yang efektif
ialah rekompresi sampai 6 ATA (kedalaman 50 meter). Dengan tekanan 6
ATA maka gelembung-gelembung akan menjadi kecil dengan demikian
dapat lewat pembuluh-pembuluh darah sehingga mengurangi emboli
udara seminimal mungkin ( Riyadi, 2013 ).

10
2.3 Terapi Oksigen Hiperbarik

2.3.1 Definisi

Definisi kesehatan hiperbarik adalah ilmu yang mempelajari tentang


masalah-masalah kesehatan yang timbul akibat pemberian tekanan lebih
dari 1 Atm terhadap tubuh dan aplikasinya untuk pengobatan. Tekanan 1
Atmosfer adalah tekanan udara yang dialami oleh semua benda, termasuk
manusia, di atas permukaan laut, bersifat tetap dari semua jurusan dan
berada dalam keseimbangan (Riyadi, 2013).

Definisi terapi oksigen hiperbarik adalah pemberian oksigen


tekanan tinggi untuk pengobatan yang dilaksanakan dalam Ruang Udara
Bertekanan Tinggi (RUBT). Sedangkan menurut Undersea and Hyperbaric
Medical Society (UHMS), terapi oksigen hiperbarik merupakan suatu
perlakuan dimana pasien menghirup 100% oksigen murni di dalam suatu
ruangan tertutup yang diberi tekanan lebih besar dari tekanan di atas
permukaan laut (1 ATA). Peningkatan tekanan yang dilakukan harus
sistemik and diberikan di dalam suatu monoplace atau multiplace
chambers (Gill, 2004).

11
2.3.2 Sejarah Terapi Oksigen Hiperbarik

Terapi hiperbarik pertama kali dicatat pada tahun 1662, ketika Dr.
Henshaw dari Inggris membuat RUBT untuk pertama kalinya. Sejak itu,
penggunaan RUBT ini banyak menghasilkan manfaat dalam mengobati
penyakit. Pada tahun 1879, penggunaan terapi hiperbarik dalam operasi
mulai dilakukan. Pada tahun 1921 Dr. J. Cunningham mulai
mengemukakan teori dasar tentang penggunaan oksigen hiperbarik untuk
mengobati keadaan hipoksia. Tetapi usahanya mengalami kegagalan.
Tahun 1930 penelitian tentang penggunaan oksigen hiperbarik mulai
terarah dan mendalam. Sekitar tahun 1960an Dr. Borrema memaparkan
hasil penelitiannya tentang penggunaan oksigen hiperbarik yang larut
secara fisik di dalam cairan darah sehingga dapat memberi hidup pada
keadaan tanpa Hb yang disebut life without blood. Hasil penelitiannya
tentang pengobatan gas gangren dengan oksigen hiperbarik membuat Dr.
Borrema dikenal sebagai Bapak RUBT. Sejak saat itu, terapi oksigen
hiperbarik berkembang pesat dan terus berlanjut sampai sekarang
(Riyadi, 2013).

2.3.3 Aspek Fisika (Gill, 2004)

Dasar dari terapi oksigen hiperbarik terletak pada hukum gas ideal
yaitu :

a. Hukum Boyle menyatakan bahwa pada suhu konstan, tekanan dan


volume gas berbanding terbalik.
P1 V1 = P 2 V2
Ini adalah dasar untuk banyak aspek terapi hiperbarik, termasuk
sedikit peningkatan suhu chamber selama pengobatan dan
fenomena yang dikenal sebagai 'squeeze' (memeras), yang terjadi
ketika tuba eustachius yang tersumbat menghambat equalisasi
tekanan gas sehingga kompresi gas memberikan rasa nyeri di
telinga tengah. Pada pasien yang tidak bisa secara independen
melakukan ekualisasi tekanan, penempatan tabung tympanostomy

12
harus dipertimbangkan untuk menyediakan saluran rongga udara
antara telinga luar dan dalam. Demikian pula, gas yang
terperangkap dapat membesar dan membahayakan selama
dekompresi, seperti dalam contoh langka yaitu pneumotoraks yang
terjadi selama pemberian tekanan.
b. Hukum Dalton menyatakan bahwa tekanan suatu campuran gas
sama dengan jumlah tekanan parsial masing-masing gas.
P = P1 + P2 + P3 + …..
c. Hukum Henry menyatakan bahwa jumlah gas terlarut dalam cairan
berbanding lurus dengan tekanan parsial gas tersebut pada
temperatur tetap.
d. Hukum Charles menyatakan bahwa pada volume tetap, temperatur
suatu gas berbanding lurus dengan tekanannya.
𝑃𝑉
=𝐾
𝑇

2.3.4 Efek Fisiologis

Pada oksigen hiperbarik, tekanan yang diberikan lebih besar dari


tekanan atmosfer di atas permukaan laut (1 atm = 14.7 psi, 1 kg/cm 2 ,
101.3 kPa, 760 torr atau 760 mmHg). Pada tekanan 1 atm, konsentrasi
oksigen dalam plasma darah yaitu sebesar 0.3 mL/dL . Dalam keadaan
istirahat, jaringan akan mengambil 5-6 mL oksigen per desiliter darah bila
perfusi normal. Pemberian 100% oksigen dalam tekanan yang normobaric
akan meningkatkan oksigen yang terlarut dalam darah hingga 1.5 mL/dL,
dan bila diberikan pada tekanan 3 atm, maka oksigen terlarut akan
menjadi kurang lebih 6 mL/dL, sehingga akan lebih dari cukup untuk
memenuhi kebutuhan sel tanpa memerlukan keterlibatan dari
haemoglobin. Adanya oksigen yang terlarut ini, maka oksigen akan
teralirkan ke daerah yang tidak dapat dijangkau oleh eritrosit, dan dapat
menyebabkan terjadinya oksigenasi jaringan meskipun tanpa
pengangkutan Hb dengan oksigen, seperti pada keadaan keracunan
karbon monoksida dan anemia yang parah (Emi Latham, 2014).

13
HBO meningkatkan terbentuknya oksigen bebas radikal yang dapat
mengoksidasi protein dan membran lipid, menghancurkan DNA dan
menghambat fungsi metabolik bakteri. HBO efektif dalam melawan bakteri
anaerob dan membantu system oksigen dependent peroxidase dimana
terjadi peranan leukosit yang membunuh bakteri. HBO juga meningkatkan
transport dari antibiotic yang oxygen dependent melewati dinding sel
bakteri (Gill 2004).

HBO meningkatkan penyembuhan luka dengan cara meningkatkan


gradient oksigen di sepanjang tepi luka yang iskemik, dan membantu
peningkatan terbentuknya kolagen yang diperlukan dalam proses
angiogenesis (Gill, 2004).

Beberapa efek terapi hiperbarik oksigen pada tubuh antara lain:


1. Angiogenesis. Terapi HBO dapat menstimulasi pertumbuhan dari
kapiler-kapiler pada jaringan yang hipoksia sehingga dapat
meningkatkan kecepatan penyembuhan luka.
2. Hiperoksigenasi. Terapi HBO dapat meningkatkan kadar oksigen
karena oksigen dapat diangkut melalui plasma.
3. Osteogenesis. Terapi HBO dapat menstimulasi produksi dari sel-sel
tulang baru.
4. Microbiological. Dengan kadar oksigen tinggi dapat membunuh
bakteri, terutama yang bersifat anaerob.
5. Imunologi. Terapi HBO dapat meningkatkan kemampuan dari
fungsi fagositosis dan sel-sel natural killer.
6. Menurunkan inflamasi. Terapi HBO dapat menurunkan mediator-
mediator inflamasi.
7. Vasokonstriksi. Terapi HBO dapat meyebabkan penyempitan dari
lumen pembuluh darah sehingga mengurangi oedema.
8. Reduksi gelembung udara. Terapi HBO dengan tekanan tinggi
dapat menyebabkan penurunan volume dari gelembung udara
termasuk gelembung nitrogen pada DCS.

14
9. Perbaikan jaringan. Terapi HBO dapat meningkatkan kecepatan
perbaikan jaringan.

2.3.5 Indikasi Terapi Oksigen Hiperbarik

Indikasi mutlak terapi oksigen hiperbarik adalah (Riyadi, 2013):

1. Emboli gas

2. Decompression sickness

3. Keracunan gas karbon monoksida

Indikasi terapi HBO yang diterima secara universal:

 Kondisi akut (terapi HBO harus diberikan sedini mungkin


dikombinasi dengan terapi konvensional):

1. Ulkus yang tidak mengalami penyembuhan, luka


bermasalah, cangkok kulit yang mengalami reaksi penolakan.

2. Crush injury, sindrom kompartemen dan penyakit iskemi


traumatik akut yang lain.

3. Gas gangren/infeksi clostridium.

4. Infeksi jaringan lunak yang necrotizing (jaringan subkutan,


otot, fascia)

5. Thermal burn

6. Anemia parah

7. Abses intrakranial

8. Post-anoxic encephalopathy

9. Luka bakar

10. Tuli mendadak

15
11. Iskemik okuler patologik

12. Emboli udara atau gas (terapi kuratif / lini utama


pengobatan)

13. Penyakit dekompresi (terapi kuratif / lini utama pengobatan)

14. Keracunan karbon monoksida dan inhalasi asap (terapi


kuratif / lini utama pengobatan)

 Kondisi kronis

1. Ulkus yang tidak mengalami penyembuhan / luka


bermasalah (diabetes / vena dll)

2. Kerusakan jaringan akibat radiasi

3. Cangkok kulit dan flap (yang mengalami reaksi


penolakan/rejection)

4. Osteomyelitis kronis (refrakter).

2.3.6 Kontraindikasi Terapi Oksigen Hiperbarik

A. Kontraindikasi absolut (Medscape, 2014)

Absolute Reason Necessary Conditions


Contraindications Contraindicated Prior to HBOT

Tension pneumothorax

Untreated pneumothorax Thoracostomy

Pneumomediastinum

16
B. Kontraindikasi relatif (Medscape, 2014)

Relative Necessary Conditions


Reason Contraindicated
Contraindications Prior to HBOT

Air trapping upon ascent Must be well controlled


Asthma
leading to pneumothorax with medications

Treatment with
Claustrophobia Anxiety
benzodiazepines

Congenital None; HBOT for


Severe hemolysis
spherocytosis emergencies only

Chronic obstructive
Loss of hypoxic drive to
pulmonary Observation in chamber
breathe
disease(COPD)

Eustachian tube Barotrauma to tympanic


Training, PE tubes
dysfunction membrane

High fever Higher risk of seizures Provide antipyretic

Ensure company has


Pacemakers or epidural Malfunction or deformation
pressure-tested device
pain pump of device under pressure
and learn to what depth

Unknown effect on fetus


(Previous studies from None, but HBOT may be
Pregnancy
Russia suggest HBOT is used in emergencies
safe.)

Should be stable on
May have lower seizure medications; may be
Seizures
threshold treated with
benzodiazepines

17
Upper respiratory
infection (URI)
Resolution of symptoms
Barotrauma
or decongestants

No treatment for extended


Bleomycin Interstitial pneumonitis time from use of
medication

No treatment for extended


Cisplatin Impaired wound healing time from use of
medication

Blocks superoxide
dismutase, which is
Disulfiram Discontinue medication
protective against oxygen
toxicity

Doxorubicin Cardiotoxicity Discontinue medication

Discontinue and remove


Sulfamylon Impaired wound healing
medication

18
BAB 3

HUBUNGAN ANTARA TERAPI OKSIGEN HIPERBARIK DENGAN


BAROTRAUMA PARU

Barotrauma adalah kerusakan jaringan dan sequelenya akibat


ketidakseimbangan antara tekanan udara rongga fisiologis dalam tubuh
dengan tekanan lingkungan di sekitarnya (Riyadi, 2014). Barotrauma paru
merupakan barotrauma yang melibatkan organ paru dan yang paling
serius dan membutuhkan penanganan segera. Terjadinya barotrauma
paru ini dapat dibedakan menjadi barotrauma paru waktu descent dan
barotrauma paru waktu ascent.

Barotrauma paru waktu descend dapat disebabkan oleh


penyelaman tahan nafas maupun dengan alat selam. Hal tersebut terjadi
saat pengurangan volume paru-paru melampaui batas akibat dari tekanan
di sekitarnya, akibatnya terjadi kompensasi berupa distensi pembuluh
darah paru, dimana ketika sudah melebihi ambang batasnya, dapat terjadi
ruptur pembuluh darah paru, dan menyebabkan perdarahan paru (CFUA,
2010). Kerusakan jaringan paru pada barotrauma waktu descent ini
(squeeze), adalah kerusakan pada pembuluh-pembuluh vena kecil,
perembesan cairan lewat membran alveoli dari kapiler-kapiler dan jaringan
ke dalam alveoli dari kapiler-kapiler dan jaringan ke dalam alveoli dan
saluran-saluran nafas, yang lebih lanjut bisa terjadi perdarahan (Riyadi,
2013). Terapi utama barotrauma waktu descent adalah dengan
memberikan oksigen 100% menggunakan intermittent positive pressure
(ventilator) tanpa perlu diberikan tekanan yang hiperbarik.

Barotrauma paru tipe ascend terjadi karena pada saat naik ke


permukaan, terjadi penurunan tekanan sekeliling dan sesuai hukum Boyle
udara dalam paru akan mengembang volumenya. Masalah akan timbul
apabila ekshalasi terhambat waktu naik, maka udara yang mengembang
dalam paru akan terperangkap dan bila batas elastisitas paru terlampaui,

19
maka mengakibatkan ruptura paru (Burst lung). Menurut Edmond cs, ada
4 kemungkinan akibat dari barotrauma paru waktu ascend yaitu kerusakan
jaringan paru, emfisema surgikalis, pneumothorax, dan emboli udara.

Pada kerusakan jaringan paru, terapi utama yang digunakan


adalah inhalasi oksigen 100% agar tercapai kadar gas yang memadai
dalam sistem arteri. Penggunaan terapi oksigen hiperbarik sebaiknya
dihindari apabila tidak mutlak diperlukan, karena dapat memperluas
kerusakan jaringan paru (Riyadi, 2013).

Pada emfisema surgikalis dimana terjadi penyebaran gas ke


pembuluh darah besar, jalan nafas dan bahkan bisa ke mediastinum,
subkutan, maupun di pericardium, maka terapi yang diberikan merupakan
terapi simtomatis dan dapat diberikan inhalasi gas oksigen 100% pada
tekanan atmosfer (Unsworth, 1973). Terapi oksigen hiperbarik dapat
diberikan apabila terjadi emfisema mediastinalis yang berat, juga pada
emfisema surgikalis yang diikuti dengan adanya emboli udara (Riyadi,
2013).

Pada pneumothorax terjadi penurunan efisiensi pulmonal dan


oksigenasi, juga penurunan aliran vena akibat dari peningkatan tekanan
intra thoracal (Unsworth, 1973). Terapi untuk pasien dengan
pneumothorax adalah dengan pemberian oksigen secara intermittent
tanpa tekanan positif, analgesic, bed rest, dan fisioterapi. Pneumothorax
tidak memerlukan terapi rekompresi / oksigen hiperbarik, karena dengan
terapi rekompresi, pneumothorax akan cepat hilang gejalanya tetapi pada
saat dekompresi, gejala tersebut akan muncul bahkan memburuk menjadi
tension pneumothorax. Apabila indikasi terapi oksigen hiperbarik mutlak
diperlukan, maka boleh dilakukan terapi HBO setelah pneumothorax nya
diterapi terlebih dahulu dengan thoracocentesis (Riyadi, 2013).

Emboli udara merupakan keadaan yang emergency dan


membutuhkan penanganan segera. Terapi rekompresi dengan oksigen
hiperbarik mutlak diperlukan agar gelembung gas dapat larut dan tidak

20
menimbulkan penyumbatan. Dengan tekanan 6 ATA, ukuran emboli
dikurangi menjadi 1/6nya, sehingga dapat melewati pembuluh-pembuluh
darah. Segera setelah gelembung udara tersebut mengecil, maka
diberikan oksigen untuk mempermudah absorpsinya. Apabila keadaan
gawat dan jauh dari tempat yang menyediakan terapi rekompresi, maka
penyelam dapat direkompresi dengan melakukan penyelaman lagi pada
kedalaman 9 meter menggunakan oksigen 100% lewat full face mask
selama 30 sampai 120 menit, setelah itu kecepatan naik ke permukaan 1
meter/12 menit. Proses naik boleh dihentikan bila perbaikan klinis
berkurang. Sesudah sampai di permukaan, oksigen tetap diberikan secara
intermitten (Riyadi, 2013).

21
BAB 4

Kesimpulan

 Pemberian terapi oksigen hiperbarik pada kasus barotrauma paru


tidak selalu diperlukan, bergantung pada jenis barotrauma paru tersebut.
 Pada barotrauma paru tipe descent, pemberian terapi oksigen
hiperbarik tidak diperlukan.
 Pada barotrauma paru saat ascend maka pemberian terapi oksigen
hiperbarik bergantung pada jenisnya yaitu kerusakan jaringan paru,
emfisema surgikalis, pneumothorax, atau emboli udara. Pada kasus
kerusakan jaringan paru dan pneumothorax murni, terapi oksigen
hiperbarik tidak perlu bahkan tidak boleh diberikan sebelum kasus
tersebut diobati. Sedangkan pada kasus emfisema surgikalis dan emboli
paru, terapi oksigen hiperbarik dapat diberikan karena bermanfaat
mengobati kasus tersebut.

22
DAFTAR PUSTAKA

Ajunk, 2012, Anatomi Paru dan Penyakit Paru, viewed 6 Agustus 2015,
<http://paru- paru.com/anatomi-paru-paru/>
Gill, A.L. 2004, Hyperbaric oxygen: its uses, mechanisms of action and
outcome. Oxford University Press Journal, Vol 97, Hal 385-395
Jain, K.K 1999, Hyperbaric Medicine 3rd Ed, Germany, Canadian
Cataloguing in Publication Data
Kartono, Sad Ari 2007, Prevalensi dan faktor risiko kejadian penyakit
dekomprasi dan barotrauma pada nelayan penyelam di Kecamatan
Karimunjawa Kabupaten Jepara tahun 2007, Tesis, Universitas
Gajah Mada

Latham, Emi 2014, Hyperbaric Oxygen Therapy, Medscape, viewed 6


Agustus 2015, < http://emedicine.medscape.com/article/1464149-
overview#a2>
Ling Yan, Ting Liang, and Oumei Cheng 2015, Hyperbaric Oxygen
Therapy in China, Medical Gas Research, Vol 5
Mathieu D. 2006, Handbook of Hyperbaric Oxygen. Springer
Novi, 2015, Struktur dan Fungsi Paru Paru Manusia, Edukasi Teknologi
dan Informasi, viewed 7 Agustus 2015, < http://www.sridianti.com/struktur-
fungsi-paru-paru-manusia.html >
R. M. Leach, P.J. Rees, and P. Wilmshurst 1998, Hyperbaric Oxygen
Therapy, British Medical Journal, Vol 317, No 7166, Hal 1140-1143
Riyadi 2013, Buku Ajar Ilmu Kesehatan Penyelaman dan Hiperbarik,
Lakesla
Tibbles, Patrick M dan John S. Edelsberg 1996, Hyperbaric Oxygen
Therapy, The New England Journal of Medicine, Vol 334, No 25, Hal
1642-1648
S, Susan dan Erick Supondha 2012, Tatalaksana Penyakit Akibat Kerja
Karena Pajanan Hiperbarik dan Penyakit Lain Akibat Penyelaman,
viewed 6 Agustus 2015,
<http://hyperbaricmedicineconsultant.blogspot.com/2012_06_24_arc
hive.html>

Unknown 2010, Pulmonary Barotrauma, viewed 6 Agustus 2015,


<http://www.cfua.org/Pulmonary-Barotrauma.html>

U.S Navy Diving Manual 2008

23

Anda mungkin juga menyukai