EDEMA PARU
Disusun oleh:
Amelia Dyati Putri
NIM. 030.13.016
Pembimbing:
dr. M. Hawari Abdi, Sp.Rad
1
LEMBAR PENGESAHAN
Oleh :
Amelia Dyati Putri (030.13.016)
2
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur saya kehadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat-Nya saya
dapat menyelesaikan dan mempresentasikan Referat Ilmu Radiologi, dengan judul;
Edema Paru.
Referat ini disusun untuk memenuhi sebagian tugas dan sebagai syarat mengikuti
ujian akhir kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Radiologi, RSAL dr. Mintohardjo -
Jakarta. Dalam kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih kEdema Paruda berbagai
pihak yang telah berkontribusi dalam penyusunan dan penyelesaian laporan kasus ini,
terutama kepada dr. M. Hawari Abdi, Sp. Rad, selaku pembimbing dan penguji dalam
persentasi referat ini.
Saya menyadari dalam penyelesaian laporan kasus ini masih banyak terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, segala kritik dan saran guna penyempurnaan laporan kasus
ini sangat saya harapkan.
Akhir kata, semoga referat ini dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama dalam
bidang Ilmu Radiologi.
Penyusun
3
DAFTAR ISI
4
BAB I
PENDAHULUAN
5
dijumpai dengan potongan 37% dari seluruh pasien. Penelitian sebelumnya, Euro
Heart Failure Survey II menghasilkan hasil 16% pasien yang gagal akibat Edema
Paru.3
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh akumulasi cairan di
paru-paru. Edema pada paru biasanya terjadi di alveolus dan ruang interstitial
diantara endotel kapiler darah dan dinding alveolus. Penyebab edema paru ini
diantaranya adalah ketidakseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik, obstruksi
sistem limfatik pulmonal, dan penyakit yang dapat merusak epitel kapiler ataupun
alveolus.
2.1.1 Alveolus
Alveolus merupakan kantung yang dilapisi oleh epitel simpel squamosa
dan didukung oleh membran basement yang elastic. Dinding alveolus terdiri daru
dua tipe sel epitel alveolar. Sel alveolar tipe 1 jumlahnya lebih banyak
dibandingkan dengan sel alveolar tipe 2. Sel alveolar tipe 1 merupakan epitel
simpel skuamosa yang berada sepanjang dinding alveolus. Sel alveolar tipe 2 atau
biasanya disebut sebagai sel septal, merupakan sel epitel kuboid yang berada
diantara sel alveolar tipe 1. Sel alveolar tipe 1 berfungsi sebagai tempat utama
pertukaran gas. Sedangkan sel alveolar tipe 2 merupakan sel yang permukaannya
terdapat mikrofili yang mensekresi cairan alveolar dan berfungsi untuk menjaga
permukaan alveolus. Salah satu cairan alveolar tersebut adalah surfaktan, yang
terdiri dari fosfolipid dan lipoprotein. Surfaktan berfungsi menurunkan tekanan
cairan alveolus, yang menurunkan tendensi alveolus untuk kolaps4.
Pada dinding alveolus terdapat pula alveolar makrofag atau disebut juga
sebagai sel dust, fungsi dari alveolar makrofag ini adalah untuk memfagosit atau
membuang partikel debu atau debris di ruang alveolar. Selain itu, terdapat juga
fibroblast yang memproduksi reticular dan serat elastic. Pada bagian luar
permukaan alveolus, arteriole dan venula lobules menyatu menjadi pembuluh
darah kapiler yang terdiri dari satu lapis sel endotel dan membrane basement.
Pertukaran O2 dan CO2 antara ruang udara di paru dan pembuluh darah melalui
proses difusi melalui dinding alveolus dan endotel, yang bersama disebut sebagai
membrane pernafasan atau respiratory membrane. Jika dimulai dari rongga udara
7
alveolus menuju ke plasma darah, membrane pernafasan terdiri dari empat
lapisan. Lapisan pertama adalah dinding alveolus yang terdiri dari sel alveolar
tipe1, 2, dan alveolar makrofag; lapisan kedua adalah epitel membrane basement
yang berada di luar dinding alveolus; lapisan ketiga adalah membrane basement
kapiler; dan lapisan terakhir adalah endotel kapiler. Walaupun terdiri dari
beberapa lapisan, ketebalan lapisan ini hanya 0,5 µm sehingga difusi gas dapat
terjadi. Perkiraan jumlah alveoli di dalam paru-paru adalah sekitar 300 juta
alveoli4.
/
8
Gambar 2. Aliran Cairan Interstitial
Diantara sel endotel dan epitel, terdapat lubang atau penghubung yang
memungkinkan aliran cairan dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial, dan
akhirnya dari ruang interstitial menuju ruang alveolar. Penghubung antara sel
endotel biasanya lebih besar dan disebut loose, sedangkan penghubung antara sel
epitel relative lebih kecil yang disebut tight. Untuk mengetahui bagaimana cairan
interstitial paru diproduksi, disimpan, dan dibersihkan, maka kita harus
mengetahui konsepnya. Konsep pertama adalah ruang interstitial paru merupakan
terusan dari ruangan di antara jaringan ikat perianteriolar dan peribronchial yang
berlanjut menjadi ruang interstitial di antara membrane basement endotel dan
epitel di alveolus; kedua, tekanan negatifnya progresif dari distal ke proksimal5.
Tidak ada sistem limfatik di ruang interstitial di septum alveolus. Kapiler
limfatik mulai ada di ruang interstitial yang mengelilingi terminal bronkiolus dan
arteri kecil. Cairan interstitial normalnya dibuang dari ruang interstitial alveolar
ke saluran limfa oleh mekanisme gradient tekanan, yang disebabkan karena
tekanan ruang interstitial yang lebih negative di daerah arteri besar dan brokus.
9
Aliran cairan interstitial yang menuju hilum dibantu oleh perbedaan tekanan
negative, katub limfatik, dan pulsasi arteri pulmonalis. Cairan tersebut akhirnya
diteruskan dari limfonodi ke sirkulasi vena sentral. Peningkatan tekanan vena
sentral menurunkan aliran limfa di paru-paru, yang dapat menjadi faktor edema
interstitial5.
2.2.2 Patofisiologi
Patofisiologi ederma paru berhubungan dengan mekanisme pertukaran
cairan (fluid exchange) yang normal yang terjadi pada pembuluh darah kapiler
(mikrovascular). Sejumlah volume cairan bebas protein tersaring ke luar kapiler,
melintasi dinding kapiler pembuluh darah, bercampur dengan cairan interstisium
di sekitarnya, dan kemudian diabsorbsi kembali ke dalam pembuluh darah, proses
seperti ini disebut sebagai bulk flow karena berbagai konstituen cairan berpindah
bersama-sama sebagai suatu kesatuan.
Bulk flow terjadi karena perbedaan tekanan hidrostatik dan tekanan
osmotik koloid antara plasma dengan cairan interstisium. Secara umum ada empat
gaya yang mempengaruhi perpindahan cairan menembus dinding kapilet yaitu:
1) Tekanan darah kapiler merupakan tekanan hidrostatik darah yang
cenderung mendorong cairan ke luar kapiler menuju cairan interstisium:
2) Tekanan osmotik koloid plasma disebut juga sebagai tekanan onkotik,
merupakan suatu gaya yang disebabkan dispersi koloid protein-protein
plasma dan mendorong pergerakan cairan ke dalam kapiler. dalam
keadaan normal, protein plasma tetap dipertahankan berada didalam
10
plasma dan tidak masuk ke cairan interstisium sehingga adanya perbedaan
konsentrasi antara plasma dan interstisium:
3) Tekanarn hidrostatik cairan interstisium, merupakan tekanan cairan
yang bekerja di bagian luar dinding kapiler oleh cairan interstisium.
Tekanan ini cenderung mendorong cairan masuk ke dalam kapiler;
4) Tekanan osmotik koloid cairan interstisium, merupakan gaya lain yang
dalam keadaan normal tidak banyak berperan dalam perpindahan cairan
melalui kapiler. Perpindahan cairan dari intravaskular dapat dinyatakan
sebagai suatu perpindahan cairarn melalui suatu membran semipermeable
dan dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Starling Q – KI
(Pmv-Ppmv) (emv-ipmv)l, dimana Q adalah net transvascular flow dari
cairan, K adalah permeabilitas membran, Pmv adalah tekanan hidrostatik
di dalam kapiler ( Yrostatic pressure in the microvessels), Ppmv adalah
tekanan hidrostatik di interstisial sekitar kapiler (hydrostatic pressure in
the perimicrovascular interstitium), tmv adalah tekanan osmotik plasma
sirkulasi, dan tpmv tekanan osmotik di interstisial perikapiler.
Pada jaringan paru yang normal (Gambar 3), cairan dan protein merembes
melalui celah sempit (gap) diantara sel-sel endotel kapiler paru, dan dengan
adanya anyaman epitel yang sangat rapat pada kapiler tersebut, maka perpindahan
protein berukuran besar dapat dibatasi, serta dipertahankan tetap berada didalam
plasma. Pada keadaan ini cairan beserta zat terlarut lainnya yang difiltrasi dari
sirkulasi menuju jaringan interstisial alveolar, tidak akan memasuki alveoli karena
epitel alveolar juga memiliki tautan antar sel yang sangat rapat. Selanjutnya, filtrat
yang memasuki celah interstisial alveolar akan mengalir ke arah proksimal
menuju celah peribronchovasacular. Pada jaringan paru yang normal, seluruh
filtrat tersebut akan dialirkan kembali menuju sirkulasi sistemik melalui sistem
limfe. Tekanan hidrostatik untuk filtrasi cairan sepanjang mikrosirkulasi paru,
diperkirakan berbanding lurus dengarn selisih antara tekanan hidrostatik kapiler
paru dengan gradien tekanan osmotik protein.
Edema paru terjadi apabila jumlah cairan yang difiltrasi melebihi clearance
capability sistem limfe, sering dijumpai pada keadaan peningkatan tekanan
hidrostatik kapiler oleh karena meningkatnya tekanarn pembuluh darah kapiler
11
pulmonalis. Peningkatan tekanan hidrostatik kapiler pulmoner secara cepat dan
tiba-tiba akan menyebabkan peningkatan filtrasi cairan transvaskular dan ini
merupakan karakteristik utama suatu acute cardiogenic edema atau volume-
overload edema. (Gambar 4). Pada edema paru kardiogenik, peningkatan tekanan
hidrostatik pada pembuluh darah kapiler paru umumnya disebabkan oleh karena
peningkatan tekanan vena pulmonalis sebagai akibat peningkatan left ventricular
end-diastolic pressure and left atrial pressure. Peningkatan minimal (mild) tekanan
pada atrium kiri (18-25 mmHg) akan menyebabkan edema pada perimicrovascular
serta perimicrovascular interstisial space. Dengan peningkatan tekanan pada
atrium kiri yang lebih tinggi (+25 mmHg). cairan akan menembus lapisan epitel
paru dan mengisi seluruh alveoli dengan cairan-rendah protein.
Hal yang berbeda didapati pada keadaan edema paru nonkardiogenik,
adanya peningkatan permeabilitas pembuluh darah di paru menyebabkan cairan
intravaskular keluar menuju interstisial paru serta air space (gambar 5). Pada
edema paru nonkardiogenik akan dijumpai cairan edema yang tinggi protein
karena membran pembuluh darah yang lebih permeabel dapat melewatkan
protein- protein plasma. Total jumlah netto akumulasi cairan edema paru
ditentukan oleh keseimbangan antara laju filtrasi cairan ke dalam paru dengan laju
pengeluaran dan penyerapan cairan edema dari interstisial serta air space3.
12
Gambar 4. Patofisiologi Edema Paru Kardiogenik dan Non-Kardiogenik6
2.2.3 Klasifikasi
A. Edema Non-kardiogenik
Pada edema non kardiogenik, jarang sekali dijumpai peningkatan
tekanan pembuluh kapiler di paru kecuali pada keadaan overload cairan
akibat gagal ginjal akut. Edema non kardiogenik memperlihatkan adanya
perubahan permeabilitas alveolar-kapiler membran seperti yang terjadi
pada Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS), serta kelainan sistem
limfe seperti limphangitic carcinomatosis. Edema non kardiogenik juga
dapat terjadi sebagai akibat berkurangnya tekanan onkotik plasma akibat
hipoalbuminemia, seperti yang terjadi pada penyakit hati kronis sindroma
nefrotik, dan protein-losing enteropathy. Mekanisme terjadinya edema non
kardiogenik pada beberapa keadaan masih belum dapat diketahui secara
pasti, seperti terjadinya edema paru overdosis narkotika atau edema paru
neurogenik.3
13
B. Edema Kardiogenik
Edema paru akibat kardiogenik dapat terjadi akibat peningkatan
tekanan vena pulmonalis. Gambaran klinis sangat bergantung kepada lama
dan besarnya peningkatan tekanan intravaskular. Mild tachypnoe dapat
terjadi oleh karena engorgement pembuluh kapiler paru yang
menyebabkan menurunnya compliance paru sehingga menyebabkan
peningkatan beban kerja sistem pernapasan. Edema pada aveolus dan
saluran napas dapat dijumpai dengan klinis edema paru yang berat jika
peningkatan tekanan intavaskular terjadi terus-menerus.
Seringkali keadaan ini berlangsung dengan derajat yang berbeda-
beda Dikatakan pada stage I distensi dan keterlibatan pembuluh darah
kecil di paru akibat peningkatan tekanan di atrium kiri dapat memperbaiki
pertukaran udara di paru dan meningkatkan kemampuan difusi dari gas
karbon monoksida. Pada keadaan ini akan terjadi sesak nafas saat
melakukan aktivitas fisik. dan disertai ronki inspirasi akibat terbukanya
saluran pernafasan yang tertutup
Apabila keadaan berlanjut hingga derajat berikutnya atau stage 2
edema interstitial diakibatkan peningkatan cairan pada daerah interstitial
yang longgar dengan jaringan perivaskular dari pembuluh darah besar, hal
ini akan mengakibatkan hilangnya gambaran paru yang normal secara
radiografik dari petanda vaskular paru, hilangnya demarkasi dari bayangan
hilus paru dan penebalan septa interlobular (garis Kerley B). Pada derajat
ini akan terjadi kompetisi untuk memperebutkan tempat antara pembuluh
darah. saluran nafas dan peningkatan jumlah cairan di daerah interstitium
yang longgar tersebut. dan akan terjadi pengisian di lumen saluran nafas
yang kecil yang menimbulkan refleks bronkokonstriksi.
Ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi akan mengakibatkan
terjadinya hipoksemia yang berhubungan dengan ventilasi yang semakin
memburuk. Pada keadaan infark miokard akut misalnya, beratnya
hipoksemia berhubungan dengan tingkat peningkatan tekanan baji kapiler
paru. Sehingga seringkali ditemukan manifestasi klinis takipneu.
14
Pada proses yang terus berlanjut, atau meningkat menjadi stage 3
dari edema paru tersebut. proses pertukaran gas sudah menjadi abnor mal.
dengan hipoksemia yang berat dan seringkali bahkan menjadi hipokapnea.
Alveolar yang sudah terisi cairan ini terjadi akibat sebagian besar saluran
nafas yang besar terisi cairan berbusa dan mengandung darah. yang
seringkali dibatukkan keluar oleh si pasien. Secara keseluruhan kapasitas
vital dan volume paru semakin berkurang di bawah normal Terjadi pirai
dari kanan ke kiri pada intrapulmonar akibat perfusi dari alveoli yang telah
terisi oleh cairan. Walaupun hipokapnea yang terjadi pada awalnya. tetapi
apabila keadaan semakin memburuk maka dapat terjadi hiperkapnea
dengan asidosis respiratorik akut apalagi bila pasien sebelumnya telah
menderita penyakit paru obstruktif kronik. Dalam hal ini terapi morfin,
yang diketahui memiliki efek depresi pada pernafasan. bila akan
dipergunakan harus dengan pemantauan yang ketat.3
Gejala Klinis
Gejala klinis edema paru akut kardiak berkembang secara sangat cepat
sebagai akibat terjadinya peningkatan tekanan pada pembuluh darah paru secara
ekstrim sehingga berbeda dari ortopnoe dan paroksismai nokturnal dyspnoe.
Pasien pasien dengan edema paru kardiogenik akan menunjukkan gejala klinis
gagal jantung kiri dengan simptom sesak napas secara mendadak, cemas dan
perasaan seperti tenggelam. Hal ini merupakan pengalaman yang menakutkan
bagi pasien. Gejala lain yang dapat muncul pada pasien dengan edema paru akut
adalah dispnoe dan takipnoe karena edema interstisial, hipoksemia sebagai akibat
penumpukan cairan di alveolus, mungkin disertai sianosis, batuk dengan frothy
15
sputum berkeringat dingin dan biasanya pasien dalam posisi duduk agar dapat
mempergunakan otot-otot bantu pernapasan dengan lebih baik pada saat respirasi
atau sedikit membungkuk kedepan untuk mengurangi gejala sesak napas.3
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan klinis pasien dengan edema paru, sering didapati :
Dispnoe, Takipnoe, Takikardia
Hipertensi/Hipotensi; Hipertensi sebagai akibat hiperadrenergik; Hipotensi
menunjukkan disfungsi ventrikel kiri yang berat dan kemungkinan
munculnya syok kardiogenik.
Akral dingin sebagai indikasi rendahnya cardiac output serta perfusi yang
kurang.
Pada auskultasi paru dapat dijumpai krepitasi umumnya terdengar dibasal,
namun bisa juga muncul di apeks bila kondisi sudah semakin memburuk.
Pada pemeriksaan suara jantung dapat dijumpai S3 serta peningkatan vena
jugularis. Murmur dapat membantu menegakkan diagnosa gangguan
valvular yang dapat menyebabkan terjadinya edema paru
Pasien dengan gagal jantung kanan dapat ditemukan hepatomegali, refluks
hepatojugular serta edema perifer
Perubahan status mental sebagai akibat dari hipoksia atau hiperkapnia ;
cemas serta keringat dingin.3
Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Sejumlah pemeriksaan laboratorium harus dilakukan pada EDEMA
PARU, yaitu pemeriksaan darah rutin, troponin dan analisis gas darah arteri
(AGDA). AGDA terutama dilakukan untu< menilai oksigenasi (p02), pCO),
Asam-basa (pH), dan defisit basa yang harus dilakukan pada semua pasien dengan
sangkaan suatu Edema Paru. Pemeriksaan non- invasif dengan oximetry dapat
dilakukan menggantikan pemeriksaan analisis gas darah arteri kecuali pada
keadaan kardiak output yang sangat jelek atau dengan shok vasokontriksi.
16
Plasma B-type natriuretic peptide (BNP) dihasilkan dari ventrikel jantung
sebagai respon dari meningkatnya wall stretch dan volume overload. Pemeriksaan
terhadap BNP telah digunakan untuk mengidentifikasi EDEMA PARU akibat
kardiak dan menyingkirkan penyebab lainnya seperti dari kelainan paru pada
pasien sesak napas hebat yang baru datang ke instalasi gawat darurat disepakati
nilai cut-point untuk NT-proBNP adalah 300 pa/ml dan BNP 100 pq/mL Nilai cut
off dari BNP ini memiliki ketEdema Parutan 80-85 % . sensitivitas 90 % da
ditemukannya gejala klinik dan nilai laboratorium. spesifitas 75 % bersamaan
dengan ditemukannya gejala klinis dan laboratorium.
2. Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan EKG pada suatu Edema Paru terutama untuk menilai irama
jantung, aritmia, serta adanya tanda-tanda iskemia. Pasien dengan ederma paru
kardiogenik tetapi yang non iskemık biasanya menurjukkan gambaran gelombang
T yang negatf yang lebar dengan QT yang memanjang yang akan membaik da am
24 jam setelah kins stabi dan menghilang dalam satu minggu. Penyebab car
keadaan non iskemik ini belum diketahui tetapi ada oeberapa penyerta, antara lain
iskemia sub endokards yang berhubungan dengan peningkatan tekanan dinding,
peningkatan akut dari tonus simpatis kardial atau peningkatan elektrikal akibat
perubahan metabolilk atau katelkolamin.
3. Radiologi
Foto toraks harus dilakukan segera pada semua pasien dengan sangkaan
suatu EDEMA PARU untuk mengevaluasi tanda- tanda edema paru serta menilai
kondisi jantung baik ulkuran, bentuk serta tanda-tanda kongesti. Foto toraks dapat
menyingkirkan dfferentiol diagnosis EDEMA PARU. Foto toraks selain untuk
menegakkan diagnosis juga dilakukan untuk evaluasi perkembangan respon
pengobatan Foto toraks di bawah ini memberikan gambaran karakteristik suatu
edema paru kardiak ataupun non kardiak (Gambar 3).
17
4. Ekokardiografi
Ekokardiogrfi merupakan pemeriksaan yang penting dalam menegakkan
suatu EDEMA PARU terutama yang disebabkan oleh kardiak dengan menilai
fungsi, stuktur serta disfungsi dari masing-masing katup dari jantung yang dapat
menjadi etiologi dari EDEMA PARU
Tabel 1. Tanda Klinis Untuk Membedakan Edema Paru Kardiogenik dan Non-
Kardiogenik3
2.2.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Edema Paru harus segera dimulai setelah diagnosis
ditegakkan meskipun pemeriksaan untuk melengkapi anamnesis dan pemeriksaan
fisik masih berlangsung. Penatalaksaan dari Edema Paru dengan penyebab
kardiogenik mempunyai 3 tujuan utama,yaitu:
18
1. Mengurangi venous return dari paru (mengurangi preload) yang bertujuan
untuk menurunkan tekanan hidrostatik dari kapiler paru dan mengurangi cairan
transudat dari interstitium paru dan alveoli.
2. Mengurangi tahanan sistemik pembuluh darah (mengurangi afterload) yang
bertujuan untuk meningkatkan cardiac output dan perfusi ginjal dalam diuresis
pada pasien dengan kelebihan cairan.
3. Pemberian inotropik pada beberapa kasus misalnya pasien dengan disfungsi
ventrikel kiri ataupun gangguan katup yang dapat menyebabkan hipotensi.
Sodium nitroprussid: Dapat diberikan dengan dosis 0,3 ug/kg/menit dan dapat di
tingkatkan sampai 5 ug/kg/ mnt. Penggunaan jangka lama ditakutkan terjadi
toxisitas dari hasil metabolik obat tersebut yaitu thiocyanida dan cyanida, dan di
kontraindikasikan pada gangguan hati dan ginjal yang berat. Pengguanan obat ini
juga harus mempertimbangkan timbulnya efek rebound pada penghentian yang
tiba-tiba
19
Nitrat: Pemberian nitrat akan segera menurunkan preload, menurunkan kongesti
tanpa menggangu stoke volume dan cardioc oksigen demand. Nitrat sebagai
vasodilator vena dan sirkulasi arteri akan menurunkan preload dan afterload.
Pemberian nitrat intra vena yang dikombinasikan dengan furosemid telah di
rekomendasikan dalam penanganan Edema Paru. Dosis nitrat intra vena dapat
dimulai dengan 20 Hg/ mnt dan dapat dinaikkan sampai 200 ug/mnt atau jika
menggunakan isosorbid dinitrat dosisnya 1 sampai 10 mg/jam. Pemberian
vasodilator ini harus dilakukan dengan monitor tekanan darah. Dosis nitrat harus
di turunkan jika tekanan darah sistolik turun ke 90- 100 mmHg dan di berhentikan
jika tekanan darah bertambah turun. Untuk pemberian secara oral dapat diberikan
Nitrogliserin 0,3 -0,6 mg sub lingual atau isosorbide dinitrate 2,5-10 mg
sublingual. Pemberian secara intravena lebih dianjurkan pada pasien dengan
Edema Paru
20
Morfin sulfat: Morfin di indikasikan pada stage awal terapi Edema Paru. Morfin
berfungsi sebagai venodilator, arterodilator serta menurunkan heart rate.
Berdasarkan beberapa penelitian pemberian segera morphin 2-3 mg bolus setelah
diagnosa ditegakkan sangat memperbaiki keadaan klinis pasien dan dosis ini dapat
di ulang jika diperlukan setiap 15 menit sampai total dosis 15 mg.
21
Gambar 5. Pedoman Penanganan Edema Paru7
22
2.3 Pemeriksaan Radiologi pada Edema Paru
2.3.1 Gambaran Radiologi Edema Paru Kardiak
23
2. Cardiomegali
Gagal jantung kiri merupakan penyebab paling sering dari CHF dan
menyebabkan penurunan cardiac output dan meningkatkan tekanan vena paru.
Pada gagal jantung kiri akan menyeababkan dilatasi vaskuler paru, yang
menyebabkan edema pulmo.10
24
3. Pedikel Vaskuler yang Lebar
Lebar pedikel vaskuler < 60 mm pada foto thorax Postero-Anterior terlihat
pada 90% foto thorax normal dan lebar pedikel vaskuler > 85 mm ditemukan 80%
pada kasus Edema Paru.11
4. Kerley Lines
Pada stage II cairan bocor ke interstitium di bagian interlobular dan
peribronkial yang disebabkan peningkatan tekanan kapiler, ketika cairan bocor ke
septum interlobular perifer maka akan tampak garis kerley B.8
Garis kerley A (gambar 9) merupakan garis linear panjang yang
membentang dari perifer menuju hilus yang disebabkan oleh distensi saluran
anastomose antara limfatik perifer dengan sentral. Garis kerley B terlihat sebagai
garis pendek dengan arah horizontal 1-2 cm yang terletak dekat sudut
kostofrenikus yang menggambarkan adanya edema septum interlobular. Garis
kerley C berupa garis pendek, bercabang pada lobus inferior namun perlu
pengalaman untuk melihatnya karena terlihat hampir sama dengan pembuluh
darah.11
25
Gambar 9. Kerley Line11
5. Peribronchial Cuffing
Pericardial cuffing terjadi karena adanya akumulasi cairan intersisial di
sekitar bronkus, yang menyebabkan penebalan dinding bronkus, terlihat seperti
donat.8
26
6. Blurring Vaskuler
Ketika cairan bocor ke interstitium peribronkovaskuler maka akan tampak
blurring vaskuler di daerah perihiler.8
27
8. Konsolidasi
Jika terjadi eksudasi cairan ke alveolulus akan memperlihatkan gambaran
opasitas multifokal.10
9. Butterfly Appearence
Pada edema pulmo yang melibatkan alveolus, cairan pindah dari intersisial
ke alveolus yang mengikuti corakan bronkus sehingga akan tampak gambaran
“Butterfly appearence”.10
28
10. Efusi Pleura
Efusi pleura terjadi bilateral pad 70% kasus CHF, jika terjadi efusi pleura
unilateral, biasanya efusi lebih sering terjadi pada paru kanan daripada paru kiri.
Pada foto polos thoraks proyeksi PA setidaknya harus terdapat 175 ml cairan pada
cavum pleura sehingga bisa terlihat yang ditandai dengan sudut costofrenikus
yang tumpul.10
29
Gambar 15. Edema Paru Non Kardiogenik.8
30
DAFTAR PUSTAKA
31