Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

Preeklampsia merupakan suatu gangguan multisistem idiopatik yang


spesifik pada kehamilan dan nifas. Pada keadaan khusus, preeklampsia juga
didapati pada kelainan perkembangan plasenta (kehamilan mola komplit).
Meskipun patofisiologi preeklampsia kurang dimengerti, jelas bahwa tanda
perkembangan ini tampak pada awal kehamilan. Telah dinyatakan bahwa
pathologic hallmark adalah suatu kegagalan total atau parsial dari fase kedua
invasi trofoblas saat kehamilan 16-20 minggu kehamilan, hal ini pada kehamilan
normal bertanggung jawab dalam invasi trofoblas ke lapisan otot arteri spiralis.
Seiring dengan kemajuan kehamilan, kebutuhan metabolik fetoplasenta makin
meningkat. Bagaimanapun, karena invasi abnormal yang luas dari plasenta, arteri
spiralis tidak dapat berdilatasi untuk mengakomodasi kebutuhan yang makin
meningkat tersebut, hasil dari disfungsi plasenta inilah yang tampak secara klinis
sebagai preeklampsia. Meskipun menarik, hipotesis ini tetap perlu ditinjau
kembali.(1)
Preeklampsia merupakan suatu diagnosis klinis. Definisi klasik
preeklampsia meliputi 3 elemen, yaitu onset baru hipertensi (didefinisikan sebagai
suatu tekanan darah yang menetap ≥ 140/90 mmHg pada wanita yang sebelumnya
normotensif), onset baru proteinuria (didefinisikan sebagai protein urine > 300
mg/24 jam atau ≥ +1 pada urinalisis bersih tanpa infeksi traktus urinarius), dan
onset baru edema yang bermakna. Pada beberapa konsensus terakhir dilaporkan
bahwa edema tidak lagi dimasukkan sebagai kriteria diagnosis.(1)

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Preeklamsia paling tepat di gambarkan sebagai sindrom khusus kehamilan
yang dapat mengenai setiap sistem organ. Meskipun preeklamsia lebih dari
sekedar hipertensi gestasional sederhana ditambah proteinuria, timbulnya
proteinuria tetap merupakan kriteria diagnostik objektif yang penting. Proteinuria
didefinisikan sebagai ekskresi protein dalam urin melebihi 300 mg dalam 24 jam,
rasio protein : kreatinin urin > 0,3, atau terdapatnya protein sebanyak 30 mg/dL
(carik celup 1+) dalam sampel acak urin secara menetap. (Lindheimer, dkk.,
2008a). Tidak ada satupun nilai tadi yang bersifat mutlak. Kepekatan urin sangat
berarti selama siang hari sehingga hasil pembacaan carik celup juga sangat
bervariasi. Karena itu, pemeriksaan bahkan mungkin memberikan hasil 1+ atau 2+
pada spesimen urin pekat dari perempuan yang mengekskresikan <300 mg/hari.
Penentuan rasio urin/kreatinin sewaktu mungkin akan menggantikan pengukuran
urin 24 jam di masa mendatang.(2)

B. EPIDEMIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO


Kejadian preeklampsia di Amerika Serikat berkisar antara 2-6% dari ibu
hamil nulipara yang sehat. Di negara berkembang, kejadian preeklampsia berkisar
antara 4-18%. Penyakit preeklampsia ringan terjadi 75% dan preeklampsia berat
terjadi 25%. Dari seluruh kejadian preeklampsia, sekitar 10% kehamilan umurnya
kurang dari 34 minggu. Kejadian preeklampsia meningkat pada wanita dengan
riwayat preeklampsia, kehamilan ganda, hipertensi kronis dan penyakit ginjal.
Pada ibu hamil primigravida terutama dengan usia muda lebih sering menderita
preeklampsia dibandingkan dengan multigravida. Faktor predisposisi lainnya
adalah usia ibu hamil dibawah 25 tahun atau diatas 35 tahun, mola hidatidosa,
polihidramnion dan diabetes.(3)

2
Walaupun belum ada teori yang pasti berkaitan dengan penyebab terjadinya
preeklampsia, tetapi beberapa penelitian menyimpulkan sejumlah faktor yang
mempengaruhi terjadinya preeklampsia. Faktor risiko tersebut meliputi:(4)
a. Usia
Insidens tinggi pada primigravida muda, meningkat pada primigravida tua.
Pada wanita hamil berusia kurang dari 25 tahun insidens > 3 kali lipat. Pada
wanita hamil berusia lebih dari 35 tahun, dapat terjadi hipertensi yang menetap.
b. Paritas
Angka kejadian tinggi pada primigravida, muda maupun tua, primigravida tua
risiko lebih tinggi untuk preeklampsia berat.
c. Faktor Genetik
Jika ada riwayat preeklampsia/eklampsia pada ibu/nenek penderita, faktor
risiko meningkat sampai 25%. Diduga adanya suatu sifat resesif (recessive
trait), yang ditentukan genotip ibu dan janin. Terdapat bukti bahwa
preeklampsia merupakan penyakit yang diturunkan, penyakit ini lebih sering
ditemukan pada anak wanita dari ibu penderita preeklampsia. Atau mempunyai
riwayat preeklampsia/eklampsia dalam keluarga.
d. Diet/gizi
Tidak ada hubungan bermakna antara menu/pola diet tertentu (WHO).
Penelitian lain : kekurangan kalsium berhubungan dengan angka kejadian yang
tinggi. Angka kejadian juga lebih tinggi pada ibu hamil yang obese/overweight.
e.Tingkah laku/sosioekonomi
Kebiasaan merokok : insidens pada ibu perokok lebih rendah, namun merokok
selama hamil memiliki risiko kematian janin dan pertumbuhan janin terhambat
yang jauh lebih tinggi. Aktifitas fisik selama hamil atau istirahat baring yang
cukup selama hamil mengurangi kemungkinan/insidens hipertensi dalam
kehamilan.
f. Hiperplasentosis
Proteinuria dan hipertensi gravidarum lebih tinggi pada kehamilan kembar,
dizigotik lebih tinggi daripada monozigotik.

3
g. Mola hidatidosa
Degenerasi trofoblas berlebihan berperan menyebabkan preeklampsia. Pada
kasus mola, hipertensi dan proteinuria terjadi lebih dini/pada usia kehamilan
muda, dan ternyata hasil pemeriksaan patologi ginjal juga sesuai dengan pada
preeklampsia.
h. Obesitas
Hubungan antara berat badan wanita hamil dengan resiko terjadinya
preeklampsia jelas ada, dimana terjadi peningkatan insiden dari 4,3% pada
wanita dengan Body Mass Index (BMI) < 20 kg/m2 manjadi 13,3% pada wanita
dengan Body Mass Index (BMI) > 35 kg/m2.
i. Kehamilan multiple
Preeklampsia dan eklampsia 3 kali lebih sering terjadi pada kehamilan ganda
dari 105 kasus kembar dua didapat 28,6% preeklampsia dan satu kematian ibu
karena eklampsia. Dari hasil pada kehamilan tunggal, dan sebagai faktor
penyebabnya ialah dislensia uterus. Dari penelitian Agung Supriandono dan
Sulchan Sofoewan menyebutkan bahwa 8 (4%) kasus preeklampsia berat
mempunyai jumlah janin lebih dari satu, sedangkan pada kelompok kontrol, 2
(1,2%) kasus mempunyai jumlah janin lebih dari satu.

C. ETIOPATOGENESIS(2)

Setiap teori yang memuaskan mengenai etiologi dan patogenesis


preeklamsia harus dapat menjelaskan hasil pengamatan bahwa penyakit
hipertensi dalam kehamilan lebih mungkin timbul pada perempuan yang :
 Terpajan vili korionik untuk pertama kalinya
 Terpajan vili korionik dalam jumlah berlebihan, seperti pada kehamilan
ganda atau mola hidatidosa
 Telah memiliki penyakit ginjal atau kardiovaskular
 Secara genetis beresiko untuk mengalami hipertensi selama kehamilan

4
Adanya janin bukan merupakan syarat diagnosa preeklamsia. Juga,
meskipun vili korionik berperan penting, mereka tidak harus terdapat dalam
uterus. Misalnya, Worley dk., (2008) melaporkan insidensi preeklamsia sebesar
30% pada perempuan yang hamil ekstrauteri lebih dari 18 minggu gestasi.

Etiologi
Preeklamsia tidaklah sesederhana “satu penyakit”, melainkan merupakan
hasil akhir berbagai faktor yang kemungkinan meliputi sejumlah faktor pada
ibu, plasenta, dan janin. Faktor-faktor yang saat ini dianggap penting
mencakup :
1. Implantasi plasenta disertai invasi trofoblastik abnormal pada pembuluh
darah uterus
2. Toleransi imunologis yang bersifat maladaptif diatara jaringan maternal,
paternal (plasental), dan fetal.
3. Maladaptasi maternal terhadap perubahan kardiovaskuar atau inflamatorik
yang terjadi pada kehamilan normal
4. Faktor-faktor genetik, termasuk gen predesposisi yang diwariskan, serta
pengaruh epigenetik.

Invasi Trofoblastik Abnormal


Pada implantasi normal, arteriola spiralis uteri mengalami remodeling
ekstensif karena diinvasi oleh trofoblas endovaskular. Sel-sel ini menggantikan
lapisan otot dan endotel untuk memperlebar diameter pembuluh darah. Vena-
vena hanya diinvasi secara superfisial. Namun, pada preeklamsia, mungkin
terjadi invasi trofoblastik inkomplet. Bila terjadi invasi yang dangkal seperti
ini, pembuluh desidua, dan bukan pembuluh miometrium, akan dilapisi oleh
trofoblas endovaskular. Arteriola miometrium yang lebih dalam tidak
kehilangan lapisan endotel dan jaringan muskuloslastik mereka, dan rerata
diameter eksternal mereka hanya setengah diameter pembuluh darah plasenta
normal (Fisher, dkk., 2009). Madazli, dkk. (2000) memperlihatkan bahwa

5
derajat gangguan invasi trofoblas pada arteria spiralis berhubungan dengan
keparahan penyakit hipertensi.(2)
Dengan menggunakan mikroskop elektron, De Wolf, dkk (1990)
memeriksa arteri yang diamil dari lokasi implantasi. Mereka melaporkan
adanya preubahan preeklamtik dini, termasuk kerusakan endotel, insudasi
komponen plasma ke dalam dinding pembuluh, poliferasi sel miointima, dan
nekrosis tunika media. Lipid awalnya terakumulasi dalam sel miointima dan
selanjutnya dalam makrofag. Sel yang dipenuhi lipid seperti ini dan temuan
terkait, disebut sebagai aterosis oleh Herrig (1945). Biasanya, pembuluh yang
terkenan aterosis akan mengalami dilatasi aneurismal (Khong, 1991). (2)
Karena itu, lumen arteriola spiralis yang terlalu sempit (abnormal)
kemungkinan mengganggu aliran darah plasenta. Berkurangnya perfusi dan
lingkungan yang hipoksik akhirnya menyebabkan pelepasan debris plasenta
yang mencetuskan respons inflamasi sistemik, seperti yang di uraikan oleh
Redman dan Sargent (2008) baru-baru ini mempublikasikan ulasan yang sangat
bagus mengenai mekanisme molekular yang terlibat dalam interaksi ini. (2)

Faktor Imunologis
Terdapat data empiris yang menunjukkan kemungkinan gangguan yang
diperantarai sistem imun pada preeklamsia. Misalnya, resiko preeklamsia
meningkat secara nyata pada kondisi mungkin terganggunya pembentukkan
anibodi penyekat situs antigenik plasenta. Pada kondisi ini, kehamilan pertama
akan memiliki resiko yang lebih tinggi. Disregulasi toleransi mungkin juga
menjelaskan peningkatan resiko bila eban antigenik paternal meningkat, yakni,
dengan dua set kromosom paternal –“dosis ganda.” Misalnya, perempuan
dengan kehamilan mola memiliki insiden tinggi mengalami preeklamsia
awitan-dini. Selain itu, perempuan yang mengandung janin trisomi 13 memiliki
insiden preeklamsi sebesar 30-40%. Bdolah dkk, (2006) memperlihatkan
bahwa perempuan-perempuan tersebut juga memiliki kadar faktor
antiangiogenik yang meningkat dalam serum. Gen untuk salah satu faktor ini,
sFLT-1, terletak pada kromosom 13. Sebaliknya, perempuanyang sebelumnya

6
terpajan antigen paternal, misalnya pada kehamilan sebelumnya-dengan
pasangan yang sama, tetapi tidak bila pasangan berbeda-telah “terimunisasi”
terhadap preeklamsia. Fenomena ini tidak terlalu nyata pada perempuan yang
pernah mengalami aborsi. Strickland dkk, (1968) mempelajari lebih dari
29.000 kehamilan di Parkland Hospital dan melaporkan bahwa penyakit
hipertensif meurun secara bermakna, tetapi tidak banyak pada perempuan yang
sebelumnya pernah keguguran dibandingkan dengan nuligravida. Penelitian
lain telah memperlihatkan bahwa perempuan multipara yang hamil dengan
pasangan yang berbeda memiliki resiko preeklamsia yang meningkat (Mostello
dkk., 2002). (2)
Redman dkk., (2009) aru-baru ini mengulas kemungkinan peran
maladaptasi imunitas dalam atofisiologi preeklamsia. Pada awal kehamilan
yang ditakdirkan untuk mengalami komplikasi preeklamsia, trofoblas
ekstravilus mengekspresikan antigen leukosit manusia G(HLA-G) yang
bersifat imunosupresif dalam jumlah yang berkurang. Ekspresi yang rendah ini
mungkin berperan dalam kecacatan vaskularisasi plasenta di tahap 1. Selama
kehamilan normal, dihasilkan limfosit T-penolong (Th) sehingga aktivitas tipe
2 meningkat dibandingkan tipe 1-dinamakan blas tipe 2 (Redmen dan Sargent,
2008). Sel-sel Th2 memacu imunitas humoral, sedangkan sel Th1 merangsang
sekresi sitokin peradangan. Sejak awal trimester kedua pada perempuan yang
selanjutnya mengalami preeklamsia, kerja Th1 meningkat dan terjadi
perubahan rasio Th1/ Th2. Faktor-faktor yang berperan terhadap reaksi radang
yang dipacu secara imunologis ini dirangsang oleh mikropartikel plasenta, serta
oleh adiposit (Redman dan Sargent, 2008). (2)

Aktivasi Sel Endotel


Dalam banyak cara, perubahan inflamatorik diduga merupakan kelanjutan
perubahan pada tahap 1 yang disebabkan oleh kecacatan dalam plasentasi.
Sebagai respons terhadap faktor-faktor plasenta yang dilepaskan akibat
perubahan iskemik atau akibat faktor pencetus lainnya, serangkaian peristiwa

7
akan tercetus (Taylor dkk., 2009). Karena itu, faktor metabolik dan
antiangiogenik serta mediator inflamasi lainnya diduga memicu cedera endotel.
Telah diajukan suatu teori bahwa disfungsi sel endotel disebabkan oleh
keadaan leukosit terhiperaktivasi dalam sirkulasi ibu (Faas, 2000; Gervasi,
2000; Redman, 1999, beserta rekan mereka). Secara sinkat, sitokin, seperti
faktor nekrosis tumor-α (TNF-α) dan interleukin (IL) mungkin berperan dalam
timbulnya stres oksidatif terkait preeklamsia. Stres oksidatif ini ditandai
dengan terdapatnya spesies oksigen reaktif dan radikal bebas yang
menyebabkan terbentuknya peroksida lipid yang berpropagasi-sendiri (manten
dkk., 2005). Hal ini kemudian akan membentuk radikal-radikal yang amat
toksik yang akan mencederai sel endotel, mengubah produksi nitrat oksida
mereka, dan mengganggu keseimbangan prostaglanding. Akibat lain stres
oksidatif mencakup produksi sel busa makrofag yang penuh lipid yang tampak
pada aterosis, aktivasi koagulasi mikrovaskular, yang bermanifestasi sebagai
trombositopenia, dan peningkatan permeabilitas kapiler, yang ditandai dengan
edema dan proteinuria. (2)
Temuan-temuan akibat stres oksidatif pada preeklamsia tersebut telah
menarik perhatian terhadap manfaat potensial antioksidan untuk mencegah
preeklamsia. Antioksidan berasal dari suatu famili senyawa yang beragam dan
berfungsi mencegah produksi berlebihan serta kerusakan akibat radikal bebas
yang berbahaya. Contoh antioksidan antara lain vitamin E (tokoferol-α),
vitamin C (asam akorbat), dan β-karoten. Suplementasi diet dengan antioksidan
tersebut untuk mencegah preeklamsia sejauh ini belum terbukti bermanfaat. (2)

Faktor Nutrisi
John dkk., (2002) memperlihatkan ahwa pada populasi umum, diet tinggi
buah dan sayuran yang memiliki aktivitas antioksidan berkaitan dengan
penurunan tekanan darah. Zhang dkk., (2002) melaporkan bahwa insiden
preeklamsia meningkat 2x lipat pada perempuan yang memiliki asupan asam
askorbat kurang dari 85 mg perhari. Penelitian-penelitian ini diikuti dengan uji
teracak untuk meneliti suplementasi diet. Villar, dkk. (2006) memperlihatkan

8
bahwa suplementasi kalsium pada populasi yang memiliki asupan kalsium diet
yang rendah memiliki sedikit efek dalam menurunkan angka kematian
perinatal, tetapi tidak berdampak pada insiden preeklamsia. Pada sejumlah
penelitian, suplementasi antioksidan vitamin C dan E tidak menunjukkan
manfaat. (2)

Faktor Genetik
Preeklamsia merupakan penyakit multifaktorial dan poligenik. Dalam
suatu ulasan yang komprehensif, Ward dan Lindheimer (2009) mengutip resiko
insiden preeklamsia sebesar 20-40% pada anak dari ibu yang perah mengalami
preeklamsia; 11-37% pada saudaar perempuan seorang penderita preeklamsia;
dan 22-47% pada kembar. Pada suatu penelitian yang dilakukan Nilsson, dkk.
(2004) pada hampir 1,2 juta pelahiran di Swedia, mereka melaporkan adanya
komponen genetik untuk hipertensi gestasional sekaligus preeklamsia. Mereka
juga melaporkan angka kejadian bersama sebesar 60% pada kemar
monozigotik perempuan. (2)
Kecenderungan herediter ini yang mungkin merupakan akibat interaksi
ratusan gen yang diwariskan-baik dari ayah maupun ibu-yang megedalikan
sejumlah besar fungsi metabolik dan enzimatik di setiap sistem organ. (2)

Patofisiologi
Patogenesis terjadinya Preeklamsia dapat dijelaskan sebagai berikut:
Vasospasme

Konsep vasospasme dikembangkan oleh volhard (1918) berdasarkan


hasil pegamatan langsungnya pada pembuluh darah kecil dalam matriks kaku,
fundus okuli, dan konjungtiva bulbi. Dugaan ini juga timbul dari temuan
perubahan histologis pada berbagai organ yang terkena (Hinselmann, 1924;
Landesman dkk., 1954). Konstriksi vaskular menyebabkan peningkatan
tahanan pembuluh sehingga timbul hipertensi. Pada saat bersamaan, kerusakan
sel endotel menyebabkan kebocoran interstitial tempat lewatya komponen-
komponen darah, termasuk trombosit dan fibrinogen, yang kemudian tertimbun

9
di subendotel. Wang dkk., (2002) juga menemukan adanya gangguan pada
protein junctional endotel. Suzuki dkk., (2003) menggambarkan perubahan
ultrastruktural pada regio subendotel arteri yang bertahan tinggi pada
perempuan preeklamtik. Dengan berkurangnya aliran darah akibat
maldistribusi, iskemia pada jaringan sekitar akan menyebabkan nekrosis,
perdarahan dan gangguan end-organ lain yang khas untuk sindrom tersebut. (2)

Aktivasi Sel Endotel


Selama dua dekade terakhir, aktivasi sel endotelial telah menjadi pusat
dari pemahaman kontemporer mengenai patogenesis preeklamsia. Pada skema
ini, faktor-faktor yang tidak diketahui –kemungkinan berasal dari plasenta-
disekresikan ke dalam sirkulasi maternal dan menceetuskan ktivasi dan
disfungsi endotel vaskular. Sindrom kliis preeklamsia diduga terjadi akibat
perubahan sel endotel yang tersebar luas. Selain mikropartikel, Grundmann
dkk., (2008) telah melaporkan bahwa kadar sel endotel yang bersirkulasi-CEC-
meningkat secara nyata sebesar empat kali lipat pada darah perifer perempuan
preeklamtik. (2)
Endotel yang utuh memiliki sifat antikoagulan, dan sel endotel
menumpulkan respons otot polos pembuluh darah terhadap agonis dengan cara
melepaskan nitrat oksida.sel endotel yang rusak atau teraktivasi dapat
menghasilkan lebih sedikit nitrat oksida dan menyekeresikan substansi yang
memacu koagulasi, serta meningkatkan sensitifitas terhadap vasopresor (Gant
dkk., 1974). Bukti lebih lanjut mengenai aktivasi endotel meliputi peruahan
khas pada morfologi endotel kapiler glomerulus, peningkatan permeabilitas
kapiler, dan peningkatan kadar zat-zat terkait aktivasi sel-sel endotel dalam
darah. Zat-zat yang disebut belakangan ini dapat dipindahkan, dan serum dari
perempuan dengan preeklamsia semakin memacu pembentukan zat-zat ini
dalam jumlah yang lebih besar. Kemungkinan, berbagai faktor dalam plasma
perempuan preeklamtik berkombinasi untuk menyebabkan efek vasoaktif
tersebut (Myers dkk., 2007; Walsh, 2009). (2)

10
Peningkatan Respons Presor
Perempuan hamil secara normal mengalami ketidaksensitifan terhadap
vasopresor yang diinfuskan (Abdul-Karrim dan Assali., 1961). Namun
perempuan dengan preeklamsia dini memiliki peningkatan reaktivitas vaskular
terhadap norepinefrin dan angiotensin II yang diinfuskan (Raab dkk., 1956;
Talledo dkk., 1968). Lebih lanjut lagi, peningkatan sensitivitas terhadap
angiotensin II jelas mendahului awitan hipertensi gestasional. Gant dkk.,
(1974) memperlihatkan bahwa nulipara yang normotensif tetap refrakter
terhadap angiotensin II yang diinfuskan tetapi mereka yang kemudian menjadi
hipertensif kehilangan sifat refrakter ini beberapa minggu sebelum awitan
hipertensi. (2)

Prostaglandin
Sejumlah prostanoid diduga menjadi pusat patofisiologi sindrom
preeklamsia. Secara khusus, pengumpulan respons presor yang tampak pada
kehamilan normal paling tidak sebagian disebabkan oleh penurunan
responsivitas vaskular yang di antarai sintesis prostaglandin endotel. Misalnya,
jika dibandingkan dengan kehamilan normal, produksi prostaglandin endotel
(PGI2) menurun pada preeklamsia. Efek ini tampaknya dimediasi oleh
fosfolipase A2 (Taylor dan Roberts, 1999). Pada saaat yang sama, sekresi
tromboksan A2 oleh trombosit meningkat dan rasio prostasiklin : tromboksan
A2 menurun. Hasil bersihnya cenderung meningkatkan sensitivitas terhadap
angiotensin II yang diinfuskan, dan pada akhirnya, vasokonstriksi (Spitz dkk,
1988). Chavvaria dkk., (2003) telah membuktikan bahwa perubahan-perubahan
ini tampak sejak kehamilan 22 minggu pada perempuan yang selanjutya
mengalami preeklamsia. (2)

Nitrat Oksida
Vasodilator poten ini disintesis dari L-arginin oleh sel endotel.
Penurunan drastis nitrat oksida menyebabkan gambaran klinis yang serupa
dengan preeklamsia pada model binatang yang sedang hamil (Conrad dan

11
Vernier, 1989). Inhibisi sintesis nitrat oksida meningkatkan tekanan arteri
rerata, menurunkan laju jantung dan membalikkan ketidaksensitifan terhadap
vasopressor yang diinduksi kehamilan. Pada manusia, nitrat oksida tampaknya
merupakan senyawa yang mempetahankan kondisi normal pembuluh darah
yang berdilatasi dan bertekanan rendah, yang khas untuk perfusi fetoplasenta
(Myatt dkk., 1992; Weiner dkk., 1992). Zat ini juga dihasilkan oleh endotel
janin dan kadarnya meningkat sebagai respons terhadap preeklamsia, diabetes,
dan infeksi (Parra dkk., 2001; von Mandach dkk., 2003). (2)
Efek produksi nitrat oksida pada kehamilan belum jelas (Taylor dkk.,
2009). Tampaknya sindrom ini berkaitan dengan penurunan ekspresi nitrat
oksida sintase pada endotel sehingga meningkatkan inaktivasi nitrat oksida.
Respons-respons tersebut dapat berkaitan dengan ras, dengan perempuan
Afrika-Amerika menghasilkan lebih banyak nitrat oksida (Wallace, dkk.,
2009).(2)

Protein Angiogenik dan Antiangiogenik


Pembentukan vaskularisasi plasenta sudah tampak sejak 21 hari
pascakonsepsi. Terdapat daftar yang terus bertambah mengenai substansi pro-
dan antiangiogenik yang terlibat dalam perkembangan vaskularisasi plasenta.
Kelompok faktor pertumbuhan endotel plasenta (VEGF) dan produk gen
angiopoietin (Ang) merupakan yang paling banyak diteliti. Istilah
ketidakseimbangan angiogenik digunakan untuk menggambarkan jumlah
berlebihan faktor antiangiogenik yang diduga dirangsang oleh hipoksia yang
memburuk pada permukaan kontak uteroplasenta. Jaringan trofoblastik
perempuan yang ditakdirkan untuk mengalami preeklamsia menghasilkan
sedikitnya dua peptida antiangiogenik secara berlebihan, yang selanjutnya
memasuki sirkulasi maternal (Karumanchi dkk., 2009). (2)
Soluble Fms-like tyrosinekinase I (sFlt-I) merupakan varian reseptor Flt-I
untuk faktor pertumbuhan plasenta (PIGF) dan faktor pertumbuhan endotel
vaskular (VEGF). Peningkatan kadar sFlt-I pada sirkulasi ibu akan

12
menginaktifkan dan menurunkan kadar PIGF dan VEGF bebas dalam sirkulasi
sehingga terjadi disfungsi endotel (Maynard dkk., 2003). (2)
Soluble endoglin (sEng) merupakan molekul 65-kDa yang dihasilkan
plasenta dan menyekat endoglin-disebut juga CD105-yang merupakan
koreseptor famili TGF-β. Bentuk endoglin terlarut ini menghambat berbagai
isotop TGF-β untuk berikatan dengan reseptor di endotel sehingga
menyebabkan penurunan vasodilatasi yang bergantung nitrat oksida endotelial
(Levine dkk., 2006; Venkatesha dkk., 2006). (2)

Proteinuria
Adanya proteinuria dalam derajat apapun akan menegakkan diagnosis
preeklamsia-eklamsia. Proteinuria dapat timbul pada tahap lanjut, dan beberapa
perempuan mungkin telah melahirkan-atau mengalami kejang eklamtik-
sebelum timbul proteinuria. Misalnya, Sibai (2004) , melaporkan bahwa 10-15
% perempuan yang mengalami sindrom HELLP tidak mengalami proteinuria
saat pertama kali datang. Zwart dkk., (2008) melaporkan bahwa 17%
perempuan eklamtik tidak memiliki proteinuria saat mereka mengalami kejang.
(2)

Masalah lain adalah belum dipastikannya metode optimal untuk


menentukan kadar abnormal albumin atau protein urin. Chen dkk., (2008)
memperlihatkan bahwa spesimen urin yang didapat melalui kateterisasi atau
urin pancaran tengah berkolerasi baik dengan proteinuria. Namun, penentuan
secara kualitatif menggunakan carik celup bergantung pada kepekatan urin dan
sangat rentan terhadap hasil positif semu maupun negatif semu. Untuk
spesimen urin kuantitatif 24 jam, nilai ambanag standar sesuai “konsensus”
adalah >300 mg/24 jam-atau ekuivalennya yang telah diekstrapolasi untuk
periode pengumpulan urin yang lebih singkat. Penting diingat, penentuan nilai
standar ini bukannya tidak menimbulkan perdebatan. (2)
Penentuan protein urin : atau rasio albumin : kreatinin mungkin dapat
menggantikan kuatifikasi 24 jam yang sangat memberatkan (Kyle dkk., 2008).
Pada sebuah ulasan sistematik terbaru, Papanna dkk., (2008) menyimpulkan

13
bahwa rasio protein : kreatinin urin acak yang diawah 130 terhadap 150 mg/g-
0,13 berbanding, 0,15- menandakan kemungkinan rendah terjadinya
proteinuria yang melebihi 300 mg/hari. Rasio dalam kisaran pertengahan,
yakni, 300 mg/g-0,3- memiliki sensitivitas dan spesifitas yang rendah. Para
peneliti ini menganjurkan bahwa bila didapatan hasil pada kisaran pertengahan,
dilakukan pemeriksaan spesimen urin 24 jam untuk akurasi. (2)
Terdapat beberapa metode yang digunakan untuk mengukur proteinuria,
dan tidak satupun mendeteksi semua jenis protein yang normal diekskresikan.
Metode yang leih akurat meliputi pegukuran ekskresi albmin. Filtrasi albumin
lebih tinggi dibandingkan globulin (yang berukuran lebih besar), dan pada
penyakit glomerular, seperti preeklamsia, sebagian besar protein dalam urin
adalah albumin. Set alat pemeriksaan yang termutakhir memungkinkan
pengukuran cepat rasio albumin: kreatinin urin pada pasien rawat jalan (Kyle
dkk., 2008). (2)
Akhirnya, meskipun perburukan proteinuria kisaran nefrotik telah
dianggap oleh sebagian besar kalangan sebagai tanda penyakit berat, anggapan
ini mungkin tidak tepat (Airoldi dan Weinstein, 2007). Karena itu, saat ini
sedang diteliti kuantitas ekskresi protein secara tersendiri sebagai penanda
keparahan preeklamsia. (2)

D. PERUBAHAN FISIOLOGI PATOLOGIK


Otak
Tekanan darah yang tinggi dapat menyebabkan autoregulasi tidak berfungsi. Pada
saat autoregulasi tidak berfungsi sebagaimana mestinya, jembatan penguat endotel
akan terbuka dan dapat menyebabkan plasma dan sel-sel darah merah keluar ke
ruang ekstravaskular. Hal ini akan menimbulkan perdarahan petekie atau
perdarahan intrakranial yang sangat banyak. Pada penyakit yang belum berlanjut
hanya ditemukan edema dan anemia pada korteks serebri.(3,5)

Diaporkan bahwa resistensi pembuluh darah dalam otak pada pasien


hipertensi dalam kehamilan lebih meninggi pada eklampsia. Pada pasien

14
preeklampsia, aliran darah ke otak dan penggunaan oksigen otak masih dalam
batas normal. Pemakaian oksigen pada otak menurun pada pasien eklampsia.(3)

Perubahan Kardiovaskuler.
Gangguan fungsi kardiovaskuler yang parah sering terjadi pada
preeklampsia dan eklampsia. Berbagai gangguan tersebut pada dasarnya berkaitan
dengan peningkatan afterload jantung akibat hipertensi, preload jantung yang
secara nyata dipengaruhi oleh berkurangnya secara patologis hipervolemia
kehamilan atau yang secara iatrogenic ditingkatkan oleh larutan onkotik atau
kristaloid intravena, dan aktivasi endotel disertai ekstravasasi ke dalam ruang
ektravaskular terutama paru.(5)

Mata
Pada preeklampsia tampak edema retina, spasmus setempat atau
menyeluruh pada satu atau beberapa arteri, jarang terjadi perdarahan atau eksudat.
Spasmus arteri retina yang nyata dapat menunjukkan adanya preeklampsia yang
berat, tetapi bukan berarti spasmus yang ringan adalah preeklampsia yang ringan.
Pada preeklampsia dapat terjadi ablasio retina yang disebabkan edema intraokuler
dan merupakan indikasi untuk dilakukannya terminasi kehamilan. Ablasio retina
ini biasanya disertai kehilangan penglihatan. Selama periode 14 tahun, ditemukan
15 wanita dengan preeklampsia berat dan eklampsia yang mengalami kebutaan
yang dikemukakan oleh Cunningham (1995).(3)
Skotoma, diplopia dan ambliopia pada penderita preeklampsia merupakan
gejala yang menunjukan akan terjadinya eklampsia. Keadaan ini disebabkan oleh
perubahan aliran darah dalam pusat penglihatan di korteks serebri atau dalam
retina.(3)

Paru

15
Edema paru biasanya terjadi pada pasien preeklampsia berat dan eklampsia
dan merupakan penyebab utama kematian. Edema paru bisa diakibatkan oleh
kardiogenik ataupun non-kardiogenik dan biasa terjadi setelah melahirkan. Pada
beberapa kasus terjadinya edema paru berhubungan dengan adanya peningkatan
cairan yang sangat banyak. Hal ini juga dapat berhubungan dengan penurunan
tekanan onkotik koloid plasma akibat proteinuria, penggunaan kristaloid sebagai
pengganti darah yang hilang, dan penurunan albumin yang dihasilkan oleh hati.(3)

Hati
Pada preeklampsia berat terkadang terdapat perubahan fungsi dan integritas
hepar, termasuk perlambatan ekskresi bromosulfoftalein dan peningkatan kadar
aspartat aminotransferase serum. Sebagian besar peningkatan fosfatase alkali
serum disebabkan oleh fosfatase alkali tahan panas yang berasal dari plasenta.
Pada penelitian yang dilakukan Oosterhof dkk (1994), dengan menggunakan
sonografi Doppler pada 37 wanita preeklampsia, terdapat resistensi arteri
hepatika.(3)
Nekrosis hemoragik periporta di bagian perifer lobulus hepar kemungkinan
besar penyebab terjadinya peningkatan enzim hati dalam serum. Perdarahan pada
lesi ini dapat menyebabkan ruptur hepatika, atau dapat meluas di bawah kapsul
hepar dan membentuk hematom subkapsular.(3)

Ginjal
Selama kehamilan normal, aliran darah dan laju filtrasi glomerulus
meningkat cukup besar. Dengan timbulnya preeklampsia, perfusi ginjal dan
filtrasi glomerulus menurun. Lesi karakteristik dari preeklampsia,
glomeruloendoteliosis, adalah pembengkakan dari kapiler endotel glomerular
yang menyebabkan penurunan perfusi dan laju filtrasi ginjal. Konsentrasi asam
urat plasma biasanya meningkat, terutama pada wanita dengan penyakit berat. (3)

Pada sebagian besar wanita hamil dengan preeklampsia, penurunan ringan


sampai sedang laju filtrasi glomerulus tampaknya terjadi akibat

16
berkurangnyavolume plasma sehingga kadar kreatinin plasma hampir dua kali
lipat dibandingkan dengan kadar normal selama hamil (sekitar 0,5 ml/dl). Namun
pada beberapa kasus preeklampsia berat, keterlibatan ginjal menonjol dan
kreatinin plasma dapat meningkat beberapa kali lipat dari nilai normal ibu tidak
hamil atau berkisar hingga 2-3 mg/dl. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh
perubahan intrinsik ginjal yang ditimbulkan oleh vasospasme hebat yang
dikemukakan oleh Pritchard (1984) dalam Cunningham (2005).(3)
Kelainan pada ginjal yang penting adalah dalam hubungan proteinuria dan
retensi garam dan air. Taufield (1987) dalam Cunningham (2005) melaporkan
bahwa preeklampsia berkaitan dengan penurunan ekskresi kalsium melalui urin
karena meningkatnya reabsorpsi di tubulus. Pada kehamilan normal, tingkat
reabsorpsi meningkat sesuai dengan peningkatan filtrasi dari glomerulus.
Penurunan filtrasi glomerulus akibat spasmus arteriol ginjal mengakibatkan
filtrasi natrium melalui glomerulus menurun, yang menyebabkan retensi garam
dan juga retensi air.(3)
Untuk mendiagnosis preeklampsia atau eklampsia harus terdapat
proteinuria. Namun, karena proteinuria muncul belakangan, sebagian wanita
mungkin sudah melahirkan sebelum gejala ini dijumpai. Meyer (1994)
menekankan bahwa yang diukur adalah ekskresi urin 24 jam. Mereka
mendapatkan bahwa proteinuria +1 atau lebih dengan dipstick memperkirakan
minimal terdapat 300 mg protein per 24 jam pada 92% kasus. Sebaliknya,
proteinuria yang samar (trace) atau negatif memiliki nilai prediktif negatif hanya
34% pada wanita hipertensif. Kadar dipstick urin +3 atau +4 hanya bersifat
prediktif positif untuk preeklampsia berat pada 36% kasus.(3)
Seperti pada glomerulopati lainnya, terjadi peningkatan permeabilitas
terhadap sebagian besar protein dengan berat molekul tinggi. Maka ekskresi
Filtrasi yang menurun hingga 50% dari normal dapat menyebabkan diuresis turun,
bahkan pada keadaan yang berat dapat menyebabkan oligouria ataupun anuria.
Lee (1987) dalam Cunningham (2005) melaporkan tekanan pengisian ventrikel
normal pada tujuh wanita dengan preeklampsia berat yang mengalami oligouria
dan menyimpulkan bahwa hal ini konsisten dengan vasospasme intrarenal.(3)

17
Protein albumin juga disertai protein-protein lainnya seperti hemoglobin,
globulin dan transferin. Biasanya molekul-molekul besar ini tidak difiltrasi oleh
glomerulus dan kemunculan zat-zat ini dalam urin mengisyaratkan terjadinya
proses glomerulopati. Sebagian protein yang lebih kecil yang biasa difiltrasi
kemudian direabsorpsi juga terdeksi di dalam urin.(3)

Darah
Kebanyakan pasien dengan preeklampsia memiliki pembekuan darah yang
normal. Perubahan tersamar yang mengarah ke koagulasi intravaskular dan
destruksi eritrosit (lebih jarang) sering dijumpai pada preeklampsia menurut
Baker (1999) dalam Cunningham (2005). Trombositopenia merupakan kelainan
yang sangat sering, biasanya jumlahnya kurang dari 150.000/μl yang ditemukan
pada 15-20% pasien. Level fibrinogen meningkat sangat aktual pada pasien
preeklampsia dibandingkan dengan ibu hamil dengan tekanan darah normal. Level
fibrinogen yang rendah pada pasien preeklampsia biasanya berhubungan dengan
terlepasnya plasenta sebelum waktunya (placental abruption).(3)
Pada 10 % pasien dengan preeklampsia berat dan eklampsia menunjukan
terjadinya HELLP syndrome yang ditandai dengan adanya anemia hemolitik,
peningkatan enzim hati dan jumlah platelet rendah. Sindrom biasanya terjadi tidak
jauh dengan waktu kelahiran (sekitar 31 minggu kehamilan) dan tanpa terjadi
peningkatan tekanan darah. Kebanyakan abnormalitas hematologik kembali ke
normal dalam dua hingga tiga hari setelah kelahiran tetapi trombositopenia bisa
menetap selama seminggu.(3)

Sistem Endokrin dan Metabolisme Air dan Elektrolit


Selama kehamilan normal, kadar renin, angiotensin II dan aldosteron
meningkat. Pada preeklampsia menyebabkan kadar berbagai zat ini menurun ke
kisaran normal pada ibu tidak hamil. Pada retensi natrium dan atau hipertensi,
sekresi renin oleh aparatus jukstaglomerulus berkurang sehingga proses
penghasilan aldosteron pun terhambat dan menurunkan kadar aldosteron dalam
darah.(3)

18
Pada ibu hamil dengan preeklampsia juga meningkat kadar peptida
natriuretik atrium. Hal ini terjadi akibat ekspansi volume dan dapat menyebabkan
meningkatnya curah jantung dan menurunnya resistensi vaskular perifer baik pada
normotensif maupun preeklamptik. Hal ini menjelaskan temuan turunnya
resistensi vaskular perifer setelah ekspansi volume pada pasien preeklampsia.(3)
Pada pasien preeklampsia terjadi hemokonsentrasi yang masih belum
diketahui penyebabnya. Pasien ini mengalami pergeseran cairan dari ruang
intravaskuler ke ruang interstisial. Kejadian ini diikuti dengan kenaikan
hematokrit, peningkatan protein serum, edema yang dapat menyebabkan
berkurangnya volume plasma, viskositas darah meningkat dan waktu peredaran
darah tepi meningkat. Hal tersebut mengakibatkan aliran darah ke jaringan
berkurang dan terjadi hipoksia.(3)
Pada pasien preeklampsia, jumlah natrium dan air dalam tubuh lebih banyak
dibandingkan pada ibu hamil normal. Penderita preeklampsia tidak dapat
mengeluarkan air dan garam dengan sempurna. Hal ini disebabkan terjadinya
penurunan filtrasi glomerulus namun penyerapan kembali oleh tubulus ginjal
tidak mengalami perubahan.(3)

Plasenta dan Uterus


Menurunnya aliran darah ke plasenta mengakibatkan gangguan fungsi
plasenta. Pada hipertensi yang agak lama, pertumbuhan janin terganggu dan pada
hipertensi yang singkat dapat terjadi gawat janin hingga kematian janin akibat
kurangnya oksigenisasi untuk janin.(3)
Kenaikan tonus dari otot uterus dan kepekaan terhadap perangsangan sering
terjadi pada preeklampsia. Hal ini menyebabkan sering terjadinya partus
prematurus pada pasien preeklampsia. Pada pasien preeklampsia terjadi dua
masalah, yaitu arteri spiralis di miometrium gagal untuk tidak dapat
mempertahankan struktur muskuloelastisitasnya dan atheroma akut berkembang
pada segmen miometrium dari arteri spiralis. Atheroma akut adalah nekrosis
arteriopati pada ujung-ujung plasenta yang mirip dengan lesi pada hipertensi
malignan. Atheroma akut juga dapat menyebabkan penyempitan kaliber dari

19
lumen vaskular. Lesi ini dapat menjadi pengangkatan lengkap dari pembuluh
darah yang bertanggung jawab terhadap terjadinya infark plasenta.(3)

E. KLASIFIKASI
Preeklampsia terbagi atas dua yaitu Preeklampsia Ringan dan
Preeklampsia Berat berdasarkan Klasifikasi menurut American College of
Obstetricians and Gynecologists, yaitu:
1) Preeklampsia ringan, bila disertai keadaan sebagai berikut:
 Tekanan darah 140/90 mmHg, atau kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih,
atau kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih setelah 20 minggu kehamilan
dengan riwayat tekanan darah normal.
 Proteinuria kuantitatif ≥ 300 mg perliter dalam 24 jam atau kualitatif 1+
atau 2+ pada urine kateter atau midstream.
2) Preeklampsia berat, bila disertai keadaan sebagai berikut:
 Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.
 Proteinuria 5 gr atau lebih perliter dalam 24 jam atau kualitatif 3+ atau 4+.
 Oligouri, yaitu jumlah urine kurang dari 500 cc per 24 jam/kurang dari 0,5
cc/kgBB/jam.
 Adanya gangguan serebral, gangguan penglihatan, dan rasa nyeri di
epigastrium.
 Terdapat edema paru dan sianosis
 Hemolisis mikroangiopatik
 Trombositopeni (< 100.000 sel/mm3 atau penurunan trombosit dengan
cepat)
 Gangguan fungsi hati.
 Pertumbuhan janin terhambat.
 Sindrom HELLP.

F. MANIFESTASI KLINIS(2)

20
Terdapat sejumlah manifestasi neurologis sindrom preeklamsia. Masing-
masing manifestasi menunjukkan keterlibatan berat suatu organ dan memerlukan
perhatian segera:
1. Nyeri kepala dan skotomata diduga timul akibat hiperfusi serebrovaskular
yang memiliki predileksi pada lobus oksipital. Menurut Sibai (2005) dan
Zwart dkk., (2008), hingga 50 hingga 75% perempuan mengalami nyeri
kepala dan 20-30% diantaranya mengalami gangguan penglihatan yang
mendahului kejang eklamtik. Nyeri kepala dapat ringan hingga berat, dan
dapat intermitten atau konstan. Menurut pengalaman kami, tanda ini unik
karena biasanya membaik setelah dimulainya infus magnesium sulfat.
2. Kejang bersifat diagnostik untuk eklamsia.
3. Kebutaan jarang terjadi pada preeklamsia saja, tetapi sering menjadi
komplikasi pada kejang eklamtik, yaitu pada hingga 15% perempuan
(Cunningham dkk, 1995). Kebutaan telah dilaporkan timbul hingga
seminggu atau lebih setelah pelahiran (Chambers dan Chain, 2004).
4. Edema otak menyeluruh dapat timbul pada sindrom preeklamsia dan
biasanya bermanifestasi sebagai perubahan status mental yang bervariasi
dari kebingungan hingga koma. Kondisi ini khususnya berbahaya karena
dapat menybabkan herniasi supratentorial yang membahayakan jiwa.

G. DIAGNOSIS
Gejala subjektif
Pada preeklampsia didapatkan sakit kepala di daerah frontal, skotoma, diplopia,
penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, mual atau muntah-muntah.
Gejala-gejala ini sering ditemukan pada preeklampsia yang meningkat dan
merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan timbul (impending eklampsia).
Tekanan darah pun akan meningkat lebih tinggi, edema dan proteinuria bertambah
meningkat.(8)

Pemeriksaan fisik

21
Pada pemeriksaan fisik didapatkan peningkatan tekanan sistolik 30mmHg
dan diastolik 15 mmHg atau tekanan darah meningkat ≥ 140/90mmHg pada
preeklampsia ringan dan≥ 160/110 mmHg pada preeklampsia berat. Selain itu kita
juga akan menemukan takikardia, takipneu, edema paru, perubahan kesadaran,
hipertensi ensefalopati, hiperefleksia,sampai tanda-tanda pendarahan otak.(8)
Penemuan Laboratorium
Penemuan yang paling penting pada pemeriksaan laboratorium penderita
preeklampsia yaitu ditemukannya protein pada urine. Pada penderita preeklampsia
ringan kadarnya secara kuantitatif yaitu ≥ 300 mg perliter dalam 24 jam atau
secara kualitatif +1 sampai +2 pada urine kateter atau midstream. Sementara pada
preeklampsia berat kadanya mencapai ≥ 500 mg perliter dalam 24 jam atau secara
kualitatif ≥ +3.(8)
Pada pemeriksaan darah, hemoglobin dan hematokrit akan meningkat akibat
hemokonsentrasi. Trombositopenia juga biasanya terjadi. Penurunan produksi
benang fibrin dan faktor koagulasi bisa terdeksi. Asam urat biasanya meningkat
diatas 6 mg/dl. Kreatinin serum biasanya normal tetapi bisa meningkat pada
preeklampsia berat. Alkalin fosfatase meningkat hingga 2-3 kali lipat. Laktat
dehidrogenase bisa sedikit meningkat dikarenakan hemolisis. Glukosa darah dan
elektrolit pada pasien preeklampsia biasanya dalam batas normal.(3)

H. PENATALAKSANAAN
Tujuan utama penanganan preeklampsia adalah mencegah terjadinya
preeklampsia berat atau eklampsia, melahirkan janin hidup dan melahirkan janin
dengan trauma sekecil-kecilnya, mencegah perdarahan intrakranial serta
mencegah gangguan fungsi organ vital.(9)
1. Preeklampsia Ringan
Istirahat di tempat tidur merupakan terapi utama dalam penanganan
preeklampsia ringan. Istirahat dengan berbaring pada sisi tubuh menyebabkan
aliran darah ke plasenta dan aliran darah ke ginjal meningkat, tekanan vena
pada ekstrimitas bawah juga menurun dan reabsorpsi cairan di daerah tersebut
juga bertambah. Selain itu dengan istirahat di tempat tidur mengurangi

22
kebutuhan volume darah yang beredar dan juga dapat menurunkan tekanan
darah dan kejadian edema.Penambahan aliran darah ke ginjal akan
meningkatkan filtrasi glomeruli dan meningkatkan dieresis. Diuresis dengan
sendirinya meningkatkan ekskresi natrium, menurunkan reaktivitas
kardiovaskuler, sehingga mengurangi vasospasme. Peningkatan curah jantung
akan meningkatkan pula aliran darah rahim, menambah oksigenasi plasenta,
dan memperbaiki kondisi janin dalam rahim.(3,9)
Pada preeklampsia tidak perlu dilakukan restriksi garam sepanjang fungsi
ginjal masih normal. Pada preeklampsia ibu hamil umumnya masih muda,
berarti fungsi ginjal masih bagus, sehingga tidak perlu restriksi garam. Diet
yang mengandung 2 gram natrium atau 4-6 gram NaCl (garam dapur) adalah
cukup. Kehamilan sendiri lebih banyak membuang garam lewat ginjal, tetapi
pertumbuhan janin justru membutuhkan komsumsi lebih banyak garam. Bila
komsumsi garam hendak dibatasi, hendaknya diimbangi dengan komsumsi
cairan yang banyak, berupa susu atau air buah. Diet diberikan cukup protein,
rendah karbohidrat, lemak, garam secukupnya dan roboransia prenatal. Tidak
diberikan obat-obat diuretik antihipertensi, dan sedative. Dilakukan
pemeriksaan laboratorium HB, hematokrit, fungsi hati, urin lengkap dan fungsi
ginjal.Apabila preeklampsia tersebut tidak membaik dengan penanganan
konservatif, maka dalam hal ini pengakhiran kehamilan dilakukan walaupun
janin masih prematur.(3,9)
Rawat inap
Keadaan dimana ibu hamil dengan preeklampsia ringan perlu dirawat di
rumah sakit ialah a) Bila tidak ada perbaikan : tekanan darah, kadar proteinuria
selama 2 minggu b) adanya satu atau lebih gejala dan tanda-tanda preeklampsia
berat. Selama di rumah sakit dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
laboratorik. Pemeriksaan kesejahteraan janin berupa pemeriksaan USG dan
Doppler khususnya untuk evaluasi pertumbuhan janin dan jumlah cairan
amnion. Pemeriksaan nonstress test dilakukan 2 kali seminggu dan konsultasi
dengan bagian mata, jantung dan lain lain.(9)
Perawatan obstetrik yaitu sikap terhadap kehamilannya

23
Menurut Williams, kehamilan preterm ialah kehamilan antara 22 minggu
sampai ≤ 37 minggu. Pada kehamilan preterm (<37 minggu) bila tekanan darah
mencapai normal, selama perawatan, persalinannya ditunggu sampai aterm.
Sementara itu, pada kehamilan aterm (>37 minggu), persalinan ditunggu
sampai terjadi onset persalinan atau dipertimbangkan untuk melakukan induksi
persalinan pada taksiran tanggal persalinan. Persalinan dapat dilakukan secara
spontan, bila perlu memperpendek kala II.(9)

2. Preeklampsia Berat
Pada pasien preeklampsia berat segera harus diberi sedativa yang kuat
untuk mencegah timbulnya kejang. Apabila sesudah 12-24 jam bahaya akut
sudah diatasi, tindakan selanjutnya adalah cara terbaik untuk menghentikan
kehamilan.(3)
Preeklampsia dapat menyebabkan kelahiran awal atau komplikasi pada
neonatus berupa prematuritas. Resiko fetus diakibatkan oleh insufisiensi
plasenta baik akut maupun kronis. Pada kasus berat dapat ditemui fetal distress
baik pada saat kelahiran maupun sesudah kelahiran.(9)
Pengelolaan preeklampsia dan eklampsia mencakup pencegahan kejang,
pengobatan hipertensi, pengelolaan cairan, pelayanan supportif terhadap
penyulit organ yang terlibat, dan saat yang tepat untuk persalinan.Pemeriksaan
sangat teliti diikuti dengan observasi harian tentang tanda tanda klinik berupa :
nyeri kepala, gangguan visus, nyeri epigastrium dan kenaikan cepat berat
badan. Selain itu perlu dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran
proteinuria, pengukuran tekanan darah, pemeriksaan laboratorium, dan
pemeriksaan USG dan NST.(9)
Perawatan preeklampsia berat sama halnya dengan perawatan
preeklampsia ringan, dibagi menjadi dua unsur yakni sikap terhadap
penyakitnya, yaitu pemberian obat-obat atau terapi medisinalis dan sikap
terhadap kehamilannya ialah manajemen agresif, kehamilan diakhiri
(terminasi) setiap saat bila keadaan hemodinamika sudah stabil.(9)
Medikamentosa

24
Penderita preeklampsia berat harus segera masuk rumah sakit untuk
rawat inap dan dianjurkan tirah baring miring ke satu sisi (kiri). Perawatan
yang penting pada preeklampsia berat ialah pengelolaan cairan karena
penderita preeklampsia dan eklampsia mempunyai resiko tinggi untuk
terjadinya edema paru dan oligouria. Sebab terjadinya kedua keadaan tersebut
belum jelas, tetapi faktor yang sangat menentukan terjadinya edema paru dan
oligouria ialah hipovolemia, vasospasme, kerusakan sel endotel, penurunan
gradient tekanan onkotik koloid/pulmonary capillary wedge pressure. Oleh
karena itu monitoring input cairan (melalui oral ataupun infuse) dan output
cairan (melalui urin) menjadi sangat penting. Artinya harus dilakukan
pengukuran secara tepat berapa jumlah cairan yang dimasukkan dan
dikeluarkan melalui urin. Bila terjadi tanda tanda edema paru, segera dilakukan
tindakan koreksi. Cairan yang diberikan dapat berupa a) 5% ringer dextrose
atau cairan garam faal jumlah tetesan:<125cc/jam atau b) infuse dekstrose 5%
yang tiap 1 liternya diselingi dengan infuse ringer laktat (60-125 cc/jam) 500
cc.(9)
Di pasang foley kateter untuk mengukur pengeluaran urin. Oligouria
terjadi bila produksi urin < 30 cc/jam dalam 2-3 jam atau < 500 cc/24 jam.
Diberikan antasida untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak
kejang, dapat menghindari resiko aspirasi asam lambung yang sangat asam.
Diet yang cukup protein, rendah karbohidrat, lemak dan garam.(9)

Pemberian obat antikejang(9)


MgSO4
Pemberian magnesium sulfat sebagai antikejang lebih efektif dibanding
fenitoin, berdasar Cochrane review terhadap enam uji klinik yang melibatkan
897 penderita eklampsia.
Magnesium sulfat menghambat atau menurunkan kadar asetilkolin pada
rangsangan serat saraf dengan menghambat transmisi neuromuskular.
Transmisi neuromuskular membutuhkan kalsium pada sinaps. Pada pemberian
magnesium sulfat, magnesium akan menggeser kalsium, sehingga aliran
rangsangan tidak terjadi (terjadi kompetitif inhibition antara ion kalsium dan

25
ion magnesium). Kadar kalsium yang tinggi dalam darah dapat menghambat
kerja magnesium sulfat. Magnesium sulfat sampai saat ini tetap menjadi
pilihan pertama untuk antikejang pada preeklampsia atau eklampsia.
Cara pemberian MgSO4
- Loading dose : initial dose 4 gram MgSO4: intravena, (40 % dalam 10 cc)
selama 15 menit
- Maintenance dose :Diberikan infuse 6 gram dalam larutan ringer/6 jam; atau
diberikan 4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya maintenance dose diberikan 4
gram im tiap 4-6 jam
Syarat-syarat pemberian MgSO4
- Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium
glukonas 10% = 1 gram (10% dalam 10 cc) diberikan iv 3 menit
- Refleks patella (+) kuat
- Frekuensi pernafasan > 16x/menit, tidak ada tanda tanda distress nafas
Dosis terapeutik dan toksis MgSO4
- Dosis terapeutik : 4-7 mEq/liter atau 4,8-8,4 mg/dl
- Hilangnya reflex tendon 10 mEq/liter atau 12 mg/dl
- Terhentinya pernafasan 15 mEq/liter atau 18 mg/dl
- Terhentinya jantung >30 mEq/liter atau > 36 mg/dl
Magnesium sulfat dihentikan bila ada tanda tanda intoksikasi atau setelah
24 jam pascapersalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir. Pemberian
magnesium sulfat dapat menurunkan resiko kematian ibu dan didapatkan 50 %
dari pemberiannya menimbulkan efek flushes (rasa panas)
Contoh obat-obat lain yang dipakai untuk antikejang yaitu diazepam atau
fenitoin (difenilhidantoin), thiopental sodium dan sodium amobarbital. Fenitoin
sodium mempunyai khasiat stabilisasi membrane neuron, cepat masuk jaringan
otak dan efek antikejang terjadi 3 menit setelah injeksi intravena. Fenitoin
sodium diberikan dalam dosis 15 mg/kg berat badan dengan pemberian
intravena 50 mg/menit. Hasilnya tidak lebih baik dari magnesium sulfat.
Pengalaman pemakaian fenitoin di beberapa senter di dunia masih sedikit.
Diuretikum

26
Diuretikum tidak diberikan secara rutin, kecuali bila ada edema paru-
paru, payah jantung kongestif atau anasarka. Diuretikum yang dipakai ialah
furosemida. Pemberian diuretikum dapat merugikan, yaitu memperberat
hipovolemia, memperburuk perfusi uteroplasenta, meningkatkan
hemokonsentrasi, memnimbulkan dehidrasi pada janin, dan menurunkan berat
janin.
Antihipertensi
Masih banyak pendapat dari beberapa negara tentang penentuan batas
(cut off) tekanan darah, untuk pemberian antihipertensi. Misalnya Belfort
mengusulkan cut off yang dipakai adalah ≥ 160/110 mmhg dan MAP ≥ 126
mmHg.
Di RSU Dr. Soetomo Surabaya batas tekanan darah pemberian
antihipertensi ialah apabila tekanan sistolik ≥180 mmHg dan/atau tekanan
diastolik ≥ 110 mmHg. Tekanan darah diturunkan secara bertahap, yaitu
penurunan awal 25% dari tekanan sistolik dan tekanan darah diturunkan
mencapai < 160/105 atau MAP < 125. Jenis antihipertensi yang diberikan
sangat bervariasi. Obat antihipertensi yang harus dihindari secara mutlak yakni
pemberian diazokside, ketanserin dan nimodipin.
Jenis obat antihipertensi yang diberikan di Amerika adalah hidralazin
(apresoline) injeksi (di Indonesia tidak ada), suatu vasodilator langsung pada
arteriole yang menimbulkan reflex takikardia, peningkatan cardiac output,
sehingga memperbaiki perfusi uteroplasenta. Obat antihipertensi lain adalah
labetalol injeksi, suatu alfa 1 bocker, non selektif beta bloker. Obat-obat
antihipertensi yang tersedia dalam bentuk suntikan di Indonesia ialah clonidin
(catapres). Satu ampul mengandung 0,15 mg/cc. Klonidin 1 ampul dilarutkan
dalam 10 cc larutan garam faal atau larutan air untuk suntikan.

Antihipertensi lini pertama


- Nifedipin. Dosis 10-20 mg/oral, diulangi setelah 30 menit, maksimum 120
mg dalam 24 jam

27
Antihipertensi lini kedua
- Sodium nitroprussida : 0,25µg iv/kg/menit, infuse ditingkatkan 0,25µg
iv/kg/5 menit.
- Diazokside : 30-60 mg iv/5 menit; atau iv infuse 10 mg/menit/dititrasi.
Kortikosteroid
Pada preeklampsia berat dapat terjadi edema paru akibat kardiogenik
(payah jantung ventrikel kiri akibat peningkatan afterload) atau non
kardiogenik (akibat kerusakan sel endotel pembuluh darah paru). Prognosis
preeclampsia berat menjadi buruk bila edema paru disertai oligouria.
Pemberian glukokortikoid untuk pematangan paru janin tidak merugikan
ibu. Diberikan pada kehamilan 32-34 minggu, 2x 24 jam. Obat ini juga
diberikan pada sindrom HELLP.
Sikap terhadap kehamilannya
Berdasar William obstetrics, ditinjau dari umur kehamilan dan
perkembangan gejala-gejala preeclampsia berat selama perawatan, maka sikap
terhadap kehamilannya dibagi menjadi:
1. Aktif : berarti kehamilan segera diakhiri/diterminasi bersamaan dengan
pemberian medikamentosa.
2. Konservatif (ekspektatif): berarti kehamilan tetap dipertahankan bersamaan
dengan pemberian medikamentosa.
Perawatan konservatif
Indikasi perawatan konservatif ialah bila kehamilan preterm ≤ 37 minggu
tanpa disertai tanda –tanda impending eklampsia dengan keadaan janin baik.
Diberi pengobatan yang sama dengan pengobatan medikamentosa pada
pengelolaan secara aktif. Selama perawatan konservatif, sikap terhadap
kehamilannya ialah hanya observasi dan evaluasi sama seperti perawatan aktif,
kehamilan tidak diakhiri. Magnesium sulfat dihentikan bila ibu sudah mencapai
tanda-tanda preeclampsia ringan, selambat-lambatnya dalam waktu 24 jam.
Bila setelaah 24 jam tidak ada perbaikan keadaan ini dianggap sebagai
kegagalan pengobatan medikamentosa dan harus diterminasi. Penderita boleh

28
dipulangkan bila penderita kembali ke gejala-gejala atau tanda tanda
preeklampsia ringan.
Perawatan aktif
Indikasi perawatan aktif bila didapatkan satu atau lebih keadaan di bawah
ini, yaitu:
Ibu
1. Umur kehamilan ≥ 37 minggu
2. Adanya tanda-tanda/gejala-gejala impending eklampsia
3. Kegagalan terapi pada perawatan konservatif, yaitu: keadaan klinik dan
laboratorik memburuk
4. Diduga terjadi solusio plasenta
5. Timbul onset persalinan, ketuban pecah atau perdarahan
Janin
1. Adanya tanda-tanda fetal distress
2. Adanya tanda-tanda intra uterine growth restriction
3. NST nonreaktif dengan profil biofisik abnormal
4. Terjadinya oligohidramnion
Laboratorik
1. Adanya tanda-tanda “sindroma HELLP” khususnya menurunnya trombosit
dengan cepat

I. PENCEGAHAN
Pemeriksaan antenatal yang teratur dan teliti dapat menemukan tanda-tanda
dini preeklampsia, dalam hal ini harus dilakukan penanganan preeklampsia
tersebut. Walaupun preeklampsia tidak dapat dicegah seutuhnya, namun frekuensi
preeklampsia dapat dikurangi dengan pemberian pengetahuan dan pengawasan
yang baik pada ibu hamil.(3)

Pengetahuan yang diberikan berupa tentang manfaat diet dan istirahat yang
berguna dalam pencegahan. Istirahat tidak selalu berarti berbaring, dalam hal ini
yaitu dengan mengurangi pekerjaan sehari-hari dan dianjurkan lebih banyak

29
duduk dan berbaring. Diet tinggi protein dan rendah lemak, karbohidrat, garam
dan penambahan berat badan yang tidak berlebihan sangat dianjurkan.Mengenal
secara dini preeklampsia dan merawat penderita tanpa memberikan diuretika dan
obat antihipertensi merupakan manfaat dari pencegahan melalui pemeriksaan
antenatal yang baik.(3)

30
DAFTAR PUSTAKA

1. Pangemanan Wim T. Komplikasi Akut Pada Preeklampsia. Palembang.


Universitas Sriwijaya. 2002
2. Cunningham FG, Gant F.G, et all, William Manual of Obstetrics, 23st
Edition Boston, McGraw Hill, 2012
3. Universitas Sumatra Utara. Hubungan Antara Peeklampsia dengan BBLR.
Sumatera Utara. FK USU. 2009
4. Hartuti Agustina, dkk. Referat Preeklampsia. Purwokerto. Universitas
Jendral Sudirman. 2011
5. Simona Gabriella R. Tugas Obstetri dan Ginekologi, Patofisiologi
Preeklampsia. Maluku. Universitas Pattimura. 2009
6. Dharma Rahajuningsih, Noroyono Wibowo dan Hessyani Raranta.
Disfungsi Endotel pada Preeklampsia. Jakarta. Universitas Indonesia. 2005
7. Anonim. Hipertensi Dalam Kehamilan. (Cited at may, 17 2012)(update on
2005). Available From http://www.scribd.com
8. Universitas Sumatra Utara. Peeklampsia. Sumatera Utara. FK USU. 2007
9. Prawirohardjo Sarwono dkk. Ilmu Kebidanan, Hipertensi Dalam
Kehamilan. Jakarta. PT Bina Pustaka. 2010. Hal : 542-50\
10. Kusumawardhani, dkk. Pre Eklampsia Berat Dengan Syndrom Hellp,
IntraUterine Fetal Death , Presentasi Bokong, Pada Sekundigravida Hamil
PretermBelumDalam Persalinan. Universitas Negri Surakarta. 2009

31

Anda mungkin juga menyukai