Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ilmu kedokteran selalu berkembang selaras dengan perkembangan
masyarakat dan norma yang menatanya. Perkembangan ilmu kedokteran berkat
ketekunan kerja para ahlinya dalam mengenali penyakit dan pengobatannya,
berjalan bersama keingintahuan masyarakat tentang penyakit yang menimpanya.
Pelaksanaan praktek ilmu kedokteran dan kepentingan maasyarakat yang terkait
dengannya, mendorong berkembangnya aturan hukum yang mengatur hak dan
kewajiban keduanya saat berinteraksi, yang salah satunya adalah aturan hukum
mengenai autopsi (bedah mayat) klinis. 1
Ada satu hal yang perlu dikemukakan untuk meluruskan salah pengertian
yang sering dipakai banyak orang, yaitu menyamakan ilmu kedokteran forensik
dengan ilmu bedah mayat. Perkiraan demikian mungkin berangkat dari
kenyataan, bahwa bagian ilmu kedokteran forensik yang berada di rumah sakit
umumnya melayani pemeriksaan bedah mayat, atau karena dokter yang bekerja
di bagian kedokteran forensik tugas utamanya adalah melakukan bedah mayat. 2
Asosiasi pikiran demikian tidak benar, sebab ruang lingkup pelayanan ilmu
kedokteran forensik meliputi pemeriksaan orang hidup maupun pemeriksaan
jenazah dan pemeriksaan bahan yang berasal dari tubuh manusia seperti rambut,
kuku, cairan semen, darah, dan lain-lain untuk kepentingan penyidikan dan
pengadilan. Dalam kenyataan sehari-hari terlihat jumlah pemeriksaan korban
hidup yang dilayani dokter jauh lebih banyak dibanding pemeriksaan jenazah.
Oleh karena itu pemikiran bahwa ilmu kedokteran forensik sama dengan ilmu
bedah mayat, atau bagian kedokteran kehakiman sama dengan bagian bedah
mayat harus dikesampingkan. 2

1.2 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini dimaksud untuk lebih


mengetahui bahwa di zaman sekarang ini autopsi dan perkembangannya dalam
berbagai kepentingan dapat diketahui dari aspek tujuannya di dunia kedokteran.

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Autopsi

Autopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, yang meliputi


pemeriksaan terhadap bagian luar maupun dalam, dengan tujuan menemukan
proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atas penemuan-
penemuan tersebut, menerangkan penyebab kematian serta mencari hubungan
sebab akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan penyebab
kematian. 3,4,5
Istilah lain untuk autopsi adalah bedah mayat, seksi, nekropsi, obduksi,
pemeriksaan post-mortem dan istilah belanda lijkschouwing. 6

2.2 Aspek Medikolegal

Dalam mempelajari dan mendalami ilmu kedokteran forensik, terdapat


suatu hal yang spesifik untuk para dokter, yaitu mengetahui dan memahami
beberapa peraturan dan ketentuan hukum yang berhubungan dengan bantuan
kepada para penegak hukum. 2
Melalui pemahaman tentang beberapa ketentuan hukum ini, para dokter
dapat mengetahui tentang perannya dalam membantu penegak hukum,
memahami proses peradilan dan sistem pemeriksaan medikolegal dan peran
bantuan tersebut perlu dalam menegakkan hukum dan keadilan. Untuk itu perlu
diketahui beberapa ketentuan hukum yang berhubungan dengan jenis
pemeriksaan yang di lakukannya seperti penganiayaan, perlukaan, perkosaan,
pengguguran kandungan, pembunuhan anak dan lain-lain agar bantuannya
menjadi tepat guna. 2
Beberapa ketentuan hukum yang menyangkut tentang tindakan
pembedahan mayat (autopsi), yaitu : 3,5
 KUHAP pasal 133
(1). Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang
korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa
yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan

2
keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau
ahli lainnya.
(2). Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan secara tertulis, yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas
untuk pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau bedah mayat.
(3). Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada
rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan
terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat,
dilak dan dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki
atau bagian lain badan mayat.

 KUHAP pasal 134


(1). Dalam hal sangat diperlukan di mana untuk keperluan pembuktian
bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib
memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban.
(2). Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan
sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukan pembedahan
tersebut.
(3). Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga
atau pihak yang perlu diberitahu tidak diketemukan, penyidik segera
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat (3)
undang-undang.

 KUHAP pasal 179


(1). Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli kedokteran
kehakiman atau dokter ahli lainnya wajib memberikan keterangan ahli
demi keadilan.
(2). Semua ketentuan tersebut di atas untuk saksi berlaku juga bagi mereka
yang memberikan keterangan ahli, dengan ketentuan bahwa mereka
mengucapkan sumpah atau janji akan memberikan keterangan yang
sebaik-baiknya dan yang sebenarnya menurut pengetahuan dalam bidang
keahliannya.

3
 KUHP pasal 222
Barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau
menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan, dihukum dengan
hukuman penjara dengan selama-lamanya 9 bulan atau denda sebanyak-
banyaknya tiga ratus rupiah.

 Instruksi Kapolri No:Ins/E/20/IX/75,


Pasal 3 : Dengan visum et repertum atas mayat, berarti mayat harus dibedah.
Sama sekali tidak dibenarkan mengajukan permintaan visum atas mayat
berdasarkan pemeriksaan luar saja. 2
Pasal 6 : Bila ada keluarga korban/mayat keberatan jika diadakan bedah
mayat, maka adalah kewajiban polisi dan pemeriksa untuk secara persuasif
memberikan penjelasan tentang perlunya dan pentingnya autopsi untuk
kepentingan penyidikan. Kalau perlu bahkan ditegakkannya pasal 222 KUHP.2

 Fatwa Kedokteran (Majelis Ulama Indonesia) :


Di samping soal teknis metodologi, terbukti pula bahwa Ulama Indonesia
dalam merumuskan dan menetapkan fatwa terikat oleh beberapa faktor. Pada
umumnya setiap fatwa atas satu isu terikat oleh beberapa faktor atau ciri, salah
satunya yaitu berkaitan dengan lebih mementingkan kebutuhan orang hidup
daripada kehormatan orang mati. Fatwa tentang bolehnya donor organ,
transplantasi organ manusia, bedah mayat untuk pendidikan dan pengadilan,
dan autopsi terkait dengan faktor ini. 3

2.3 Jenis Autopsi Berdasarkan Tujuan

1. Autopsi Anatomi
Dilakukan untuk keperluan pendidikan mahasiswa fakultas kedokteran.
Bahan yang dipakai adalah mayat yang dikirim ke rumah sakit yang setelah
disimpan 2 x 24 jam di laboratorium ilmu kedokteran kehakiman tidak ada
ahli waris yang mengakuinya. Setelah diawetkan di laboratorium anatomi,
mayat disimpan sekurang-kurangnya satu tahun sebelum digunakan untuk
praktikum anatomi. Menurut hukum, hal ini dapat dipertanggung jawabkan
sebab warisan yang tak ada yang mengakuinya menjadi milik negara setelah

4
tiga tahun (KUHPerdata pasal 1129). Ada kalanya, seseorang mewariskan
mayatnya setelah ia meninggal pada fakultas kedokteran, hal ini haruslah
sesuai dengan KUHPerdata pasal 935. 6
KUHPerdata pasal 935 ;
Dengan surat di bawah tangan, yang ditulis seluruhnya, ditanggali dan di
tandatangani oleh si pewaris, maka dengan tiada syarat tertib lain,
diperbolehkan seorang mengambil ketetapan untuk dilaksananakan setelah
meninggalnya, akan tetapi hanya dan semata-mata untuk pengangkatan para
pelaksana, penyelenggaraan penguburan, untuk mengibah-wasiatkan pakaian,
van lijfstoebehoren, perhiasan badan tertentu dan mebel istimewa. 6

2. Autopsi Klinik
Dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga terjadi akibat suatu
penyakit. Tujuannya untuk menentukan penyebab kematian yang pasti,
menganalisa kesesuaian antara diagnosis klinis dan diagnosis postmortem
(diagnosis setelah autopsi), pathogenesis penyakit, dan sebagainya. 6,7
Tujuan dilakukannya Autopsi klinik adalah untuk: 7
 Menentukan sebab kematian yang pasti.
 Menentukan apakah diagnosis klinik yang dibuat selama perawatan
sesuai dengan diagnosis postmortem.
 Mengetahui korelasi proses penyakit yang ditemukan dengan diagnosis
klinis dan gejala-gejala klinik.
 Menentukan efektifitas pengobatan.
 Mempelajari perjalanan lazim suatu proses penyakit.
 Pendidikan para mahasiswa kedokteran dan para dokter.

Autopsi klinis dilakukan dengan persetujuan tertulis ahli waris, ada


kalanya ahli waris sendiri yang memintanya. Sebaiknya autopsi dilakukan
secara lengkap. Autopsi klinik yang lengkap, meliputi pembukaan rongga
tengkorak, dada dan perut/panggul, serta melakukan pemeriksaan terhadap
seluruh alat-alat dalam/organ, juga dilengkapi dengan pemeriksaan
histopatologi, bakteriologi, seriologi, dan lain-lain. Bila pihak keluarga
berkeberatan untuk dilakukannya autopsi klinik lengkap, masih dapat

5
diusahakan untuk melakukan autopsi klinik parsial, yaitu yang terbatas pada
satu atau dua rongga badan. Apabila ini masih ditolak, kiranya dapat
diusahakan dilakukannya suatu needle autopsi terhadap organ tubuh tertentu,
untuk kemudian dilakukan pemeriksaan histopatologik. Hasil autopsi klinis
dengan persetujuan tertulis ahli waris dapat diminta untuk dijadikan visum et
repertum atas permohonan penyidik. 6

Autopsi klinis ini ditetapkan dengan keputusan Menteri Pertahanan


Keamanan/Panglima Angkatan Bersenjata No.Kep/b/20/V/1972, dan memuat
antara lain: 6
I. Anggota ABRI adalah:
a. Militer sukarela dan atau wajib militer yang berdinas aktif dalam
TNI Angkatan Darat, TNI Angkatan Laut, TNI Angkatan Udara,
dan Kepolisian RI.
b. Taruna Akabri bagian Darat, Laut, Udara, dan Kepolisian
II. Bedah mayat klinis tidak diperlukan persetujuan anggota ABRI yang
bersangkutan sebelum meninggal atau keluarga yang terdekat, bila:
a. Anggota ABRI yang meninggal dan keluarganya tidak dikenal atau
tidak mempunyai keluarga sama sekali dan yang biaya
pemakamannya ditanggung sepenuhnya oleh ABRI.
b. Anggota ABRI meninggal selama mengikuti suatu latihan
kemiliteran atau dalam waktu 48 jam (empat puluh delapan jam)
setelah latihan dihentikan dan diduga atau patut diduga bahwa
kematian itu ada hubungannya dengen latihan tersebut.
c. Anggota ABRI meninggal sebagai akibat suatu kecelakaan yang
sebabnya diduga atau patut diduga ditimbulkan oleh keadaan
kesehatan anggota ABRI yang meninggal tersebut.
III. Bedah mayat diperlukan persetujuan anggota ABRI yang bersangkutan
sebelum meninggal atau keluarga yang terdekat, bila:
a. Anggota ABRI meninggal di rumah sakit dalam waktu 48 jam
(empat puluh delapan) setelah saat masuknya di rumah sakit
tersebut (admission).
b. Anggota ABRI meninggal di rumah sakit dan diagnosanya tidak
diketahui dengan tepat dan atau penyakitnya berdasarkan

6
penetapan dokter/para dokter yang merawatnya, mengandung
bahaya bagi orang lain.
c. Anggota ABRI meninggal karena sebab yang diduga atau patut
diduga merupakan akibat kedinasan, di luar yang dimaksud dalam
IIb dan IIc.

Autopsi klinis adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan cara


pembedahan terhadap mayat untuk mengetahui dengan pasti penyakit atau
kelainan yang menjadi sebab kematian dan untuk penilaian usaha pemulihan
kesehatan. 1
Pelaksanaan autopsi klinis akan membawa manfaat bagi keluarga,
institusi penyelenggara pelayanan kesehatan dan individu di dalamnya, serta
membawa manfaat bagi masyarakat luas. 1
a. Bagi keluarga manfaat yang diperoleh antara lain:
 Diperolehnya informasi mengenai adanya kemungkinan
kelainan genetik atau kelainan yang sifatnya diturunkan pada
generasi berikutnya dalam garis keluarga.
 Menghormati penyebab kematian, dan memantau adanya
kemungkinan kelalaian medik dalam pelayanan.
 Berpartisipasi dalam pendidikan dan penelitian kedokteran.
b. Bagi institusi penyelenggara pelayanan kesehatan manfaat yang
diperoleh adalah:
 Mengkonfirmasi diagnosa klinis yang dibuat selama
pengobatan dan perawatan.
 Mengetahui asal penyakit dan perjalanan penyakit yang diderita
pasien.
 Mendidik dokter dan perawat hingga pada gilirannya
meningkatkan kualitas pelayanan.
 Merancang obat dan pengobatan yang efektif.
 Mengidentifikasi berbagai akibat dari pengobatan.

c. Bagi masyarakat, manfaat yang diperoleh adalah:


 Mengevaluasi teknologi pemeriksaan kedokteran yang baru.

7
 Menilai efektifitas metode pengobatan yang diberikan pada
pasien.
 Menyelidiki adanya penyakit terkait kondisi lingkungan atau
lingkungan kerja atau lingkungan tinggal.

Berbeda dengan autopsi forensik yang bersifat suatu keharusan untuk


dilaksanakan demi undang-undang, autopsi klinis hanya boleh dilakukan
dalam keadaan: 1
 Dengan persetujuan tertulis pasien atau keluarganya yang terdekat
setelah penderita meninggal dunia, apabila sebab kematiannya belum
dapat ditentukan dengan pasti. Yang dimaksud dengan keluarga
terdekat adalah istri, suami, ibu, bapak atau saudara seibu-sebapak
(sekandung) dari penderita dan saudara ibu, saudara bapak serta anak
yang telah dewasa dari penderita dengan mempertimbangkan urutan
kedekatannya menurut hukum.
 Tanpa persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila
diduga penderita menderita penyakit yang dapat membahayakan orang
lain atau masyarakat sekitarnya.
 Tanpa persetujuan penderita atau keluarganya yang terdekat, apabila
dalam jangka waktu 2 x 24 jam (dua kali dua puluh empat jam) tidak
ada keluarga terdekat dari yang meninggal dunia datang ke rumah
sakit.

Autopsi klinis hanya boleh dilakukan tenaga kesehatan yang


mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu dan dengan memperhatikan
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, dan harus dilakukan di dalam
ruangan/instalasi rumah sakit yang disiapkan untuk kebutuhan itu. 1
Autopsi klinis harus dilakukan sesuai dengan standar pemeriksaan
autopsi dengan membuka rongga kepala, dada dan perut, serta melakukan
pemeriksaan-pemeriksaan penunjang untuk menentukan sebab kematian. Pada
autopsi klinis, secara prosedur, bilamana dipandang perlu, sebagian kecil
organ akan diambil untuk kepentingan pemeriksaan penunjang. Tidak

8
lengkapnya pelaksanaan prosedur autopsi klinis akan berakibat tidak dapat
ditentukannya sebab kematian. 1
Autopsi klinis dilaksanakan setelah adanya permintaan dan persetujuan
tertulis dari pasien sendiri sebelum meninggal, atau dari keluarga terdekatnya,
atau yang mewakilinya secara hukum. Permintaan autopsi klinis juga dapat
diajukan oleh institusi penyelenggara pelayanan kesehatan (puskesmas, rumah
sakit, klinik, atau penyelenggara pelayanan kesehatan resmi yang lain),
institusi pendidikan dan penelitian, atau dari otorita kesehatan RI dengan
persetujuan dari pasien sendiri atau keluarga dekatnya atau yang mewakilinya
secara hukum. 1
Hasil autopsi klinis dituangkan dalam sebuah laporan autopsi yang
dimasukkan dalam rekam medis, dan dapat diketahui oleh keluarganya dan
pihak peminta autopsi klinis dengan mengingat batasan aturan mengenai
rekam medis yang tercantum dalam permenkes 269/MENKES/PER/III/2008
tentang rekam medis. 1
Laporan autopsi adalah dokumen medik, yang bilamana dipandang
perlu, maka dokumen medik ini dapat dijadikan alat bukti di persidangan,
sesuai pasal 184 dan 187 KUHP. 1
Pelaksanaan autopsi klinis dalam praktek kedokteran secara hukum
berpijak pada landasan: 1
 Undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan.
 Undang-undang nomor 29 tahun2004 tentang praktek kedokteran.
 Peraturan pemerintah nomor 18 tahun 1981 tentang bedah mayat
klinis dan bedah mayat anatomis serta transplantasi alat dan atau
jaringan tubuh manusia.
 Peraturan pemerintah nomor 39 tahun 1995 tentang penelitian dan
pengembangan kesehatan.

Hasil autopsi klinis bila akan digunakan untuk kepentingan peradilan,


harus diberitahukan pada dokter yang membuat laporan autopsi. Hal ini
dimaksudkan agar dokter dapat merumuskan laporan autopsi hingga mampu
membantu memberikan kejelasan antara hal yang diragukan atau

9
disengketakan, dan dengan demikian laporan autopsi tersebut dapat diterima
dan digunakan di persidangan. 1
Bagian kesimpulan dari laporam autopsi berisi opini atau pendapat
ahli, sehingga pihak keluarga atau kuasa hukumnya boleh meminta pendapat
ahli (second opinion) pada dokter dengan kualifikasi yang sama atau lebih
tinggi, atau bila dipandang perlu dapat dimintakan pada dokter dengan bidang
spesialisasi yang berbeda. Dalam meramu sebuah kesimpulan laporan autopsi
yang akan digunakan untuk kepentingan peradilan, maka seorang dokter
forensik akan menggabungkan metode berpikir dunia kedokteran dan hukum
agar dapat dihasilkan suatu opini kritis yang berguna untuk kepentingan
peradilan. 1

3. Autopsi Forensik/Medikolegal
Dilakukan terhadap mayat seseorang yang diduga meninggal akibat
suatu sebab yang tidak wajar seperti pada kasus kecelakaan, pembunuhan,
maupun bunuh diri. Autopsi ini dilakukan atas permintaan penyidik
sehubungan dengan adanya penyidikan suatu perkara. Hasil pemeriksaan
adalah temuan obyektif pada korban, yang diperoleh dari pemeriksaan medis.
Tujuan dari autopsi medikolegal adalah : 3,4,5,6
 Untuk memastikan identitas seseorang yang tidak diketahui atau
belum jelas.
 Untuk menentukan sebab pasti kematian, mekanisme kematian/
cara kematian (kecelakaan, bunuh diri, atau pembunuhan), dan saat
kematian.
 Untuk mengumpulkan dan memeriksa tanda bukti untuk penentuan
identitas benda penyebab dan pelaku kejahatan.
 Membuat laporan tertulis yang objektif berdasarkan fakta dalam
bentuk visum et repertum.
 Pada kasus bayi baru lahir adalah untuk memastikan apakah bayi
dilahirkan hidup atau tidak.

Kata bedah mayat (autopsi) kehakiman terdapat dalam KUHAP pasal


133, KUHP pasal 222, Catatan Sipil Eropa, Catatan Sipil Cina pasal 80 dan

10
stbl. 1871 No.91. Autopsi kehakiman mutlak harus dikerjakan atas dasar
pemeriksaan luar dan pemeriksaan dalam mayat. Tata laksana autopsi
kehakiman di RSUD Dr.Soetomo, Surabaya: yang pertama-tama menghadapi
keluarga mayat adalah petugas ruang jenazah. Petugas tersebut harus memberi
penjelasan mengenai adanya permohonan visum et repertum mayat dan oleh
karena itu mayat harus dibedah. Biasanya, pihak keluarga mengajukan
berbagai keberatan antara lain alasan agama. Sebenarnya tidak ada satu agama
pun yang melarang autopsi termasuk agama islam yang dinyatakan dalam
Keputusan Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’ Kementrian
Kesehatan RI. 6

Fatwa No.4/1955: 6
I. Bedah mayat itu mubah/boleh hukumnya untuk kepentingan ilmu
pengetahuan, pendidikan dokter, dan penegakan keadilan di antara
umat manusia.
II. Membatasi kemubahan ini sekadar darurat saja menurut kadar yang
tidak boleh tidak harus dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan
tersebut.

Secara yuridis, persetujuan keluarga mayat tidak diperlukan seperti


telah ditentukan dalam stbl.1871/91. Karena dokter hanya merupakan
pelaksana permohonan penyidik untuk melakukan autopsi, maka keluarga
mayat dipersilahkan mengajukan keberatannya kepada penyidik. Siapa dari
penyidik yang berwenang mencabut surat permohonan visum et repertum
mayat, ditentukan dalam instruksi kapolri No. Pol: INS/E/20/IX/75. 6
Jika permohonan keluarga mayat agar mayat tidak dilakukan autopsi
dikabulkan, berarti terhadap mayat tidak dilakukan pemeriksaan sama sekali,
dokter hanya menentukan korban benar-benar sudah meninggal dan kepada
keluarga korban diberikan surat untuk penguburan. 6
Penyidik sedapatnya harus mengusahakan supaya autopsi dapat
dikerjakan secepatnya, karena iklim tropik yang panas mempercepat
pembusukan yang sangat menyukarkan pemeriksaan bedah mayat. Sebelum
dokter melakukan autopsi, penyidik harus memberi cukup keterangan
mengenai peristiwa kepada dokter supaya pemeriksaan dapat ditujukan pada

11
pemeriksaan tertentu dan ini hanya dapat dicapai bila ada kerja sama yang baik
antara penyidik dan dokter. 6
Autopsi yang perlu mendapat perhatian pimpinan kepolisisan adalah
autopsi terhadap seorang yang meninggal dalam tahanan polisi, sedangkan
sewaktu ia ditahan keadaannya adalah sehat walafiat. Pendapat
Prof.M.Soetedjo Mertodidjojo ini perlu dilaksanakan. 6
Dengan adanya visum et repertum mayat, masyarakat dapat
mengetahui apakah orang tahanan itu meninggal secara wajar, sakit TBC dan
hati (liver, lever) atau meninggal karena ruda paksa, penganiayaan. 6

2.4 Sistem Pemeriksaan Medikolegal

Bila ada korban yang meninggal akibat pembunuhan, bunuh diri atau mati
yang mencurigakan sebabnya, maka diperlukan bantuan ahli untuk
memeriksanya. Bagaimana keterlibatan dokter diperlukan untuk memeriksa
korban, tergantung dari sistem yang dipakai. Terdapat 3 sistem dalam menangani
korban tersebut, yaitu sistem coroner, sistem medical examiner dan sistem
kontinental. 2
1. Sistem coroner
Pada sistem coroner perlu tidaknya pemeriksaan bedah mayat
ditentukan oleh seorang coroner. Bila seorang coroner datang ke tempat
kejadian perkara melihat tidak ada kecurigaan sebab kematian korban, maka ia
meminta dokter mengeluarkan surat keterangan kematian. Sebaliknya ia
meminta dokter untuk melakukan pemeriksaan bedah mayat untuk mengetahui
sebab dan cara kematian korban. Sistem ini awalnya dipakai di inggris. Pada
mulanya coroner hanyalah petugas yang mewakili kerajaan (crown) dalam
membantu mengutip pajak di wilayah kekuasaannya. 2
Seorang coroner biasanya diangkat berdasarkan pemilihan di
daerahnya. Pada mulanya sebagai seorang coroner tidak diperlukan orang
yang mempunyai latar belakang pengetahuan di bidang hukum atau
kedokteran, tetapi dalam perkembangan selanjutnya seorang coroner lebih
sering dipilih dari kalangan yang memahami salah satu dari kedua bidang ini.
Sintem ini dipakai di inggeris dan di beberapa negara bagian amerika atau di
bekas jajahan inggeris. 2

12
2. Sistem medical examiner
Yang menentukan perlu tidaknya bedah mayat pada korban adalah
seorang medical examiner atau deputy-nya. Medical examiner adalah seorang
ahli patologi forensik. Pada setiap peristiwa kematian, medical examiner akan
datang ke tempat kejadian perkara, sementara pihak kepolisian hanya
mengamankan daerah sekitar kejadian yang telah diberi tanda dengan pita
kuning. Dengan sistem ini sebab dan cara kematian lebih mudah ditentukan,
sebab dokter mempunyai banyak bahan yang dapat dipakai sebagai petunjuk.
Biasanya pemeriksaan lebih lanjut dilakukan di medical examiner office atau
gedung pemeriksaan. Di dalam sistem atau kantor ini terdapat semua tim yang
diperlukan untuk menyelidiki peristiwa kriminal seperti pemeriksaan autopsi,
kimia forensik, toksikologi, balistik, sidik jari, fotografi, DNA dan lain-lain,
sistem ini umumnya dipakai di Amerika. 2
3. Sistem continental
Sistem continental adalah sistem yang umumnya dipakai di daratan
Eropa dan juga dianut di negara kita sebagai warisan penjajahan Belanda.
Pada sistem ini yang menentukan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan bedah
mayat adalah polisi (penyidik) atau dalam hukum acara pidana yang lama
(RIB) adalah magistrat (pegawai penuntut hukum). 2
Pada sistem ini orang yang mati karena kekerasan atau mencurigakan
sebabnya, dikirim oleh yang berwenang ke rumah sakit setempat, jadi pada
sistem ini umumnya dokter menunggu di rumah sakit. Hanya bila sangat
diperlukan saja dokter diminta datang ke tempat kejadian perkara sebagai
orang ahli yang diharapkan dapat memberikan pemeriksaan dan pendapatnya
secara medis. Sistem ini sampai sekarang masih dipakai di indonesia sebagai
peninggalan belanda. 2
Untuk melakukan suatu autopsi yang baik sebenarnya tidak diperlukan
alat yang mewah, cukup dengan alat yang sederhana saja. Berikut ini alat yang
dipergunakan tersebut: 8
1. Kamar autopsi
Guna kamar autopsi adalah agar dokter yang melakukan pemeriksaan
jenazah dapat melakukan tugasnya dengan tenang, tidak terganggu oleh
orang yang tidak berkepentingan atau yang ingin sekedar menonton saja.
Untuk keperluan ini tidak diperlukan suatu kamar khusus bila keadaan

13
setempat tidak memungkinkan. Cukup digunakan salah satu sudut kamar
jenazah misalnya, asal terdapat penerangan yang cukup. Bahkan “bedeng
darurat” yang didirikan di lapangan dekat dengan penggalian kubur pun
dapat digunakan.
2. Meja autopsi
Untuk meja autopsi pun, bila keadaan tidak memungkinkan, tidak perlu
menggunakan meja autopsi khusus yang stainless steel. Bila perlu dapat
digunakan kereta dorong mayat, atau meja darurat yang terbuat dari
beberapa helai papan saja. Yang perlu dipikirkan dalam hal meja autopsi
adalah adanya tempat penampungan darah yang keluar waktu
dilakukannya autopsi serta adanya air yang diperlukan untuk melakukan
pencucian bila perlu.
3. Peralatan autopsi
Yang diperlukan adalah pisau yang dapat digunakan untuk memotong
kulit serta organ dalam dan otak, gunting serta pinset bergigi untuk
melaksanakan pemeriksaan alat dalam tubuh. Disamping itu diperlukan
juga sebuah gergaji yang dapat digunakan untuk menggergaji tulang
tengkorak.
Untuk keperluan perawatan mayat setelah selesai autopsi. Sediakan
sebuah jarum jahit serta benang kasar untuk merapikan kembali mayat
yang telah diautopsi. Peralatan tambahan yang diperlukan adalah gelas
ukur untuk mengukur volume cairan/ darah yang ditemukan pada autopsi
serta semprit berikut jarum untuk pengambilan darah.
4. Peralatan untuk pemeriksaan tambahan
Perlu disediakan beberapa buah botol kecil yang terisi formalin 10% atau
alcohol 70-80% untuk keperluan pengambilan jaringan guna pemeriksaan
histopatologik, serta beberapa botol yang lebih besar untuk pengambilan
bahan guna pemeriksaan toksikologi, yang berisi bahan pemgawet yang
sesuai.
5. Peralatan tulis dan tofografi
Sediakan kertas atau formulir-formulir isian yang dipergunakan untuk
mencatat segala hasil pemeriksaan. Bila mungkin, sediakan pula peralatan
memotret yang dapat digunakan untuk pemotretan kelainan-kelainan
untuk keperluan dokumentasi atau identifikasi. 8

14
2.5 Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada autopsi :

Autopsi medikolegal dilakukan atas permintaan penyidik sehubungan


dengan adanya penyidikan suatu perkara. Hasil pemeriksaan adalah temuan
obyektif pada korban, yang diperoleh dari pemeriksaan medis. 5
1. Tempat untuk melakukan autopsi adalah pada kamar jenazah.
2. Autopsi hanya dilakukan jika ada permintaan untuk autopsi oleh pihak
yang berwenang.
3. Autopsi harus segera dilakukan begitu mendapat surat permintaan
untuk autopsi.
4. Hal-hal yang berhubungan dengan penyebab kematian harus
dikumpulkan dahulu sebelum memulai autopsi. Tetapi kesimpulan
harus berdasarkan temuan-temuan dari pemeriksaan fisik.
5. Pencahayaan yang baik sangat penting pada tindakan autopsi.
6. Identitas korban yang sesuai dengan pernyataan polisi harus dicatat
pada laporan. Pada kasus jenazah yang tidak dikenal, maka tanda-tanda
identifikasi, photo, sidik jari, dan lain-lain harus diperoleh.
7. Ketika dilakukan autopsi tidak boleh disaksikan oleh orang yang tidak
berwenang.
8. Pencatatan perincian pada saat tindakan autopsi dilakukan oleh asisten.
9. Pada laporan autopsi tidak boleh ada bagian yang dihapus.
10. Jenazah yang sudah membusuk juga bisa diautopsi. 5

2.6 Persiapan yang dilakukan sebelum melakukan autopsi adalah:

1. Melengkapi surat-surat yang berkaitan dengan autopsi yang akan dilakukan,


termasuk surat izin keluarga, surat permintaan pemeriksaan/pembuatan
visum et repertum.
2. Memastikan mayat yang akan diautopsi adalah mayat yang dimaksud dalam
surat tersebut.
3. Mengumpulkan keterangan yang berhubungan dengan terjadinya kematian
selengkap mungkin untuk membantu memberi petunjuk pemeriksaan dan
jenis pemeriksaan penunjang yang harus dilakukan.
4. Memastikan alat-alat yang akan dipergunakan telah tersedia. Untuk autopsi
tidak diperlukan alat-alat khusus dan mahal, cukup :

15
 Pisau bedah (Post mortem knife)
 Pisau pemotong tulang rawan (Cartilage knife)
 Pisau pemotong otak(Brain knife)
 Gunting usus(Intestinal scissor)
 Gunting bedah (Surgical scissor)
 Pinset
 Sonde tumpul
 Pemotong tulang(Bone forceps)
 Gergaji / gergaji listrik
 Martil dan pahat
 Timbangan mayat & timbangan organ
 Jarum jahit & benang
 Gelas ukur
 Meteran pengukur panjang
 Sarung tangan karet
 Botol mulut lebar dengan penutupnya
 Gelas objek & piring petri
 Baskom & ember
 Cairan pengawet
 Air yg cukup terutama mengalir.
 Meja autopsi
 Formalin 10%, alkohol 70-80%
 Peralatan tulis dan tofografi
5. Mempersiapkan format autopsi, hal ini penting untuk memudahkan dalam
pembuatan laporan autopsi. 5

16
Gambar 1. Kamar dan meja Autopsi

Gambar 2. Peralatan Autopsi

2.7 Jenis Pemeriksaan Autopsi

2.7.1 Pemeriksaan Luar

Bagian pertama dari teknik autopsi adalah pemeriksaan luar. Sistematika


pemeriksaan luar adalah : 1,2
1. Memeriksa label mayat (dari pihak kepolisian) yang biasanya diikatkan pada
jempol kaki mayat. Gunting pada tali pengikat, simpan bersama berkas

17
pemeriksaan. Catat warna, bahan, dan isi label selengkap mungkin. Sedangkan
label rumah sakit, untuk identifikasi di kamar jenazah, harus tetap ada pada
tubuh mayat.
2. Mencatat jenis/bahan, warna, corak, serta kondisi (ada tidaknya
bercak/pengotoran) dari penutup mayat.
3. Mencatat jenis/bahan, warna, corak, serta kondisi (ada tidaknya
bercak/pengotoran) dari bungkus mayat. Catat tali pengikatnya bila ada.
4. Mencatat pakaian mayat dengan teliti mulai dari yang dikenakan di atas sampai
di bawah, dari yang terluar sampai terdalam. Pencatatan meliputi bahan, warna
dasar, warna dan corak tekstil, bentuk/model pakaian, ukuran, merk penjahit,
cap binatu, monogram/inisial, dan tambalan/tisikan bila ada. Catat juga letak
dan ukuran pakaian bila ada tidaknya bercak/pengotoran atau robekan. Saku
diperiksa dan dicatat isinya.
5. Mencatat perhiasan mayat, meliputi jenis, bahan, warna, merek, bentuk serta
ukiran nama/inisial pada benda perhiasan tersebut.
6. Mencatat benda di samping mayat.
7. Mencatat perubahan tanatologi :
 Lebam mayat; letak/distribusi, warna, dan intensitas lebam.
 Kaku mayat; distribusi, derajat kekakuan pada beberapa sendi, dan ada
tidaknya spasme kadaverik.
 Suhu tubuh mayat; memakai termometer rektal dam dicatat juga suhu
ruangan pada saat tersebut.
 Pembusukan.
 Lain-lain; misalnya mumifikasi atau adiposera.
8. Mencatat identitas mayat, seperti jenis kelamin, bangsa/ras, perkiraan umur,
warna kulit, status gizi, tinggi badan, berat badan, disirkumsisi/tidak, striae
albicantes pada dinding perut.
9. Mencatat segala sesuatu yang dapat dipakai untuk penentuan identitas khusus,
meliputi rajah/tatoo, jaringan parut, kapalan, kelainan kulit, anomali dan cacat
pada tubuh.
10. Memeriksa distribusi, warna, keadaan tumbuh, dan sifat dari rambut. Rambut
kepala harus diperiksa, contoh rambut diperoleh dengan cara memotong dan
mencabut sampai ke akarnya, paling sedikit dari 6 lokasi kulit kepala yang

18
berbeda. Potongan rambut ini disimpan dalam kantungan yang telah ditandai
sesuai tempat pengambilannya.
11. Memeriksa mata, seperti apakah kelopak terbuka atau tertutup, tanda
kekerasan, kelainan. Periksa selaput lendir kelopak mata dan bola mata, warna,
cari pembuluh darah yang melebar, bintik perdarahan, atau bercak perdarahan.
Kornea jernih/tidak, adanya kelainan fisiologik atau patologik. Catat keadaan
dan warna iris serta kelainan lensa mata. Catat ukuran pupil, bandingkan kiri
dan kanan.
12. Mencatat bentuk dan kelainan/anomali pada daun telinga dan hidung.
13. Memeriksa bibir, lidah, rongga mulut, dan gigi geligi. Catat gigi geligi dengan
lengkap, termasuk jumlah, hilang/patah/tambalan, gigi palsu, kelainan letak,
pewarnaan, dan sebagainya.
14. Bagian leher diperiksa jika ada memar, bekas pencekikan atau pelebaran
pembuluh darah. Kelenjar tiroid dan getah bening juga diperiksa secara
menyeluruh.
15. Pemeriksaan alat kelamin dan lubang pelepasan. Pada pria dicatat kelainan
bawaan yang ditemukan, keluarnya cairan, kelainan lainnya. Pada wanita
dicatat keadaan selaput darah dan komisura posterior, periksa sekret liang
sanggama. Perhatikan bentuk lubang pelepasan, perhatikan adanya luka, benda
asing, darah dan lain-lain.
16. Perlu diperhatikan kemungkinan terdapatnya tanda perbendungan, ikterus,
sianosis, edema, bekas pengobatan, bercak lumpur atau pengotoran lain pada
tubuh.
17. Bila terdapat tanda-tanda kekerasan/luka harus dicatat lengkap. Setiap luka
pada tubuh harus diperinci dengan lengkap, yaitu perkiraan penyebab luka,
lokasi, ukuran, dll. Dalam luka diukur dan panjang luka diukur setelah kedua
tepi ditautkan. Lokalisasi luka dilukis dengan mengambil beberapa patokan,
antara lain : garis tengah melalui tulang dada, garis tengah melalui tulang
belakang, garis mendatar melalui kedua puting susu, dan garis mendatar
melalui pusat.
18. Pemeriksaan ada tidaknya patah tulang, serta jenis/sifatnya.

19
2.7.2 Pemeriksaan Dalam

Pemeriksaan dalam dilakukan dengan pembukaan semua ringga tubuh korban,


yaitu rongga kepala, dada, perut dan panggul. Mayat yang akan dibedah diletakkan
terlentang, bahu ditinggikan (diganjal) dengan sepotong balok kecil, sehingga kepala
akan berada dalam posisi fleksi maksimal dan bagian leher tampak dengan jelas.
Dalam posisi ini autopsi akan lebih mudah dilakukan. 2

2.7.2.1 Teknik Insisi

Pada beberapa keadaan tertentu, diperlukan berbagai prosedur khusus dalam


tindakan autopsi, antara lain : insisi ”Y”, insisi pada kasus dengan kelainan leher, tes
emboli udara, tes apung paru, tes pada pneumothorax, dan tes alphanaphthylamine.
Dua Macam teknik pengirisan kulit, yaitu: 5,9
A. Insisi ”Y”
Insisi ”Y”, dilakukan semata-mata untuk alasan kosmetik, sehingga jenazah yang
sudah diberi pakaian, tidak memperlihatkan adanya jahitan setelah dilakukan bedah
mayat. Ada dua macam insisi ”Y”, yaitu: 5,9
1. Insisi yang dilakukan dangkal (shallow incision) yang dilakukan pada tubuh pria.
 Buat sayatan yang letaknya tepat di bawah tulang selangka dan sejajar
dengan tulang tersebut, kiri dan kanan, sehingga bertemu pada bagian
tengah (incisura jugularis).
 Lanjutkan sayatan, dimulai dari incisura jugularis ke arah bawah tepat
digaris pertengahan sampai ke sympisis os pubis menghindari daerah
umbilikus.
 Kulit daerah leher dilepaskan secara hati-hati sampai ke rahang bawah;
tindakan ini dimulai dari sayatan yang telah dibuat pertama kali.
 Dengan kulit daerah leher dan dada bagian atas tetap utuh, alat-alat dalam
rongga mulut dan leher dikeluarkan.
 Tindakan selanjutnya sama dengan tindakan pada bedah mayat yang biasa.
2. Insisi yang lebih dalam (deep incision), yang dilakukan untuk kaum wanita.
 Buat sayatan yang letaknya tepat di bawah buah dada, dimulai dari bagian
lateral menuju bagaian medial (proc.Xiphoideus); bagian lateral disini dapat
dimulai dari ketiak, ke arah bawah sesuai dengan arah garis ketiak depan

20
(linea axillaris anterior), hal yang sama juga dilakukan untuk sisi yang lain
(kiri dan kanan).
 Lanjutkan sayatan ke arah bawah seperti biasa, sampai simphisis os pubis,
dengan demikian pengeluaran dan pemeriksaan alat-alat yang berada dalam
rongga mulut, leher, dan rongga dada lebih sulit bila dibandingkan dengan
insisi ”Y” yang dangkal.

B. Insisi “I”
Pada Kasus dengan kelainan di daerah leher. Insisi ini dimaksudkan agar daerah
leher dapat bersih dari darah, sehingga kelainan yang minimalpun dapat terlihat;
misalnya pada kasus pencekikan, penjeratan, dan penggantungan. Prinsip dari
teknik ini adalah pemeriksaan daerah dilakukan paling akhir. 5,9
 Buat insisi ”I”, yang dimulai dari incisura jugularis, ke arah bawah
seperti biasa,sampai ke simpisis os pubis.
 Buka rongga dada, dengan jalan memotong tulang dada dan iga-iga.
 Keluarkan jantung, dengan menggunting mulai dari v.cava
inferior,vv.pulmonalis, a.pulmonalis, v.cava superior dan terakhir aorta.
 Buka rongga tengkorak, dan keluarkan organ otaknya.
 Dengan adanya bantalan kayu pada daerah punggung, maka daerah leher
akan bersih dari darah, oleh karena darah telah mengalir ke atas ke arah
tengkorak dan ke bawah, ke arah rongga dada; dengan demikian
pemeriksaan dapat dimulai. 5,9

C. Insisi Y modifikasi
Teknik insisi jenis ini sekarang sering digunakan, selain dari segi kosmetik, insisi
ini juga dapat dengan mudah memperlihatkan bagian dalam leher dan rahang
bawah. Teknik insisi yaitu dimulai dari bawah sudut rahang bawah kanan dan kiri
ke arah pertengahan manubrium sterni, selanjutnya sama ke bawah seperti insisi
I. 2

21
Gambar 3. Posisi dan teknik insisi autopsi

2.7.2.2 Tehnik pengeluaran organ

Pengangkatan organ dalam dapat dilakukan dengan berbagai teknik. Secara


umum ada 4 teknik dasar autopsi yaitu teknik Rokitansky, Virchow, Letulle, dan
Ghon. Keempat teknik ini memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Bagi
pemeriksa keuntungan dan kelebihan masing-masing teknik dapat dijadikan dasar
pemilihan saat menjumpai kasus-kasus tertentu. 5

1. Teknik Autopsi Rokitansky


Dikenal juga dengan nama in situ dissection. Metodenya dengan mengiris
organ secara insitu, kemudian diperiksa secara langsung dan diangkat untuk
pemeriksaan lebih teliti. Contohnya pada kasus jenazah dengan penyakit
menular, untuk membatasi risiko dan penyebaran penyakit pada pemeriksa.
2. Teknik Autopsi Virchow
Teknik ini cukup sederhana dan simple dengan cara mengeluarkan organ satu
per satu kemudian langsung diperiksa. Dengan demikian kelainan yang
terdapat pada masing-masing organ dapat terlihat, namun hubungan anatomi
antar beberapa organ yang tergolong dalam satu sistem menjadi hilang.
Dengan demikian, teknik ini kurang baik digunakan pada autopsi forensik,
terutama kasus-kasus penembakan dengan senjata api dan penusukan dengan

22
senjata tajam, yang memerlukan penentuan saluran luka, arah serta dalamnya
penetrasi yang terjadi.
3. Teknik Autopsi Letulle
Teknik ini sering disebut dengan nama en masse dissection. Dengan
pengangkatan organ-organ tubuh secara en masse ini hubungan antar organ
tetap dipertahankan setelah seluruh organ dikeluarkan dari tubuh. Kerugian
teknik ini sukar dilakukan tanpa pembantu, serta sulit dalam penanganan
karena “panjang”nya kumpulan organ-organ yang dikeluarkan bersama-sama.
4. Teknik Autopsi Ghon
Teknik ini disebut juga dengan nama en block dissection. Setelah rongga
tubuh dibuka, organ leher dan dada, hati, limpa, dan organ-organ pencernaan
serta organ-organurogenital diangkat keluar sebagai tiga kumpulan organ
(bloc). Teknik ini relative lebih cepat dan lebih mudah. Hubungan antar organ
penting masih dapat dipertahankan, sehingga bila ada kegagalan satu organ
yang mempengaruhi organ lain dapat diketahui. Kelemahan metode ini misal
pada kasus cirrhosis hepatis dan hipertensi portal yang mengakibatkan adanya
varices oesophageal. Hal ini terjadi karena hubungan antar keadaan tersebut
dirusak oleh pemotongan oesophagus di atas diaphragma. 5

2.7.2.3 Pemeriksaan Organ

Pada pemeriksaan dalam, organ tubuh diambil satu persatu dengan hati-hati
dan dicatat : 5
1. Berat : setiap organ sebelum dan setelah diperiksa harus ditimbang dulu.
2. Ukuran : Pengukuran secara langsung adalah dengan menggunakan pita
pengukur. Secara tidak langsung dilihat adanya penumpulan pada batas
inferior organ. Organ hati yang mengeras juga menunjukkan adanya
pembesaran.
3. Bentuk.
4. Permukaan : Pada umumnya organ tubuh mempunyai permukaan yang
lembut, berkilat dengan kapsul pembungkus yang bening. Carilah jika
terdapat penebalan, permukaan yang kasar , penumpulan atau kekeruhan.
5. Konsistensi: Diperkirakan dengan cara menekan jari ke organ tubuh
tersebut.

23
6. Kohesi: Merupakan kekuatan daya regang antara jaringan pada organ itu.
Caranya dengan memperkirakan kekuatan daya regang organ tubuh pada
saat ditarik. Jaringan yang mudah teregang (robek) menunjukkan kohesi
yang rendah sedangkan jaringan yang susah menunjukkan kohesi yang
kuat.
7. Potongan penampang melintang: Disini dicatat warna dan struktur
permukaan penampang organ yang dipotong. Pada umumnya warna organ
tubuh adalah keabu-abuan, tapi hal ini juga dipengaruhi oleh jumlah darah
yang terdapat pada organ tersebut. Warna kekuningan, infiltrasi lemak,
lipofisis, hemosiferin atau bahan pigmen bisa merubah warna organ. Warna
yang pucat merupakan tanda anemia. 5

Struktur organ juga bisa berubah dengan adanya penyakit. Pemeriksaan khusus juga
bisa dilakukan terhadap sistem organ tertentu, tergantung dari dugaan penyebab
kematian. Insisi pada masing-masing bagian-bagian tubuh yaitu : 5
1. Kepala :
Kulit kepala diiris dari prosesus mastoideus kanan sampai yang kiri
dengan mata pisau menghadap keluar supaya tidak memotong rambut terlalu
banyak. Kulit kepala kemudian dikelupas ke muka dan ke belakang dan
tempurung tengkorak dilepaskan dengan menggergajinya. Pahat dimasukkan
dalam bekas mata gergaji dan dengan beberapa ketukan tempurung lepas dan
dapat dipisahkan. Durameter diinsisi paralel dengan bekas mata gergaji. Falx
serebri digunting dibagian muka. Otak dipisah dengan memotong pembuluh
darah dan saraf dari muka ke belakang dan kemudian medula oblongata.
Tentorium serebri diinsisi di belakang tulang karang dan sekarang otak dapat
diangkat. Selaput tebal otak ditarik lepas dengan cunam. Otak kecil dipisah
dan diiris horisontal, terlihat nukleus dentatus. Medula oblongata diiris
transversal, demikiaan pula otak besar setebal 2,5 cm. Pada trauma kepala
perhatikan adanya edema, kontusio, laserasi serebri. 5

Cara autopsi pembukaan rongga kepala:


a. Membuat irisan pemandu dengan mengatur rambut, dipisahkan bagian depan
dan belakang pada puncak kepala kemudian ke kanan dan ke kiri.

24
b. Irisan di mulai dari processuss mastoid ke vertex kemudian ke processes
mastoid kiri. Irisan dibuat sampai mencapai periosteum.
c. Kulit kemudian dikupas dan dilipat ke depan sampai kurang lebih 1 cm diatas
margosupraorbitalis, ke belakang sampai protuberentia occipitalis externa.
Keadaan kulit bagian dalam dan tulang tengkorak diperiksa kelainannya.
d. Rongga kepala dibuka dengan cara digergaji.
e. Daerah frontal pada kurang lebih 2 cm diatas lipatan kulit melingkar kemudian
disamping kanan dan kiri setinggi 2 cm di atas daun telinga setelah memotong
muskulus temporalis.
f. Penggergajian diteruskan ke belakang dengan membentuk sudut 120 0 sampai
setinggi kurang lebih 2 cm di atas protuberentia occipitalis externa.
g. Dengn T-chisel dimasukkan dibekas penggergajian kemudian putar atau
dicongkel, maka tulang tengkorak dapat dibuka.
h. Setelah atap tengkorak (calvaria) dilepas, di cium bau yang keluar dari rongga
dada sebab beberapa racun dapat tercium baunya.
i. Diperiksa dan dicatat keadaan bagian dalam tulang atap tengkorak.

Cara autopsi pengangkatan otak dari rongga kepala:


a. Memeriksa dan mencatat keadaan durameter
b. Durameter kemudian digunting mengikuti garis penggergajian dan daerah
subdural dapat diperiksa kelaiannya.
c. Dua jari tangan diselipkan di bawah tiap lobus frontal. Dengan tarikan yang
pelan, lobus frontalis diangkat untuk memperlihatkan chiasma opticum dan
nervus cranialis anterior.
d. Melepaskan alat-alat yang memfiksasi otak yaitu falx cerebri, falx cerebella,
serta nervicraniales.
e. Falx cerebri dipotong untuk melepaskan otak.
f. Menggunakan scapel atau alat dengan ujung tumpul dilewatkan sepanjang
dasar tempurung kepala untuk memisahkan nervi cranial, arteri carotis interna
dan tangkai kelenjar pituitary sampai mencapai tentorium.
g. Kepala kemudian dimiringkan ke salah satu sisi, dua jari diselipkan diantara
lobus temporalis dan tulang temporal, maka tentorium dapat terlihat kemudian
dilakukan pemotongan sepajang sisi dari tentorium, mengikuti garis os

25
petrosus temporalis sampai ke dinding lateral dari tempurung kepala. Keadaan
yang sama dilakukan pada sisi yang lainnya.
h. Kepala dikembalikan ke posisi semula, dengan memasukkan sejauh mungkin
ke foramen magnum potong nervi cranial yang masih tersisa, kemudian batang
otak selanjutnya dipotong melintang. Dengan tangan kiri menyangga lobus
occipitaslis dan dua jari tangan kanan ditempatkan di kanan dan kiri batang
otak. Otak kemudiam ditarik dan diluksir hingga terangkat sampai rongga
kepala. Otak kemudian diletakkan pada piring skala, ditimbang dan diukur
sebelum dilakukan fiksasi atau pemotongnan.
i. Dasar tengkorak diperiksa dengan melepas durameter yang masih melekat
menggunakan tang yang kuat untuk melihat adanya fraktur basis crania. Os
petrosus temporalis dapat dipotong dengan penjepit tulang untuk memeriksa
adanya infeksi telinga tengah dan dalam.
Tengkorak Neonatus :
Pada bayi baru lahir tulang tengkorak masih lunak, setelah kulit kepala
dibuka seperti biasa, atap tengkorak digunting mulai dari ubun-ubun besar
sejajar dengan sutura sagitalis posterior pada jarak 0.5-1 cm dari garis median,
lalu lingkarkan ke arah lateral di belakang sub occipitalis. Dan di depan
pengguntingan teruskan ke arah frontalis yang berjarak 1-2 cm dari liapatan
kulit kepala dan belok ke lateral kiri dan kanan sampai ke atas telinga yang
disisakan 2 cm dari pengguntingan belakang. Tulang tengkorak yang
digunting tersebut dibuka seperti jendela dengan engselnya di atas telinga. 2

Gambar 4. Membuka kulit kepala

26
Gambar 5. Memotong tengkorak kepala

Gambar 6. Membuka tengkorak neonatus

Gambar 7. Pengirisan jaringan otak

27
2. Leher :
Lidah, laring, trakea, esofagus, palatum molle, faring dan tonsil
dikeluarkan sebagai satu unit. Perhatikan obstruksi di saluran nafas, kelenjar
gondok dan tonsil. Pada kasus pencekikan tulang lidah harus dibersihkan dan
diperiksa adanya patah tulang. 5

3. Dada :
 Seksi Jantung :
Jantung dibuka menurut aliran darah : pisau dimasukkan ke vena kava
inferior sampai keluar di vena superior dan bagian ini dipotong. Ujung pisau
dimasukkan melalui katup trikuspidalis keluar di insisi bilik kanan dan bagian
ini dipotong. Ujung pisau lalu dimasukkan arteri pulmonalis dan otot jantung
mulai dari apeks dipotong sejajar dengan septum interventrikulorum. Ujung
pisau dimasukkan ke vena pulmonalis kanan keluar ke vena pulmonalis kiri
dan bagian ini dipotong. Ujung pisau dimasukkan melalui katup mitral keluar
di insisi bilik kiri dan bagian ini dipotong. Ujung pisau kemudian dimasukkan
melalui katup aorta dan otot jantung dari apeks dipotong sejajar dengan
septum interventrikulorum. Jantung sekarang sudah terbuka, diperiksa katup,
otot kapiler, chorda tendinea, foramen ovale, septum interventrikulorum. 5

Gambar 8. Pembukaan jantung

28
Arteri koronaria diiris dengan pisau yang tajam sepanjang 4-5 mm
mulai dari lubang dikatup aorta. Otot jantung bilik kiri diiris di pertengahan
sejajar dengan epikardium dan endokardium, demikian pula dengan septum
interventrikulorum. 5

 Paru-paru :
Paru-paru kanan dan kiri dilepaskan dengan memotong bronkhi dan
pembuluh darah di hilus, setelah perkardium diambil. Vena pulmonalis dibuka
dengan gunting, kemudian bronkhi dan terakhir arteri pulmonalis. Paru-paru
diiris longitudinal dari apeks ke basis. 5
Tulang dada diangkat dengan memotong tulang rawan iga 1 cm dari
sambungannya dengan cara pisau dipegang dengan tangan kanan dengan
bagian tajam horizontal diarahkan pada tulang rawan iga dan dengan tangan
yang lain menekan pada punggung pisau. Pemotongan dimulai dari tulang
rawan iga no. 2. Tulang dada diangkat dan dilepaskan dari diafragma kanan
dan kiri kemudian dilepaskan mediastinum anterior. Rongga paru-paru
diperiksa adanya perlengketan, darah, pus atau cairan lain kemudian diukur. 5
Kemudian pisau dengan tangan kanan dimasukkan dalam rongga paru-
paru, bagian tajam tegak lurus diarahkan ke tulang rawan no.1 dan tulang
rawan dipotong sedikit ke lateral, kemudian bagian tajam pisau diarahkan ke
sendi sternoklavikularis dengan menggerak-gerakkan sternum, sendi
dipisahkan. Prosedur diulang untuk sendi yang lainnya. 5
Mediastinum anterior diperiksa adanya timus persistens. Perikardium
dibuka dengan Y terbalik, diperiksa cairan perikardium, normal sebanyak
kurang lebih 50 cc dengan warna agak kuning. Apeks jantung diangkat, dibuat
insisi di bilik dan serambi kanan diperiksa adanya embolus yang menutup
arteri pulmonalis. Kemudian dibuat insisi di bilik dan serambi kiri. Jantung
dilepaskan dengan memotong pembuluh besar dekat perikardium. 5

4. Perut :
 Esofagus-Lambung-Doudenum-Hati :
Semua organ tersebut di atas dikeluarkan sebagai satu unit. Esofagus
diikat ganda dan dipotong. Diafragma dilepaskan dari hati dan esofagus dan

29
unit tadi dapat diangkat. Sebelum diangkat, anak ginjal kanan yang biasanya
melekat pada hati dilepaskan terlebih dahulu. 5
Esofagus dibuka terus ke kurvatura mayor, terus ke duodenum.
Perhatikan isi lambung, dapat membantu penentuan saat kematian. Kandung
empedu ditekan, bulu empedu akan menonjol kemudian dibuka dengan
gunting ke arah papila vater, kemudian dibuka ke arah hati, lalu kandung
empedu dibuka. Perhatikan mukosa dan adanya batu. 5
Buluh kelenjar ludah diperut dibuka dari papila Vater ke pankreas.
Pankreas dilepaskan dari duodenum dan dipotong-potong transversal.
Hati : perhatikan tepi hati, permukaan hati, perlekatan, kemudian
dipotong longitudinal.
Usus halus dipisahkan dari mesenterium, usus besar dilepaskan,
duodenum dan rektum diikat ganda kemudian dipotong. Usus halus dan usus
besar dibuka dengan gunting ujung tumpul, perhatikan mukosa dan isinya,
5
cacing.

 Ginjal, Ureter, Rektum, dan Kandung Urin:


Organ tersebut di atas dikeluarkan sebagai satu unit. Ginjal dengan
suatu insisi lateral dapat diangkat dan dilepaskan dengan memotong pembuluh
darah di hilus, kemudian ureter dilepaskan sampai panggul kecil. Kandung
urin dan rektum dilepaskan dengan cara memasukkan jari telunjuk lateral dari
kandung urin dan dengan cara tumpul membuat jalan sampai ke belakang
rektum. Kemudian dilakukan sama pada bagian sebelahnya. Tempat
bertemunya kedua jari telunjuk dibesarkan sehingga 4 jari kanan dan kiri dapat
bertemu, kemudian jari kelingking dinaikkan ke atas dengan demikian rektum
lepas dari sakrum. Rektum dan kandung urin dipotong sejauh dekat diafragma
pelvis. 5
Anak ginjal dipotong transversal. Ginjal dibuka dengan irisan
longitudinal dari lateral ke hilus. Ureter dibuka dengan gunting sampai
kandung urin, kapsul ginjal dilepas dan perhatikan permukaannya. Pada laki-
laki rektum dibuka dari belakang dan kandung urin melalui uretra dari muka.
Rektum dilepaskan dari prostat dan dengan demikian terlihat vesika seminalis.
Prostat dipotong transversal, perhatikan besarnya penampang.

30
Testis dikeluarkan melalui kanalis spermatikus dan diiris longitudinal,
perhatikan besarnya, konsistensi, infeksi, normal, tubuli semineferi dapat
ditarik seperti benang. 5
 Limpa : Dipotong di hilus, diiris longitudinal, perhatikan parenkim, folikel,
dan septa. 5
 Urogenital Perempuan :
Kandung urin dibuka dan dilepaskan dari vagina. Vagina dan uterus
dibuka dengan insisi longitudinal dan dari pertengahan uterus insisi ke kanan
dan ke kiri. Ke kornu. Tuba diperiksa dengan mengiris tegak lurus pada jarak
1-1,5 cm. Ovarium diinsisi longitudinal. Pada abortus provokatus kriminalis
yang dilakukan dengan menusuk ke dalam uterus, seluruhnya : kandung urin,
uterus dan vagina, rektum difiksasi dalam formalin 10% selama 7 hari, setelah
itu dibuat irisan tegak lurus pada sumbu rektum setebal 1,25 cm, kemudian
semuanya direndam dalam alkohol selama 24 jam. Saluran tusuk akan terlihat
sebagai noda merah, hiperemis. Dari noda merah ini dibuat sediaan
histopatologi.

2.8 Pemeriksaan Khusus

2.8.1 Tes Emboli Udara

Emboli udara, baik yang sistemik maupun emboli udara pulmoner,


tidak jarang terjadi. Pada emboli sistemik udara masuk melalui pembuluh vena
yang ada di paru-paru, misalnya pada trauma dada dan trauma daerah
mediastinum yang merobek paru-paru dan merobek pembuluh venanya. 5,9
Emboli pulmoner adalah emboli yang tersering, udara masuk melalui
pembuluh- pembuluh vena besar yang terfiksasi, misalnya pada daerah leher
bagian bawah, lipat paha atau daerah sekitar rahim (yang sedang hamil); dapat
pula pada daerah lain, misalnya pembuluh vena pergelangan tangan sewaktu
diinfus, dan udara masuk melalui jarum infus tadi. Fiksasi ini penting,
mengingat bahwa tekanan vena lebih kecil dari tekanan udara luar, sehingga
jika ada robekan pada vena, vena tersebut akan menguncup, hal ini ditambah
lagi dengan pergerakan pernapasan, yang ”menyedot”. 5,9
 buat sayatan ”I”, dimulai dari incisura jugularis, ke arah bawah sampai
ke symphisis pubis,

31
 potong rawan iga mulai dari iga ke-3 kiri dan kanan, pisahkan rawan
iga dan tulang dada ke atas sampai ke perbatasan antara iga ke-2 dan
iga ke-3,
 potong tulang dada setinggi perbatasan antara tulang iga ke-2 dan ke-3,
 setelah kandung jantung tampak, buat insisi pada bagian depan
kandung jantung dengan insisi ”I”, sepanjang kira-kira 5-7 sentimeter;
kedua ujung sayatan tersebut dijepit dan diangkat dengan pinset (untuk
mencegah air yang keluar),
 masukkan air ke dalam kandung jantung, melalui insisi yang telah
dibuat tadi, sampai jantung terbenam; akan tetapi bila jantung tetap
terapung, maka hal ini merupakan pertanda adanya udara dalam bilik
jantung,
 tusuk dengan pisau organ yang runcing, tepat di daerah bilik jantung
kanan, yang berbatasan dengan pangkal a. Pulmonalis, kemudian putar
pisau itu 90 derajat; gelembung-gelembung udara yang keluar
menandakan tes emboli hasilnya positif,
 bila tidak jelas atau ragu-ragu, lakukan pengurutan pada a. Pulmonalis,
ke arah bilik jantung, untuk melihat keluarnya gelembung udara,
 bila kasus yang dihadapi adalah kasus abortus, maka pemeriksaan
dengan prinsip yang sama, dilakukan mulai dari rahim dan berakhir
pada jantung,
 semua yang disebut di atas adalah untuk melakukan tes emboli
pulmoner, untuk tes emboli sistemik, pada prinsipnya sama, letak
perbedaannya adalah : pada tes emboli sistemik tidak dilakukan
penusukan ventrikel, tetapi sayatan melintang pada a. Coronaria
sinistra ramus desenden, secara serial beberapa tempat, dan diadakan
pengurutan atas nadi tersebut, agar tampak gelembung kecil yang
keluar,
 dosis fatal untuk emboli udara pulmoner 150-130 ml, sedangkan untuk
emboli sistemik hanya beberapa ml. 5,9

32
2.8.2 Tes Apung Paru-paru

Tes apung paru-paru dikerjakan untuk mengetahui apakah bayi yang


diperiksa itu pernah hidup. Untuk melaksanakan test ini, persyaratannya sama
dengan test emboli udara, yakni mayatnya harus segar. Cara melakukan tes apung
paru-paru: 5,9

 Keluarkan alat-alat dalam rongga mulut, leher dan rongga dada dalam
satu ke satuan, pangkal dari esophagus dan trakea boleh diikat.
 Apungkan seluruh alat-alat tersebut pada bak yang berisi air.
 Bila terapung lepaskan organ paru-paru, baik yang kiri maupun yang
kanan.
 Apungkan kedua organ paru-paru tadi, bila terapung lanjutkan dengan
pemisahan masing-masing lobus, kanan terdapat lima lobus dan kiri
dua lobus.
 Apungkan semua lobus tersebut, catat yang mana yang tenggelam dan
mana yang terapung.
 Lobus yang terapung diambil sebagian, yaitu tiap-tiap lobus 5 potong
dengan ukuran 5 mm x 5 mm, dari tempat yang terpisah dan perifer.
 Apungkan ke 25 potongan kecil-kecil tersebut, bila terapung, letakkan
potongan tersebut pada dua karton, dan lakukan penginjakan dengan
menggunakan berat badan, kemudian dimasukkan kembali ke dalam
air.
 Bila terapung berarti tes apung paru positif, paru-paru mengandung
udara, bayi tersebut pernah dilahirkan hidup.
 Bila hanya sebagian yang terapung, kemungkinan terjadi pernafasan
partial, bayi tetap pernah dilahirkan hidup. 5,9

2.8.3 Tes Pada Pneumothoraks

Pada trauma di daerah dada, ada kemungkinan jaringan paru robek,


sedemikian rupa sehingga terjadi mekanisme ”ventil” di mana udara yang masuk
ke paru-paru akan diteruskan ke dalam rongga dada, dan tidak dapat keluar
kembali, sehingga terjadi kumulasi udara, dengan akibat paru-paru akan kolaps
dan korban akan mati. Diagnosa pneumothorax yang fatal semata-mata atas dasar

33
test ini, bila test ini tidak dilakukan, diagnosa sifatnya hanya dugaan. Cara
melakukan test ini adalah sebagai berikut: 5,9

 buka kulit dinding dada pada bagian yang tertinggi dari dada, yaitu
sekitar iga ke-4 dan 5 ( udara akan berada pada tempat yang tertinggi ),
 buat ”kantung” dari kulit dada tersebut mengelilingi separuhnya dari
daerah iga 4 dan 5 ( sekitar 10 x 5 cm )
 pada kantung tersebut kemudian diisi air, dan selanjutnya tusuk dengan
pisau, adanya gelembung udara yang keluar berarti ada pneumothorax;
dan bila diperiksa paru-parunya, paru-paru tersebut tampak kollaps,
 cara lain; setelah dibuat kantung , kantung ditusuk dengan spuit besar
dengan jarum besar yang berisi air separuhnya pada spuit tersebut; bila
ada pneumothorax, tampak gelembung-gelembung udara pada spuit
tadi. 5,9

2.8.4 Tes Alpha Naphthylamine


Test ini dilakukan untuk mengetahui adanya butir-butir mesiu
khususnya pada pakaian korban penembakan. 5,9
 kertas saring Whatman direndam dalam larutan alpha-naphthylamine,
dan keringkan dalam oven, hindari jangan sampai terkena sinar
matahari,
 pakaian yang akan diperiksa, yaitu yang diduga mengandung butir-
butir mesiu, dipotong dan di atasnya diletakkan kertas saring yang
telah diberi alpha-naphthylamine,
 di atas kertas saring yang mengandung alpha-naphthylamine tadi
ditaruh lagi kertas saring yang dibasahi oleh aquadest,
 keringkan dengan cara menyeterika tumpukan tersebut, yaitu kain yang
akan diperiksa, kertas yang mengandung alpha-naphthylamine dan
kertas saring yang basah,
 test yang positif akan terbentuk warna merah jambu (pink colour),
pada kertas saring yang mengandung alpha-naphthylamine; bintik-
bintik merah jambu tadi sesuai dengan penyebaran butir-butir mesiu
pada pakaian.

34
Setelah autopsi selesai, semua organ tubuh dimasukkan kembali ke dalam
rongga tubuh. Lidah dikembalikan ke dalam rongga mulut sedangkan jaringan
otak dikembalikan kedalam rongga tengkorak. Jahitkan kembali tulang dada dan
iga yang dilepaskan pada saat membuka rongga dada. Jahitkan kulit dengan rapi
menggunakan benang yang kuat, mulai dari dagu sampai ke daerah simfisis. Atap
tengkorak diletakkan kembali pada tempatnya dan difiksasi dengan menjahit otot
temporalis, baru kemudian kulit kepala dijahit dengan rapi. Bersihkan tubuh
mayat dari darah sebelum mayat diserahkan kembali pada pihak keluarga.

2.9 Pemeriksaan Penunjang

Pada autopsi juga dilakukan prosedur laboratorium yaitu : 5

1. Sediaan histopatologi dari masing-masing organ.

Dari tiap organ diambil sediaan sebesar 2 x 2 x 1 cm 3 dan difiksasi


dalam formalin10%. Organ yang diambil adalah: paru-paru, hati, limpa,
pankreas, otot jantung, arteri koronaria, kelenjar gondok, ginjal, prostat,
uterus, korteks otak, basal ganglia dan dari bagian lain yang menunjukkan
adanya kelainan.

2. Pemeriksaan toksikologi.
Prinsip pengambilan sampel pada kasus keracunan adalah diambil
sebanyak-banyaknya setelah kita sisihkan untuk cadangan dan untuk
pemeriksaan histopatolgik. Secara umum sampel yang harus diambil adalah:
 Lambung dan isinya.
 Seluruh usus dan isinya dengan membuat sekat dengan ikatan-ikatan
pada padausus setiap jarak sekitar 60 cm.
 Darah, yang berasal dari sentral (jantung) dan yang berasal dari perifer
(v,jugularis; a.femoralis, dan sebagainya), masing-masing 50 ml dan
dibagi dua, yang satu diberi bahan pengawet dan yang lain tidak diberi
bahan pengawet.
 Hati, sebagai tempat detoksifikasi , diambil sebanyak 500 gram.
 Ginjal, diambil keduanya yaitu pada kasus keracunan logam berat
khususnya atau bila urin tidak tersedia.

35
 Otak, diambil 500 gram. Khusus untuk keracunan chloroform dan
sianida, dimungkinkan karena otak terdiri dari jaringan lipoid yang
mempunyai kemampuan untuk meretensi racun walaupun telah
mengalami pembususkan.
 Urin, diambil seluruhnya. Karena pada umunya racun akan
diekskresikan melalui urin, khususnya pada test penyaring untuk
keracunan narkotika, alkohol dan stimulan.
 Empedu, diambil karena tempat ekskresi berbagai racun.
 Pada kasus khusus dapat diambil: jaringan sekitar suntikan, jaringan
otot, lemak di bawah kulit dinding perut, rambut, kuku dan cairan otak.
Pada pemeriksaan intoksikasi, digunakan alkohol dan larutan garam
jenuh pada sampel padat atau organ. NaF 1% dan campuran NaF dan Na sitrat
digunakan untuk sampel cair. Sedangkan natrium benzoate dan phenyl
mercuric nitrate khusus untuk pengawet urin. 5
3. Pemeriksaan bakteriologi.
Dalam hal ada dugaan sepsis diambil darah dari jantung dan sediaan
limpa untuk pembiakan kuman. Permukaan jantung dibakar dengan
menempelkan spatel yang dipanaskan sampai merah, kemudiaan darah jantung
diambil dengan tabung injeksi yang steril dan dipindah dalam tabung reagen
yang steril. Permukaan limpa dibakar dengan cara tersebut di atas dan dengan
pinset dan gunting yang steril diambil sepotong limpa dan dimasukkan dalam
tabung reagen yang steril dan kedua tabung dikirim kelaboratorium
bakteriologi.
4. Sediaan apus bagian korteks otak, limpa dan hati. Mungkin perlu dilakukan
untuk melihat parasit malaria. Sediaan hapus lainnya adalah dari tukak sifilis
atau cairan mukosa.
5. Darah dan cairan cerebrospinalis diambil untuk pemeriksaan analisa biokimia.
6. Pemeriksaan urin dan feces.
7. Usapan vagina dan anus, utamanya pada kasus kejahatan seksual.
8. Cairan uretra. 5

36
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Autopsi adalah pemeriksaan terhadap tubuh mayat, yang meliputi
pemeriksaan terhadap bagian luar maupun dalam, dengan tujuan menemukan
proses penyakit dan atau adanya cedera, melakukan interpretasi atas
penemuan-penemuan tersebut, menerangkan penyebab kematian serta mencari
hubungan sebab akibat antara kelainan-kelainan yang ditemukan dengan
penyebab kematian.
Ditinjau dari aspek tujuannya bedah mayat terbagi menjadi 3 (tiga)
kelompok yaitu:
1. Autopsi anatomis adalah pembedahan mayat dengan tujuan menerapkan
teori yang diperoleh mahasiswa kedokteran atau peserta didik kesehatan
yang lainnya sebagai bahan praktikum tentang teori ilmu urai tubuh
manusia (anatomi).
2. Autopsi klinis adalah pembedahan terhadap mayat yang meninggal di
rumah sakit setelah mendapat perawatan yang cukup dari para dokter.
Pembedahan ini dilakukan dengan tujuan mengetahui secara mendalam
sifat perubahan suatu penyakit setelah dilakukan pengobatan secara
intensif terlebih dahulu, serta untuk mengetahui secara pasti jenis penyakit
yang belum diketahui secara sempurna selama ia sakit.
3. Autopsi forensik adalah pembedahan terhadap mayat yang bertujuan
mencari kebenaran hukum dari suatu peristiwa yang terjadi misalnya
pembunuhan, bunuh diri atau kecelakaan.

37
DAFTAR PUSTAKA

1. Idries, Abdul Mun’im. 2009. Pedoman Praktis Ilmu Kedokteran Forensik bagi
praktisis hukum. Edisi ke Pertama. Jakarta : Sagung Seto. Hal 67-70
2. Amir, Amri. 2005. Rangkaian Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi ke Dua. Medan :
Ramadhan. Hal 32-33
3. http://digilib.sunan-ampel.ac.id/files/disk1/194/jiptiain--khoirulriz-9661-6-
babiii.pdf, dikutip dari makalah yang berjudul “Autopsi Forensik Dalam
Pembuktian Tindak Pidana Menurut KUHAP”, diakses tanggal 18 Mei 2013.
4. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31673/4/Chapter%20II.pdf,
dikutip dari makalah dengan judul “Tinjauan Pustaka”, diakses tanggal 18 Mei
2013.
5. http://www.scribd.com/doc/136983833/PEMBAHASAN-AUTOPSI, dikutip
dari makalah Jonggi Mathias Tamba dengan judul “Pembahasan Autopsi”,
diakses tanggal 18 Mei 2013.
6. Hamdani, Njowito. 1992. Ilmu Kedokteran Kehakiman. Edisi ke Dua.
Surabaya : PT. Gramedia Pustaka Utama. Hal 48-59
7. http://www.scribd.com/doc/114016890/Memahami-Dan-Menjelaskan-Autopsi,
dikutip dari makalah Radi Tri Hadrian dengan judul “Memahami dan
Menjelaskan Autopsi” diakses tanggal 17 Mei 2013.
8. http://www.scribd.com/doc/118212516/referat-forensik, dikutip dari maalah
fryco_7nanda, yang berjudul “Referat Forensik”, diakses tanggal 18 Mei 2013.
9. Idries, Abdul Mun’im. 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik. Edisi ke
Pertama. Jakarta : Binarupa Aksara. Hal 353-361

38

Anda mungkin juga menyukai