Anda di halaman 1dari 21

HUMANIORA

ANALISIS KASUS
BEDAH MAYAT FORENSIK

Disusun Oleh :
Badariyah (R1116011)
Dhanny Arum(R1116017)
Endang Palupi (R1116025)
Inica Atiqa Salma (R1116039)
Multi Sari Dewi (R1116055)
Nourmalia Fitriani (R1116059)
Rima Wirenviona (R1116069)

PROGRAM D-IV BIDAN PENDIDIK FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2017

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara etimologi bedah mayat adalah pengobatan dengan jalan memotong
bagian tubuh seseorang. Sedangkan secara terminologi bedah mayat adalah
suatu penyelidikan atau pemeriksaan tubuh mayat, termasuk alat-alat organ
tubuh dan susunannya pada bagian dalam. Setelah dilakukan pembedahan atau

0
pelukaan, dengan tujuan menentukan sebab kematian seseorang, baik untuk
kepentingan ilmu kedokteran maupun menjawab misteri suatu tindak kriminal.
Pada beberapa kasus kematian tidak wajar, bedah forensik adalah jalan
satu-satunya untuk mengetahui penyebab kematian. Namun pada
kenyataannya, tidak semua proses bedah forensik bisa berjalan lancar. Masih
banyak masyarakat, khususnya dari pihak keluarga korban yang tidak
menginginkan hal itu dilakukan. Banyak yang beranggapan bahwa proses
bedah forensik tidak berguna karena tidak bisa menghidupkan kembali korban
yang sudah mati. Kemudian ada pula yang berpikir bahwa dengan diperiksa
bagian dalamnya, maka ada organ tubuh yang kemudian diambil.
Pemeriksaan forensik pada korban meninggal biasanya dilakukan atas
permintaan penyidik/polisi pada korban mati yang diduga akibat tindak pidana,
korban mati tidak wajar atau diduga mati tidak wajar. Dalam kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana pengaturan bahwa penyidik berhak meminta
pemeriksan bedah forensik jika terdapat dugaan bahwa peristiwa kematian
adalah suatu tindak pidana. Namun, instruksi Kapolri tentang keharusan
melakukan prosedur bedah forensik sekalipun bukan setingkat Undang-Undang
(UU), tetap saja merupakan rule of procedure yang mesti ditaati dan
dilaksanakan penuh oleh penyidik dengan bantuan ahli patologi forensik, tanpa
terkecuali termasuk soal izin orang tua/keluarga korban. Bahkan, apabila ada
pihak-pihak yang menghalangi proses otopsi dapat diancam pidana sesuai yang
diatur Pasal 222 KUHP.
Di Indonesia yang masyarakatnya mayoritas beragama Islam tidak
keberatan mengenai pemeriksaan bedah, sejauh seperti yang dilakukan
pemeriksaan bedah mayat adalah membuka perut yang ada di dalamnya. Dari
alat-alat dalam yang penting diambil potongan potongan kecil untuk
pemeriksaan mikroskopik juga perlu. Bagian yang lebih besar hanya diambil
apabila mengandung penyakit yang aneh atau belum diketahui sehingga
membutuhkan pemeriksan lebih lanjut. Setelah selesai diperiksa, maka alat-alat
dalam dikembalikan ke tubuh semula dan irisan pada permukaan tubuh dijahit
rapi.
B. Tujuan

1
Untuk mengetahui sejauh mana masalah bedah forensik (bedah mayat) ini
terjadi di Indonesia, bagaimana pandangan secara etika, hukum, agama di
Indonesia serta pemecahan untuk masalah etis tersebut.
C. Manfaat
1. Dapat meningkatkan pengetahuan bidan tentang masalah etik yang terjadi
serta pemecahan masalah tersebut.
2.Dapat dikembangkan ilmu atau cara baru dalam dunia kebidanan untuk
mengatasi masalah etik tersebut di Indonesia.

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Pengertian Bedah Mayat Forensik


Bedah mayat forensik merupakan bagian dari ilmu patologi (Munandar,
2012). Patologi forensik (Inggris: forensic) berasal dari bahasa Latin, forum,
adalah cabang patologi berkaitan dengan penentuan penyebab kematian
berdasarkan pemeriksaan atas mayat (autopsi). Autopsi mayat dilakukan oleh
patolog atas permintaan pejabat berwenang dalam
kerangka investigasi terhadap kasus kejahatan atau kasus perdata pada
beberapa wilayah hukum. Melalui patolog forensik identitas mayat umumnya
dapat dikonfirmasikan (Wikipedia, 2016). Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, forensik adalah cabang ilmu kedokteran yang berhubungan dengan
penerapan fakta-fakta medis pada masalah-masalah hukum; ilmu bedah yang
berkaitan dengan penentuan identitas mayat seseorang yang ada kaitannya
dengan kehakiman dan peradilan.
Pengertian mayat adalah orang yang telah meninggal atau mati.Sedangkan
seseorang dinyatakan mati adalah apabila fungsi sistem jantung-sirkulasi dan
pernafasan terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila kematian
batang otak telah dapat di buktikan.(UU Kesehatan No.36 Tahun 2009,pasal
117).Secara etimologi bedah mayat adalah pengobatan dengan jalan memotong
bagian tubuh seseorang. Dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah Al-Jirahah
yang berarti melukai, mengiris, atau operasi pembedahan. Sedangkan secara
terminologi bedah mayat adalah suatu penyelidikan atau pemeriksaan tubuh
mayat, termasuk alat-alat organ tubuh dan susunannya pada bagian
dalam.Autopsi atau bedah mayat adalah suatu pembedahan atau pemeriksaan
pada mayat yang dilakukan oleh para tim dokter ahli dengan dilandasi oleh
maksud atau kepentingan tertentu untuk mengetahui sebab-sebab kematian
mayat (Ovida, 2016).

B. Tujuan Bedah Forensik


Menurut Ovida (2016) bedah mayat forensik adalah bedah mayat yang
bertujuan mencari kebenaran hukum dari suatu peristiwa yang terjadi, seperti

3
dugaan pembunuhan, bunuh diri atau kecelakaan. Bedah mayat semacam ini
biasanya dilakukan atas permintaan pihak kepolisian atau kehakiman untuk
memastikan sebab kematian seseorang. Misalnya, karena tindak pidana
kriminal atau kematian alamiah melalui visum dokter kehakiman (visum et
reperthum) biasanya akan diperoleh penyebab sebenarnya, dan hasil visum ini
akan mempengaruhi keputusan hakim dalam menentukan hukuman yang akan
dijatuhkan. Jika sebelum divisum telah diketahui pelakunya, maka visum ini
berfungsi sebagai penguat atas dugaan yang terjadi. Akan tetapi jika tidak
diketahui secara pasti pelakunya dan jika bukan karena kematian secara
alamiah maka bedah mayat ini merupakan alat bukti bahwa kematiannya bukan
secara alamiah dengan dugaan pelakunya orang-orang tertentu. Seorang hakim
wajib memutuskan suatu perkara hukum secara benar dan adil diperlukan
bukti-bukti yang sah dan akurat. Autopsi Forensik merupakan salah satu cara
atau media untuk menemukan bukti.
Tujuan dari otopsi medikolegal menurut adalah :
1. Untuk memastikan identitas seseorang yang tidak diketahui atau belum
jelas.
2. Untuk menentukan sebab pasti kematian, mekanisme kematian, dan saat
kematian.
3. Untuk mengumpulkan dan memeriksa tanda bukti untuk penentuan
identitas benda penyebab dan pelaku kejahatan.
4. Membuat laporan tertulis yang objektif berdasarkan fakta dalam
bentuk visum et repertum.

C. Manfaat Bedah Forensik


Salah satunya Ilmu kedokteran dalam hukum pidana diposisikan sebagai
ilmu pembantu hukum pidana dimana dalam hal penyelesaian perkara pidana
disebut sebagai ilmu kedokteran forensik. Ilmu kedokteran forensik berperan
dalam pengungkapan kasus-kasus yang berakibat timbulnya luka dan kematian,
tanpa bantuan ilmu kedokteran forensik mustahil bagi ilmu hukum untuk dapat
mengungkapkan misteri kejahatan tersebut.
Tanda kematian merupakan cara yang digunakan untuk menentukan
seseorang telah benar-benar mati, banyak pendapat yang mendefinisikan tanda
kematian (sign of death) ini tetapi yang lebih penting untuk diamati dari
berbagai tanda kematian ada tiga macam yaitu lebam mayat (livoris mortis),

4
kaku mayat (rigor mortis), dan penurunan suhu mayat (algor mortis).
Kepentingan dari observasi pada tiga hal ini adalah untuk menentukan sebab
kematian, cara kematian, dan waktu atau saat kematian.
Untuk memperoleh kebenaran, maka ilmu kedokteran memerlukan teori
dan praktek yang lazim kita kenal dengan autopsi atau bedah mayat. Proses
autopsi inilah yang akan mengantarkan kepada hal-hal yang dikenal dengan
Seven W of Darjes, yaitu: perbuatan apa yang telah dilakukan; di mana
perbuatan itu dilakukan; bilamana perbuatan itu dilakukan; bagaimana
perbuatan itu dilakukan; dengan apa perbuatan itu dilakukan; mengapa
perbuatan itu dilakukan dan siapa yang melakukan. Hasil pemeriksaan mayat
dan bedah mayat (autopsi) disebut sebagai visum et repertum.Hasil dari visum
et repertum inilah yang dapat dijadikan bukti yang dapat dilihat dan ditemukan.
Adanya visum et repertum sebagai hasil dari penyelidikan dapat memberi
keterangan kepada penegak hukum untuk mengetahui pelaku tindak pidana. Di
Indonesia, undang-undang melarang warganya untuk menghalangi petugas
melakukan pembedahan atas mayat demi kepentingan peradilan.
Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana pasal 222 dijelaskan,
"Barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi, atau
menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan, diancam dengan pidana
penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak/sebanyak-
banyaknya tiga ratus rupiah."
Menurut Rompas (2015), Abdul Munim Idries yang merupakan bapak
forensik Indonesia memberikan komentar, bahwa : Bedah mayat forensik
semata-semata guna kepentingan peradilan bukan untuk masalah lain, misalnya
asuransi. Kejelasan yang dapat diungkapkan dari bedah mayat forensik
diantaranya untuk mengetahui sebab kematian, cara kematian apakah
pembunuhan, bunuh diri atau kecelakaan atau mati karena penyakit. Upaya ini
sangat dibutuhkan dalam proses peradilan dari tahap penyidikan, penuntutan,
sampai pada persidangan.
Menurut Ohoiwutun (2016), pemeriksaan terhadap korban mati, yaitu
untuk menentukan penyebab pasti kematian korban hanya dapat diketahui
apabila dilakukan pemeriksaan dalam tubuh mayat (autopsi/bedah mayat
forensik). Dengan demikian, maka jelaslah bahwa manfaat dari bedah mayat

5
forensik adalah dapat mengungkapkan penyebab kematian dan cara kematian
untuk kepentingan peradilan.

D. Syarat Pelaksanaan Bedah Forensik


Autopsi untuk pemeriksaan mayat demi kepentingan pengadilan di
maksudkan untuk mengetahui sebab-sebab kematiannya di sebut juga
obductie Di Indonesia masalah bedah mayat atau autopsi diatur di dalam Pasal
134 Undang-undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang
berbunyi sebagai berikut:
1. Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah
mayat tidak mungkin lagi dihindarkan, penyidik wajib memberitahukan
terlebih dahulu kepada keluarga korban.
2. Dalam hal keluarga keberatan penyidik wajib menerangkan dengan
jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan
tersebut.
3. Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga
atau pihak yang perlu diberitahu tidak diketemukan penyidik segera
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 133 ayat 3
Undang-undang ini.
Selain itu diperkuat juga oleh Pasal 133 dari Undang-undang tersebut berbunyi
sebagai berikut:
1. Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban
baik keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan
tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada
ahli kedokteran dan atau ahli lainnya.
2. Permintaan keterangan ahli sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan secara tertulis yang dalam surat itu disebutkan dengan tegas untuk
pemeriksaan luka atau pemeriksaan mayat dan atau pemeriksaan bedah
mayat.
3. Mayat yang dikirim kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter pada
rumah sakit harus diperlakukan secara baik dengan penuh penghormatan
terhadap mayat tersebut dan diberi label yang memuat identitas mayat yang
dilakukan dengan diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau
bagian lain pada mayat.

6
7
BAB III
ANALISIS KASUS

1. Pandangan Bedah Mayat Forensik


Pandangan mengenai bedah mayat forensik beragam, mulai dari kegunaan
dari pada bedah mayat forensik, dampak-dampak yang akan muncul dan kaidah-
kaidah tentang bedah mayat forensik. Pandangan yang mungkin muncul antara
lain dari segi agama, etika dan hukum.
a. Aspek Agama
Pendangan agama dalam hal ini disampaikan oleh para alim ulama yang
berpendapat tentang bedah mayat forensik.
Bedah mayat yang dilakukan dapat disebabkan oleh beberapa hal dan
difatwa-i tersendiri oleh para ulama :
1) Untuk mengeluarkan janin
Bila seorang ibu meninggal dunia dalam keadaan hamil dan bayi yang
dikandungnya masih dalam keadaan hidup
- Menurut Imam Malik dan Ahmad
Tidak boleh di bedah perut seorang ibu meskipun bayinya yang
dalam kandungan masih hidup, namun dikeluarkan dengan cara
diambil dari jalan Farji oleh tenaga medis.
- Menurut Imam Syafii, Ibnu Hazm dan sebagian ulama Malikyah
Mengatakan bahwa dalam keadaan seperti itu dibedah perut ibu
demi keselamatan bayi dalam kandungannya
- Menurut Ulama Syafii
Bahwa jika yang meninggal adalah seorang perempuan dan
didalam perutnya ditemukan janin yang masih hidup, maka perut
perempuan itu dibedah dalam keadaan darurat, maka pembedahan ini
boleh dilakukan kalau ada harapan janin itu untuk hidup atau berumur
6 bulan keatas. Jika kurang dari 6 bulan tidak ada harapan untuk
hidup, maka pembedahan itu haram dilakukan. Hal ini didasarkan
sabda Nabi yang artinyaSesuatu yang diperbolehkan karena, hanya
boleh dilakukan sekedarnya saja.
- Menurut Mazhab Maliki perut mayat tidak boleh dibedah
Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah SAW yang mengatakan
bahwa memecah tulang mayat sama haramnya dengan memecah
tulang manusia yang hidup. (H.R. Abu Daud dari Aisyah binti Abu
Bakar). Seiring dengan kewajiban terhadap mayat, yakni

8
memandikan, mengkafani, menyalatkan, dan menguburkan sebagai
penghormatan bagi mayat.
- Ulama Mazhab Hanafi sependapat dengan Mazhab Syafii
Bahwa jika ada sesuatu yang bergerak dan diduga yang bergerak
itu adalah janin yang masih hidup, maka perut ibu boleh dibedah demi
membela kehormatan yang masih hidup. Senada dengan pendapat ini
menurut Syekh Yusuf Dajwi (guru besar hukum Islam Mesir)
mengatakan bahwa bedah mayat itu merupakan darurat pada keadaan
tertentu, seperti kematian yang diduga karena pembunuhan sehingga
pembunuh sesungguhnya dapat diketahui.
2) Untuk mengeluarkan benda berharga dalam perut mayat.
Dalam kitab fiqih, diantaranya kitab fiqih sebagian Mazhab Maliki dan
umumnya Mazhab Syafii, disebutkan bahwa apabila seseorang pada
masa hidupnya sempat menelan uang logam (koin), maka ketika ia
meninggal perutnya dibedah untuk mengeluarkan uang logam tersebut.
Ukuran uang logam yang dikeluarkan tersebut lebih kurang bernilai
dinar, atau 3 dirham (satu dinar = 4,5 gram emas, jadi dinar =1,125 gram
emas).
Nuruddin Atr (ahli hadits dari Syriah) mengatakan bahwa jika sekedar
mengeluarkan uang logam dari perut mayat dibolehkan, maka membedah
mayat untuk mengetahui sebab kematiannya dan kepentingan ilmu
kesehatan lebih diutamakan lagi, karena kepentingannya jauh lebih besar
dari pada sekedar pembedahan untuk mengeluarkan uang logam yang
tertelan itu.
Ketidakbolehan sebagaimana yang tertuang dalam hadits riwayat Abu
Daud diatas merupakan keharaman secara umum tanpa ada tujuan yang
bermanfaat. Akan tetapi, berdasarkan kebutuhan darurat, sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan kepintaran pelaku kriminal untuk
alibi dalam satu pembunuhan, maka secara medis perlu dilakukan
pembedahan mayat, hal ini menurut Hasan M. Makhluf termasuk kepada
kaidah fikih yang mengatakan segala sesuatu yang membawa
kesempurnaan yang wajib, maka hukumnya wajib pula.
3) Pandangan Ulama Tentang Bedah Mayat (Autopsi)
Secara garis besar, dalam hal ini ada dua pendapat :
a) Pendapat pertama menyatakan semua jenis autopsi hukumnya haram

9
Alasannya hadits berikut, Dari Aisyah r.a bahwa Rasulullah SAW
bersabda : Sesungguhnya mematahkan tulang mayat itu sama
(dosanya) dengan mematahkannya pada waktu hidupnya. (HR
Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah)
b) Pendapat kedua menyatakan autopsi itu hukumnya mubah (boleh)
Alasannya, tujuan autopsi anatomis dan klinis sejalan dengan
prisip-prinsip yang ditetapkan Rasulullah SAW. Dalam sebuah riwayat
diceritakan bahwa seorang Arab Badui mendatangi Rasulullah SAW
seraya bertanya, Apakah kita harus berobat? Rasulullah SAW
menjawab, Ya, hamba Allah. Berobatlah kamu, sesungguhnya Allah
tidak menurunkan penyakit melainkan juga (menentukan) obatnya,
kecuali untuk satu penyakit, yaitu penyakit tua. (HR Abu Daud,
Tirmidzi, dan Ahmad).
Rasulullah SAW memerintahkan berobat dari segala penyakit,
berarti secara implisit (tersirat) kita diperintahkan melakukan
penelitian untuk menentukan jenis-jenis penyakit dan cara
pengobatannya.
Autopsi anatomis dan klinis merupakan salah satu media atau
perangkat penelitian untuk mengembangkan keahlian dalam bidang
pengobatan. Tujuan autopsi forensik sejalan dengan prinsip Islam
untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dalam penetapan hukum.
Dalam literatur fikih kontemporer, ada dua model pendapat.
Pertama, pandangan mufti Mesir, Yusuf Ad-Dajwi, yang
berkesimpulan bahwa praktek demikian itu boleh (jawaz). Kedua,
pendapat mufti Mesir yang lain, Muhammad Bukhet al-Mithi, bahwa
bedah jenazah hanya boleh untuk dua keperluan; mengambil harta
orang, misalnya pertama, yang tersimpan di perut jenazah, dan
menyelamatkan janin di perut ibunya yang meninggal. Bila untuk
penelitian, katanya, tidak boleh (la yajuuz).
Pandangan keduanya merupakan hasil rakhrij atas kajian pada
ulama klasik. Berupa bahasan tentang hukum bedah mayat pada dua
kasus; mengambil harta dalam perut jenazah, ahli fikih mazhab Hanafi
berpendapat boleh bila almarhum atau almahumah tidak

10
meninggalkan harta yang dapat dijadikan ganti. Sebab hak manusia
harus didahulukan di atas hak Allah.
Dalam mazhab Syafii, menurut pendapat yang masyhur, hal itu
dapat dilakukan secara mutlak. Begitu pula pendapat Imam Sahnun al-
Maliki. Sedangkan Ahmad bin Hanbal tidak membenarkan. Dalam
kasus mengambil janin, ahli fikih mazhab Hanafi dan Syafii
berpendapat mubah. Sedangkan mazhab Maliki dan Hambali
melarang.
Perbedaan itu berpangkal pada perbedaan memahami hadist Nabi
kepada penggali kubur agar tidak merusak tulang-belulang yang
didapatkan dari kuburan. Engkau jangan merusak tulang itu, karena
merusak tulang seseorang yang telah meninggal sama dengan
merusak tulang seseorang yang masih hidup, sabda Nabi,
diriwayatkan Malik, Ibnu Majah, dan Abu Daud dengan sanad yang
sahih.
Pendapat yang melarang operasi perut jenazah berasal dari
pemahaman hadits itu secara mutlak, dalam kondisi apapun.
Sedangkan alasan pendapat yang membolehkan adalah darurat, seperti
menyelamatkan janin dan mengambil harta.
Syekh Abdul Majid Sulem, mufti Mesir yang lain, dalam al-Fatawa
al-Islamiyah, berkomentar terhadap hadits tadi. Menurutnya, hadits itu
berlaku bila tidak ada kemashlahatan lebih krusial (mashlahah
rajihah). Bila ada kemashlahatan lebih krusial yang wajib dikuburkan.
Pandangan MUI, 20 tahun silam, itu sejalan dengan fatwa Yusuf Ad-
Dajwi.
Komisi Fatwa MUI, membuat keputusan dengan beberapa klausul
Pertama, hukum asal pengawetan jenazah adalah haram. Sebab
jenazah manusia itu terhormat, sekalipun sudah meninggal. Orang
yang hidup wajib memenuhi hak-hak jenazah. Salah satunya,
menyelenggarakan jenazah dikuburkan. Kedua, pengawetan jenazah
untuk penelitian dibolehkan, tapi terbatas (muqoyyad). Dengan
ketentuan, penelitian itu bermanfaat untuk pengembangan keilmuan
dan mendatangkan mashlahat lebih besar; memberikan perlindungan
jiwa. Bukan untuk praktek semata. Ketiga, sebelum pengawetan, hak-

11
hak jenazah muslim harus dipenuhi. Misalnya dimandikan, dikafani,
dan disalati. Pengawetan janazah untuk penelitian harus dilakukan
dalam batas proporsional, hanya untuk penelitian. Jika penelitian telah
selesai, jenazah harus segera dikuburkan sesuai dengan ketentuan
syariat Islam. Keempat, negara diminta membuat regulasi yang
mengatur ketentuan dan mekanismenya. Kaidah dalam agama Islam,
ulas Masdar F Masudi dari Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(PBNU), segala sesuatu pada dasarnya diperbolehkan sampai ada dalil
yang menyatakan terlarang. Organ tubuh dalam hukum Islam
menyangkut manusia hidup karena terkait dengan jiwa. Sejauh ini
belum ada aturan tentang donasi tubuh manusia setelah meninggal,
karena itu boleh dilakukan. Apalagi tujuan donasi adalah untuk
menyelamatakan jiwa manusia. Hal ini dihargai dan dinilai sebagai
amal jariah.
Izin penggunaan mayat bisa diberikan oleh pemilik saat masih
hidup atau izin keluarga jika telah meninggal. Untuk mayat yang tak
teridentifikasi, izin diberikan oleh pemerintah.
Hal senada dikemukakan Prof. Dr. Komaruddin Hidayat dari
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Menurutnya,
sesungguhnya tidak perlu ada kekhawatiran jika mendonorkan tubuh
maka tubuh menjadi tidak lengkap saat menghadap Tuhan. Saat
seseorang meninggal dunia, jiwanya meninggalkan tubuh untuk
menghadap Tuhan, sedang tubuh hancur bersama tanah. Jika
disumbangkan untuk riset dan pendidikan yang bermanfaat bagi
kemanusiaan, si pemilik akan mendapat pahala, ujarnya.
Menurut Sekretaris Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan
Dokter Indonesia dr. Agus Purwadianto, SpF, SH, Msi, Indonesia telah
memiliki peraturan dan fatwa mengenai bedah mayat, antara lain
Fatwa Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara Kementerian
Kesehatan No 4/1955, yang menyatakan bedah mayat hukumnya
mubah (tidak diharamkan dan tidak dihalalkan).
Dalam Fatwa No 5/1957 dijelaskan tata cara penggunaan mayat
untuk kepentingan pendidikan. Selain itu, ada Peraturan Pemerintah

12
No 18/1981 tentang Bedah Mayat Klinis dan Bedah Mayat Anatomis
serta Transplantasi Alat dan atau Jaringan Tubuh Manusia (ATK).
4) Hukum Bedah Forensik
Dalam Al-Quran tidak ditemukan ayat yang mengandung secara
pastitentang bedah mayat akan tetapi, terdapat beberapa ayat Al-Quran
yang dapat dijadikan isyarat mengenai landasan praktek bedah mayat ini.
Seperti janji Allah SWT yang akan memperlihatkan tanda-tanda
kebesaran-Nya. Diangkasa mar (ufuk) dan yang ada didalam diri manusia
itu sendiri. Seperti dijelaskan dalam Surat Funssilat Ayat 53 yang artinya :
Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran)
Kami disegenap penjuru dan pada diri mereka sendiri, sehingga jelaslah
bagi mereka bahwa Al-Quran itu benar. Tidak cukupkah (bagi kamu)
bahwa tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?
Pengertian dalam diri manusia ini menurut para mufasir, berarti didalam
tubuh manusia ada nilai ilmu pengetahuan dan kebenaran untuk diteliti.
Dan dalam Surat Al-anbiya Ayat 35 yang artinya : Setiap yang bernyawa
itu akan mengalami mati, Kami akan menguji kamu dengan keburukan
dan kebaikan sebagai cobaan. Dan kamu akan dikembalikan hanya
kepada Kami.
Dalam ayat tersebut diterangkan bahwa Allah SWT menyatakan bahwa
setiap yang bernyawa akan mengalami kematian, dengan kematian itu
akan diuji unsur kejahatan dan kebaikan dan ayat ini sangat berkaitan
dengan pernyataan Allah SWT bahwa manusia adalah makhluk mulia.
Yakni dalam Surat Al-Isra Ayat 70 yang artinya : Dan sungguh, Kami
telah memuliakan anak Adam, dan Kami angkut mereka di darat dan di
laut dan Kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan
mereka diatas banyak makhluk yang Kami ciptakan dengan kelebihan
yang sempurna.
Untuk menyingkap kebenaran atau ketidakbenaran dalam diri manusia
di dunia, diperlukan berbagai bidang ilmu pengetahuan. Sebab
kemampuan yang dimiliki manusia terbatas. Dan semua cabang ilmu
pengetahuan itu tidak mungkin dimiliki oleh satu orang saja. Oleh
karenanya diperlukan orang yang ahli dibidang tertentu untuk menjawab
persoalan yang muncul jika kita tidak mengetahuinya.

13
Seperti : orang yang sakit perlu bertanya kepada dokter tentang
penyakitnya agar bisa diobati. Hukum bedah mayat dengan tujuan
anatomis dan klinis dapat berpedoman kepada hadits Rasulullah SAW
yang menganjurkan untuk berobat, karena setiap penyakit ada obatnya.
(H.R. Abu Daud dari Abu Darda).
Hadits ini juga mengandung anjuran untuk mengembangkan ilmu
kesehatan, seperti bedah mayat untuk mengantisipasi penyakit yang belum
ditemukan obatnya pada saat itu.
Sedangkan bedah mayat dengan tujuan forensik merupakan salah satu
upaya menetapkan hukum secara adil adalah wajib hukumnya. Ini
berdasarkan Firman Allah SWT Surat An-Nisa Ayat 58 yang artinya :
Sungguh Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum diantara manusia
hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh : Allah sebaik-
baiknya yang memberi pengajaran kepadamu, sungguh, Allah Maha
Mendengar, Maha Melihat.
Jadi pembedahan mayat dengan tujuan sebagai alat bukti dalam tindak
pidana dapat dibenarkan. Sebab alat bukti merupakan salah satu unsur
dalam proses perkara di pengadilan.
a. Aspek Etika
Etika Bedah Siasat Mayat Dari Perspektif Islam
1. Menghormati, menjaga hak dan kemuliaan mayat sebagai manusia.
Islam menyuruh orang yang masih hidup supaya menjaga kemuliaan,
hak-hak dan kehormatan orang yang telah mati sepertimana orang hidup
tanpa mengira bangsa, agama dan keturunan. Islam melarang seseorang
menganiayai seseorang yang lain sama ada pada diri, maruah dan harta
mereka. Firman Allah SWT: Dan sesungguhnya Kami telah memuliakan
anak-anak Adam; dan Kami telah beri mereka menggunakan berbagai-
bagai kenderaan di darat dan di laut; dan Kami telah memberikan rezeki
kepada mereka dari benda-benda yang baik-baik serta Kami telah
lebihkan mereka dengan selebih-lebihnya atas banyak makhluk-makhluk
yang telah Kami ciptakan. Al-Israa: 70.
2. Menyegerakan urusan bedah siasat mayat.
Ini selaras dengan kehendak syara yang mewajibkan mayat
diuruskan dengan segera, sebagaimana hadis yang diriwayatkan daripada

14
Abu Hurairah r.a. bahawa Rasulullah SAW bersabda: Segeralah
penyelesaian pengurusan jenazah kerana kalau ia jenazah orang soleh
maka bererti kamu menyegerakan kepada kebaikan dan apabila
sebaliknya (mayat yang tidak soleh) maka bererti kamu telah melepaskan
kejahatan dari bahumu. Riwayat Muslim.
3. Kebenaran Waris.
Bagi kes-kes bedah siasat klinikal (bahagian 2 dan 3 di atas),
Pegawai Perubatan Kerajaan perlu mendapat kebenaran daripada waris
untuk melakukan bedah siasat.
Bagi kes-kes bedah siasat medikolegal (bahagian 1 di atas),
kebenaran dari waris tidak diperlukan untuk melakukan bedah siasat.

4. Melakukan bedah siasat dengan cermat (tidak kasar).


Pembedahan hendaklah dilakukan dengan cara cermat supaya tidak
merosakkan kehormatan dan kemuliaan mayat. Dari Aisyah r.a.
Rasulullah SAW bersabda: Memecahkan/mematahkan tulang mayat
sama seperti memecahkannya/mematahkannya sewaktu hidupnya.
Riwayat Abu Daud.
5. Melakukan bedah siasat mayat setakat yang diperlukan sahaja.
Bedah siasat mayat tidak boleh melampaui batas atau had rukhsah
yang dibenarkan kerana mengambil kira hukum asal menyakiti mayat
adalah haram. Oleh yang demikian, bedah siasat mayat boleh dilakukan
ke atas mana-mana anggota mayat yang diyakini boleh membantu
mencapai matlamat pembedahan dan mengenal pasti sebab-sebab
kematian. Ini bersesuaian dengan kaedah fiqhiyyah iaitu perkara dharurat
adalah dikira mengikut kadarnya.
6. Menjaga aurat mayat.
Orang yang melakukan bedah siasat mayat hendaklah tidak boleh
dengan sengaja melihat aurat mayat kecuali pada kadar yang diperlukan
sahaja. Diriwayatkan dari Saidina Ali, Rasulullah SAW bersabda:
Janganlah kamu nyatakan (perlihatkan) pahamu,dan janganlah kamu
memandang kepada paha orang hidup dan orang mati. Riwayat Abu
Daud dan Ibnu Majah.
7. Menjaga rahasia mayat.
Tidak mengaibkan dan tidak mendedahkan keadaan mayat kepada
pihak yang tidak berkenaan.
15
8. Tidak menghina, mencemuh dan memaki mayat.
Tidak boleh menghina,mencemuh atau memaki mayat sebagaimana
hadis Rasulullah SAW: Sebutlah kebaikan orang yang telah mati dan
berhentilah dari menyebut keburukan mereka. Riwayat At-Tirmizi.
9. Mengambil langkah-langkah keselamatan.
Langkah-langkah keselamatan perlulah diambil terutamanya dalam
pengendalian mayat yang berisiko seperti dalam kes-kes penyakit
berjangkit.
10. Menguruskan mayat dan sampel kajian (organ atau tisu) selepas bedah
siasat dengan sebaik-baiknya.
11. Tidak mengambil tisu atau organ mayat.
12. Hanya petugas bedah siasat mayat dan pihak berkuasa yang berkaitan
saja dibenarkan berada di dalam bilik bedah siasat semasa bedah siasat
dijalankan.
b. Aspek Hukum
Terkait adanya ketentuan perundang-undangan dalam menyelesaikan
perkara pidana yang ditangani dengan selengkap mungkin, sebagaimana
proses peradilan adalah bertujuan untuk mencari atau mendekati kebenaran
materiil terhadap suatu perkara. Berdasarkan Pasal 134 KUHP, yaitu :
(1) Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan pembuktian bedah
mayat idak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan
terlebih dahulu kepada keluarga korban.
(2) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib dengan sejelas-jelasnya
tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut
(3) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga
atau pihak yang diberi tahutidak diketemukan, penyidik segera
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (3)
Undang-Undang ini.
Pasal ini menetapkan tentang perlunya bedah mayat guna untuk
pembuktian, maka penyidik dapat memberitahukan kepadakeluarga korban
tujuan dari diadakannya bedah mayat forensik. Jika keluarga korban merasa
keberatan, maka penyidik harus menerangkan sejelas-jelasnya tujuan
pembedaan tersebut. Jika penyidik telah menerangkan pentingnya diadakan
bedah mayat,namun kaluarga tetap besih keras menunjukkan sikap keberatan
dan berujung pada penolakan dilakukannya bedah mayat forensik, maka hal
inilah yang menimbulkan permasalahan antara pentingnya ditemukan

16
kebenaran dari jasad orang mati untuk keadilan dan hak yang dimiliki oleh
keluarga korban.
Pada Pasal 222 KUHP menjelaskan bahwa dapat dijatuhi pidana pada
siapa yang mencegah, menghalangi dan menggagalkan proses penyidikan
terhadap autopsi bedah mayat.
Dalam perundang-undangan Kesehatan Pasal 79 tahun 1992
(1) Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia juga kepada
negeri sipil tertentu di Departement Kesehatan diberi wewenang khusus
sebagaimana dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang hukum Acara Pidana,
untuk melakukan penyidikan tindak pidana sebagaimana diatur dalam
undang-undang ini
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berwenang:
(a) Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan
(b) Melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan
(c) Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan usaha
(d) Melakukan pemeriksaan atau surat atau dokumen lain
(e) Melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti lain
(f) Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
(g) Menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti
sehubungan dengan tindak pidana di bidang kesehatan
3) Kewenangan penyidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dilaksanakan menurut UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHP.
Dasar hukum Forensik telah diatur dalam peraturan perundang-undangan
negara republik indonesia yang diatur dalam KUHP adalah sehubungan
dengan ahli (dalam hal ini termasuk ahli forensik). Dalam KUHP disebutkan
bahwa ahli yang menolak memberi bantuan kepada polisi bisa terancam
hukuman pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 224 dan Pasal 522 KUHP:
- Pasal 224 KUHP: Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru
bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi
kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus dipenuhinya,
diancam:
(1) dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan

bulan;
(2) dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan.

17
- Pasal 522 KUHP: Barang siapa menurut undang-undang dipanggil
sebagai saksi, ahli atau juru bahasa, tidak datang secara melawan hukum,
diancam dengan pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah
Dasar hukum:
(1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
(3) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10
Tahun 2009 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permintaan Pemeriksaan
Teknis Kriminalistik Tempat Kejadian Perkara dan Laboratoris
Kriminalistik Barang Bukti Kepada Laboratorium Forensik Kepolisian
Negara Republik Indonesia
(4) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 12
Tahun 2011 tentang Kedokteran Kepolisian.
Jadi dasar hukum yang mengatur tentang bedah mayat forensik adlaaha
ntara lain:
(1) Pasal 1 angka 3 Perkapolri 12/2011
(2) Pasal 10 ayat (2) Perkapolri 12/2011
(3) Pasal 1 angka 5 Perkapolri 12/2011
(4) Pasal 1 angka 7 Perkapolri 12/2011
(5) Pasal 1 angka 8 Perkapolri 10/2009
(6) Pasal 1 angka 9 Perkapolri 10/2009
(7) Pasal 1 angka 8 Perkapolri 12/2011
(8) Pasal 1 angka 9 Perkapolri 12/2011
(9) Pasal 1 angka 10 Perkapolri 12/2011
(10) Pasal 1 angka 14 Perkapolri 12/2011
(11) Pasal 1 angka 23 Perkapolri 12/2011
(12) Pasal 1 angka 10 Perkapolri 10/2009
(13) Pasal 1 angka 11 Perkapolri 10/2009
(14) Pasal 133 ayat (2) KUHAP

DAFTAR PUSTAKA

Fransiska Rompas, A. 2015. Kajian Yuridis Pasal 134 KUHP Tentang Bedah
Mayat dalam Penegakan Hukum Pidana Indonesia. Lex et Societatis.Vol.
III/No. 1/Jan-Mar/2015. Hal 141-142

18
Hafizmusleem. 2015. Hukum Bedah Mayat untuk Forensik dan Pembelajaran .
https://hafizmusleem.wordpress.com/2012/12/13/hukum-bedah-mayat-
untuk-forensik-dan-pembelajaran/. Diakses pada tanggal 10 April 2017

Hukum online.com .Forensik dan ruang lingkupnya dalam mengungkap tindak


pidana. http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6647/forensik-dan-
ruang-lingkupnya-dalam-mengungkap-tindak-pidana . Diakses pada
tanggal 10 April 2017

Kamal, Mahmud. 1991. Bedah Mayat dari Segi Hukum Islam. Jakarta : Pustaka
Panjimas.

Munandar RM (2012). Patologi forensik.


https://id.scribd.com/document/87040073/PATOLOGI-FORENSIK.
Diunduh pada 10 April 2017.

Nurdianir. 2013. Dasar Hukum Forensik.


https://www.slideshare.net/nurdianirr/dasar -hukum-forensik. Diakses paa
tanggal 10 April 2017

Ohoiwutun YA (2016). Urgensi bedah mayat forensik dalam pembuktian tindak


pidana pembunuhan berencana. Kajian Putusan Nomor
79/Pid.B/2012/PN.BGR, p: 6

Ovida KN (2016). Bedah mayat ditinjau dari etika, hukum, dan manfaatnya.
www.academia.edu/12795675/Bedah_Mayat_Ditinjau_dari_Etika_Hukum
_dan_Manfaat_nya. Diunduh pada 10 April 2014.

Portal resmi Jakim. 2015. Garis Panduan Bedah Siasat Mayat Menurut Perspektif
Islam. http://www.islam.gov.my/rujukan/garis-panduan/53-garis-panduan-
bedah-siasat-mayat-menurut-perspektif-islam. Diunduh pada 10 April
2017
19
Qawaid Faqhiyah Syeikh As Sadi hal.45-48.
http://downloadmakalahbedahmayat.scribs.co.id/2011/02/bedah-
mayat.html. Diakses pada tanggal 10 April 2017.

Rompas AF (2015). Kajian yuridis pasal 134 KUHAP tentang bedah mayat dalam
penegakan hukum pidana Indonesia. Lex et Societatis, Vol. III:1.Jan-Mar
2015, p: 2.

Tjondoputro, Handoko. 2003. Pokok-pokok ilmu kedokteran forensik. Jakarta:


Binarupa Aksara

Wikipedia (2016). Patologi forensik.


https://id.wikipedia.org/wiki/Patologi_forensik. Diunduh pada 10 April
2017.

20

Anda mungkin juga menyukai