Anda di halaman 1dari 49

EXECUTIVE SUMMARY

Penerapan kebijakan restoratif (RJ) dalam proses pembaharuan hukum pidana di Indonesia
masih perlu dikembangkan. Kondisi overcrowded di Rumah Tahanan/Lembaga
Pemasyarakatan (Rutan/Lapas) menjadi salah satu bukti bahwa pemenjaraan masih menjadi
pilihan utama dalam proses penegakan hukum. Penegakan hukum semestinya dikembalikan
kepada tujuan hukum yang didasarkan pada keseimbangan antara faktor keadilan, kepastian
hukum dan kemanfaatan.
Pendekatan RJ dalam sistem hukum pidana di Indonesia saat ini sebenarnya dapat ditelusuri
di beberapa peraturan perundang-undangan, seperti dalam UU 35/2009 tentang Narkotika
yang mengatur tentang pemberian rehabilitasi bagi pengguna narkotika, serta dalam UU
11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Namun, pada tataran
implementasinya masih ada beberapa kendala yang dialami aparat penegak hukum, antara
lain:
1) Beberapa peraturan pidana yang ada saat ini tidak membuka peluang bagi aparat
penegak hukum untuk menerapkan RJ. Ancaman hukum yang diatur dalam beberapa
aturan pidana hanya mengatur mengenai pidana penjara dan/atau pidana denda
(yang juga dapat disubstitusi dengan pidana penjara/kurungan);
2) Belum ada hukum acara yang mengatur dengan jelas mengenai mekanisme
pemberian pidana alternatif seperti siapa yang melaksanakannya dan bagaimana hal
tersebut dilaksanakan;
3) Belum ada standar yang jelas dalam pemberian pidana alternatif seperti perkara apa
saja yang dapat diberikan pidana alternatif serta pidana alternatif apa saja yang dapat
dijatuhkan;
4) Penyelesaian kasus pidana selalu diserahkan pada mekanisme peradilan, meski
sebenarnya ada mekanisme lain, misalnya lembaga adat. Kelembagaan adat sendiri
faktanya hingga kini masih hidup dan berkembang di beberapa daerah di Indonesia;
5) Beberapa upaya penerapan RJ oleh aparat penegak hukum masih berjalan sendiri-
sendiri dan tidak melibatkan pemangku kepentingan lain. Contohnya pelaksanaan
LKPA yang hanya dibebankan pada badan pemasyarakatan saja.
Selain UU, sebenarnya terdapat pula aturan organik di masing-masing institusi penegak
hukum yang membuka peluang bagi aparat penegak hukum untuk dapat menerapkan RJ
dalam proses penegakan hukum. Akan tetapi, ketentuan peraturan perundang-undangan
organik tersebut belum optimal digunakan sebagai terobosan dalam upaya untuk keluar dari
ketatnya doktrin legalitas yang kaku dalam sistem penegakan hukum. Pandangan aparat
penegak hukum masih belum sejalan dengan kebijakan RJ sebagai pendekatan alternatif yang
melibatkan negara, pelaku, korban dan masyarakat untuk mencapai kesepakatan
penyelesaian dalam rangka mewujudkan keadilan dan keseimbangan. Cara pandang dan
pelibatan masyarakat dalam penerapan RJ juga masih minim. Padahal untuk memperkuat
implementasi kebijakan RJ, baik korban dan masyarakat mempunyai peran penting selain
negara dan pelaku untuk mencapai kesepakatan penyelesaian dalam rangka mewujudkan
keadilan dan keseimbangan. Walaupun begitu, potensi pelaksanaan RJ sebenarnya sudah ada
di masyarakat Indonesia, contohnya peradilan kampong di Aceh yang banyak menyelesaikan
sebagian besar persoalan masyarakat secara damai lewat peradilan adat serta inisiasi Sahabat

i
Kapas Solo yang membuat kelas belajar bersama masyarakat untuk penyelesaian perkara
perempuan dan anak.
Dalam upaya memperkuat penerapan RJ di Indonesia, perlu didorong beberapa strategi yang
dibagi ke dalam beberapa tahapan, yaitu: 1) tahap perubahan; 2) pengorganisasian; serta 3)
monitoring dan evaluasi. Pertama, pada tahap perubahan, di level regulasi pembaharuan
KUHP dan KUHAP serta UU pidana khusus lainnya perlu dilakukan. Di level penerapan, perlu
optimalisasi penggunaan diskresi, oportunitas serta sarana kebijakan ainnya yang melekat
pada penegak hukum. Sedangkan di level budaya masyarakat, akses keterlibatan masyarakat
dalam penyelesaian perkara pidana, misalnya pada saat reintegrasi Warga Binaan, perlu
dibuka. Kedua, pada tahap pengorganisasian, di level strategis diperlukan pembentukan
political will melalui pendampingan dalam penyusunan RKUHP dan RKUHAP di DPR RI. Di level
teknis, perlu optimalisasi sistem peradilan pidana terpadu serta forum komunikasi antar
komponen. Di lain pihak, pada level masyarakat, perlu optimalisasi proses pembangunan
kesadaran hukum masyarakat (community research) dan pelibatan masyarakat (community
engagement process), dan kemitraan (partnership). Terakhir, pada tahap montoring dan
evaluasi, paradigma RJ didorong untuk dimasukkan dalam RPJMN 2020-2025, tidak hanya di
bidang hukum melainkan secara holistik sebagai bagian kebijakan bidang terkait lainnya agar
pelaksanaan RJ dilaksanakan secara komprehensif dan berkesinambungan. Selain itu, perlu
disusun grand design atau roadmap penerapan RJ di Indonesia dengan fokus pada identifikasi
jenis tindak pidana yang dapat dikenakan pidana alternatif, jenis-jenis pidana alternatif yang
dapat dikenakan, pemangku kepentingan yang terlibat, pemetaan sumber daya (anggaran
dan manusia) serta penyusunan aturan bersama dengan stakeholders terkait.

ii
TIM PENYUSUN

Prahesti Pandanwangi, SH., Sp.N., LLM.

Mardiharto Tjokrowasito, SH., LLM.

Maya Grandty, SH., LLM.

Rezafaraby, SH., LLM.

Arif Christiono Soebroto, SH., M.Si

Gusti Ayu Putu Suwardani, BclP, SH, MSi.

Mohammad Ali Aranoval

Tanti Dian Ruhama, SH., MH.

Novi Nurviani, SH., MH.

Retno Ambarwati, SAP.

Muammar Azmar Mahmud Fariq, SH., MH.

Fransiscus Manurung, SH.

Yuli Andreansyah Arba’i, SH.

iii
DAFTAR ISI

BAB 1 PENDAHULUAN 1

1.1. Latar Belakang 2


1.2. Permasalahan 4
1.3. Tujuan Penulisan 5
1.4. Metode Penelitian 5

BAB II KEADILAN RESTORATIF DALAM KEBIJAKAN SISTEM PERADILAN PIDANA 7


DI INDONESIA

2.1. Gambaran Umum Tentang Sistem Peradilan di Indonesia 7


2.2. Konsep Keadilan Restoratif dan Tujuan Pemidanaan 10
2.3. Implementasi Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana 13
Saat ini Kendala dan Permasalahannya
2.3.1. Praktek Keadilan Restoratif pada Sistem Peradilan PIdana 13
Anak dan Pada Perkara Narkotika
2.3.2. Kendala dan Permasalahan dalam Penerapan Keadilan 16
Restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana

BAB IIII OPTIMALISASI POTENSI PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF DALAM 24


SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA

3.1. Penguatan Aturan Perundang-undangan 25


3.2. Penguatan Kualitas Aparat Penegak Hukum dalam Menerapkan 26
Keadilan Restoratif dalam Sistem Peradilan Pidana
3.3. Pengembangan Cara Pandang dan Pelibatan Masyarakat dalam 28
Penerapan Keadilan Restoratif

BAB IV REKOMENDASI STRATEGI PENERAPAN KEADILAN RESTORATIF 34

4.1. Tahapan Perubahan Peningkatan Keadilan Restoratif 35


4.1.1. Perubahan dalam Level Regulasi 36
4.1.2. Perubahan dalam Level Penerapan dalam Sistem Peradilan 37
4.1.3. Perubahan dalam Level Budaya Masyarakat 37
4.2. Pengorganisasian 38
4.2.1. Pengkondisian dan Koordinasi di Level Strategis 38
4.2.2. Pengkondisian dan Koordinasi di Level Teknis 39
4.2.3. Pengkondisian dan Koordinasi pada Level Masyarakat 40
4.3. Monitoring dan Evaluasi oleh Kementerian PPN/Bappenas 41

DAFTAR PUSTAKA 42

iv
DAFTAR GAMBAR DAN TABEL

Gambar 2.1. Tahap Penyelidikan 7

Gambar 2.2. Tahap Penyidikan dan Penuntutan 8

Gambar 2.3 Tahap Persidangan 9

Gambar 2.4. Tahap Eksekusi 9

Gambar 2.5. Mekanisme Sistem Peradilan Pidana Anak 14

Tabel 3.1. Nilai Restorative Justice 29

Tabel 4.1. Program Keadilan Restoratif 40

v
1
1.1 Latar Belakang
Dalam perkembangan arah kebijakan hukum pidana di Indonesia, sistem peradilan masih
dianggap menjadi mekanisme terbaik untuk menyelesaikan masalah (konflik) hukum dan proses
mencari keadilan. Kecenderungan bahwa setiap indikasi tindak pidana, akan selalu bergulir ke ranah
penegakan hukum. Putusan pengadilan dalam bentuk pemidanaan (punishment) dilaksanakan
sekedar untuk memasukkan seseorang ke dalam penjara tanpa melihat esensi dari pemidanaan itu
sendiri, yang merupakan gambaran dari sistem moral, nilai kemanusiaan dan pandangan filosofis
suatu masyarakat. Dengan demikian, sehingga sistem pemidanaan perlu dipandang secara
komprehensif meliputi tiga perspektif yaitu filosofis, sosiologis dan kriminologis.

Dampak nyata dari pengembangan sistem pemidanaan yang hanya bermuara kepada konsep
pemenjaraan, adalah kondisi kelebihan hunian (overcrowded) yang menjadi isu nasional dalam
pembangunan hukum kurun waktu 5 (lima) tahun terakhir.1 Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah
Tahanan (Rutan) sebagai rangkaian akhir dari sistem peradilan pidana, sudah mengalami kelebihan
hunian dengan menampung 231.899 orang penghuni, dengan daya tampung sekitar 123.363 orang
(data 2017).2 Kondisi ini sangat memprihatinkan dan berakibat tidak optimalnya penanganan dan
pembinaan Warga Binaan dengan keterbatasan sarana prasarana, kualitas dan kuantitas serta
kapasitas sumber daya manusia di lingkungan Lapas dan Rutan.

Kondisi overcrowded antara lain diakibatkan oleh kuantitas peraturan perundang-undangan


di luar KUHP yang ancaman hukuman di atas 5 (lima) tahun penjara. Hal ini seiring dengan proses
penahanan yang meningkat berdasarkan syarat objektif dari peraturan perundang-undangan. Selain
ancaman penjara yang meningkat, jenis tindak kejahatan juga terus meningkat, dimana paling tidak
ada sekitar 716 tindak pidana baru paska reformasi 1998. Hal ini menunjukkan kecenderungan dari
pembuat legislasi yang memandang tindakan penghukuman berupa pemenjaraan sebagai cara yang
efektif untuk mengatasi kejahatan.

Melihat kondisi tersebut, pembaharuan dalam arah kebijakan hukum pidana di Indonesia jelas
sangat dibutuhkan, tidak hanya pembaharuan dari aspek legislasi dengan dengan mengubah Kitab

1 Hal ini dapat dilihat bahwa terjadi peningkatan isi lapas/rutan yang luar biasa dimana dalam kurun

waktu kurang dari 3 tahun pada tahun 2014 Isi lapas/rutan bertambah sebanyak 25.036 orang dan jumlah
tersebut terus berkembang hingga saat ini. Lihat Warta Pemasyarakatan No.: 58 Tahun XV / 2014, h. 5
2 Data dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan menyebutkan overcrowded sudah sejak tahun 2011

dengan perincian : Tahun 2011 kapasitas 99.218, isi 136.145; Tahun 2012 kapasitas 104.236, isi 150.192;
Tahun 2013 kapasitas 113.236, isi 160.063; Tahun 2014 kapasitas 115.286, isi 159.964; Tahun 2015
kapasitas 119.453, isi 173572; Tahun 2016 kapasitas 120.143, isi 202.261; Tahun 2017 kapasitas 123.363,
isi 231.899

2
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
tetapi perlu melihat dari aspek lainnya, baik pada aspek penegakan hukum maupun pada aspek
budaya hukum dalam penyelenggaraan sistem hukum pidana di Indonesia. Salah satu bentuk
pembaharuan dalam Hukum Pidana Indonesia ke depan adalah pengembangan sistem hukum pidana
yang menggunakan konsep keadilan restoratif yang mengedepankan pendekatan kepada pelaku,
korban, saksi, dan kehadiran negara dalam suatu sistem pidana. Mekanisme ini juga didukung oleh
peran komunitas (community apporach), dan dengan demikian setiap komponen masyarakat, aparat
penegak hukum, dan aparat terkait lainnya memiliki peran yang vital pada implementasi kebijakan
hukum pidana. Tren penggunaan pendekatan ini sendiri sudah berkembang dan menjadi alternatif
pilihan di hampir semua belahan dunia, dan penggunaan keadilan restoratif sebagai pedoman dalam
penanganan kejahatan telah diatur oleh PBB melalui Basic Principles on the Use of Restoratif Justice
Programmes in Criminal Matters pada tahun 2000.

Penerapan Restorative Justice dalam proses pembaharuan hukum pidana di Indonesia sejauh
ini perlu dikembangkan karena kondisi penegakan hukum yang bersifat retributif ataupun restitutif
ternyata tidak selalu efektif di masyarakat3. Penegakan hukum tanpa didasari pemahaman dan filosofi
dari tujuan pembuatan hukum menyebabkan terjadinya disorientasi dalam penegakan hukum,
dimana penegakan hukum hanya mampu memenjarakan orang tetapi tidak mampu mengembalikan
keseimbangan dan kohesi di tengah masyarakat yang terganggu akibat suatu tindak pidana. Apalagi
berdasarkan nilai filosofi pemidanaan pada sistem pemasyarakatan yang berlaku di Indonesia, maka
karakteristik teori pembalasan jelas bertentangan.4 Karena sistem hukum pidana Indonesia khususnya
dalam sistem pemasyarakatan pendekatan untuk menjaga keseimbangan dalam masyarakat
merupakan sesuatu yang diutamakan, hal ini sebagaimana disebutkan dalam Konsideran Undang-
Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan : “... agar Warga Binaan Pemasyarakatan
menyadari kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat
diterima kembali oleh lingkungan masyarakat.”

3 Pada awalnya, penghukuman dilakukan dengan paradigma retributif dan merupakan reaksi

langsung atas perbuatan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang. Paradigma retributif ini
terlihat dalam semangat mengganjar secara setimpal berkaitan dengan perbuatan dan atau efek dari
perbuatan yang telah dilakukan. Paradigma penghukuman belakangan muncul dengan semangat agar
orang tidak melakukan perbuatan yang diancamkan. Dengan kata lain, penghukuman dilakukan dengan
semangkat menangkal (deterrence), dalam Setyo Utomo, Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Yang
Berbasis Restorative Justice, Makalah disampaikan dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) tentang
“POLITIK PERUMUSAN ANCAMAN PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG DILUAR KUHP”, diselenggarakan
oleh Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN)
Departement Hukum dan HAM, di Jakarta, tanggal 21 Oktober 2010
4 Usman, “Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana”, Jurnal Ilmu Hukum, Vo. 2, No. 1, 2011, h.

69.

3
Berdasarkan kondisi tersebut, sudah saatnya penegakan hukum dikembalikan kepada tujuan
hukum yang didasarkan pada keseimbangan antara faktor keadilan, kepastian hukum dan
kemanfaatan.5 Dengan demikian, diharapkan penegakan hukum di Indonesia dapat mendukung
prinsip berkeadilan sesuai dengan sasaran pembangunan bidang hukum yang akan dicapai dalam
RPJMN 2015-2019, yang antara lain adalah sebagai berikut:

1. Meningkatnya kualitas penegakan hukum dalam rangka penanganan berbagai tindak pidana,
mewujudkan sistem hukum pidana dan perdata yang efisien, efektif, transparan, dan
akuntabel bagi pencari keadilan dan kelompok rentan, dengan didukung oleh aparat penegak
hukum yang profesional dan berintegritas; dan
2. Terwujudnya penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak atas keadilan bagi warga
negara.
Direktorat Hukum dan Regulasi menyusun kertas kebijakan dengan tema “Pengembangan
Prinsip Keadilan Restoratif (Restorative Justice) dalam Arah Kebijakan Hukum Pidana di Indonesia”,
dan untuk mendukung penyusunan kertas kebijakan tersebut telah diselenggarakan Focus Group
Discussion dalam rangka menghimpun masukan, informasi dan merumuskan tujuan, tantangan dan
hambatan serta strategi yang diperlukan untuk perbaikan sistem peradilan pidana. Dalam hal ini,
kertas kebijakan ini antara lain dapat memberikan solusi kepada permasalahan kelebihan hunian
(overcrowded) di Lembaga Pemasyarakatan, dengan tujuan meningkatkan kualitas penanganan warga
binaan di Lapas dan Rutan.

1.2 Permasalahan
Pendekatan keadilan restoratif dalam sistem hukum pidana di Indonesia saat ini telah dapat
ditelusuri di beberapa peraturan perundang-undangan, seperti dalam Undang-Undang No. 35 Tahun
2009 tentang Narkotika yang mengatur tentang pemberian rehabilitasi bagi pengguna narkotika, serta
dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Meskipun demikian,
belum dapat terlihat dampak yang signifikan dalam penerapannya, khususnya terkait dengan
pengembangan arah kebijakan hukum pidana ke arah keadilan restoratif sebagaimana yang
diharapkan. Salah satu permasalahan adalah terkait dengan pemahaman para penegak hukum yang
masih mengutamakan sistem pemidanaan penjara sebagai satu-satunya sistem pemidanaan yang ada.

5 Dalam kaitannya dengan tujuan hukum, Gustav Radbruch membagi tiga nilai dasar hukum yang
kemudian menjadi “the idea” itu sendiri, yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, dalam Robert
Alexy, ‘Gustav radbruch’s concept of law’, artikel di ambil dari
https://www.upjs.sk/public/media/16913/Gustav%20Radbruch%27s%20Concept%20of%20Law.pdf,
pada 27 November 2017

4
Penerapan keadilan restoratif menjadi sangat bergantung pada kemauan dari aparat penegak hukum
tertentu saja. Jika ditelusuri dalam peraturan perundang-undangan, mekanisme pelaksanaan keadilan
restoratif sebenarnya dapat dilaksanakan misalnya melalui diskresi, maupun penggunaan asas
oportunitas yang melekat pada para aparat penegak hukum. Selain permasalahan tersebut, beberapa
permasalahan yang kemudian diangkat dalam kertas kebijakan ini antara lain:
(1) Seberapa besar potensi penerapan keadilan restoratif dalam pembaharuan hukum di
Indonesia? Apa saja kendala, hambatan serta batasan-batasan dalam pemberlakuan
keadilan restoratif?
(2) Langkah seperti apa yang diperlukan agar hambatan dan kendala dalam menerapkan
keadilan restoratif dalam sistem Peradilan Pidana di Indonesia bisa diatasi?
(3) Strategi apa yang digunakan agar keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana
dapat terwujud sesuai sasaran pembangunan bidang hukum RPJMN 2015-2019?

1.3 Tujuan Penulisan


Berdasarkan permasalahan di atas, tujuan penulisan kertas kebijakan ini pada intinya adalah
untuk membangun pemahaman yang komprehensif tentang keadilan restoratif dan urgensinya sesuai
dengan konteks penegakan hukum pidana di Indonesia. Selain itu, kertas kebijakan ini dimaksudkan
untuk secara singkat mengkaji dan menganalisis kendala, hambatan, tantangan, serta potensi
pemberlakuan keadilan restoratif. Penulisan kertas kebijakan ini dimaksudkan untuk memetakan
keterlibatan pemangku kepentingan dalam proses penegakan hukum yang berlandaskan keadilan
restoratif, dan merekomendasikan strategi kolaboratif melalui proses perencanaan dan penganggaran
berbasis program sebagai masukan untuk penyusunan background study RPJMN 2020-2025 bidang
hukum.

1.4 Metode Penelitian


Dalam penulisan kertas kebijakan ini, pendekatan yang dilakukan berdasarkan pada
metodologi analisis yuridis normatif, yakni pendekatan yang berdasarkan bahan hukum dengan cara
menelaah teori–teori, pendapat ahli hukum serta peraturan perundang-undangan yang terkait
dengan penulisan policy paper ini. Dalam penulisan digunakan analisis kualitatif dengan menelusuri
hasil serangkaian Focus Group Discussion (FGD) yang telah diselenggarakan oleh Direktorat Hukum
dan Regulasi, Kementerian PPN/Bappenas serta studi literatur.

5
6
2.1 Gambaran Umum Tentang Sistem Peradilan di
Indonesia
Sistem Peradilan Pidana terbagi dalam 4 (empat) tahapan, yakni penyidikan, penuntutan,
pengadilan, dan eksekusi pemidanaan, yang dilaksanakan oleh Kepolisian, Kejaksaan, Mahkamah
Agung dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Semua komponen dalam subsistem tersebut saling
memiliki keterkaitan yang kuat antara yang satu dengan yang lainnya, sehingga keberhasilan dan hasil
kerja masing-masing komponen satu dengan yang lainnya akan berdampak langsung terhadap hasil
kerja subsistem yang lainnya dalam pelaksanaan acara pidana serta penegakan hukum dan keadilan.
Sistem peradilan pidana sendiri dilaksanakan dalam beberapa tahapan umum, sebagaimana
yang didasarkan pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana. Tahap-tahapan umum dalam sistem peradilan pidana antara lain:

A. Tahap Penyelidikan

Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan
penyidikan menurut cara yang diatur dalam KUHAP. Penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama
permulaan penyidikan yang bukan tindakan berdiri sendiri yang terpisah dari fungsi penyidikan.
Dengan kata lain, penyelidikan merupakan bagian tidak terpisahkan dari fungsi penyidikan.
Penyelidikan merupakan sub dari fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain berupa
penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, pemeriksaan
dan penyerahan berkas perkara kepada Penuntut Umum (PU).

Gambar 2.1.Tahap Penyelidikan

7
B. Tahap Penyidikan dan Penuntutan
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat
terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Untuk kepentingan
penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan. Dalam hal terjadi
suatu tindak pidana dan terpenuhi bukti permulaan yang cukup serta dapat ditingkatkan ke
penyidikan, instansi penyidik menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) untuk menunjuk
personel penyidik. Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang
merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada jaksa penuntut umum. Sprindik
di beritahukan melalui Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Kejaksaan paling
lambat 3 hari sejak diterbitkan dan 7 hari untuk daerah terpencil.

Gambar 2.2. Tahap penyidikan dan Penuntutan

Adapun Penuntutan dilakukan oleh Jaksa, sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang No.
16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan diatur pada Pasal 1 butir 1 dan 2, bahwa kewenangan Jaksa adalah
sebagai Penuntut Umum dan sebagai eksekutor, sedangkan Penuntut Umum berwenang untuk
melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan Hakim. Jaksa yang menangani perkara dalam
tahap penuntutan disebut Penuntut Umum.

C. Tahap Persidangan

Tahap persidangan dilakukan setelah berkas perkara dilimpahkan ke Pengadilan oleh


Penuntut Umum. Penuntut Umum menerbitkan surat pelimpahan perkara acara pemeriksaan biasa
kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menetapkan hari persidangan, pemanggilan terdakwa,

8
pemanggilan saksi-saksi serta mengeluarkan penetapan untuk tetap menahan terdakwa.6

Gambar 2.3. Tahap persidangan

D. Tahap Pelaksanaan Putusan


Sebagai bagian akhir dalam proses sistem peradilan pidana adalah tahap pelaksanaan
pemidanaan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan HAM
melalui lembaga pemasyarakatan dan balai pemsyarakatan. Pelaksanaan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang menjatuhkan hukuman pidana pada terdakwa, maka
mengubah status yang bersangkutan dari terdakwa menjadi terpidana. Selanjutnya terpidana
tersebut akan menjalankan hukumannya di lembaga pemasyarakatan.

Gambar 2.4. Tahap eksekusi

6 Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara Pidana, 1992, (Jakarta : Sinar Grafika) h. 363.

9
2.2 Konsep Keadilan Restoratif dan Tujuan Pemidanaan
Pada dasarnya tujuan pemidanaan merupakan suatu keadaan yang secara tegas dinyatakan
dan dirumuskan secara resmi sebagai tujuan pemidanaan yang kemudian diperjuangkan untuk dicapai
melalui operasionalisasi dan fungsionalisasi pidana. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh
Roeslan Saleh, bahwa hakikat dari “tujuan pemidanaan” adalah keadaan yang diperjuangkan untuk
dapat dicapai, baik dirumuskan terlebih dahulu secara resmi, ataupun juga dapat sesuatu yang
langsung diperjuangkan secara tidak resmi dan tanpa dinyatakan secara tegas .7

Di dalam alinea ke-4 dari Pembukaan UUD 1945 disebutkan: “Kemudian daripada itu untuk
membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap Bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam
suatu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar
kepada: Ketuhanan yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.” Berdasarkan rumusan
tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa tujuan pemidanaan adalah “perlindungan masyarakat” (social
defence) dan “kesejahteraan masyarakat” (social welfare),8dan dengan tujuan untuk melindungi dan
menyejahterakan tersebut, Keadilan Restoratif ditawarkan sebagai suatu pendekatan yang dianggap
dapat memenuhi tujuan tersebut melalui pengembalian otoritas penyelesaian pidana dari lembaga
peradilan sebagai wakil negara kepada masyarakat melalui keadilan restoratif dimana korban dan
masyarakat merupakan komponen yang harus ada dan menentukan.9

Berdasarkan nilai filosofi pemidanaan pada sistem pemasyarakatan yang berlaku di Indonesia,
maka karakteristik teori pembalasan jelas bertentangan.10 Namun, sistem hukum pidana Indonesia
dekat dengan teori tujuan (relatif), yang dibuktikan dengan perkembangan teori pemasyarakatan dan
sistem pemasyarakatan. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Konsideran Undang-Undang No. 12
Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan : “... agar Warga Binaan Pemasyarakatan menyadari

7 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, (Jakarta: Aksara Baru, 1987), h. 27


8 Tim Penyusun, Draft Naskah Akademik RUU-KUHP (Jakarta: BPHN-Kementerian Hukum dan Hak
Asasi Manusia RI, 2015), h. 3
9 Eva Achjani Zulfa dan Indriyanto Seno Adji, Pergeseran Paradigma Pemidanaan, (Bandung, Edisi

Perdana, Lubuk Agung, 2011),


10 Usman, “Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana”, Jurnal Ilmu Hukum, Vo. 2, No. 1, 2011, h.

69.

10
kesalahannya, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali
oleh lingkungan masyarakat.” Pasal 2 UU No. 12 Tahun 1995 menyebutkan pula bahwa “Sistem
pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP)
agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi
tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan
dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.”

Sebagaimana diketahui, kebijakan penegakan tindak pidana merupakan kebijakan hukum


positif yang pada hakikatnya bukanlah semata-mata pelaksanaan undang-undang yang dapat
dilakukan secara yuridis normatif dan sistematik dogmatik. Disamping pendekatan yuridis normatif,
kebijakan hukum pidana juga memerlukan pendekatan yuridis faktual yang dapat berupa pendekatan
sosiologis, historis bahkan memerlukan pula pendekatan komprehensif dari berbagai disiplin ilmu
lainnya dan pendekatan integral dengan kebijakan sosial dan pembangunan nasional pada
umumnya.11 Pemidanaan pada dasarnya merupakan gambaran dari sistem moral, nilai kemanusiaan
dan pandangan filosofis suatu masyarakat pada masa tertentu. Jadi pemidanaan dalam hal ini akan
meliputi persoalan filosofis, sosiologis dan kriminologis.12

Hal tersebut sesuai dengan pendekatan Restorative Justice berdasarkan basic Principles on the
use of Restorative justice in Criminal Matters, Ecosoc Re. 2000/14. U.N Doc. E/2000/INF/2/Add.2 at 35
(2000) atau rancangan elemen awal Deklarasi prinsip-prinsip dasar tentang penggunaan program
keadilan restoratif dalam masalah pidana, didefinisikan sebagai setiap program yang menggunakan
proses restoratif atau tujuan untuk mencapai hasil pemulihan. Hasil keadilan restoratif sendiri
mempunyai arti sebagai kesepakatan yang dicapai sebagai hasil dari suatu proses restoratif, yaitu
proses saat korban, pelaku orang lain atau anggota masyarat yang terkena dampak kejahatan secara
aktif berpartisipasi bersama dalam penyelesaian masalah yang timbul dari kejahatan tanpa adanya
keberpihakan.13

Kedudukan korban yang selama ini kurang diperhatikan dalam penegakan pidana akan
diperhatikan dan dapat diberikan kompensasi yang disepakati untuk memulihkan kerugian yang
diderita. Pelaku dalam hal ini tidak harus mengalami hukuman tertentu untuk menyadari
kesalahannya, dimana melalui pendekatan Restorative Justice, pelaku dapat memahami dan berupaya
memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan. Sementara bagi masyarakat, melalui Restorative Justice

11 Barda Nawa Arief, Bunga rampai Kebijakan Hukum Pidana (Bandung:PT Aditya Bakti, Bandung-,
hlm 22
Eva Achjani Zulfa dan Indriyanto Seno Adji, Op.cit
12

Basic Principles on the use of Restorative justice in Criminal Matters, Ecosoc Re. 2000/14. U.N Doc.
13

E/2000/INF/2/Add.2 at 35 (2000)

11
adalah jaminan keseimbangan dalam kehidupan bermasyarakat dan aspirasi yang ada dapat
tersalurkan kepada pemerintah.14

Menurut Stephenson, Giller dan Brown ada empat bentuk keadilan restoratif yang mempunyai
tujuan yang sama yaitu memperbaiki tindakan kejahatan dengan menyeimbangkan kepentingan
Pelaku, Korban dan komunitas. Keempat bentuk tersebut antara lain:

1. Mediasi Penal ( Victim-Offender mediation)


2. Restorative conference;
3. Familiy Group Conferencing, dan;
4. Community Panel Meetings.

Substansi dari Restorative Justice sendiri menurut Bagir Manan berisi prinsip-prinsip yang
antara lain: “Membangun partisipasi bersama antara pelaku, korban, dan kelompok masyarakat
menyelesaikan suatu peristiwa atau tindak pidana. Prinsip ini menempatkan pelaku, korban dan
masyarakat sebagai “stakeholder” yang bekerja bersama dan langsung berusaha menemukan
penyelesaian yang dipandang adil bagi semua pihak”.15

Adapun Restorative Justice memiliki ciri-ciri dalam merespon suatu tindak pidana yang dapat
diketahui antara lain:16

a) Melakukan identifikasi dan mengambil langkah untuk memperbaiki kerugian yang


diciptakan.
b) Melibatkan seluruh pihak terkait.
c) Adanya upaya untuk melakukan transformasi hubungan yang ada selama ini antara
masyarakat dengan pemerintah dalam merespon tindak pidana.

Berdasarkan hal penjelasan sebelumnya, Restorative Justice dapat disebut sebagai


pendekatan alternatif dalam penyelesaian perkara tindak pidana yang melibatkan Negara, pelaku,
korban dan masyarakat untuk mencapai kesepakatan penyelesaian dalam rangka mewujudkan
keadilan dan keseimbangan.

Dalam hal ini, terhadap korban dimungkinkan adanya pemulihan kerugian aset, derita fisik,
keamanan, harkat, dan kepuasan atau rasa keadilan. Sedangkan bagi pelaku dan masyarakat

14 Eva Achjani Zulfa, Keadilan Restorative di Indonesi:Studi tentang kemungkinan Pendekatan


Keadilan Restoratif dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana, Disertasi FH UI, hlm 44.
15 Bagir Manan, Restorative Justice: Suatu Perkenalan, dalam Refleksi Dinamika hukum Rangkaian

Pemikiran dalam Dekade Terakhir, (Jakarta: Perum Percetakan Negara).


16 Diakses dari www.restorativejustice.com

12
tujuannya adalah memberi rasa malu agar pelaku tidak mengulangi lagi perbuatannya dan masyarakat
pun menerimanya. Dengan model ini, pelaku tidak perlu mendapatkan hukuman penjara jika
kepentingan dan kerugian korban sudah direstorasi, korban dan masyarakat pun sudah memaafkan,
sementara pelaku sudah menyatakan penyesalannya.

2.3 Implementasi Keadilan Restoratif dalam sistem


Peradilan Pidana saat ini Kendala dan Permasalahannya
2.3.1 Praktek Keadilan Restoratif Pada Sistem Peradilan Pidana Anak dan
Pada Perkara Narkotika
Jika melihat kondisi yang ada saat ini terkait dengan rencana penerapan keadilan
restoratif di Indonesia, terdapat tiga UU yang sudah mengakomodir Restorative Justice, yakni UU
SPPA, UU Narkotika dalam konteks pengguna narkotika, dan KUHAP. Kebanyakan walaupun
mekanismenya terdapat soal ganti kerugian, namun penerapannya jarang digunakan. Misalnya
UU terorisme, dapat dilihat pada kompensasi dan restitusi, yang melibatkan pemerintah dalam
pembayaran ganti rugi bagi korban.

A. Keadilan Restoratif pada Sistem Peradilan Pidana Anak


Keadilan restoratif di Indonesia saat ini secara ekspilisit dapat dilihat dalam pelaksanaan
Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) sebagaimana di atur dalam UU Nomor 11 Tahun 2012
tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dimana keadilan restoratif salah satunya diwujudkan
melalui pelaksanaan diversi pada anak. Adapun tujuan dari diversi berdasarkan Pasal 6 UU Nomor
11 Tahun 2012 tentang SPPA antara lain:
1. Mencapai perdamaian antara Korban dan Pelaku;
2. Menyelesaikan perkara anak di luar Pengadilan;
3. Menghindarkan anak dari pidana perampasan kemerdekaan;
4. Mendorong masyarakat untuk berpartisipasi; dan
5. Menanamkan rasa tanggung jawab kepada anak.

13
Gambar 2.5. Mekanisme sistem Peradilan Pidana Anak

Selain itu, dalam Pasal 21 ayat (1) disebutkan dalam hal Anak belum berumur 12 (dua
belas) tahun melakukan atau diduga melakukan tindak pidana, Penyidik, Pembimbing
Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional mengambil keputusan untuk: a.
menyerahkannya kembali kepada orang tua/Wali; atau b. mengikutsertakannya dalam program
pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah atau LPKS di instansi yang
menangani bidang kesejahteraan sosial, baik di tingkat pusat maupun daerah, paling lama 6
(enam) bulan.

B. Keadilan Restoratif pada Perkara Narkotika


Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika mengatur tentang sanksi
rehabilitasi dan sanksi tindakan lain, sehingga pemidanaan dalam UU Narkotika seharusnya tidak
hanya mengedepankan sanksi pidana penjara. Untuk menindaklanjuti mekanisme terkait dengan
pelaksanaan rehabilitasi dibentuk aturan-aturan teknis, baik yang dibentuk secara internal oleh
masing-masing komponen peradilan, maupun yang dimuat dalam peraturan bersama antara
lembaga peradilan pidana. Sebagai upaya penanganan perkara narkotika yang mengedepankan
rehabilitasi bagi para pecandu dan pengguna dengan gramatur rendah.
Berbagai peraturan internal lembaga (Badan Narkotika Nasional, Mahkamah Agung,
Kejaksaan, Kepolisian dsb) yang mengatur lebih lanjut mengenai pemberian layanan rehabilitasi
bagi tersangka/terdakwa dalam proses peradilan maupun sanksi rehabilitasi antara lain:
1. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2010;
2. SEMA No. 3 Tahun 2011;

14
3. Peraturan Jaksa Agung Nomor (PERJA) PER-29/A/JA/12/2015;
4. Surat Telegram KAPOLRI No: STR/865/X/2015;
5. Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Menteri
Sosial Republik Indonesia, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik
Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional Republik Indonesia. No.
01/PB/MA/III/2014, No. : 03 Tahun 2014, No. : 11 Tahun 2014, No. : 03 Tahun 2014, No.
: PER-005/A/JA/03/2014, No. : 1 Tahun 2014, No. : PERBER/01/III/2014/BNN tentang
Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke dalam
Lembaga Rehabilitasi (Peraturan Bersama).
6. Perubahan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 21 Tahun 2016 tentang Syarat
dan Tata Cara Pemberian Hak-Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, yang memutuskan
bahwa Anak (Pelaku Tindak Pidana) yang masuk dalam ‘tindak pidana khusus’
(Narkotika dan Terorisme) setelah menerima putusan Pengadilan dan menjalankan
pembinaan di LPKA/Lapas maka status pidananya dianggap sebagai ‘pidana umum’
dengan tujuan agar Anak tetap bisa memperoleh Remisi dan Hak-haknya (Asimilasi, Cuti
Mengunjungi Keluarga (CMK), Cuti Menjelang Bebas (CMB), Cuti Bersyarat (CB) dan
Pembebasan Bersyarat (PB)).

Meskipun demikian, dalam praktiknya penerapan mekanisme alternatif pemidanaan


seperti rehabilitasi di Undang-Undang Narkotika masih terbentur dengan penafsiran aparat
penegak hukum. Misalnya, terkait dengan klasifikasi pelaku (penyalahguna dan penguasaan,
kepemilikan atau pembelian narkotika), meskipun demikian hingga saat ini perlu diperjelas
ketentuannya, karena berdampak pada unsur kesalahan, konstruksi perbuatan yang dilanggar
dan sanksi pidana yang dijatuhkan (contoh pengaturan Pasal 111, 112, 113, 114 117, 122 dan
Pasal 127 yang serupa padahal sanksi berbeda), karena dalam prakteknya orang yang membeli,
membawa, atau menguasai narkotika yang bertujuan untuk menggunakan narkotika tidak
dituntut dengan pasal penyalahgunaan (pasal 127), namun dengan pasal (111, 112, 113, 114).
Masalah ini ditambah lagi dengan aturan internal Kejaksaan sebagaimana diatur dalam Surat
Edaran Jaksa Agung Nomor SE-001/JA/4/1995 tentang Pedoman Tuntutan Pidana tertanggal 27
April 1995 memaksa Jaksa untuk mengajukan upaya hukum apabila hakim menyatakan terdakwa
bersalah namun tidak sesuai dengan pasal didakwakan jaksa.17 Jadi, walaupun terbukti sebagai

17 Secara lengkap hal tersebut diuraikan dalam Poin D yang berbunyi sebagai berikut:
D. UPAYA HUKUM
1. Dalam menggunakan upaya hukum banding, agar memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

15
penyalahguna, namun jika tuntutan Jaksa Penuntut Umum bukan pasal penyalahguna maka Jaksa
Penuntut Umum akan mengajukan banding dan kasasi. Selain itu, pengaturan mekanisme khusus
dalam penanganan narkotika seperti pembelian terselubung dan penyadapan perlu diperjelas
sehingga kedudukan dan peran saksi pelapor sebagai justice collaborator dapat membantu
mengungkap lebih banyak peredaran gelap narkotika yang lebih besar.

2.3.2 Kendala dan Permasalahan dalam Penerapan Keadilan Restoratif


Dalam Sistem Peradilan Pidana
Secara empiris, jika melihat kondisi yang ada saat ini potensi pelaksanaan keadilan
restoratif di Indonesia, menurut Eva Achjani, sangat dipengaruhi tiga hal yang juga selama ini
menjadi kendala dan permasalahan dalam penerapan Keadilan Restoratif, antara lain :18

A. Dukungan aturan perundang-undangan


Jika ditelusuri dalam berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia, dukungan
terhadap pelaksanaan Restorative Justice, belum cukup memadai untuk penerapan Restorative
Justice khususnya dalam penanganan perkara pidana umum. Dalam Kitab Hukum Acara Pidana
sebagaimana diuraikan pada Pasal 82 KUHP, hanya terkait dengan pelanggaran dengan pidana
denda yang hingga saat ini pun masih terbatas pada tindak pidana yang diatur di dalam KUHP
saja. Saat ini, beberapa regulasi yang terkait dengan tugas dan fungsi kelembagaan dalam sistem
peradilan pidana, yang mendukung pelaksanaan Restorative justice, yaitu:
1. Pasal 14 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur terkait Pidana
bersyarat

a. Terdakwa banding maka Jaksa Penuntut Umum harus meminta banding agar masih
menggunakan upaya hukum kasasi karena adanya ketentuan pasal 43 Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1995 tentang Mahkamah Agung RI.
b. Putusan Hakim kurang dari tuntutan pidana mati atau seumur hidup, sekurang-
kurangnya 20 tahun penjara apabila Pertimbangan Jaksa Penuntut Umum dalam tuntutan
pidana diambil alih sebagian atau seluruhnya sebagai pertimbangan Hakim dalam
putusannya, Jaksa Penuntut Umum tidak harus mengajukan banding.
c. Putusan Hakim 1/2 dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum, apabila Pertimbangan Jaksa
Penuntut Umum dalam tuntutan pidana diambil sebagian atau seluruhnya sebagai
pertimbangan Hakim dalam putusannya, Jaksa Penuntut Umum tidak harus mengajukan
banding.
d. Putusan Hakim 2/3 dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum, walaupun Pertimbangan Jaksa
Penuntut Umum tidak diambil sebagian atau seluruhnya sebagai pertimbangan Hakim
dalam putusannya, Jaksa Penuntut Umum tidak harus mengajukan banding.
2. Upaya hukum kasasi digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam hal putusan Hakim dengan
amar yang membebaskan terdakwa dan adanya alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
253 ayat (1) KUHAP.
18 Hasil FGD Hasil FGD Restorative justice tertanggal 5 Juli 2017 dengan narasumber, Ibu Eva Achjani

Zulfa.

16
2. Undang-Undang No.8 tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
dalam Pasal 22 ayat 1: Jenis penahanan dapat berupa : bunyinya persis sama dengan
bunyi pasal 1 butir 21 KUHAP.

a. Penahanan rumah tahanan negara;

b. Penahanan rumah;

c. Penahanan kota;

Kemudian dalam Pasal 15 KUHAP telah menetapkan, bahwa seorang narapidana dapat
diberikan pembebasan bersyarat jika telah menjalani 2/3 masa pidananya dan
selanjutnya dalam Pasal 82 KUHP : hanya untuk pelanggaran dengan pidana denda.
3. Pasal 2 UU No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengatur bahwa “Sistem
pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan
Pemasyarakatan (WBP) agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan,
memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali
oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat
hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.”
4. Regulasi yang mengatur tentang Lembaga pelaksanaan sistem peradilan pidana yakni
dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, Undang-Undang No. 16
Tahun 2004 tentang Kejaksaan, dan Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, mengatur tentang kebijaksanaan yang dapat diambil oleh para
penegak hukum untuk dapat menerapkan keadilan restoratif, dalam hal ini melalui
diskresi di Kepolisian, Penerapan Asas Oportunitas di Kejaksaan, dan pelaksanaan
Judicial Activism di Mahkamah Agung.
5. Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang mengatur tentang
penanganan khusus pengguna narkotika melalui proses rehabilitasi, baik secara medis
maupun rehabilitasi sosial.
6. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) yang
mengatur tentang penangan khusus anak yang berhadapan dengan hukum khususnya
anak yang menjadi pelaku pidana, melalui penerapan keadilan restoratif.
7. Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan
Warga Binaan Pemasyarakatan yang mengatur tentang proses reintegrasi napi ke
masyarakat.
8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 99 Tahun 2012 tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999 tentang Syarat Dan Tata Cara

17
Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan mengatur tentang syarat dan tata cara
pelaksanaan hak Warga Binaan Pemasyarakatan, seperti remisi, asimilasi, pembebasan
bersyarakat.
9. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 8 Tahun 2009 tentang Implementasi
Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara
Republik Indonesia dimana tujuan regulasi ini dibentuk salah satunya adalah untuk menjamin
pemahaman prinsip dasar HAM oleh seluruh jajaran POLRI agar dalam melaksanakan tugasnya
senantiasa memperhatikan prinsip-prinsip HAM.
10. Surat Telegram Rahasia (TR) Kapolri No. 865/X/2015 terkait penanganan kasus
narkotika, dimana salah satu substansi pengaturannya bahwa pengguna ataupun
pecandu tidak dapat dilakukan penahanan namun dilakukan proses rehabilitasi.
11. Peraturan Kabareskrim Polri Nomor 1 Tahun 2016 tentang Standar Operasional
Prosedur Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahguna Narkotika ke
Dalam Rehabilitasi yang mengatur secara khusus pelaku tindak pidana narkotika,
khususnya perihal proses rehabilitasi.
12. Peraturan Jaksa Agung Nomor Per-029/A/JA/12/2015 tentang Petunjuk Teknis
Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Dalam
Lembaga Rehabilitasi mengatur secara khusus bahwa pecandu dan penyalahguna
narkotika harus ditempatkan di lembaga rehabilitasi.
13. Peraturan Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak
Pidana Ringan yang mengatur tentang tindak pidana yang masuk kategori jenis tindak
pidana ringan sehingga terhadap pelakunya tidak dapat dikenakan penahanan.
14. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2011 tentang Penempatan Korban
Penyalahgunaan Narkotika di Lembaga Rehabilitasi Kesehatan Dan Rehabilitasi Sosial
yang mengatur tentang penempatan pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika di
lembaga rehabilitasi.
15. Peraturan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2016 tentang Syarat Dan Tata Cara Pemberian Izin Keluar Bagi Narapidana Dalam
Rangka Pembinaan yang mengatur tentang pemberian izin keluar bagi narapidana yang
memiliki keterampilan dan keahlian di bidang tertentu untuk mengembangkan bakat,
keahlian, dan keterampilan di masyarakat, sehingga dapat mengurangi narapidana yang
berada di Lapas.
16. SE Menkumham RI No. M.HH-01.PK.06.01 Tahun 2015 tentang Mekanisme Pelaksanaan
Rehabilitasi WBP Penyalahguna Napza di Lapas dan Rutan. dan SE Dirjen
Pemasyarakatan No. M.HH-01.PK.06.10 Tahun 2015 tentang Mekanisme Pelaksanaan

18
Rehabilitasi WBP Penyalahguna Napza di Lapas atau Rutan yang mengatur tentang
pelaksanaan rehabilitasi WBP yang kasus narkotika di Lapas dan Rutan.
17. Peraturan Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum Dan
Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Menteri
Sosial Republik Indonesia , Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia, Kepala Badan Narkotika Nasional Republik, Nomor:
01/Pb/Ma/Iii/2014, Nomor: 03 Tahun 2014, Nomor: 11/Tahun 2014, Nomor: 03 Tahun
2014, Nomor: Per-005/A/Ja/03/2014, Nomor: 1 Tahun 2014, Nomor:
Perber/01/Iii/2014/Bnn tentang Penanganan Pecandu Narkotika Dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi dimana didalamnya diatur
mengenai koordinasi antara lembaga, khususnya lembaga penegak hukum beserta
instansi terkait lainnya dalam hal penanganan pecandu dan korban penyalahgunaan
narkotika ke dalam lembaga rehabilitasi. Implementasi yang efektif dari peraturan ini
seharusnya dapat menjadi bagian dari upaya pelaksanaan keadilan restoratif sebagai
bagian dari sistem peradilan pidana di Indonesia.

Jika melihat pemetaan regulasi di atas, Restorative Justice dalam tataran peraturan
perundang-undangan pidana secara umum di Indonesia, belum diatur secara tegas sebagai
bagian dari kebijakan hukum pidana di Indonesia. Padahal menurut Eva Achjani Zulva, Restorative
Justice merupakan suatu model pendekatan yang muncul sejak era tahun 1960-an dalam upaya
penyelesaian perkara pidana19. Bahkan Restorative Justice diakui oleh dunia Internasional pada
tahun 2000, dalam Basic Principles on the Use of Restorative Justice Program in Criminal Matters
yang berisi prinsip-prinsip mendasar dari penggunaan pendekatan Restorative Justice.

B. Pemahaman Penegak Hukum


Restorative Justice dalam praktik penanganan perkara pidana selama ini sebenarnya
telah diterapkan, hanya saja relatif sedikit jika dibandingkan dengan perkara pidana secara
konvensional, hal tersebut karena penerapan Keadilan Restoratif sangat bergantung pada
kemauan dari aparat penegak hukum tertentu, karena belum ada mekanisme yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Selama ini dalam penyelesaian kasus pidana, selalu
mengandalkan aparat penegak hukum dalam menyelesaikan masalah. Dalam hal penanganan

19 Hasil FGD Hasil FGD Restorative justice tertanggal 5 Juli 2017 dengan narasumber, Ibu Eva Achjani
Zulfa.

19
kasus hukum, sebenarnya instansi yang dapat terlibat dalam penegakannya tidak hanya instansi
penegak hukum.20

Sebagai contoh, untuk kasus penistaan agama, dalam pelaksanaannya misalnya bisa
dilakukan melalui mekanisme peringatan, kemudian pembinaan yang sebenarnya dapat
dilakukan oleh instansi Kementerian Agama yang memiliki tugas melaksanakan pelayanan,
bimbingan, pembinaan, di bidang urusan agama. Selain itu, lembaga-lembaga seperti sekolah dan
institusi sosial kemasyarakatan lainnya juga dapat berperan. Beberapa kasus lainnya seperti kasus
kecelakaan lalu lintas juga sebenarnya banyak yang telah diselesaikan lewat penerapan
restorative justice, sebagai contoh pada tanggal 19 Maret 2007, terjadi kecelakaan lalu lintas di
daerah Jakarta Pusat oleh seorang sopir angkutan umum yang menewaskan 2 (dua) orang korban.
Seminggu kemudian perkara ini diselesaikan dengan cara damai di mana pelaku menyantuni
keluarga korban dengan sejumlah uang sebagai modal dagang bagi istri korban. Alasan polisi
melakukan ini semata-mata melihat bahwa tindak pidana ini merupakan kelalaian yang ancaman
pidananya di bawah 5 (lima) tahun dan kondisi ekonomi baik pelaku maupun korban yang tidak
menguntungkan. Atas pertimbangan bahwa penyelesaian melalui proses peradilan pidana akan
lebih menyengsarakan kedua belah pihak dan dengan pertimbangan bahwa keluarga korban pun
telah memaafkan pelaku, maka upaya damai tersebut ditempuh. 21

Dalam hal pelanggaran lalu lintas misalnya, kurang lebih 2.000 lembar perbulan
dikeluarkan surat tilang atas pelanggaran lalu lintas di jalan raya oleh Polda Metro Jaya. Dari 1076
perkara lalulintas yang masuk ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tahun 2004 dan 3.904 di
tahun 2006, seluruhnya dipidana denda. Demikian pula di Pengadilan Negeri Bitung di mana
13.265 perkara pelanggaran lalulintas yang masuk semuanya diputus dengan pidana denda. Dari
data tersebut, preferensi masyarakat terlihat lebih besar untuk membayar denda dalam
penyelesaian suatu perkara yang dihadapi, dibandingkan menghadapi birokrasi yang panjang dan
waktu yang lama.

Contoh lain penerapan keadilan restoratif dapat dilihat dalam putusan Majelis Hakim
yang menolak tuntutan jaksa dan menjatuhi hukuman bimbingan di panti sosial sesuai
rekomendasi Balai Pemasyarakatan (Bapas) kepada seorang terdakwa kasus pembunuhan anak
yang juga merupakan anak korban pemerkosaan.22

20 Ibid
21 Hasil FGD Restorative justice tanggal 5 Juli 2017 dengan narasumber, Ibu Eva Achjani Zulfa.
22 Kompas, Keadilan bagi guru ngaji yang diperkosa dan buang bayinya, Juli 2017.

20
Selain itu Yurisprudensi Mahkamah Agung RI No. 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991
dimana dalam ratio decidendi putusan disebutkan bahwa apabila seseorang melanggar hukum
adat kemudian Kepala dan Para Pemuka Adat memberikan reaksi adat (sanksi adat), maka yang
bersangkutan tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) sebagai terdakwa dalam
persidangan Badan Peradilan Negara (Pengadilan Negeri) dengan dakwaan yang sama melanggar
hukum dan dijatuhkan pidana penjara menurut ketentuan KUH Pidana (Pasal 5 ayat (3) sub b UU
drt Nomor 1 Tahun 1951) sehingga dalam keadaan demikian pelimpahan berkas perkara serta
tuntutan Kejaksaan di Pengadilan Negeri harus dinyatakan tidak dapat diterima (Niet
Ontvankelijk Verklaard).

Dalam pandangan hukum pidana Indonesia, contoh-contoh kasus tersebut dianggap


bertentangan dengan Pasal 1 ayat (1) KUHP (asas nulla poena sine lege). Hal ini sewajarnya
dipertanyakan, karena secara filosofis hak untuk menjatuhkan sanksi pidana ada pada Negara.
Apalagi peluang untuk pelaksanaan alternatif pemidanaan juga telah diatur dalam Pasal 14a dan
Pasal 14c KUHP. Dalam Pasal 14a KUHP diatur:

(1) Apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau pidana kurungan,
tidak termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusannya hakim dapat
memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudian hari
ada putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena si terpidana melakukan
suatu tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah
tersebut diatas habis, atau karena si terpidana selama masa percobaan tidak
memenuhi syarat khusus yang mungkin ditentukan lain dalam perintah itu.
(2) Hakim juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkara-perkara
yang mengenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan pidana
denda, tetapi harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan yang
mungkin diperintahkan pula akan sangat memberatkan si terpidana. Dalam
menerapkan ayat ini, kejahatan dan pelanggaran candu hanya dianggap sebagai
perkara mengenai penghasilan negara, jika terhadap kejahatan dan pelanggaran itu
ditentukan bahwa dalam hal dijatuhkan pidana denda, tidak diterapkan ketentuan
pasal 30 ayat (2).
(3) Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga
mengenai pidana tambahan.
(4) Perintah tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki dengan cermat
berkeyakinan bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya

21
syarat umum, bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, dan syarat-
syarat khusus jika sekiranya ditetapkan.
(5) Perintah tersebut dalam ayat (1) harus disertai hal-hal atau keadaan-keadaan yang
menjadi alasan perintah itu.

Selanjutnya dalam Pasal 14c diatur:

(1) Dengan perintah yang dimaksud pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda,
selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak
pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana tindak pidana,
hakim dapat menerapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang
lebih pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian
kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tadi.
(2) Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara lebih dari tiga bulan atau pidana
kurungan atas salah satu pelanggaran berdasarkan pasal-pasal 492, 504, 505, 506,
dan 536, maka boleh diterapkan syarat-syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku
terpidana yang harus dipenuhi selama masa percobaan atau selama sebagian dari
masa percobaan.
(3) Syarat-syarat tersebut di atas tidak boleh mengurangi kemerdekaan beragama atau
kemerdekaan berpolitik terpidana.

Jika dilihat dari substansi kedua pasal tersebut, peluang untuk penerapan Keadilan
Restoratif di Pengadilan sebenarnya terbuka untuk dapat dilaksanakan, khususnya dalam konteks
pelaksanaan pidana bersyarat dengan mengoptimalkan sarana alternatif pemidanaan selain
pemenjaraan, yang pada dasarnya sejalan dengan keadilan restoratif.

Meskipun demikian, jika melihat praktik yang telah diterapkan hingga saat ini, keadilan restoratif
belum menjadi pemahaman bersama antara penegak hukum, dimana paradigma legalisme yang
berorientasi pada penjara sebagai satu-satunya pemidanaan yang efektif masih menjadi hal yang
utamakan oleh para penegak hukum, sehingga pelaksanaan keadilan restoratif menjadi sulit
untuk diterapkan.

C. Partisipasi Masyarakat Minim


Dalam penerapan sistem peradilan pidana selama ini, peran masyarakat kurang
dilibatkan. Paradigma yang berkembang bahwa dalam penyelesaian kasus pidana, peran instansi
penegak hukum dipandang sebagai satu-satunya pemberi efek jera bagi pelaku tindak pidana.

22
Disisi lain, sistem hukum kita belum mengakomodir penetapan perdamaian sebagai suatu
mekanisme dalam sistem peradilan yang dalam penerapannya sangat membutuhkan dukungan
dari masyarakat. Hal tersebut menyiratkan agar kerja sistem peradilan pidana dapat
dikembalikan kepada pola tradisional dimana keluarga dan masyarakat menjadi ujung tombak
pencegahan dan penanggulangan kejahatan (community care).
Keterlibatan masyarakat yang kurang terakomodir dalam sistem peradilan pidana pada
akhirnya mengakibatkan terbangunnya mekanisme yang ketat dimana hanya penegak hukum
sebagai satu-satunya aktor dalam penyelesaian perkara, sehingga pemenjaraan menjadi satu-
satunya pemidanaan yang dirasa paling efektif oleh masyarakat. Selain itu, pemahaman
masyarakat terkait keadilan restoratif juga masih minim. Banyak kasus dimana pelaksanaan kasus
melalui mediasi yang kemudian ditentang oleh masyarakat karena menginginkan pelakunya
dipenjara/dikurung (mindset pemenjaraan).

23
24
3.1 Penguatan Aturan Perundang-undangan
Pada penjelasan sebelumnya, telah dipetakan regulasi yang saat ini dapat mendukung
pelaksanaan Restorative Justice sebagai bagian dari kebijakan hukum pidana, baik aturan yang
mengatur secara formil ataupun materiil terkait pelaksanaan pidana di Indonesia. Selain itu
terdapat pula aturan organik yang membuka peluang bagi aparat penegak hukum untuk dapat
menerapkan restorative justice dalam penegakan hukum. Namun, ternyata penggunaan
ketentuan peraturan perundang-undangan organik belum optimal sebagai terobosan dalam
upaya untuk keluar dari ketatnya doktrin legalitas yang kaku dalam sistem penegakan hukum.

Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian telah mengatur tentang


kewenangan diskresi yang dilakukan oleh Kepolisian dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2004
tentang Kejaksaan, mengatur tentang asas oportunitas yang berlaku di Kejaksaan, selain itu
Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga membuka peluang bagi
hakim untuk dapat menggali nilai hukum dan keadilan yang ada di masyarakat. Ketentuan-
ketentuan tersebut seharusnya dapat menjadi dasar untuk para penegak hukum untuk dapat
keluar dari ketatnya doktrin legalitas dalam hukum pidana baik secara formil maupun materiil
sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan keseimbangan yang ada di masyarakat. Dan oleh
karena itu, optimalisasi diskresi, perluasan asas oportunitas, dan perluasan kewenangan serta
optimalisasi kebijakan internal untuk mendorong implementasi Restorative Justice.

Adanya kondisi dimana doktrin legalitas dalam penegakan hukum pidana masih dipegang
teguh oleh para Apgakum mengakibatkan pembaharuan terhadap KUHP dan KUHAP menjadi
sangat penting dalam rangka mendukung pelaksanaan keadilan restoratif ke depannya. Jika
dilihat perkembangannya hingga saat ini, RKUHP sudah selesai pembahasannya, tinggal
menunggu penyerahan pada tim perumus dan tim sinkronisasi. Restorative Justice sebagai tujuan
pemidanaan, yang berkaitan dengan doktrin, telah dimuat dalam RKUHP, dan diharapkan
Restoratif Justice merupakan langkah untuk menyelesaikan masalah. Beberapa ketentuan dalam
RKUHP sudah mengatur mengenai Restorative Justice, antara lain :23

1. Pengakomodasian terhadap hukum yang hidup di dalam masyarakat;


2. Memasukkan tujuan pemasyarakatan yang mengakomodir reintegrasi sosial, melalui
doktrin Restorative Justice;

23 Hasil FGD Restorative justice tertanggal 23 Agustus 2017 dengan narasumber, bapak Y Ambeg

Paramarta

25
3. Mengatur tentang pedoman pemidanaan, yaitu contoh seorang hakim ketika memutus
perkara pidana, perlu memperhitungkan substansi dalam ketentuan tersebut;
4. Mengatur tentang jenis pidana, pidana tambahan dalam RKUHP, juga diatur tentang
pemenuhan kewajiban adat setempat, atau pemenuhan menurut hukum setempat;
5. Mengatur tentang alternatif pemidanaan berupa denda; dan
6. Mengoptimalkan penahanan rumah dan kota bagi tersangka dan terdakwa.

3.2 Penguatan Kualitas Aparat Penegak Hukum dalam


menerapkan Keadilan Restoratif dalam Sistem
Peradilan Pidana
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, penerapan Restorative Justice dapat
dilihat sebagai upaya untuk memikirkan kembali kebutuhan dan peran implisit dalam kejahatan.
Wacana Restorative Justice muncul akibat kepedulian terhadap kondisi tidak terpenuhinya
kebutuhan untuk menyeimbangkan kepentingan yang ada di masyarakat melalui peradilan biasa.
Pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaan Restorative Justice pada dasarnya khawatir bahwa
terdapat pembatasan mengenai siapa saja pihak-pihak yang bisa terlibat dalam proses penegakan
hukum, dan keadilan restoratif memperluas lingkaran pemangku kepentingan pihak yang
memiliki kepentingan atau berdiri dalam peristiwa atau kasus, bukan hanya sekedar pemerintah
dan pelaku, namun juga termasuk korban dan anggota masyarakat.

Adanya pemahaman mengenai lingkup dari Restorative Justice yang luas tersebut,
merupakan salah satu hal yang sulit untuk dibangun ketika pandangan mengenai proses
pelaksanaan peradilan biasa/konvensional yang selama ini masih dilaksanakan, khususnya pada
Aparat Penegak Hukum dan tidak sejalan dengan Restorative Justice sebagai pendekatan
alternatif yang melibatkan negara, pelaku, korban dan masyarakat untuk mencapai kesepakatan
penyelesaian dalam rangka mewujudkan keadilan dan keseimbangan.

Selain itu, dalam upaya penerapan keadilan restoratif di Indonesia, membangun


pemahaman Apgakum tentunya tidak dapat hanya menunggu disahkan RKUHP sendiri, beberapa
upaya perlu dilakukan misalnya dengan mengoptimalkan pemahaman Apgakum melalui
penggunaan regulasi yang saat ini dapat membuka peluang dilaksanakannnya keadilan restoratif,
salah satunya dalam penggunaan pidana bersyarat oleh hakim yang regulasinya diatur dalam
Pasal 14a dan Pasal 14c KUHP. Dalam Pasal 14a KUHP diatur:

(1) Apabila hakim menjatuhkan pidana paling lama satu tahun atau pidana kurungan, tidak
termasuk pidana kurungan pengganti maka dalam putusannya hakim dapat

26
memerintahkan pula bahwa pidana tidak usah dijalani, kecuali jika dikemudian hari ada
putusan hakim yang menentukan lain, disebabkan karena si terpidana melakukan suatu
tindak pidana sebelum masa percobaan yang ditentukan dalam perintah tersebut diatas
habis, atau karena si terpidana selama masa percobaan tidak memenuhi syarat khusus
yang mungkin ditentukan lain dalam perintah itu.
(2) Hakim juga mempunyai kewenangan seperti di atas, kecuali dalam perkara-perkara yang
mengenai penghasilan dan persewaan negara apabila menjatuhkan pidana denda, tetapi
harus ternyata kepadanya bahwa pidana denda atau perampasan yang mungkin
diperintahkan pula akan sangat memberatkan si terpidana. Dalam menerapkan ayat ini,
kejahatan dan pelanggaran candu hanya dianggap sebagai perkara mengenai penghasilan
negara, jika terhadap kejahatan dan pelanggaran itu ditentukan bahwa dalam hal
dijatuhkan pidana denda, tidak diterapkan ketentuan pasal 30 ayat (2).
(3) Jika hakim tidak menentukan lain, maka perintah mengenai pidana pokok juga mengenai
pidana tambahan.
(4) Perintah tidak diberikan, kecuali hakim setelah menyelidiki dengan cermat berkeyakinan
bahwa dapat diadakan pengawasan yang cukup untuk dipenuhinya syarat umum, bahwa
terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, dan syarat-syarat khusus jika sekiranya
ditetapkan.
(5) Perintah tersebut dalam ayat (1) harus disertai hal-hal atau keadaan-keadaan yang
menjadi alasan perintah itu.

Selanjutnya dalam Pasal 14c diatur:

(1) Dengan perintah yang dimaksud pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda,
selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak
pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana tindak pidana,
hakim dapat menerapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang
lebih pendek daripada masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian
kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tadi.
(2) Apabila hakim menjatuhkan pidana penjara lebih dari tiga bulan atau pidana
kurungan atas salah satu pelanggaran berdasarkan pasal-pasal 492, 504, 505, 506,
dan 536, maka boleh diterapkan syarat-syarat khusus lainnya mengenai tingkah laku
terpidana yang harus dipenuhi selama masa percobaan atau selama sebagian dari
masa percobaan.

27
(3) Syarat-syarat tersebut di atas tidak boleh mengurangi kemerdekaan beragama atau
kemerdekaan berpolitik terpidana.

Jika melihat pasal tersebut, penggunaan pidana bersyarat memang ditekankan menjadi
wewenang hakim, namun tentunya pemahaman terkait penggunaannya tidak hanya hakim yang
memerlukan, tetapi Apgakum lainnya khususnya Jaksa Penuntut Umum juga seharusnya memiliki
pemahaman yang kuat terkait penerapan keadilan restoratif melalui pemidanaan bersyarat,
karena jika dilihat dari praktiknya selama ini, hakim meskipun telah menggunakan sarana Pasal
14a dan Pasal 14c tetap saja dilakukan upaya hukum terhadap putusan pidana bersyarat yang
telah dijatuhi oleh hakim ditingkat pertama oleh jaksa pada pengadilan di tingkat yang lebih tinggi
akibat tidak seimbangnya pemahaman dan perbedaan orientasi antara hakim dengan jaksa
dalam penerapan pidana bersyarat.

Atas kondisi tersebut, dalam upaya penerapan keadilan restoratif, membangun


pemahaman para Apgakum menjadi hal yang sangat krusial, dan untuk itu perlu dibangun
lembaga komunikasi antar Apgakum untuk menerapkan Restorative Justice yang kemudian diatur
dalam regulasi yang dapat menjadi payung untuk pelaksanaan komunikasi dalam penerapan
Restorative Justice. Sebagai contoh dalam penyelesaian kasus narkotika, telah ada Peraturan
Bersama Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia
Republik Indonesia, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia,
Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Kepala Badan Narkotika
Nasional Republik Indonesia. Nomor: 01/PB/MA/III/2014, Nomor: 03 Tahun 2014, Nomor: 11
Tahun 2014, Nomor: 03 Tahun 2014, Nomor: PER-005/A/JA/03/2014, Nomor: 1 Tahun 2014,
Nomor: PERBER/01/III/2014/BNN tentang Penanganan Pecandu Narkotika dan Korban
Penyalahgunaan Narkotika ke dalam Lembaga Rehabilitasi (Peraturan Bersama).

3.3 Pengembangan Cara Pandang dan Pelibatan


Masyarakat dalam penerapan Keadilan Restoratif
Sebagaimana yang dijelaskan sebelumnya, Restorative Justice dapat dianggap sebagai
pendekatan alternatif dalam penyelesaian perkara tindak pidana yang melibatkan negara, pelaku,
korban dan masyarakat untuk mencapai kesepakatan penyelesaian dalam rangka mewujudkan
keadilan dan keseimbangan. Adanya pendekatan yang demikian, jelas mengamanatkan bahwa
nilai-nilai yang ada dalam kebijakan hukum pidana, bukan nilai-nilai hukum yang bersifat kaku
dan represif ataupun punitive dan hanya mengutamakan kepentingan negara seperti yang selama
ini ada di dalam pelaksanaan kebijakan hukum pidana. Nilai-nilai yang terkandung dalam

28
Restorative Justice, adalah nilai-nilai yang mengakomodir tidak hanya kepentingan para pihak
yang terlibat dalam penyelesaian perkara yakni pelaku, korban, keluarga dari dua belah pihak
tetapi juga melibatkan masyarakat dalam rangka menggapai keadilan dan keseimbangan
sebagaimana yang diidamkan.

Sejalan dengan hal tersebut, menurut Daniel W Van Ness jika dilihat secara filosofis
Restorative Justice memiliki nilai yang dapat dibagi menjadi dua kategori. nilai tersebut yang
pertama adalah nilai normatif tentang bagaimana yang seharusnya.24 Dan yang kedua adalah nilai
operasional tentang bagaimana program keadilan restoratif dapat difungsikan.25 Penjabaran
nilai-nilai terebut dapat dilihat dalam tabel dibawah ini:

Tabel 3.1. Nilai Restorative Justice


Normative Values of Restorative Justice Operational Values of Restorative Justice
Active Responsibility- taking the initiative to Amends: those responsible for the harms resulting
help perserve and promote restorative values from the office are also responsible for repairing it to
and to make amends for behaviour that harms the extent possible
other people Assistance: affected parties are helped as needed in
Peaceful Social Life—responding to crime in becoming contributing members of their
ways that build harmony, contentment, communities in the aftermath of the offence
security, and community well-being Collaboration: affected parties are invited to find
Respect—regarding and treatinng all parties to solutions through mutual, consensual decision-
a crime as persons with dignity and worth making in the aftermath of the offence
Solidarity—fostering agreement, support, and Empowerment: affected parties have a genuine
connectedness, even amid significant opportunity to participate in and effectively influence
disagreement or dissimilarity. the response to the offence.
Encounter: affected parties are given the opportunity
to meet the other parties in a safe environment to
discuss the offence, harms, and the appropriate
responses
Inclusion: affected parties are invited to directly
shape and engage in restorative processes
Moral education: community standards are
reinforced as values and norms are considered in
determining how to respond to particular offences
Protection: the parties’ physical and emotional safety
is primary
Resolution: the issues surrounding the offence and its
aftermath are addressed, and the people affected are
supported, as completely as possible

24 Daniel W. Van Nies, “An overview of restorative justice around the world”, paper disampaikan
pada Workshop 2: Enhancing Criminal Justice Reform, Including Restorative Justice United Nations 11th
Congress on Crime Prevention and Criminal Justice Bangkok, Thailand April 22, 2005
25 Ibid

29
Jika dilihat dari penjabaran nilai-nilai tersebut, khususnya pada nilai-nilai operasional,
masyarakat dalam penyelesaian perkara pidana berdasarkan keadilan restoratif dapat
berpartisipasi melalui sebuah lembaga yang mengawasi pelaksanaan sistem peradilan pidana.
Masyarakat harus terlibat langsung dalam penegakan hukum pidana. Partisipasi masyarakat ini
sangat penting karena dari pandangan-pandangan masyarakat dapat dinilai apakah proses
penyelesaian perkara pidana itu dapat mewujudkan keadilan atau tidak. Apalagi Restorative
Justice dalam penerapannya harus sesuai dengan nilai budaya yang ada di masyarakat.

Jika dilihat dari bangun sistem masyarakat, sebenarnya masyarakat Indonesia sendiri
sudah memiliki modal nilai-nilai keadilan restoratif melalui sistem hukum adat ataupun kearifan
lokal yang tersebar diseluruh daerah di Indonesia. Meskipun demikian, eksistensi hukum adat
sebagai living law bangsa Indonesia semakin hari semakin termarginalkan, dimana hukum adat
yang semula menjadi hukum yang hidup dan mampu memberikan solusi dalam berbagai
permasalahan pergaulan hidup masyarakat Indonesia, semakin hari semakin pudar eksistensinya
dengan anggapan bahwa hukum adat sangat bersifat tradisional dan tidak dapat menjangkau
perkembangan jaman (globalisasi dan teknologi).26

Padahal dalam perkembangannya, penerapan hukum positif masih terlambat


mengantisipasi perubahan yang ada di masyarakat. Hukum positif dengan doktrin legalitasnya,
dalam beberapa justru kasus menjadi penghambat dalam penyelesaian kasus yang menginginkan
keseimbangan dan perdamaian bagi para pihak yang berperkara, dalam hal ini melalui penerapan
hukum adat dan fungsionalisasi lembaga peradilan adat yang dalam kenyataaannya kerap
dibenturkan dengan hukum formal27. Hal tersebutlah yang menjadi pemicu kebutuhan akan
adanya nilai hukum yang dapat mengakomodir kepentingan keseimbangan dan perdamaian
dalam penyelesaian perkara yang merupakan bagian dari nilai-nilai hukum adat yang ada selama
ini.

Oleh karena itu, dalam rangka penerapan Restorative Justice perlu adanya kegiatan-
kegiatan dalam rangka melakukan revitalisasi dan optimalisasi nilai-nilai hukum yang ada dan
berkembang di masyarakat melalui pelibatan pemerintah baik tingkat pusat maupun daerah dan
piranti lokal agar dapat berkorelasi dengan sistem hukum nasional. Sebagai contoh dapat dilihat
dalam upaya integrasi nilai hukum adat yang berlaku di Masyarakat Aceh dengan sistem hukum

26 M. Syamsudin, “Beban Masyarakat Adat Menghadapi Hukum Negara”, Jurnal Hukum, Vol. 15 No. 3
Juli 2008, hlm. 338-351, di download dari http://journal.uii.ac.id/
27 Eva Achjani Zulfa dan Indriyanto Seno Adji, Op.cit,hlm135

30
nasional serta upaya melakukan pendidikan terkait keadilan restoratif di masyarakat yang
dilakukan oleh sahabat kapas di Solo.

A. Peradilan Kampong di Aceh


Keadilan Restoratif, pada prakteknya di Aceh bukanlah hal baru. Hal ini sudah
dilaksanakan sejak zaman dahulu oleh Datu Nini (orang tua terdahulu) dalam bentuk “Peradilan
Damai Kampung” melalui peradilan adat yang bermuara pada penguatan tali persaudaraan.
Banyak persoalan dalam masyarakat kampong yang sebagian besar diselesaikan secara damai
lewat peradilan adat, baik persoalan pidana maupun persoalan perdata. Adat merupakan
lembaga tertinggi dalam tatanan kehidupan masyarakat kampong Adat, dan diterapkan atas azas
kesepakatan bersama kelompok masyarakat.

Sesuai dengan keputusan bersama antara Gubernur Kapolda dan Majelis Adat Aceh
(MAA) provinsi Aceh dan kemudian dituangkan ke dalam Pasal 13, Qanun Aceh Nomor 9 Tahun
2008 tentang Pembinaan kehidupan Adat dan adat istiadat, yaitu sengketa/perselisihan adat dan
adat istiadat yang dikembalikan penyelesaiannya dikampung meliputi:

1. perselisihan dalam rumah tangga;


2. sengketa antara keluarga yang berkaitan dengan faraidh;
3. perselisihan antar warga;
4. khalwat / mesum;
5. perselisihan tentang hak milik;
6. pencurian dalam keluarga (pencurian ringan);
7. perselisihan harta serikat;
8. pencurian ringan;
9. pencurian ternak peliharaan;
10.pelanggaran adat tentang ternak, pertanian dan hutan;
11.persengketaan di laut;
12.persengketaan di pasar;
13.penganiayaan ringan;
14.pembakaran hutan;
15.pelecehan, fitnah, hasut dan pencemaran nama baik;
16.pencemaran lingkungan;
17.ancam mengancam; dan
18.perselisihan-perselisihan lain yang melanggar adat istiadat setempat.

31
Peradilan adat kampung merupakan upaya untuk menyelesaikan dan memberikan
putusan berdasarkan pada norma hukum adat istiadat yang berlaku di daerah setempat.
Peradilan adat kampung dihadiri oleh para pihak, saksi-saksi dan terbuka untuk umum, kecuali
untuk kasus kasus tertentu yang menurut adat dan kepatutan tidak boleh terbuka untuk umum
serta tidak dipungut biaya kecuali pada ketentuan adat (sanksi adat).

Putusan peradilan kampung mengikat serta tidak dapat diajukan lagi pada peradilan
umum atau peradilan lainnya. Setiap putusan peradilan adat dibuat secara tertulis, ditanda
tangani oleh ketua dan anggota majelis serta kedua belah pihak yang bersengketa dan
tembusannya disampaikan kepada Kapolsek, Camat dan Majelis Adat Aceh Kecamatan. Peradilan
adat kampung sendiri dalam memberikan putusan dilarang menjatuhkan sanksi badan.

Pelaksanaan peradilan adat kampong sendiri merupakan keinginan masyarakat patuh


hukum untuk dapat hidup dalam keseimbangan (social equiliberium) dan menggantungkan
harapan kedamaian pada mono trias function (kemanunggalan kekuasaan dalam tiga fungsi),
yaitu kekuasaan eksekutif, sekaligus dengan legislatif dan yudikatif disatu tangan (Datok
Penghulu/Kepala Desa). Datok Penghulu (Kepala Desa) tidak pernah otoriter dalam menjalankan
kekuasaan, melainkan sangat demokratis, karena semua materi tugasnya dipahami selalu melalui
musyawarah dengan pembantu-pembantunya (Imam Kampung, Perangkat Kampung, MDSK
(LKMD) dan urang patot-patot).

B. Sahabat Kapas Solo


Masyarakat selama ini kurang terlibat dalam penanganan perkara. Dengan kondisi
sebaran LPKA (Lembaga Pembinaan Khusus Anak) belum seimbang, pendidikan yang ada untuk
ABH (Anak Berhadapan dengan Hukum) hanya mengejar ijazah, bukan bimbingan dengan
pendekatan rehabilitasi psikis, pengembangan diri, dan minimnya perilaku SDM/petugas
psikolog. Salah satu kelompok masyarakat di Solo yakni Sahabat Kapas, berinisiatif membuat
kelas belajar bersama masyarakat yang melibatkan tokoh masyarat (PPT/pos pelayanan terpadu)
khusus untuk penyelesaian perkara perempuan dan anak.

Di kota Solo, masyarakat sudah sering mendengar keadilan restoratif, yang masih sekedar
pemahaman tentang mediasi dengan saling ganti rugi dan perkara selesai, dan belum sampai
pada bagaimana pelaksanaan rehabilitasi pelaku di masyarakat. Pihak yang terlibat pada
pelaksanaan keadilan restoratif selama ini hanya kalangan masyarakat yang sudah tua, dan
sebagian besar masyarakat masih enggan terlibat.

32
Sekolah warga dimulai pada tahun 2015,
dilakukan di 10 Kelurahan di Surakarta dengan 200
peserta (PPT Kel). Selanjutnya dilakukan secara berkala
(3 kali) dengan tema khusus dan berlanjut dengan
forum koordinasi antar Pos Pelayanan Terpadu (PPT)
Kelurahan. Dalam pelaksanaannya, kegiatan ini
diharapkan dapat menghasilkan peserta yang mampu
menangani kasus disekitarnya dengan mengutamakan kepentingan terbaik antar anak dan
membangun prinsip serta paradigma bahwa pemenjaraan merupakan upaya terakhir.

33
34
4.1 Tahapan Perubahan Peningkatan Keadilan Restoratif
Jika dilihat dari perkembangan kebijakan legislasi Indonesia, semakin hari terlihat terus
menerus melahirkan regulasi dengan ancaman pidana di luar KUHP, yang ancaman hukumannya
di atas 5 tahun penjara, dan dengan meningkatnya jumlah tindak pidana dengan ancaman
hukuman di atas 5 tahun tersebut ternyata seiring dengan meningkatnya tindak pidana yang
menjadi syarat objektif dapat dilakukannya penahanan.28 Selain ancaman pidana dalam KUHP,
sampai tahun 2007 terdapat 443 tindak pidana yang memiliki ancaman pidana di atas 5 tahun.
Jumlah ini meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Peningkatan jumlah undang-undang
yang memuat ancaman pidana di atas 5 tahun menjadi salah satu faktor penting terus
bertambahnya jumlah orang yang ditahan, karena dalam praktik penahanan, unsur yuridis
menjadi pertimbangan utama bagi kalangan penegak hukum. Peningkatan jumlah orang yang
ditahan telah berimplikasi terhadap buruknya situasi penahanan, seperti masalah kelebihan
kapasitas tempat-tempat penahanan (overcrowded). Selain terus bertambahnya undang-undang
dengan ancaman pidana di atas 5 tahun, mudahnya syarat yang digunakan untuk melakukan
penahanan terhadap seseorang sebagaimana diatur di KUHAP, telah berkontribusi besar
terhadap kenaikan jumlah orang yang ditahan dan terus meningkatnya jumlah tahanan pra-
persidangan dari tahun ke tahun.29 Kondisi demikian jelas akan menghambat upaya untuk
menerapkan keadilan restoratif dalam sistem pidana di Indonesia, sehingga penting untuk
dilakukan pembaharuan dan pembangunan sistem pidana di Indonesia, baik sacara materiil
maupun formil.

Secara filosofis, ketika kebijakan pembaruan hukum perundang-undangan dilaksanakan


secara drastis, dari yang mendasarkan diri pada kebijakan kolonial yang berpaham dualisme ke
kebijakan nasional yang berpaham ‘sistem hukum nasional yang tunggal’, maka secara pasti
yurisdiksi hukum publik menjadi kian meluas dan memperkecil wilayah yurisdiksi hukum privat.
Tertib hukum yang semula ditegakkan atas kekuatan sanksi-sanksi adat dalam hubungan-
hubungan yang lebih bersifat kontraktual psikologik quid pro quo, kini kian banyak memerlukan
berbagai kekuatan sanksi hukum publik yang ditunjang oleh wibawa nasional, tak hanya yang
berkarakter administratif tetapi juga yang bahkan berkarakter pidana. Proses kriminalisasi pun

28 Institute For Criminal Justice Reform, Laporan Situasi Reformasi Hukum di Sektor Pidana: Catatan
di 2014 dan Rekomendasi di 2015, artikel di akses dari icjr.or.id
29 Ibid

35
lalu bermunculan sebagai konsekuensinya. Suatu perbuatan yang pada waktu yang lalu bukan
digolongkan sebagai delik, kini diatur sebagai perbuatan pidana.30

Oleh karena itu, pembaharuan dan pembangunan hukum pidana sendiri pada dasarnya
tidak dapat dilakukan secara sebagian saja tetapi harus bersifat mendasar, menyeluruh dan
sistemik dalam bentuk rekodifikasi yang mencakup 3 (tiga) permasalahan pokok hukum pidana
yaitu perumusan perbuatan yang bersifat melawan hukum (criminal act), pertanggungiawaban
pidana (ciminal responsibility) baik dari pelaku berupa manusia alamiah (natural person) maupun
korporasi (corporate criminal responsibility) dan pidana serta tindakan yang dapat diterapkan.31

Selain pembaharuan regulasi, perlu perubahan paradigma masyarakat bahwa


penjatuhan pidana terhadap pelaku kejahatan, bertujuan untuk memberikan pembalasan atau
efek jera (masih menganut teori pembalasan) paradigma tersebut didukung dengan penjatuhan
pidana yang ditetapkan oleh hakim terhadap pelaku kejahatan yang dilakukan semata-mata
karena perintah undang-undang, dimana pemidanaan dilakukan untuk memberikan efek jera
kepada pelaku, oleh karena itu banyak hakim yang menjatuhkan pidana penjara yang tinggi,
dengan keyakinan semakin tinggi pidana yang dijatuhkan maka semakin besar efek jera yang
diberikan kepada pelaku. Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa hakim belum sepenuhnya
menyadari bahwa penjatuhan pidana penjara adalah upaya terakhir (ultimum remedium) apabila
upaya lain tidak berhasil dilakukan.

4.1.1 Perubahan dalam Level Regulasi


Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat dilihat bahwa dalam rangka memasukkan
pendekatan keadilan restoratif dalam hukum pidana di Indonesia yang penting untuk dilakukan
adalah pembaharuan substansi hukum, dalam hal ini pembaharuan substansi hukum pidana
materiel (KUHP dan UU di luar KUHP), hukum pidana formal (KUHAP), dan hukum pelaksanaan
pidana, dengan memasukkan baik dari segi prinsip maupun teknis pendekatan keadilan restoratif
dalam penegakan hukum pidana Indonesia

30 Soetandyo Wignjosoebroto, “Hukum yang Tak Kunjung Tegak: Apa yang Salah dengan Kerja
Penegakan Hukum di Negeri Ini?”, artikel dalam Dialektika Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia,
Jakartq: Komisi Yudisial, 2012, h. 9
31 Muladi dan Diah Sulistyani, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Bandung: PT Alumni

Bandung, 2013, dalam Tim Penyusun, Draft Naskah Akademik RUU-KUHP (Jakarta: BPHN-Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2015), h. 3

36
4.1.2 Perubahan dalam Level Penerapan dalam Sistem Peradilan
Dalam penjelasan sebelumnya, bahwa permasalahan yang menjadi kendala penerapan
pendekatan keadilan restoratif adalah terkait dengan pemahaman para penegak hukum yang
masih mengutamakan sistem pemidanaan penjara sebagai satu-satunya sistem pemidanaan yang
ada, dimana penerapan keadilan restoratif menjadi sangat bergantung pada kemauan dari aparat
penegak hukum tertentu saja. Jika ditelusuri dalam peraturan perundang-undangan, mekanisme
pelaksanaan keadilan restoratif sebenarnya dapat dilaksanakan misalnya melalui diskresi,
maupun penggunaan asas oportunitas yang melekat pada para aparat penegak hukum.

Oleh karena itu dalam upaya penerapan keadilan restoratif, diperlukan perubahan dalam
level penerapan, dengan melakukan optimalisasi penggunaan diskresi, oportunitas serta sarana
kebijakan lainnya yang melekat pada penegak hukum dalam rangka melaksanakan keadilan
restoratif. Dan untuk itu perlu membangun pemahaman Apgakum misalnya melalui sarana diklat
terpadu antar apgakum yang secara substansial berorientasi pada upaya membangun konstruksi
berpikir yang sama terkait keadilan restoratif dalam penegakan hukum pidana di Indonesia

4.1.3 Perubahan dalam Level Budaya Masyarakat


Ketika berbicara pada pelaksanaan hukum, tentunya tidak dapat dilepaskan dari peran
masyarakat, mengingat hukum tumbuh dan berkembang bersama masyarakat. Khususnya dalam
penerapan Restorative Justice, penting untuk dilakukan perubahan dalam level budaya
masyarakat agar penyelesaian perkara pidana tidak lagi selalu dimonopoli oleh aparat penegak
hukum. Keterlibatan masyarakat menjadi hal yang sangat vital dalam proses penanganan perkara
berdasarkan keadilan restoratif agar dapat tercapai keadaan yang seimbang. Penyelesaian
perkaranya dapat dilakukan secara musyawarah dengan melibatkan keluarga pelaku, korban, dan
masyarakat tempat kejadian perkara.

Selain hal tersebut, masyarakat dalam penyelesaian perkara pidana berdasarkan keadilan
restoratif juga dapat berpartisipasi melalui sebuah lembaga yang mengawasi pelaksanaan sistem
peradilan pidana. Masyarakat harus terlibat langsung dalam penegakan hukum pidana.
Partisipasi masyarakat ini sangatlah penting, karena dari pandangan-pandangan masyarakatlah
dapat dinilai apakah proses penyelesaian perkara pidana itu dapat mewujudkan keadilan atau
tidak, apalagi Restorative Justice dalam penerapannya selalu dikaitkan dengan dengan nilai
budaya yang ada di masyarakat.

37
4.2 Pengorganisasian
4.2.1 Pengkondisian dan Koordinasi di Level Strategis
Untuk mewujudkan keadilan restoratif dalam sistem hukum pidana di Indonesia hal
penting yang untuk dibangun adalah adanya komitmen dan dukungan semua pihak melalui
kemauan bersama (political will) khususnya pada lembaga legislatif. Pentingnya pengkondisian
dalam rangka membangun political will dari DPR RI diperlukan terkait dengan fungsi legislasi dan
fungsi anggaran. Pelaksanaan Keadilan Restoratif akan efektif diterapkan melalui produk legislasi
berupa undang-undang, baik undang-undang yang sudah ada maupun undang-undang yang akan
dibentuk. Sebagaimana diketahui Saat ini DPR RI sedang mempersiapkan untuk pembahasan
Rancangan Undang-Undang tentang KUHP dan KUHAP, dalam dalam rangka penerapan keadilan
restoratif, pengkondisian dalam bentuk pendampingan untuk menyusun substansi hukum RKUHP
dan RKUHAP sangat penting dilakukan dalam rangka memasukan keadilan restoratif dalam
sistem hukum di Indonesia.

Dukungan dari DPR RI berupa penyediaan anggaran untuk realisasi penerapan keadilan
restoratif juga sangat penting. Karena dalam penerapan keadilan restoratif tidak hanya
membangun paradigma secara holisitik, tetapi juga mengubah secara teknis penanganan perkara
pidana, jelas membutuhkan infrastruktur teknis, sehingga akan membutuhkan dana yang relatif
besar, oleh karena itu perlu disediakan dalam APBN yang dalam proses pembahasannya perlu
persetujuan DPR RI.

Selain membangun political will pada cabang kekuasaan legislatif, pengkondisian dan
pengorganisasian pada level strategis juga dapat dilakukan melalui pembenahan struktur serta
sistem koordinasi antara komponen peradilan pidana, mulai dari Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan hingga pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, dimana dengan pendekatan
keadilan restoratif peran dan fungsi masing-masing komponen harus dapat terkoordinir secara
optimal sehingga membutuhkan adanya koordinator penghubung antar komponen sistem
peradilan.

Dalam upaya pengkondisian dan pengorganisasian keadilan restoratif juga diperlukan


penguatan peran Balai Pemasyarakatan (BAPAS) yang merupakan bagian dari sub sistem
pemasyarakatan narapidana atau sub-sub sistem peradilan pidana, yang kedudukan hukumnya
diatur dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Dalam Pasal 1 angka
4 dirumuskan bahwa Balai Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut BAPAS adalah pranata
untuk melaksanakan bimbingan Klien Pemasyarakatan. Peran Bapas sendiri sangat penting dalam

38
upaya penerapan keadilan restoratif, karena peran dan fungsi Bapas sendiri khususnya kaitannya
dengan upaya reintegrasi warga binaan pemasyarakatan merupakan bagian penting dari
pelaksanaan keadilan restoratif.

4.2.2 Pengkondisian dan Koordinasi di Level Teknis


Untuk realisasi penerapan pendekatan Restoratif Justice, diperlukan pengkondisian dan
koordinasi di level teknis dalam proses penegakan hukum pidana di Indonesia. Dimana untuk saat
ini, hal tersebut dapat dilakukan dalam kerangka perencanaan pembangunan hukum ditegaskan
dalam Buku I Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019,
khususnya dalam agenda pembangunan memperkuat kehadiran negara dalam melakukan
reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya,
terdapat sasaran pokok peningkatan penegakan hukum yang berkeadilan dengan sasaran
pembangunan bidang hukum yang diwujudkan dalam:

1. Meningkatnya kualitas penegakan hukum dalam rangka penanganan berbagai tindak


pidana, mewujudkan sistem hukum pidana dan perdata yang efisien, efektif, transparan,
dan akuntabel bagi pencari keadilan dan kelompok rentan, dengan didukung oleh aparat
penegak hukum yang profesional dan berintegritas; dan
2. Terwujudnya penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak atas keadilan bagi warga
negara.
Berdasarkan sasaran bidang pembangunan hukum tersebut, terdapat arah kebijakan
dan strategi bidang pembangunan hukum dan HAM yang terkait dengan upaya pengkondisian
dan koordinasi pada level teknis dalam rangka penerapan keadilan restoratif, diantaranya
adalah meningkatkan keterpaduan dalam sistem peradilan pidana, yang dilakukan melalui
keterpaduan substansi hukum acara pidana baik KUHAP maupun peraturan perundang-
undangan lainnya, sinkronisasi kelembagaan antar lembaga yang terlibat dalam sistem
peradilan pidana untuk mengurangi tumpang tindih hingga konflik dalam pelaksanaan
kewenangan serta peningkatan pemahaman yang optimal terkait keadilan restoratif antara
penegak hukum melalui penyempurnaan mekanisme koordinasi dan forum komunikasi yang
perlu diatur dalam satu regulasi sebagai payung hukumnya.
Selain keterpaduan dalam sistem peradilan pidana, dalam upaya pengkondisian dan
pengorganisasian secara teknis, regulasi internal di masing-masing komponen peradilan juga
urgen dibutuhkan dalam rangka penerapan keadilan restoratif, misalnya perlu adanya
pedoman teknis penyidikan di Kepolisian, atau Pedoman Penuntutan di Kejaksaan yang
mengakomodir penerapan keadilan restoratif dalam penanganan perkara pidana.

39
Secara teknis, pelaksanaan keadilan restoratif juga akan diterapkan dalam bentuk
program-program penanganan perkara yang membutuhkan keterlibatan seluruh stakeholder
dalam penanganan perkara pidana yang jelas tidak hanya melibatkan penegak hukum, tetapi
juga pelaku, korban, serta masyarakat. Adapun beberapa program-program pelaksanaan
keadilan resotoratif dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 4.1 Program Keadilan Restoratif


Program Stakeholder Manfaat Dampak
yang terlibat

Peradilan Kelompok 1. Mengakomodir kepentingan Mengurangi tingkat


adat masyarakat adat, pelaku, korban dan kejahatan
pemerintah masyarakat
daerah, penegak 2. Terciptanya Keharmonisan dan
hukum kedamaian di masyarakat

Mediasi Pelaku, korban, 1. Mengakomodir kepentingan Mengurangi jumlah perkara


keluarga, penegak korban dan pelaku secara di pengadilan
hukum seimbang
2. Proses peradilan menjadi lebih
cepat dan sederhana

Rehabilitasi Penegak hukum, 1. Memulihkan mental dan Mengurangi jumlah


lembaga sosial, kejiwaan pengguna narkotika narapidana narkotika
institusi 2. Memperbaki pelaku agar dapat
kesehatan, kembali dan berguna di
organisasi masyarakat
kemasyarakatan
Reintegrasi Bapas, Kelompok 1. Memulihkan hubungan warga Mengurangi tingkat residivis
Sosial masyarakat, binaan dengan masyarakat
warga binaan sekitar
2. Memperbaiki perilaku warga
binaan agar dapat kembali dan
berguna di masyarakat

Program-program sebagaimana yang disebutkan tersebut, jelas membutuhkan


dukungan dari berbagai stakeholder dalam bentuk partisipasi, pengawasan dan perlibatan
yang berkesinambungan, hal tersebut jelas mensyaratkan komitmen yang kuat dan
berkesinambungan dalam rangka penerapan keadilan restoratif.

4.2.3 Pengkondisian dan Koordinasi pada Level Masyarakat


Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, dalam rangka penerapan Restorative
Justice perlu adanya kegiatan-kegiatan dalam rangka melakukan revitalisasi dan optimalisasi
nilai-nilai hukum yang ada dan berkembang di masyarakat melalui pelibatan pemerintah baik
tingkat pusat maupun daerah dan piranti lokal agar dapat berkorelasi dengan sistem hukum

40
nasional. Untuk itu perlu dibentuk forum dan lembaga komunikasi antar Pemerintah, Penegak
Hukum serta masyarakat baik ditingkat nasional maupun lokal dalam rangka membangun
pemahaman yang sama serta melakukan revitalisasi nilai-nilai hukum di masyarakat yang
dapat menjadi landasan penerapan Restorative Justice.
Selain itu, dalam rangka melaksanakan keadilan restoratif, perlu adanya proses
pembangunan kesadaran hukum masyarakat (community encourage) dan pelibatan
masyarakat (community engagement process), dan kemitraan (partnership) yang efektif
khususnya antara masyarakat dengan penegak hukum agar sistem peradilan dapat
mengadopsi prinsip (principles) dan nilai (values) keadilan restoratif sebagai pilar pertama
model kerja pengadilan, dan dengan pendekatan keadilan restoratif, sistem peradilan dapat
berorientasi untuk dapat mengembalikan keadaan dengan menghindari penghukuman.
Sehingga yang menjadi titik tekan dari proses dan outcome pengadilan adalah melakukan
proses manajemen hubungan.
Partisipasi masyarakat tidak datang dengan sendirinya tetapi melalui pembelajaran
dan penguatan secara berkesinambungan. Oleh sebab itu sangat diharapkan adanya peran
utama yang dimainkan oleh seluruh komponen Pemerintah Daerah sebagai ujung tombak
perubahan sosial. Selain itu, institusi penegak hukum juga perlu memainkan peran sosialisasi
dan kerjasama dengan Pemerintah Daerah dalam menyukseskan program Restorative Justice
ini melalui koordinasi dalam level Muspida. Kementerian Hukum dan HAM juga memiliki peran
koordinator dalam level yang lebih konkrit pada konteks implementasi penyuluhan hukum.

4.3 Monitoring dan Evaluasi oleh Kementerian


PPN/Bappenas
Dalam rangka menerapkan Keadilan Restoratif kedepannya, penting agar paradigma
serta strategi pelaksanaannya dapat dimasukkan dalam RPJMN 2020-2025 tidak hanya di
bidang hukum tetapi secara holistik juga dapat masuk sebagai bagian kebijakan bidang terkait
lainnya, seperti bidang sosial, ekonomi dll. (kebijakan 5 tahun) agar upaya pelaksanaan
keadilan restoratif betul-betul dapat dilaksanakan secara komprehensif dan
berkesinambungan. Dan untuk itu juga perlu adanya pendekatan monitoring dan evaluasi baik
secara substansial maupun institusional dalam rangka membangun pemahaman keadilan
restoratif di berbagai pihak urgen untuk dilakukan.

41
DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Artikel


Arief, Barda Nawa. Bunga rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung:PT Aditya Bakti, Bandung.
Basic Principles on the use of Restorative justice in Criminal Matters, Ecosoc Re. 2000/14. U.N Doc.
E/2000/INF/2/Add.2 at 35 (2000).
Institute For Criminal Justice Reform. Laporan Situasi Reformasi Hukum di Sektor Pidana: Catatan di 2014 dan
Rekomendasi di 2015, artikel di akses dari icjr.or.id
Manan, Bagir. Restorative Justice: Suatu Perkenalan, dalam Refleksi Dinamika hukum Rangkaian Pemikiran
dalam Dekade Terakhir. Jakarta: Perum Percetakan Negara.
Marpaung, Leden. Proses Penanganan Perkara Pidana, 1992. Jakarta: Sinar Grafika.
Muladi dan Diah Sulistyani. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Bandung: PT Alumni Bandung, 2013, dalam
Tim Penyusun, Draft Naskah Akademik RUU-KUHP. Jakarta: BPHN-Kementerian Hukum dan Hak Asasi
Manusia RI, 2015.
Saleh, Roeslan. Stelsel Pidana Indonesia. Jakarta: Aksara Baru, 1987.
Soetandyo Wignjosoebroto, “Hukum yang Tak Kunjung Tegak: Apa yang Salah dengan Kerja Penegakan Hukum
di Negeri Ini?”, artikel dalam Dialektika Pembaharuan Sistem Hukum Indonesia, Jakartq: Komisi Yudisial,
2012.
Van Nies, Daniel W. “An overview of restorative justice around the world”, paper disampaikan pada Workshop
2: Enhancing Criminal Justice Reform, Including Restorative Justice United Nations 11th Congress on
Crime Prevention and Criminal Justice Bangkok, Thailand April 22, 2005
Zulfa, Eva Achjani dan Indriyanto Seno Adji. Pergeseran Paradigma Pemidanaan. Bandung, Edisi Perdana, Lubuk
Agung, 2011.
Zulfa, Eva Achjani Keadilan. Restorative di Indonesi:Studi tentang kemungkinan Pendekatan Keadilan Restoratif
dalam Praktek Penegakan Hukum Pidana, Disertasi FH UI.
Usman. “Analisis Perkembangan Teori Hukum Pidana”. Jurnal Ilmu Hukum, Vo. 2, No. 1, 2011.

Internet
Alexy, Robert. ‘Gustav radbruch’s concept of law’. Diakses pada
https://www.upjs.sk/public/media/16913/Gustav%20Radbruch%27s%20Concept%20of%20Law.pdf, 27
November 2017.
M. Syamsudin, “Beban Masyarakat Adat Menghadapi Hukum Negara”, Jurnal Hukum, Vol. 15 No. 3 Juli 2008,
hlm. 338-351, di download dari http://journal.uii.ac.id/
www.restorativejustice.com

Media Cetak
Kompas, Keadilan bagi guru ngaji yang diperkosa dan buang bayinya, Juli 2017.
Warta Pemasyarakatan No.: 58 Tahun XV / 2014.

Paparan dan Hasil FGD


Hasil FGD Hasil FGD Restorative justice tertanggal 5 Juli 2017 dengan narasumber, Ibu Eva Achjani Zulfa.
Hasil FGD Restorative justice tertanggal 23 Agustus 2017 dengan narasumber, bapak Y Ambeg Paramarta.
Setyo Utomo, Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Yang Berbasis Restorative Justice, Makalah disampaikan
dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) tentang “POLITIK PERUMUSAN ANCAMAN PIDANA DALAM
UNDANG-UNDANG DILUAR KUHP”, diselenggarakan oleh Pusat Perencanaan Pembangunan Hukum
Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Departement Hukum dan HAM, di Jakarta, tanggal
21 Oktober 2010.

42

Anda mungkin juga menyukai