Anda di halaman 1dari 12

Pengobatan Tradisional Masyarakat Dayak

Ditulis pada Desember 2, 2017

haii sahabat blogger, kali ini saya kembalikan membagikan sebuah tulisan hsail dari tugas
mata kuliah Antropologi Kesehatan yang saya tempuh disemester 5. Nah tulisan saya kali ini
sedikit menceritakan sebuah kepercayaan tentang pengobatan tradisoinal masyarakat Dayak
dalam mengobati suatu penyakit. Nah seperti apa cara masyarakat Dayak dalam mengobati
penyakit?Langsung saja simak penjelasannya berikut ini

“Mantra Belian dari Penjaga Tradisi Hulu Mahakam”

Di salah satu wilayah di Kalimantan Timur, yaitu di Kutai Barat dan Hulu Mahakam
terdapat sebuah ritual pengobatan tradisional oleh Suku Dayak yang dinamakan “Mantra
Belian”. Mantra belian merupakan prosesi pengobatan yang mengedepankan unsur
tradisional. Orang yang berperan dalam pengobatan tradisional ini disebut dengan
‘pemelian”. Untuk sampai ke wilayah Hulu Mahakam, perjalanan yang harus ditempuh yaitu
dengan mengarungi sungai Mahakam.

Ritual pengobatan matra belian dilakukan untuk mengobati orang yang sakit dan pada
dasarnya hampir sama dengan pengobatan tradisional lainnya di tempat lain, yaitu bahwa
konsep sakit selain disebabkan karena ketidakseimbangan unsur dalam tubuh, juga
disebabkan karena adanya gangguan dari makhluk halus. Tujuan dari pengobatan mantra
balian ini yaitu untuk mengusir roh halus tersebut dan mengembalikan orang yang sakit pada
keadaan yang sehat seperti semula. Dalam pengobatan tradisional mantra belian, tidak hanya
dilakukan oleh keluarga dari orang sakit, tetapi dalam hal ini juga melibatkan masyarakat
yang berperan dalam penyembuhan orang yang sakit tersebut. Dalam pengobatan tradisional
belian dilakukan tarian yang diiringi dengan musik tradisional, di mana lokasi yang menjadi
ritual berlangsung yaitu berada di tempat keluarga yang sakit. Dalam rangkaian ritual mantra
belian ini juga terdapat kebau kepang yang digunakan sebagai hewan kurban, dengan cara
dibawa ke suatu tanah lapang kemudian masyarakat berkumpul dan kerbau tersebut disayat
hingga tewas.. Dalam ritual belian sentiu pada suku dayak terdapat berbagai perlengkapan
ritual diantaranya yaitu :

1. Patung toga, yang memiliki makna untuk mencegah roh jahat


2. Minyak, untuk mengobati keluhan
3. Musik tari, gendang, gong, memiliki makna sebagai alat untuk memanggil arwah
4. Balai, sebagai tempat untuk meletakkan sesaji dan sebagai tangga bagi arwah untuk
turun
5. Gelanggang, merupakan pagar yang memiliki makna untuk mencegah masuknya
arwah atau roh jahat.
6. Konsep sehat menurut masyarakat dayak

Konsep sehat menurut masyarakat dayak yaitu ketika keadaan tubuh seimbang dan seseorang
dapat melakukan aktivitas sehari-hari serta dapat melaksanakan perannya di masyarakat.
Selain itu sehat juga diartikan tidak adanya gangguan pada tubuh yang dipengaruhi oleh
unsur personalistik, seperti roh jahat dan makhluk halus lainnya.

1. Konsep sakit menurut masyarakat dayak


Konsep sakit menurut masyarakat dayak yaitu ketika seseorang mengalami gangguan fungsi
tubuh yang dikarenakan ketidakseimbangan unsur-unsur dalam tubuh dan oleh personalistik.
Dalam film tersebut diceritakan bahwa salah satu anggota masyarakat sedang mengalami
sakit dan masyarakat setempat menganggap sakit tersebut disebabkan karena hilangnya roh
dari raga seseorang yang berada disuatu tempat tetapi tidak dapat kembali, sehingga roh
tersebut harus dicari dan dibawa kepada pemiliknya. Dalam hal ini gejala yang dialami oleh
pasien atau orang yang sakit tidak bisa menggerakkan badan. Dengan demikian konsep sakit
menurut masyarakat dayak lebih mengarah pada hal yang bersifat personalistik, dan untuk
menyembuhkannya maka harus dilakukan ritual mantra belian untuk memanggil roh tersebut
agar kembali pada pemiliknya. Sementara jika dipandang dari sudut pandang medis modern
gejala tersebut mengarah pada penyakit stroke

1. Etiologi sakit menurut masyarakat dayak

Asal mula datangnya penyakit menurut masyarakat dayak yaitu berasal dari hal yang bersifat
personalistik, misalnya makhluk halus atau roh-roh jahat yang menggangu seseorang dan
menyebabkan menjadi sakit. Selain itu adanya suatu penyakit juga disebabkan oleh perbuatan
yang membuat dewa atau leluhur mereka marah sehingga memberikan sakit kepada orang
tersebut.

1. Perawatan kesehatan menurut masyarakat dayak

Perawatan kesehatan masyarakat dayak ketika sakit yaitu dengan melakukan ritual mantra
belian sebagai penyembuhan. Dalam ritual mantra belian tidak hanya dilakukan oleh pihak
keluarga yang sakit, tetapi juga dari peran serta masyarakat, sehingga dengan demikian
terdapat ikatan sosial yang berfungsi sebagai perekat nilai kebersamaan dalam masyarakat.
Dalam ritual pengobatan mantra belian ini terdapat tangga sebagai bagian dari alat-alat ritual
yang memiliki makna sebagai tempat turunnya arwah. Selain itu juga terdapat sesaji untuk
pengobatan yang macam-macam benda atau perlengkapannya ditentukan oleh keluhan dan
sakit dari pasien. Pengobatan dilakukan sedikitnya selama tiga malam berturut-turut
tergantung pada berat ringannya penyakit. Jika penyakit yang dialami oleh seseorang
dianggap berat, maka pengobatan dapat mencapai 40 malam. Dalam pengobatan mantra
belian ini penuh dengan suasana mistis, karena setelah arwah turun, kemudian dilanjutkan
dengan tarian yang diiringi dengan musik khas suku dayak. Setelah itu kemudian pembelian
pergi ke tengah hutan untuk memanggil arwah untuk merasuki dirinya, kemudian kembali
pada pasien yang sakit untuk menyembuhkan dengan cara menyedot tubuh pasien, yang
kemudian akan keluar batu kecil, sebagai pertanda keluarnya penyakit dari tubuh pasien.
Pengobatan Mantra Belian pada suku Dayak merupakan pengobatan tradisional yang
menyimpan kearifan lokal dan unsur magis yang tersirat dalam ritual tersebut. Dengan
demikian adanya pandangan sakit dan pengobatan tradisioanl masyarakat dayak tidak lepas
dari kondisi lingkungan masyarakat setempat yang jauh dari pusat kota dan pengobatan medis
modern sehingga dalam menangani sakit masyarakat lebih mengarah pada kepercayaan yang
mereka yakini dan unsur-unsur tradisonal dalam kehidupan masyarakat dayak itu sendiri.

UPACARA BELIAN DALAM MASYARAKAT DAYAK TUNJUNG DAN BENUAQ


Secara harafiah, beliatn sebenarnya mengandung arti berpantang/ tabu (Lietn). Sehingga
secara umum, belian merupakan serangkaian usaha manusia yang bertujuan untuk
mencegah terjadinya suatu musibah terhadap manusia dan lingkungan, atau
membebasakan diri dari belenggu penyakit, yang selalu diakhiri dengan cara berpantang.
Menurut kepercayaan masyarakat Dayak Tunjung dan Benuaq, gangguan terhadap
kesehatan manusia dan lingkungan, dapat terjadi dalam berbagai macam bentuk dan
tingkatan. Berkaitan dengan hal itu, maka jenis belian pun terbagi dalam beberapa ragam.

Berdasarkan sifatnya, belian dapat digolongkan atas dua jenis , yaitu:

1. Belian yang bersifat pencegahan, diantaranya: Nalitn Taotn Makatn Juus dan Tulak Bala.

2. Belian yang bersifat pengobatan, diantaranya : Nyamat Nyahuq, Ngayukng dan Muat
Balai Banci.

Sedangkan berdasarkan tata-cara penyelenggaraannya, belian dapat digolongkan menjadi


beberapa ragam, yaitu:

1. Belian Lewangan/ Belian Beneq

2. Belian Bawo

3. Belian Sentiyu

4. Belian Jamu

5. Belian Ranteu

1. Beliatn Bawo

Belian Bawo adalah belian yang menggunakan bahasa Bawo sebagai bahasa pengantar,
adapun pelakunya, biasanya terdiri dari pemeliatn laki-laki tetapi dapat juga seorang
wanita.

Ciri khas dari Belian Bawo ini, lengan kiri dan kanan sang pemeliatan, masing-masing
mengenakan sepasang gelang perunggu yang disebut Ketakng, sedangkan dibagian kepala
mengenakan ikat kepala yang disebut Lawukng.

Khusus bagi pemeliatn pria, tidak mengenakan baju tetapi menggunakan semacam untaian
kalung dari jenis kayu obat-obatan dan taring binatang, yang disebut Samakng Sawit.
Untaian kalung tersebut diselempangkan dari bahu kiri-kanan ke bawah rusuk kiri kanan.

Ciri khas yang lain, sang pemeliatn menggunakan sejenis rok/kun panjang sampai ke mata
kaki yang direnda dengan motif tertentu yang disebut Ulap Bawo. Sedangkan di bagian
pinggang dililit seuntai kain panjang yang kedua ujungnya terjuntai di samping kiri kanan
sebatas ulap bawo, kain ini disebut Sempilit. Diatas lilitan Sempilit bagian pinggang
dipasang ikat pinggang khusus yang disebut Babat.

Dalam pelaksanaan upacara adat Belian Bawo, biasanya dilakukan melalui beberapa
rangkaian kegiatan, sebagai berikut :

(1). Nomaaq.
Nomaaq adalah suatu proses awal yang selalu harus dilalui pada setiap mengadakan belian
bawo. Hal itu bertujuan menjelajahi negeri para dewa, serta mengundang mereka untuk
membantu dalam usaha pengobatan.

Nomaaq selalu diawali dengan meniup Sipukng/Belaluq sebanyak tiga kali, alat ini terbuat
dari taring beruang, macan dahan, harimau. Suara Sipukng tersebut perperanan sebagai
undangan bagi para dewa, sekaligus merupakan kode untuk dimulainya menabuh gendang
yang pertama kali (Nitik Tuukng).

Setelah gendang ditabuh beras yang berada dalam genggaman dengan maksud melepaskan
utusan yang akan menjemput para dewa yang diundang.

Pada saat Nomaaq, posisi pemeliatn duduk bersila menghadap Awir, yaitu daun pinang
beserta dahannya yang telah dibuang lidinya dan digantung bersama selembar kain
panjang menjuntai ke bawah menyentuh tikar bagian ujungnya. Awir ini berfungsi sebagai
“tangga” untuk turun atau naiknya para dewa.

(2). Jakaat

Setelah para utusan tiba di negeri para dewa, pemeliatn mulai berdiri serta berjalan
mengitari Awir. Posisi ini melambangkan para dewa mulai bergerak turun untuk
menghadiri undangan.Seusai para dewa tiba di dalam rumah, pemeliatn mulai menari
untuk melakonkan gerak dari masing-masing dewa yang hadir.

(3). Penik Nyituk

Bilamana sekalian (para) dewa telah mendapatkan giliran menampilkan kebolehannya


dalam hal menari, mereka duduk dan menanyakan alasan apa mereka diundang.Dalam hal
ini jawaban tuan rumah sangat bervariasi, hal mana tergantung dari masalah yang sedang
dihadapi keluarga tersebut pada saat itu.

(4) Ngawaat

Pada tahap ini dengan kembali pada posisi berdiri, pemeliatn mewakili para dewa, mulai
melaksanakan perawatan terhadap orang sakit dengan menggunakan Selolo.Puncak
perawatan dilakukan dari muka pintu, dalam hal ini pemeliatn mewakili para dewa di atas
bumi yang mempunyai keterampilan Nyegok (menyedot) penyakit, memberikan penyapuh,
yaitu semacam obat yang bertujuan menyembuhkan luka dalam.Sementara pemeliatn
pulang-pergi memberi perawatan, bunyi gendang harus dipercepat dengan irama Sencerep
dan Kupuk Tuatn. Akhirnya perawatan ini diselesaikan dengan Ngasi Ngado dan Nyelolo-
Nyelonai, dengan maksud menciptakan kondisi sejuk dan nyaman serta bebas dari
cengkraman penyakit.

Dalam perawatan terakhir ini, irama dan lagu tabuhan gendang berubah dan diperlambat
dengan irama yang disebut Meramut dan Beputakng.

(5) Tangai
Pada tahap ini, pemeliatn mempersilahkan para dewa untuk kembali ketempatnya masing-
masing, dengan terlebih dahulu disAjikan hidangan ala kadarnya. Jenis sAjian sesuai
dengan tingkat acara yang diselenggarakan.

(6) Engkes Juus

Engkas dalam bahasa Dayak Benuaq berarti memasukkan, sedangkan Juus adalah roh/jiwa.
Sehingga yang dimaksud dengan engkes juus adalah memasukan roh/jiwa ke dalam tempat
yang seharusnya yaitu badan dari yang empunya jiwa tersebut.

Masyarakat Dayak Tunjung Benuaq berkeyakinan bahwa kehidupan setiap manusia terdiri
atas badan (unuk) dan jiwa (juus-june).

Sehingga dalam proses penyembuhan manusia yang sakit, selain diperlukan perawatan fisik
melalui Bekawat, perlu juga dilakukan perawatan jiwa melalui pengamanan juus-june agar
tidak terganggu oleh roh-roh jahat. Adapun tempat yang aman dinyatakan sebagai Petiq
Ngetn Bulaw.

(7) Bejariiq.

Bejariq artinya berpantang, lamanya berpantang biasanya selama satu hari. Selama
berpantang, orang yang sakit tidak diperbolehkan keluar rumah, memakan makanan
terlarang, seperti terong, asam, rebung dan semua jenis hewan melata.

Selain itu suasana rumah harus sepi dan tidak diperkenankan menerima tamu. Suasana
tersebut ditandai dengan penancapan dahan dan daun kayu hidup di samping pintu masuk
rumah bagian luar.

Pelanggaran atas pantangan ini dapat mengakibatkan kambuhnya penyakit dan sukar
dirawat kembali. Setelah berakhirnya masa jariiq, maka seluruh rangkaian upacara belian
bawo dinyatakan selesai.

Berdasarkan pada berat ringannya masalah yang dihadapi, serta keadaan sosial-ekonomi
keluarga atau masyarakat yang menyelenggarakan, belian bawo dapat dibagi menjadi
beberapa tingkatan, yaitu :

a. Ngejakat

Lamanya satu hari, tanpa mengkurbankan hewan dan tidak menjalani masa jariiq.

b. Bekawaat Encaak

Lamanya minimal tiga hari, menggunakan hewan kurban berupa babi dan ayam,
menggunakan balai di tanah dan menjalani masa jariiq selama maksimal tiga hari.

c. Makatn Juus
Lamannya maksimal delapan hari, hewan yang dikurbankan berupa ayam, babi atau
kambing, menggunakan balai di dalam rumah dan di halaman rumah. Jumlah pemeliatn
minimal delapan orang dan menjalani masa jariiq maksimal empat hari.

d. Nyelukng Samat.

Lamanya maksimal delapan hari, sedangkan jumlah pawang minimal delapan orang.
Hewan kurban terdiri dari ayam, babi, kambing, kerbau, sesuai dengan janji waktu
nyamat, menggunakan balai di dalam rumah dan di luar rumah, serta menjalani masa
jariiq maksimal empat hari.

2. Beliatn Luangan

Pada pelaksanaan belian Luangan digunakan bahasa Lewangan sebagai bahasa pengantar.
Pemeliatn terdiri dari laki-laki dan biasanya tidak mengenakan pakaian khas.Fungsi dari
belian Lewangan adalah sebagai perawatan atau pencegah penyakit terhadap manusia
atau lingkungan, juga dapat sebagai upacara ucapan syukur dan dapat menjadi sarana
hiburan serta pengembangan bakat seni sastra.

Ambil contoh dalam upacara perkawinan, peranan pemeliatn Lewangan lebih bersifat
syukuran serta pengembangan bakat seni sastra, karena pada saat tersebut, disAjikan
kebolehan berargumentasi melalui Perentangin, Ngelele Nancakng, Ngoteu, Bedoneq,
Begantar, Temanakng dan Bimpas.

Berdasarkan berat ringannya masalah yang dihadapi serta kondisi sosial ekonomi keluarga
atau masyarakat yang menyelenggarakan, maka belian Lewangan dapat dibagi menjadi :

(1). Ngokoq Ngejakat

Lamanya satu hari, pemeliatn satu orang, tidak mempergunakan hewan kurban dan tidak
menjalani masa bejariiq.

(2) Natakng Nibukng

Lamanya satu sampai dengan tiga hari, pemeliatn minimal satu orang. Menggunakan
hewan kurban berupa ayam yang jumlahnya sesuai dengan Dasuq yang ditelusuri.Dasuq
adalah jenis penyakit, makhluk penyebabnya juga cara perawatannya. Menggunakan balai
sesuai dasuq serta menjalani jariiq selama satu hari.

(3) Talitn Terajah

Lamanya satu sampai dengan enam hari, jumlah pemeliatn minimal satu orang. Hewan
kurban berupa ayam dan babi yang banyaknya sesuai dengan dasuq. Menggunakan balai
dan Tujakng serta menjalani masa jariiq selama tiga hari.
(4) Bekelew Bekebas

Lamanya delapan sampai dengan enam belas hari, jumlah pemeliatn minimal delapan
orang, jumlah hewan kurban berupa ayam dan babi disesuaikan dengan dasuq.
Menggunakan Balai Munan Rampa (langit-langit rumah) dan menjalani masa jariiq selama
tiga hari.

(5) Nalitn Taotn

Lamanya delapan sampai dengan enam belas hari, jumlah pemeliatn minimal delapan
orang. Hewan yang dipersembahkan berupa ayam, babi, dan minimal satu ekor kerbau.
Menggunakan balai taotn di tanah, serta menjalani masa jariiq selama empat hari.Pada
uraian berikut, akan disAjikan tahapan upacara Nalitn Taotn karena dengan pertimbangan
karena pada upacara ini, semua tingkatan belian Lewangan telah termaktub.

Selain daripada itu, upacara belian (Nalitn Taotn) ini cukup berpotensi untuk
dikembangkan dalam rangka menunjang program pariwisata dan pembangunan daerah.

Upacara Adat Belian Tolak Bala Suku Petalangan

Asal-usul

Dalam sejarah masyarakat Melayu Riau, Suku Petalangan dikenal sebagai suku yang
memiliki banyak adat istiadat. Contohnya adalah upacara belian yang sampai sekarang
masih tetap dilestarikan. Upacara ini merupakan ajaran leluhur agar manusia menjaga
keseimbangan hidup dengan alam dan makhluk yang terlihat maupun tidak. Upacara ini juga
bertujuan agar manusia bersyukur kepada Tuhan atas kesehatan mereka (Nizamil Jamil, dkk,
1987/1988; Budisantoso, 1986). Belian menurut bahasa orang Petalangan diambil dari
beberapa arti. Menurut mereka, belian adalah nama kayu yang keras dan tahan lama. Kayu
belian ini pada masa lalu biasa digunakan untuk bahan membuat ketobung, yakni gendang
untuk mengiringi upacara adat. Kayu ini juga baik untuk bahan membuat bangunan rumah.
Menurut kemantan (orang yang dapat berkomunikasi dengan makhluk gaib), kayu belian
disebut juga dengan kayu putih sangko bulan yang berarti kayu tempat tinggal jin yang baik
(Nizamil Jamil, dkk, 1987/1988).

Kata belian juga dipercaya berasal dari kata bolian yang berarti persembahan. Belian juga
dianggap berasal dari kata belian yang berarti budak atau hamba sahaya. Dari arti-arti
tersebut, secara umum, upacara belian dapat diartikan sebagai upacara persembahan kepada
Tuhan agar diselamatkan dari marabahaya dan mengharap kesembuhan serta perlindungan
dari beragam penyakit dan gangguan makhluk gaib yang jahat (Nizamil Jamil, dkk,
1987/1988).

Berdasarkan arti di atas, upacara belian pada umumnya ditujukan untuk empat hal, yaitu
untuk mengobati orang sakit, membantu orang hamil yang dikhawatirkan sulit melahirkan,
untuk mengobati kemantan, dan untuk menolak wabah penyakit. Upacara adat belian terdiri
dari dua macam, yaitu belian kocik (kecil) atau biaso (biasa) dan belian bose (besar) atau
polas (khusus). Belian biaso adalah upacara yang digelar untuk orang hamil yang
dikhawatirkan sulit melahirkan. Selain itu, juga untuk orang yang terkena wabah penyakit
atau mendapat gangguan binatang buas. Namun, jika upacara belian biaso tidak mampu
menyembuhkan penyakit tersebut, barulah diadakan belian bose atau polas (Nizamil Jamil,
dkk, 1987/1988). Dengan kata lain, belian biaso dan polas intinya adalah sama, hanya waktu
digelarnya saja yang berbeda.

Waktu dan Tempat Pelaksanaan

Upacara adat belian digelar pada malam hari. Malam dianggap waktu yang tepat untuk bedoa
dan memohon kepada Tuhan. Selain itu, pada malam hari biasanya seluruh warga suku dapat
berkumpul bersama karena jika siang hari mereka bekerja di hutan.

Upacara ini biasanya digelar di rumah orang yang sakit atau di rumah adat yang besar. Selain
itu, pemangku adat dibantu oleh warga akan membuat rumah-rumah kecil didepan rumah
tempat upacara sebagai salah satu syarat upacara.

Pemimpin dan Peserta Upacara

Upacara adat belian dipimpin oleh kemantan atau mantan (orang yang ahli mengobati
penyakit). Selain karena ahli, seorang kemantan dipilih karena ia dianggap dapat menjalin
komunikasi dengan makhluk gaib. Selama upacara berlangsung, Kemantan akan
berhubungan dengan makhluk gaib yang baik dan meminta mereka ikut hadir untuk
membantu menyembuhkan penyakit pasien.

Upacara belian biasanya dihadiri oleh seluruh anggota suku atau oleh keluarga yang sakit dan
sanak kerabat mereka. Meskipun demikian, upacara adat belian melibatkan warga suku
secara keseluruhan karena upacara ini adalah upacara kolektif (bersama).

Peralatan dan Bahan

Upacara adat belian memerlukan beragam alat dan bahan, antara lain:
 Puan, rangkaian daun kelapa muda (janur) yang dihiasi bunga-bungaan
 Dame (damar), obor yang terbuat dari damar yang ditumbuk halus
 Dian, lilin besar yang dibuat dari sarang lebah yang diberi sumbu kain pintal dan dilekatkan
pada tempurung kelapa
 Gonto, genta dari kuningan
 Pending, kepala ikat pinggang kemantan dari perak atau kuningan
 Kain kesumbo, kain warna merah untuk tudung kemantan
 Destar atau tanjak, ikat kepala kemantan
 Mangkuk putih, tempat meracik limau dan cincin tanda orang minta obat
 Cincin perak milik orang yang sakit
 Padi
 Mayang, daun kepau (sejenis palem)
 Kayu gaharu untuk dibakar
 Pisau kecil
 Ketitipan, berbagai jenis jamur dari pucuk daun kepau
 Jeruk limau
 Sanding dan lancang, sejenis perahu yang terbuat dari pelepah kelubi (pohon asam paya)
 Balai pelesungan, rumah-rumahan tidak beratap dari pelepah kelubi
 Bokal, sesaji yang dibungkus daun pisang
 Mondung (ayam)
 Hidangan yang terdiri dari nasi kunyit, panggang ayam, telur rebus, gulai ayam, dan daging
hewan lain
 Balai induk, bangunan khusus yang dibuat di depan rumah tempat upacara digelar
 Tikar pandan putih.

Seluruh perlengkapan dan bahandi atas disiapkan oleh dua orang khusus yang disebut tuo
longkap dan pebayu. Selain betugas untuk hal itu, pebayu juga bertugas memeriksa semua
perlengkapan dan bahan-bahan. Jika belum lengkap, maka pebayu harus mencari
kelengkapannya sebelum upacara dimulai. Penyiapan segala perlengkapan danbahan-bahan
upacara juga akan dibantu oleh warga suku dan anak.

Proses Pelaksanaan

1. Persiapan

Persiapan upacara ini dimulai dengan musyawarah antara pemangku adat dengan keluarga
pesukuan orang yang akan diobati. Musyawarah dilakukan untuk mencari kesepakatan
apakah orang yang sakit tersebut akan diobati menggunakan dengan upacara belian biaso atau
bose. Setelah kesepakatan diperoleh, kemudian pemangku adat menyampaikannya kepada
monti rajo (pemimpin puncak adat). Setelah itu, diadakan musyawarah lagi yang melibatkan
orang-orang tertentu. Musyawarah ini disebut dengan musyawarah sekampung.

Hasil musyawarah sekampung disampaikan kepada tuo longkap yang kemudian akan
berunding dengan pebayu untuk menentukan waktu pelaksanaan upacara yang tepat. Setelah
ditentukan waktunya, keduanya menyampaikan lagi kepada monti rajo dan kepada desa, lalu
mereka bersama-sama pergi ke rumah kemantan. Kemantan lantas menentukan apakah akan
diadakan upacara belian biaso atau bose. Lazimnya antara keinginan kemantan, masyarakat,
dan pemuka adat tidak ada perbedaan. Setelah itu, baru diumumkan kepada seluruh
masyarakat dan mereka akan mengumpulkan biaya dan segala kebutuhan upacara.
Persiapan selanjutnya adalah membersihkan rumah yang akan dijadikan tempat upacara dan
memasak hidangan untuk para peserta upacara. Namun, agar tidak memberatkan tuan rumah,
biasanya para kerabat yang akan hadir sudah membawa beragam bahan-bahan dapur sesuai
kemampuannya, seperti beras, gula, kopi, ayam hidup, ikan, sayur mayur, dan sebagainya.

Persiapan lainnya adalah menentukan siapa-siapa yang akan pergi ke hutan untuk meramu
(mengambil) kayu, mencari rotan, pucuk kepau, atau pelepah pohon kelubi. Mereka ini akan
dipimpin oleh seorang dukun yang mengetahui mantra kayu, agar nantinya upacara tidak
diganggu oleh makhluk gaib yang jahat.

2. Pelaksanaan

Saat pagi hari, dengan dipimpin oleh dukun, beberapa orang mengambil kayu di hutan untuk
ritual beramu. Kayu dipilih yang batangnya lurus, tidak cacat, bukan kayu tunggal, tidak
dipalut akar, tidak dihimpit kayu lain, tidak sedang berbunga atau berbuah, dan tidak ditandai
orang lain.

Pertama-tama, sang dukun duduk di dekat pohon sambil membakar kemenyan lalu membaca
doa monto kayu atau doa memohon mengambil kayu dari hutan. Setelah itu, kayu baru boleh
ditebang dan dibawa pulang untuk dijadikan salah satu syarat upacara.

Saat sore hari, pebayu menyampaikan hajat pengobatan kepada kemantan. Keduanya lalu
berbincang sembari makan sirih dan disaksikan oleh orang banyak. Kemantan lalu berdoa
dan meminta bantuan doa kepada yang hadir agar nantinya upacara dapat berjalan lancar.

Setelah itu, bujang belian mengambil gendang ketobung. Gendang lalu ditaburi padi, diasapi
dengan kemenyan, dan dibacakan mantra dengan tujuan agar dapat mengobati orang sakit.
Kemudian, pebayu membaca doa sambil meracik limau dan merendam cincin perak milik
orang yang sakit. Ritual ini dibacakan hanya dengan diterangi damar (lilin). Cincin ini
nantinya diharapkan dapat menyembuhkan sakit sang empunya. Setelah pebayu selesai
membaca doa, dilanjutkan kemantan membaca doa. Hal ini ditujukan agar limau dan cincin
semakin mujarab.

Setelah ritual-ritual di atas, upacara belian dimulai dengan membunyikan ketobung. Saat itu,
kemantan duduk bersila sambil dikerudungi kain dan membunyikan genta lalumembaca
mantra. Selanjutnya, kemantan sujud menyembah ke arah dian sambil membaca mantra.

Seusai bersujud, kemantan berdiri. Pada saat yang sama pebayu menggelar tikar putih. Lalu
kemantan berjalan mondar-mandir di atas tikar dan mulai menari sambil melantunkan mantra.
Pada saat ini, kemantan berada dalam kondisi kerasukan (trance) akuan (makhluk gaib).
Menurut kepercayaan, dalam kondisi kerasukan, kemantan sedang melakukan perjalanan
melewati padang, mendaki gunung, dan sebagainya.

Setelah sampai tujuan, kemantan lalu meminta obat secara spiritual sesuai dengan tujuan
upacara. Ritual ini dilakukan sambil terus diiringi dengan menari, membunyikan genta, dan
mendendangkan mantra. Biasanya kemantan memberi kode tertentu kepada pebayu agar
membawa orang yang sakit ke tengah ruangan, lalu kemantan akan mulai mengobati dengan
membacakan mantra atau meminumkan ramuan yang telah diberi doa.
Setelah pengobatan selesai, proses selanjutnya adalah mengantarkan persembahan kepada
akuan yang telah memberikan obat. Persembahan diberikan dengan cara dibawa sambil
menari, lalu kemantan dan pebayu saling berdialog seakan berdialog dengan akuan. Ritual ini
biasanya memakan waktu lama karena banyaknya dialog, salah satunya menanyakan kepada
akuan apakah dirinya menerima persembahan tersebut.

3. Penutup

Tahap terakhir adalah kemantan mengambil perapian dengan mengusapkan kemenyan ke


wajahnya dan mengelilingi asapnya. Ritual ini adalah untuk mengembalikan kesadaran
kemantan. Dengan ritual ini upacara belian dianggap selesai.

Pantangan atau Larangan

Upacara ini memiliki pantangan dan larangan yang harus dihindari, antara lain:

 Upacara tidak boleh digelar pada siang hari;


 Upacara tidak boleh digelar dalam bulan puasa, kecuali untuk menolak wabah penyakit
ganas atau binatang buas yang tiba-tiba mengamuk;
 Upacara tidak boleh digelar pada malam Hari Raya Idul Fitri atau Idul Adha.

Nilai-nilai

Upacara adat belian memuat nilai-nilai kehidupan yang positif, antara lain sebagai berikut:

 Kebersamaan. Nilai ini tercermin dari perayaan upacara yang dipersiapkan dan digelar
secara kolektif. Pola kerja seperti ini penting karena bersentuhan langsung dengan aspek
ekonomi. Nilai ini juga tercermin ketika seluruh masyarakat hadir bersama-sama menuju
tempat ritual. Mereka mengikuti ritual bersama secara khidmat sambil membaca doa.
Suasana ini tentu saja semakin menguatkan rasa solidaritas bersama sebagai satu suku.
 Sakralitas. Nilai ini tercermin dalam berbagai ritual dan bacaan doa yang membutuhkan
konsentrasi, ketenangan jiwa, dan keikhlasan seluruh peserta upacara. Hal ini tampak pada
saat pelaksanaan ritual pembacaan mantra oleh kemantan, persembahan untuk akuan, dan
ritual meminta obat. Suasana semakin terasa sakral ketika kemantan dalam kondisi trance
sambil menari membaca mantra dan dalam bau kemenyan. Dalam suasana itu, masyarakat
tampak pasrah kepada Yang Maha Kuasa dengan mengharap obat yang diberikan melalui
akuan.
 Peduli terhadap lingkungan. Orang Petalangan tampaknya sangat menyadari bahwa alam
perlu dijaga keseimbangannya. Penyakit yang mereka alami dipercaya sebagai indikasi
saatnya mereka menyeimbangkan kembali hubungan mereka dengan alam sekitar dan
makhluk yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, upacara ini dilengkapi dengan syarat-syarat
yang diambil dari hutan dan berhubungan dengan akuan (makhluk gaib).
 Pelestarian tradisi leluhur. Upacara adat belian yang digelar merupakan ajaran peninggalan
leluhur. Dalam konteks ini, maka penyelenggaraan upacara ini merupakan upaya dalam
menjaga dan melestarikan tradisi nenek moyang.
Pembahasan

Di awal cerita, wacana akan ritual-ritual kepercayaan suku dayak dijelaskan dengan nuansa aduhai.
Wacana mengenai ritual belian, di dalam cerita belian ialah mantra-mantra untuk menyembuhkan
berbagai macam penyakit. Kepercayaan belian sudah ada dari kakek moyang suku dayak. Saat ritual
belian banyak hal-hal menarik di dalamnya.

“Pada suatu hari, bahkan seorang tua yang merupakan dukun belian mengatakan dengan terus
terang. “Sentaru?” mulutnya yang nyirih begitu dimonyongkan, “ia sendiri dulu di-belian-iku. Kalau
tidak, mungkin ia sudah tiada. Seperti ayahnya!”

Ketika si tokoh utama sedang di-belian saat masih kecil, sehingga kematian tak menimpa dirinya,
seperti ayahnya yang waktu itu sedang sakit, akhirnya meninggal karena tidak mau di-belian karena
tidak masuk diakal dan jauh dari naral dan logika. Seperti lainnya, cerita ini mengangkat hal-hal
kebudayaan yang di dalamnya terdapat ritual atau-pun kepercayaan yang sulit untuk kita percayai.

Di dalam sebuah desa Temula, kepercayaan akan sebuah mantra-mantra sangat di Tuhan-kan.
Sehingga kepercayaan akan obat-obatan dilupakan. Sehingga saat si tokoh utama, yaitu “Sentaru”
pergi melanjutkan pendidikannya ke kota dan kembali lagi dengan lulusan dokter. Saat di sana Ia
tidak disenangi oleh para tokoh masyarakat suku dayak. Bagi para tokoh masyarakat, dokter
hanyalah untuk kalangan kelas elite bukan untuk para masyarakat suku dayak. Mereka mempunyai
wacana jika dengan daun pisang, dan beberapa manta mereka sudah bisa menyembuhkan berbagai
macam penyakit. Tidak perlu-lah dengan obat-obatan kota. Karena bagi mereka itu akan memakan
biaya yang besar. Sedangkan ritual belian, hanya berharap hewan ternak, tumbuhan dan hasil
pertanian.

Sedangkan realitas yang terdapat di dalam cerita ini ialah, bagaimana kebudayaan suku dayak bisa
dihadirkan berbentuk cerita pendek oleh pengarang yang merupakan kelahiran asli suku dayak.
Mungkinkah realitas yang terdapat di dalam ritual ini benar adanya, atau-kah memang pemikiran si
pengarang saja. Dan adapula mengenai wacana masyarakat suku dayak, tentang ketidak percayaan
oleh dokter dan obat-obatan.

Anda mungkin juga menyukai