Anda di halaman 1dari 37

MASALAH ETIKA MORAL DALAM PELAYANAN

KEPERAWATAN
PENGERTIAN ETIKA MORAL

Etika adalah ilmu ttg kesusilaan yg bagaimana sepatutnya manusia hidup di dalam masyarakat yg
melibatkan aturan atau prinsip yg menentukan tingkah laku
yang benar.
Moral adalah perilaku yang diharapkan oleh masyarakat yg merupakan “standar perilaku” dan “nilai”
yang harus diperhatikan bila seseorang menjadi anggota masyarakat tempat ia tinggal.

Etiket atau adat merupakan sesuatu yang dikenal, diketahui, diulang serta
menjadi suatu kebiasaan di dalam suatu masyarakat baik berupa kata- kata maupun bentuk
perbuatan yang nyata.

Etika, moral dan etiket sulit dibedakan, hanya dapat dilihat bahwa etika lebih
dititikberatkan pada aturan, prinsip yang melandasi perilaku yang mendasar dan mendekati aturan,
hukum dan undang2 yang membedakan benar atau salah secara
moralitas

nilai-nilai moral yang ada dalam kode etik keperawatan Indonesia (2000), diantaranya:
1.Menghargai hak klien sebagai individu yg bermartabat dan unik
2.Menghormati nilai-nilai yang diyakini klien
3.Bertanggung jawab terhadap klien
4.confidentiality

Metoda pendekatan pembahasan masalah etika

Dari Ladd J (1978), dikutip oleh Freld(1990) menyatakan ada empat metoda utama membahas
masalah etika:
1.Otoritas
2.Consensum hominum
3.Pendekatan intuisi atau self evidence
4.Metode argumentasi

Penjelasan
1.Metode otoritas

Menyatakan bahwa dasar setiap tindakan atau keputusan adalah otoritas. Otoritas dapat berasal dari
manusia atau kepercayaan supernatural, kelompok manusia, atau suatu institusi seperti majelis
ulama, dewan gereja atau pemerintah.

2.Metode Consensum Hominum

Menggunakan pendekatan berdasarkan persetujuan masyarakat luas atau sekelompok manusia yang
terlibat dalam pengkajian suatu masalah.Segala sesuatu yang diyakini bijak dan secara etika dapat
diterima, dimasukkan dalam keyakinan.

3.Metode Pendekatan Intuisi/Self-evidence


Metode ini dinyatakan oleh para ahli filsafat berdasarkan pada apa yang mereka kenal sebagai
konsep teknik intuisi.Metode ini terbatas hanya pada orang- orang yang mempunyai intuisi tajam

4.Metode Argumentasi atau Metode Sokratik

Menggunakan pendekatan dengan mengajukan pertanyaan atau mencari jawaban dengan alasan
yang tepat.Metode ini digunakan untuk memahami fenomena etika

Masalah Etika Keperawatan

Bandman (1990) menjelaskan bahwa masalah etika keperawatan pada dasarnya terdiri atas lima
jenis. Kelima masalah tersebut akan diuraikan dl rangka perawat
“mempertimbangkan prinsip etika yang bertentangan”.

Lima masalah dasar etika keperawatan


1.Kuantitas versus kualitas hidup
2.Kebebasan versus penanganan dan pencegahan bahaya
3.Berkata jujur versus berkata bohong
4.Keinginan terhadap pengetahuan yg bertentangan dg falsafah, agama, politik, ekonomi, dan
ideologi
5.Terapi ilmiah konvensional versus terapi tidak ilmiah dan coba-coba

Lima faktor yang harus diertimbangkan dalam penanganan masalah etika

1.Pernyataan dari klien yg pernah diucapkan kpd anggota keluarga, teman2nya dan petugas
kesehatan
2.Agama dan kepercayaan klien
3.Pengaruh terhadap anggota klg klien
4.Kemungkinan akibat sampingan yang tidak dikehendaki
5.Prognosis dengan atau tanpa pengobatan

Lima masalah dasar etika keperawatan yg berhubungan dg “pertimbangan prinsip


etika yg bertentangan”.
Penjelasan
1.Kuantitas versus kualitas hidup
Contoh: Seorang ibu meminta perawat untuk melepas semua selang yg diapsang pada anaknya yg
telah koma delapan hari. Keadaan seperti ini, perawat menghadapi masalah
posisinya dalam menentukankeputusan secara moral

2.Kebebasan versus penanganan dan pencegahan bahaya


Contoh adalah seorang klien berusia lanjut yang menolak untuk mengenakan sabuk pengaman waktu
berjalan, ia ingin berjalan dengan bebas. Pada situasi ini perawat menghadapi masalah upaya
menjaga keselamatan klien yang bertentangan dengan
kebebasan klien
3Berkata jujur versus berkata bohong
Contoh: seorang perawat yg mendapati teman kerjanya menggunakan narkotika.
Dalam posisi ini perawat tersebut berada dalam pilihan apakah akan mengatakan hal ini secara
terbuka atau diam karena diancam akan dibuka rahasia yg dimilikinya bila
melaporkan pada orang lain

4.Keinginan tarhadap pengetahuan yg bertentangan dg falsafah agama, politik, ekonomi dan ideologi

a.Beberapa masalah yg dapat diangkat sebagai contoh seorang klien memilih


ke dukun daripada ke dokter.
b.Kampanye anti rokok demi keselamatan bertentangan dengan kebijakan
ekonomi
c.Alokasi dana untuk kepentingan militer lebih besar daripada untuk
kepentingan kesehatan

5.Terapi ilmiah konvensional versus terapi tidak ilmiah dan coba-coba

Hampir semua suku bangsa di Indonesia memiliki praktek terapi konvensional yang masih dianggap
sebagai tindakan yang dapat dipercaya.

Secara ilmiah tindakan tsb sulit dibuktikan kebenarannya, namun sebagian masyarakat
mempercayainya.
Diposkan oleh Keperawatan STRADA di 03.34

METODE DAN KEGUNAAN ETIKA


6:30:00 PTG yusup doank 9 comments
E-melkan Ini BlogThis! Kongsi ke Twitter Kongsi ke Facebook

Sebagai satu disiplin ilmu, maka ilmu etika memiliki metode dan kegunaan. Metode yang
dikembangkan dalam secara garis besar berdasarkan metode yang dikembangkan dalam
filsafat. Sedangkan tujuannya secara garis besar, menjadikan manusia menjadi baik. Demi
kepentingan tulisan ini, maka pembahasan tidak akan difokuskan pada kedua tema tersebut
saja, tapi ada dua tema lain yang penulis merasa perlu dibahas di sini, yaitu landasan dan
pendekatan etika. Dengan tujuan agar pemahaman metode dan kegunaan etika bisa dipahami
secara komprehensif.

A. Landasan Etika
Menurut sebagian penulis, Socrateslah filosof pertama yang meletakan dasar-dasar ilmu etika,
dan Aristoteleslah (384-322 SM) filosof pertama yang membangun madzhab etika. Untuk
kepentingan tulisan ini, ada baiknya jika mengetahui landasan etika Aristoteles.
Aristoteles melontarkan pertanyaan, apakah teori etika dibangun berdasarkan prinsip-prinsip
teoritis murni ataukah bertolak dari realita? Dia menjawab, semuanya harus dimulai dari realitas
indrawi. Jawaban ini secara otomatis mengesampingkan etika yang berasal dari nilai-nilai teoritis
murni, lebih tepat lagi metafisika. Karenanya, dia mengkritik dengan tajam teori idenya Plato,
sebuah kritik yang diarahkan untuk menghancurkan gagasan etika yang bersumber pada
metafisika atau agama, karena kebaikan murni mustahil terwujud dalam realitas kehidupan
manusia, sementara kebaikan teoritis, sejak semula, harus bersifat praktis.
Sejak Aristoteles menjauhkan landasan metafisika dari filsafat etika, sebagian besar filosof etika
hingga era Imanuel Kant mempercayai landasan itu secara taken for granted. Benar bahwa
mereka berbeda dengan Aristoteles dalam memahami tujuan, sarana, dan karakter ilmu etika.
Tapi, mereka sepakat dalam satu hal, yakni kebaikan manusia terbatas dan tidak absolut. Selain
itu, mereka sepakat bahwa metode yang benar (shahih) bagi kajian etika adalah penelitian
induktif (dari realitas menuju teori), dan bukan sebaliknya.
Sebelum Aristoteles, “ilmu etika” dengan metode yang berbeda sudah ada. Socrates tidak
memisahkan antara etika dan agama (metafisika). Kehidupan etika bagi Socrates, bertumpu
pada dua sendi: hukum negara yang tertulis dan hukum Ilahi yang tidak tertulis. Socrates sendiri
tidak menumukan adanya kontradiksi apapun antara sendi transcendental ini dengan eksistensi
etika yang merupakan ilmu praktis. Hal ini bukan hanya karena Socrates berbicara seakan-akan
dibingbing oleh wahyu atau ilham, tapi karena – khususnya pada detik-detik menjelang wafatnya
- Dia mengisyaratkan pentingnya kepercayaan atas kekekalan jiwa dalam tema etika. Kekekalan
jiwa adalah masalah metafisika atau lebih tepatnya agama. Dalam pengetarnya terhadap
terjemahan Etika karya Aristoteles, Palermy Sant Hilaire mengatakan, “… Adanya kehidupan lain
menampakkan kepada jiwa adanya keadilan yang dapat mengurai segala kepelikan, dan
menerangi jalan, sehingga banyak jiwa yang dapat menelusurinya secara nyaman. Keyakinan
Sokrates terhadap adanya keadilan Ilahi dan keimanan kepada Hari Akhir adalah hukum
etikanya.
Tak dapat dipungkiri, kekekalan jiwa merupakan masalah penting yang memungkinkan
diwujudkannya nilai-nilai etika. Begitu juga keyakinan akan adanya Tuhan. Pengingkaran adanya
wujud Tuhan atau sekedar penyangkalan adanya pemeliharaan Tuhan kepada Alam, menurut
Plato, akan berakibat rusaknya tatanan sosial.
Berbeda dengan landasan etika modern yang cenderung berpihak pada pandangan Aristoteles
saja, maka dalam tulisan ini akan berusaha menggabungkan antara pandangan etika Aristoteles
dan Socrates atau Plato.

B. Motode Etika
Metode yang dipergunakan dalam etika adalah metode pendekatan kritis. Etika pada hakekatnya
mengamati realitas sifat, sikap, tingkah laku, dan perbuatan manusia secara kritis. Etika tidak
memberikan ajaran ataupun ideology, melainkan memeriksa, merefleksi, mengevaluasi, dan
menganalisa kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma, dan pandangan-pandangan moral
secara kritis.
Etika menuntut agar ajaran-ajaran moral tersebut dapat dipelajari dan dihayati oleh setiap
manusia, kemudian dapat dilaksanakan dalam kehidupannya secara nyata, dan
dipertanggungjawabkan di hadapan dirinya, orang lain, alam semesta, dan Tuhan Yang Maha
Esa. Selain itu, etika dengan motode pendekatan kritisnya, berusaha untuk menjernihkan
persoalan-persoalan moral secara benar dan porposional.
Karena itu, metodologi yang benar dalam mengupas persoalan-persoalan etika haruslah sesuai
dengan semangat nilai-nilai kebenaran; yang menyatakan bahwa adanya peralihan dari dasar-
dasar keyakinan menuju kaidah-kaidah perbuatan, dan yang menyatakan bahwa agama
(keimanan) menentukan perilaku. Karena itulah, pembicaraan keyakinan selalu mendahului
pikiran dan perbuatan.
Kewajiban moral tidak mungkin muncul dari pemikiran saja, tapi ia harus diberikan keleluasan
pada kehendak dalam pembentukan etika. Etika sendiri pada dimensi prakteknya, bukanlah
kumpulan kebijaksanaan, kata-kata mutiara, dan anjuran-anjuran belaka. Kehendak berbuat tak
terlepas dari persoalan yang membutuhkan adanya intervensi rasional, sehingga keinginan baik
tidak beralih menjadi keburukan.
Persoalan moral tidak cukup hanya berpedoman pada prinsip-prinsip keyakinan (metafisika), ada
juga masalah perbuatan yang harus dimasukan dalam kajian ini. Dengan demikian metode
kajian etika menjadi sempurna selama kajian tersebut mencakup dimensi teoritis dan praktis di
antara keyakinan dan prilaku.

C. Pendekatan Pembinaan Etika


Pendekatan yang akan dipergunakan dalam penanaman etika, adalah pendekatan yang biasa
dipergunakan dalam pendekatan pendidikan nilai. Kenapa demikian? Karena pada esensinya
pendidikan nilai dan etika adalah sama, yaitu bertujuan menjadikan manusia menjadi lebih baik
berdasarkan etika dan moralitas, bahkan nilai merupakan bahasan utama dalam etika, maka
pendekatannya yang dipergunakannya pun tidak jauh berbeda.
Adapun pendekatan-pendekatan tersebut, seperti disebutkan oleh Superka, ada lima
pendekatan, yaitu: pendekatan penanaman nilai, pendekatan perkembangan moral kognitif,
pendekatan analisis nilai, pendekatan klarifikasi nilai, dan pendekatan pembelajaran berbuat.
1. Pendekatan Penanaman Nilai
Pendekatan Penanaman Nilai (Values Inculcation Approach) adalah suatu pendekatan yang
memberi penekanan akan pentingnya nilai-nilai budi pekerti. Seseorang harus menerima dan
meyakini bahwa nilai-nilai tersebut adalah benar. Ada dua tujuan dari pendekatan ini, yaitu:
diterimanya nilai-nilai budi pekerti dan berubahnya prilaku seseorang sesuai dengan nilai-nilai
tersebut. Metoda yang digunakan dalam pendekatan antara lain: keteladanan, penguatan positif
dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan yang lainnya.
Pendekatan ini telah digunakan secara meluas pada kalangan berbagai masyarakat, terutama
dalam penanaman nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan. Bagi para penganutnya, agama
merupakan ajaran yang memuat nilai-nilai ideal yang bersifat global dan kebenarannya bersifat
mutlak. Nilai-nilai itu harus diterima dan dipercayai. Oleh karena itu, proses pendidikan harus
bertitik tolak dari nilai-nilai tersebut.

2. Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif


Pendekatan ini disebut Pendekatan Perkembangan Moral Kognitif (Cognitive Moral Depelovment
Approach) karena karakteristiknya memberikan penekanan pada aspek kognitif dan
perkembangannya Pendekatan ini mendorong untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah
moral dan dalam membuat keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut
pendekatan ini dilihat sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan
moral, dari suatu tingkat yang lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi.
Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama, yaitu: Pertama,
membantu untuk membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan nilai yang
lebih tinggi. Kedua, mendorong untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan
posisinya dalam suatu masalah moral.
Pendekatan perkembangan moral kognitif pertama kali dikemukakan oleh Dewey. Selanjutkan
dikembangkan lagi oleh Peaget dan Kohlberg. Dewey membagi perkembangan moral anak
menjadi tiga tahap (level) sebagai berikut:
a. Tahap "premoral" atau "preconventional"; Dalam tahap ini tingkah laku seseorang didorong
oleh desakan yang bersifat fisikal atau sosial
b. Tahap "conventional"; Dalam tahap ini seseorang mulai menerima nilai dengan sedikit kritis,
berdasarkan kepada kriteria kelompoknya.
c. Tahap "autonomous"; Dalam tahap ini seseorang berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan
akal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya.
Piaget berusaha mendefinisikan tingkat perkembangan moral pada anak-anak melalui
pengamatan dan wawancara. Dari hasil pengamatan terhadap anak-anak ketika bermain, dan
jawaban mereka atas pertanyaan mengapa mereka patuh kepada peraturan, Piaget sampai
pada suatu kesimpulan bahwa perkembangan kemampuan kognitif pada anak-anak
mempengaruhi pertimbangan moral mereka.
Kohlberg juga mengembangkan teorinya berdasarkan kepada asumsi-asumsi umum tentang
teori perkembangan kognitif dari Dewey dan Piaget di atas. Seperti dijelaskan oleh Elias,
Kohlberg mendefinisikan kembali dan mengembangkan teorinya menjadi lebih rinci. Tingkat-
tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg dimulai dari konsekuensi yang sederhana, yang
berupa pengaruh kurang menyenangkan dari luar ke atas tingkah laku, sampai kepada
penghayatan dan kesadaran tentang nilai-nilai kemanusian universal. Lebih tinggi tingkat berpikir
adalah lebih baik, dan otonomi lebih baik daripada heteronomi. Tahap-tahap perkembangan
moral diperinci sebagai berikut:
a. Tahapan "Preconventional"
1. Tingkat 1: moralitas heteronomus. Dalam tingkat perkembangan ini moralitas dari sesuatu
perbuatan ditentukan oleh ciri-ciri dan akibat yang bersifat fisik.
2. Tingkat 2: moralitas individu dan timbal balik. seseorang mulai sadar dengan tujuan dan
keperluan orang lain. Seseorang berusaha untuk memenuhi kepentingan sendiri
denganmemperhatikan juga kepentingan orang lain.
b. Tahapan "Conventional"
1. Tingkat 3: moralitas harapan saling antara individu. Kriteria baik atau buruknya suatu
perbuatan dalam tingkat ini ditentukan oleh norma bersama dan hubungan saling mempercayai.
2. Tingkat 4: moralitas sistem sosial dan kata hati. Sesuatu perbuatan dinilai baik jika disetujui
oleh yang berkuasa dan sesuai dengan peraturan yang menjamin ketertiban dalam masyarakat.
c. Tahapan "Posconventional":
1. Tingkat 4,5: tingkat transisi. Seseorang belum sampai pada tingkat "posconventional" yang
sebenarnya. Pada tingkat ini kriteria benar atau salah bersifat personal dan subjektif, dan tidak
memiliki prinsip yang jelas dalam mengambil suatu keputusan moral.
2. Tingkat 5: moralitas kesejahteraan sosial dan hak-hak manusia. Kriteria moralitas dari sesuatu
perbuatan adalah yang dapat menjamin hak-hak individu serta sesuai dengan norma-norma
yang berlaku dalam suatu masyarakat.
3. Tingkat 6: moralitas yang didasarkan pada prinsip-prinsip moral yang umum. Ukuran benar
atau salah ditentukan oleh pilihan sendiri berdasarkan prinsip-prinsip moral yang logis,
konsisten, dan bersifat universal.
Pendekatan perkembangan kognitif mudah digunakan dalam proses pendidikan di kampus,
karena pendekatan ini memberikan penekanan pada aspek perkembangan kemampuan berpikir.
Oleh karena pendekatan ini memberikan perhatian sepenuhnya kepada isu moral dan
penyelesaian masalah yang berhubungan dengan pertentangan nilai tertentu dalam masyarakat,
penggunaan pendekatan ini menjadi menarik. Penggunaannya dapat menghidupkan suasana
kelas. Teori Kohlberg dinilai paling konsisten dengan teori ilmiah, peka untuk membedakan
kemampuan dalam membuat pertimbangan moral, mendukung perkembangan moral, dan
melebihi berbagai teori lain yang berdasarkan kepada hasil penelitian empiris.

3. Pendekatan Analisis Nilai


Pendekatan Analisis Nilai (Values Analysis Approach) memberikan penekanan pada
perkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masalah yang
berhubungan dengan nilai-nilai sosial. Jika dibandingkan dengan pendekatan perkembangan
kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa pendekatan analisisnilai lebih
menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang memuat nilai-nilai sosial. Adapun
pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilemma moral yang bersifat
perseorangan.
Ada dua tujuan utama pendidikan moral menurut pendekatan ini. Pertama, membantu untuk
menggunakan kemampuan berpikir logis dan penemuan ilmiah dalam menganalisis masalah-
masalah sosial, yang berhubungan dengan nilai moral tertentu. Kedua, membantu untuk
menggunakan proses berpikir rasional dan analitik, dalam menghubung-hubungkan
danmerumuskan konsep tentang nilai-nilai mereka. Selanjutnya, metoda-metoda pengajaran
yang sering digunakan adalah: pembelajaran secara individu atau kolompok tentang masalah-
masalah sosial yang memuat nilai moral, penyelidikan kepustakaan, penyelidikan lapangan, dan
diskusi kelas berdasarkan kepada pemikiran rasional.
Ada enam langkah analisis nilai yang penting dan perlu diperhatikan dalam proses pendidikan
nilai menurut pendekatan ini. Enam langkah tersebut menjadi dasar dan sejajar dengan enam
tugas penyelesaian masalah berhubungan dengan nilai. Enam langkah dan tugas tersebut
sebagai berikut:
a. Langkah analisis nilai:
a. Mengidentifikasi dan menjelaskan nilai yang terkait.
b. Mengumpulkan fakta yang berhubungan.
c. Menguji kebenaran fakta yang berkaitan.
d. Menjelaskan kaitan antara fakta yang bersangkutan
e. Merumuskan keputusan moral sementara.
f. Menguji prinsip moral yang digunakan dalam pengambilan keputusan.
b. Tugas penyelesaian masalah:
a. Mengurangi perbedaan penafsiran tentang nilai yang terkait.
b. Mengurangi perbedaan dalam fakta yang berhubungan.
c. Mengurangi perbedaan kebenaran tentang fakta yang berkaitan.
d. Mengurangi perbedaan tentang kaitan antara fakta yang bersangkutan.
e. Mengurangi perbedaan dalam rumusan keputusan sementara
f. Mengurangi perbedaan dalam pengujian prinsip moral yang diterima.
Penganjur pendekatan ini adalah suatu kelompok pakar pendidikan, filosuf, dan pakar psikologi,
termasuk di dalamnya: Jerrold Commbs, Milton Mieux, dan James Chadwick. Kekuatan
pendekatan ini, antara lain mudah diaplikasikan dalam ruang kelas, karena penekanannya pada
pengembangan kemampuan kognitif. Selain itu, seperti terlihat dalam rumusan prosedur analisis
nilai dan penyelesaian masalah di atas, pendekatan ini menawarkan langkah-langkah yang
sistematis dalam pelaksanaan proses pembelajaran moral.
Kelemahannya, berdasarkan kepada: prosedur analisis nilai yang ditawarkan serta tujuan dan
metoda pengajaran yang digunakan. Pendekatan ini sangat menekankan aspek kognitif, dan
sebaliknya mengabaikan aspek afektif serta perilaku. Dari perspektif yang lain, pendekatan ini
sama dengan pendekatan perkembangan kognitif dan pendekatan klarifikasi nilai, sangat berat
memberi penekanan pada proses, kurang mementingkan isi nilai moral.

4. Pendekatan Klarifikasi Nilai


Pendekatan Klarifikasi Nlai (Vlues Clarification Aproach) memberi enekanan pada usaha untuk
membantu dalam mengkaji perasaan dan erbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran
mereka tentang ilai-nilai mereka sendiri. ujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini ada tiga.
Pertama, membantu untuk menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka endiri serta nilai-
nilai orang lain. Kedua, membantu supaya mampu berkomunikasi secara terbuka dan jujur
dengan orang lain,
berhubungan dengan nilai-nilainya sendiri. Ketiga, membantu, supaya mampu menggunakan
secara bersama-sama kemampuan berpikir rasional dan kesadaran emosional, untuk
memahami perasaan, nilai-nilai, dan pola tingkah laku mereka sendiri. Dalam proses
pengajarannya, pendekatan ini menggunakan metode: dialog, menulis, diskusi dalam kelompok
besar atau kecil, dan lain-lain.
Pendekatan ini antara lain dikembangkan oleh Raths, Harmin, dan Simon Pendekatan ini
memberi penekanan pada nilai yang sesungguhnya dimiliki olh seseorang. Bagi penganut
pendekatan ini, nilai bersifat objektif, ditentukan oleh seseorang berdasarkan kepada berbagai
latar elakang pengalamannya sendiri, tidak ditentukan oleh faktor luar, eperti agama,
masyarakat, dan sebagainya. Oleh karena itu, bagi pnganut pendekatan ini isi nilai tidak terlalu
penting. Hal yang sangat dipentingkan dalam program pendidikan adalah mengembangkan
keterampilan dalam melakukan proses menilai. Sejalan dengan pandangan tersebut,
sebagaimana dijelaskan oleh Elias, bahwa bagi penganut pendekatan ini, guru/dosen bukan
sebagai pengajar nilai, melainkan sebagai role model dan pendorong. Peranan guru/dosen
adalah mendorong siswa dengan pertanyaan-pertanyaan yang relevan untuk mengembangkan
keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai.
Ada tiga proses klarifikasi nilai menurut pendekatan ini. Dalam tiga proses tersebut terdapat
tujuh subproses sebagai berikut:
a. Pertama, memilih :
1. Dengan bebas.
2. Dari berbagai alternatif.
3. Setelah mengadakan pertimbangan tentang berbagai akibatnya.
b. Kedua, menghargai:
4. Merasa bahagia atau gembira dengan pilihannya
5. Mau mengakui pilihannya itu di depan umum
c. Ketiga, bertindak:
6. Berbuat sesuatu sesuai dengan pilihannya,
7. Diulang-ulang sebagai suatu pola tingkah laku dalam hidup.
Untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai tersebut, Raths,
telah merumuskan juga empat pedoman sebagai kunci penting sebagai berikut:
a. Tumpuan perhatian diberikanpada kehidupan. Yang dimaksudkan adalah berusaha untuk
mengarahkan tumpuan perhatian orang pada berbagai aspek kehidupan mereka sendiri, supaya
mereka dapat mengidentifikasi hal-hal yang mereka nilai.
b. Penerimaan sesuai dengan apa adanya. Yang dimaksudkan, ketika kita memberi perhatian
pada klarifikasi nilai, kita perlu menerima posisi orang lain tanpa pertimbangan, sesuai dengan
apa adanya.
c. Stimulus untuk bertindak lebih lanjut. Artinya, kita perlu lebih banyak berbuat sebagai refleksi
nilai, dari pada sekedar menerima.
d. Pengembangan kemampuan perseorangan. Artinya, dengan pendekatan ini bukan hanya
mengembangkan keterampilan klarifikasi nilai, tetapi juga mendapat tuntunan untuk berpikir dan
berbuat lebih lanjut.
Kekuatan pendekatan ini terutama memberikan penghargaan yang tinggi kepada siswa sebagai
individu yang mempunyai hak untuk memilih, menghargai, dan bertindak berdasarkan kepada
nilainya sendiri Metoda pengajarannya juga sangat fleksibel, selama dipandang sesuai dengan
rumusan proses menilai dan empat garis panduan yang ditentukan, seperti telah dijelaskan di
atas. Sama halnya dengan pendekatan perkembangan kognitif, pendekatan ini juga
mengandung kelemahan menampilkan bias budaya barat. Dalam pendekatan ini, kriteria benar
salah sangat relatif, karena sangat mementingkan nilai perseorangan. Seperti dikemukakan oleh
Banks, pendidikan nilai menurut pendekatan ini tidak memiliki suatu tujuan tertentu berkaitan
dengan nilai. Sebab, bagi penganut pendekatan ini, menentukan sejumlah nilai untuk siswa
adalah tidak wajar dan tidak etis.

5. Pendekatan Pembelajaran Berbuat


Pendekatan Pembelajaran Berbuat (Action Learning Approach) memberi penekanan pada usaha
memberikan kesempatan untuk melakukan perbuatan-perbuatan moral, baik secara
perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok. Superka, menyimpulkan
ada dua tujuan utama pendidikan moral berdasarkan kepada pendekatan ini. Pertama, memberi
kesempatan melakukan perbuatan moral, baik secara perseorangan mahupun secara bersama-
sama, berdasarkan nilai-nilai mereka sendiri. Kedua, mendorong siswa untuk melihat diri mereka
sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam pergaulan dengan sesama, yang tidak
memiliki kebebasan sepenuhnya, melainkan sebagai warga dari suatu masyarakat, yang harus
mengambil bagian dalam suatu proses demokrasi. Metoda-metoda pengajaran yang digunakan
dalam pendekatan analisis nilai dan klarifikasi nilai digunakan juga dalam pendekatan ini.
Metoda-metoda lain yang digunakan juga adalah projek-projek tertentu untuk dilakukan di
sekolah atau dalam masyarakat, dan praktek keterampilan dalam berorganisasi atau
berhubungan antara sesama.
Pendekatan pembelajaran berbuat diprakarsai oleh Newmann, dengan memberikan perhatian
mendalam pada usaha melibatkan siswa sekolah menengah atas dalam melakukan perubahan-
perubahan sosial. Menurut Elias, walaupun pendekatan ini berusaha juga untuk meningkatkan
keterampilan "moral reasoning" dan dimensi afektif, namun tujuan yang paling penting adalah
memberikan pengajaran kepada peserta, supaya mereka berkemampuan untuk mempengaruhi
kebijakan umum sebagai warga dalam suatu masyarakat yang demokratis. Penganjur
pendekatan ini memandang bahwa kelemahan dari berbagai pendekatan lain adalah
menghasilkan warga negara yang pasif. Menurut mereka, melalui program-program pendidikan
moral sepatutnya menghasilkan warga Negara yang aktif, yakni warga negara yang memiliki
kompetensi yang diperlukan dalam lingkungan hidupnya (environmental competence) sebagai
berikut:
a. Physical competence (kompetensi fisik), yangdapat memberikan nilai tertentu terhadap suatu
obyek. Misalnya: melukis suatu sesuatu membangun sebuah rumah, dan sebagainya.
b. Interpersonal competence (Kompetensi hubungan antarpribadi), yang dapat meberi pengaruh
kepada orang-orang melalui hubungan antara sesama. Misalnya: saling memperhatikan,
persahabatan, dan hubungan ekonomi, dan lain-lain.
c. Civic competence (kompetensi kewarganegaraan), yang dapat memberi pengaruh kepada
urusan-urusan masyarakat umum. Misalnya: proses pemilihan umum dengan memberi bantuan
kepada seseorang calon atau partai peserta untuk memperoleh kemenangan, atau melalui
kelompok peminat tertentu, mampu mempengaruhi perubahan kebijaksanaan umum.
Di antara ketiga kompetensi tersebut, kompetensi yang ketiga (civic competence) merupakan
kompetensi yang paling penting bagi Newman. Kompetensi ini ingin dikembangkan melalui
program-program pendidikan moral. Kekuatan pendekatan ini terutama pada program-program
yang disediakan dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk berpartisipasi secara aktif
dalam kehidupan demokrasi. Kesempatan seperti ini, menurut Hersh kurang mendapat perhatian
dalam berbagai pendekatan lain.
Kelemahan pendekatan ini menurut Elias sukar dijalankan. Menurut beliau, sebahagian dari
program-program yang dikembangkan oleh Newmann dapat digunakan, namun secara
keseluruhannya sukar dilaksanakan.
Berbagai pendekatan pendidikan nilai yang berkembang mempunyai aspek penekanan yang
berbeda, serta mempunyai kekuatan dan kelemahan yang relatif berbeda pula. Berbagai metode
pendidikan dan pengajaran yang digunakan oleh berbagai pendekatan pendidikan nilai yang
berkembang dapat digunakan juga dalam pelaksanaan Pendidikan Budi Pekerti. Hal tersebut
sejalan dengan pemberlakukan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang proses
pembelajarannya memadukan ranah kognitif, afektif, dan psikomotor.

D. Fungsi Etika
Adapun fungsi pengajaran etika, seperti dijelaskan oleh Suharsono dan Yodi Orbawan (2004),
antara lain:
1. Pengembangan, yaitu meningkatkan prilaku manusia dari yang buruk menjadi baik dan dari
yang baik menjadi lebih baik, sehingga mendekati kesempurnaan.
2. Penyaluran, yaitu membantu manusia agar menyalurkan potensi-petensi yang dimiliki untuk
kebaikan dirinya, orang lain, dan alam semesta.
3. Perbaikan, yaitu memperbaiki manusia dari kesalahan, kekurangan, dan kelemahan yang ada
dalam dirinya.
4. Pencegahan, yaitu mencegah manusia agar tidak melakukan hal-hal yang dapat merusak
harga diri, keluarga, agama, bangsa, dan negara.
5. Pembersih, yaitu untuk membersihkan diri dari penyakit-penyakit hati, seperti sombong, iri,
dengki, riya, dan lainnya, agar manusia tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrah manusia,
ajaran agama, dan budaya bangsa.
6. Penyaring, yaitu untuk menyaring budaya-budaya bangsa, baik bangsa sendiri maupun
bangsa lain, yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budi pekerti.

E. Tujuan Etika
Ada tujuan yang hendak dicapai dari sebuah pembelajaran, begitu pula dengan pembelajaran
etika ini. Tujuan budi pekerti dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tujuan jangka pendek dan
jangka panjang.
Adapun tujuan jangka pendek, yaitu: 1) mengajarkan tentang nilai-nilai etika, 2) mengajak
manusia agar mau melaksanakan nilai-nilai etika, dan 3) mendorong manusia agar
membiasakan nilai-nilai etika dalam kehidupannya sehari-hari.
Sedangkan tujuan jangka panjang adalah untuk membentuk manusia paripurna (insan kamil).
Manusia yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan, seperti sifat-sifat Tuhan Yang Maha Esa. Untuk
benar-benar menjadi manusia secara utuh dan sempurna, manusia harus mengaktualisasikan
dalam dirinya semua kualitas yang terdapat dalam dirinya. Dan semuanya harus digunakan
sesuai dengan keseimbangan dan keselarasan normatif.

INFORMED CONSENT

“ Informed Consent “ adalah sebuah istilah yang sering dipakai untuk terjemahan
dari persetujuan tindakan medik. Informed Consentterdiri dari dua kata
yaitu Informed dan. Informed diartikan telah di beritahukan, telah disampaikan atau
telah di informasikan danConsent yang berarti persetujuan yang diberikan oleh
seseorang untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian pengertian bebas dariinformed
Consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien kepada dokter untuk
berbuat sesuatu setelah mendapatkan penjelasan atau informasi.
Pengertian Informed Consent oleh Komalawati ( 1989 :86) disebutkan sebagai
berikut :
“Yang dimaksud dengan informed Consent adalah suatu kesepakatan
/ persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan oleh dokter terhadap
dirinya, setelah pasien mendapatkan informasi dari dokter mengenai upaya medis
yang dapat dilakukanuntuk menolong dirinya, disertai informasi mengenai segala
resiko yang mungkin terjadi.”
Sedangkan tatacara pelaksanaan tindakan medis yang akan dilaksanakan oleh
dokter pada pasien , lebih lanjut diatur dalam Pasal 45 UU No. 29 Tahun 2009
Tentang Praktek Kedokteran yang menegaskan sebagai berikut :
(1) Setiap Tindakan Kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter
atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien
diberikan penjelasan lengkap
(3) Penjelasan lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya
mencakup :
a. Diagnosis dan tatacara tindakan medis
b. Tujuan tindakan medis dilakukan
c. Alternatif tindakan lain dan resikonya
d. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang akan dilakukan.
Dengan lahirnya UU No. 29 Tahun 2004 ini, maka semakin terbuka luas peluang
bagi pasien untuk mendapatkan informasi medis yang sejelas-jelasnya tentang
penyakitnya dan sekaligus mempertegas kewajiban dokter untuk memberikan
informasi medis yang benar, akurat dan berimbang tentang rencana sebuah
tindakan medik yang akan dilakukan, pengobatan mapun perawatan yang akan di
terima oleh pasien. Karena pasien yang paling berkepentingan terhadap apa yang
akan dilakukan terhadap dirinya dengan segala resikonya, maka Informed
Consent merupakan syarat subjektif terjadinya transaksi terapeutik dan merupakan
hak pasien yang harus dipenuhi sebelum dirinya menjalani suatu upaya medis yang
akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya .
Sehubungan dengan penjelasan tersebut diatas maka Informed Consent bukan
hanya sekedar mendapatkan formulir persetujuan tindakan yang ditanda tangani
oleh pasien atau keluarganya tetapi persetujuan tindakan medik adalah sebuah
proses komunikasi intensif untuk mencapai sebuah kesamaan persepsi tetang dapat
tidaknya dilakukan suatu tindakan, pengobatan, perawatan medis. Jika porses
komunikasi intesif ini telah dilakukan oleh kedua belah pihak yaitu antara dokter
sebagai pemberi pelayanan dan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan
maka hal tersebut dikukuhkan dalam bentuk pernyataan tertulis yang ditandatangani
oleh kedua belah pihak,demikian halnya jika bahwa ternyata setelah proses
komunikasi ini terjadi dan ternyata pasien menolak maka dokter wajib untuk
menghargai keputusan tersebut dan meminta pasien untuk menandatangani surat
pernyataan menolak tindakan medik . jadi informed Consent adalah sebuah proses
bukan hanya sekedar mendapatkan tandatangan lembar persetujuan tindakan.
Hal pokok yang harus di perhatikan dalam proses mencapai kesamaan persepsi
antara dokter dan pasien agar terbangun suatu persetujuan tindakan medik adalah
bahasa komunikasi yang digunakan. Jika terdapat kesenjangan penggunaan bahasa
atau istilahistilah yang sulit dimengerti oleh pasien maka besar kemungkinan
terjadinya mispersepsi yang akan membuat gagalnya persetujuan tindakan medis
yang akan dilakukan. Sehubungan dengan hal tersebut , Komalawati ( 2002: 111)
mengungkapkan bahwa informed conset dapat dilakukan ,antara lain :
a. Dengan bahasa yang sempurna dan tertulis
b. Dengan bahasa yang sempurna secara lisan
c. Dengan bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima pihak lawan
d. Dengan bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawan.
e. Dengan diam atau membisu tetapi asal dipahami atau diterima oleh pihak lawan
Jika setelah proses informed yang dilakukan oleh dokter pada pasien dan
ternyata pasien gagal memberikan consent sebagaimana yang di harapkan ,
tidaklah berari bahwa upaya memperoleh persetujuan tersebut menjadi gagal total
tetapi dokter harus tetap memberikan ruang yang seluas-luasnya untuk pasien
berfikir kembali setiap keuntungan dan kerugian jika tindakan medis tersebut
dilakukan atau tidak dilakukan. Selain itu dokter tetap berusaha melakukan
pendekatan-pendekatan yang lebih efektif dan efisien yang memungkinkan untuk
memperoleh persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan jika memang tindakan
tersebut adalah tindakan yang utama dan satu-satunya cara yang dapat dilakukan
untuk menolong menyembuhkan atau meringankan sakit pasien

Pengertian Tindakan Medis(Informed Consent) adalahTindakan medik dinamakan juga


informed consent. Consent artinya persetujuan, atau izin. Jadi informed consent adalah
persetujuan atau izin oleh pasien atau keluarga yang berhak kepada dokter untuk melakukan
tindakan medis pada pasien, seperti pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lain-lain untuk
menegakkan diagnosis, memberi obat, melakukan suntikkan, menolong bersalin, melakukan
pembiusan, melakukan pembedahan, melakukan tindak-lanjut jika terjadi kesulitan, dan
sebagainya Sunarto Adi Wibowo, Ibid, hal.77

Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor HK. 00.06.3.5.1886 tanggal 21 April
1999 tentang pedoman persetujuan tindakan medic (informed consent) mengatakan bahwa
informed consent terdiri dari kata informed yang berarti telah mendapat informasi dan consent
berarti persetujuan (ijin). Yang dimaksud dengan informed consent dalam profesi kedokteran
adalah pernyataan setuju (consent) atau ijin dari seseorang pasien yang diberikan dengan
bebas, rasional, tanpa paksaan (voluntary) tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan
terhadapnya sesudah mendapatkan informasi cukup tentang tindakan kedokteran yang
dimaksud.

Informed consent menurut Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 Permenkes No. 290 tahun 2008
yaitu persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga
terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
Definisi Tindakan Medis (Informed Consent) Menurut Para Ahli

Selain undang-undang, para sarjana pun memberikan penejelasan mengenai pengertian


persetujuan tindakan medis atau informed consent. Adapun pendapat para sarjana tersebut
diantaranya adalah :

1. Menurut Thiroux, Informed consent merupakan suatu pendekatan terhadap kebenaran


dan keterlibatan pasien dalam keputusan mengenai pengobatannya. Seringkali suatu
pendekatan terbaik untuk mendapatkan informed consent adalah jika dokter yang akan
mengusulkan atau melakukan prosedur memberi penjelasan secara detail disamping
meminta pasien membaca formulir tersebut. Para pasien serta keluarganya sebaiknya
diajak untuk mengajukan pertanyaan menurut kehendaknya, dan harus dijawab secara
jujur dan jelas. Maksud dari penjelasan lisan ini adalah untuk menjamin bahwa jika
pasien menandatangani formulir itu, benar-benar telah mendapat informasi yang
lengkap. Veronica Komalawati (I), Peranan Informed Consent dalam Transaksi Terapeutik
(Persetujuan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien) Suatu Tinjauan Yuridis, (Bandung : Citra
Aditya Bakti,2002), hal 105.
2. Menurut Appelbaum, informed consent bukan sekedar formulir persetujuan yang
didapat dari pasien, tetapi merupakan suatu proses komunikasi. Tercapainya
kesepakatan antara dokter-pasien merupakan dasar dari seluruh proses tentang
informed consent. Formulir itu hanya merupakan pengukuhan atau pendokumentasian
dari apa yang telah disepakati. Jusuf Hanafiah, Amri Amir, Etika kedokteran dan Hukum
Kesehatan,(Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC, 1999), hal 74.
3. “Menurut Faden dan Beauchamp, informed consent adalah hubungan antara dokter
dengan pasien berasaskan kepercayaan, adanya hak otonomi atau menentukan nasib
atas dirinya sendiri, dan adanya hubungan perjanjian antara dokter dan
pasien.” Chrisdiono M. Achadiat, Dinamika Etika & hukum Kedokteran Dalam Tantangan
Zaman, (Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2007), hal 74.
4. Menurut Veronika Komalawati, informed consent merupakan toestemming
(kesepakatan/persetujuan). Jadi informed consent adalah suatu kesepakatan/
persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya,
setelah pasien mendapat informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat
menolong dirinya disertai informasi mengenai segala risiko yang mungkin terjadi. Sunarto
Ady Wibowo, op.cit., hal 78

Fungsi dan Tujuan Informed Consent

Dilihat dari fungsinya, informed consent memiliki fungsi ganda, yaitu fungsi bagi pasien dan
fungsi bagi dokter. Dari sisi pasien, informed consent berfungsi untuk :
1. Bahwa setiap orang mempunyai hak untuk memutuskan secara bebas pilihannya
berdasarkan pemahaman yang memadai
2. Proteksi dari pasien dan subyek
3. Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan
4. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk mengadakan introspeksi diri
sendiri (self-Secrunity)
5. Promosi dari keputusan-keputusan yang rasional
6. Keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip otonomi sebagai suatu nilai sosial
dan mengadakan pengawasan penyelidikan biomedik). Guwandi (I), 208 Tanya Jawab
Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent). (Jakarta : FKUI, 1994), hal.2

“Sedangkan bagi pihak dokter, informed consent berfungsi untuk membatasi otoritas
dokter terhadap pasiennya.”Ibid , hal 3.

Sehingga dokter dalam melakukan tindakan medis lebih berhati-hati, dengan kata lain
mengadakan tindakan medis atas persetujuan dari pasien.
“Adapun tujuan dari Informed consent menurut jenis tindakan dibagi atas tiga yaitu bertujuan
untuk penelitian, mencari diagnosis dan untuk terapi.” Ratna Suprapti Samil, Etika Kedokteran
Indonesia, (Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirodihardjo, 2001), hal.45

Tujuan dari Informed Consent menurut J. Guwandi adalah :

1. Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuan
pasien;
2. Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tidak terduga
dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang tak mungkin
dihindarkan walaupun dokter sudah mengusahakan dengan cara semaksimal mungkin
dan bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti. Guwandi (II), Rahasia Medis, (Jakarta :
Penerbit Fakultas Kedokteran UI, 2005), hal. 32

Pengaturan Hukum Informed Consent

Pelaksanaan informed consent semata-mata menyatakan bahwa pasien (dan/atau walinya yang
sah) telah menyetujui rencana tindakan medis yang akan dilakukan. Pelaksanaan tindakan
medis itu sendiri tetap harus sesuai dengan standar profesi kedokteran. Setiap kelalaian,
kecelakaan, atau bentuk kesalahan lain yang timbul dalam pelaksanaan tindakan medis itu tetap
bisa menyebabkan pasien merasa tidak puas dan berpotensi untuk mengajukan tuntutan hukum.
Informed Consent memang menyatakan bahwa pasien sudah paham dan siap menerima resiko
sesuai dengan yang telah diinformasikan sebelumnya. Namun tidak berarti bahwa pasien
bersedia menerima apapun resiko dan kerugian yang akan timbul, apalagi menyatakan bahwa
pasien tidak akan menuntut apapun kerugian yang timbul. Informed consent tidak menjadikan
dokter kebal terhadap hukum atas kejadian yang disebabkan karena kelalaiannya dalam
melaksanakan tindakan medis Sunarto Ady Wibowo, ibid, hal.100.

Bentuk persetujuan tindakan medis tergantung dari penyakit yang diderita oleh pasien. Informed
consent dapat diberikan secara tertulis, secara lisan, atau secara isyarat, dalam bahasa aslinya
yang terakhir ini dinamakan implied consent. Misalnya, jika pasien mengangguk atau langsung
membuka baju jika dokter mengatakan, “boleh saya memeriksa saudara?”. Untuk tindakan
medis berisiko tinggi (misalnya pembedahan atau tindakan invasive lainnya), persetujuan harus
secara tertulis, ditanda tangani oleh pasien sendiri atau orang lain yang berhak dan sebaiknya
juga saksi dari pihak keluarga. “Dengan adanya persetujuan antara pihak dan pasien dan tenaga
kesehatan terbitlah perjanjian/kontrak Sunarto Ady Wibowo, ibid, hal.87”.

Begitu pula sebelum persetujuan tindakan medik atau informed consent dilaksanakan terlebih
dahulu, tenaga kesehatan harus memberikan penjelasan- penjelasan secara lengkap. Hal ini
sesuai dengan isi ketentuan pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29
tahun 2004 yang isinya sebagai berikut :

Pasal 45

1. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap.
3. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
o Diagnosis dan tata cara tindakan medis
o Tujuan tindakan medis yang dilakukan
o Alternative tindakan lain dan risikonya
o Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
o Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan

Menurut Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor HK. 00.06.3.5. 1886
tanggal 21 April 1999 tentang Pedoman Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent), pada
angka II butir (4), isi informasi dan penjelasan yang harus diberikan oleh pemberi layanan
kesehatan kepada pasien adalah sebagai berikut :
1. Informasi dan penjelasan tentang tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medic yang
akan dilakukan (purpose of medical procedure).
2. Informasi dan penjelasan tentang tata cara tindakan medis yang akan dilakukan
(contemplated medical procedures).
3. Informasi dan penjelasan tentang resiko (risk inherent in such medical procedures) dan
komplikasi yang mungkin terjadi.
4. Informasi dan penjelasan tentang alternatif tindakan medis lain yang bersedia dan serta
resikonya masing-masing (alternative medical procedure and risk).
5. Informasi dan penjelasan tentang prognosis penyakit apabila tindakan medis tersebut
dilakukan (prognosis with and without medical procedure).
6. Diagnosis

Memang informed consent harus dilaksanakan, Namun tidak selamanya informed consent
diperlukan atau harus dilaksanakan dimana terdapat pengecualian. Hal ini dinyatakan dalam
pasal 4 Permenkes No.290 tahun 2008 yang menyatakan bahwa: “Dalam keadaan gawat
darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan
persetujuan tindakan kedokteran.” Oleh karena peraturan tersebut, apabila pasien dalam
keadaan darurat, tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarga belum tiba di rumah sakit
maka dokter dibenarkan melakukan tindakan medis tanpa adanya persetujuan karena dalam
keadaan darurat dokter tidak mungkin menunda tindakan atau mempermasalahkan informed
consent, sebab jika terlambat akan membahayakan kondisi pasien atau dikenal dengan
zaakwarneming (perbuatan sukarela tanpa kuasa) diatur dalam pasal 1354 KUHPerdata.

Informed Consent dan Akibat Hukumnya dalam Perjanjian Terapeutik


antara Pasien dan Pihak Rumah Sakit

Pengertian Informed Consent sering dicampur adukkan dengan pengertian kontrak terapeutik
antara dokter dan pasien atau yang disebut sebagai transaksi terapeutik. Transaksi terapeutik
merupakan perjanjian (kontrak) sedangkan informed consent merupakan toestemming
(kesepakatan/persetujuan).
“Dengan demikian yang dimaksud dengan informed consent adalah suatu
kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya,
setelah pasien mendapat informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat menolong
dirinya disertai informasi mengenai segala risiko yang mungkin terjadi”. D. Veronika Komalawati
(II), Hukum dan Etikda dalam Praktek Dokter, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1989), hlm. 86

Begitu juga pendapat Guwandi yang menyatakan bahwa “konsen murni bukan suatu “binding
agreement” atau “contrack in law” (farndale) jadi bukan suatu perjanjian atau terapeutik kontrak
antara dokter dan pasien. Persetujuan pasien pada hakekatnya sudah diberikan secara lisan
pada waktu menjelaskan dan memberikan informasi tentang operasi yang dilakukan. Konsen
murni hanya merupakan pembuatan/penegasan secara tertulis apa yang sudah disetujui oleh
pasien. “Sebaliknya jika ia menolak atau tidak menyetujui dilakukan pembedahan itu, maka
sebaiknya pasien itu diminta menanda tangani surat penolakannya sehingga tidak dapat
dipersalahkan kelak”.J. Guwandi, Dokter dan Hukum, (Jakarta : monella, 1984), hlm. 58
“Pada hakikatnya pengertian informed consent tidak boleh dihubungkan dengan upaya serta
pemikiran untuk menghindarkan/ membebaskan diri dari tanggung jawab resiko, dan atau
semata-mata untuk dapat dilakukannya suatu tindakan secara sah, melainkan perlu dicari
landasan filisofis yang terlepas dari upaya dan pemikiran untuk mencapai tujuan
tersebut”. Veronica Komalawati (I), op.cit., hal 110.

Penerapan informed consent antara pihak rumah sakit dan pasien harus sesuai dengan standar
operasional prosedur rumah sakit. Pasal 50 Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 menyebutkan
tentang standar prosedur operasional yang pengertiannya adalah suatu perangkat / instruksi
langkah-langkah yang dilakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. Standar
prosedur operasional memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan consensus
bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana
pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi.

Rumah Sakit Pirngadi Medan dalam melakukan tindakan medis juga memiliki prosedur yang
telah ditetapkan oleh rumah sakit atau disebut dengan standar operasional prosedur (SOP)
Rumah Sakit. Setelah pasien diperiksa status kesehatannya oleh Dokter, bila diperlukan suatu
tindakan medis maka dokter yang memeriksa harus memberikan informasi yang selengkap-
lengkapnya kecuali bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan
kesehatan pasien. Pada saat dokter memberikan penjelasan kepada pasien maka dokter harus
menjelaskan mengenai diagnosis penyakitnya, sifat dan luasnya tindakan medis yang akan
dilakukan, manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan medis tersebut, resiko dan komplikasi
yang mungkin terjadi, alternatif prosedur atau cara lain tindakan medis yang dapat dilakukan,
konsekuensinya apabila tidak dilakukan tindakan medis tersebut, prognosis penyakit apabila
tindakan medis tersebut dilakukan atau tidak dilakukan, hari depan dari akibat penyakit tindakan
medis tersebut, keberhasilan atau ketidakberhasilan tindakan medis tersebut.`

Persetujuan tindakan medis ini diperlukan untuk tindakan medis bedah yang menggunakan
narkose umum, tindakan medis yang beresiko tinggi, tindakan medis pada pasien gawat darurat
yang tidak sadar. Namun apabila pasien menolak dilakukan tindakan medis terhadap dirinya
setelah diberikan penjelasan yang cukup maka pasien harus menanda tangani surat penolakan
tindakan medis tersebut. Hal itu merupakan suatu hak pasien yang disebutkan di dalam Undang-
Undang nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran yang tercantum pada pasal 52 huruf d
yang menyebutkan pasien boleh menolak tindakan medis yang diberikan kepada dirinya.
Jadi, rumah sakit sudah melaksanakan informed consent dalam perjanjian terapeutik dan sudah
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang ada di dalam

Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran dan di dalam Undang-Undang
nomor 39 tahun 2009 tentang kesehatan.

Daftar Pustaka Makalah Tindakan Medis (Informed Consent)

Pengertian dan Bentuk Informed Consent

Apa Itu Informed Consent ?


Dalam hukum Inggris (common law), dikenal hak perorangan untuk bebas dari bahaya atau serangan yang
menyentuhnya. Bahaya yang disengaja yang timbul dari sengan lain yang menyentuhnya tanpa hak
disebutBATTERY, yaitu kejahatan atau perbuatan melawan hukum dengan menggunakan kekerasan atau
paksaan terhadap orang lain.

Pada abad XVIII, di Inggris terjadi peristiwa penuntutan terhadap pembedahan atau operasi yang
dilakukan tanpa persetujuan atau hak lain yang oleh pengadilan Inggris diputuskan ahli bedah bertanggung
jawab atas battery. Sejak munculnya kasus tersebut, maka ditetapkanlah suatu atutan bahwa didalam
pelayanan medis, dokter harus mendapatkan persetujuan dari pasien.

Definisi informed consent (Hanafiah,1999) : Persetujuan yang diberikan pasien kepada dokter setelah
pasien menerima penjelasan.

Definisi informed consent (Komalawati,1989) : Suatu kesepakatan / persetujuan pasien atas usaha medis
yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya, setelah pasien mendapatkan informasi dari dokter
mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya, disertai informasi mngenai segala
resiko yang mungkin terjadi.

Dogma informed consent menurut Cardozo : Every human being of adult years and sound mind has
aright to determine what shall be done with his own body, and a surgeon who performs an operation
without his patient`s consent commits an assault, for which he is liable in damages (setiap manusia dewasa
yang berpikiran sehat berhak untuk menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya sendiri,
dan seorang ahli bedah yang melakukan suatu operasi tanpa izin pasiennya, dapat dianggap telah
melanggar hukum, dimana ia bertanggung jawab atas segala kerusakan yang timbul).

Informed consent dari pasien dapat dilakukan, antara lain dengan :

1. Bahasa yang sempurna dan tertulis

2. Bahasa yang sempurna dengan lisan

3. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan

4. Bahasa isyarat asala dapat diterima oleh pihak lawan


5. Diam atau membisu tetapi asal dipahami atau diterima oleh pihak lawan.

Bentuk Informed consent dapat dibedakan menjadi 2 yaitu :

1. Dengan pernyataan (expression), yaitu dapat secara lisan (oral) dan dapat secra tertulis (written)

2. Tersirat atau diangap telah diberikan (implied or tacit consent), yaitu dalam keadaan normal dan dalam
keadaan gawat darurat.

Menurut Haryani (2005), mengemukakan unsur-unsur yang harus diinformasikan oleh dokter kepada
pasien meliputi :

1. Prosedur yang akan dilakukan terhadap pasien

2. Resiko yang mungkin terjadi

3. Manfaat dari tindakan yang akan dilakukan

4. Alternatif tindakan yang dapat dilakukan

5. Kemungkinan yang dapat timbul bila tindakan tidak dilakukan

6. Prognosis (ramalan) perjalanan penyakit yang diserita.

7. Perkiraan biaya pengobatan

Apabila pasien tidak kompeten maka informed consent dapat dimintakan kepada pihak yang berwenang
yaitu :

1. Pihak wali atau kuratornya

2. Pihak suami atau istrinya

3. Pihak yang telah diberikan surat kuasa

4. Ayah / ibu

5. Anaknya yang sudah dewasa

6. Kakak / adik yang sudah dewasa

Menurut Catherine Tay Swee Kian (Fuady,2005), menganjurkan informasi dengan mengacu kepada
kasus operasi hendaknya dilengkapi dengan:

1. Nama operasi

2. Sifat dan hakikat pengobatan yang dilakukan

3. Apa saja (organ atau jaringan tubuh bagian mana) yang akan dioperasi

4. Lamanya pengobatan

5. Perhitungan biaya pengobatan

6. Alternatif lain dari pengobatan yang bisa dilakukan

7. Kemungkinan komplikasi (penyulit) yang bisa terjadi


8. Kemungkinan timbulnya rasa sakit

9. Resiko yang terjadi seandainya tindakan dilakukan dan resiko bila tindakan tidak dilakukan.

10. Peringatan khusus terhadap hal-hal yang terjadi setelah operasi

11. Keuntungan dari model pengobatan yang diberikan

12. Keterbatasan model pengobatan yang bersangkutan

13. Tingkat esuksesan operasi berdasar pengalaman dokter tersebut.

14. Apa saja yang mungkin akan dirasakan pasien pasca operasi.

Sumber Buku :

Isfandyarie A, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter, Pustaka Prestasi Publisher, Jakarta

BAB I

PENDAHULUAN

Perkembangan keperawatan di Indonesia telah mengalami perubahan yang sangat pesat menuju perkembangan
keperawatan sebagai profesi. Proses ini merupakan suatu perubahan yang sangat mendasar dan konsepsional,
yang mencakup seluruh aspek keperawatan baik aspek pelayanan atau aspek-aspek pendidikan, pengembangan
dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kehidupan keprofesian dalam keperawatan.

Undang-undang No. 23 Tahun 1992 telah memberikan pengakuan secara jelas terhadap tenaga keperawatan
sebagai tenaga profesional sebagaimana pada Pasal 32 ayat (4), Pasal 53 ayat (I j dan ayat (2)). Selanjutnya,
pada ayat (4) disebutkan bahwa ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.

Perkembangan keperawatan menuju keperawatan profesional sebagai profesi di pengaruhi oleh berbagai
perubahan, perubahan ini sebagai akibat tekanan globalisasi yang juga menyentuh perkembangan keperawatan
professional antara lain adanya tekanan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan yang pada
hakekatnya harus diimplementasikan pada perkembangan keperawatan professional di Indonesia. Disamping itu
dipicu juga adanya UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan dan UU No. 8 tahun 1999 tentang perkembangan
konsumen sebagai akibat kondisi sosial ekonomi yang semakin baik, termasuk latar belakang pendidikan yang
semakin tinggi yang berdampak pada tuntutan pelayanan keperawatan yang semakin berkualitas.
Jaminan pelayanan keperawatan yang berkualitas hanya dapat diperoleh dari tenaga keperawatan yang
profesional. Dalam konsep profesi terkait erat dengan 3 nilai sosial yaitu:
1. Pengetahuan yang mendalam dan sistematis.
2. Ketrampilan teknis dan kiat yang diperoleh melalui latihan yang lama dan teliti.
3. Pelayanan atau asuhan kepada yang memerlukan, berdasarkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan teknis
tersebut dengan berpedoman pada filsafat moral yang diyakini yaitu “Etika Profesi”.

Dalam profesi keperawatan tentunya berpedoman pada etika profesi keperawatan yang dituangkan dalam kode
etik keperawatan. Sebagai suatu profesi, PPNI memiliki kode etik keperawatan yang ditinjau setiap 5 tahun
dalam MUNAS PPNI. Berdasarkan keputusan MUNAS VI PPNI No. 09/MUNAS VI/PPNI/2000 tentang Kode Etik
Keperawatan Indonesia.
Bidang Etika keperawatan sudah menjadi tanggung jawab organisasi keprofesian untuk mengembangkan
jaminan pelayanan keperawatan yang berkualitas dapat diperoleh oleh tenaga keperawatan yang professional.

Dalam menjalankan profesinya sebagai tenaga perawat professional senantiasa memperhatikan etika
keperawatan yang mencakup tanggung jawab perawat terhadap klien ( individu, keluarga, dan masyarakat
).selain itu , dalam memberikan pelayanan keperawatan yang berkualitas tentunya mengacu pada standar
praktek keperawatan yang merupakan komitmen profesi keperawatan dalam melindungi masyarakat terhadap
praktek yang dilakukan oleh anggota profesi dalam hal ini perawat.

Dalam menjalankan tugas keprofesiannya, perawat bisa saja melakukan kesalahan yang dapat merugikan klien
sebagai penerima asuhan keperawatan,bahkan bisa mengakibatkan kecacatan dan lebih parah lagi
mengakibatkan kematian, terutama bila pemberian asuhan keperawatan tidak sesuai dengan standar praktek
keperawatan.kejadian ini di kenal dengan malpraktek.

Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga kesehatan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab
itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang
kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang
hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu dipahami mengingat dalam profesi tenaga perawatan berlaku
norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar.
Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas,
tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethical malpractice atau
yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda.

Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical
malpractice pasti merupakan ethical malpractice.
untuk menghindari terjadinya malpraktek ini, perlu di adakan kajian-kajian etika dan hukum yang menyangkut
malpraktek khususnya dalam bidang keperawatan sehingga sebagai perawat nantinya dalam menjalankan
praktek keperawatan senantiasa memperhatikan kedua aspek tersebut
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI MALPRAKTEK

Malpraktek mempakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah
“mal” mempunyai arti salah sedangkan “praktek” mempunyai arti pelaksanaan atau tindakan, sehingga
malpraktek berarti pelaksanaan atau tindakan yang salah. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan
istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu
profesi.
Sedangkan definisi malpraktek profesi kesehatan adalah kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim
dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama. Malpraktek
juga dapat diartikan sebagai tidak terpenuhinya perwujudan hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan
yang baik, yang biasa terjadi dan dilakukan oleh oknum yang tidak mau mematuhi aturan yang ada karena tidak
memberlakukan prinsip-prinsip transparansi atau keterbukaan,dalam arti, harus menceritakan secarajelas
tentang pelayanan yang diberikan kepada konsumen, baik pelayanan kesehatan maupun pelayanan jasa lainnya
yang diberikan.
Dalam memberikan pelayanan wajib bagi pemberi jasa untuk menginformasikan kepada konsumen secara
lengkap dan komprehensif semaksimal mungkin. Namun, penyalahartian malpraktek biasanya terjadi karena
ketidaksamaan persepsi tentang malpraktek.Guwandi (1994) mendefinisikan malpraktik sebagai kelalaian dari
seorang dokter atau perawat untuk menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya di dalam
memberikan pelayanah pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazim diterapkan dalam
mengobati dan merawat orang sakit atau terluka di lingkungan wilayah yang sama.
Ellis dan Hartley (1998) mengungkapkan bahwa malpraktik merupakan batasan yang spesifik dari kelalaian
(negligence) yang ditujukan pada seseorang yang telah terlatih atau berpendidikan yang menunjukkan
kinerjanya sesuai bidang tugas/pekerjaannya.
Ada dua istilah yang sering dibiearakan secara bersamaan dalam kaitannya dengan malpraktik yaitu kelalaian
dan malpratik itu sendiri. Kelalaian adalah melakukan sesuatu dibawah standar yang ditetapkan oleh
aturan/hukum guna, melindungi orang lain yang bertentangan dengan tindakan-tindakan yaag tidak beralasan
dan berisiko melakukan kesalahan (Keeton, 1984 dalam Leahy dan Kizilay, 1998).
Malpraktik. sangat spesifik dan terkait dengan status profesional dan pemberi pelayanan dan standar pelayanan
profesional. Malpraktik adalah kegagalan seorang profesional (misalnya, dokter dan perawat) untuk melakukan
praktik sesuai dengan standar profesi yang berlaku bagi seseorang yang karena memiliki keterampilan dan
pendidikan (Vestal, K.W, 1995). Malpraktik lebih luas daripada negligence karena selain mencakup arti kelalaian,
istilah malpraktik pun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja (criminal malpractice) dan
melanggar undang-undang. Di dalam arti kesengajaan tersirat adanya motif (guilty mind) sehingga tuntutannya
dapat bersifat perdata atau pidana.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan malpraktik adalah :
a. Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan;
b. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajibannya. (negligence); dan
c. Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.

B. MALPRAKTEK DALAM KEPERAWATAN

Banyak kemungkinan yang dapat memicu perawat melakukan malpraktik. Malpraktik lebih spesifik dan terkait
dengan status profesional seseorang, misalnya perawat, dokter, atau penasihat hukum.
Vestal, K.W. (l995) mengatakan bahwa untuk mengatakan secara pasti malpraktik, apabila pengguagat dapat
menunujukkan hal-hal dibawah ini :
a. Duty – Pada saat terjadinya cedera, terkait dengan kewajibannya yaitu, kewajiban mempergunakan segala
ilmu fan kepandaiannya untuk menyembuhkan atau setidak-tidaknya meringankan beban penderitaan pasiennya
berdasarkan standar profesi.
Hubungan perawat-klien menunjukkan, bahwa melakukan kewajiban berdasarkan standar keperawatan.
b. Breach of the duty – Pelanggaran terjadi sehubungan dengan kewajibannya, artinya menyimpang dari apa
yang seharusnya dilalaikan menurut standar profesinya. Contoh pelanggaran yang terjadi terhadap pasien antara
lain, kegagalan dalam memenuhi standar keperawatan yang ditetapkan sebagai kebijakan rumah sakit.
c. Injury – Seseorang mengalami cedera (injury) atau kemsakan (damage) yang dapat dituntut secara hukum,
misalnya pasien mengalami cedera sebagai akibat pelanggaran. Kelalalian nyeri, adanya penderitaan atau stres
emosi dapat dipertimbangkan sebagai, akibat cedera jika terkait dengan cedera fisik.
d. Proximate caused – Pelanggaran terhadap kewajibannya menyebabkan atau terk dengan cedera yang dialami
pasien. Misalnya, cedera yang terjadi secara langsung berhubungan. dengan pelanggaran kewajiban perawat
terhadap pasien).

Sebagai penggugat, seseorang harus mampu menunjukkan bukti pada setiap elemen dari keempat elemen di
atas. Jika semua elemen itu dapat dibuktikan, hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi malpraktik dan perawat
berada pada tuntutan malpraktik.

Bidang Pekerjaan Perawat Yang Berisiko Melakakan Kesalahan :


Caffee (1991) dalam Vestal, K.W. (1995) mengidentifikasi 3 area yang memungkinkan perawat berisiko
melakukan kesalahan, yaitu tahap pengkajian keperawatan (assessment errors), perencanaan keperawatan
(planning errors), dan tindakan intervensi keperawatan (intervention errors). Untuk lebih jelasnya dapat
diuraikan sebagai berikut :
a. Assessment errors, termasuk kegagalan mengumpulkan data atau informasi tentang pasien secara adekuat
atau kegagalan mengidentifikasi informasi yang diperlukan, seperti data hasil pemeriksaan laboratorium, tanda-
tanda vital, atau keluhan pasien yang membutuhkan tindakan segera. Kegagalan dalam pengumpulan data akan
berdampak pada ketidaktepatan diagnosis keperawatan dan lebih lanjut akan mengakibatkan kesalahan atau
ketidaktepatan dalam tindakan. Untuk menghindari kesalahan ini, perawat seharusnya dapat mengumpulkan
data dasar secara komprehensif dan mendasar.
b. Planning errors, termasuk hal-hal berikut :
1. Kegagalan mencatat masalah pasien dan kelalaian menuliskannya dalam rencana keperawatan.
2. Kegagalan mengkomunikaskan secara efektif rencana keperawatan yang telah dibuat, misalnya menggunakan
bahasa dalam rencana keperawatan yang tidak dimahami perawat lain dengan pasti.
3. Kegagalan memberikan asuhan keperawatan secara berkelanjutan yang disebabkan kurangnya informasi yang
diperoleh dari rencana keperawatan.
4. Kegagalan memberikan instruksi yang dapat dimengerti oleh pasien. Untuk mencegah kesalahan tersebut,
jangan hanva menggunakan perkiraan dalam membuat rencana keperawatan tanpa mempertimbangkannya
dengan baik. Seharusnya, dalam penulisan harus memakai pertimbangan yang jelas berdasarkan masalah
pasien. Bila dianggap perlu, lakukan modifikasi rencana berdasarkan data baru yang terkumpul. Rencana harus
realistis berdasarkan standar yang telah ditetapkan, termasuk pertimbangan yang diberikan oleh pasien.
Komunikasikan secara jelas baik secara lisan maupun dengan tulisan. Lakukan tindakan berdasarkan rencana
dan lakukan secara hati-hati instruksi yang ada. Setiap pendapat perlu divalidasi dengan teliti.
c. Intervention errors, termasuk kegagalan menginteipretasikan dan melaksanakan tindakan kolaborasi,
kegagalan melakukan asuhan keperawatan secara hati-hati, kegagalan mengikuti/mencatat order/pesan dari
dokter atau dari penyelia. Kesalahan pada tindakan keperawatan yang sering terjadi adalah kesalahan dalam
membaca pesan/order, mengidentifikasi pasien sebelum dilakukan tindakan/prosedur, memberikan obat, dan
terapi pembatasan (restrictive therapy). Dari seluruh kegiatan ini yang paling berbahaya tampaknya pada
tindakan pemberian obat. Oleh karena itu, perlu adanya komunikasi yang baik di antara anggota tim kesehatan
maupun terhadap pasien dan keluarganya.
Untuk menghindari kesalahan ini,, sebaiknya rumah sakit tetap melaksanakan program pendidikan berkelanjutan
(Continuing Nursing Education).

Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang
dilanggar, yaitu :
a. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut
memenuhi rumusan delik pidana,yaitu :
1. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela.
2. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional) misalnya
melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat
keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP). Kecerobohan
(reklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent. Atau kealpaan
(negligence) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan klem
dalam perut pasien saat melakukan operasi. Pertanggungjawaban didepan hukum pada criminal malpractice
adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada badan
yang memberikan sarana pelayananjasa tempatnya bernaung.
b. Civil malpractice
Seorang tenaga jasa akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak
memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga jasa yang dapat
dikategorikan civil malpractice antara lain :
1. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
2. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
3. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
4. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan. Pertanggungjawaban civil
malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle
ofvicarius liability. Dengan prinsip ini maka badan yang menyediakan sarana jasa dapat bertanggung gugat atas
kesalahan yang dilakukan karyawannya selama orang tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
c. Administrative malpractice
Tenaga jasa dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala orang tersebut telah melanggar
hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan
menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga perawatan
untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kena, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga
perawatan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan
melanggar hukum administrasi.

C. CONTOH MALPRAKTEK KEPERAWATAN DAN KAJIAN ETIKA HUKUM

Pasien usia lanjut mengalami disorientasi pada saat berada di ruang perawatan. Perawat tidak membuat rencana
keperawatan guna memantau dan mempertahankan keamanan pasien dengan memasang penghalang tempat
tidur. Sebagai akibat disorientasi, pasien kemudian terjatuh dari tempat tidur pada waktu malam hari dan pasien
mengalami patah tulang tungkai

Dari kasus diatas , perawat telah melanggar etika keperawatan yang telah dituangkan dalam kode etik
keperawatan yang disusun oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia dalam Musyawarah Nasionalnya di
Jakarta pada tanggal 29 Nopember 1989 khususnya pada Bab I, pasal 1, yang menjelaskan tanggung jawab
perawat terhadap klien (individu, keluarga dan masyarakat).dimana perawat tersebut tidak melaksanakan
tanggung jawabnya terhadap klien dengan tidak membuat rencana keperawatan guna memantau dan
mempertahankan kemanan pasien dengan tidak memasang penghalang tempat tidur.

Selain itu perawat tersebut juga melanggar bab II pasal V,yang bunyinya Mengutamakan perlindungan dan
keselamatan klien dalam melaksanakan tugas, serta matang dalam mempertimbangkan kemampuan jika
menerima atau mengalih-tugaskan tanggung jawab yang ada hubungan dengan keperawatan dimana ia tidak
mengutamakan keselamatan kliennya sehingga mengakibatkan kliennya terjatuh dari tempat tidur dan
mengalami patah tungkai.

Disamping itu perawat juga tidak melaksanakan kewajibannya sebagai perawat dalam hal Memberikan
pelayanan/asuhan sesuai standar profesi/batas kewenangan.
Dari kasus tersebut perawat telah melakukan kelalaian yang mengakibatkan kerugian seperti patah tulang
tungkai sehingga bisa dikategorikan sebagai malpraktek yang termasuk ke dalam criminal malpractice bersifat
neglegence yang dapat dijerat hokum antara lain :

1. Pasal-pasal 359 sampai dengan 361 KUHP, pasal-pasal karena lalai menyebabkan mati atau luka-
luka berat.Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati :Barangsiapa karena kealpaannya
menyebabkan mati-nya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling
lama satu tahun.
2. Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat:Ayat (1) Barangsiapa karena kealpaannya
menyebakan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
kurungan paling lama satu tahun.Ayat (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka
sedemikian rupa sehinga menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian
selama waktu tertentu, diancam de¬ngan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling tinggi
tiga ratus rupiah.
3. Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan (misalnya: dokter, bidan,
apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila melalaikan peraturan-peraturan pekerjaannya hingga
mengakibatkan mati atau luka berat, maka mendapat hukuman yang lebih berat pula.Pasal 361 KUHP
menyatakan:Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini di-lakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau
pen¬caharian, maka pidana ditambah dengan pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk
menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusnya
di-umumkan.Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal
dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
Selain pasal tersebut diatas, perawat tersebut juga telah melanggar Pasal 54 :

(1). Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melak-sanakan profesinya dapat
dikenakan tindakan disiplin.
(2). Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh Majelis
Disiplin Tenaga Kesehatan.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

– Malpraktik bersifat sangat kompleks


– Perawat diperhadapkan pada tuntutan pelayanan profesional.

– Banyak kemungkinan yang dapat memicu perawat melakukan malpraktik. Malpraktik lebih spesifik dan terkait
dengan status profesional seseorang, misalnya perawat, dokter, atau penasihat hokum

– untuk mengatakan secara pasti malpraktik, apabila pengguagat dapat menunujukkan hal-hal dibawah ini :
a. Duty – Pada saat terjadinya cedera, terkait dengan kewajibannya
yaitu, kewajiban mempergunakan
segala ilmu dan kepandaiannya untuk menyembuhkan atau setidak-tidaknya meringankan beban penderitaan
pasiennya berdasarkan standar profesi.

b. Breach of the duty – Pelanggaran terjadi sehubungan dengan kewajibannya, artinya menyimpang dari apa
yang seharusnya dilalaikan menurut standar profesinya.
c. Injury – Seseorang mengalami cedera (injury) atau kerusakan (damage) yang dapat dituntut secara hukum
d. Proximate caused – Pelanggaran terhadap kewajibannya menyebabkan atau terk dengan cedera yang dialami
pasien.

– Bidang Pekerjaan Perawat Yang Berisiko Melakakan Kesalahan yaitu tahap pengkajian keperawatan
(assessment errors), perencanaan keperawatan (planning errors), dan tindakan intervensi keperawatan
(intervention errors).

– yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yaitu :
a. Criminal malpractice

b. Civil malpractice

c. Administrative malpractice

B. SARAN

– dalam memberikan pelayanan keperawatan , hendaknya berpedoman pada kode etik keperawatan dan
mengacu pada standar praktek keperawatan

– perawat diharapkan mampu mengidentifikasi 3 area yang memungkinkan perawat berisiko melakukan
kesalahan, yaitu tahap pengkajian keperawatan (assessment errors), perencanaan keperawatan (planning
errors), dan tindakan intervensi keperawatan (intervention errors) sehigga nantinya dapat menghindari
kesalahan yang dapat terjadi
– perawat harus memiliki kredibilitas tinggi dan senantiasa meningkatkan kemampuannya untuk mencegah
terjadinya malpraktek

KELALAIAN DAN MALPRAKTEK DALAM KEPERAWATAN


Latar Belakang

Perawatan merupakan salah satu profesi tenaga kesehatan yang memberikan


pelayanan kesehatan langsung baik kepada individu, keluarga dan masyarakat.
Sebagai salah satu tenaga profesional, keperawatan menjalankan dan
melaksanakan kegiatan praktek keperawatan dengan mengunakan ilmu
pengetahuan dan teori keperawatan yang dapat dipertanggung jawabkan. Dimana
ciri sebagai profesi adalah mempunyai body of knowledge yang dapat diuji
kebenarannya serta ilmunya dapat diimplementasikan kepada masyarakat
langsung.
Pelayanan kesehatan dan keperawatan yang dimaksud adalah bentuk
implementasi praktek keperawatan yang ditujukan kepada pasien/klien baik
kepada individu, keluarga dan masyarakat dengan tujuan upaya peningkatan
kesehatan dan kesejahteraan guna mempertahankan dan memelihara kesehatan
serta menyembuhkan dari sakit, dengan kata lain upaya praktek keperawatan
berupa promotif, preventif, kuratif dan rehabilitasi.
Dalam melakukan praktek keperawatan, perawat secara langsung berhubungan
dan berinteraksi kepada penerima jasa pelayanan, dan pada saat interaksi
inilah sering timbul beberapa hal yang tidak diinginkan baik disengaja
maupun tidak disengaja, kondisi demikian inilah sering menimbulkan konflik
baik pada diri pelaku dan penerima praktek keperawatan. Oleh karena itu
profesi keperawatan harus mempunyai standar profesi dan aturan lainnya yang
didasari oleh ilmu pengetahuan yang dimilikinya, guna memberi perlindungan
kepada masyarakat. Dengan adanya standar praktek profesi keperawatan inilah
dapat dilihat apakah seorang perawat melakukan malpraktek, kelalaian
ataupun bentuk pelanggaran praktek keperawatan lainnya.
Kelalaian (Negligence) adalah salah satu bentuk pelanggaran praktek
keperawatan, dimana perawat melakukan kegiatan prakteknya yang seharusnya
mereka lakukan pada tingkatannya, lalai atau tidak mereka lakukan.
Kelalaian ini berbeda dengan malpraktek, malpraktek merupakan pelanggaran
dari perawat yang melakukan kegiatan yang tidak seharusnya mereka lakukan
pada tingkatanya tetapi mereka lakukan.
Kelalaian dapat disebut sebagai bentuk pelanggaran etik ataupun bentuk
pelanggaran hukum, tergantung bagaimana masalah kelalaian itu dapat timbul,
maka yang penting adalah bagaimana menyelesaikan masalah kelalaian ini
dengan memperhatikan dari berbagai sudut pandang, baik etik, hukum,
manusianya baik yang memberikan layanan maupun penerima layanan.
Peningkatan kualitas praktek keperawatan, adanya standar praktek
keperawatan dan juga meningkatkan kualitas sumber daya manusia keperawatan
adalah hal penting.

PEMBAHASAN

Kelalaian (Negligence)
Kelalaian tidak sama dengan malpraktek, tetapi kelalaian termasuk dalam
arti malpraktik, artinya bahwa dalam malpraktek tidak selalu ada unsur
kelalaian. Kelalaian adalah segala tindakan yang dilakukan dan dapat
melanggar standar sehingga mengakibatkan cidera/kerugian orang lain
(Sampurno, 2005).
Negligence, dapat berupa Omission (kelalaian untuk melakukan sesuatu yang
seharusnya dilakukan) atau Commission (melakukan sesuatu secara tidak hati-
hati). (Tonia, 1994).Dapat disimpulkan bahwa kelalaian adalah melakukan
sesuatu yang harusnya dilakukan pada tingkatan keilmuannya tetapi tidak
dilakukan atau melakukan tindakan dibawah standar yang telah ditentukan.
Kelalaian praktek keperawatan adalah seorang perawat tidak mempergunakan
tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan keperawatan yang lazim
dipergunakan dalam merawat pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama.

Jenis-jenis kelalaian
Bentuk-bentuk dari kelalaian menurut sampurno (2005), sebagai berikut:
a. Malfeasance : yaitu melakukan tindakan yang menlanggar hukum atau
tidak tepat/layak, misal: melakukan tindakan keperawatan tanpa indikasi
yang memadai/tepat
b. Misfeasance : yaitu melakukan pilihan tindakan keperawatan yang tepat
tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat, misal: melakukan tindakan
keperawatan dengan menyalahi prosedur
c. Nonfeasance : Adalah tidak melakukan tindakan keperawatan yang
merupakan kewajibannya, misal: pasien seharusnya dipasang pengaman tempat
tidur tapi tidak dilakukan.

Sampurno (2005), menyampaikan bahwa suatu perbuatan atau sikap tenaga


kesehatan dianggap lalai, bila memenuhi 4 unsur, yaitu:
1. Duty atau kewajiban tenaga kesehatan untuk melakukan tindakan atau
untuk tidak melakukan tindakan tertentu terhadap pasien tertentu pada
situasi dan kondisi tertentu.
2. Dereliction of the duty atau penyimpangan kewajiban
3. Damage atau kerugian, yaitu segala sesuatu yang dirasakan oleh pasien
sebagai kerugian akibat dari layanan kesehatan yang diberikan oleh pemberi
pelayanan.
4. Direct cause relationship atau hubungan sebab akibat yang nyata,
dalam hal ini harus terdapat hubungan sebab akibat antara penyimpangan
kewajiban dengan kerugian yang setidaknya menurunkan “Proximate cause”

Liabilitas dalam praktek keperawatan


Liabilitas adalah tanggungan yang dimiliki oleh seseorang terhadap setiap
tindakan atau kegagalan melakukan tindakan. Perawat profesional, seperti
halnya tenaga kesehatan lain mempunyai tanggung jawab terhadap setiap
bahaya yang ditimbulkan dari kesalahan tindakannya. Tanggungan yang
dibebankan perawat dapat berasal dari kesalahan yang dilakukan oleh perawat
baik berupa tindakan kriminal kecerobohan dan kelalaian.
Seperti telah didefinisikan diatas bahwa kelalaian merupakan kegagalan
melakukan sesuatu yang oleh orang lain dengan klasifikasi yang sama,
seharusnya dapat dilakukan dalam situasi yang sama, hal ini merupakan
masalah hukum yang paling lazim terjadi dalam keperawatan. Terjadi akibat
kegagalan menerapkan pengetahuan dalam praktek antara lain disebabkan
kurang pengetahuan. Dan dampak kelalaian ini dapat merugikan pasien.
Sedangkan akuntabilitas adalah konsep yang sangat penting dalam praktik
keperawatan. Akuntabilitas mengandung arti dapat mempertanggung jawabkan
suatu tindakan yang dilakukan dan dapat menerima konsekuensi dari tindakan
tersebut (Kozier, 1991).

Dasar hukum perundang-undangan praktek keperawatan.


Beberapa perundang-undangan yang melindungi bagi pelaku dan penerima
praktek keperawatan yang ada di Indonesia, adalah sebagai berikut:
1. Undang – undang No.23 tahun 1992 tentang kesehatan, bagian kesembilan
pasal 32 (penyembuhan penyakit dan pemulihan)
2. Undang – undang No.8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen
3. Peraturan menteri kesehatan No.159b/Men.Kes/II/1998 tentang Rumah
Sakit
4. Peraturan Menkes No.660/MenKes/SK/IX/1987 yang dilengkapi surat
ederan Direktur Jendral Pelayanan Medik No.105/Yan.Med/RS.Umdik/Raw/I/88
tentang penerapan standard praktek keperawatan bagi perawat kesehatan di
Rumah Sakit.
5. Kepmenkes No.647/SK/IV/2000 tentang registrasi dan praktik perawat
dan direvisi dengan SK Kepmenkes No.1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang
registrasi dan praktik perawat.
Perlindungan hukum baik bagi pelaku dan penerima praktek keperawatan
memiliki akuntabilitas terhadap keputusan dan tindakannya. Dalam
menjalankan tugas sehari-hari tidak menutup kemungkinan perawat berbuat
kesalahan baik sengaja maupun tidak sengaja. Oleh karena itu dalam
menjalankan prakteknya secara hukum perawat harus memperhatikan baik aspek
moral atau etik keperawatan dan juga aspek hukum yang berlaku di Indonesia.
Fry (1990) menyatakan bahwa akuntabilitas mengandung dua komponen utama,
yakni tanggung jawab dan tanggung gugat. Hal ini berarti tindakan yang
dilakukan perawat dilihat dari praktik keperawatan, kode etik dan undang-
undang dapat dibenarkan atau absah (Priharjo, 1995).
Beberapa bentuk Kelalaian dalam Keperawatan.
Pelayanan kesehatan saat ini menunjukkan kemajuan yang cepat, baik dari
segi pengetahuan maupun teknologi, termasuk bagaimana penatalaksanaan medis
dan tindakan keperawatan yang bervariasi. Sejalan dengan kemajuan tersebut
kejadian malpraktik dan juga adanya kelalaian juga terus meningkat sebagai
akibat kompleksitas dari bentuk pelayanan kesehatan khususnya keperawatan
yang diberikan dengan standar keperawatan (Craven & Hirnle, 2000).
Beberapa situasi yang berpotensial menimbulkan tindakan kelalaian dalam
keperawatan diantaranya yaitu : a. Kesalahan pemberian obat, b. Mengabaikan
keluhan pasien, c. Kesalahan mengidentifikasi masalah klien, d. Kelalaian
di ruang operasi, e. Timbulnya kasus decubitus selama dalam perawatan, f.
Kelalaian terhadap keamanan dan keselamatan pasien: contoh yang sering
ditemukan adalah kejadian pasien jatuh yang sesungguhnya dapat dicegah
jika perawat memperhatikan keamanan tempat tidur pasien. Beberapa rumah
sakit memiliki aturan tertentu mengenai penggunaan alat-alat untuk mencegah
hal ini.

Dampak Kelalaian
Kelalaian yang dilakukan oleh perawat akan memberikan dampak yang luas,
tidak saja kepada pasien dan keluarganya, juga kepada pihak Rumah Sakit,
individu perawat pelaku kelalaian dan terhadap profesi. Selain gugatan
pidana, juga dapat berupa gugatan perdata dalam bentuk ganti rugi.
(Sampurna, 2005).
Bila dilihat dari segi etika praktek keperawatan, bahwa kelalaian merupakan
bentuk dari pelanggaran dasar moral praktek keperawatan baik bersifat
pelanggaran autonomy, justice, nonmalefence, dan lainnya (Kozier, 1991) dan
penyelesainnya dengan menggunakan dilema etik. Sedangkan dari segi hukum
pelanggaran ini dapat ditujukan bagi pelaku baik secara individu dan
profesi dan juga institusi penyelenggara pelayanan praktek keperawatan,
dan bila ini terjadi kelalaian dapat digolongan perbuatan pidana dan
perdata (pasal 339, 360 dan 361 KUHP).

A. Malpraktek
Pengertian Malpraktek
Bila dilihat dari definisi diatas maka malpraktek dapat terjadi karena
tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct tertentu,
tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-
mahiran/ketidakkompetenan yang tidak beralasan (Sampurno, 2005). Malpraktek
dapat dilakukan oleh profesi apa saja, tidak hanya dokter, perawat.
Profesional perbankan dan akutansi adalah beberapa profesi yang dapat
melakukan malpraktek.
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu
berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti salah sedangkan
“praktek” mempunyai arti pelaksanaan atau tindakan, sehingga malpraktek
berarti pelaksanaan atau tindakan yang salah. Meskipun arti harfiahnya
demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan
adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan definisi malpraktek profesi kesehatan adalah kelalaian dari
seorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu
pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan
terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang
sama. Malpraktek juga dapat diartikan sebagai tidak terpenuhinya perwujudan
hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang baik, yang biasa
terjadi dan dilakukan oleh oknum yang tidak mau mematuhi aturan yang ada
karena tidak memberlakukan prinsip-prinsip transparansi atau
keterbukaan,dalam arti harus menceritakan secara jelas tentang pelayanan
yang diberikan kepada konsumen, baik pelayanan kesehatan maupun pelayanan
jasa lainnya yang diberikan.
Malpraktik sangat spesifik dan terkait dengan status profesional dan
pemberi pelayanan dan standar pelayanan profesional. Malpraktik adalah
kegagalan seorang profesional (misalnya, dokter dan perawat) untuk
melakukan praktik sesuai dengan standar profesi yang berlaku bagi seseorang
yang karena memiliki keterampilan dan pendidikan (Vestal, K.W, 1995).
Malpraktik lebih luas daripada negligence karena selain mencakup arti
kelalaian, istilah malpraktik pun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan
dengan sengaja (criminal malpractice) dan melanggar undang-undang. Di dalam
arti kesengajaan tersirat adanya motif (guilty mind) sehingga tuntutannya
dapat bersifat perdata atau pidana.
a. Dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan malpraktik
adalah:
Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang
tenaga kesehatan
b. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan
kewajibannya. (negligence)
c. Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan
perundang-undangan.

Malpraktek dalam keperawatan


Banyak kemungkinan yang dapat memicu perawat melakukan malpraktik.
Malpraktik lebih spesifik dan terkait dengan status profesional seseorang,
misalnya perawat, dokter, atau penasihat hukum. Vestal, K.W. (l995)
mengatakan bahwa untuk mengatakan secara pasti malpraktik, apabila
penggugat dapat menunujukkan hal-hal dibawah ini :
a. Duty – Pada saat terjadinya cedera, terkait dengan kewajibannya
yaitu, kewajiban mempergunakan segala ilmu fan kepandaiannya untuk
menyembuhkan atau setidak-tidaknya meringankan beban penderitaan pasiennya
berdasarkan standar profesi. Hubungan perawat-klien menunjukkan, bahwa
melakukan kewajiban berdasarkan standar keperawatan.
b. Breach of the duty – Pelanggaran terjadi sehubungan dengan
kewajibannya, artinya menyimpang dari apa yang seharusnya dilalaikan
menurut standar profesinya. Contoh pelanggaran yang terjadi terhadap pasien
antara lain, kegagalan dalam memenuhi standar keperawatan yang ditetapkan
sebagai kebijakan rumah sakit.
c. Injury – Seseorang mengalami cedera (injury) atau kemsakan (damage)
yang dapat dituntut secara hukum, misalnya pasien mengalami cedera sebagai
akibat pelanggaran. Kelalalian nyeri, adanya penderitaan atau stres emosi
dapat dipertimbangkan sebagai, akibat cedera jika terkait dengan cedera
fisik.
d. Proximate caused – Pelanggaran terhadap kewajibannya menyebabkan atau
terk dengan cedera yang dialami pasien. Misalnya, cedera yang terjadi
secara langsung berhubungan. dengan pelanggaran kewajiban perawat terhadap
pasien).
Sebagai penggugat, seseorang harus mampu menunjukkan bukti pada setiap
elemen dari keempat elemen di atas. Jika semua elemen itu dapat dibuktikan,
hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi malpraktik dan perawat berada pada
tuntutan malpraktik.
Bidang Pekerjaan Perawat Yang Berisiko Melakakan Kesalahan: Caffee (1991)
dalam Vestal, K.W. (1995) mengidentifikasi 3 area yang memungkinkan perawat
berisiko melakukan kesalahan, yaitu:
a. Assessment errors (pengkajian keperawatan), termasuk kegagalan
mengumpulkan data atau informasi tentang pasien secara adekuat atau
kegagalan mengidentifikasi informasi yang diperlukan, seperti data hasil
pemeriksaan laboratorium, tanda-tanda vital, atau keluhan pasien yang
membutuhkan tindakan segera. Kegagalan dalam pengumpulan data akan
berdampak pada ketidaktepatan diagnosis keperawatan dan lebih lanjut akan
mengakibatkan kesalahan atau ketidaktepatan dalam tindakan. Untuk
menghindari kesalahan ini, perawat seharusnya dapat mengumpulkan data dasar
secara komprehensif dan mendasar.
b. Planning errors (perencanaan keperawatan), termasuk hal-hal berikut :
1. Kegagalan mencatat masalah pasien dan kelalaian menuliskannya dalam
rencana keperawatan.
2. Kegagalan mengkomunikaskan secara efektif rencana keperawatan yang
telah dibuat.
3. Kegagalan memberikan asuhan keperawatan secara berkelanjutan yang
disebabkan kurangnya informasi yang diperoleh dari rencana keperawatan.
4. Kegagalan memberikan instruksi yang dapat dimengerti oleh pasien.
c. Intervention errors (tindakan intervensi keperawatan)
Untuk menghindari kesalahan ini, sebaiknya rumah sakit tetap melaksanakan
program pendidikan berkelanjutan (Continuing Nursing Education).

Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori


sesuai bidang hukum yang dilanggar, yaitu :
a. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice
manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana,yaitu :
1. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan
perbuatan tercela.
2. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa
kesengajaan (intensional) misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP),
membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu
(pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP).
Kecerobohan (reklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa
persetujuan pasien informed consent. Atau kealpaan (negligence) misalnya
kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien,
ketinggalan klem dalam perut pasien saat melakukan operasi.
Pertanggungjawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat
individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang
lain atau kepada badan yang memberikan sarana pelayanan jasa tempatnya
bernaung.
b. Civil malpractice
Seorang tenaga jasa akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak
melaksanakan kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang
telah disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga jasa yang dapat
dikategorikan civil malpractice antara lain :
1. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
2. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi
terlambat melakukannya.
3. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak
sempurna.
4. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.
Pertanggungjawaban civil malpractice dapat bersifat individual atau
korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle
ofvicarius liability. Dengan prinsip ini maka badan yang menyediakan sarana
jasa dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang dilakukan karyawannya
selama orang tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
c. Administrative malpractice
Tenaga jasa dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala
orang tersebut telah melanggar hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa
dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan
berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi
tenaga perawatan untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kerja, Surat Ijin
Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga perawatan. Apabila aturan
tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat
dipersalahkan melanggar hukum administrasi.

3. Contoh Malpraktek Keperawatan Dan Kajian Etika Hukum


Pasien usia lanjut mengalami disorientasi pada saat berada di ruang
perawatan. Perawat tidak membuat rencana keperawatan guna memantau dan
mempertahankan keamanan pasien dengan memasang penghalang tempat tidur.
Sebagai akibat disorientasi, pasien kemudian terjatuh dari tempat tidur
pada waktu malam hari dan pasien mengalami patah tulang tungkai.
Dari kasus diatas, perawat telah melanggar etika keperawatan yang telah
dituangkan dalam kode etik keperawatan yang disusun oleh Persatuan Perawat
Nasional Indonesia dalam Musyawarah Nasionalnya di Jakarta pada tanggal 29
Nopember 1989 khususnya pada Bab I, pasal 1, yang menjelaskan tanggung
jawab perawat terhadap klien (individu, keluarga dan masyarakat).dimana
perawat tersebut tidak melaksanakan tanggung jawabnya terhadap klien dengan
tidak membuat rencana keperawatan guna memantau dan mempertahankan kemanan
pasien dengan tidak memasang penghalang tempat tidur.
Selain itu perawat tersebut juga melanggar bab II pasal V,yang bunyinya
Mengutamakan perlindungan dan keselamatan klien dalam melaksanakan tugas,
serta matang dalam mempertimbangkan kemampuan jika menerima atau mengalih-
tugaskan tanggung jawab yang ada hubungan dengan keperawatan dimana ia
tidak mengutamakan keselamatan kliennya sehingga mengakibatkan kliennya
terjatuh dari tempat tidur dan mengalami patah tungkai.
Disamping itu perawat juga tidak melaksanakan kewajibannya sebagai perawat
dalam hal memberikan pelayanan/asuhan sesuai standar profesi/batas
kewenangan.
Dari kasus tersebut perawat telah melakukan kelalaian yang mengakibatkan
kerugian seperti patah tulang tungkai sehingga bisa dikategorikan sebagai
malpraktek yang termasuk ke dalam criminal malpractice bersifat neglegence
yang dapat dijerat hukum antara lain :
1. Pasal-pasal 359 sampai dengan 361 KUHP, pasal-pasal karena lalai
menyebabkan mati atau luka-luka berat. Pasal 359 KUHP, karena kelalaian
menyebabkan orang mati: Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan mati-nya
orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
kurungan paling lama satu tahun.
2. Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat: Ayat (1)
Barang siapa karena kealpaannya menyebakan orang lain mendapat luka-luka
berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan
paling lama satu tahun. Ayat (2) Barang siapa karena kealpaannya
menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehinga menimbulkan
penyakit atau alangan menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian
selama waktu tertentu, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan
bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
3. Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau
pekerjaan (misalnya: dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain)
apabila melalaikan peraturan-peraturan pekerjaannya hingga mengakibatkan
mati atau luka berat, maka mendapat hukuman yang lebih berat pula. Pasal
361 KUHP menyatakan: Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini
dilakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau pencaharian, maka pidana
ditambah dengan pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk
menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat
memerintahkan supaya putusnya diumumkan. Pertanggung jawaban didepan hukum
pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh
sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah
sakit/sarana kesehatan.
Selain pasal tersebut diatas, perawat tersebut juga telah melanggar Pasal
54 :
(1). Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian
dalam melak-sanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.
(2). Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan.

Kesimpulan
Kelalaian tidak sama dengan malpraktek, tetapi kelalaian termasuk dalam
arti malpraktik, artinya bahwa dalam malpraktek tidak selalu ada unsur
kelalaian. Dapat dikatakan bahwa kelalaian adalah melakukan sesuatu yang
harusnya dilakukan pada tingkatan keilmuannya tetapi tidak dilakukan atau
melakukan tindakan dibawah standar yang telah ditentukan.
Kelalaian praktek keperawatan adalah seorang perawat tidak mempergunakan
tingkat ketrampilan dan ilmu pengetahuan keperawatan yang lazim
dipergunakan dalam merawat pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama.
Kelalaian merupakan bentuk pelanggaran yang dapat dikategorikan dalam
pelanggaran etik dan juga dapat digolongan dalam pelanggaran hukum, yang
jelas harus dilihat dahulu proses terjadinya kelalaian tersebut bukan pada
hasil akhir kenapa timbulnya kelalaian. Harus dilakukan penilaian terlebih
dahulu atas sikap dan tindakan yang dilakukan atau yang tidak dilakukan
oleh tenaga keperawatan dengan standar yang berlaku.
Sebagai bentuk tanggung jawab dalam praktek keperawatan maka perawat
sebelum melakukan praktek keperawatan harus mempunyai kompetensi baik
keilmuan dan ketrampilan yang telah diatur dalam profesi keperawatan, dan
legalitas perawat Indonesia dalam melakukan praktek keperawatan telah
diatur oleh perundang-undangan tentang registrasi dan praktek keperawatan
disamping mengikuti beberapa peraturan perundangan yang berlaku.
Penyelesaian kasus kelalaian harus dilihat sebagai suatu kasus profesional
bukan sebagai kasus kriminal, berbeda dengan perbuatan/kegiatan yang
sengaja melakukan kelalaian sehingga menyebabkan orang lain menjadi cedera
dll. Disini perawat dituntut untuk lebih hati-hati, cermat dan tidak
cerobah dalam melakukan praktek keperawatannya. Sehingga pasien terhindar
dari kelalaian.

DAFTAR PUSTAKA

Amir & Hanafiah, (1999). Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, edisi
ketiga: Jakarta: EGC.
Craven & Hirnle. (2000). Fundamentals of nursing. Philadelphia. Lippincott
Huston, C.J, (2000). Leadership Roles and Management Functions in Nursing;
Theory and Aplication; third edition: Philadelphia: Lippincott.
Kozier. (2000). Fundamentals of Nursing : concept theory and practices.
Philadelphia. Addison Wesley.
Kepmenkes RI Nomor 1239/Menkes/SK/XI/2001, Tetang Resgistrasi Praktik
Perawat.
Leah curtin & M. Josephine Flaherty (1992). Nursing Ethics; Theories and
Pragmatics: Maryland: Robert J.Brady CO.
Priharjo, R (1995). Pengantar etika keperawatan; Yogyakarta: Kanisius.
Redjeki, S. (2005). Etika keperawatan ditinjau dari segi hukum. Materi
seminar tidak diterbitkan.
Supriadi, (2001). Hukum Kedokteran : Bandung: CV Mandar Maju.
Staunton, P and Whyburn, B. (1997). Nursing and the law. 4th ed.Sydney:
Harcourt.
Sampurno, B. (2005). Malpraktek dalam pelayanan kedokteran. Materi seminar
tidak diterbitkan.
Soenarto Soerodibroto, (2001). KUHP & KUHAP dilengkapi yurisprodensi
Mahkamah Agung dan Hoge Road: Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada.
Tonia, Aiken. (1994). Legal, Ethical & Political Issues in Nursing. 2ndEd.
Philadelphia. FA Davis.
Undang-undang Perlindungan Konsumen nomor 8 tahun 1999. Jakarta: Sinar
Grafika.

Anda mungkin juga menyukai