KEPERAWATAN
PENGERTIAN ETIKA MORAL
Etika adalah ilmu ttg kesusilaan yg bagaimana sepatutnya manusia hidup di dalam masyarakat yg
melibatkan aturan atau prinsip yg menentukan tingkah laku
yang benar.
Moral adalah perilaku yang diharapkan oleh masyarakat yg merupakan “standar perilaku” dan “nilai”
yang harus diperhatikan bila seseorang menjadi anggota masyarakat tempat ia tinggal.
Etiket atau adat merupakan sesuatu yang dikenal, diketahui, diulang serta
menjadi suatu kebiasaan di dalam suatu masyarakat baik berupa kata- kata maupun bentuk
perbuatan yang nyata.
Etika, moral dan etiket sulit dibedakan, hanya dapat dilihat bahwa etika lebih
dititikberatkan pada aturan, prinsip yang melandasi perilaku yang mendasar dan mendekati aturan,
hukum dan undang2 yang membedakan benar atau salah secara
moralitas
nilai-nilai moral yang ada dalam kode etik keperawatan Indonesia (2000), diantaranya:
1.Menghargai hak klien sebagai individu yg bermartabat dan unik
2.Menghormati nilai-nilai yang diyakini klien
3.Bertanggung jawab terhadap klien
4.confidentiality
Dari Ladd J (1978), dikutip oleh Freld(1990) menyatakan ada empat metoda utama membahas
masalah etika:
1.Otoritas
2.Consensum hominum
3.Pendekatan intuisi atau self evidence
4.Metode argumentasi
Penjelasan
1.Metode otoritas
Menyatakan bahwa dasar setiap tindakan atau keputusan adalah otoritas. Otoritas dapat berasal dari
manusia atau kepercayaan supernatural, kelompok manusia, atau suatu institusi seperti majelis
ulama, dewan gereja atau pemerintah.
Menggunakan pendekatan berdasarkan persetujuan masyarakat luas atau sekelompok manusia yang
terlibat dalam pengkajian suatu masalah.Segala sesuatu yang diyakini bijak dan secara etika dapat
diterima, dimasukkan dalam keyakinan.
Menggunakan pendekatan dengan mengajukan pertanyaan atau mencari jawaban dengan alasan
yang tepat.Metode ini digunakan untuk memahami fenomena etika
Bandman (1990) menjelaskan bahwa masalah etika keperawatan pada dasarnya terdiri atas lima
jenis. Kelima masalah tersebut akan diuraikan dl rangka perawat
“mempertimbangkan prinsip etika yang bertentangan”.
1.Pernyataan dari klien yg pernah diucapkan kpd anggota keluarga, teman2nya dan petugas
kesehatan
2.Agama dan kepercayaan klien
3.Pengaruh terhadap anggota klg klien
4.Kemungkinan akibat sampingan yang tidak dikehendaki
5.Prognosis dengan atau tanpa pengobatan
4.Keinginan tarhadap pengetahuan yg bertentangan dg falsafah agama, politik, ekonomi dan ideologi
Hampir semua suku bangsa di Indonesia memiliki praktek terapi konvensional yang masih dianggap
sebagai tindakan yang dapat dipercaya.
Secara ilmiah tindakan tsb sulit dibuktikan kebenarannya, namun sebagian masyarakat
mempercayainya.
Diposkan oleh Keperawatan STRADA di 03.34
Sebagai satu disiplin ilmu, maka ilmu etika memiliki metode dan kegunaan. Metode yang
dikembangkan dalam secara garis besar berdasarkan metode yang dikembangkan dalam
filsafat. Sedangkan tujuannya secara garis besar, menjadikan manusia menjadi baik. Demi
kepentingan tulisan ini, maka pembahasan tidak akan difokuskan pada kedua tema tersebut
saja, tapi ada dua tema lain yang penulis merasa perlu dibahas di sini, yaitu landasan dan
pendekatan etika. Dengan tujuan agar pemahaman metode dan kegunaan etika bisa dipahami
secara komprehensif.
A. Landasan Etika
Menurut sebagian penulis, Socrateslah filosof pertama yang meletakan dasar-dasar ilmu etika,
dan Aristoteleslah (384-322 SM) filosof pertama yang membangun madzhab etika. Untuk
kepentingan tulisan ini, ada baiknya jika mengetahui landasan etika Aristoteles.
Aristoteles melontarkan pertanyaan, apakah teori etika dibangun berdasarkan prinsip-prinsip
teoritis murni ataukah bertolak dari realita? Dia menjawab, semuanya harus dimulai dari realitas
indrawi. Jawaban ini secara otomatis mengesampingkan etika yang berasal dari nilai-nilai teoritis
murni, lebih tepat lagi metafisika. Karenanya, dia mengkritik dengan tajam teori idenya Plato,
sebuah kritik yang diarahkan untuk menghancurkan gagasan etika yang bersumber pada
metafisika atau agama, karena kebaikan murni mustahil terwujud dalam realitas kehidupan
manusia, sementara kebaikan teoritis, sejak semula, harus bersifat praktis.
Sejak Aristoteles menjauhkan landasan metafisika dari filsafat etika, sebagian besar filosof etika
hingga era Imanuel Kant mempercayai landasan itu secara taken for granted. Benar bahwa
mereka berbeda dengan Aristoteles dalam memahami tujuan, sarana, dan karakter ilmu etika.
Tapi, mereka sepakat dalam satu hal, yakni kebaikan manusia terbatas dan tidak absolut. Selain
itu, mereka sepakat bahwa metode yang benar (shahih) bagi kajian etika adalah penelitian
induktif (dari realitas menuju teori), dan bukan sebaliknya.
Sebelum Aristoteles, “ilmu etika” dengan metode yang berbeda sudah ada. Socrates tidak
memisahkan antara etika dan agama (metafisika). Kehidupan etika bagi Socrates, bertumpu
pada dua sendi: hukum negara yang tertulis dan hukum Ilahi yang tidak tertulis. Socrates sendiri
tidak menumukan adanya kontradiksi apapun antara sendi transcendental ini dengan eksistensi
etika yang merupakan ilmu praktis. Hal ini bukan hanya karena Socrates berbicara seakan-akan
dibingbing oleh wahyu atau ilham, tapi karena – khususnya pada detik-detik menjelang wafatnya
- Dia mengisyaratkan pentingnya kepercayaan atas kekekalan jiwa dalam tema etika. Kekekalan
jiwa adalah masalah metafisika atau lebih tepatnya agama. Dalam pengetarnya terhadap
terjemahan Etika karya Aristoteles, Palermy Sant Hilaire mengatakan, “… Adanya kehidupan lain
menampakkan kepada jiwa adanya keadilan yang dapat mengurai segala kepelikan, dan
menerangi jalan, sehingga banyak jiwa yang dapat menelusurinya secara nyaman. Keyakinan
Sokrates terhadap adanya keadilan Ilahi dan keimanan kepada Hari Akhir adalah hukum
etikanya.
Tak dapat dipungkiri, kekekalan jiwa merupakan masalah penting yang memungkinkan
diwujudkannya nilai-nilai etika. Begitu juga keyakinan akan adanya Tuhan. Pengingkaran adanya
wujud Tuhan atau sekedar penyangkalan adanya pemeliharaan Tuhan kepada Alam, menurut
Plato, akan berakibat rusaknya tatanan sosial.
Berbeda dengan landasan etika modern yang cenderung berpihak pada pandangan Aristoteles
saja, maka dalam tulisan ini akan berusaha menggabungkan antara pandangan etika Aristoteles
dan Socrates atau Plato.
B. Motode Etika
Metode yang dipergunakan dalam etika adalah metode pendekatan kritis. Etika pada hakekatnya
mengamati realitas sifat, sikap, tingkah laku, dan perbuatan manusia secara kritis. Etika tidak
memberikan ajaran ataupun ideology, melainkan memeriksa, merefleksi, mengevaluasi, dan
menganalisa kebiasaan-kebiasaan, nilai-nilai, norma-norma, dan pandangan-pandangan moral
secara kritis.
Etika menuntut agar ajaran-ajaran moral tersebut dapat dipelajari dan dihayati oleh setiap
manusia, kemudian dapat dilaksanakan dalam kehidupannya secara nyata, dan
dipertanggungjawabkan di hadapan dirinya, orang lain, alam semesta, dan Tuhan Yang Maha
Esa. Selain itu, etika dengan motode pendekatan kritisnya, berusaha untuk menjernihkan
persoalan-persoalan moral secara benar dan porposional.
Karena itu, metodologi yang benar dalam mengupas persoalan-persoalan etika haruslah sesuai
dengan semangat nilai-nilai kebenaran; yang menyatakan bahwa adanya peralihan dari dasar-
dasar keyakinan menuju kaidah-kaidah perbuatan, dan yang menyatakan bahwa agama
(keimanan) menentukan perilaku. Karena itulah, pembicaraan keyakinan selalu mendahului
pikiran dan perbuatan.
Kewajiban moral tidak mungkin muncul dari pemikiran saja, tapi ia harus diberikan keleluasan
pada kehendak dalam pembentukan etika. Etika sendiri pada dimensi prakteknya, bukanlah
kumpulan kebijaksanaan, kata-kata mutiara, dan anjuran-anjuran belaka. Kehendak berbuat tak
terlepas dari persoalan yang membutuhkan adanya intervensi rasional, sehingga keinginan baik
tidak beralih menjadi keburukan.
Persoalan moral tidak cukup hanya berpedoman pada prinsip-prinsip keyakinan (metafisika), ada
juga masalah perbuatan yang harus dimasukan dalam kajian ini. Dengan demikian metode
kajian etika menjadi sempurna selama kajian tersebut mencakup dimensi teoritis dan praktis di
antara keyakinan dan prilaku.
D. Fungsi Etika
Adapun fungsi pengajaran etika, seperti dijelaskan oleh Suharsono dan Yodi Orbawan (2004),
antara lain:
1. Pengembangan, yaitu meningkatkan prilaku manusia dari yang buruk menjadi baik dan dari
yang baik menjadi lebih baik, sehingga mendekati kesempurnaan.
2. Penyaluran, yaitu membantu manusia agar menyalurkan potensi-petensi yang dimiliki untuk
kebaikan dirinya, orang lain, dan alam semesta.
3. Perbaikan, yaitu memperbaiki manusia dari kesalahan, kekurangan, dan kelemahan yang ada
dalam dirinya.
4. Pencegahan, yaitu mencegah manusia agar tidak melakukan hal-hal yang dapat merusak
harga diri, keluarga, agama, bangsa, dan negara.
5. Pembersih, yaitu untuk membersihkan diri dari penyakit-penyakit hati, seperti sombong, iri,
dengki, riya, dan lainnya, agar manusia tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrah manusia,
ajaran agama, dan budaya bangsa.
6. Penyaring, yaitu untuk menyaring budaya-budaya bangsa, baik bangsa sendiri maupun
bangsa lain, yang tidak sesuai dengan nilai-nilai budi pekerti.
E. Tujuan Etika
Ada tujuan yang hendak dicapai dari sebuah pembelajaran, begitu pula dengan pembelajaran
etika ini. Tujuan budi pekerti dapat dibedakan menjadi dua, yaitu tujuan jangka pendek dan
jangka panjang.
Adapun tujuan jangka pendek, yaitu: 1) mengajarkan tentang nilai-nilai etika, 2) mengajak
manusia agar mau melaksanakan nilai-nilai etika, dan 3) mendorong manusia agar
membiasakan nilai-nilai etika dalam kehidupannya sehari-hari.
Sedangkan tujuan jangka panjang adalah untuk membentuk manusia paripurna (insan kamil).
Manusia yang memiliki sifat-sifat kesempurnaan, seperti sifat-sifat Tuhan Yang Maha Esa. Untuk
benar-benar menjadi manusia secara utuh dan sempurna, manusia harus mengaktualisasikan
dalam dirinya semua kualitas yang terdapat dalam dirinya. Dan semuanya harus digunakan
sesuai dengan keseimbangan dan keselarasan normatif.
INFORMED CONSENT
“ Informed Consent “ adalah sebuah istilah yang sering dipakai untuk terjemahan
dari persetujuan tindakan medik. Informed Consentterdiri dari dua kata
yaitu Informed dan. Informed diartikan telah di beritahukan, telah disampaikan atau
telah di informasikan danConsent yang berarti persetujuan yang diberikan oleh
seseorang untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian pengertian bebas dariinformed
Consent adalah persetujuan yang diberikan oleh pasien kepada dokter untuk
berbuat sesuatu setelah mendapatkan penjelasan atau informasi.
Pengertian Informed Consent oleh Komalawati ( 1989 :86) disebutkan sebagai
berikut :
“Yang dimaksud dengan informed Consent adalah suatu kesepakatan
/ persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan oleh dokter terhadap
dirinya, setelah pasien mendapatkan informasi dari dokter mengenai upaya medis
yang dapat dilakukanuntuk menolong dirinya, disertai informasi mengenai segala
resiko yang mungkin terjadi.”
Sedangkan tatacara pelaksanaan tindakan medis yang akan dilaksanakan oleh
dokter pada pasien , lebih lanjut diatur dalam Pasal 45 UU No. 29 Tahun 2009
Tentang Praktek Kedokteran yang menegaskan sebagai berikut :
(1) Setiap Tindakan Kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter
atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien
diberikan penjelasan lengkap
(3) Penjelasan lengkap sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya
mencakup :
a. Diagnosis dan tatacara tindakan medis
b. Tujuan tindakan medis dilakukan
c. Alternatif tindakan lain dan resikonya
d. Resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi dan
e. Prognosis terhadap tindakan yang akan dilakukan.
Dengan lahirnya UU No. 29 Tahun 2004 ini, maka semakin terbuka luas peluang
bagi pasien untuk mendapatkan informasi medis yang sejelas-jelasnya tentang
penyakitnya dan sekaligus mempertegas kewajiban dokter untuk memberikan
informasi medis yang benar, akurat dan berimbang tentang rencana sebuah
tindakan medik yang akan dilakukan, pengobatan mapun perawatan yang akan di
terima oleh pasien. Karena pasien yang paling berkepentingan terhadap apa yang
akan dilakukan terhadap dirinya dengan segala resikonya, maka Informed
Consent merupakan syarat subjektif terjadinya transaksi terapeutik dan merupakan
hak pasien yang harus dipenuhi sebelum dirinya menjalani suatu upaya medis yang
akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya .
Sehubungan dengan penjelasan tersebut diatas maka Informed Consent bukan
hanya sekedar mendapatkan formulir persetujuan tindakan yang ditanda tangani
oleh pasien atau keluarganya tetapi persetujuan tindakan medik adalah sebuah
proses komunikasi intensif untuk mencapai sebuah kesamaan persepsi tetang dapat
tidaknya dilakukan suatu tindakan, pengobatan, perawatan medis. Jika porses
komunikasi intesif ini telah dilakukan oleh kedua belah pihak yaitu antara dokter
sebagai pemberi pelayanan dan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan
maka hal tersebut dikukuhkan dalam bentuk pernyataan tertulis yang ditandatangani
oleh kedua belah pihak,demikian halnya jika bahwa ternyata setelah proses
komunikasi ini terjadi dan ternyata pasien menolak maka dokter wajib untuk
menghargai keputusan tersebut dan meminta pasien untuk menandatangani surat
pernyataan menolak tindakan medik . jadi informed Consent adalah sebuah proses
bukan hanya sekedar mendapatkan tandatangan lembar persetujuan tindakan.
Hal pokok yang harus di perhatikan dalam proses mencapai kesamaan persepsi
antara dokter dan pasien agar terbangun suatu persetujuan tindakan medik adalah
bahasa komunikasi yang digunakan. Jika terdapat kesenjangan penggunaan bahasa
atau istilahistilah yang sulit dimengerti oleh pasien maka besar kemungkinan
terjadinya mispersepsi yang akan membuat gagalnya persetujuan tindakan medis
yang akan dilakukan. Sehubungan dengan hal tersebut , Komalawati ( 2002: 111)
mengungkapkan bahwa informed conset dapat dilakukan ,antara lain :
a. Dengan bahasa yang sempurna dan tertulis
b. Dengan bahasa yang sempurna secara lisan
c. Dengan bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima pihak lawan
d. Dengan bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawan.
e. Dengan diam atau membisu tetapi asal dipahami atau diterima oleh pihak lawan
Jika setelah proses informed yang dilakukan oleh dokter pada pasien dan
ternyata pasien gagal memberikan consent sebagaimana yang di harapkan ,
tidaklah berari bahwa upaya memperoleh persetujuan tersebut menjadi gagal total
tetapi dokter harus tetap memberikan ruang yang seluas-luasnya untuk pasien
berfikir kembali setiap keuntungan dan kerugian jika tindakan medis tersebut
dilakukan atau tidak dilakukan. Selain itu dokter tetap berusaha melakukan
pendekatan-pendekatan yang lebih efektif dan efisien yang memungkinkan untuk
memperoleh persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan jika memang tindakan
tersebut adalah tindakan yang utama dan satu-satunya cara yang dapat dilakukan
untuk menolong menyembuhkan atau meringankan sakit pasien
Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor HK. 00.06.3.5.1886 tanggal 21 April
1999 tentang pedoman persetujuan tindakan medic (informed consent) mengatakan bahwa
informed consent terdiri dari kata informed yang berarti telah mendapat informasi dan consent
berarti persetujuan (ijin). Yang dimaksud dengan informed consent dalam profesi kedokteran
adalah pernyataan setuju (consent) atau ijin dari seseorang pasien yang diberikan dengan
bebas, rasional, tanpa paksaan (voluntary) tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan
terhadapnya sesudah mendapatkan informasi cukup tentang tindakan kedokteran yang
dimaksud.
Informed consent menurut Ketentuan Umum Pasal 1 angka 1 Permenkes No. 290 tahun 2008
yaitu persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga
terdekat setelah mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien.
Definisi Tindakan Medis (Informed Consent) Menurut Para Ahli
Dilihat dari fungsinya, informed consent memiliki fungsi ganda, yaitu fungsi bagi pasien dan
fungsi bagi dokter. Dari sisi pasien, informed consent berfungsi untuk :
1. Bahwa setiap orang mempunyai hak untuk memutuskan secara bebas pilihannya
berdasarkan pemahaman yang memadai
2. Proteksi dari pasien dan subyek
3. Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan
4. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk mengadakan introspeksi diri
sendiri (self-Secrunity)
5. Promosi dari keputusan-keputusan yang rasional
6. Keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip otonomi sebagai suatu nilai sosial
dan mengadakan pengawasan penyelidikan biomedik). Guwandi (I), 208 Tanya Jawab
Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent). (Jakarta : FKUI, 1994), hal.2
“Sedangkan bagi pihak dokter, informed consent berfungsi untuk membatasi otoritas
dokter terhadap pasiennya.”Ibid , hal 3.
Sehingga dokter dalam melakukan tindakan medis lebih berhati-hati, dengan kata lain
mengadakan tindakan medis atas persetujuan dari pasien.
“Adapun tujuan dari Informed consent menurut jenis tindakan dibagi atas tiga yaitu bertujuan
untuk penelitian, mencari diagnosis dan untuk terapi.” Ratna Suprapti Samil, Etika Kedokteran
Indonesia, (Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirodihardjo, 2001), hal.45
1. Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa sepengetahuan
pasien;
2. Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tidak terduga
dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang tak mungkin
dihindarkan walaupun dokter sudah mengusahakan dengan cara semaksimal mungkin
dan bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti. Guwandi (II), Rahasia Medis, (Jakarta :
Penerbit Fakultas Kedokteran UI, 2005), hal. 32
Pelaksanaan informed consent semata-mata menyatakan bahwa pasien (dan/atau walinya yang
sah) telah menyetujui rencana tindakan medis yang akan dilakukan. Pelaksanaan tindakan
medis itu sendiri tetap harus sesuai dengan standar profesi kedokteran. Setiap kelalaian,
kecelakaan, atau bentuk kesalahan lain yang timbul dalam pelaksanaan tindakan medis itu tetap
bisa menyebabkan pasien merasa tidak puas dan berpotensi untuk mengajukan tuntutan hukum.
Informed Consent memang menyatakan bahwa pasien sudah paham dan siap menerima resiko
sesuai dengan yang telah diinformasikan sebelumnya. Namun tidak berarti bahwa pasien
bersedia menerima apapun resiko dan kerugian yang akan timbul, apalagi menyatakan bahwa
pasien tidak akan menuntut apapun kerugian yang timbul. Informed consent tidak menjadikan
dokter kebal terhadap hukum atas kejadian yang disebabkan karena kelalaiannya dalam
melaksanakan tindakan medis Sunarto Ady Wibowo, ibid, hal.100.
Bentuk persetujuan tindakan medis tergantung dari penyakit yang diderita oleh pasien. Informed
consent dapat diberikan secara tertulis, secara lisan, atau secara isyarat, dalam bahasa aslinya
yang terakhir ini dinamakan implied consent. Misalnya, jika pasien mengangguk atau langsung
membuka baju jika dokter mengatakan, “boleh saya memeriksa saudara?”. Untuk tindakan
medis berisiko tinggi (misalnya pembedahan atau tindakan invasive lainnya), persetujuan harus
secara tertulis, ditanda tangani oleh pasien sendiri atau orang lain yang berhak dan sebaiknya
juga saksi dari pihak keluarga. “Dengan adanya persetujuan antara pihak dan pasien dan tenaga
kesehatan terbitlah perjanjian/kontrak Sunarto Ady Wibowo, ibid, hal.87”.
Begitu pula sebelum persetujuan tindakan medik atau informed consent dilaksanakan terlebih
dahulu, tenaga kesehatan harus memberikan penjelasan- penjelasan secara lengkap. Hal ini
sesuai dengan isi ketentuan pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Praktik Kedokteran Nomor 29
tahun 2004 yang isinya sebagai berikut :
Pasal 45
1. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat
penjelasan secara lengkap.
3. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
o Diagnosis dan tata cara tindakan medis
o Tujuan tindakan medis yang dilakukan
o Alternative tindakan lain dan risikonya
o Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi
o Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
Menurut Surat Keputusan Direktur Jenderal Pelayanan Medik Nomor HK. 00.06.3.5. 1886
tanggal 21 April 1999 tentang Pedoman Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent), pada
angka II butir (4), isi informasi dan penjelasan yang harus diberikan oleh pemberi layanan
kesehatan kepada pasien adalah sebagai berikut :
1. Informasi dan penjelasan tentang tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medic yang
akan dilakukan (purpose of medical procedure).
2. Informasi dan penjelasan tentang tata cara tindakan medis yang akan dilakukan
(contemplated medical procedures).
3. Informasi dan penjelasan tentang resiko (risk inherent in such medical procedures) dan
komplikasi yang mungkin terjadi.
4. Informasi dan penjelasan tentang alternatif tindakan medis lain yang bersedia dan serta
resikonya masing-masing (alternative medical procedure and risk).
5. Informasi dan penjelasan tentang prognosis penyakit apabila tindakan medis tersebut
dilakukan (prognosis with and without medical procedure).
6. Diagnosis
Memang informed consent harus dilaksanakan, Namun tidak selamanya informed consent
diperlukan atau harus dilaksanakan dimana terdapat pengecualian. Hal ini dinyatakan dalam
pasal 4 Permenkes No.290 tahun 2008 yang menyatakan bahwa: “Dalam keadaan gawat
darurat, untuk menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan
persetujuan tindakan kedokteran.” Oleh karena peraturan tersebut, apabila pasien dalam
keadaan darurat, tidak bisa memberikan persetujuan dan keluarga belum tiba di rumah sakit
maka dokter dibenarkan melakukan tindakan medis tanpa adanya persetujuan karena dalam
keadaan darurat dokter tidak mungkin menunda tindakan atau mempermasalahkan informed
consent, sebab jika terlambat akan membahayakan kondisi pasien atau dikenal dengan
zaakwarneming (perbuatan sukarela tanpa kuasa) diatur dalam pasal 1354 KUHPerdata.
Pengertian Informed Consent sering dicampur adukkan dengan pengertian kontrak terapeutik
antara dokter dan pasien atau yang disebut sebagai transaksi terapeutik. Transaksi terapeutik
merupakan perjanjian (kontrak) sedangkan informed consent merupakan toestemming
(kesepakatan/persetujuan).
“Dengan demikian yang dimaksud dengan informed consent adalah suatu
kesepakatan/persetujuan pasien atas upaya medis yang akan dilakukan dokter terhadap dirinya,
setelah pasien mendapat informasi dari dokter mengenai upaya medis yang dapat menolong
dirinya disertai informasi mengenai segala risiko yang mungkin terjadi”. D. Veronika Komalawati
(II), Hukum dan Etikda dalam Praktek Dokter, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1989), hlm. 86
Begitu juga pendapat Guwandi yang menyatakan bahwa “konsen murni bukan suatu “binding
agreement” atau “contrack in law” (farndale) jadi bukan suatu perjanjian atau terapeutik kontrak
antara dokter dan pasien. Persetujuan pasien pada hakekatnya sudah diberikan secara lisan
pada waktu menjelaskan dan memberikan informasi tentang operasi yang dilakukan. Konsen
murni hanya merupakan pembuatan/penegasan secara tertulis apa yang sudah disetujui oleh
pasien. “Sebaliknya jika ia menolak atau tidak menyetujui dilakukan pembedahan itu, maka
sebaiknya pasien itu diminta menanda tangani surat penolakannya sehingga tidak dapat
dipersalahkan kelak”.J. Guwandi, Dokter dan Hukum, (Jakarta : monella, 1984), hlm. 58
“Pada hakikatnya pengertian informed consent tidak boleh dihubungkan dengan upaya serta
pemikiran untuk menghindarkan/ membebaskan diri dari tanggung jawab resiko, dan atau
semata-mata untuk dapat dilakukannya suatu tindakan secara sah, melainkan perlu dicari
landasan filisofis yang terlepas dari upaya dan pemikiran untuk mencapai tujuan
tersebut”. Veronica Komalawati (I), op.cit., hal 110.
Penerapan informed consent antara pihak rumah sakit dan pasien harus sesuai dengan standar
operasional prosedur rumah sakit. Pasal 50 Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 menyebutkan
tentang standar prosedur operasional yang pengertiannya adalah suatu perangkat / instruksi
langkah-langkah yang dilakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. Standar
prosedur operasional memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan consensus
bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana
pelayanan kesehatan berdasarkan standar profesi.
Rumah Sakit Pirngadi Medan dalam melakukan tindakan medis juga memiliki prosedur yang
telah ditetapkan oleh rumah sakit atau disebut dengan standar operasional prosedur (SOP)
Rumah Sakit. Setelah pasien diperiksa status kesehatannya oleh Dokter, bila diperlukan suatu
tindakan medis maka dokter yang memeriksa harus memberikan informasi yang selengkap-
lengkapnya kecuali bila dokter menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan
kesehatan pasien. Pada saat dokter memberikan penjelasan kepada pasien maka dokter harus
menjelaskan mengenai diagnosis penyakitnya, sifat dan luasnya tindakan medis yang akan
dilakukan, manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan medis tersebut, resiko dan komplikasi
yang mungkin terjadi, alternatif prosedur atau cara lain tindakan medis yang dapat dilakukan,
konsekuensinya apabila tidak dilakukan tindakan medis tersebut, prognosis penyakit apabila
tindakan medis tersebut dilakukan atau tidak dilakukan, hari depan dari akibat penyakit tindakan
medis tersebut, keberhasilan atau ketidakberhasilan tindakan medis tersebut.`
Persetujuan tindakan medis ini diperlukan untuk tindakan medis bedah yang menggunakan
narkose umum, tindakan medis yang beresiko tinggi, tindakan medis pada pasien gawat darurat
yang tidak sadar. Namun apabila pasien menolak dilakukan tindakan medis terhadap dirinya
setelah diberikan penjelasan yang cukup maka pasien harus menanda tangani surat penolakan
tindakan medis tersebut. Hal itu merupakan suatu hak pasien yang disebutkan di dalam Undang-
Undang nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran yang tercantum pada pasal 52 huruf d
yang menyebutkan pasien boleh menolak tindakan medis yang diberikan kepada dirinya.
Jadi, rumah sakit sudah melaksanakan informed consent dalam perjanjian terapeutik dan sudah
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang yang ada di dalam
Undang-Undang nomor 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran dan di dalam Undang-Undang
nomor 39 tahun 2009 tentang kesehatan.
Pada abad XVIII, di Inggris terjadi peristiwa penuntutan terhadap pembedahan atau operasi yang
dilakukan tanpa persetujuan atau hak lain yang oleh pengadilan Inggris diputuskan ahli bedah bertanggung
jawab atas battery. Sejak munculnya kasus tersebut, maka ditetapkanlah suatu atutan bahwa didalam
pelayanan medis, dokter harus mendapatkan persetujuan dari pasien.
Definisi informed consent (Hanafiah,1999) : Persetujuan yang diberikan pasien kepada dokter setelah
pasien menerima penjelasan.
Definisi informed consent (Komalawati,1989) : Suatu kesepakatan / persetujuan pasien atas usaha medis
yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya, setelah pasien mendapatkan informasi dari dokter
mengenai upaya medis yang dapat dilakukan untuk menolong dirinya, disertai informasi mngenai segala
resiko yang mungkin terjadi.
Dogma informed consent menurut Cardozo : Every human being of adult years and sound mind has
aright to determine what shall be done with his own body, and a surgeon who performs an operation
without his patient`s consent commits an assault, for which he is liable in damages (setiap manusia dewasa
yang berpikiran sehat berhak untuk menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya sendiri,
dan seorang ahli bedah yang melakukan suatu operasi tanpa izin pasiennya, dapat dianggap telah
melanggar hukum, dimana ia bertanggung jawab atas segala kerusakan yang timbul).
3. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan
1. Dengan pernyataan (expression), yaitu dapat secara lisan (oral) dan dapat secra tertulis (written)
2. Tersirat atau diangap telah diberikan (implied or tacit consent), yaitu dalam keadaan normal dan dalam
keadaan gawat darurat.
Menurut Haryani (2005), mengemukakan unsur-unsur yang harus diinformasikan oleh dokter kepada
pasien meliputi :
Apabila pasien tidak kompeten maka informed consent dapat dimintakan kepada pihak yang berwenang
yaitu :
4. Ayah / ibu
Menurut Catherine Tay Swee Kian (Fuady,2005), menganjurkan informasi dengan mengacu kepada
kasus operasi hendaknya dilengkapi dengan:
1. Nama operasi
3. Apa saja (organ atau jaringan tubuh bagian mana) yang akan dioperasi
4. Lamanya pengobatan
9. Resiko yang terjadi seandainya tindakan dilakukan dan resiko bila tindakan tidak dilakukan.
14. Apa saja yang mungkin akan dirasakan pasien pasca operasi.
Sumber Buku :
Isfandyarie A, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi bagi Dokter, Pustaka Prestasi Publisher, Jakarta
BAB I
PENDAHULUAN
Perkembangan keperawatan di Indonesia telah mengalami perubahan yang sangat pesat menuju perkembangan
keperawatan sebagai profesi. Proses ini merupakan suatu perubahan yang sangat mendasar dan konsepsional,
yang mencakup seluruh aspek keperawatan baik aspek pelayanan atau aspek-aspek pendidikan, pengembangan
dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kehidupan keprofesian dalam keperawatan.
Undang-undang No. 23 Tahun 1992 telah memberikan pengakuan secara jelas terhadap tenaga keperawatan
sebagai tenaga profesional sebagaimana pada Pasal 32 ayat (4), Pasal 53 ayat (I j dan ayat (2)). Selanjutnya,
pada ayat (4) disebutkan bahwa ketentuan mengenai standar profesi dan hak-hak pasien sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Perkembangan keperawatan menuju keperawatan profesional sebagai profesi di pengaruhi oleh berbagai
perubahan, perubahan ini sebagai akibat tekanan globalisasi yang juga menyentuh perkembangan keperawatan
professional antara lain adanya tekanan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan yang pada
hakekatnya harus diimplementasikan pada perkembangan keperawatan professional di Indonesia. Disamping itu
dipicu juga adanya UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan dan UU No. 8 tahun 1999 tentang perkembangan
konsumen sebagai akibat kondisi sosial ekonomi yang semakin baik, termasuk latar belakang pendidikan yang
semakin tinggi yang berdampak pada tuntutan pelayanan keperawatan yang semakin berkualitas.
Jaminan pelayanan keperawatan yang berkualitas hanya dapat diperoleh dari tenaga keperawatan yang
profesional. Dalam konsep profesi terkait erat dengan 3 nilai sosial yaitu:
1. Pengetahuan yang mendalam dan sistematis.
2. Ketrampilan teknis dan kiat yang diperoleh melalui latihan yang lama dan teliti.
3. Pelayanan atau asuhan kepada yang memerlukan, berdasarkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan teknis
tersebut dengan berpedoman pada filsafat moral yang diyakini yaitu “Etika Profesi”.
Dalam profesi keperawatan tentunya berpedoman pada etika profesi keperawatan yang dituangkan dalam kode
etik keperawatan. Sebagai suatu profesi, PPNI memiliki kode etik keperawatan yang ditinjau setiap 5 tahun
dalam MUNAS PPNI. Berdasarkan keputusan MUNAS VI PPNI No. 09/MUNAS VI/PPNI/2000 tentang Kode Etik
Keperawatan Indonesia.
Bidang Etika keperawatan sudah menjadi tanggung jawab organisasi keprofesian untuk mengembangkan
jaminan pelayanan keperawatan yang berkualitas dapat diperoleh oleh tenaga keperawatan yang professional.
Dalam menjalankan profesinya sebagai tenaga perawat professional senantiasa memperhatikan etika
keperawatan yang mencakup tanggung jawab perawat terhadap klien ( individu, keluarga, dan masyarakat
).selain itu , dalam memberikan pelayanan keperawatan yang berkualitas tentunya mengacu pada standar
praktek keperawatan yang merupakan komitmen profesi keperawatan dalam melindungi masyarakat terhadap
praktek yang dilakukan oleh anggota profesi dalam hal ini perawat.
Dalam menjalankan tugas keprofesiannya, perawat bisa saja melakukan kesalahan yang dapat merugikan klien
sebagai penerima asuhan keperawatan,bahkan bisa mengakibatkan kecacatan dan lebih parah lagi
mengakibatkan kematian, terutama bila pemberian asuhan keperawatan tidak sesuai dengan standar praktek
keperawatan.kejadian ini di kenal dengan malpraktek.
Di dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga kesehatan berlaku norma etika dan norma hukum. Oleh sebab
itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang
kedua norma tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut pandang
hukum disebut yuridical malpractice. Hal ini perlu dipahami mengingat dalam profesi tenaga perawatan berlaku
norma etika dan norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa yang dilanggar.
Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas,
tujuan dan sangsi, maka ukuran normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethical malpractice atau
yuridical malpractice dengan sendirinya juga berbeda.
Yang jelas tidak setiap ethical malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical
malpractice pasti merupakan ethical malpractice.
untuk menghindari terjadinya malpraktek ini, perlu di adakan kajian-kajian etika dan hukum yang menyangkut
malpraktek khususnya dalam bidang keperawatan sehingga sebagai perawat nantinya dalam menjalankan
praktek keperawatan senantiasa memperhatikan kedua aspek tersebut
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI MALPRAKTEK
Malpraktek mempakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara harfiah
“mal” mempunyai arti salah sedangkan “praktek” mempunyai arti pelaksanaan atau tindakan, sehingga
malpraktek berarti pelaksanaan atau tindakan yang salah. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan
istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu
profesi.
Sedangkan definisi malpraktek profesi kesehatan adalah kelalaian dari seorang dokter atau perawat untuk
mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim
dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang sama. Malpraktek
juga dapat diartikan sebagai tidak terpenuhinya perwujudan hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan
yang baik, yang biasa terjadi dan dilakukan oleh oknum yang tidak mau mematuhi aturan yang ada karena tidak
memberlakukan prinsip-prinsip transparansi atau keterbukaan,dalam arti, harus menceritakan secarajelas
tentang pelayanan yang diberikan kepada konsumen, baik pelayanan kesehatan maupun pelayanan jasa lainnya
yang diberikan.
Dalam memberikan pelayanan wajib bagi pemberi jasa untuk menginformasikan kepada konsumen secara
lengkap dan komprehensif semaksimal mungkin. Namun, penyalahartian malpraktek biasanya terjadi karena
ketidaksamaan persepsi tentang malpraktek.Guwandi (1994) mendefinisikan malpraktik sebagai kelalaian dari
seorang dokter atau perawat untuk menerapkan tingkat keterampilan dan pengetahuannya di dalam
memberikan pelayanah pengobatan dan perawatan terhadap seorang pasien yang lazim diterapkan dalam
mengobati dan merawat orang sakit atau terluka di lingkungan wilayah yang sama.
Ellis dan Hartley (1998) mengungkapkan bahwa malpraktik merupakan batasan yang spesifik dari kelalaian
(negligence) yang ditujukan pada seseorang yang telah terlatih atau berpendidikan yang menunjukkan
kinerjanya sesuai bidang tugas/pekerjaannya.
Ada dua istilah yang sering dibiearakan secara bersamaan dalam kaitannya dengan malpraktik yaitu kelalaian
dan malpratik itu sendiri. Kelalaian adalah melakukan sesuatu dibawah standar yang ditetapkan oleh
aturan/hukum guna, melindungi orang lain yang bertentangan dengan tindakan-tindakan yaag tidak beralasan
dan berisiko melakukan kesalahan (Keeton, 1984 dalam Leahy dan Kizilay, 1998).
Malpraktik. sangat spesifik dan terkait dengan status profesional dan pemberi pelayanan dan standar pelayanan
profesional. Malpraktik adalah kegagalan seorang profesional (misalnya, dokter dan perawat) untuk melakukan
praktik sesuai dengan standar profesi yang berlaku bagi seseorang yang karena memiliki keterampilan dan
pendidikan (Vestal, K.W, 1995). Malpraktik lebih luas daripada negligence karena selain mencakup arti kelalaian,
istilah malpraktik pun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan dengan sengaja (criminal malpractice) dan
melanggar undang-undang. Di dalam arti kesengajaan tersirat adanya motif (guilty mind) sehingga tuntutannya
dapat bersifat perdata atau pidana.
Dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan malpraktik adalah :
a. Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang tenaga kesehatan;
b. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan kewajibannya. (negligence); dan
c. Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Banyak kemungkinan yang dapat memicu perawat melakukan malpraktik. Malpraktik lebih spesifik dan terkait
dengan status profesional seseorang, misalnya perawat, dokter, atau penasihat hukum.
Vestal, K.W. (l995) mengatakan bahwa untuk mengatakan secara pasti malpraktik, apabila pengguagat dapat
menunujukkan hal-hal dibawah ini :
a. Duty – Pada saat terjadinya cedera, terkait dengan kewajibannya yaitu, kewajiban mempergunakan segala
ilmu fan kepandaiannya untuk menyembuhkan atau setidak-tidaknya meringankan beban penderitaan pasiennya
berdasarkan standar profesi.
Hubungan perawat-klien menunjukkan, bahwa melakukan kewajiban berdasarkan standar keperawatan.
b. Breach of the duty – Pelanggaran terjadi sehubungan dengan kewajibannya, artinya menyimpang dari apa
yang seharusnya dilalaikan menurut standar profesinya. Contoh pelanggaran yang terjadi terhadap pasien antara
lain, kegagalan dalam memenuhi standar keperawatan yang ditetapkan sebagai kebijakan rumah sakit.
c. Injury – Seseorang mengalami cedera (injury) atau kemsakan (damage) yang dapat dituntut secara hukum,
misalnya pasien mengalami cedera sebagai akibat pelanggaran. Kelalalian nyeri, adanya penderitaan atau stres
emosi dapat dipertimbangkan sebagai, akibat cedera jika terkait dengan cedera fisik.
d. Proximate caused – Pelanggaran terhadap kewajibannya menyebabkan atau terk dengan cedera yang dialami
pasien. Misalnya, cedera yang terjadi secara langsung berhubungan. dengan pelanggaran kewajiban perawat
terhadap pasien).
Sebagai penggugat, seseorang harus mampu menunjukkan bukti pada setiap elemen dari keempat elemen di
atas. Jika semua elemen itu dapat dibuktikan, hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi malpraktik dan perawat
berada pada tuntutan malpraktik.
Untuk malpraktek hukum atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang
dilanggar, yaitu :
a. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut
memenuhi rumusan delik pidana,yaitu :
1. Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela.
2. Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan (intensional) misalnya
melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat
keterangan palsu (pasal 263 KUHP), melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP). Kecerobohan
(reklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien informed consent. Atau kealpaan
(negligence) misalnya kurang hati-hati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan klem
dalam perut pasien saat melakukan operasi. Pertanggungjawaban didepan hukum pada criminal malpractice
adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada badan
yang memberikan sarana pelayananjasa tempatnya bernaung.
b. Civil malpractice
Seorang tenaga jasa akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan kewajiban atau tidak
memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar janji). Tindakan tenaga jasa yang dapat
dikategorikan civil malpractice antara lain :
1. Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
2. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
3. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
4. Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan. Pertanggungjawaban civil
malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan pihak lain berdasarkan principle
ofvicarius liability. Dengan prinsip ini maka badan yang menyediakan sarana jasa dapat bertanggung gugat atas
kesalahan yang dilakukan karyawannya selama orang tersebut dalam rangka melaksanakan tugas kewajibannya.
c. Administrative malpractice
Tenaga jasa dikatakan telah melakukan administrative malpractice manakala orang tersebut telah melanggar
hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power, pemerintah mempunyai kewenangan
menerbitkan berbagai ketentuan di bidang kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi tenaga perawatan
untuk menjalankan profesinya (Surat Ijin Kena, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban tenaga
perawatan. Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat dipersalahkan
melanggar hukum administrasi.
Pasien usia lanjut mengalami disorientasi pada saat berada di ruang perawatan. Perawat tidak membuat rencana
keperawatan guna memantau dan mempertahankan keamanan pasien dengan memasang penghalang tempat
tidur. Sebagai akibat disorientasi, pasien kemudian terjatuh dari tempat tidur pada waktu malam hari dan pasien
mengalami patah tulang tungkai
Dari kasus diatas , perawat telah melanggar etika keperawatan yang telah dituangkan dalam kode etik
keperawatan yang disusun oleh Persatuan Perawat Nasional Indonesia dalam Musyawarah Nasionalnya di
Jakarta pada tanggal 29 Nopember 1989 khususnya pada Bab I, pasal 1, yang menjelaskan tanggung jawab
perawat terhadap klien (individu, keluarga dan masyarakat).dimana perawat tersebut tidak melaksanakan
tanggung jawabnya terhadap klien dengan tidak membuat rencana keperawatan guna memantau dan
mempertahankan kemanan pasien dengan tidak memasang penghalang tempat tidur.
Selain itu perawat tersebut juga melanggar bab II pasal V,yang bunyinya Mengutamakan perlindungan dan
keselamatan klien dalam melaksanakan tugas, serta matang dalam mempertimbangkan kemampuan jika
menerima atau mengalih-tugaskan tanggung jawab yang ada hubungan dengan keperawatan dimana ia tidak
mengutamakan keselamatan kliennya sehingga mengakibatkan kliennya terjatuh dari tempat tidur dan
mengalami patah tungkai.
Disamping itu perawat juga tidak melaksanakan kewajibannya sebagai perawat dalam hal Memberikan
pelayanan/asuhan sesuai standar profesi/batas kewenangan.
Dari kasus tersebut perawat telah melakukan kelalaian yang mengakibatkan kerugian seperti patah tulang
tungkai sehingga bisa dikategorikan sebagai malpraktek yang termasuk ke dalam criminal malpractice bersifat
neglegence yang dapat dijerat hokum antara lain :
1. Pasal-pasal 359 sampai dengan 361 KUHP, pasal-pasal karena lalai menyebabkan mati atau luka-
luka berat.Pasal 359 KUHP, karena kelalaian menyebabkan orang mati :Barangsiapa karena kealpaannya
menyebabkan mati-nya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling
lama satu tahun.
2. Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat:Ayat (1) Barangsiapa karena kealpaannya
menyebakan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
kurungan paling lama satu tahun.Ayat (2) Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka
sedemikian rupa sehinga menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian
selama waktu tertentu, diancam de¬ngan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling tinggi
tiga ratus rupiah.
3. Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan (misalnya: dokter, bidan,
apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila melalaikan peraturan-peraturan pekerjaannya hingga
mengakibatkan mati atau luka berat, maka mendapat hukuman yang lebih berat pula.Pasal 361 KUHP
menyatakan:Jika kejahatan yang diterangkan dalam bab ini di-lakukan dalam menjalankan suatu jabatan atau
pen¬caharian, maka pidana ditambah dengan pertiga, dan yang bersalah dapat dicabut haknya untuk
menjalankan pencaharian dalam mana dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusnya
di-umumkan.Pertanggung jawaban didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal
dan oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
Selain pasal tersebut diatas, perawat tersebut juga telah melanggar Pasal 54 :
(1). Terhadap tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam melak-sanakan profesinya dapat
dikenakan tindakan disiplin.
(2). Penentuan ada tidaknya kesalahan atau kelalaian sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) ditentukan oleh Majelis
Disiplin Tenaga Kesehatan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
– Banyak kemungkinan yang dapat memicu perawat melakukan malpraktik. Malpraktik lebih spesifik dan terkait
dengan status profesional seseorang, misalnya perawat, dokter, atau penasihat hokum
– untuk mengatakan secara pasti malpraktik, apabila pengguagat dapat menunujukkan hal-hal dibawah ini :
a. Duty – Pada saat terjadinya cedera, terkait dengan kewajibannya
yaitu, kewajiban mempergunakan
segala ilmu dan kepandaiannya untuk menyembuhkan atau setidak-tidaknya meringankan beban penderitaan
pasiennya berdasarkan standar profesi.
b. Breach of the duty – Pelanggaran terjadi sehubungan dengan kewajibannya, artinya menyimpang dari apa
yang seharusnya dilalaikan menurut standar profesinya.
c. Injury – Seseorang mengalami cedera (injury) atau kerusakan (damage) yang dapat dituntut secara hukum
d. Proximate caused – Pelanggaran terhadap kewajibannya menyebabkan atau terk dengan cedera yang dialami
pasien.
– Bidang Pekerjaan Perawat Yang Berisiko Melakakan Kesalahan yaitu tahap pengkajian keperawatan
(assessment errors), perencanaan keperawatan (planning errors), dan tindakan intervensi keperawatan
(intervention errors).
– yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yaitu :
a. Criminal malpractice
b. Civil malpractice
c. Administrative malpractice
B. SARAN
– dalam memberikan pelayanan keperawatan , hendaknya berpedoman pada kode etik keperawatan dan
mengacu pada standar praktek keperawatan
– perawat diharapkan mampu mengidentifikasi 3 area yang memungkinkan perawat berisiko melakukan
kesalahan, yaitu tahap pengkajian keperawatan (assessment errors), perencanaan keperawatan (planning
errors), dan tindakan intervensi keperawatan (intervention errors) sehigga nantinya dapat menghindari
kesalahan yang dapat terjadi
– perawat harus memiliki kredibilitas tinggi dan senantiasa meningkatkan kemampuannya untuk mencegah
terjadinya malpraktek
PEMBAHASAN
Kelalaian (Negligence)
Kelalaian tidak sama dengan malpraktek, tetapi kelalaian termasuk dalam
arti malpraktik, artinya bahwa dalam malpraktek tidak selalu ada unsur
kelalaian. Kelalaian adalah segala tindakan yang dilakukan dan dapat
melanggar standar sehingga mengakibatkan cidera/kerugian orang lain
(Sampurno, 2005).
Negligence, dapat berupa Omission (kelalaian untuk melakukan sesuatu yang
seharusnya dilakukan) atau Commission (melakukan sesuatu secara tidak hati-
hati). (Tonia, 1994).Dapat disimpulkan bahwa kelalaian adalah melakukan
sesuatu yang harusnya dilakukan pada tingkatan keilmuannya tetapi tidak
dilakukan atau melakukan tindakan dibawah standar yang telah ditentukan.
Kelalaian praktek keperawatan adalah seorang perawat tidak mempergunakan
tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan keperawatan yang lazim
dipergunakan dalam merawat pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama.
Jenis-jenis kelalaian
Bentuk-bentuk dari kelalaian menurut sampurno (2005), sebagai berikut:
a. Malfeasance : yaitu melakukan tindakan yang menlanggar hukum atau
tidak tepat/layak, misal: melakukan tindakan keperawatan tanpa indikasi
yang memadai/tepat
b. Misfeasance : yaitu melakukan pilihan tindakan keperawatan yang tepat
tetapi dilaksanakan dengan tidak tepat, misal: melakukan tindakan
keperawatan dengan menyalahi prosedur
c. Nonfeasance : Adalah tidak melakukan tindakan keperawatan yang
merupakan kewajibannya, misal: pasien seharusnya dipasang pengaman tempat
tidur tapi tidak dilakukan.
Dampak Kelalaian
Kelalaian yang dilakukan oleh perawat akan memberikan dampak yang luas,
tidak saja kepada pasien dan keluarganya, juga kepada pihak Rumah Sakit,
individu perawat pelaku kelalaian dan terhadap profesi. Selain gugatan
pidana, juga dapat berupa gugatan perdata dalam bentuk ganti rugi.
(Sampurna, 2005).
Bila dilihat dari segi etika praktek keperawatan, bahwa kelalaian merupakan
bentuk dari pelanggaran dasar moral praktek keperawatan baik bersifat
pelanggaran autonomy, justice, nonmalefence, dan lainnya (Kozier, 1991) dan
penyelesainnya dengan menggunakan dilema etik. Sedangkan dari segi hukum
pelanggaran ini dapat ditujukan bagi pelaku baik secara individu dan
profesi dan juga institusi penyelenggara pelayanan praktek keperawatan,
dan bila ini terjadi kelalaian dapat digolongan perbuatan pidana dan
perdata (pasal 339, 360 dan 361 KUHP).
A. Malpraktek
Pengertian Malpraktek
Bila dilihat dari definisi diatas maka malpraktek dapat terjadi karena
tindakan yang disengaja (intentional) seperti pada misconduct tertentu,
tindakan kelalaian (negligence), ataupun suatu kekurang-
mahiran/ketidakkompetenan yang tidak beralasan (Sampurno, 2005). Malpraktek
dapat dilakukan oleh profesi apa saja, tidak hanya dokter, perawat.
Profesional perbankan dan akutansi adalah beberapa profesi yang dapat
melakukan malpraktek.
Malpraktek merupakan istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu
berkonotasi yuridis. Secara harfiah “mal” mempunyai arti salah sedangkan
“praktek” mempunyai arti pelaksanaan atau tindakan, sehingga malpraktek
berarti pelaksanaan atau tindakan yang salah. Meskipun arti harfiahnya
demikian tetapi kebanyakan istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan
adanya tindakan yang salah dalam rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan definisi malpraktek profesi kesehatan adalah kelalaian dari
seorang dokter atau perawat untuk mempergunakan tingkat kepandaian dan ilmu
pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim dipergunakan
terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran dilingkungan yang
sama. Malpraktek juga dapat diartikan sebagai tidak terpenuhinya perwujudan
hak-hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang baik, yang biasa
terjadi dan dilakukan oleh oknum yang tidak mau mematuhi aturan yang ada
karena tidak memberlakukan prinsip-prinsip transparansi atau
keterbukaan,dalam arti harus menceritakan secara jelas tentang pelayanan
yang diberikan kepada konsumen, baik pelayanan kesehatan maupun pelayanan
jasa lainnya yang diberikan.
Malpraktik sangat spesifik dan terkait dengan status profesional dan
pemberi pelayanan dan standar pelayanan profesional. Malpraktik adalah
kegagalan seorang profesional (misalnya, dokter dan perawat) untuk
melakukan praktik sesuai dengan standar profesi yang berlaku bagi seseorang
yang karena memiliki keterampilan dan pendidikan (Vestal, K.W, 1995).
Malpraktik lebih luas daripada negligence karena selain mencakup arti
kelalaian, istilah malpraktik pun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan
dengan sengaja (criminal malpractice) dan melanggar undang-undang. Di dalam
arti kesengajaan tersirat adanya motif (guilty mind) sehingga tuntutannya
dapat bersifat perdata atau pidana.
a. Dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan malpraktik
adalah:
Melakukan suatu hal yang seharusnya tidak boleh dilakukan oleh seorang
tenaga kesehatan
b. Tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan atau melalaikan
kewajibannya. (negligence)
c. Melanggar suatu ketentuan menurut atau berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Kesimpulan
Kelalaian tidak sama dengan malpraktek, tetapi kelalaian termasuk dalam
arti malpraktik, artinya bahwa dalam malpraktek tidak selalu ada unsur
kelalaian. Dapat dikatakan bahwa kelalaian adalah melakukan sesuatu yang
harusnya dilakukan pada tingkatan keilmuannya tetapi tidak dilakukan atau
melakukan tindakan dibawah standar yang telah ditentukan.
Kelalaian praktek keperawatan adalah seorang perawat tidak mempergunakan
tingkat ketrampilan dan ilmu pengetahuan keperawatan yang lazim
dipergunakan dalam merawat pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama.
Kelalaian merupakan bentuk pelanggaran yang dapat dikategorikan dalam
pelanggaran etik dan juga dapat digolongan dalam pelanggaran hukum, yang
jelas harus dilihat dahulu proses terjadinya kelalaian tersebut bukan pada
hasil akhir kenapa timbulnya kelalaian. Harus dilakukan penilaian terlebih
dahulu atas sikap dan tindakan yang dilakukan atau yang tidak dilakukan
oleh tenaga keperawatan dengan standar yang berlaku.
Sebagai bentuk tanggung jawab dalam praktek keperawatan maka perawat
sebelum melakukan praktek keperawatan harus mempunyai kompetensi baik
keilmuan dan ketrampilan yang telah diatur dalam profesi keperawatan, dan
legalitas perawat Indonesia dalam melakukan praktek keperawatan telah
diatur oleh perundang-undangan tentang registrasi dan praktek keperawatan
disamping mengikuti beberapa peraturan perundangan yang berlaku.
Penyelesaian kasus kelalaian harus dilihat sebagai suatu kasus profesional
bukan sebagai kasus kriminal, berbeda dengan perbuatan/kegiatan yang
sengaja melakukan kelalaian sehingga menyebabkan orang lain menjadi cedera
dll. Disini perawat dituntut untuk lebih hati-hati, cermat dan tidak
cerobah dalam melakukan praktek keperawatannya. Sehingga pasien terhindar
dari kelalaian.
DAFTAR PUSTAKA
Amir & Hanafiah, (1999). Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan, edisi
ketiga: Jakarta: EGC.
Craven & Hirnle. (2000). Fundamentals of nursing. Philadelphia. Lippincott
Huston, C.J, (2000). Leadership Roles and Management Functions in Nursing;
Theory and Aplication; third edition: Philadelphia: Lippincott.
Kozier. (2000). Fundamentals of Nursing : concept theory and practices.
Philadelphia. Addison Wesley.
Kepmenkes RI Nomor 1239/Menkes/SK/XI/2001, Tetang Resgistrasi Praktik
Perawat.
Leah curtin & M. Josephine Flaherty (1992). Nursing Ethics; Theories and
Pragmatics: Maryland: Robert J.Brady CO.
Priharjo, R (1995). Pengantar etika keperawatan; Yogyakarta: Kanisius.
Redjeki, S. (2005). Etika keperawatan ditinjau dari segi hukum. Materi
seminar tidak diterbitkan.
Supriadi, (2001). Hukum Kedokteran : Bandung: CV Mandar Maju.
Staunton, P and Whyburn, B. (1997). Nursing and the law. 4th ed.Sydney:
Harcourt.
Sampurno, B. (2005). Malpraktek dalam pelayanan kedokteran. Materi seminar
tidak diterbitkan.
Soenarto Soerodibroto, (2001). KUHP & KUHAP dilengkapi yurisprodensi
Mahkamah Agung dan Hoge Road: Jakarta : PT.RajaGrafindo Persada.
Tonia, Aiken. (1994). Legal, Ethical & Political Issues in Nursing. 2ndEd.
Philadelphia. FA Davis.
Undang-undang Perlindungan Konsumen nomor 8 tahun 1999. Jakarta: Sinar
Grafika.