Anda di halaman 1dari 22

Tugas MK : Konsep dan Teori dalam Keperawatan

Dosen : A. Masyitha Irwan, S.Kep.,Ns., MAN.,Ph.D

Teori Self Efficacy dan Geragogy

OLEH :
Kelompok I

INDAH RESTIKA BN R012172004


HELMI JUWITA R012181008
YUSRIAWATI R012181035
SURYANINGSIH DULANG R012181022

PROGRAM STUDY MAGISTER ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas Berkat, rahmat
dan hidayah-Nyalah sehingga tugas kelompok Konsep dan Teori dalam
Keperawatan“Teori Self Efficacy dan Gerogogy” ini dapat terselesaikan tepat
pada waktunya. Makalah ini dibuat sebagai salah satu tugas Mata Kuliah Konsep
dan Teori dalam Keperawatan pada Program Magister Ilmu Keperawatan
(PSMIK) Fakultas Keperawatan Universitas Hasanuddin.
Ucapan terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah
mendukung baik itu secara langsung ataupun tidak langsung, khususnya kepada
Dosen Mata Kuliah Konsep dan Teori dalam Keperawatan. Sebagai manusia yang
tak luput dari kesalahan, kami memohon maaf jika dalam penulisan makalah ini
terdapat kesalahan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.
Kami juga memohon saran dan kritik yang bersifat membangun, dan atas
saran dan kritik tersebut kami ucapkan terima kasih. Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi kita semua, terutama bagi penulis sendiri.

Makassar, September 2018

Penulis

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Di tengah arus globalisasi dan informasi serta kemajuan berbagai ilmu
pengetahuan dan teknologi dewasa ini, salah satu yang perlu mendapat
perhatian adalah hal yang berkaitan dengan konsep pendidikan untuk orang
dewasa. Berdasarkan laporan World Health Organization dalam Wirakusumah
(2000), pada Tahun 1980 UHH adalah 55,7 tahun, angka ini meningkat pada
tahun 1990 menjadi 59,5 tahun dan pada tahun 2020 diperkirakan UHH
menjadi 71,7 tahun. Meningkatnya populasi lansia ini membuat pemerintah
perlu merumuskan kebijakan dan program yang ditujukan kepada kelompok
penduduk lansia sehingga dapat berperan dalam pembangunan dan tidak
menjadi beban bagi masyarakat. Undang-Undang No 13 Tahun 1998 tentang
kesejahteraan lansia menetapkan, bahwa batasan umur lansia di Indonesia
adalah 60 tahun ke atas (Depsos RI, 2004). Undang-undang Nomor 36 Tahun
2009 pasal 138 ayat 1 menetapkan bahwa Upaya pemeliharaan kesehatan bagi
lanjut usia harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif
secara sosial maupun ekonomis sesuai dengan martabat kemanusiaan.
Hal tersebut menunjukan bahwa pemeliharaan kesehatan lansia sangat
penting. Salah satu cara untuk meningkatkan pemeliharaan kesehatan lansia
adalah melalui pendidikan kesehatan. Menurut (Sunhaji, 2013) bahwa tidak
sedikit orang dewasa yang harus mendapat pendidikan, baik pendidikan
informal maupun non formal, baik dalam bentuk ketrampilan, kursus- kursus,
penataran dan lain-lain sehingga tidak bisa kita hanya menelaah topik di
seputar pendidikan siswa sekolah yang berusia muda. Farmosa (2002)
menjelaskan bahwa secara signifikan penelitian pada bidang pendidikan telah
dilakukan, namun prinsip-prinsip dan praktik memfasilitasi pembelajaran di
antara orang dewasa yang lebih tua masih banyak yang belum diteliti.

3
Pemberdayaan pada lansia dapat di terapkan melalui pendekatan model
pembelajaran yang sesuai untuk masa lanjut usia. Menurut Schmidt-Hertha,
Jelenc Krašovec, & Formosa, (2014) pendidikan untuk orang dewasa yang
lebih tua telah menjadi sangat relevan di negara-negara dengan populasi yang
menua. Withnall (2010) menjelaskan bahwa pendidikan seumur hidup telah
dijadikan sarana untuk memberdayakan individu, mendukung kemandirian,
mengembangkan keterampilan dan kompetensi, dan berkontribusi terhadap
pemenuhan pribadi dan kesejahteraan berkelanjutan. Selain itu, keterlibatan
yang berkesinambungan dalam belajar di antara orang yang lebih tua telah
diketahui menjadi salah satu jalan yang signifikan melalui kemampuan mental
yang meliputi sumber daya kognitif dan emosional yang terbuka, mencegah
penurunan kognitif, depresi, dan kecemasan di antara populasi manula
(GOScience, 2008).
Secara signifikan, kajian pembelajaran untuk manula relative masih
kurang. Findsen dan Formosa (2011) menyatakan bahwa kajian tentang lansia
yang berkaitan tentang pembelajaran seumur hidup masih minim dalam
kerangka teoritis dan kajian empiris. Oleh karena itu, melalui makalah ini
selanjutnya akan di bahas lebih jauh tentang model pembelajaran pada lansia
serta analisis kasus berdasarkan pendekatan geragogi.
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep dan situasi lansia secara global maupun nasional
2. Untuk mengetahui konsep teori self efficacy
3. Untuk mengetahui konsep teori geragogy
4. Untuk mengetahui aplikasi teori self efficacy- geragogy dalam asuhan
keperawatan.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi lansia
Menurut World Health Organization (2015), usia lanjut dibagi menjadi
empat kriteria yaitu : usia pertengahan (middle age) ialah 45-59 tahun, lanjut
usia (elderly) ialah 60-74 tahun, lanjut usia tua (old) ialah 75-90 tahun, usia
sangat tua (very old) ialah di atas 90 tahun. Menurut Undang-Undang Nomor
13 Tahun 1998 dalam Bab 1 Pasal 1 ayat 2 lanjut usia adalah seseorang yang
mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas. Berdasarkan hal tersebut, maka
di tarik kesimpulan bahwa seseorang dikategorikan sebagai lansia jika telah
berumur 60 tahun atau lebih.
1. Gambaran kondisi lansia
a. Situasi global
Secara global pada tahun 2013 proporsi dari populasi penduduk
berusia lebih dari 60 tahun adalah 11,7% dari total populasi dunia dan
diperkirakan jumlah tersebut akan terus meningkat seiring dengan
peningkatan usia harapan hidup. Data WHO menunjukan pada tahun 2000
usia harapan hiup orang di dunia adalah 66 tahun, pada tahun 2012 naik
menjadi 70 tahun dan pada tahun 2013 menjadi 71 tahun. Jumlah proporsi
lansia di Indonesia juga bertambah setiap tahunnya. Data WHO pada
tahun 2009 menunjukan lansia berjumlah 7,49% dari total populasi, tahun
2011 menjadi 7,69% dan pada tahun 2013 didapatkan proporsi lansia
sebesar 8,1% dari total populasi (WHO, 2015).

5
b. Situasi Di Indonesia
Saat ini jumlah lansia di Indonsia telah mencapai 7.56 % dari total
penduduk di Indonesia. Dari 7.56 % tersebut sebagain besarnya adalah
lansia yang berjenis kelamin perempuan.

6
Berdasarkan tipe daerah, penduduk lansia lebih banyak tinggal di perdesaan daripada di perkotaan yang dapat dilihat pada
gambar di bawah ini.

Gambar 4: Penduduk Lanjut Usia Menurut Tipe Daerah


Sumber : Susenas Tahun 2012, Badan Pusat Statistik RI

Jika dilihat sebaran penduduk lansia menurut provinsi, persentase penduduk lansia di atas 10% sekaligus paling tinggi ada
di Provinsi DI Yogyakarta (13,04%), Jawa Timur (10,40%) dan Jawa Tengah (10,34%).

Gambar 5 : Penduduk Lanjut Usia Menurut Provinsi


Sumber : Susenas Tahun 2012, Badan Pusat Statistik RI

Perubahan struktur penduduk mempengaruhi angka beban ketergantungan, terutama bagi penduduk lansia. Perubahan ini
B. Teori Self Efficacy
menyebabkan angka ketergantungan lansia menjadi meningkat. Rasio ketergantungan penduduk tua (old dependency
ratio) adalah angka yang menunjukkan tingkat ketergantungan penduduk tua terhadap penduduk usia produktif. Angka
1. Definisi Self Efficacy
tersebut merupakan perbandingan antara jumlah penduduk tua (60 tahun ke atas) dengan jumlah penduduk produktif (15-
59 tahun). Angka ini mencerminkan besarnya beban ekonomi yang harus ditanggung penduduk produktif untuk membiayai
Efikasi
penduduk tua. diri Menurut Bandura (1977) adalah keyakinan atau
kepercayaan diri seseorang individu terhadap kemampuannya dalam
mengorganisasi dan menyelesaikan suatu tanggung jawab yang diperlukan
untuk mencapai hasil tertentu. Efikasi diri yaitu keyakinan seseorang untuk
bisa menyelesaikan sesuatu, menguasai situasi dengan harapan

7
mendapatkan hasil yang positif. Menurut Bandura dalam (Santrock, 2007)
mengatakan bahwa efikasi diri berpengaruh besar terhadap perilaku atau
sikap seseorang. Misalnya, seorang siswa yang mempunyai efikasi diri
yang rendah mungkin tidak mau rajin belajar untuk dapat mengerjakan
soal pada saat ujian karena siswa tersebut tidak percaya bahwa dengan
belajar membantu dia mengerjakan soal ujian tersebut.
Efikasi diri adalah proses kognitif yang mempengaruhi motivasi
seseorang untuk berperilaku. Seberapa baik seseorang dapat menentukan
atau memastikan terpenuhinya motif mengarah pada tindakan yang
diharapkan sesuai situasi yang dihadapi. Keyakinan akan seluruh
kemampuan ini meliputi kepercayaan diri, kemampuan menyesuaikan diri,
kemampuan kognitif, kecerdasan, dan motivasi untuk bertindak pada
situasi yang penuh tekanan. Efikasi diri akan berkembang berangsur-angsur
secara terus menerus sejalan dengan meningkatnya kemampuan dan
bertambahnya pengalaman-pengalaman yang berkaitan (Bandura, 1997).
Efikasi diri sangat menentukan seberapa besar keyakinan mengenai
kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu untuk melakukan proses
belajarnya sehingga dapat mencapai hasil belajar yang optimal. Individu
yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan dengan baik mengatur dirinya
untuk belajar. Ada keyakinan dalam dirinya bahwa ia akan mampu
menyelesaikan tugas sesulit apapun saat belajar, keyakinan bahwa ia
mampu menyelesaikan berbagai macam tugas serta usaha yang keras untuk
menyelesaikan semua tugas. Hal tersebut akan dapat mendorong individu
untuk dapat merencanakan aktivitas belajarnya, berusaha untuk
memonitornya serta memanipulasi lingkungan sedemikian rupa guna
mendukung aktivitas belajarnya. Dengan demikian dapat diketahui apabila
efikasi diri yang dimiliki individu rendah, dapat menyebabkan hambatan
dalam proses belajarnya meskipun individu tersebut memiliki potensi yang
besar.

8
2. Dimensi Self Efficacy
Menurut Bandura (1977) dalam Adicondro & Purnamasari (2011)
mengemukakan bahwa ada tiga dimensi dari efikasi diri, yaitu magnitude,
generality, dan strength.
a. Magnitude yaitu berkaitan dengan tingkat kesulitan, suatu tugas yang
dilakukan.
b. Generality yaitu berkaitan dengan bidang tugas, seberapa luas individu
mempunyai keyakinan dalam melaksanakan tugas-tugas.
c. Strength yaitu berkaitan dengan kuat lemahnya keyakinan seorang
individu terhadap tugas yang di lakukan.
3. Perkembangan Teori Self Efficacy
Teori Self Efficacy didasarkan pada teori kognitif sosial dan
mengkonseptualisasikan interaksi manusia-perilaku-lingkungan sebagai
timbal balik triadik, landasan untuk determinisme timbal balik (Bandura,
1977, 1986). Sifat timbal balik triadik adalah keterkaitan antara manusia,
perilaku, dan lingkungan; determinisme timbal balik adalah keyakinan
bahwa perilaku, kognitif, dan faktor pribadi lainnya serta pengaruh
lingkungan beroperasi secara interaktif sebagai penentu satu sama lain.
Tidak berarti bahwa pengaruh faktor perilaku dan pribadi serta lingkungan
adalah sama. Bergantung pada situasinya, pengaruh satu faktor mungkin
lebih kuat daripada yang lain, dan pengaruh ini dapat bervariasi dari waktu
ke waktu.
Bandura (1977, 1986) mengemukakan bahwa pemikiran individu
tentang diri mereka dikembangkan melalui empat proses yang berbeda
yaitu pengalaman langsung dari efek yang dihasilkan oleh tindakan
mereka, pengalaman dari orang lain, penilaian disuarakan oleh orang lain,
dan derivasi pengetahuan lebih lanjut tentang apa yang sudah mereka
ketahui dengan menggunakan aturan inferensi dimana fungsi manusia
dipandang sebagai interaksi dinamis dari pengaruh pribadi, perilaku, dan
lingkungan.

9
a. Pengembangan Teori Awal dan Penelitian
Pada tahun 1963, Bandura dan Walters menulis Pembelajaran
Sosial dan Pengembangan Kepribadian, yang diperluas pada teori belajar
sosial untuk menggabungkan pembelajaran observasional dan penguatan
perwakilan. Pada 1970-an, Bandura memasukkan apa yang dianggap
sebagai komponen yang hilang untuk teori itu, keyakinan self-efficacy, dan
menerbitkan Self-Efficacy: Menuju Teori Pemersatu Perubahan Perilaku
(Bandura, 1977). Pekerjaan yang mendukung keyakinan self-efficacy
didasarkan pada penelitian yang menguji asumsi bahwa paparan terhadap
kondisi pengobatan dapat menghasilkan perubahan perilaku dengan
mengubah tingkat individu dan kekuatan self-efficacy.
Teori self-efficacy telah digunakan untuk mempelajari dan
memprediksi perubahan perilaku kesehatan dan manajemen dalam
berbagai pengaturan. Literatur mengeksplorasi faktor-faktor yang
memengaruhi kemauan orang dewasa yang lebih tua untuk berpartisipasi
dalam aktivitas dan latihan fungsional. Ada tema yang berulang yang
menyarankan efikasi diri dan hasil yang penting bagi kesediaan individu.
Oleh karena itu, teori ini membantu untuk memahami perilaku dan
memandu pengembangan intervensi untuk mengubah perilaku.(Reed,
2014).
b. Konsep Teori
Bandura membedakan dua komponen teori self efficacy yaitu
ekspektasi self-efficacy dan ekspektasi hasil. Kedua komponen ini adalah
gagasan utama teori. Ekspektasi self-efficacy adalah penilaian tentang
kemampuan pribadi untuk menyelesaikan tugas yang diberikan, sedangkan
ekspektasi hasil adalah penilaian tentang apa yang akan terjadi jika tugas
yang diberikan berhasil diselesaikan. Keduanya dibedakan karena individu
dapat percaya bahwa perilaku tertentu akan menghasilkan hasil yang
spesifik. Namun, mereka mungkin tidak percaya bahwa mereka mampu
melakukan perilaku yang diperlukan untuk hasil yang akan terjadi.
Misalnya, orang dewasa yang lebih tua dalam rehabilitasi mungkin percaya

10
bahwa mereka mampu melakukan latihan dan kegiatan yang terlibat dalam
proses rehabilitasi, tetapi mereka mungkin tidak percaya bahwa melakukan
latihan akan menghasilkan peningkatan kemampuan fungsional. Beberapa
orang dewasa yang lebih tua percaya bahwa beristirahat daripada
berolahraga akan menyebabkan pemulihan.
Dalam situasi ini, ekspektasi hasil dapat memiliki dampak langsung
pada kinerja. Baik self-efficacy dan ekspektasi hasil mempengaruhi kinerja
kegiatan fungsional. Orang-orang ini mungkin memiliki ekspektasi self-
efficacy yang tinggi untuk latihan, tetapi jika mereka tidak percaya pada
hasil yang terkait dengan olahraga (misalnya, peningkatan kesehatan,
kekuatan, atau fungsi), maka tidak mungkin bahwa akan ada kepatuhan
terhadap program latihan rutin. Umumnya, diantisipasi bahwa self-efficacy
akan memiliki dampak positif pada perilaku. (Reed, 2014).
4. Sumber Penghitungan Efektif Diri
Bandura (1986) menyatakan bahwa penilaian tentang self-efficacy
seseorang didasarkan pada empat sumber informasi yaitu:
a. pencapaian enaktif, yang merupakan kinerja sebenarnya dari perilaku
b. pengalaman perwakilan atau memvisualisasikan orang lain yang serupa
melakukan suatu perilaku
c. bujuk rayu atau nasehat lisan
d. keadaan fisiologis atau umpan balik fisiologis selama perilaku, seperti
nyeri atau kelelahan.
Menurut Bandura (1995) Penilaian kognitif dari faktor-faktor ini
menghasilkan persepsi tingkat kepercayaan pada kemampuan individu
untuk melakukan perilaku tertentu. Kinerja positif dari perilaku ini
memperkuat harapan self-efficacy (Reed, 2014).
Menurut Alwisol, (2005) sumber efikasi diri yaitu dapat diperoleh,
diubah, ditingkatkan atau diturunkan, melalui salah satu atau kombinasi
empat sumber yaitu:

11
a. Performance accomplishment
Pengalaman performansi adalah prestasi yang pernah dicapai pada masa
yang telah lalu.
b. Vicarious experiences
Pengalaman vikarius diperoleh melalui model sosial.
c. Social persuation
Persuasi sosial adalah rasa percaya kepada pemberi persuasi, dan sifat
realistik dari apa yang dipersuasikan.
d. Emotional/physiological states
Orang yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan memiliki
keyakinan mengenai kemampuannya dalam mengorganisasi dan
menyelesaikan suatu tugas yang diperlukan untuk mencapai hasil tertentu
dalam berbagai bentuk dan tingkat kesulitan. Efikasi diri yang rendah akan
sangat mempengaruhi seseorang dalam menyelesaikan tugasnya untuk
mencapai hasil tertentu (Adicondro & Purnamasari, 2011)
5. Hubungan Antara Konsep: Model
Teori self-efficacy berasal dari teori kognitif sosial dan harus
dipertimbangkan dalam konteks determinisme timbal balik. Keempat
sumber pengalaman (pengalaman langsung, pengalaman perwakilan,
penilaian oleh orang lain, dan derivasi pengetahuan dengan kesimpulan)
yang berpotensi memengaruhi efikasi diri dan ekspektasi hasil berinteraksi
dengan karakteristik individu dan lingkungan. Idealnya, self-efficacy dan
ekspektasi hasil diperkuat oleh pengalaman-pengalaman ini dan kemudian
perilaku moderat. Karena self efikasi dan ekspektasi hasil dipengaruhi oleh
kinerja perilaku, ada kemungkinan bahwa ada hubungan timbal balik antara
kinerja dan harapan keberhasilan (lihat Gambar dibawah ini :

12
a. Penggunaan Teori dalam Penelitian Keperawatan
Teori self-efficacy telah digunakan dalam penelitian keperawatan yang
berfokus pada aspek klinis perawatan, pendidikan, kompetensi
keperawatan, dan profesionalisme. Yang paling penting yang berkaitan
dengan penggunaan teori self-efficacy dalam penelitian keperawatan
adalah bahwa peneliti mempertahankan spesifisitas perilaku dengan
mengembangkan kecocokan tertentu antara perilaku yang sedang
dipertimbangkan dan kemanjuran dan ekspektasi hasil. Jika perilaku
minat berjalan selama 20 menit setiap hari, ukuran self-efficacy harus
fokus pada tantangan yang terkait dengan perilaku spesifik ini (waktu,
kelelahan, rasa sakit, atau takut jatuh).
b. Studi Self-Efficacy Terkait dengan Mengelola Penyakit Kronis
Self-efficacy biasanya digunakan untuk menjelaskan dan memperbaiki
manajemen penyakit kronis (Horowitz, Eckhardt, Talavera, Goytia, &
Lorig, 2011). Penggunaan teori self-efficacy untuk membantu individu
mengelola penyakit kronis terus menjadi lazim pada pasien dengan
gagal jantung kongestif, mereka dengan diabetes, rheumatoid arthritis,
stroke, kanker,penyakit ginjal dan penyakit mental. Selain itu, kerja
self-efficacy dalam penyakit kronis telah berfokus pada manajemen diri
dari gejala yang terkait dengan masalah kronis seperti nyeri.
c. Efikasi Diri untuk Kegiatan Promosi Kesehatan Seperti Olahraga dan
Berat Badan
Pendekatan self-efficacy telah umum digunakan untuk mempengaruhi
perilaku olahraga dan diet. Ekspektasi self-efficacy umumnya secara

13
positif dikaitkan dengan latihan. Menggunakan teori self-efficacy,
intervensi telah dikembangkan dan diuji untuk meningkatkan perilaku
olahraga pada orang dewasa yang tinggal di masyarakat yang sehat.
Efek pengobatan yang signifikan diamati untuk self-efficacy untuk
menurunkan berat badan serta berat badan di antara mereka yang
terkena baik intervensi diet dan aktivitas fisik. Demikian pula
intervensi diet yang tidak berfokus pada penurunan berat badan tetapi
lebih pada peningkatan asupan makanan untuk individu dengan
diabetes tercatat efektif.
d. Intervensi Self-Efficacy untuk Manajemen Gejala
Selain menggunakan intervensi berbasis self-efficacy untuk
meningkatkan kepatuhan terhadap perilaku sehat, seperti olahraga dan
diet yang sehat, intervensi self-efficacy telah dikembangkan dan diuji
untuk mengelola gejala di berbagai bidang.
e. Intervensi Self-Efficacy untuk Pendidikan Penyedia Perawatan
Kesehatan
Selain fokus klinis, penelitian berbasis self-efficacy juga memandu
eksplorasi teknik pendidikan untuk perawat. Beberapa contoh
diberikan pada jenis intervensi berbasis self-efficacy digunakan dalam
keperawatan yang terkait dengan perawatan pasien di seluruh rentang
kehidupan, dalam kegiatan promosi kesehatan berbasis masyarakat,
dan dalam pendidikan pasien dan penyedia. Ada banyak penelitian lain
baik di dalam dan di luar keperawatan yang juga memberikan contoh
efektif dari intervensi berbasis self-efficacy yang mengubah perilaku
dan meningkatkan hasil klinis dan pengetahuan terkait di antara
penyedia layanan kesehatan. Jelas, teori ini digunakan secara luas
untuk memandu penelitian keperawatan dan praktik klinis.
6. Penggunaan Teori dalam Praktik Keperawatan
Teori self-efficacy dapat membantu mengarahkan asuhan
keperawatan. Teori ini sangat membantu dalam hal memotivasi individu
untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang meningkatkan kesehatan, seperti

14
olahraga teratur, berhenti merokok, penurunan berat badan, dan pergi untuk
pemeriksaan kanker yang direkomendasikan. Misalnya, Resnick dan tim
penelitiannya telah menggunakan teori self efficacy sebagai landasan untuk
program yang mendorong latihan dan aktivitas fisik pada lansia (Reed,
2014).
C. Teori Geragogi
1. Definisi Geragogi
Geragogi merupakan manajemen yang merujuk pada pengajaran
dan pembelajaran untuk orang lanjut usia (Farmosa, 2012). Sejalan dengan
hal tersebut, Glendening & Cusack (2000) menyatakan bahwa geragogi
adalah model belajar yang diterapkan untuk kelompok lansia dengan
mempertimbangkan berbagai perubahan yang terjadi akibat proses penuaan
yang dapat mempengaruhi proses belajar.
Menurut Farmosa (2012) garegogi kritis merupakan suatu
pendidikan dan kerangka praktik terhadap lansia untuk mengembangkan
dan membimbing lansia untuk melepaskan diri dari ketidakberdayaan
akibat usia.
2. Tujuan geragogi
Secara umum pendidikan pada lanjut usia memiliki beragam tujuan.
Menurut Suprayogi (2007) tujuan yang diharapkan dari pendidikan usia
lanjut yaitu :
a. Meningkatkan kemandirian dan daya guna lansia
b. Mampu memenuhi kebutuhannya
c. Mampu mengambil keputusan terbaik
d. Mampu menghilangkan ketergantungan pada orang lain
e. Mampu hidup sehat, bahagia, dan produktif
f. Mampu meningkatkan perannya di dalam keluarga ataupun
masyarakat.
3. Manfaat geragogi
Hatrford (1978) menyatakan bahwa teori geragogi merupakan
pengajaran dan pembelajaran yang dapat mengembangkan aktualisasi diri,

15
hubungan sosial, kesejahteraan, dan pengembangan bakat untuk lanjut
usia. Selain itu, Menurut John (1988) bahwa dengan mengembangkan
model belajar geragogi, menentukan startegi pengajaran dan tugas belajar
dapat menstimulasi lansia.
4. Model pembelajaran geragogi
Model pembelajaran geragogi berbeda dengan model pembelajaran
yang di berikan pada tatanan usia lainnya. Speros (2009) mengemukakan
bahwa lansia cenderung lebih lambat memproses informasi yang diberikan
dan sulitnya memahami konsep yang tidak konkrit serta kemampuan
menyimpan memori yang lebih sedikit. Selain itu, menurut Chesser AK,
Woods NK, Smothers K, Rogers N (2015) lansia juga mengalami
penurunan penglihatan dan pendengaran sehingga berkontribusi terhadap
kemampuan untuk memproses informasi kesehatan.
Model belajar geragogy harus memperhatikan banyak elemen.
Menurut Thomas (2007) model belajar geragogy diterapkan dengan
memperhatikan beberapa aspek berikut :
a. Mengulang-ulang poin utama dalam pemberian pendidikan kesehatan
b. Melakukan evaluasi setelah diskusi tiap poin penting
c. Melakukan demonstrasi
d. Memprioritaskan praktek perawatan diri yang perlu dikuasai oleh
lansia
e. Informasi tertulis harus di dominasi oleh gambar berukuran besar
dibanding kata-kata yang banyak
f. Mampu membantu lansia mengingat informasi yang diberikan.
Model pembelajaran yang dapat digunakan dalam pendidikan
kesehatan adalah ceramah, diskusi, tamya jawab, demonstrasi, bermain
peran dan lain-lain. Lingkungan pendidikan harus dirancang dengan cara
yang memungkinkan semua orang untuk melihat satu sama lain dengan
mudah, melakukan kontak mata dengan satu sama lain, nyaman dan bebas
tanpa memandang pangkat maupun jabatan. Pengaturan tempat duduk
antara lain: model jenis U, gaya tim dan lingkaran. Pengaturan dapat

16
dibentuk sesuai dengan metode pendidikan yang dipilih. Selain itu, tempat
pendidikan harus memiliki fitur akustik (alat musik) yang efisien,
memiliki cukup ruang untuk menulis kegiatan, suhu ruangan yang sesuai,
tangga dan lantai tidak licin, memiliki alat-alat seperti kursi roda, tongkat
dan kursi yang nyaman (Kececi & Bulduk, 2012).
Komponen lain dari proses pendidikan ini adalah bahan atau materi
yang digunakan. Font atau tulisan yang digunakan harus cukup besar dan
latar belakang harus mengandung area putih karena lebih mudah dibaca.
Penggunaan bahasa atau jargon medis juga dilarang untuk digunakan.
Kata-kata dan gambar dalam poster harus digunakan sebagai ganti dari
paragrap yang panjang. Selain itu, Speros (2009) menambahkan bahwa
berbicara harus jelas namun perlahan dan menggunakan bahasa yang
umum bagi lansia sehingga dapat membantu lansia memahami informasi
kesehatan yang diberikan.

Gambar (a). Materi pendidikan yang sesuai untuk lansia

17
Gambar (b). Materi pendidikan yang tidak sesuai untuk lansia

Menurut Tabloski (2010) dan Corneet (2011) dalam Kececi dan


Bulduk (2012). Beberapa perubahan pada lansia yang dapat
mempengaruhi proses pembelajarannya yaitu sebagai berikut:
a. Perubahan Fisik
b. Perubahan Psikologis
c. Perubahan sosial budaya
5. Proses Pendidikan Kesehatan
Menurut Kececi dan Bulduk (2012), proses pendidikan kesehatan
pada lansia adalah sebagai berikut:
a. Pengumpulan data/diagnosis
Pengumpulan data merupakan bagian penting dari proses pendidikan.
b. Perencanaan
Ketika merencanakan pendidikan kesehatan, tingkat social ekonomi
dan latar belakang lansia harus diperhatikan. Oleh karena itu, bahan
yang akan digunakan harus dipilih dengan hati-hati. Selain itu,
instruksi yang diberikan harus sesuai dengan tingkat pemahaman
individu.
c. Implementasi
Hal yang harus diperhatikan dalam promosi kesehatan kepada lansia
adalah menggunakan komunikasi yang efektif.

18
d. Evaluasi
Keberhasilan promosi kesehatan dapat dievaluasi dengan mengukur
sampai sejauh mana tujuan yang diinginkan tercapai. Proses evaluasi
biasanya dilakukan dengan teknik penilaian kuantitatif dan kualitatif
seperti pengamatan dan wawancara. Evaluasi kualitatif meliputi
pandangan dan harapan dari peserta program pendidikan dan orang
lain yang berkaitan dengan program dan memberikan perspektif yang
lebih luas daripada penilaian kuantitatif.

19
BAB III
PEMBAHASAN

A. Skenario/Kasus
Seorang lansia A berusia 63 tahun tinggal di wilayah kerja puskesmas
X. Saat di kaji oleh perawat diperoleh hasil pengkajian yaitu pakaian lansia
tampak lusuh dan badannya kurang terawat, saat berkomunikasi dengan
perawat tercium aroma kurang sedap dari mulut lansia A, lansia tersebut
mengatakan jarang mandi karna tidak mampu berdiri lama di kamar mandi
dengan kondisi lantai yang licin, lansia tersebut juga mengatakan malas
menggungting kuku dan menggosok gigi. Hasil pengukuran tanda tanda vital
didapatkan TD : 150/90 mmhg, N : 83 x/menit, RR : 19 x/menit dan S : 37 ◦C.
Dari hasil pengakajian tersebut diketahui bahwa lansia A mengalami
masalah dalam manajemen perawatan diri. Bagaimana proses penyelesaian
pada kasus tersebut?
B. Analisis Penyelesaian
Salah satu intervensi yang dilakukan untuk meningkatkan self efficacy
pada kasus tersebut adalah dengan memberikan intervensi berbasis self efficacy
yaitu pendidikan atau promosi kesehatan kepada lansia. Lansia diberikan
pendidikan kesehatan untuk mengatasi masalah dalam manajemen perawatan
diri dengan menggunakan model pembelajaran pada lansia (geragogi).
Dalam pelaksanan pendidikan kesehatan pada lansia sesuai dengan
konsep geragogi maka lansia diberikan pendidikan kesehatan dengan
menggunakan instrumen belajar yang didominasi gambar serta dilaksanakan
secara periodik dalam rentang waktu yang ditentukan. Dalam pelaksanananya,
lansia senantiasa dievaluasi tingkat pengetahuannya serta perilaku menajamen
yang di lakukan oleh lansia. Ketika manajemen perawatan diri lansia A telah
dilaksanakan sesuai dengan pendidikan kesehatan yang diberikan dengan
pendekatan model geragogi maka model edukasi yang diberikan berhasil di
terapkan pada lansia.

20
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Self Efficacy adalah keyakinan atau kepercayaan diri seseorang individu
terhadap kemampuannya dalam mengorganisasi dan menyelesaikan suatu
tanggung jawab yang diperlukan untuk mencapai hasil tertentu.
2. Gerogogi merupakan manajemen pengajaran dan pembelajaran kepada
lansia dengan menggunakan metode pembelajaran sesuai dengan tingkat
pemahaman lansia.
3. Teori gerogogi dapat mengubah perilaku (self efficacy) seseorang. Self
Efficacy yang rendah akan sangat mempengaruhi seseorang dalam
menyelesaikan tugasnya untuk mencapai hasil tertentu.
B. Saran
Sebagai perawat pendidik dan perawat klinik, maka perlu diketahui
tentang konsep teori self efficacy dan gerogogi dalam pemberian asuhan
keperawatan khususnya pada lansia. Selain itu, dalam memberikan pendidikan
kesehatan, maka diperlukan pemberian materi sesuai dengan metode dan
materi yang sesuai dengan kebutuhan klien (lansia).

21
DAFTAR PUSTAKA

Adicondro, N., & Purnamasari, A. (2011). Efikasi Diri, Dukungan Sosial


Keluarga dan Self Regulated Learning Pada Siswa Kelas VII. Humanitis,
8(1), 18–27.
Bandura, A. (1994). Self-Efficacy. Encyclopedia of Human Behavior, 4
(1994),71–81. https://doi.org/10.1002/9780470479216.corpsy0836
Chesser AK, Woods NK, Smothers K, Rogers N. (2015). Heath literacy and older
adults: a systematic review. Gerontology and Geriatric Medicine. 2: 1-13.
Findsen and Formosa, M. (2011). Lifelong Learning in Later Life: A handbook
on older adult learning. Rotterdam: Sense Publishers.
Formosa, M. (2002). Critical geragogy: Developing practical possibilities for
critical educational gerontology. Education and Ageing, 17 (1), 73–85.
Glendenning F, Cusack SA. (2000). Teaching and learning in later life: theoretical
implications. Vermont, VT: Ashgate Publishing Company.

GOScience (2008) Foresight Mental Capital andWellbeing Project.London:The


Government Of ce for Science.

Kececi & Bulduk. (2012). Health Education For Elderly. www.intechopen.com.


Reed, P. G. (2014). Theory of self-transcendence. Middle range theory for
nursing. https://doi.org/10.1017/CBO9781107415324.004

Schmidt-Hertha, B., Jelenc Krašovec, S., & Formosa, M. (2014). Introduction:


Older adult education and intergenera- tional learning. In B. Schmidt-Hertha,

Sunhaji. (2013). Konsep Pendidikan Orang Dewasa. Jurnal Kependidikan, 1(1),


1–11. Retrieved from http://ejournal. iainpurwokerto. ac.id/index. php/jurnal
kependidikan.

S. Jelenc Krašovec, & M. Formosa (Eds.), Learning across generations in Europe:


Contemporary issues in older adult education (pp. 1–8). Rotterdam, Nether
lands: Sense.

Suprayogi, U. (2007). Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. IMTIMA. FIP-UPI.


Withnall, A. (2010). Improving Learning in Later Life.Abingdon: Routledge.

WHO (2015). World Health Organization.

22

Anda mungkin juga menyukai