Kehidupan beragama didasari oleh pengalaman bahwa Tuhan (Yang Ilahi) sungguh-
sungguh hadir dan campur tangan dalam kehidupan manusia. Tuhan menentukan dan
mengatur arah hidup manusia. Tuhan menjadi pencipta dan asal usul kehidupan, dan akhirnya
Tuhan juga menjadi tujuan hidup. Pada akhir kehidupan, manusia bersatu kembali dengan
Tuhan. Pengalaman ini oleh orang-orang beragama diwariskan secara turun temurun kepada
generasi berikutnya, sehingga menjadi kepercayaan yang mendalam. Setiap orang beragama
mesti sampai pada kesadaran tertentu dan mengalami pengalaman ini, sehingga sampai pada
kepercayaan bahwa Tuhan sungguh-sungguh hadir dan campur tangan dalam kehidupan
manusia. Inilah pengalaman iman, pengalaman religius, atau pengalaman keagamaan.
Bagi orang beragama, hal yang paling penting adalah pengalaman berjumpa dengan
"yang ilahi" atau disebut pengalaman religius atau pengalaman keagamaan. Pengalaman
religius inilah yang merupakan kekhususan orang beragama bila dibandingkan dengan orang
yang tidak beragama. Orang beragama sadar dan meyakini bahwa Tuhan selalu menyertai
hidupnya. Tuhan senantiasa hadir dalam setiap segi kehidupannya. Di dalam semua
keberuntungan dan kemalangan, diyakini bahwa tersembunyi kehendak Tuhan yang baik.
Oleh karena itu, orang beragama senantiasa mengucap syukur kepada Tuhan bila
keberuntungan itu datang padanya, dan tidak henti-hentinya memohon bantuan kepada Tuhan
bila ia dilanda kemalangan. Tuhan diyakini sebagai penyangga dan penyelenggara hidupnya.
Personal: menyentuh pribadi secara mendalam. Seseorang sangat terkesan dan tersentuh
oleh pengalaman tersebut dan mempengaruhi seluruh hidupnya. Ini dilihat dari sisi kualitas
dan kedalaman pengalaman tersebut. Kualitas dan kedalaman itu dilihat dari akibat dan
pengaruh bagi kehidupan orang itu.
Transformatif: memperbarui dan mengubah hidup secara individu dan sosial; tidak
menghancurkan. Pengalaman religius akan membaharui hidup seseorang menjadi lebih baik.
Ini dilihat dari akibat atau dampak yang ditimbulkan oleh pengalaman itu. Ini berkaitan
dengan ciri personal di atas.
Subjektif: dialami dan dirasakan oleh individu atau orang perorang. Kebenarannya sangat
subjektif. Hanya orang itu sendiri yang mengalaminya, sehingga tidak bisa dikonfirmasi
dengan orang lain. Hanya subjek/orang mengalami saja yang sungguh merasakan. Namun,
ini bukan berarti “pengalaman yang sembarangan saja” karena ada ciri transformatif di atas
dan ciri berikutnya, yaitu rasional
Rasional: dapat dimengerti akal sehat. Pengalaman religius adalah otentik, tidak direkayasa
demi kepentingan politik atau ekonomi. Pengalaman religius bukanlah magis, yang
mengubah fisik atau secara drastis. Pengalaman religius mempengaruhi kesadaran
seseorang. Ini dilihat dari pertanggungjawaban akal sehat. Hal ini penting agar kita tidak
ditipu oleh orang-orang yang memamerkan kepandaiannya untuk menggandakan uang,
menyembuhkan, atau membuat mukjijat lainnya dengan mengtasnamakan Tuhan.
Latihan:
1) Bacalah Kisah “Aku Benci Istriku Berdoa” pada Lampiran Bacaan I. Temukanlah
ciri-ciri pengalaman religius dari tokoh Istri dalam bacaan tersebut: personal,
transformative, subjektif, dan rasional!
2) Telitilah pengalaman-pengalaman dalam hidup Anda. Apakah pengalaman religius
yang pernah Anda rasakan dua atau tiga tahun terakhir?
Bagi orang beragama pengalaman dan emosi dalam pengalaman rohani atau berjumpa
dengan Tuhan ini merupakan faktor amat penting. Dengan mengalami pengalaman rohani
atau perjumpaan dengan Tuhan secara terus menerus di dalam hidupnya, seorang beragama
semakin mendalam keyakinannya kepada Tuhan. Sebaliknya, bila pengalaman perjumpaan
dengan Tuhan ini tidak pernah dialami atau disadari, maka kehidupan beragama menjadi
kering. Bahkan lama kelamaan kehidupan beragama tidak dirasakan lagi. Agama tinggal
menjadi status saja. Maka pengalaman religius di atas sangat penting agar agama-agama tetap
dapat hidup dan berkembang.
Semua agama dan kepercayaan lahir ke dunia ini karena pengalaman rohani /
religius yang dialami oleh para pendiri dan tokoh-tokoh agama. Pengalaman rohani/religius
Nabi Musa, Nabi Muhammad SAW, para murid Yesus, termasuk pula pertobatan Paulus,
pengalaman Sidharta Gautama, adalah pengalaman rohani/religius yang mengawali
berdirinya agama-agama. Berkat pengalaman perjumpaan Musa dengan Yahwe dalam
semak-semak yang terbakar, maka Agama Yahudi (Yadaisme) mulai lahir. Berkat
pengalaman Nabi Muhammad SAW menerima wahyu Tuhan di gua Hira, maka Agama Islam
lahir. Begitu pula, pengalaman para murid Yesus yang berjumpa dengan Yesus yang sudah
bangkit, maka Agama Kristen lahir. Begitu pula, Agama Buddha lahir berkat pengalaman
pencerahan dari Sidharta Gautama. Agama Hindu dan kepercayaan-kepercayaan tradisional
juga diawali tokoh-tokoh Agama Hindu dan kepercayaan-kepercayaan tersebut.
Pengalaman rohani/religius juga menyebabkan agama dan kepercayaan tetap hidup.
Apabila para pengikut agama dan kepercayaan sudah tidak memiliki pengalaman apapun
tentang Tuhan atau Yang Ilahi pasti lama kelamaan agama-agama dan kepercayaan itu akan
bubar. Maka pengalaman rohani / religius ini harus terus menerus dipupuk dan
dikembangkan agar tetap hidup.
Refleksi:
1) Apakah Anda selalu bersyukur? Apakah yang Anda syukuri pada hari ini?
2) Apakah Anda mudah mengeluh dan selalu mengeluh atas hidup Anda? Mengapa?
Sebagai makhluk sosial, manusia selalu berelasi dengan orang-orang lain. Di dalam berelasi
dengan orang lain, pengalaman hidup seseorang selalu disampaikan dan diceritakan kepada orang
lain, entah anggota keluarga, tetangga, teman-teman satu komunitas dll. Sebaliknya, orang-orang lain
pun juga merindukan dan membutuhkan cerita atau informasi dari teman-teman satu komunitas,
saudara, atau tetangga.
Begitu pula, pengalaman rohani orang-orang beragama, lebih-lebih para tokoh agama awal,
selalu diceritakan dan disampaikan kepada orang lain. Karena pengalaman rohani bersifat subjektif,
bisa jadi cerita tentang pengalaman rohani tersebut dapat diterima orang lain, atau ditolak oleh orang
lain. Kalau diterima oleh orang lain, maka orang-orang yang menerima pengalaman orang tersebut
percaya, diperkaya oleh pengalaman itu, dan bisa jadi ikut atau ingin ikut mengalami pengalaman
yang sama. Mereka itu kemudian mengimani pengalaman yang sama, lalu membentuk komunitas
pengalaman iman yang sama. Kelompok ini bisa berkembang menjadi besar dan dalam waktu tertentu
bisa menjadi “persekutuan orang beriman.” Dalam arti tertentu, bisa berkembang menjadi “agama”
bila sudah dilengkapi dengan unsur-unsur lain, seperti ajaran, tata ritual/ibadat dll. yang akan dibahas
pada bagian selanjutnya.
Dengan demikian, “persekutuan orang beriman” atau “agama” merupakan kumpulan atau
persekutuan orang-orang yang menerima dan mempercayai, dan kemudian menghidupi pengalaman
rohani yang sama, dalam bentuk cerita-cerita atau kesaksian hidup. Cerita-cerita atau kesaksian hidup
tentang hubungan dengan Tuhan berperan penting menjadi pengikat dan pemersatu “persekutuan
orang beriman” atau “agama” itu. Apabila cerita-cerita dan kesaksian hidup itu terus di-sharing-kan
dalam pertemuan-pertemuan, maka akan saling menguatkan iman satu sama lain. Umat beriman dari
generasi saat ini dapat belajar dan diperkaya oleh pengalaman rohani orang-orang suci, tokoh-tokoh
yang hidup sebelumnya.
Pengalaman rohani tokoh-tokoh agama awal yang diceritakan dan disebarkan di dalam
kelompok-kelompok atau persekutuan orang-orang yang percaya semula bersifat lisan, dan terus
beredar secara lisan. Tetapi, karena berkembang budaya tulis-menulis, pengalaman rohani tersebut
lalu ditulis, menjadi bentuk tulisan. Tentu saja tidaklah mudah menuliskan sebuah pengalaman rohani
tentang berelasi dengan Yang Ilahi, Yang Transenden, Tuhan, Allah. Kemampuan manusia tentu saja
terbatas untuk menuliskan cerita-cerita pengalaman rohani. Maka penulisannya disesuaikan dengan
kemampuan dan keterbatasan penulis.
Dalam arti ini, tidak mungkinlah penulis dapat menuliskan secara sempurna pengalaman
rohani tentang relasi dengan Tuhan itu. Dalam arti inilah, penulisannya bersifat mitik, dalam bentuk
“mitos”. Mitos tidak selalu berarti “khayalan atau tidak benar,” tetapi ada penggambaran-
penggambaran yang selaras dengan kemampuan fantasi para penulis. Misalnya: cerita tentang Nabi
Musa yang memimpin umat Israel menyeberang Laut Merah. Bagaimana bisa terjadi Laut Merah tiba-
tiba dapat membelah ketika umat Yahwe menyeberanginya? Kisah itu menjadi mitis, selaras dengan
kemampuan penulis menceritakan pengalaman rohani tersebut, karena tidak ad acara lain untuk
menceritakan pengalaman yang istimewa itu kecuali dengan mitos.
Penggambaran-penggambaran yang bersifat mitis ini tidak mengurangi makna dari
pengalaman rohani yang ingin disampaikan. Maka, apabila kita membaca kisah-kisah pengalaman
rohani yang bersifat mitis, kita harus tetap fokus pada makna dan pesan yang ingin disampaikan oleh
kisah tersebut. Kita bisa dan boleh bersifat kritis dan mempertanyakan kisah-kisah mitis itu, untuk
menemukan makna dan pesan bagi iman kita. Kita tidak perlu menjadi ragu atas kisah-kisah yang
bersifat mitis tersebut, karena memang tidak ada cara lain untuk menggambarkan pengalaman rohani
tentang Tuhan, Yang Ilahi, Yang Transenden, dan Maha dalam segala-galanya.
Terdapat banyak versi cerita tentang pengalaman rohani yang beredar dalam masyarakat
tempo dulu, karena setiap orang/kelompok menceritakan dengan cara dan penghayatan mereka
masing-masing. Semakin banyak pengalaman religius dialami oleh orang/tokoh beragama, maka
semakin banyak pula cerita-cerita yang beredar. Apabila kisah-kisah itu ditulis dalam bentuk tulisan,
maka juga akan banyak versi cerita tertulis tentang pengalaman rohani. Oleh karena itu, semakin
banyak cerita itu beredar, bobot pengalaman rohaninya juga semakin bermacam-macam. Bahkan
mungkin saja ada cerita yang kadar pengalaman rohaninya amat rendah.
Maka, sewaktu cerita-cerita tertulis itu akan dijadikan BUKU perlu proses seleksi terhadap
cerita-cerita tersebut. Proses seleksi tersebut disebut kanonisasi atau penyeleksian berdasarkan
ketentuan/peraturan/hukum (kanon). Artinya, agama (kelompok orang) menentukan cerita-cerita
mana yang memuat pengalaman-pengalaman rohani yang otentik, yang selaras dengan keyakinan
kelompok orang itu, dan cerita-cerita mana yang tidak memuat pengalaman rohani yang sesuai. Jadi
kriteria seleksi tersebut adalah pengalaman rohani (iman) dari kelompok orang beragama itu sendiri.
Setelah dibukukan, buku tersebut menjadi Kitab Suci bagi orang-orang beriman.
Proses seleksi semacam ini tidak mengurangi kadar “kerohanian” cerita-cerita tersebut, sebab
diyakini bahwa dalam proses seleksi Tuhan sendiri turut campur tangan melalui roh-Nya membantu di
dalam seleksi tersebut. Dengan demikian, Kitab Suci tetap merupakan Wahyu Tuhan yang tetap
melibatkan manusia yang berakal budi. Dalam Kitab Suci tersebut, terdapat kisah-kisah suci tentang
pengalaman rohani manusia berelasi dengan Tuhan. Dalam semua agama, Hindu, Buddha, Islam, dan
Kristen (Protestan dan Katolik) terdapat kisah-kisah semacam itu.
Bila kita membaca kisah-kisah tersebut, kita harus terlibat di dalam pengalaman rohani
tersebut. Perasaan dan pikiran kita ikut terlibat dalm pengalaman tokoh-tokoh tersebut. Dengan
demikian, kita sebagai pembaca juga turut serta mengalami pengalaman rohani sebagaimana dialami
oleh para tokoh tersebut. Membaca Kitab Suci bukanlah untuk mendapatkan informasi tentang apa
yang ditulis dalam Kitab Suci, tetapi untuk mengalami pengalaman rohani yang dialami tokoh di
dalam Kitab Suci tersebut.
Meskipun demikian, dengan akal budi kita, kita dapat memahami kisah-kisah itu secara kritis
dan menangkap pesannya. Maka ilmu tafsir Kitab Suci yang berusaha memahami pesan-pesan Ktab
Suci secara kritis.
1. Pilihlah salah satu bagian dari Kitab Suci: perikope, surah, atau paratha tertentu.
2. Bacalah berulang-ulang, dan libatkanlah hati, dan pikiran Anda di dalam membacanya.
Ini disebut tahap membaca (lectio).
3. Merenungkan dengan menemukan hal-hal yang berkesan dan relevan bagi diri Anda
sendiri. Caranya membayangkan diri Anda ikut berperan, menjadi pemeran dalam
bacaan yang sedang Anda baca. Bisa jadi muncul pertanyaan-pertanyaan kritis, yang
mendorong Anda untuk mempertanyakan dan mendiskusikannya. Tulislah pertanyaan-
pertanyaan kritis tersebut untuk mendalami makna bacaan Kitab Suci yang sudah Anda
baca tersebut. Ini disebut tahap pendalaman (contemplatio).
4. Buatlah doa berdasarkan bagian Kitab Suci yang Anda baca tersebut, baik berupa ucapan
syukur, pujian, maupun permohonan yang sesuai dengan keadaan/situasi anda. Dengan
demikian doa merupakan komunikasi pribadi Anda dengan Tuhan (Sang Sabda). Ini
disebut tahap berdoa (oratio).
5. Hening sebentar, mendengarkan pesan-pesan Tuhan kepada kita masing-masing, dan
mengalami/merasakan kehadiran Tuhan dalam diri kita. Ini disebut tahap meditasi
(meditatio).
BAB III. UNSUR IBADAT DAN RITUAL
Pengantar
Silahkan Anda ingat-ingat dan Anda refleksikan: Apakah yang Anda lakukan pada
saat Anda beribadat? Adegan-adegan apa saja yang terjadi dalam ibadat di Agama Anda
masing-masing? Bagaimana perasaan Anda pada saat melakukan ibadat? Pertanyaan-
pertanyaan apa yang muncul dalam pikiran Anda?
Agar umat yang mengikuti ibadat dapat memahami arti simbol dan tatacara ibadat, perlu
diadakan pelajaran dan pendalaman hingga umat sungguh dapat terlibat di dalam ibadat
secara penuh.
Proses perumusan dan pembakuan unsur ibadat dan tatacara ibadat terjadi dari masa
lampau hingga masa kini. Generasi saat ini mewarisi tatacara ibadat generasi sebelumnya
yang telah menyusun tatacara ibadat itu. Tatacara ibadat, semula mengikuti saja pengalaman
rohani para pendahulu. Selanjutnya, dari saat ke saat ada penyesuaian-penyesuaian untuk hal-
hal yang tidak sesuai dengan keadaan zaman, tanpa menghilangkan unsur pokok dari
pengalaman rohani yang telah terjadi.
Puncak dari peribadatan terjadi pada hari raya keagamaan, karena pada hari raya
keagamaan itu pengalaman rohani tokoh-tokoh agama dirayakan kembali. Misalnya: Hari
Raya Paskah, Natal, Idul Adha, Idul Fitri, Israj Mi'raj, Waisak, Galungan dsb. Contohnya:
Pada hari raya Paskah, pengalaman iman para murid Yesus yang menyatakan bahwa “Yesus
bangkit dari mati sehingga disebut Kristus” dirayakan. Maka dalam Perayaan Paskah terdapat
pembaharuan janji yang mengakui iman bahwa Yesus adalah Kristus, Putra Allah. Begitu
juga, pada hari Natal dirayakan kelahiran Yesus. Dalam Perayaan Natal, membaharui iman
mereka akan Tuhan Yesus yang lahir menjadi manusia. Begitu pula pada hari-hari raya
lainnya.
Ibadat dan ritual keagamaan berperan amat penting demi terpeliharanya iman akan
Tuhan. Semakin seseorang rajin beribadat atau merayakan ritual-ritual keagamaan, ia terus
menerus memperbarui imannya. Dengan demikian, ia terus memelihara imannya dan
memperkembangkannya. Memang, bisa terjadi akibat-akibat negatif apabila orang hanya
memutlakkan ibadat, dan melepaskannya dari unsur-unsur kehidupan manusia lainnya. Orang
yang hanya mengutamakan ibadat, lalu melupakan kewajiban-kewajiban lain sebagai
manusia yang harus bekerja, yang harus bergaul dengan masyarakat luas, yang harus
berderma dll. tidaklah sehat sebagai manusia.
Tidak semua agama mempunyai banyak ritual. Agama-agama yang mementingkan
perayaan-perayaan sakramental atau simbol-simbol memiliki praktik dan ritual yang
bermacam-macam. Sebagai contoh: Gereja Katolik memiliki banyak ritual. Agama-agama
lain tidak memiliki banyak perayaan-perayaan simbolis semacam ini. Tetapi yang penting
adalah bahwa ritual-ritual itu dijalankan untuk memperdalam iman akan Tuhan dengan
mengulangi dan merayakan kembali pengalaman-pengalaman rohani yang terjadi pada masa
lampau.
SISI-SISI NEGATIF
1. Ritualisme: mengikuti aturan dan rubrik secara kaku dan ketat tanpa penghayatan
dan kontekstualisasi.
2. Formalisme: hanya mengikuti ritual demi memenuhi syarat, tanpa penghatan dan
kterlibatan; tidak memahami makna simbol-simbol yang ada.
3. Melanggar aturan dengan mudah hanya demi kesenangan.
4. Usaha magis: menganggap ibadat/ritual sebagai sarana untuk mendapatkan
keberuntungan materi, dan dapat mengubah kehidupan manusia secara sesaat.
Bahan refleksi:
1) Uraikan dan terangkan tatacara ibadat dalam agama Anda masing-masing. Apakah
ymbol-simbol yang ada dan apakah makna dari symbol-simbol tersebut?
2) Apakah Anda rajin merayakan ibadat? Mengapa?
3) Apakah kesulitan atau permasalahan yang Anda temui pada waktu Anda merayakan
ibadat?
Agama juga mengurusi tindakan dan perilaku para pengikutnya. Perilaku orang beragama
menjadi amat khas karena dipengaruhi dan diarahkan oleh ajaran-ajaran agama. Dalam arti itulah,
agama memiliki kaitan dengan moral, yang mencakup aspek etikal dan legal. Aspek etikal berkaitan
dengan "kebaikan" atau "kebenaran" tingkah laku, sedangkan aspek legal berkaitan dengan "syah"-
nya atau "tepat"-nya tingkah laku.
Orang beragama meyakini bahwa manusia dan alam semesta ini diciptakan oleh Tuhan.
Tuhan mempunyai maksud dan tujuan dari penciptaan tersebut. Tuhan juga mempunyai tujuan atau
maksud tertentu di alam menciptakan tiap-tiap manusia. Maka, setiap manusia harus menemukan
tujuan hidupnya atau maksud Tuhan menciptakan dirinya. Dengan akal budi dan dibantu pelbagai
proses refleksi, setiap orang harus dapat menemukan tujuan hidupnya. Kemudian, setiap orang harus
berperilaku dan bertindak untuk menuju dan mewujudkan tujuan hidup masing-masing. Supaya dapat
mencapai tujuan hidup tersebut, setiap orang menetapkan “larangan dan kewajiban” yang harus ditaati
sendiri agar dapat sampai pada tujuan hidup tersebut. Seperti seseorang yang ingin menjadi atlet juara
ia akan menetapkan pelbagai larangan, misal: larangan merokok, larangan minum dan makan
sembarangan, kewajiban untuk berlatih sehari 6 jam, kewajiban untuk tidur minimal 10 jam sehari
dll.
“Larangan dan kewajiban” itu menjadi tolok ukur bagi seseorang yang baik, agar dapat
mencapai tujuan hidupnya. Tolok ukur kebaikan tersebut disebut norma moral. Kalau semua orang
menetapkan norma moral bagi diri mereka masing-masing, maka semua norma moral tersebut akan
menjadi norma moral umum yang berlaku bagi semua orang. Norma moral tersebut juga menjadi
hukum moral, yaitu ketentuan-ketentuan/peraturan yang berlaku bagi orang yang ingin menjadi
manusia baik yang dapat mencapai tujuan hidupnya. Maka, sebenarnya norma moral dan hukum
moral itu bersifat lisan dan universal. Namun, agar memiliki kekuatan yang baku, norma moral dan
hukum moral itu kemudian dirumuskan secara tertulis, menjadi hokum yang tertulis, dan dituangkan
di dalam pelbagai bentuk hokum manusiawi. Norma moral akhirnya menjadi tolok ukur bagi kebaikan
manusia, dan tolok ukur bagi hukum-hukum manusiawi lainnya.
Refleksi:
1) Kenali dan temukanlah tujuan hidup Anda: a) sebagai mahasiswa, b) sebagai anak muda, c)
sebagai manusia pada umumnya!
2) Apakah norma moral dan hukum moral bagi Anda agar dapat mencapai tujuan hidup
tersebut?
Manusia memiliki akal budi untuk mengenali dan mengetahui segala sesuatu termasuk
mengenali dan mengetahui dirinya sendiri. Manusia dapat mengenali dan mengetahui apa yang terjadi
dalam seluruh dirinya dan apa yang semestinya terjadi di dalam dirinya. Apa yang semestinya terjadi
secara alamiah yang dikenali dengan akal budi manusia itu disebut hukum kodrat (natural law).
Sebagai contoh, saya mengenali bahwa diri saya lapar, maka harus makan. Maka hukum kodrat
menetapkan bahwa adanya keharusan untuk menyediakan makanan bagi manusia. Kenyataannya ada
manusia laki-laki dan perempuan yang harus melahirkan keturunan. Maka, perkawinan antara laki-
laki dan perempuan merupakan hukum kodrat. Menurut hukum kodrat, tidak ada perkawinan sejenis,
karena hanya perkawinan antara laki-laki dan perempuan yang dapat menurunkan anak. Kodrat itulah
yang dikehendaki Tuhan. Maka hukum kodrat juga disebut hukum Ilahi (divine law).
Menurut orang beragama, Tuhan juga mewahyukan diri atau memperkenalkan dirinya kepada
manusia melalui tokoh-tokoh yang mengalami pengalaman rohani (religius experience). Begitu dekat
relasi antara tokoh-tokoh itu dengan Tuhan, sampai-sampai para tokoh tersebut mengalami bahwa
Tuhan memberikan ajaran-ajaran dan perintah serta larangan agar manusia dapat hidup baik. Ajaran,
perintah, dan larangan yang diwahyukan Tuhan tersebut menjadi hukum wahyu (revealed law).
Wahyu Tuhan tersebut sudah dibukukan di dalam Kitab Suci. Oleh karena itu, orang-orang beragama
harus membaca dan mempelajari wahyu Tuhan tersebut, serta mengamalkannya di dalam kehidupan,
agar dapat semakin dekat dengan Tuhan (baca langkah-langkah membaca Kitab Suci di atas).
Agama-agama hidup dan berkembang dari zaman ke zaman. Maka agama-agama harus terus
menerus membaharui diri agar tetap hidup sepanjang masa. Dalam upaya ini, agama-agama juga
harus merumuskan dan menyelaraskan hukum kodrat dan hukum wahyu Tuhan ke dalam hukum-
hukum agama (Di Gereja Katolik terdapat Kitab Hukum Kanonik). Prinsip-prinsip dasar yang ada
dalam hukum kodrat dan hukum wahyu itu tetap dipegang teguh, namun penerapannya diselaraskan
dengan keadaan zaman. Upaya agama-agama untuk merumuskan hukum-hukum agama ini
menggunakan akal sehat dan melalui proses “sidang” yang diyakini juga melibatkan kekuatan ilahi
(Roh Kudus). Hukum-hukum agama yang mengatur kehidupan pribadi, sosial, ekonomi, politik,
agama dll. bersumber dan diberi inspirasi dari wahyu Tuhan. Contoh: hukum perkawinan, pemberian
upah yang adil, ekonomi syariah. Tentu saja ada kesulitan-kesulitan di dalam merumuskan hukum-
hukum Agama, karena situasi sosial agama-agama saat ini tidak sama persis dengan situasi sosial
pada masa Wahyu Tuhan diturunkan. Maka, hukum-hukum agama harus melaksanakan pembaharuan
pada saat-saat tertentu.
Manusia beragama tidaklah hidup di taman firdaus yang terlepas dari dunia nyata. Manusia
beragama hidup di suatu negara. Kehidupan manusia di suatu negara harus diatur dengan hukum
warga negara atau hukum sipil. Hukum tersebut dibuat oleh lembaga pembuat undang-undang atau
lembaga legeslatif bersama dengan pemerintah. Nah, hukum sipil tidak boleh bertentangan dengan
prinsip-prinsip moral. Sebaliknya, hukum sipil harus membantu masyarakat untuk hidup bermoral
agar dapat mencapai tujuan hidupnya. Hukum sipil haruslah adil dan senafas dengan hukum-hukum
moral dan hukum-hukum agama. Guna dan manfaat hukum-hukum tersebut adalah menjadi pembatas
bagi manusia agar dapat bertingkah-laku baik, supaya akhirnya dapat mencapai tujuan hidup mereka
di dunia ini.
Refleksi:
1) Berilah contoh-contoh unsur-unsur hukum di dalam agama anda!
2) Sejauh mana Anda menaati/tidak menaati hukum-hukum agama Anda?
3) Apakah kesulitan-kesulitan Anda di dalam menjalankan hukum-hukum agama?
Unsur sosial dalam agama yaitu unsur-unsur yang menampakkan kebersamaan para pemeluk
agama. Unsur sosial ini ada di dalam agama karena pengalaman rohani yang diperoleh di dalam aneka
kegiatan keagamaan seperti melaksanakan ibadat, membaca Kitab Suci, melakukan tindakan-tindakan
baik, selalu terjadi di dalam kebersamaan, selanjutnya juga diwujudkan dalam kebersamaan. Unsur
sosial Agama menjadi sangat penting, karena merupakan perwujudan yang kelihatan dari Agama itu.
Ajaran-ajaran agama yang sungguh baik dapat dilihat dan dinilai dari kehidupan umatnya di dalam
masyarakat.
Refleksi:
1) Terangkanlah unsur-unsur sosial dan institusional di dalam agama anda!
Dalam agama-agama terdapat tempat dan materi-materi tertentu yang dikhususkan untuk
kegiatan-kegiatan keagamaan. Tempat dan materi-materi itu disebut kudus atau suci karena di tempat-
tempat itu pernah terjadi pengalaman rohani atau akan menjadi tempat terjadinya pengalaman rohani
bagi mereka yang melakukan kegiatan-kegiatan rohani seperti berdoa, berziarah, dan melakukan
peribadatan. Benda atau materi tertentu itu pernah menjadi benda-benda yang digunakan para tokoh
awal untuk mendapatkan pengalaman rohani sehingga benda-benda itu dihormati sebagai kudus atau
suci. Benda-benda itu menjadi symbol hadirnya Tuhan pada saat doa atau peribadatan. Misalnya: roti
dan anggur dihormati sebagai symbol Tuhan Yang hadir dalam Tubuh dan Darah-Nya pada saat
ibadat/Ekaristi umat Kristiani. Bangunan rumah ibadat, karya-karya seni, bahan-bahan tulis dsb.
yang digunakan orang-orang beragama menjadi religius atau suci, karena dikaitkan dengan
pengalaman religius orang-orang beragama. Gedung mesjid, gereja, atau pura bukanlah
bangunan biasa, tetapi suci, karena menjadi tempat untuk merayakan pengalaman religius.
Begitu juga karya-karya: patung, salib, altar, buku Kitab Suci.
Di samping benda-benda buatan manusia, juga terdapat barang-barang alamiah yang
dianggap suci. Misalnya: Sungai Yordan, Sungai Gangga, Kota Roma, Yerusalem, Mekah,
Lourdes dsb. Tempat-tempat ini dianggap suci, karena di situlah pengalaman religius tokoh-
tokoh agama terjadi. Tempat-tempat itu tetap juga akan menjadi tempat terjadinya
pengalaman rohani bagi orang-orang saat ini yang melakukan doa, ziarah, dan ibadat di sana.
Beberapa peranan benda dan tempat dalam Agama dapat dibedakan sebagai berikut:
Pertama, sebagai simbol yang menghadirkan Tuhan. Dalam Gereja Katolik, roti (hosti suci) dan
anggur yang sudah dikuduskan dalam Perayaan Ekaristi merupakan simbol dari Tubuh dan Darah
Kristus. Orang Katolik yang menyantap dan meminumnya dipersatukan dengan Kristus. Kristus
dihayati sudah menyatu dengan yang menyantap dan meminumnya. Kedua, sebagai sarana
berkomunikasi. Misalnya: buku-buku doa, buku Kitab suci. Dengan buku doa, umat dapat
berkomunikasi lewat doa dengan Tuhan. Dengan membaca Kitab Suci, umat dapat berdialog dengan
Tuhan. Ketiga, sebagai tempat berdoa dan beribadat. Gedung Gereja, Mesjid, Pura, ziarah merupakan
tempat untuk bertemu dengan Tuhan. Keempat, sarana persekutuan. Umat beragama yang berhimpun
dalam kelompok orang beragama, membutuhkan sarana-sarana material. Uang yang dikumpulkan
dalam kegiatan keagamaan dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan kelompok, yang
mungkin tidak langsung berkaitan dengan kehidupan keagamaan. Misalnya: untuk konsumsi selama
perayaan; memberi hadiah umat yang baru saja dibaptis dsb. Dalam konteks kegiatan rohani, uang
dihormati sebagai persembahan untuk Tuhan, zakat, fitrah, bukan sekedar pemberian biasa.
Nah, unsur-unsur material seperti di atas terdapat dalam semua agama. Dengan barang-barang
material di atas, pengalaman religius umat beragama terus menerus disegarkan, dikembangkan, dan
dikokohkan. Namun demikian, unsur-unsur material tersebut tidak boleh dihormati secara berlebihan
atau diutamaka, karena yang pokok bukan materi itu sendiri, tetapi pengalaman rohani yang terjadi.
Penghormatan yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya berhala (menganggap benda sebagai
Tuhan itu sendiri). Pembangunan tempat ibadat yang berlebihan, menghamburkan uang,
menyebabkan terjadinya korupsi, konflik, yang dapat menjauhkan umat dari pengalaman akan Tuhan.
Itulah sebabnya, agama-agama berusaha meminimalisasi unsur-unsur materi. Bahkan ada
agama-agama yang menghapuskan hampir semua unsur materi, seperti dekorasi, patung, lilin, bunga
dll. yang dianggap dapat menghambat pengalaman dekat dengan Tuhan.
Bahan Diskusi:
1. Doktrin Agama-Agama
Dalam hidup sehari-hari, manusia memiliki pelbagai pengalaman hidup. Biasanya,
pengalaman-pengalaman itu setiap saat dipikir-pikir kembali dengan akal budinya,
dimengerti, dijelaskan, lalu dibakukan menjadi pedoman agar dapat dimanfaatkan pada saat-
saat kemudian. Begitu pula dalam kehidupan bersama dalam masyarakat. Pengalaman-
pengalaman bersama dimengerti, dijelaskan, direfleksikan, lalu dibakukan menjadi
pandangan hidup bersama untuk menjadi pedoman di dalam menjalani kehidupan bersama.
Agama juga demikian. Agama berawal dari pengalaman rohani para tokoh awal.
Setelah diceritakan kepada orang-orang lain, lalu terbentuk kelompok orang-orang yang
mengikuti dan percaya akan pengalaman rohani. Kelompok itu mempraktikkan kepercayaan
itu di dalam kehidupan sosial bersama dan menjalankan ritual/ibadat sesuai dengan
kepercayaan mereka. Kemudian, kelompok tersebut merefleksikan pengalaman hidup
beriman bersama itu, menjelaskannya, lalu membakukan menjadi pandangan hidup kelompok
tentang Tuhan dan seluruh pengalaman hidup beriman. Itulah doktrin. Doktrin tentang Tuhan
dan iman disebut dogma. Sebagai contoh, pengalaman para murid Yesus dan kesaksian
mereka tentang Tuhan Yesus yang hidup bersama mereka, memberikan ajaran-ajaran kepada
mereka dan memberikan contoh-contoh hidup berbuat baik. Tuhan Yesus itu wafat, lalu
menurut kesaksian dan pengalaman mereka Yesus bangkit dari kematian, sehingga mereka
menyimpulkan bahwa Yesus adalah Tuhan yang menjadi manusia. Dari sini, dirumuskanlah
pandangan Kristiani tentang God is love, Tuhan itu cinta kasih. “Dimana ada cinta kasih, di
situ Tuhan hadir.” Kasih Tuhan tidak ada batasnya, karena Tuhan selalu menyertai manusia
dengan Roh Kudus-Nya. Doktrin Tritunggal Mahakudus dirumuskan dari pengalaman
beriman murid-murid Yesus ini.
Tentu saja, sumber utama “pembuatan” doktrin adalah Kitab Suci, karena Kitab Suci
memuat pengalaman rohani tokoh-tokoh awal agama, kesaksian-kesaksian mereka tentang
Tuhan, dan ajaran-ajaran yang mereka dapatkan dari wahyu Tuhan. Doktrin tersebut selalu
berkembang diselaraskan dengan keadaan dan kebutuhan zaman. Doktrin memuat ajaran-
ajaran tentang seluruh kehidupan beriman. Ada doktrin tentang Kitab Suci, tentang
peribadatan, tentang hidup sosial, tentang moral dll.
Bagi orang beragama ajaran-ajaran merupakan penjelasan tentang segala hal yang
berkaitan dengan agama: ketuhanan, kebaktian, persekutuan, pelayanan dsb.. Doktrin
merupakan sisi intelektual dari agama. Rumusan-rumusan iman dari suatu agama menjadi
unsur eksistensial atau penentu keberadaan suatu agama. Dengan doktrin-doktrin itu, maka
agama-agama terus dapat dipelajari dan dimengerti oleh umat manusia. Karena dimengerti,
maka agama itu dipeluk dan diyakini. Dengan demikian, doktrin-doktrin agama amat
menentukan keberadaan dan keberlangsungan agama-agama itu. Doktrin dapat diajarkan
pada orang-orang yang tertarik untuk mempelajari dan memahami agama tertentu.
Bahan Diskusi:
Refleksi:
1) Apakah keselamatan menurut Anda?
Apakah merasakan keselamatan melalui Agama Anda? Berilah penjelasan!
Pada tahap ini, manusia ingin menjelaskan gejala-gejala alam dan apa saja yang terjadi
dalam kehidupan manusia kehidupan manusia dengan dongeng-dongeng atau mitos. Pada
waktu itu, akal budi dan pemikiran manusia belum bisa menjangkau yang lainnya, kecuali
dengan dongeng atau mitos. Terjadinya alam semesta, lahirnya manusia, dan peristiwa-
peristiwa lainnya dijelaskan dengan dongeng-dongeng. Kisah Penciptaan adalah salah satu
bentuk mitos yang ada di pelbagai tempat. Misalnya: Babad Tanah Jawa, kisah Ajisaka, dll.
(Carilah dongeng atau mitos-mitos yang ada di sekitar kehidupan Anda!)
Tahap mitologis secara dominan menguasai pemikiran zaman kuno (Sebelum
Masehi/SM – 3Masehi/M). Salah satu contoh terkenal adalah mitologi Gua dari Plato
(Mohon dibaca misalnya di Wikipedia). Di balik mitologi ini tersirat bahwa kebenaran
(tentang matahari) justru dianggap salah, sedangkan apa yang bukan kebenaran malahan
diterima karena dialami oleh banyak orang. Mitologi tidak bisa disebut sebagai “benar”
namun juga tidak bisa disebut “salah”. Kalau kita menemui dongeng atau mitos yang ada
dalam masyarakat, kita harus bijaksana dalam memahaminya.
(2) Tahap Agama
Agama menjelaskan alam dan kejadian-kejadian dalam hidup manusia bertolak dari
kepercayaan bahwa ada Yang Ilahi atau Tuhan yang menciptakannya. Manusia mengalami
adanya Yang Ilahi atau Tuhan itu di dalam pengalaman hidup mereka sehingga mereka
menjelaskan segala permasalahan dan kejadian di alam dan kehidupan mereka bertolak dari
pengalaman mereka.
Praktek, ritual, cerita, aturan-aturan, ajaran dan segala fasilitas semua agama bertolak
dari pengalaman hidup para pengikutnya yang telah direfleksikan berdasarkan kepercayaan
mereka kepada Yang Ilahi atau Tuhan. Sebagaimana telah dibicarakan pada bagian terdahulu,
tujuh dimensi agama selalu terkait dengan pengalaman religius, pengalaman akan Tuhan.
Maka cara berpikir orang-orang beragama adalah teosentris, berpusat pada Tuhan.
Abad pertengahan (4M – 12M) merupakan masa yang sangat dikuasai oleh cara
berpikir teosentris. Institusi agama sangat berkuasa, bahkan institusi agama dalam banyak hal
“bertindak sebagai Tuhan itu sendiri” yang menentukan kebenaran, hukuman dll. Muncullah
feudalisme (feud berarti tuan): tuan-tuan tanah, bangsawan, dan pemimpin-pemimpin agama
menjadi “penguasa” dan mendapat penghormatan berlebihan. Itulah sebabnya terjadi pelbagai
penyelewengan atas nama agama. Abad pertengahan dikenal sebagai abad gelap, hingga
muncul masa pencerahan (enlightenment) ketika akal budi manusia mulai berpikir jernih.
Martin Luther mempertanyakan ajaran dan praktik Gereja yang dianggap berlebihan dan
tidak masuk akal sehat.
Pada zaman modern, mulai abad 14sampai abad 20 Masehi, terjadi perubahan radikal atau
revolusi industri, oleh karena kemajuan akal budi manusia. Revolusi industri memiliki ciri
usaha untuk memproduksi dalam jumlah besar karena menggunakan mesin. Dampak revolusi
industri memasuki pelbagai sendi kehidupan manusia, baik individu maupun sosial, baik
rohani maupun jasmani (Mohon didiskusikan!)
Karena tuntutan produksi dalam jumlah besar, terjadi persaingan yang luar biasa,
maka dituntut kreativitas akal pikiran manusia. Dengan demikian akal budi manusia yang
berkembang bersama modernisasi menyebabkan umat manusia semakin kritis terhadap
kehidupan beragama. Bermunculanlah ilmu pengetahuan dengan metode ilmiah. Terjadilah
proses sekularisasi (Baca catatan tentang sekularisasi!)
Kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi menyebabkan dunia semakin terbuka.
Manusia dari pelbagai bangsa bergaul dan hidup bersama. Akibatnya manusia yang memeluk
berbeda-beda agama akan bergesekan satu sama lain. Timbullah masalah pluralitas. Mau
tidak mau pluralisme agama harus diterima, yaitu paham yang mengakui kebenaran yang ada
di dalam pelbagai agama (Baca catatan tentang pluralisme agama). Dengan demikian
keberadaan agama-agama harus diakui.
1) Ilmu pengetahuan menjelaskan segala macam gejala dan pengalaman hidup manusia
dengan pemikiran-pemikiran akal sehat yang sangat sistematis dan terukur; dengan
metode ilmiah.
2) Kehidupan beragama didasarkan pada pengalaman manusiawi tentang Tuhan.
Pengalaman iman ini memerlukan penjelasan rasional agar dapat dipahami secara
rasional. Maka penelitian ilmiah dan teori-teori Ilmu Pengetahuan sangat membantu
menjelaskan hal-hal berkaitan narasi/Kitab Suci. Ilmu Sejarah, Ilmu teks (Filologi),
Ilmu Tafisr (Hermeneutika), Ilmu tanah, Sosiologi, Psikologi dll. dapat membantu
Agama menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan fenomena keagamaan.
4) Masalah akan muncul pada saat Ilmu pengetahuan dan teknologi memasuki dan
menjelaskan wilayah-wilayah yang sudah menjadi bahan refleksi agama, misalnya:
asal-usul kehidupan dan ciptaan. Padahal Agama dan IPTEK memiliki titik tolak
pemikiran yang berbeda. IPTEK menjelaskan kelahiran manusia dengan teknologi
“kelahiran buatan,” padahal Agama mengajarkan bahwa kelahiran anak adalah
wewenang dan kekuasaan mutlak Tuhan. Akibatnya terjadi bentrokan.
Bahan Diskusi:
1) Carilah contoh-contoh penemuan IPTEK yang bermanfaat bagi kehidupan manusia dan yang
merusak kehidupan manusia!
2) Bagaimanakah mengupayakan agar IPTEK dan Agama dapat saling melengkapi?