Anda di halaman 1dari 44

MATA KULIAH ANTROPHOLOGI KESEHATAN

IMPLIKASI BUDAYA TERHADAP PRAKTIK KLINIK KEPERAWATAN

Dosen Pembimbing : Tasman, M.Si


Disusun Oleh :
KELOMPOK 6

ANNISA KARTIKA U (P17120019046)


FASHAH DARDIANA (P17120019058)
MIKA MUTHIA K.P (P17120019063)
NURUL AZIZAH J (P17120019069)
RAHMA YANTI (P17120019071)
YULIANTI (P17120019079)

TINGKAT 1B
PROGRAM STUDI D3 JURUSAN KEPERAWATAN
POLTEKKES KEMENKES JAKARTA 1
2019
KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
karunia dan rahmat-Nya, kami dapat menyusun makalah yang berjudul “Implikasi
Budaya Terhadap Praktik Klinik Keperawatan” dengan lancar. Adapun maksud
penyusunan makalah ini untuk memenuhi tugas mata kuliah Antrophologi
Kesehatan. Rasa terimakasih kami yang tidak terkirakan kepada yang terhormat
bapak Tasman, M,Si. selaku dosen mata kuliah Antrophologi Kesehatan, serta
semua pihak yang telah mendukung dalam penyusunan makalah ini yang tidak
bisa kami sebutkan satu persatu. 
Harapan kami bahwa makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca
untuk menambah wawasan dan pengetahuan tentang “Implikasi Budaya Terhadap
Praktik Klinik Keperawatan”.  Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kata sempurna dengan keterbatasan yang kami miliki.
Semoga makalah ini dapat dipahami dan berguna bagi siapapun yang
membacanya, dan bermanfaat bagi kami yang telah menyusun makalah ini yang
pada dasarnya diharapakn dapat menambah wawasan dan dapat mengoreksi
kesalahan kami. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-
kata yang kurang berkenan kami memohon kritik dan saran yang membangun
demi perbaikan dimasa yang akan datang.

Jakarta, 19 November 2019 

Penuli
s
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 2

C. Tujuan 2

1. Tujuan Umum 2
2. Tujuan Khusus 2

D. Manfaat 3

BAB II LANDASAN TEORI

A. Konsep Dasar Antrophologi Kesehatan 4


B. Ruang Lingkup Antrophologi Budaya 5
C. Peran Budaya Dalam Dunia Kesehatan 13
D. Etnomedisin 15
E. Implikasi Antrophologi Kesehatan 16
F. Budaya Pernikahan Dini 17
1. Pengertian Pernikahan Dini 18
2. Faktor Peyebab Pernikahan Dini 19
3. Pernikahan Dini Dalam Perspektif Agama Islam 21
4. Implikasi Budaya Pernikahan Dini Pada Kesehatan Reproduksi
22
BAB III PEMBAHASAN
A. Soal Kasus 25
B. Pembahasan 25
C. Asuhan Keperawatan 27
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan 29
B. Saran 29
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang, dan dimiliki
bersama oleh sekelompok orang dan diwariskan dari generasi ke
generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur termasuk sistem agama,
politik, adat istiadat, bahasa dan lain-lain. Kata budaya berasal dari
bahasa sanksekerta yakni buddhayah, yang merupakan bentuk jamak
dari kata buddi, yang berarti akal atau budi.
Menurut Effat Al-Syarqawi menjelaskan budaya dari sudut
pandang agama islam, budaya diartikan sebagai suatu khasanah dalam
sejarah dari sekelompok masyarakat yang tercermin pada kesaksian dan
berbagai nilai kehidupan. Berdasarkan definisi budaya diatas kelompok
kami menyimpulkan bahwa budaya adalah hubungan antara individu
dengan lingkungannya yang tumbuh dan berkembang atas dasar
kolerasi persamaan nilai-nilai yang di anut oleh individu tersebut.
Adapun pengaruh nilai-nilai budaya yang dipercaya masyarakat
sebagai suatu bentuk warisan enek moyang yang harus dijaga dan
dilestarikan salah satunya adalah budaya kesehatan masyarakat yang
masih diterapkan dalam praktik-praktik kesehatan tradisioal. Contohnya
Pernikahan usia dini merupakan masalah sosial yang dipengaruhi oleh
tradisi dan budaya dalam kelompok masyarakat. Dalam kehidupan
manusia sebagai makhluk sosial selalu dapat dihubungkan pada
berbagai masalah sosial. Masalah sosial merupakan bagian-bagian yang
tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia itu sendiri karena
masalah sosial telah terwujud sebagai hasil dari kebudayaan manusia
sendiri, sebagai akibat dari hubungan dengan sesama manusia lainnya
dan juga sebagai akibat dari tingkah lakunya.
Permasalahan pernikahan usia dini yang masih terjadi di
masyarakat. Pada kenyataannya masih banyak terjadi di negara
berkembang terutama di pelosok terpencil. Pernikahan usia dini terjadi
baik di daerah pedesaan maupun perkotaan, di Indonesia serta meliputi
berbagai strata ekonomi dengan beragam latar belakang. Hal ini sesuai
dengan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2012 di lihat
dari karakteristik latar belakang di tinjau dari umur, presentase
tertimbang pada wanita kawin umur 15−19 sebesar 15,2%. Pernikahan
usia dini memberi resiko yang lebih besar pada remaja perempuan
terutama pada aspek kesehatan reproduksinya. Remaja yang menikah
dini, baik secara fisik maupun biologis belum cukup matang untuk
memiliki anak sehingga rentan menyebabkan kematian anak dan ibu
pada saat melahirkan. Jadi Aspek sosial budaya masyarakat memberi
pengaruh terhadap pelaksanaan pernikahan dini terutama pada
kesehatan.
B. Rumusan Masalah
1. Apakah Dampak dari budaya Pernikahan Dini Terhadap Kesehatan
Reproduksi ?
2. Faktor apa saja yang mendorong terjadinya budaya pernikahan
dini ?
3. Bagaimana Perspektif agama islam tentang budaya pernikahan
dini ?
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Tujuan umum penulisan makalah ini adalah penulis mampu
memahami tentang Implikasi Budaya Terhadap Praktik Klinik
Keperawatan.
2. Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus penulisan makalah ini yaitu penulis mampu
mengetahui implikasi budaya pernikahan dini yang berkembang di
masyarakat terhadap praktik klinik keperawatan.

D. Manfaat Penulisan
1. Bagi Kelompok
Manfaat praktis bagi kelompok yaitu dapat lebih mendalami
pengetahuan tentang Implikasi Budaya Terhadap Praktik Klinik
Keperawatan.
2. Bagi Teman Sekelas
Manfaat penulisan makalah bagi teman sekelas yaitu menjadi
sumber referensi dan informasi bagi orang yang membaca makalah
ini supaya mengetahui dan lebih mendalami pengetahuan tentang
Implikasi Budaya Terhadap Praktik Klinik Keperawatan.
3. Bagi Mata Ajar
Manfaat penulisan makalah bagi mata ajar yaitu untuk menilai
keberhasilan mata ajar Antrophologi Kesehatan.
BAB II
LANDASAN TEORI

A. Konsep Dasar Atropologi Kesehatan


Istilah antropologi berasal dari bahasa yunani, asal kata anthropos
yang berarti manusia, dan logos yang berarti ilmu. Dengan demikian,
secara harfiah antropologi berarti manusia. Para ahli antropologi sering
mengemukakan bahwa antropologi merupakan studi tentang manusia yang
berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan
perilakunya (Koentjaraningrat, 1987: 1-2).
Antropologi kesehatan adalah pemahaman biobudaya manusia dan
karya-karyanya, yang berhubungan dengan kesehatan dan pengobatan
(Hochtrasser dan Tapp, 1970;245). Antropologi mempunyai pandangan
tentang pentingnya pendekatan budaya. Budaya merupakan pedoman
individual sebagai anggota masyarakat dan bagaimana cara memandang
dunia, bagaimana mengungkapkan emosinya dan bagaimana berhubugan
dengan orang lain, kekuatan supranatural atau tuhan serta lingkungan
alamya. Adapun menurut pandangan para ahli antropologi kesehatan,
antropologi kesehatan adalah cabang dari antrropologi terapan yang
menangani berbagai aspek dari kesehatan dan penyakit. (Weaver, 1968;1).
Antropologi kesehatan adalah cabang dari ilmu mengenai mausia
yang mempelajari aspek-aspek biologi dan kebudayaan manusia dari titik
tolak pandangan untuk memahmi kedokteran (medical), sejarah
kedokteran (medico-historical), hukum kedokteran (medico legal), aspek
sosial kedokteran (medico sosial) dan masalah-masalah kesehatan manusia
(Hasan dan Prasad, 1959; 21-22).1

B. Ruang Lingkup Antrophologi Budaya


Makhluk yang berbudaya hanya manusia sehingga dapat dikatakan
tidak ada budaya tanpa manusia, sebaliknya tidak ada manusia yang tidak
mempunyai budaya. Ciri khas dari fisik manusia dan akal budi manusia
menyebabkan dia mempunyai daya untuk menguasai alam dengan cara
berpikir bukan dengan naluri. Keberhasilan penguasaan dan
mengendalikan alam inilah yang dikenal dengan nama budaya. Budaya itu
dipelajari bukan diwariskan secara biologis. Antropologi budaya bertugas
menelaah tentang kebudayaan manusia yang tersebar di seluruh
permukaan bumi ini. Seperti pada bagan antropologi, maka antropologi
budaya memiliki beberapa cabang. Cabang-cabang itu meliputi:
etnolinguistik antropologi, prehistori dan etnologi. Sedangkan Keesing
membaginya ke dalam cabang-cabang linguistic antropologi, antropologi
sosial dan arkeologi. Keseluruhan cabang ini akan dibahas pada sub bab
ini, sedangkan antropologi sosial dan cabang-cabangnya akan dibahas
pada sub bab berikutnya.
1. Objek Antropologi Budaya
Seperti kita ketahui manusia itu mempunyai berbagai segi. Ada
segi jasmani, rohani, sosial, dan budaya. Segi jasmani menyangkut
masalah kesehatan, fungsi anggota tubuh dan sebagainya. Segi

1
George M. Foster, Barbara G. Anderson.2006.ANTROPOLOGI KESEHATAN.Jakarta: UI-Press
kerohanian berhubungan dengan masalah keagamaan, kepercayaan,
kesenian, kesusilaan, dan sebagainya. Segi kejiwaan ada hubungannya
dengan sifat, watak, bakat, hasrat, kesadaran, naluri, dan sebagainya.
Segi sosial berkaitan dengan kehidupan manusia dalam hubungannya
satu sama lain atau dalam kehidupan berkelompok. Segi budaya
berhubungan dengan kebudayaan manusia.
Segi-segi tersebut masing-masing menjadi objek khusus yang
dipelajari atau dibahas oleh ilmu tertentu. Manusia, dengan segala
seginya tersebut merupakan objek umum yang dipelajari oleh berbagai
ilmu. Jadi yang membedakan antropologi budaya dengan ilmu lain
ialah objek khusus yang ditelitinya. Akan tetapi, perlu diingat bahwa
walaupun tiap-tiap ilmu itu mempunyai objek penelitian sendiri-
sendiri, tidaklah berarti tiap-tiap ilmu itu juga berdiri sendiri.
Antropologi budaya dengan objek khususnya kebudayaan juga perlu
mengetahui ilmu-ilmu yang lain sebagai pendukung keberhasilan
penelitian seperti dengan antropologi ragawi, sosiologi, sejarah, ilmu
politik, ekonomi, geografi, ilmu hukum, dan sebagainya.
Masyarakat awam sering mengatakan bahwa antropologi budaya
mempunyai objek khusus tentang kebudayaan masyarakat terasing,
atau masyarakat suku bangsa tertentu. Bahkan ada yang beranggapan
lebih khusus lagi bahwa objek antropologi budaya itu sekedar
membahas adat perkawinan, kepercayaan, dan upacara-upacara yang
khas.
Dewasa ini objek antropologi budaya meliputi seluruh kebudayaan
manusia, baik masyarakat masa lampau maupun masa sekarang. Juga
kebudayaan masyarakat tradisional dan masyarakat modern,
masyarakat agraris di pedesaan dan masyarakat industri di perkotaan.
2. Cabang-Cabang Antropologi Budaya
a. Prasejarah
Dalam berbagai buku pelajaran sejarah, sering
dikemukakan konsep pra sejarah sebagai suatu zaman ketika
manusia belum mengenal adanya bahasa tulis. Dalam hal ini yang
dimaksud adalah belum adanya peninggalan-peninggalan sejarah
dalam bentuk bahasa tulis. Batas antara sejarah dan prasejarah
adalah adanya peninggalan sejarah berupa tulisan. Oleh karena itu
dalam menentukan budaya manusia sebagai budaya pra sejarah
atau budaya sejarah bukan tergantung pada apakah masyarakat itu
sudah mengenal bahasa tulis atau belum, akan tetapi tergantung
pada apakah ada peninggalan tertulis atau tidak. Sehingga
masyarakat yang hidup pada masa lampau dan belum mengenal
tulisan dinamakan zaman pra aksara.
Pra sejarah termasuk dalam bagian antropologi budaya karena
mempelajari sejarah perkembangan dan penyebaran semua
kebudayaan manusia di permukaan bumi dalam zaman sebelum
manusia mengenal bahasa tulis.
Diperkirakan manusia hidup mulai 800.000 tahun silam.
Selain itu kehidupan manusia dibagi kedalam dua fase, yaitu : fase
sebelum mengenal bahasa tulis (pra aksara) dan fase sesudah
mengenal bahasa tulis. Batas antara kedua fase ini ternyata
bervariasi di permukaan bumi. Di Mesir diperkirakan 6000 tahun
silam manusia sudah mengenal bahasa tulis, kebudayaan Minoa di
pulau Kreta kita-kira 5.000 tahun silam, sama halnya dengan
kebudayaan Yemdet Nasr di Irak, kebudayaan Harappa-
Mohenjodaro di India. Sebaliknya beberapa bangsa di dunia, baru
mulai mengenal bahasa tulis beberapa ratus tahun lalu. Batas pra
sejarah bangsa Indonesia kira-kira abad ke-5 M. Perlu diketahui
bahwa ada beberapa suku bangsa yang belum mengenal bahasa
tulis karena terisolir seperti di pedalaman Papua atau hambatan-
hambatan budayanya sendiri seperti orang Baduy di Banten.
Dalam mengungkap budaya manusia pra sejarah, yang
diselidiki adalah fosil-fosil (lihat : Paleoantropologi) sebagai alat
Bantu. Tetapi yang lebih penting adalah alat-alat atau artefak-
artefak, baik yang tersimpan dalam lapisan kulit bumi ataupun
yang berada di permukaan bumi. Benda lain yang digunakan untuk
penelitian adalah bangunan-bangunan yang terbuat dari batu.
Pra sejarah sangat erat kaitannya dengan arkeologi. Dengan
bantuan arkeologi para peneliti dapat menganalisa budaya di suatu
kelompok masyarakat.
b. Arkeologi
Seperti dikemukakan di atas bahwa untuk menganalisa
budaya masyarakat pra sejarah perlu ilmu Bantu yang dinamakan
arkeologi. Akan tetapi para arkelog tidak hanya menelaah benda-
benda peninggalan prasejarah, mereka juga menelaah peninggalan-
peninggalan masyarakat sesudah mengenal bahasa tulis.
Menurut Haviland, arkeologi adalah cabang antropologi
kebudayaan yang mempelajari benda-benda dengan maksud untuk
menggambarkan dan menerangkan perilaku manusia. Sebagian
besar perhatiannya dipusatkan kepada masa lampau manusia, sebab
apa yang tertinggal pada masa lampau itu sekarang hanya berupa
benda bukan gagasan. Ahli arkeologi mempelajari alat-alat,
tembikar, dan peninggalan lain yang tahan zaman, yang masih ada
sebagai warisan dari kebudayaan yang telah punah, ada di
antaranya sampai 2,5 juta tahun usianya (Haviland, 1999 :14).
Sumber-sumber arkeologi yang penting antara lain :
1. Sumber tertulis, adalah sumber yang berasal dari tulisan yang
ditemukan seperti prasasti, dokumen dan lain-lain.
2. Artefak atau perkakas berupa senjata, alat-alat dapur dan
sebagainya.
3. Bangunan-bangunan berupa bangunan megalith, candi,
gedung, istana, dan sebagainya.
Benda-benda yang diteliti oleh para ahli arkeologi ada yang
terdapat dalam lapisan kulit bumi ada yang berada di permukaan
bumi bahkan ada juga yang masih sengaja disimpan karena
dianggap memiliki nilai-nilai magis. Dengan menggunakan
berbagai macam metode, mereka dapat menentukan usia dan benda
yang diteliti. Jika ada keterangan yang tertulis, mereka berusaha
membaca tulisan-tulisan kuno sehingga informasi tentang benda itu
dapat diketahui. Misalnya penemuan prasasti di kerajaan Kutai
yang berhuruf Palawa berbahasa Sansekerta. Tidak ada informasi
yang akurat tentang prasasti atau Yupa itu. Tahun pembuatannya
tidak tercantum. Dengan membandingkan dengan tulisan yang ada
di India Selatan, para arkeolog dapat menentukan bahwa prasasti
itu dibuat pada abad ke-5 M. Dalam hal ini mereka menggunakan
metode tipologi yaitu cara membandingkan tipe tulisan abad ke-5
M. yang terdapat di India Selatan.
Manfaat dari arkeologi antara lain, misalnya dengan
mempelajari struktur bangunan suatu kompleks istana, orang dapat
menganalisa tentang sistem stratifikasi masyarakat, sistem hukum
dan lain sebagainya. Atau dengan menelaah relief suatu candi dan
ragam hiasnya, orang dapat menganalisa tentang religi, mata
pencaharian, dan unsur-unsur kebudayaan lain dari masyarakat
masa lampau. Dengan disiplin arkelogi candi borobudurdan
berbagai candi lain di Indonesia dapat diteliti secara cermat.
Selanjutnya dengan penelitian arkeolog itu, para antropolog
menganalisa tentang pola prilaku masyarakat pada masa lampau.
c. Etnolinguistik
Salah satu ciri manusia adalah kemampuannya untuk
berbicara atau berbahasa. Prof. Teuku Yacob meragukan pendapat
bahwa pithecanthropus erectus sudah mempunyai kebudayaan
(Koentjaraningrat, 1989-81). Keraguannya didasarkan pada fosil
makhluk itu tidak terdapat daerah artikulasi. Daerah artikulasi di
mulut adalah daerah pembentukkan bahasa. Oleh karena itu
pithecanthropuserectus yang tidak dapat berbahasa lisan dapat
dikatakan belum berbudaya.
Komunikasi dengan simbol-simbol bukan hanya pada
makhluk manusia saja, monyet mempunyai gerak dan bunyi
tertentu yang fungsinya sama dengan bahasa pada manusia. Akan
tetapi tidak ada satu jenis binatang pun yang mampu
mengembangkan sistem komunikasi simbol yang begitu kompleks
seperti pada manusia. Akhirnya bahasalah yang memberi
kemungkinan kepada manusia untuk melestarikan kebudayaannya
dari generasi ke generasi.
Cabang antropologi budaya yang mengadakan studi tentang
bahasa-bahasa manusia disebut antropologi linguistik atau juga
disebut etnolinguistik. Linguistik dapat berupa deskripsi sesuatu
bahasa dan sejarah bahasa-bahasa. Sejarah bahasa menelaah
tentang cara berkembangnya suatu bahasa dan bagaimana bahasa-
bahasa itu saling mempengaruhi sepanjang zaman. Melalui studi
linguistik, ahli antropologi dapat mengetahui lebih baik bagaimana
pendapat orang tentang dirinya sendiri dan tentang dunia
sekitarnya.
Ahli antropologi linguistik dapat memberikan sumbangan
berharga untuk memahami masa lampau umat manusia dengan
menyusun asal-usul bahasa-bahasa dan mempelajari penyebaran
bahasa tersebut dapat diperkirakan berapa lama suatu kelompok
masyarakat menempati suatu wilayah dan ke mana saja bahasa itu
menyebar. Penyebaran bahasa adalah penyebaran kebudayaan.
Misalnya sebutan “air” yang terdapat pada berbagai suku bangsa di
Indonesia seperti “cai”, “ae”, “wai’, “wair”. Bunyi dasar yang
hampir sama dapat didengarkan para ahli linguistik dan ahli
antropologi berpendapat bahwa berbagai suku bangsa di Indonesia
pada zaman dahulu kemungkinan berasal dari satu kelompok.
d. Etnologi
Etnologi Adalah ilmu bagian dari antropologi budaya yang
mencoba mencapai pengertian mengenai dasar-dasar kebudayaan
manusia, dengan mempelajari kebudayaan dalam kehidupan
masyarakat dari sebanyak mungkin suku bangsa yang tersebar di
seluruh muka bumi pada masa lalu dan sekarang ini. Akhir-akhir
ini pembahasan etnologi berkembang menjadi dua aliran yaitu ;
Aliran yang menekankan kepada bidang diakronis dari
suatu suku bangsa atau kelompok masyarakat. Diakronis berarti
berturut-turut dalam berjalannya waktu. Dengan kata lain
penelitian dilakukan atas suatu suku bangsa dalam waktu yang
berbeda. Misalnya seorang ahli antropologimeneliti orang Tengger
di Jawa Timur pada tahun 1960-an kemudian dilanjutkan kembali
pada tahun 1970-an. Saifuddin (2007: 25) menyebutkan bahwa
diakronik, yaitu persperktif yang menggambarkan hubungan unsur-
unsur kebudayaan sepanjang waktu.
Aliran yang menekankan pada bidang sinkronis dari
seluruh kebudayaan umat manusia. Sinkronis berdampingan dalam
satu waktu. Hal ini berarti seorang ahli antropologi meneliti
beberapa kelompok masyarakat atau suku bangsa yang relatif
bersamaan. Saifuddin (2007: 25) menyebutkan sinkronik
menunjukkan hubungan unsur-unsur kebudayaan bersama-sama
pada waktu yang sama. Kedua aliran tersebut di atas mempunyai
nama penelitian yang berbeda. Untuk aliran diakronis diberi nama
descriptiveintegration, sedangkan untuk aliran sinkronis diberi
nama generalizingapproach.
Descriptiveintegration dalam etnologi mengolah dan
mengintegrasikan hasil-hasil penelitian dari sub antropologi fisik,
etnolinguistik, ilmu pra sejarah dan etnografi. Etnografi adalah
bagian dari etnologi yang meliputi segala cara pengumpulan bahan
dan pelukisan tentang masyarakat dan kebudayaan dari suatu suku
bangsa di suatu daerah tertentu. Descriptiveintegration selalu
menggambarkan tentang suatu daerah tertentu. Bahan keterangan
pokok yang diolah ke dalamnya adalah terutama bahan keterangan
etnografi. Bahan-bahan lain seperti etnolinguistik, somatologi dan
lain-lain, selalu diintegrasikan ke dalam etnografi. Oleh karena itu
kemampuan menulis etnografi sangat dibutuhkan bagi seorang
peneliti.
Contoh, seorang ahli antropolgi membuat suatu
descriptiveintegrationsuku bangsa Makian di Maluku Utara, dia
bukan hanya mengumpulkan bahan keterangan tentang kehidupan
masyarakat Makian zaman sekarang akan tetapi dia juga
memperhatikan fosil-fosil yang terdapat di Maluku dengan
memperhatikan ciri-ciri ras dari orang Makian dengan suku bangsa
lain di Maluku. Ia juga menganalisa tentang artefak yang digali
atau ditemukan, dan juga mengumpulkan bahan keterangan tentang
bahasa-bahasa yang ada di Maluku Utara lainnya seperti di
Halmahera, Tidore, atau Ternate.
Generalizing Approach, menurut Koentjaraningrat (1995)
adalah sama dengan antropologi sosial. Para ahli antropologi
mencari prinsip-prinsip persamaan yang berada di belakang aneka
warna jutaan masyarakat dan kebudayaan dari kelompok-kelompok
manusia di muka bumi. Pengertian tentang prinsip-prinsip tersebut
dapat dicapai dengan menggunakan dua metode. Metode pertama
adalah penelitian yang bulat dan mendalam, bulat dan menyeluruh
dari sejumlah kelompok masyarakat dan kebudayaan (3 s.d 5
kelompok). Metode ke dua adalah dengan mengadakan
perbandingan merata dari sejumlah unsur dari suatu kelompok
masyarakat dan kebudayaan.
Misalnya penelitian tentang aktivitas mata pencarian, religi
dan organisasi sosial dari tiga sampai dengan lima kelompok
masyarakat dan kebudayaan. Saifuddin (2007) memberikan contoh
mengenai pendekatan diakronikdengan pertanyaan, ”Mana lebih
dahulu, keturunan patrilineal atau matrilineal?”, sedangkan
pendekatan sinkronik dicontohkan dengan pertanyaan ”Mana yang
secara kebudayaan lebih pas, keturunan patrilineal atau
matrilineal?”. Saifuddin juga mengemukakan satu pendekatan lagi
yaitu pendekatan interaktif yang memusatkan perhatian pada
mekanisme, yang melalui mekanisme tersebut individu-individu
saling berhadapan dengan individu lainnya, atau semata-mata
tentang cara-cara individu-individu mendefinisikan situasi sosial
mereka. Sebagai contoh, pertanyaan yang lebih muncul adalah,
”Apakah ada hal-hal tersembunyi di balik keturunan patrilineal
atau matrilineal yang mendorong runtuhnya kelompok-kelompok
yang berdasarkan prinsip keturunan tersebut?. Atau ”Bagaimana
seseorang bermanuver di sekitar hambatan struktural yang
bersumber dari kelompok keturunan?"

C. Peran Budaya Dalam Dunia Kesehatan


Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat.
Setiap masyarakat dipastikan membuat kebudayaannya masing-
masing yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan mereka.
Kebudayaan pun meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat
dalam pikiran masyarakatnya. Karena itu terkadang dalam kehidupan
sehari-hari, kebudayaan dapat bersifat abstrak. Perwujudan
kebudayaan pun bisa berupa benda-benda ciptaan manusia sebagai
mahluk yang berbudaya. Dalam hal ini, kebudayaan dibuat untuk
membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bemasyarakat.
Bisa berupa perilaku ataupun benda-benda bersifat nyata, seperti
pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi,
seni, dan lain-lain.
Mengacu pada esensi budaya, nilai budaya sehat
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia.
Nilai budaya sehat bahkan menjadi bagian budaya yang dapat
ditemukan universal. Artinya, budaya tentang kesehatan selalu ada
pada setiap kebudayaan di seluruh dunia. Keberadaan budaya sehat
oleh masyarakat juga dapat dipandang sebagai upaya mewujudkan
hidup sehat dan sebagai upaya untuk mempertahankan hidup mereka.
Bisa melalui komponen pemahaman masyarakat tentang sehat, sakit,
derita akibat penyakit, cacat dan kematian, maupun nilai-nilai yang
dilaksanakan dan diyakini di masyarakat, hal ini termasuk pula
teknologi yang berkembang ditengah masyarakat.
Hubungan pemahaman terhadap keadaan sehat, keadaan
sakit, penyakit, kebudayaan, dan teknologi dalam masyarakat.
Masyrakat melakukan berbagai eksperimen sesuai kebudayaan
mereka guna memperoleh pengalaman dan pengetahuan terkait
kesehatan. Manusia terbukti akan selalu berkembang seiring dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka
hasilkan. Budaya manusia pun juga akan ikut berkembang dan
berubah dai waktu ke waktu, termasuk budaya kesehatan masyarakat
dimasa lalu jelas berbeda jika dibandingkan dengan kebudayaan
kesehatan dimasa sekarang dan mendatang.
Salah satu contoh budaya kesehatan yang berubah dari
waktu ke waktu adalah tentang cara menjaga kesehatan personal,
seperti, mandi, keramas, atau sikat gigi. Pada zaman dahulu, manusia
diberbagai daerah belahan bumi memiliki cara-cara berbeda dalam
membersihkan tubuh. Penggunaan bahan yang lazim pada masa itu
diantaranya adalah minyak, abu, atau batu apung, sesuai dengan
kebudayaan mereka. Bahan-bahan itu dipilih sebelum ditemukannya
formula untuk membuat sabun seperti yang kita tahu saat ini, oleh
kimiawan persia Al-Razi sekitar abad ke-7 masehi.
Masyarakat mesir kuno bahkan terkenal melakukan ritual
mandi dengan menggunakan kombinasi minyak hewani dan nabati
yang ditambah garam alkali. Ramuan tersebut dipercaya mampu
membersihkan kotoran kulit, sekaligus sebagai obat untuk
menyembuhkan peyakit kulit. Di Indonesia, sejarah mencatat orang
sunda kuno bisa menggunakan tanama liar wangi sebagai sabun
mandi mereka.
Persepsi berbeda dilakoni orang Yunani yang menganggap
aktivitas mandi untuk alasan kecantikan. Saat melakukannya pun
tidak perlu menggunakan ramuan khusus. Orang yunani kuno
membersihkan tubuh dengan menggunakan balok, lilin, pasir, batu
apung atau abu. Ketika peradaban romawi mulai maju, budaya
membersihkan tubuh mulai disadari manfaatnya, sehingga
masyarakatnya menjadi sering mandi. Masyarakat romawi kala itu
bahkan membudayakan mandi menjadi sebuah aktivitas rutin yang
harus dilakukan ditempat tertentu
Mulai saat itu dibangunlah pemandian bangsa romawi yang
menjadi pemandian petama di dunia dan sangat terkenal. Pemandian
yang dibangun tahun 312 sebelum masehi itu bahkan sejak awal
telah didesain memiliki saluran air guna membasuh tubuh. Sejak saat
itu mandi menjadi hal yang mewah dan populer. Baru pada abad ke-2
masehi. Dokter Yunani bernama Galen meganjurkan penggunaan
sabun dengan ramuan khusus untuk pegobatan dan pembersih.
Akhirnya, budaya mandi dengan menggunakan sabun terus
berkembang serta menjadi sebuah kegiatan rutin hingga saat ini.
Bukan hanya cara mandi yang berbeda dari masa dahulu
dan sekarang, budaya gosok gigi pun megalami hal sama. Temuan
sejarah mengungkap sikat gigi mejadi salah satu alat hasil
kebudayaan paling tua dan masih digunakan oleh manusia sampai
sekarang. Bangsa Babilonia dan mesir telah memanfaatkan stik
kunyah dari kayu tanaman salvadora persica atau lebih dikenal
dengan nama siwak sejak 3.500 sebelum masehi. Siwak digunakan
sebagai sikat gigi sekaligus pasta gigi dengan cara dikunyah pada
salah satu sisi lalu digosokkan pada gigi karena dipercaya memiliki
kemampuan antiseptik. Cara ini bahkan dilanjutkan oleh masyarakat
Jazirah Arab dan menyebarkannya saat ilmu pengetahuan kesehatan
berkembang pesat dimasa keemasan islam.
Orang-orang Roma dulunya menggunakan pecahan kaca
halus sebagai bagian dari pembersih mulut mereka. Sementara itu,
masyarakat indonesia zaman dulu menggunakan halusan genting dan
bata sebagai pasta gigi untuk menggosok gigi. Begitu juga dengn
shampo yang kini bahkan telah dibuat berkhasiat sesuai dengann
kebutuhan kesehatan kulit kepala dan rambut. Padahal dimasa lalu,
masyarakat Indonesia menggunakan merang atau jerami padi untuk
membersihkan rmbut mereka.
Seiring dengan perkembangan zaman, proses perubahan
yang terjadi tidak hanya menyangut budaya kesehatan individu atau
personal. Kini, budaya kesehatan masyarakat juga telah mengalami
banyak perubahan jika dibandingkan dengan masa lalu. dulu,
masyarakat memandang kesehatan lebih ke arah paradigma sakit atau
sembuh dari sakit. Namun seiring dengan perkembangan zaman,
masyarakat cenderung berparadigma sehat dalam memaknai
kesehatan. Penilaian individu terhadap status kesehatan pun meenjadi
salah satu faktor penentu pertilakunya, yaitu perilaku sakit jika
mereka merasa sakit dan perilaku sehat jika mereka mengaggap diri
mereka sehat.

D. Etnomedisin
Etnomedisin secara etimologi berasal dari kata Ethno (Etnis) dan
Medicine (Obat). Hal ini menunjukan bahwa Etnomedisin sedikitnya
berhubungan dengan dua hal yaitu etnis dan obat. Secara ilmiah
dinyatakan bahwa etnomedisin merupakan presepsi dan konsepsi
masyarakat lokal dalam memahami kesehatan atau studi yang
mempelajari sistem medis etnis tradisional. (Bhasin, 2007; Daval
2009). Etnomedisin berhubungan dengan kesehatan dan pemeliharaan
kesehatan. Etnomedisin merupakan praktek medis tradisional yang
tidak berasal dari medis moderen, Etnomedisin tumbuh berkembang
dari pengetahuan setiap suku dalam memahami penyakit dan makna
kesehatan. Pemahaman akan penyakit ataupun teori tentang penyakit
tentunya berbeda di setiap suku. Hal ini dikarenakan latar belakang
kebudayaan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki setiap suku
tersebut berbeda dalam memahami penyakit, terutama dalam
mengobati penyakit.
Foster dan Anderson (1986) “Etnomedisin adalah cabang
antropologi medis bahasannya mengenai gejala-gejala penyakit, asal
mula penyakit, penyebab penyakit. Seiring dengan kenudayaan
kebudayaan pengobatan maka muncul aspek etnomedisin. manusia
dibidangkantropologi medis, etnomedisin memunculkan termonologi
yang beragam. Cabang ini sering disebut pengobatan non Barat
(tradisional dan primitif)”.Etnomedisin merupakan pengobatan secara
tradisional akan tetapi lebih mengarah kepada kebudayaan yang ada
di lingkungan sekitar masyarakat yang dimana tidak melibatkan
medis dikarenakan lebih kepengobatan primitif, selain pada itu
etnomedisi didasarkan juga oleh pemikiran-pemikiran masyarakat
yang percaya akan roh leluhur atau sepertihalnya jika disatu wilayah
seringkali menggunakan pengobatan menggunakan tumbuhan obat.
Etnomedisin termasuk kedalam antropologi kesehatan yang
mempelajari pengobatan secara non barat, dalam artian etnomedisin
ini tidak menggunakan pengobatan secara medis. Sejarah
etnomedisin sendiri di Indonesia telah sejak lama digunakan seperti
menurut Basri (2013) dari segi etnomedisin konsep naturistik
terjadinya ketika suhu tubuh naik, cairan dalam tubuh tidak seimbang
(sistem imun didalam tubuh menurun) untuk pengobatannya
menggunakan tumbuhan obat ataupun hewan, biasa saja dalam hal ini
digabungkan keduanya tergantung penyakit yang dideritanya.
Menurut Basri (2013) di zaman sekarang ini bahwasanya pengobatan
secara naturalistik di bagi menjadi tiga bagian yang mendominasi
etnomedisin di dunia, yaitu konsep patologi humoral (kini terdapat di
Amerika Latin), pengobatan Ayurveda (di India dan Negara-negara
sekelilingnya) serta pengobatan tradisonal Cina.
Menurut salah satu ahli antopologi kesehatan Erwin Ackerknecth
(1940), bahasan yang berkenaan dengan pengobatan primitif, hal ini
dikarenakan dilakukannya penelitian pada masyarakat primitif.
Namun pada saat setelah Perang II, studi antopologi berubah dari
masyrakat primitif ke masyarakat desa, membuat para ahli
antropologikdalamkhal mendeskripsikan sistem medis yang berbeda
dengan sistem medis barat merasa kebingungan mengenai
peristilahan. Seperti istilah Redfield yakni “pengobatan rakyat”k(folk
medicine), yang menimbulkan kebingungan, karena dalam
masyarakat yangmteknologinya maju, pengobatan populer sering
pula disebutmsebagai pengobatan “rakyat”.

E. Teori Transkultural Nursing Lineiger


Teori ini berasal dari disiplin ilmu antropologi dan oleh Dr.
M. leininger dikembangkan dalam konteks keperawatan. Teori ini
menjabarkan konsep keperawatan yang didasari oleh pemahaman
tentang adanya perbedaan nilai-nilai kultural yang melekat dalam
masyarakat. Leininger beranggapan bahwa sangatlah penting
memperhatikan keanekaragaman budaya dan nilai-nilai dalam
penerapan asuhan keperawatan kepada klien. Bila hal tersebut
diabaikan oleh perawat, akan mengakibatkan terjadinya cultural
shock.
Cultural shock akan dialami oleh klien pada suatu kondisi
dimana perawat tidak mampu beradaptasi dengan perbedaan nilai
budaya dan kepercayaan. Hal ini dapat menyebabkan munculnya rasa
ketidaknyamanan, ketidakberdayaan dan beberapa mengalami
disorientasi. Kebutaan budaya yang dialami oleh perawat ini akan
berakibat pada penurunan kualitas pelayanan keperawatan yang
diberikan.
Budaya adalah sesuatu yang kompleks yang mengandung
pengetahuan,keyakinan, seni, moral, hukum, kebiasaan, dan
kecakapan lain yang merupakan kebiasaan manusia sebagai anggota
kemunitas setempat.
Kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang
harus dibiasakan dengan belajar, beserta keselurahan hasil budi dan
karyanya dan sebuah rencana untuk melakukan kegiatan tertentu
(Leininger, 1991).
Menurut konsep budaya Leininger (1978, 1984), karakteristik
budaya dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Budaya adalah pengalaman yang bersifat universal sehingga tidak
ada dua budaya yang sama persis,
2. Budaya yang bersifat stabil, tetapi juga dinamis karena budaya
tersebut diturunkan kepada generasi berikutnya sehingga
mengalami perubahan,
3. Budaya diisi dan ditentukan oleh kehidupan manusianya sendiri
tanpa disadari.
Konsep utama model ini dijabarkan Arum Pratiwi (2011) sebagai
berikut :
a. Culture Care
Nilai-nilai, keyakinan, norma, pandangan hidup yang dipelajari
dan diturunkan serta diasumsikan guna membantu
mempertahankan kesejahteraan dan kesehatan serta meningkatkan
kondisi dan cara hidupnya.
b. World View
Cara pandangan hidup individu atau kelompok dalam
memandang kehidupannya sehingga menimbulkan keyakinan dan
nilai.
c. Culture and Social Structure Dimention
Pengaruh dari faktor-faktor budaya tertentu (subbudaya) yang
mencakup religi, kekeluargaan, politik dan legal, ekonomi,
pendidikan, teknologi, dan nilai budaya. Semuanya saling
berhubungan dan berfungsi untuk mempengaruhi perilaku dalam
konteks lingkungan yang berbeda.

d. Generic Care System


Budaya tradisional yang diwariskan untuk membantu,
mendukung, memperoleh kondisi kesehatan, memperbaiki atau
meningkatkan kualitas hidup, mengahadapi kecacatan dan
kematian.
e. Profesional System
Pelayanan kesehatan oleh pemberi pelayanan kesehatan yang
memiliki pengetahuan dari pembelajaran di institusi pendidikan
formal serta melakukan pelayanan kesehatan secara professional.
f. Culture Care Preservation
Upaya mempertahankan dan memfasilitasi tindakan professional
dalam mengambil keputusan guna memelihara dan menjaga nilai-
nilai individu atau kelompok. Hal itu dilakukan agar dapat
mempertahankan kesejahteraan, sembuh dari sakit, serta
menghadapi kecacatan dan kematian.
g. Culture Care Acomodation
Teknik negoisasi memfasilitasi kelompok atau orang dengan
budaya tertentu untuk beradapatasi dan berunding tentang
tibdakan dan pengambilan kesehatan.
h. Cultural Care Reppattenring
Menyusun kembali pola keperawatan untuk memfasilitasi
tindakan dan pengembalian keputusan professional yang dapat
membawa perubahan bagi cara hidup seseorang.
i. Culture Congruent (Nursing Care)
Suatu kesadaran untuk menyesuaikan nilai-nilai
budaya/keyakinan dan cara hidup individu atau golongan dalam
upaya memberikan perubahan bagi cara hidup seseorang.

F. Implikasi Antrophologi Kesehatan


Arti kata implikasi itu sendiri sebetulnya memiliki sebuah
cakupan yang sangat luas dan beragam, supaya bisa digunakan
didalam beragam kalimat didalam cakupan yang memiliki bahasa
yang berbeda-beda. Hingga waktu ini, tetap belum terdapat
pembahasan secara lengkap dan menyeluruh berkenaan makna dan
definisi kata implikasi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) makna kata implikasi adalah keterlibatan atau suasana
terlibat. Sehingga setiap kata imbuhan berasal dari implikasi seperti
kata berimplikasi atau mengimplikasikan yakni berarti membawa
jalinan keterlibatkan atau melibatkan dengan suatu hal. Beberapa
jenis yang terdapat pada implikasi penelitian diantaranya
1. Implikasi Teoritis
Pada bagian ini peneliti menyajikan gambar lengkap mengenai
implikasi teoretikal dari penelitian ini. Bagian ini bertujuan untuk
meyakinkan penguji pada mengenai kontribusi terhadap ilmu
pengetahuan dalam teori-teori yang digunakan untuk
memecahkan masalah penelitian, tetapi juga implikasinya bagi
teori-teori yang relevan dengan bidang kajian utama yang
disajikan dalam model teoretis.
2. Implikasi Manajerial
Pada bagian ini peneliti menyajian bergagai implikasi kebijakan
yang dapat dihubungkan dengan temuan-temuan yang dihasilkan
dalam penelitian ini. Implikasi manajerial memberikan kontribusi
praksis bagi manajemen.
3. Implikasi Metodologi
Bagian ini bersifat opsional dan menyajikan refleksi penulis
mengenai metodologi yang digunakan dalam penelitiannya.
Misalnya pada bagian ini dapat disajikan penjelasan mengenai
bagian-bagian metode penelitian mana yang telah dilakukan
dengan sangat baik dan bagian mana yang relatif sulit serta
prosedur mana yang telah dikembangkan untuk mengatasi
berbagai kesulitan itu yang sebetulnya tidak digambarkan
sebelumnya dalam literatur mengenai metode penelitian.

G. Budaya Pernikahan Dini


Kasus pernikahan usia dini banyak terjadi di berbagai
penjuru dunia dengan berbagai latarbelakang. Telah menjadi
perhatian komunitas internasional mengingat risiko yang timbul
akibat pernikahan yang dipaksakan, hubungan seksual pada usia dini,
kehamilan pada usia muda, dan infeksi penyakit menular seksual.
Kemiskinan bukanlah satu-satunya faktor penting yang berperan
dalam pernikahan usia dini. Hal lain yang perlu diperhatikan yaitu
risiko komplikasi yang terjadi di saat kehamilan dan saat persalinan
pada usia muda, sehingga berperan meningkatkan angka kematian ibu
dan bayi. Selain itu, pernikahan di usia dini juga dapat menyebabkan
gangguan perkembangan kepribadian dan menempatkan anak yang
dilahirkan berisiko terhadap kejadian kekerasan dan keterlantaran.
Masalah pernikahan usia dini ini merupakan kegagalan dalam
perlindungan hak anak. Dengan demikian diharapkan semua pihak
termasuk dokter anak, akan meningkatkan kepedulian dalam
menghentikan praktek pernikahan usia dini.
1. Pengertian Pernikahan Dini
Usia pernikahan yang memenuhi syarat menurut Undang -
Undang yaitu batas minimal perkawinan 16 tahun bagi wanita dan
19 tahun bagi pria. Sedangkan pernikahan ideal adalah
pernikahan yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan usia
minimal 25 tahun dan usia minimal wanita 20 tahun karena secara
biologis alat-alat reproduksi masih dalam proses menuju
kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan
seks dengan lawan jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian
melahirkan2. Pernikahan yang dilakukan sebelum anak mencapai
usia 18 tahun, sebelum anak matang secara fisik, fisiologi dan
psikologis untuk bertanggungjawab terhadap pernikahan dan anak
yang dihasilkan dari pernikahannya disebut dengan pernikahan
dini.
Beberapa pengertian lain yang bisa menjadi acuan dalam
memandang apa itu pernikahan dini adalah bahwa:
a. Perkawinan usia remaja adalah perkawinan yang
dilakukan oleh eseorang yang pada hakikatnya kurang
mempunyai persiapan, kematangan baik secara biologis,
psikologis maupun sosial ekonomi (Nurhasanah, 2012).
b. Menikah diusia kurang dari 18 tahun merupakan realita
yang harus dihadapi sebagian anak diseluruh dunia, di
negara berkembang.

Menikah di usia kurang


dari 18 tahun merupakan
realita yang harus
dihadapi sebagian anak di
seluruh

22
BKKBN. Pendewasaan Usia Perkawinan. Jakarta. 1998
dunia, terutama
negara berkembang.
3-6
Menikah di usia kurang
dari 18 tahun merupakan
realita yang harus
dihadapi sebagian anak di
seluruh
dunia, terutama
negara berkembang.
3-6
Menikah di usia kurang
dari 18 tahun merupakan
realita yang harus
dihadapi sebagian anak di
seluruh
dunia, terutama
negara berkembang.
3-6
c. Pernikahan yang tidak sesuai dengan UU Perkawinan
pasal 7 ayat 1 yang menyatakan bahwa perkawinan hany
dapat diizinkan jika pihak pria dan wanita sudah sama-
sama mencapai usia 19 tahun. Sehingga pernikahan
tersebut disebut dengan pernikahan dini.

2. Faktor Penyebab Pernikahan Dini


Pernikahan dini yang marak terjadi tidak hanya di
Indonesia tapi juga di dunia ini tidak luput dari faktor-faktor
penyebabnya. Ada beberapa faktor yang menjadi pemicu terjadi
pernikahan dini diantaranya adalah faktor karakteristik orang tua
dan remaja, lingkungan, ekonomi dan sosial, yang kemudian
diperumit dengan tradisi dan budaya dalam suatu kelompok
masyarakat. Faktor-faktor ini saling berkaitan sehingga
menyebabkan remaja melakukan pernikahan di usia dini
(BKKBN, 2012). Beberapa faktor tersebut, meliputi:
a. Faktor Pendidikan
Pendidikan setiap orang mempengaruhi cara mereka dalam
bertindak seperti menyikapi masalah dan mengambil
keputusan terutama dalam pengambilan keputusan yang
bersifat kompleks. Seperti yang dikemukakan dalam penilitan
Nandang dkk (2009), remaja yang berpendidikan rendah
memiliki resiko 4,259 kali lipat untuk menikah dini 1. Tidak
hanya faktor pendidikan si anak, latar belakang pendidikan
orang tua lebih berpengaruh karena pihak orang tualah yang
mengambil keputusan dalam suatau polemik. Orang tua yang
memiliki keterbatasan pemahaman khususnya tentang
kesehatan reproduksi dan hak anak cenderung akan
memutuskan untuk menikahkan anak merea.
b. Faktor Lingkungan
Lingkungan berhubungan sebab akibat terhadap terjadinya
pernikahan dini pada anak. Anak dengan lingkungan negatif 2
kali berpotensi melakukan pernikahan dini dibandingkan anak
dengan latar belakang lingkungan positif. Lingkungan pola
asuh di dalam keluarga juga menjadi penyumbang faktor
terjadinya pernikahan dini. Kategori pola asuh orang tua yang
otoriter adalah pola asuh yang familiar dalam keluarga pelaku
pernikahan dini.
c. Faktor Ekonomi
Keluarga dengan ekonomi rendah cenderung cepat-cepat
menikahkan anak mereka untuk mengurangi biaya hidup
sehari-hari, terutama bagi keluarga dari pihak perempuan.
Faktor ekonomi ini di latar belakangi oleh pekerjaan orang tua
yang nantinya akan mempengaruhi usia anak untuk menikah.
Berbeda dengan keluarga dari golongan ekonomi menengah
ke atas, mereka cenderung tidak menikahkan anak-anak
mereka pada usia muda.
d. Faktor Sosial Budaya
Hal paling penting yang melatarbelakangi adanya
pernikahan dini adalah budaya yang berkembang di suatu
kelompok masyarakat tertentu. Stigma sosial mengenai
pernikahan setelah melewati masa pubertas dianggap aib oleh
kalangan tertentu, yang mana meningkatkan pula angka
kejadian pernikahan dini. Mereka memandang bahwa budaya
kelompok adalah yang paling baik, jika dibandingkan dengan
kebudayaan pihak lain1, sehingga pihak keluarga selalu
melakukan tradisi ini secara turun temurun. Dalam daerah-daerah
tertentu, terdapat peraturan tidak tertulis mengenai anak yang harus
dinikahkan beberapa bulan setelah pubertas atau bahkan sebelum ia
mencapai pubertas (Lingat R., 1973: 3-14)3

3
Jaya Sagade. Child Marriage in India: Sosio-Legal and Human Rights Dimensions.2002
3. Pernikahan Dini Dalam Perspektif Agama Islam
Ada beberapa hal yang perlu diketahui tentang perkawinan
yang dapat dilihat dari 3 segi yakni hukum, sosial, dan agama.
Dari segi hukum, perkawinan merupakan suatu perjanjian karena
cara melakukan pernikahan telah diatur dulu seperti kapan
akadnya dilaksanakan. Dari segi sosial, pernikahan dipandang
sebagai sebuah prosesi yang dapat meningkatkan derajat
seseorang. Dan menurut segi agama, pernikahan adalah prosesi
sacral yang memiliki tatacara tersendiri dalam tiap-tiap agama
Agama Islam memiliki cara pandangnya sendiri terhadap
pernikahan dini. Dalam keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa
Indonesia Tahun 2009 dinyatakan bahwa dalam literature fikih
Islam, tidak terdapat ketentuan secara eksplisit mengenai batasan
usia perkawinan,baik usia minimal maupun maksimal. Meskipun
demikian, hikmah tasyri’ dalam pernikahan adalah menciptakan
keluarga yang sakinah, serta dalam rangka memperoleh
keturunan.
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Ya’la dalam al
Musnad (III/37, nomor hadis: 2041), Khathib al Baghdadi dalam
at Tarikh (VIII/32), dan Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq
(XX/27) dan Thabarani dalam Mu‟jam al Ausath (IV/375, nomor
hadis:4475) dari sahabat Jabir, menjelaskan:
“Siapapun pemuda yang menikah di usia mudanya, maka setan
berteriak:”Aduh, hancur diriku! Aduh, hancurnya aku! Dia telah
menjaga agamanya dariku ”.
Walau nyatanya hadits diatas termasuk hadits dhaif atau lemah,
hadits tersebut tidak bisa dikatakan palsu. Namun, secara makna,
hadits ini shahih karena diperkuat secara makna oleh hadits:
“Barang siapa yang menikah, maka ia telah menyempurnakan
separuh dari imanya, maka bertaqwalah kepada Allah dalam
separuh keduanya.” (HR. Thabari)
Selain pada hadits di atas, penikahan dini juga mencegah
seseorang berbuat maksiat karena dengan menikah ia akan lebih
bisa menjaga mata dan kemaluannya. Namun, maksudnya disini
adalah bahwa seseorang yang boleh menikah adalah orang yang
baligh. Para pakar Islam berpendapat bahwa pernikahan dini
sebelum anak baligh dapat menimbulkan polemik tersendiri bagi
pelaku pernikahan dini. Pun ketika Nabi Muhammad SAW
menikah dengan Aisyah, Aisyah kala itu masih berumur 9 tahun
dan Nabi Muhammad menunggu sampai Aisyah baligh untuk
berhubungan seksual. Karena hukum Islam sendiri memiliki
beberapa prinsip yakni perlindungan pada agama, harta, jiwa,
keturunan dan akal. Menikah muda menurut Islam sendiri tidak
melarang adanya sebuah pernikahan asalkan sudah baligh dan
sudah sanggup memberikan nafkah jasmani dan rohani serta
dapat memenuhi syarat persiapan pernikahan ditinjau dari fiqih
pernikahan, yaitu kesiapan ilmu, kesiapan materi dan kesiapan
fisik.
4. Implikasi Budaya Pernikahan Dini Pada Kesehatan Reproduksi
Perkawinan dini berdampak pada kesehatan reproduksi
anak perempuan. Dari segi fisik, remaja belum kuat, tulang
panggulnya masih terlalu kecil sehingga bisa membahayakan
proses persalinan. Anak perempuan berusia 10-14 tahun memiliki
kemungkinan meninggal lima kali lebih besar, selama kehamilan
atau melahirkan, di bandingkan dengan perempuan berusia 20-25
tahun sementara itu anak perempuan berusia 15-19 tahun
memiliki kemungkinan dua kali lebih besar. Mereka tidak
menyadari resiko yang akan terjadi jika melakukan pernikahan
dini. Sehingga mereka juga tidak memahami tentang hak-haknya
terkait kesehatan reproduksi. Sebagai salah satu contoh adalah
bagaimana seorang perempuan dalam memutuskan kapan dia
akan hamil dan melahirkan. Salah satu partisipan mengatakan
bahwa keinginan mempunyai anak merupakan keputusan yang
diputuskan pasangannya.
Dampak Kesehatan (Reproduksi dan Seksual) Menikah
muda berisiko tidak siap melahirkan dan merawat anak dan
apabila mereka melakukan aborsi, berpotensi melakukan aborsi
yang tidak aman yang dapat membahayakan keselamatan bayi
dan ibunya sampai pada kematian. Perkawinan anak juga
mempunyai potensi terjadinya kekerasan oleh pasangan dan
apabila terjadi kehamilan tidak diinginkan, cenderung menutup-
nutupi kehamilannya maka tidak mendapat layanan kesehatan
perawatan kehamilan yang memadai. Di kawasan Pantura,
kekerasan seksual banyak terjadi. Setelah dinikahkan para pelaku
perkawinan anak diceraikan, lalu korban kembali bekerja di
rumah-rumah prostitusi ilegal di sekitar pelabuhan. Sementara
menurut data Dinas Kesehatan Banyuwangi, kasus kematian ibu
(AKI) terjadi pada usia antara 20-23 tahun dan diduga mereka
adalah perempuan yang melakukan perkawinan anak, walaupun
dalam pencatatan di Dinas Kesehatan tidak tercatat usia
pernikahan mereka. Selain itu terdapat kasus pecah rahim
sehingga harus diangkat dan ekslamsi karena hamil di usia muda.
Di Kabupaten Banjar Kalimantan Selatan juga ditemukan kasus
di mana ibu yang belum cukup umur mengalami kematian karena
organ reproduksinya belum siap. Selain itu karena mereka tidak
paham tentang kesehatan reproduksi, ditemukan perempuan-
perempuan yang mendapatkan HIV/AIDS karena pasangannya
(suami atau pacar) yang berganti-ganti pasangan. Sementara di
bidang kesehatan, Angka Kematian Bayi (AKB) di Sulawesi
Utara naik dari tahun 2012 yang berjumlah 49 kasus menjadi 77
kasus di tahun 2013. Salah satu penyebab naiknya angka kasus
kematian bayi ini adalah karena berat badan rendah (BBR) akibat
kurang gizi. Menurut hasil wawancara dengan Dinas Kesehatan
bagian Ibu dan Anak, di Provinsi Sulawesi Utara salah satu
dampak signifi kan dari pernikahan anak adalah ibu muda tidak
tahu atau tidak memahami masalah kehamilan, sehingga
terkadang anak yang dilahirkan menjadi kurang gizi hingga
menyebabkan berat badan rendah (BBR) dan akhirnya meninggal
setelah dilahirkan. Selain itu, Angka Kematian Ibu (AKI) juga
menjadi salah satu dampak dari adanya perkawinan anak di
Sulawesi Utara.
BAB III
PEMBAHASAN

A. Kasus
Anak S perempuan asal Tegaldowo, Rembang, Jawa Tengah ini,
pertamakali di nikahkan orang tuanya pada usia 14 tahun dengan anak
kepala desa yang masih berusia 17 tahun. Anak S adalah satu dari sekian
banyak anak perempuan dinikahkan karena tradisi yang mengikatnya.
Kuatnya tradisi turun temurun membuatnya tak mampu menolak, tradisi
pernikahan dini ini terkait dengan masih adanya kepercayaan kuat tentang
mitos yaitu jika memiliki anak perempuan dan sudah ada yang melamar
maka harus diterima, kalau tidak diterima bisa sampai lama tidak laku-
laku. Bahkan banyak yang sudah menyandang status janda karena orang
tua tidak mempedulikan, apakah anak bersedia dinikahkan atau tidak.
Yang terpenting, menurut para orang tua, adalah menikahkan terlebih
dulu, meski kemudian di ceraikan.
Faktor ekonomi pun berperan penting dalam pernikahan tersebut,
karena orang tua anak S beranggapan jika anak S sudah menikah, maka
beban ekonomi keluarga akan berkurang. Anak S hidup dengan keadaan
ekonomi yang rendah. Ia pun hanya lulusan sekolah dasar karena orang
tuanya tidak mampu membiayai pendidikan anak S sehingga ia dinikahkan
oleh orang tuanya.
B. Pembahasan
Berdasarkan kasus di atas pernikahan dini memang marak terjadi
karena ada beberapa faktor yang menjadi pemicu terjadi pernikahan dini.
Tanpa mereka sadari, banyak dampak yang akan terjadi dari menikahkan
anak usia dini. Ini diakibatkan karena implikasi budaya mereka,
diantaranya adalah :
1. Faktor Pendidikan
Faktor ini dapat dikaji berdasarkan tingkat pendidikan anak S yang
hanya lulusan sekolah dasar karena orang tuanya tidak mampu
membiayai pendidikan anak S sehingga ia dinikahkan oleh orang
tuanya. Maka dari itu pengetahuan mengenai pernikahan pun belum
diketahuinya.sehingga memiliki keterbatasan pemahaman tentang
pernikahan dini dan dampak kesehatan reproduksi dari pernikahan dini
tersebut.
2. Lingkungan
Lingkungan tempat tinggal anak S yang berasal Tegaldowo, Rembang,
Jawa Tengah, merupakan tempat yang masih sangat pedesaan dan
memang sudah menjadi tradisi mereka menikahkan anak usia dini.
3. Faktor Ekonomi
Orang tua anak S memang keluarga dengan ekonomi rendah sehingga
cenderung cepat-cepat menikahkan anak S agar mengurangi biaya
hidup sehari-hari, terutama bagi keluarga dari pihak perempuan.
4. Faktor Sosial Budaya
Buadaya masyarakat dimana anak S tinggal masih menganut tradisi
turun temurun, salah satunya adalah tradisi pernikahan dini ini terkait
dengan masih adanya kepercayaan kuat tentang mitos yaitu jika
memiliki anak perempuan dan sudah ada yang melamar maka harus
diterima, kalau tidak diterima bisa sampai lama tidak laku-laku.
Terlepas dari faktor tersebut, dampak yang terjadi dari sudut
pandang kesehatan atau medis ialah masalah kesehatan reproduksi
wanita yang mana sistem repoduksinya masih dalam proses pematangan
sehingga jika terjadi kehamilan akan beresiko membahayakan ibu yang
mengadung dan janin yang ada di dalam kandungnya.
Pandangan islam mengenai hal ini, tidak terdapat syarat atau
ketentuan usia untuk suatu pernikahan, baik usia maksimal maupun usia
minimal. Sudah jelas islam memberitahukan bahwa pernikahan bisa
mencegah seseorang berbuat maksiat dan bisa lebih menjaga mata serta
kemaluannya. Namun seseorang yang sudah boleh menikah disini adalah
seseorang sudah akhil baligh. Dalam hal agama, pernikahan dini ini bisa
dicontoh melalui kisah Nabi Muhammad yang menikahi Aisyah r.a pada
usia 9 tahun namun Nabi menunggu sampai Aisyah baligh untuk
berhubungan seksual. Pun dengan kasus di atas, suami anak S bisa
menungu anak S sampai baligh begitu pun sebaliknya agar organ dan
emosional sama sama sudah cukup matang, dan menghindari resiko yang
tidak diinginkan.
C. Asuhan Keperawatan
Diagnosa keperawatan : Resiko kehamilan tidak dikehendaki
Kategori : Fisiologis
Sub kategori : Reproduksi dan seksualitas
Definisi
berisiko mengalami kehamilan yang tidak diharapkan baik karena alasan
waktu yang tidak tepat atau karena kehamilan yang tidak diinginkan.
Faktor resiko
1. Pemerkosaan
2. Hubungan seksualitas sedarah/incest
3. Gangguan jiwa
4. Kegagalan penggunaan alat kontrasepsi
5. Kekerasan dalam rumah tangga/kdrt
6. Tidak menggunakan alat kontrasepsi
7. Faktor sosial ekonomi
Kondisi klinis terkait
1. Penyakit menular seksual
2. Gangguan jiwa
3. Kegagalan penggunaan alat kontrasepsi
4. Kekerasan dalam rumah tangga/ kdrt
Intervensi keperawatan dengan Diagnosa resiko kehamilan tidak
dikehendaki

Definisi
Mengidentifikasi dan mengelola pengambilan keputusan terhadap
kehamilan yang tidak diharapkan.
Tindakan :
1. Observasi
a. Identifikasi nilai-nilai dan keyakinan terhadap kehamilan
b. Identifikasi pilihan terhadap kehamilan
2. Terapeutik
a. Fasilitas menggungkapkan perasaan
b. Diskusikan nilai-nilai dan keyakinan yang keliru terhadap kehamilan
c. Diskusikan konflik yang terjadi dengan adanya kehamilan
d. Fasilitasi mengembangkan teknik penyelesaian masalah
e. Berikan konseling kehamilan
f. Fasilitasi mengidentifikasi sistem pendukung
3. Edukasi
a. Informasikan pentingnya meningkatkan status nutrisi selama
kehamilan
b. Informasikan perubahan yang terjadi selama kehamilan
4. Kolaborasi
a. Rujuk jika mengalami komplikasi kehamilan
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam kasus pernikahan dini diatas bisa disimpulkan bahwa
kemungkinan besar terjadinya pernikahan dini dikarenakan pengaruh
orang tua yang masih percaya akan adanya mitos tentang pernikahan.
pernikahan dini yang di alami anak S adalah karena faktor budaya,
yang dikarenakan dengan masih adanya kepercayaan kuat tentang
mitos yaitu jika memiliki anak perempuan dan sudah ada yang
melamar maka harus diterima, kalau tidak diterima bisa sampai lama
tidak laku-laku, kemudian faktor ekonomi karena keluarga tidak lagi
mampu membiayai sekolah dan kehidupan sehari hari anak S,
mengakibatkan timbulnya faktor pendidikan juga, karena anak S
yang hanya lulusan sekolah dasar sehingga ia dinikahkan oleh orang
tuanya. Maka dari itu pengetahuan mengenai pernikahan pun belum
diketahuinya.sehingga memiliki keterbatasan pemahaman tentang
pernikahan dini dan dapat berdampak pada kesehatan reproduksi dari
pernikahan dini tersebut.
Dan menurut pandang islam, pernikahan dini anak S tidak
dikatakan tidak boleh, namun ada baiknya mencontoh kisah nabi
Muhammad Nabi Muhammad yang menikahi Aisyah r.a pada usia 9
tahun namun Nabi menunggu sampai Aisyah baligh untuk
berhubungan seksual. Pun dengan kasus di atas, suami anak S bisa
menungu anak S sampai baligh begitu pun sebaliknya agar organ dan
emosional sama sama sudah cukup matang, dan menghindari resiko
yang tidak diinginkan.
B. Saran
Dari kasus tersebut dapat disarankan bagi Orang tua hendaknya
terus meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang pernikahan
anak usia dini bahwa pernikahan anak usia dini dampak berdampak
negatif pada kesehatan anak khususnya anak perempuan yang nantinya
akan mengalami kehamilan dan melahirkan. Calon pengantin pun
hendaknya memahami dan mempelajari dampak yang akan
ditimbulkan akibat pernikahan dini terutama dalam dalam bidang
kesehatan reproduksi calon pengantin wanita. Tenaga medis
hendaknya terus melakukan kegiatan promotif seperti penyuluhan dan
memberikan pengetahuan tenta seks dan pernikahan usia dini, untuk
mencegah terjadinya pernikahan usia dini dikalangan remaja.
DAFTAR PUSTAKA

Azwar, Saifuddin. 2007. Metode Penelitian. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.


Eddy Fadlyana, Shinta Larasaty. Pernikahan Usia Dini dan Permasalahnya. 2016
Eka Yuli Handayani. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Pernikahan Usia
Dini Pada Remaja Putri Kecamatan Tambusai Utara Kabupaten Rokan
Hulu. 2014
Fauziatu Shufiyah. Pernikahan Dini Menurut Hadis dan Dampaknya. 2018 (Vol.
3No 1)
Fernandez, Daniel. 2018. Hand Out Antropology.Universitas Muhammadiyah
Prof.Dr. Hamka: Jakarta
Foster, George M. 2006. Antrophologi Kesehatan. Jakarta : universitas indonesia
(UI-Press)
Haviland, A. W.1999. Antropologi. Jakarta: Erlangga Mudiyanti Dewi Prihatin
dan Irne W. Desiyanti. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Pernikahan Dini
Pada Pasangan Usia Subur di Kecamatan Mapanget Kota Manado.2015
Jaya Sagade. Child Marriage in India: Sosio-Legal and Human Rights
Dimensions. 2002
Koentjaraningrat.1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Aksara Baru.
Halaman 20
Koentjaraningrat. 1989. Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia
Pustaka.
Koentjaraningrat. 1995. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit
Djambatan 15th edition p19
Nunung Rachmawati. 2018. Antropologi Kesehatan: Konsep dan Aplikasi
Antropologi dalam Kesehatan.Yogyakarta: Pustaka Baru Press

LAMPIRAN
NARASI PERNIKAHAN DINI

Di suatu desa tepatnya di Tegaldowo, Rembang, Jawa Tengah ini terdapat


anak yang bernama S ia di nikahkan orang tuanya pada usia 14 tahun dengan anak
kepala desa yang masih berusia 17 tahun. Anak S adalah satu dari sekian banyak
anak perempuan dinikahkan karena tradisi yang mengikatnya. Kuatnya tradisi
turun temurun membuatnya tak mampu menolak, tradisi pernikahan dini ini
terkait dengan masih adanya kepercayaan kuat tentang mitos yaitu jika memiliki
anak perempuan dan sudah ada yang melamar maka harus diterima, kalau tidak
diterima bisa sampai lama tidak laku-laku. Bahkan banyak yang sudah
menyandang status janda karena orang tua tidak mempedulikan, apakah anak
bersedia dinikahkan atau tidak. Yang terpenting, menurut para orang tua, adalah
menikahkan terlebih dulu, meski kemudian di ceraikan.
Faktor ekonomi pun berperan penting dalam pernikahan tersebut, karena
orang tua anak S beranggapan jika anak S sudah menikah, maka beban ekonomi
keluarga akan berkurang. Anak S hidup dengan keadaan ekonomi yang rendah. Ia
pun hanya lulusan sekolah dasar karena orang tuanya tidak mampu membiayai
pendidikan anak S sehingga ia dinikahkan oleh orang tuanya.
Dari video yang kami sajikan ialah dampak dari pernikahan dini yang kita
ketahui bersama bahwa jika terjadi kehamilan, maka akan menimbulkan resiko
kesehatan pada anak S dan janin yang dikandungnya. Dari faktor usia sistem
reproduksi anak S masih dalam fase perkembangan sehingga jika terjadi
kehamilan akan beresiko tinggi untuk proses melahirkan. Ketika Anak S
melahirkan pun ia mengalami pendarahan pada rahim, dokter mengatakan bahwa
anak S harus menjalani operasi pengangkatan rahim akibat melahirkan di usia
dini.
Saran
Karena video tersebut bukan hasil dari kelompok kami, melainkan video
dari film layar lebar yang kami potong. Sehingga hanya menampilkan dampak
dari pernikahan dini yang kita ketahui bersama bahwa jika terjadi kehamilan,
maka akan menimbulkan resiko kesehatan terutma pada kesehatan reproduksi.
Saran untuk video adalah : video kurang lengkap hanya ada dampak saja.

Anda mungkin juga menyukai