Dosen Pembimbing:
Ibu Jujun Triwahjuni
Disusun Oleh:
Rizka Putri Nur Hertiana (4003200020)
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah
Kewarganegaraan. Semoga segala upaya yang dilakukan penulis dapat membawa kebaikan
Amiin ya robbal alamin.
Dengan menyelesaikan karya tulis ini, tidak jarang saya menemui kesulitan. Namun
saya sudah berusaha sebaik mungkin untuk menyelesaikannya, oleh karena itu saya
mengharapkan kritik dan saran dari semua pihak pembaca yang sifatnya membangun untuk
dijadikan bahan masukan guna penulisan yang akan datang sehingga menjadi lebih baik lagi.
Semoga karya tulis ini bisa bermanfaat bagi saya khususnya dan bagi pembaca pada
umumnya.
i
DAFTAR ISI
ii
A. Kesimpulan ..................................................................................................................
.......................................................................................................................................
11
B. Saran ............................................................................................................................
.......................................................................................................................................
11
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini yaitu:
1. Apakah UU Kesehatan sudah efektif?
2. Bagaimana Kebijakan UU Kesehatan di Indonesia?
3. Apa kelebihan dan kekurangan UU Kesehatan?
4. Apa kelebihan dan kekurangan UU Keperawatan?
C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah menjelaskan hal-hal penting terkait
etika dan hukum kesehatan mengenai kasus ini.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kasus
Kasus Perawat DS sangat rumit dan dilematik. Di lain sisi dia ingin membantu
orang dalam keadaan gawat darurat, namun ternyata dia menjadi tersangka kasus
pembunuhan terhadap pasiennya. Berdasarkan analisis kasus, jika dikaitkan dengan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, maka
perawat DS dinyatakan melanggar hukum menurut :
2
BAB VI
UPAYA KESEHATAN
Bagian Kedua
Pelayanan Kesehatan
Paragraf Kesatu
Pemberian Pelayanan
Pasal 53
(1) Pelayanan kesehatan perseorangan ditujukan untuk menyembuhkan penyakit dan
memulihkan kesehatan perseorangan dan keluarga.
(3) Pelaksanaan pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mendahulukan pertolongan keselamatan nyawa pasien dibanding kepentingan lainnya.
Perawat DS melanggar pasal 53 karena dia menyebabkan pasien FD kehilangan
nyawa saat persalinan. Perawat DS dapat dilaporkan oleh pihak keluarga pasien FD
berdasarkan pasal 58, sehingga dalam kasus ini, perawat DS bisa dinyatakan melanggar etika
hukum:
BAB VI
UPAYA KESEHATAN
Bagian Kedua
Pelayanan Kesehatan
Paragraf Kedua
Perlindungan Pasien
Bagian Kedua
Pasal 58
(1) Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan,dan/atau
penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam
pelayanan kesehatan yang diterimanya.
(2) Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga
kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan
seseorang dalam keadaan darurat.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pengajuan tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Seharusnya perawat DS tetap merujuk pasien tersebut ke rumah sakit terdekat setelah
mengetahui hasil dari pemeriksaan leopoldnya. Jika perawat DS tetap melakukan persalinan
3
tersebut di kliniknya sedangkan dia juga mengetahui bahwa pasien FD kesulitan melahirkan
secara normal, maka perawat DS dinyatakan melanggar pengendalian pemulihan kesehatan
dan keselamatan ibu. Hal ini didukung oleh :
BAB VI
UPAYA KESEHATAN
Bagian Kedua
Pelayanan Kesehatan
Paragraf Kedua
Perlindungan Pasien
Bagian Kelima
Pasal 63
BAB VII
Bagian Kesatu
Pasal 126
(1) Upaya kesehatan ibu harus ditujukan untuk menjaga kesehatan ibu sehingga mampu
melahirkan generasi yang sehat dan berkualitas serta mengurangi angka kematian ibu.
(2) Upaya kesehatan ibu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi upaya promotif,
preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Namun, perawat DS dapat dinyatakan tidak bersalah karena menolong pasien dalam
keadaan gawat darurat. Hal ini sesuai dengan BAB XX Ketentuan Pidana Pasal 190 yang
berbunyi:
4
(1) Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan
praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak
memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (2) atau Pasal 85 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah).
(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan terjadinya
kecacatan atau kematian, pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan
tersebut dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling
banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Profesi adalah suatu pekerjaan yang ditujukan untuk kepentingan masyarakat dan
bukan untuk kepentingan golongan atau kelompok tertentu. Profesi sangat mementingkan
kesejahteraan orang lain, dalam konteks bahasan ini konsumen sebagai penerima jasa
pelayanan keperawatan professional. Menurut Webster, profesi adalah pekerjaan yang
memerlukan pendidikan yang lama dan menyangkut keterampilan intelektual.
Karakteristik Profesi
Gary dan Pratt (1991), Kiozer Erb dan Wilkinson (1995) mengemukakan karakteristik
professional sebagai berikut :
a. Konsep misi yang terbuka terhadap perubahan
b. Penguasaan dan penggunaan pengetahuan teoritis
c. Kemampuan menyelesaikan masalah
d. Pengembangan diri secara berkesinambungan
e. Pendidikan formal
f. Sistem pengesahan terhadap kompetensi
g. Penguatan secara legal terhadap standar professional
h. Praktik berdasarkan etik
i. Hukum terhadap malpraktik
j. Penerimaan dan pelayanan pada masyarakat
5
k. Perbedaan peran antara pekerja professional dengan pekerjaan lain dan
membolehkan praktik yang otonom.
6
D. Analisis Kasus dan Kaitannya dengan UU. No. 38 Tahun 2014
tentangKeperawatan
Pasal 30 ayat 1
Dalam menjalankan tugas sebagai pemberi Asuhan Keperawatan di bidang upaya
kesehatan perorangan, Perawat berwenang:
a. melakukan pengkajian Keperawatan secara holistik;
b. menetapkan diagnosis Keperawatan;
c. merencanakan tindakan Keperawatan;
d. melaksanakan tindakan Keperawatan;
e. mengevaluasi hasil tindakan Keperawatan;
f. melakukan rujukan;
g. memberikan tindakan pada keadaan gawat darurat sesuai dengan kompetensi;
h. memberikan konsultasi Keperawatan dan berkolaborasi dengan dokter;
i. melakukan peny'uluhan kesehatan dan konseling; dan
j. melakukan penatalaksanaan pemberian obat kepada Klien sesuai dengan resep tenaga
medis atau obat bebas dan obat bebas terbatas.
7
Sesuai Pasal 33 Ayat 1, Pelaksanaan tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat 1 huruf f (pelaksana tugas dalam keadaan
keterbatasan tertentu) merupakan penugasan Pemerintah yang dilaksanakan pada
keadaan tidak adanya tenaga medis dan/atau tenaga kefarmasian di suatu wilayah
tempat Perawat bertugas.
Sesuai Pasal 33 Ayat 4 point b, merujuk pasien sesuai sistemrujukan; dan
Sesuai dengan pasal 35
1) Dalam keadaan darurat untuk memberikan pertolongan pertama, Perawat
dapat melakukan tindakan medis dan pemberian obat sesuai dengan
kompetensinya.
2) Pertolongan pertama sebagaimana dimaksud pada ayat ( I ) bertujuan untuk
menyelamatkan nyawa Klien dan mencegah kecacatan lebih lanjut.
3) Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan keadaan
yang mengancam nyawa atau kecacatan Klien.
4) Keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Perawat
sesuai dengan hasil evaluasi berdasarkan keilmuannya.
5) Ketentuan lebih lanjut mengenai keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
4. Melanggar Pasal 37 Perawat dalam melaksanakan praktik keperawatan berkewajiban:
d. mendokumentasikan asuhan keperawalan sesuai dengan standar f. melaksanakan
tindakan pelimpahan wewenang dari tenaga kesehatan lain yang sesuai dengan
kompetensi Perawat.
8
undangan. d. menolak keinginan Klien atau pihak lain yang bertentangan dengan kode
etik, standar pelayanan, standar profesi, standar prosedur operasional, atau ketentuan
Peraturan Perundang-undangan.
Namun pada kasus perawat DS tidak memberikan informed consent yang sesuai
prosedur. Jika keluarga klien tidak bersedia untuk dirujuk, seharusnya perawat DS
mempunyai dokumen legal yang telah ditandatangani oleh wali pasien, sebagai bukti bahwa
tindakannya disetujui oleh wali.
E. Analisis Kasus dan Kaitannya dengan Kode Etik Keperawatan
Profesi-profesi dalam ilmu kesehatan memiliki kode etik masing-masing. Kode etik
dalam keperawatan seperti yang diatur oleh PPNI (Persatuan Perawat Nasional Indonesia).
Kode etik dalam keperawatan digunakan untuk perawat dalam mengambil tindakan untuk
melakukan pelayanan kesehatan. Kode etik keperawatan yang diatur oleh PPNI yaitu:
perawat dan klien, perawat dan praktik, perawat dan masyarakat, perawat dan teman sejawat
serta perawat dan profesi.
Kode etik ini akan menjadi dasar tindakan keperawatan yang akan diambil oleh
perawat. seperti yang dilakukan perawat DS yang mengalami dilema etik dan hukum atas
tindakan yang akan diambilnya. Menurut analisis kode etik perawat DS melanggar kode etik
perawat dan klien pada poin 3 yaitu: tanggung jawab utama perawat adalah kepada mereka
yang membutuhkan asuhan keperawatan. Perawat DS tidak bertanggungjawab dengan lalai
akan tugasnya meskipun niat awalnya untuk menolong pasien. Namun hal ini mejadi
kelalaian yang berakibat hilangnya nyawa pasien.
Kode etik keperawatan lain yang dilanggar ialah kode etik perawat dan praktik, yaitu
pada poin:
2. Perawat senantiasa memelihara mutu pelayanan keperawatan yang tinggi disertai
kejujuran profesional yang menerapkan pengetahuan serta keterampilan keperawatan
sesuai dengan kebutuhan klien.
3. Perawat dalam membuat keputusan didasarkan pada informasi yang akurat dan
mempertimbangkan kemampuan serta kualifikasi seseorang bila
melakukan konsultasi, menerima delegasi dan memberikan delegasi kepada orang
lain.
9
tindakan yang dilakukan oleh perawat DS tidak sebagai profesional. Pengambilan tindakan
yang dilakukan oleh perawat DS juga tidak dengan informasi yang akurat. Informasi yang
tidak akurat dalam pengkajian perawat DS menyebabkan kelalaian dan menimbulkan dampak
buruk yang lebih besar pada klien atau pasien. Perawat DS juga tidak menolak permintaan
keluarga pasien untuk menangani pasien, padahal kemampuan dan kualifikasi perawat DS
tidak sampai. Padahal perawat DS dapat tidak memaksakan kehendak keluarga nyonya FD .
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perawat DS menghadapi situasi dilema moral dimana ia harus melaksanakan
tanggung jawabnya menolong pasien namun harus menerima resiko terjadinya kelalaian atas
tindakannya yang dapat membawanya ke pengadilan. Perawat DS dinilai telah melanggar
beberapa pasal dalam UU No.36Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No.36 Tahun 2009
tentang TenagaKesehatan, dan UU No.38 Tahun 2014 tentang Keperawatan, serta kode etik
keperawatan. Perawat DS tidak dapat mengajukan pembelaan karena ia tidak melaksanakan
informed consent sesuai prosedur.
B. Saran
Perawat seharusnya dapat memahami undang-undang yang mengatur tentang
pemberian layanan kesehatan atau asuhan keperawatan serta kode etik keperawatan yang ada
di Indonesia dengan baik. Perawat harus cerdas dan kritis sehingga dapat menganggulangi
masalah yang mungkin akan dihadapi seperti pada kasus perawat DS.
Dengan demikian perawat dapat terlindung dari jeratan hukum dan pasien mendapat
pelayanan yang baik serta tidak mengalami kerugian.
11
DAFTAR PUSTAKA
12