Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH

PERLINDUNGAN HUKUM PROFESI BIDAN DALAM PELIMPAHAN


WEWENANG TINDAKAN MEDIS

Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Teori Hukum

Dosen Pembimbing : Bpk Dr. H. Azis Budianto, SH, MH

Penyusun:
Nia Kurnia Al Asyiah
Nunu Nurjana
Agustina Syahroel
Sutardi

PRODI S2 HUKUM
FAKULTAS ILMU HUKUM
UNIVERSITAS BOROBUDUR JAKARTA
2020
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi kami kesempatan serta
kemudahan sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini sesuai dengan waktu
yang di tentukan. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami tidak akan bisa
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Tidak lupa Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-natikan
syafa’atnya di dunia dan akhirat nanti.

Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan. Untuk itu, penulis
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, agar makalah ini
nantinya bisa menjadi makalah yang lebih baik lagi. Demikian, apabila ada
kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak


khususnya kepada dosen kami tercinta, Bpk Dr. H. Azis Budianto, SH, MH, yang
telah membimbing kami dalam menulis makalah ini. Demikianlah yang dapat
kami sampaikan, Semoga makalah ini mampu memberikan manfaat kepada setiap
pembacanya.

Penyusun

Kelompok 2
DAFTAR ISI

JUDUL……………………………………………………………………………………..i
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….ii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………………..iii
BAB 1 PENDAHULUAN.......................................................................................................1
A. Latar belakang..............................................................................................................1
B. Tujuan..........................................................................................................................6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................7
A. Pengertian dan ruang lingkup bidan.............................................................................7
B. Hak dan kewajiban bidan.............................................................................................8
1) Hak bidan.................................................................................................................8
2) Kewajiban bidan.......................................................................................................8
C. Kode etik kebidanan.....................................................................................................9
1. Kewajiban Bidan Terhadap Klien Dan Masyarakat..................................................9
2. Kewajiban Bidan Terhadap Tugasnya....................................................................10
3. Kewajiban Bidan Terhadap Sejawat dan Tenaga Kesehatan Lainnya....................10
4. Kewajiban Bidan Terhadap Profesinya..................................................................11
5. Kewajiban Bidan Terhadap Diri Sendiri.................................................................11
6. Kewajiban Bidan Terhadap Pemerintah, Nusa Bangsa, Dan Tanah Air.................11
D. Perlindungan Hukum..................................................................................................12
1. Pengertian Perlindungan Hukum............................................................................12
2. Perlindungan Hukum Profesi..................................................................................14
a. Asas Perlindungan Hukum Profesi…………………………………..……………………………17

b. Bentuk Perlindungan Hukum Profesi.....................................................................17


c. Dasar Perlindungan Hukum Profesi.......................................................................18
d. Prinsip Perlindungan Hukum Profesi.....................................................................19
e. Perlindungan Hukum Dalam Profesi Bidan............................................................20
BAB III PEMBAHASAN......................................................................................................22
A. Bidan Dalam Kebutuhan Masyarakat.........................................................................22
B. Menakar Kewenangan Bidan Dalam Pendelegasian Wewenang................................24
BAB IV PENUTUP...............................................................................................................29
Kesimpulan........................................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................30
BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan tentang tujuan


Nasional bangsa Indonesia. Untuk mencapai tujuan Nasional tersebut, maka
dilaksanakan upaya pembangunan yang menyeluruh. Termasuk diantaranya
pembangunan kesehatan. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang
dilaksanakan oleh semua komponen bangsa yang bertujuan untuk
meningkatkan kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap
orang untuk mencapai peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-
tingginya.

Kesehatan sebagai hak asasi manusia yang diakui secara konstitusional


dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, sebagai
hak warga negara dan tanggung jawab negara. Hak asasi bidang kesehatan ini
harus diwujudkan melalui pembangunan kesehatan yang diarahkan untuk
meningkatkan kesejahteraan individu, keluarga, dan masyarakat dengan
menanamkan kebiasaan hidup sehat, (Sutrisno, 2017).

Dengan adanya pasal tersebut, maka Pemerintah berkewajiban


memberikan pelayanan kesehatan sebagai wujud pemenuhan 2 terhadap hak
asasi manusia (HAM). Dalam Undang-Undang nomor 39 tahun 1999 tentang
hak asasi manusia, juga menegaskan bahwa hak asasi manusia adalah
seperangkat hak yang melekat pada hakikat, dan keberadaan manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa, dan merupakan anugerahnya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukum, dan pemerintah
dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat
manusia, (Diah Arimbi, 2014).
Pemerintah melalui sistem Kesehatan Nasional, berupaya
menyelenggarakan kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata, dan
dapat diterima serta terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Upaya tersebut
diselenggarakan dengan menitikberatkan pada pelayanan kesehatan untuk
masyarakat luas, guna mencapai derajat kesehatan yang optimal, (Nasution,
2013).

Tenaga kesehatan yang dimaksud menurut Undang-Undang Nomor 36


Tahun 2014, Bab III Pasal 11 adalah Tenaga Medis, Tenaga Psikologi Klinis,
Tenaga Keperawatan, Tenaga Kebidanan, Tenaga Kefarmasian, Tenaga
Kesehatan Masyarakat, Tenaga Kesehatan Lingkungan, Tenaga Gizi, Tenaga
Keterapian Fisik, Tenaga Keteknisian Medis, Tenaga Teknik Biomedika,
Tenaga Kesehatan Tradisional dan Tenaga Kesehatan lain. Dan Bidan
merupakan salah satu tenaga kesehatan yang memiliki posisi penting dan
strategis terutama dalam penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka
Kesakitan dan Kematian Bayi (AKB).

Pelayanan kebidanan merupakan pelayanan yang tidak terpisahkan dari


sistem pelayanan kesehatan. Pelayanan kebidanan merupakan layanan yang
diberikan oleh bidan sesuai dengan kewenangan bidan yang diarahkan untuk
mewujudkan kesejahteraan keluarga terutama ibu dan anak sehingga terwujud
keluarga bahagia, sejahtera dan berkualitas. Bidan memberikan pelayanan
Kebidanan yang berkesinambungan dan paripurna, berfokus pada aspek
pencegahan, promosi dengan berlandaskan kemitraan dan pemberdayaan
masyarakat bersama-sama dengan tenaga kesehatan lainnya untuk senantiasa
siap melayani siapa saja yang membutuhkannya kapan dan dimanapun dia
berada. Bidan diakui sebagai tenaga professional dan akuntabel yang bekerja
sebagai mitra perempuan untuk memberikan dukungan, asuhan dan nasehat,
selama masa hamil, masa melahirkan, dan masa nifas, memimpin persalinan
atas tanggung jawab sendiri, dan memberikan asuhan kepada bayi baru lahir
dan bayi. Asuhan ini mencakup upaya pencegahan, promosi persalinan normal,
deteksi komplikasi pada ibu dan Anak dan akses bantuan medis atau bantuan
lain yang sesuai serta melaksanakan tindakan kegawatdaruratan. Pelayanan
kebidanan merupakan pelayanan yang tidak terpisahkan dari sistem pelayanan
kesehatan. Pelayanan kebidanan merupakan layanan yang diberikan oleh bidan
sesuai dengan kewenangan bidan yang diarahkan untuk mewujudkan
kesejahteraan keluarga terutama ibu dan anak sehingga terwujud keluarga
bahagia, sejahtera dan berkualitas, (Yulifah,dkk, 2014).

Pelayanan Kebidanan yang dimaksud menurut Pasal 18 ayat (1)


Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
369/MenKes/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Bidan, yang dimaksud
pelayanan kebidanan adalah bagian integral dari system Pelayanan Kesehatan
yang diberikan oleh bidan yang telah terdaftar (teregister) yang dapat dilakukan
secara mandiri, kolaborasi atau rujukan. Kewenangan Bidan antara lain
berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
369/MenKes/ SK/III/2007 tentang Standar Profesi Bidan dalam Pasal 22 bahwa
Bidan juga memiliki kewenangan memberikan pelayanan berdasarkan
penugasan dari pemerintah sesuai kebutuhan; dan/atau pelimpahan wewenang
melakukan tindakan pelayanan kesehatan secara mandat dari dokter, (Yussy A.
Mannas, 2018).

Bidan merupakan salah satu tenaga kesehatan yang memiliki posisi


penting dan strategis terutama dalam penurunan Angka Kematian Ibu (AKI)
dan Angka Kematian Bayi (AKB). Bidan memberikan pelayanan kebidanan
yang berkesinambungan dan paripurna, berfokus pada aspek pencegahan,
promosi dengan berlandaskan kemitraan dan pemberdayaan masyarakat
bersama-sama dengan tenaga kesehatan lainnya untuk senantiasa siap melayani
siapa saja yang membutuhkannya, kapan dan dimanapun dia berada. Untuk
menjamin kualitas tersebut diperlukan suatu standar profesi sebagai acuan
untuk melakukan segala tindakan dan asuhan yang diberikan dalam seluruh
aspek pengabdian profesinya kepada individu,keluarga, dan masyarakat,
(As’ad, 2014).
Tindakan medis yang dilakukan oleh bidan hanya atas dasar instruksi baik
lisan maupun tertulis di catatan rekam medis pasien, sering menimbulkan
komplain dari pasien atau keluarganya, sedangkan bidan dalam melaksanakan
pelayanan kebidanan di rumah sakit harus sesuai dengan kewenangan yang
dimilikinya, yang tertuang dalam Surat Penugasan Klinik (SPK-RKK), yang
dikeluarkan oleh direktur rumah sakit. Tindakan pelayanan kesehatan secara
mandat diberikan oleh dokter secara tertulis dan hanya bisa diberikan jika bidan
sudah mendapatkan pelatihan.

Seorang dokter dengan berbagai kesibukannya tidak dapat menyelesaikan


semua tugasnya sendiri, dokter membutuhkan bantuan tenaga kesehatan lain
untuk memenuhi dan menyelesaikan semua tugas yang dibebankan kepadanya.
Untuk memenuhi dan menyelesaikan semua tugas yang dibebankannya
tersebut, seorang dokter dapat melimpahkan wewenangnya kepada tenaga
kesehatan lain, dalam hal ini kepada bidan atau perawat, sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Kita sadari sepenuhnya pada sebagian besar
bidang kehidupan masyarakat sekarang telah dilakukan penormaan terhadap
tingkah laku manusia sehingga hukum melingkupi semua bidang. Penetrasi
hukum ke dalam masyarakat yang sedemikian kental, berakibat pada adanya
tuntutan untuk melakukan perubahan dan perkembangan dari hukum itu sendiri
dan kaitannya dengan masalah-masalah sosial lain juga akan menjadi semakin
intensif, (Umanailo, 2013).

Kewajiban bidan selaku tenaga kesehatan diatur dalam Permenkes No


1464/Menkes/Per/X/2010 Tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan,
dimana Bidan dalam praktiknya berwewenang untuk memberikan pelayanan
kesehatan kepada anak. Pelayanan kesehatan kepada anak diberikan pada masa
bayi (khususnya bayi baru lahir), balita dan anak pra sekolah. Tindakan medis
yang dilakukan oleh bidan hanya atas dasar instruksi baik lisan maupun tertulis
di catatan rekam medis pasien, sering menimbulkan komplain dari pasien atau
keluarganya, sedangkan bidan dalam melaksanakan pelayanan kebidanan di
rumah sakit harus sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya, yang tertuang
dalam Surat Penugasan Klinik (SPK-RKK), yang dikeluarkan oleh direktur
rumah sakit.

Pada bab ini penulis menelaah beberapa penelitian dengan tema yang
sama, untuk penelitian pertama tentang asas kehati-hatian dan tanggung jawab
hukum pidana bidan pada kasus Angka Kematan Ibu dengan mengacu pada
Undang-Undang Kesehatan, Undang-undang Praktek Kedokteran, Permenkes
RI 149 tahun 2010 dan Permenkes RI 369 tahun 2007 serta KUHP asas
kehatian-hatian dalam profesi bidan sudah melekat dikarenakan merupakan
lulusan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan mempunyai
kode etik profesi, standar pelayanan dan adanya pembinaan dan pengawasan
dari pemerintah dan organisasi profesi. Sehingga menimbulkan keselamatan
pasien yang berakibat menurunnya Angka Kematian Ibu, (Jamillah, dkk. 2018).

Penelitian kedua yaitu pertanggungjawaban tindak pidana malpraktek


dikarenakan pengaturan mengenai kualifikasi perbuatan malpraktek tidak jelas
dicantumkan aturan hukumnya, perbuatan malpraktek ini tidak dapat dilihat
dari satu sudut pandang keilmuan saja, melainkan dari segi ilmu hukum juga.
Perbuatan malpraktek mengandung unsur pidana dan perdata hal ini seharusnya
diperhatikan agar setiap pihak tidak memberikan penafsiran masing-masing
menurut keilmuan masing-masing. Faktor penyebab tindak pidana malpraktek
ini masih simpang siur. Di satu sisi pelaku malpraktek tidak dapat
dipersalahkan mengingat perbuatannya dilakukan untuk menyelesaikan suatu
masalah akan tetapi perbuatannya tidak menjamin selesainya masalah tersebut.
Di sisi lain kurangnya profesionalitas dalam menjalankan profesi sehingga
menimbulkan perbuatan malpraktek. (Jan Bosarmen Sinaga, dkk. 2014).
Penelitian ketiga yaitu kasus kegagalan kontrasepsi khususnya AKDR
memang sudah banyak terjadi dimanapun dan kapanpun. Berbagai
kemungkinan terhadap bahaya kegagalan yang di alami dengan pasien
merupakan salah satu efek dari KB. Meskipun hingga saat ini belum ada
tuntutan baik pidana maupun perdata terhadap petugas kesehatan, dan Setiap
orang berhak menuntut ganti rugi terhadap tenaga kesehatan, karena kesalahan
atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya, (Betty Sumiati,
dkk. 2018).

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa diharapkan mengetahui, memahami dan dapat menjelaskan
tentang perlindungan hukum profesi bidan dalam pelimpahan wewenang
tindakan medis.
2. Tujuan Khusus
Mahasiswa mengetahui memahami, serta dapat menjelaskan tentang
perlindungan hukum profesi bidan dalam pelimpahan wewenang tindakan
medis.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan ruang lingkup bidan

Bidan merupakan profesi yang khusus atau orang yang pertama


melakukan penyelamatan kelahiran sehingga ibu dan bayi nya lahir dengan
selamat. Secara lengkap maka Ikatan Bidan Indonesia (IBI) mendefinisikan
bidan sebagai seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan yang diakui
pemerintah dan organisasi profesi diwilayah Negara Republik Indonesia serta
memiliki kompetensi dan kualifikasi untuk deregister, sertifikasi, dan atau
secara sah mendapat lisensi untuk menjalankan praktik kebidanan. Sedangkan
menurut Keputusan Presiden Nomor 23 tahun 1994 Pasal 1 butir 1 menyatakan
bahwa bidan adalah seseorang yang telah mengikuti program pendidikan bidan
dan telah lulus ujian sesuai dengan persyaratan yang berlaku.

Bidan sebagai suatu profesi disiapkan melalui pendidikan formal agar


lulusnya dapat melaksanakan/ mengerjakan pekerjaan yang menjadi tanggung
jawabnya secara professional. Bidan dalam melaksanakan peran, fungsi, dan
tugasnya didasarkan pada kompetensi dan kewenangan yang diberikan, yang
mana diatur dalam Permenkes Nomor 900/Menkes/SK/VIII/2002 wewenang
bidan mencakup : 1) Pelayanan kebidanan yang meliputi pelayanan ibu dan
anak. 2) Pelayanan keluarga berencana, 3) Pelayanan kesehatan masyarakat,
(Maria Wattimena, 2008).

Bidan diakui sebagai tenaga professional yang bertanggung jawab dan


akuntabel, yang bekerja sebagai mitra perempuan untuk memberikan dukungan,
asuhan, dan nasehat selama masa hamil, masa persalinan, dan masa nifas,
memimpin persalinan atas tanggung jawab sendiri dan memberikan asuhan
kepada bayi baru lahir dan juga balita. Asuhan ini mencakup upaya
pencegahan, promosi persalinan normal, deteksi komplikasi pada ibu dan anak,
dan akses bantuan medis atau bantuan lain yang sesuai, serta melaksanakan
tindakan gawat darurat.

B. Hak dan Kewajiban Bidan


Hak dan kewajiban bidan menurut soepardan tahun 2007 dalam bukunya yang
berjudul ”Etika Kebidanan & Hukum Kesehatan” Adalah :
1) Hak Bidan
1) Bidan berhak mendapat perlindungan hukum dalam melaksanakan
tugas sesuai dengan profesinya. 2) Bidan berhak untuk bekerja sesuai
dengan standar profesi pada setia tingkat/ jenjang pelayanan kesehatan. 3)
Bidan berhak menolak keinginan pasien/ klien dan keluarga yang
bertentangan dengan peraturan perundangan, dan kode etik profesi. 4)
Bidan berhak atas privasi dan menuntut apabila nama baiknya dicemarkan
baik oleh keluarga, maupun profesi lain. 5) Bidan berhak atas kesempatan
untuk meningkatkan diri baik melalui pendidikan maupun pelatihan.
2) Kewajiban Bidan
1) Bidan wajib mematuhi peraturan rumah sakit sesuai dengan hubungan
hukum antara bidan tersebut dengan rumah sakit dan sarana pelayanan
dimana ia bekerja. 2) Bidan wajib memberikan pelayanan asuhan
kebidanan sesuai dengan standar profesi dengan menghormati hak hak
pasien. 3) Bidan wajib merujuk pasien dengan penyulit kepada dokter
yang mempunyai kemampuan dan keahlian sesuai dengan kebutuhan
pasien. 4) Bidan wajib memberi kesempatan kepada pasien untuk
didampingi oleh suami atau keluarga. 5) Bidan wajib memberikan
kesempatan kepada pasien untuk menjalankan ibadah sesuai dengan
keyakinannya. 6) Bidan wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang seorang pasien. 7) Bidan wajib memberikan
informasi yang akurat tentang tindakan yang akan dilakukan serta resiko
yang mungkin dapat timul. 8) Bidan wajib meminta tertulis (informed
consent) atas tindakan yang akan dilakukan. 9) Bidan wajib
mendokumentasikan asuhan kebidanan yang diberikan. Bidan wajib
mengikuti perkembangan iptek dan menambah ilmu pengetahuannya
melalui pendidikan formal atau non formal. 11) Bidan wajib bekerjasama
dengan profesi lain dan pihak yang terkait secara timbal balik dalam
memberikan asuhan kebidanan.

C. Kode Etik Kebidanan


Kode etik adalah norma norma yang harus diindahkan oleh setiap profesi
dalam melaksanakan tugas profesinya dan hidupnya dimasyarakat. Norma
tersebut berisi petunjuk bagi anggota profesi tentang bagaimana mereka harus
menjalankan profesinya dan larangan, yaitu ketentuan tentang apa yang boleh
dan tidak boleh diperbuat atau dilaksanakan oleh anggota profesi, tidak saja
dalam menjalankan tugas profesinya, melainkan juga menyangkut tingkah laku
pada umumnya dalam pergaulan sehari hari didalam masyarakat. Menurut
(Soepardan, 2007), Kode etik kebidanan terdapat 6 bagian antara lain sebagai
berikut:
1. Kewajiban Bidan Terhadap Klien Dan Masyarakat
a. Setiap bidan senantiasa menjunjung tinggi, menghayati dan
mengamalkan sumpah jabatannya dalam melaksankan tugas
pengabdiannya.
b. Setiap bidan dalam menjalankan tugas profesinya menjunjung
tinggi harkat dan martabat kemanusiaan yang utuh dan memelihara
citra bidan.
c. Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa berpedoman
pada peran, tugas, dan tanggung jawab sesuai dengan kebutuhan
klien, keliarga, dan masyarakat.
d. Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya mendahulukan
kepentingan klien, menghormati hak klien dan nilai nilai yang
dianut oleh klien,
e. Setiap bidan dalam menjalakan tugasnya senantiasa mendahulukan
kepentingan klien, keluarga dan masyarakat dengan identitas yang
sama sesuai dengan kebutuhan berdasarkan kemampuan yang
dimilikinya.
f. Setiap bidan senantiasa menciptakan suasana yang serasi dalam
hubungan pelaksanaan tugasnya dengan mendorong partisipasi
masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatannya secara
optimal.

2. Kewajiban Bidan Terhadap Tugasnya


a. Setiap bidan senantiasa memberikan pelayanan paripurna kepada
klien, keluarga dan masyarakat sesuai dengan kemampuan profesi
yang dimilikinya berdasarkan kebutuhan klien, keluarga dan
masyarakat.
b. Setiap bidan berkewajiban memberikan pertolongan sesuai dengan
kewenangan dalam mengambil keputusan termasuk mengadakan
konsultasi dan/ atau rujukan.
c. Setiap bidan harus menjamin kerahasiaan keterangan yang didapat
dan/ atau dipercayakan kepadanya, kecuali bila diminta oleh
pengadilan atau diperlukan sehubungan dengan kepentingan klien.

3. Kewajiban Bidan Terhadap Sejawat dan Tenaga Kesehatan Lainnya


a. Setiap bidan harus menjalin hubungan dengan teman sejawatnya
untuk suasana kerja yang serasi.
b. Setiap bidan dalam melaksanakan tugasnya harus saling
menghormati baik terhadap sejawatnya maupun tenaga kesehatan
lainnya.
4. Kewajiban Bidan Terhadap Profesinya
a. Setiap bidan harus menjaga nama baik dan menjunjung tinggi citra
profesinya dengan menampilkan kepribadian yang tinggi dan
memberikan pelayanan yang bermutu kepada masyarakat.
b. Setiap bidan senantiasa mengembangkan diri dan meningkatkan
kemampuan profesinya sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
c. Setiap bidan senantiasa berperan serta dalam kegiatan penelitian
dan kegiatan sejenisnya yang dapat meningkatkan mutu dan citra
profesinya.

5. Kewajiban Bidan Terhadap Diri Sendiri


a. Setiap bidan harus memelihara kesehatannya agar dalam
melaksanakan tugas profesinya dengan baik.
b. Setiap bidan harus berusaha secara terus menerus untuk
meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

6. Kewajiban Bidan Terhadap Pemerintah, Nusa Bangsa, Dan Tanah


Air
a. Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya, senantiasa melaksanakan
ketentuan ketentuan pemerintah dalam bidang kesehatan, khususnya
dalam pelayanan KIA/ KB dan kesehatan keluarga dan masyarakat.
b. Setiap bidan melalui profesinya berpartisipasi dan menyumbangkan
pemikirannya kepada pemerintah untuk meningkatkan mutu
jangkauan pelayanan kesehatan terutama pelayanan KIA/ KB dan
kesehatan keluarga. Sesuai dengan kewenangan dan peraturan
kebijakan yang berlaku bagi bidan, kode etik merupakan pedoman
dalam tata cara keselarasan dalam pelaksanaan pelayanan
kebidanan professional, (Diah, 2012).

D. Perlindungan Hukum
1. Pengertian Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum dalam bahasa Inggris disebut legal protection,
sedangkan dalam bahasa Belanda disebut Rechtsbecherming.
Perlindungan kepada segenap bangsa Indonesia dapat berupa
perlindungan secara fisik maupun perlindungan secara hukum.
Perlindungan fisik adalah perlindungan yang berkaitan dengan kebendaan
atau materi. Sedangkan perlindungan hukum adalah perlindungan
terhadap hak-hak yang dimiliki oleh setiap warga Negara Indonesia.

Pengertian perlindungan dalam ilmu hukum adalah suatu bentuk


pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau
aparat keamanan untuk memberikan rasa aman, baik fisik maupun mental,
kepada korban dan sanksi dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan
dari pihak manapun yang diberikan pada tahap penyelidikan, penuntutan,
dan atas pemeriksaan di sidang pengadilan. Aturan hukum tidak hanya
untuk kepentingan jangka pendek saja, akan tetapi harus berdasarkan
kepentingan jangka panjang. Pemberdayaan masyarakat adalah sebuah
konsep pembangunan ekonomi yang merangkum nilai-nilai sosial.
Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi
hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan suatu keadilan,
ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.

Di dalam merumuskan prinsip-prinsip perlindungan hukum di


Indonesia, landasannya adalah Pancasila sebagai ideology dan falsafah
Negara. Konsepsi perlindungan hukum bagi rakyat di Barat bersumber
pada konsep-konsep Rechtstaat dan “Rule of The Law”. Dengan
menggunakan konsepsi Barat sebagai kerangka berpikir dengan landasan
pada Pancasila, prinsip perlindungan hukum di Indonesia adalah prinsip
pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang
bersumber pada Pancasila (Masrudi Muchtar, 2014: 55). Menurut Muktie,
A.Fadjar mengatakan bahwa:

“Perlindungan hukum adalah penyempitan arti dari perlindungan, dalam


hal ini hanya perlindungan oleh hukum saja. Perlindungan yang diberikan oleh
hukum, terkait pula dengan adanya hak dan kewajiban, dalam hal ini yang
dimiliki oleh manusia sebagai subyek hukum dalam interaksinya dengan sesama
manusia serta lingkungannya. Sebagai subyek hukum manusia memiliki hak dan
kewajiban untuk melakukan suatu tindakan hukum.”

Philipus M. Hadjon, mengatakan bahwa: “Perlindungan Hukum


adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap
hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan
ketentuan hukum dari kesewenangan.” Perlindungan hukum bagi rakyat
meliputi dua hal, yaitu (Philipus, 1987:5):
1. Perlindungan Hukum Preventif, yakni bentuk perlindungan hukum
dimana kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan
keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah
mendapat bentuk definitif. Dalam perlindungan hukum preventif
ini, bahwa hukum mencegah terjadinya sengketa. Fungsi ini
dituangkan dalam bentuk peraturan-peraturan pencegahan yang
pada dasarnya merupakan patokan bagi setiap tindakan yang akan
dilakukan masyarakat, meliputi seluruh aspek tindakan manusia.
2. Perlindungan Hukum Represif, yakni bentuk perlindungan hukum
dimana lebih ditujukan dalam penyelesaian sengketa. Untuk
menjalankan perlindungan hukum yang represif bagi rakyat
Indonesia, terdapat berbagai badan yang secara parsial
mengurusnya. Badan-badan tersebut selanjutnya dikelompokan
menjadi 2 bagian, yaitu:
a. Pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum;
b. Instansi Pemerintah yang merupakan lembaga banding
administrasi Penanganan perlindungan hukum bagi rakyat
melalui instansi pemerintah yang merupakan lembaga
banding administrasi adalah permintaan banding terhadap
suatu tindak pemerintah oleh pihak yang merasa dirugikan
oleh tindakan pemerintah tersebut. Sehingga, instansi
pemerintah yang berwenang untuk mengubah bahkan dapat
membatalkan tindakan pemerintah tersebut.

2. Perlindungan Hukum Profesi

Teori perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan


segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada
dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur
hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara
perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan
masyarakat. Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra berpendapat bahwa hukum
dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak
sekedar adaptif dan fleksibel melainkan juga prediktif dan antisipatif,
(Rasjidi, 2003). Pendapat Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum
dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial,
ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan, (Hartono, 2011).

Menurut pendapat Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta tentang fungsi


hukum untuk memberi perlindungan adalah bahwa hukum itu
ditimbuhkan dan dibutuhkan manusia justru berdasarkan produk penilaian
manusia untuk menciptakan kondisi yang melindungi dan memajukan
martabat manusia serta untuk memungkinkan manusia menjalani
kehidupan yang wajar sesuai dengan martabatnya,( Rasjidi, 1994).
Perlindungan terhadap masyarakat mempunyai banyak dimensi
yang salah satunya adalah perlindungan hukum. Perlindungan hukum
bagi setiap warga Negara Indonesia tanpa terkecuali, dapat ditemukan
dalam Undang undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD
1945), untuk itu setiap produk yang dihasilkan oleh legislative harus
senantiasa mampu memberikan jaminan perlindungan hukum bagi semua
orang bahkan harus mampu menangkap aspirasi-aspirasi hukum dan
keadilan yang berkembang di masyarakat. Hal tersebut, dapat dilihat dari
ketentuan yang mengatur tentang adanya persamaan kedudukan hukum
bagi setiap Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali, (sutrisno, 2017).

Perlindungan hukum adalah suatu jaminan yang diberikan oleh


otoritas tertentu kepada semua pihak untuk dapat melaksanakan hak dan
kepentingan hukum yang dimilikinya dalam kapasitasnya sebagai subyek
hukum. Perlindungan hukum diberikan bagi tenaga kesehatan sebagai
subyek hukum yang melakukan tugasnya sesuai dengan standar
profesinya.

Argumen lain yang mengedepankan pentingnya perlindungan


hukum bagi bidan adalah berdasarkan argumen solidaritas sosial (social
solidarity argument). Argumen ini mengatakan bahwa negara harus
menjaga warga negaranya dalam memenuhi kebutuhan kebutuhannya
atau apabila warga negaranya mengalami kesukaran, melalui kerjasama
dalam masyarakat berdasarkan atau menggunakan sarana‐sarana yang
disediakan oleh negara. Hal ini dapat dilakukan melalui pelayanan dari
peningkatan hak.

Perlindungan hukum bagi bidan tidak lepas dari pembahasan


mengenai hak dan kewajiban bidan dalam menjalankan tugas
pelayanannya secara profesional. Tugas pelayanan seorang bidan berupa
pelayanan asuhan kebidanan sesuai dengan standar prosedural yang
berlaku di sarana kesehatan baik umum maupun swasta.
a. Asas Perlindungan Hukum Profesi
Asas‐asas yang terkandung dalam perlindungan hukum dapat
berupa:
a) Asas Keadilan Aristoteles mendekati masalah keadilan dari
segi persamaan. Menurutnya, harus ada persamaan dalam
bagian yang diterima oleh orang‐orang karena rasio dari yang
dibagi harus sama dengan risiko dari orang‐orangnya.
Keadilan menurut teori Aristoteles dibedakan dalam keadilan
komunitatif dan keadilan distributif. Disamping asas
persamaan, beberapa ahli juga mengatakan bahwa di dalam
asas keadilan tercermin adanya nilai kebenaran. Kebenaran
berarti melakukan segala sesuatu dengan benar sesuai dengan
aturan atau prosedur tatacara yang berlaku. Satjipto Rahardjo
merumuskan bahwa bertindak adil adalah sama dengan
bertindak secara benar dan keadilan adalah suatu usaha untuk
mengejar kebenaran. John Rawls menyikapi konsep keadilan
adalah sebagai asas yang terkandung bagi orang‐orang yang
merdeka dalam berkehendak untuk mengembangkan
kepentingankepentingannya guna memperoleh suatu
kedudukan yang sama pada saat akan memulainya dan itu
merupakan syarat yang fundamental bagi mereka untuk
memasuki perhimpunan yang mereka kehendaki. Asas
keadilan ini menuntut adanya nilai kemerdekaan bagi subyek
hukum dalam melakukan perbuatan hukumnya.
b) Asas Kemanfaatan
Asas kemanfaatan merupakan kedayagunaan dalam kaidah
hukum. Keberadaannya sangat penting terutama pada kaidah
hukum yang bersifat mengatur. Subyek hukum akan mentaati
hukum tanpa perlu dipaksakan bila mereka merasakan
manfaat dari kepatuhan terhadap aturan hukum tersebut.
Kedayagunaan meliputi pemuasan kepentingan umum,
pelaksanaan yang praktis, kemungkinan untuk kontrol, aspek-
aspek pembuktian secara hukum dan usaha untuk mencari
kepastian hukum. Lebih lanjut menurutnya kedayagunaan
merupakan tujuan dalam penyelesaian hukum.

c) Asas Kepastian hukum


Asas kepastian hukum berarti memberikan jaminan
kepastian hukum bagi subyek hukum dalam menjalankan
perbuatan hukum yang terkait di dalam aturan‐aturan hukum
positif. Pengertian mengenai kepastian hukum ini
mempunyai tiga arti yaitu pasti mengenai peraturan
hukumnya yang mengatur masalah kepentingan hukum
tertentu, pasti mengenai kedudukan hukum dari subyek dan
obyek hukumnya dalam pelaksanaan peraturan‐peratruan
hukum tersebut, serta mencegah timbulnya perbuatan
sewenang‐wenang (eigenrichting) dari pihak manapun
termasuk pihak yang berkuasa.

b. Bentuk Perlindungan Hukum Profesi


Perlindungan hukum secara perventif bertujuan untuk
mencegah pelanggaran, sedangkan perlindungan hukum secara
represif berupa sanksi hukuman atas terjadinya pelanggaran dengan
maksud untuk menimbulkan efek jera. Jadi, salah satu sifat dan
sekaligus merupakan tujuan dari hukum adalah memberikan
perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Oleh karena itu,
perlindungan hukum terhadap masyarakat tersebut harus
diwujudkan dalam bentuk adanya kepastian hukum. Selanjutnya
hukum dapat melindungi hak dan kewajiban setiap individu dalam
masyarakat. Dengan perlindungan hukum yang pokok, akan
terwujud tujuan hukum secara umum yakni ketertiban, keamanan,
ketentraman, kesejahteraan, kedamaian, kebenaran, dan keadilan.
Menurut (Masrudi, 2016 ) Indikator perlindungan hukum bagi bidan
yaitu :
1) Perlindungan dari gangguan orang lain atau kelompok yang
merugikan bagi profesi bidan.
2) Perlindungan individu tersangka atas terdakwa dalam suatu
perkara pidana terhadap kemungkinan timbulnya tindakan
kesewenangan oknum aparat penegak hukum.
3) Perlindungan untuk mendapatkan keadilan dan tanpa adanya
diskriminasi.

c. Dasar Perlindungan Hukum Profesi


Perlindungan hukum diperlukan baik oleh pasien maupun
tenaga medis dalam hal ini bidan, karena hukum berfungsi sebagai
perlindungan bagi masyarakat. Agar terlindungi, hukum harus
dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal,
damai, tetapi dapat juga terjadi pelanggaran hukum. Pelanggaran
hukum terjadi ketika subjek hukum tertentu tidak menjalankan
kewajiban yang seharusnya dijalankan atau karena melanggar hak-
hak subjek hukum lain, (Raharjo, 2000).

Dalam hal ini berarti pemerintah memberikan jaminan dan


kemudahan kepada bidan dalam penyelenggaraan prakteknya
memberikan pelayanan kebidanan. Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2009 tentang Kebidanan, lebih sepesifik mengatur hak-hak
bidan, namun sayangnya bentuk peraturan ini hanya peraturan
menteri sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat
karena tidak termasuk dalam jenis dan hierarkhi peraturan
perundang-undangan dan tidak diperintahkan oleh peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi, sehingga tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat berdasarkan pasal 7 undang-undang
Nomor 10 Tahun 2004.

Jenis dan hierarkhi peraturan perundang-undangan yang


mempunyai kekuatan hukum mengikat berdasarkan pasal 7 undang-
undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang pembentukan peraturan
perundang-undangan, sebagai berikut :
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;
b. Undang-Undang atau Peraturan pengganti Undang-undangan
c. Peraturan Pemerintah.
d. Peraturan Presiden.
e. Peraturan Daerah.
f. Peraturan perundang-undangan lain yang diperintahkan oleh
peraturan perundang undangan yang lebih tinggi.

d. Prinsip Perlindungan Hukum Profesi

Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah


bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut
sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada
pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan
pemerintah.9Aspek dominan dalam konsep barat tertang hak asasi
manusia menekankan eksistensi hak dan kebebasan yang melekat
pada kodrat manusia dan statusnya sebagai individu, hak tersebut
berada di atas negara dan di atas semua organisasi politik dan
bersifat mutlak sehingga tidak dapat diganggu gugat. Karena
konsep ini, maka sering kali dilontarkan kritik bahwa konsep Barat
tentang hak-hak asasi manusia adalah konsep yang individualistik.
Kemudian dengan masuknya hak-hak sosial dan hak-hak
ekonomi serta hak kultural, terdapat kecenderungan mulai
melunturnya sifat indivudualistik dari konsep Barat. Dalam
merumuskan prinsip-prinsip perlindungan hukum di Indonesia,
landasannya adalah Pancasila sebagai ideologi dan falsafah negara.
Konsepsi perlindungan hukum bagi rakyat di Barat bersumber pada
konsep-konsep Rechtstaat dan ”Rule of The Law”. Dengan
menggunakan konsepsi Barat sebagai kerangka berfikir dengan
landasan pada Pancasila, prinsip perlindungan hukum di Indonesia
adalah prinsip pengakuan dan perlindungan terhadap harkat dan
martabat manusia yang bersumber pada Pancasila. Prinsip
perlindungan hukum terhadap tindak pemerintah bertumpu dan
bersumber dari konsep tentang pengakuan danperlindungan
terhadap hak-hak asasi manusia karena menurut sejarahnya di
Barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan
terhadap hak-hak asasi menusia diarahkan kepada pembatasan-
pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah.

e. Perlindungan Hukum Dalam Profesi Bidan

Konsep pengaturan profesionalisme bidan yaitu adanya nilai-


nilai keadilan dalam pengaturan profesionalisme bidan. Hal ini
dapat mewujudkan professionalisme bidan yang berkeadilan.
Keadilan dalam pelayanan kebidanan memberikan kedudukan pada
bidan setara dengan profesi tenaga kesehatan lainnya. Bidan sebagai
pemberi jasa layanan kesehatan tidak hanya bekerja sendiri, tetapi
sebagai bagian dari tenaga kesehatan lainnya. Semua harus
dilakukan secara sinergis, jika terbaikan nilai keadilannya maka
akan berakibat pada perlakuan ketidakadilan pada unsur lainnya.
Keadilan memiliki nilai kesetaraan dan keseimbangan manfaat
sehingga dapat dijadikan dasar dalam penyusunan peraturan
perundang-undangan dalam hal ini regulasi dalam kebidanan.

Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mewujudkan


keadilan dalam regulasi kebidanan yaitu :
1) Melakukan penyempurnaan atau revisi regulasi kebidanan
agar bersifat dinamis yang mampu beradaptasi dengan
kepentigan semua pihak terutama bagi profesi bidan itu
sendiri.
2) Memberikan sosialisasi kepada bidan-bidan baik praktik
mandiri bidan, bidan di RS maupun institusi kebidanan terkait
hukum kesehatan khususnya yang berkaitan dengan profesi
kebidanan.
3) Melakukan diseminasi hukum kesehatan dilingkungan
pendidikan formal maupun non formal dengan nilai-nilai
keadilan.
4) Memasukkan materi etikolegal dalam praktik kebidanan yang
mencerminkan nilai keadilan dalam setiap kurikulum
pendidikan bidan dan pendidikan kesehatan
5) Melakukan koordinasi dengan stakeholders dalam cakupan
hukum kesehatan mulai dari aspek penyusunan, pelaksanaan
maupun penegakan hukumnya baik dari tingkat pusat maupun
daerah.
6) Melakukan pembinaan kesadaran akan hukum yang
mencerminkan nilai keadilan kepada semua pihak yang
berkaitan dengan pelayanan kebidanan.

BAB III
PEMBAHASAN

A. Bidan Dalam Kebutuhan Masyarakat

Peningkatan sumber daya manusia melalui pendidikan memegang kunci


untuk membangun pemahaman masyarakat tentang norma hukum, education is
an activity that empowers public through giving relevant knowledge
(Nurwardani, 2016), sehingga dapat mewujudkan kesadaran masyarakat
terhadap hak dan kewajibannya, termasuk pada aspek pemahaman perlindungan
hukum yang dapat dibangun untuk tenaga kesehatan. Hal ini sangat beralasan
mengingat hukum sebagai suatu sistem yang ada di masyarakat, sehingga harus
ada penegasan bahwa pemahaman terhadap hukum harus memahami
paradigmanya, sekalipun an approach that is still under further discussion
through a more holistic alternative paradigm, (Sulaiman, 2018). Untuk itu,
masalah penegakan hukum tidak hanya sekedar penegakan teks-teks yang
tertuang didalam produk perundang-undang tetapai banyak faktor yang dapat
mempengaruhi hal tersebut, the are factors that influence law enforcement.
These factors have a neutral meaning so that the positive or negative impact
lies in certain factors that influence it, (Sutrisno dkk, 2019).
Perlindungan hukum menjadi persoalan yang tidak mudah untuk
diimplementasikan, termasuk kaidah hukum yang mengatur di bidang
kesehatan. Jaminan perlindungan hukum ini penting terutama untuk tenaga
kesehatan dalam konteks membangun kepercayaan pemangku kepentingan di
bidang kesehatan, hal ini mengarah kepada upaya mewujudkan kesadaran
hukum dan kepatuhan hukum tenaga kesehatan. Pengertian perlindungan
hukum yaitu memberikan pengayoman kepada hak asasi manusia yang
dirugikan orang lain dan perlindungan tersebut diberikan kepada masyarakat
agar mereka dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum atau
dengan kata lain perlindungan hukum adalah berbagai upaya hukum yang harus
diberikan oleh aparat penegak hukum untuk memberikan rasa aman, baik secara
pikiran, maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak
manapun, (Hidayat, 2016).

Koridor yang hendak dicapai melalui tatanan hukum tertib sosial, rasa
aman, kemanfaatan eksistensi norma hukum dan kesejahteraan masyarakat, hal
ini mengacu kepada cara berhukum masyarakat. Keberlakuan norma hukum
tertulis dalam wujud produk perundang-undangan diantaranya UndangUndang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Undang-Undang Nomor 44 Tahun
2009 tentang Rumah Sakit, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang
Tenaga Kesehatan, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
369/Menkes/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Bidan, Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 49 Tahun 2013 tentang Komite Keperawatan Rumah Sakit,
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28 Tahun 2017 tentang Ijin dan
Penyelenggaraan Praktek Bidan, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2052
Tahun 2011 tentang Ijin Praktek dan Pelaksanaan Praktek Kedokteran menjadi
acuan dasar untuk hubungan hukum yang dibangun dalam upaya perlindungan
profesi untuk tindakan medis yang dilakukan oleh Bidan. Pelayanan kebidanan
yang dimaksud menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 369/MenKes/SK/III/2007 tentang Standar Profesi Bidan, yang
dimaksud Pelayanan Kebidanan bagian integral dari Sistem Pelayanan
Kesehatan yang diberikan oleh Bidan yang telah terdaftar (teregister) yang
dapat dilakukan secara mandiri, kolaborasi atau rujukan, sesuai Keputusan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 369/Menkes/SK/III/Per/IX/2010
tentang Standar Profesi Bidan.

Kualifikasi tenaga kesehatan berdasarkan Undang-Undang Nomor 36


Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, dalam Pasal 9, yang dimaksud tenaga
kesehatan harus memiliki kualifikasi minimum D3, kecuali tenaga medis. Hal
ini berlaku juga untuk tenaga bidan yang boleh memberikan pelayanan
langsung kepada klien/pasien, adalah bidan yang minimal pendidikannya
adalah lulusan D3 Kebidanan, (Trianengsih, 2019).

Bidan yang akan menjalankan praktek profesinya harus kompeten yang


dibuktikan dengan sertifikat kompetensi atau sertifikat profesi. Sertifikat
tersebut diperoleh melalui proses sertifikasi yang dilaksanakan oleh perguruan
tinggi, dan pelaksanaannya bekerjasama dengan organisasi profesi, lembaga
pelatihan atau lembaga sertifikasi yang terakreditasi (Undang-Undang Nomor
36 Tahun 2014, diatur pada Pasal 21 ayat (2). Sertifikat Kompetensi diberikan
pada lulusan akademi kebidanan, sedangkan sertifikat Profesi diberikan kepada
lulusan sarjana ditambah program profesi kebidanan selama 1 tahun. Kebijakan
uji kompetensi dan penerbitan sertifikat kompetensi (Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan). Uji kompetensi, yang dilaksanakan
oleh Institusi pendidikan (perguruan tinggi) bekerja sama dengan organisasi
profesi atau badan terakreditasi. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan Bab IV Bagian Kedua Pengadaan dalam
Pasal 21 ayat(1), mahasiswa bidang kesehatan pada akhir masa pendidikan
vokasi dan profesi harus mengikuti uji kompetensi secara nasional.

B. Menakar Kewenangan Bidan Dalam Pendelegasian Wewenang


Kewenangan Bidan dalam melaksanakan pelimpahan wewenang dari
tenaga medis sesuai asas legalitas, bidan sebagai “penerima” wewenang dan
dokter sebagai pemberi wewenang, harus benar-benar melaksanakan ketentuan
sesuai peraturan-peraturan tentang pelimpahan wewenang tindakan medis,
untuk itu profesi tenaga medis, dokter dan bidan serta perawat pada saat
melakukan praktek harus selalu mengacu kepada standar profesi yang telah
ditetapkan hal ini sangat penting mengingat manakala terjadi kelalaian dan
kesalahan dapat berakibat hukum dan etik. Pelaksanaan profesi ini harus benar-
benar profesional. Pelimpahan wewenang dari dokter (delegans) kepada Bidan
dalam melakukan pelayanan medis merupakan pelimpahan wewenang mandat,
karena pemberi wewenang (delegans) tetap bertanggung jawab terhadap
tindakan medis yang dilimpahkannya kepada penerima wewenang
(delegataris), hubungan kewenangan profesi dokter dan bidan seperti yang
diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan, (Hadiwijaya dkk, 2010).

Kewenangan bidan dalam penyelenggaraan praktek kebidanan diatur


dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2017
tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktek Bidan. Kewenangan bidan yang
diatur dalam peraturan menteri tersebut merupakan kewenangan hukum seorang
tenaga kesehatan yang dimiliki untuk melaksanakan pekerjaannya.
Kewenangan ini memberikan hak kepada bidan untuk bekerja sesuai dengan
bidangnya. Dalam hal ini bidan dalam melaksanakan praktek kebidanannya di
rumah sakit terikat dengan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh direktur
rumah sakit, maupun standar profesi yang dikeluarkan oleh profesi bidan dan
perundangundangan yang berlaku, (Lex Crimen, 2015).

Profesi bidan di rumah sakit dalam melaksanakan praktek kebidanannya,


direktur rumah sakit menerbitkan surat penugasan klinik bagi setiap bidan yang
akan melaksanakan praktek kebidanananya; Nursing Staf By Laws (NSBL),
surat keputusan sudah mengatur tentang kewenangan klinis bagi setiap Bidan,
semua asuhan keperawatan/kebidanan hanya boleh dilakukan oleh staf
Keperawatan yang telah diberi kewenangan klinis melalui proses kredensial
atau re-kredensial. Proses kredensial atau re-kredensial adalah proses untuk
menentukan kelayakan pemberian kewenangan klinik, jadi setiap bidan yang
akan melaksanakan praktek kebidanannya di rumah sakit harus berdasarkan
Surat Penugasan dari direktur. Hal yang perlu diperhatikan oleh bidan bahwa
didalam institusi pelayanan terdapat beberapa praktisi dan profesi pelayanan
kesehatan, walaupun ada beberapa praktisi serta profesi pelayanan kesehatan,
subyek pelayanan hanya satu, yaitu manusia atau individu. Oleh karena itu
setiap praktisi ataupun profesi harus jelas batas kewenangannya, dan batas
wewenang tersebut telah disetujui oleh antar profesi dan merupakan daftar
wewenang yang sudah tertulis yang tertuang didalam rincian kewenangan.
Apabila tiap profesi tersebut melanggar batas wewenangnya, maka akan terjadi
konflik antar para praktisi atau profesi pemberi pelayanan tersebut. Untuk
mengantisipasi terjadinya konflik peran, setiap profesi telah membuat suatu
standar, yaitu standar profesi, standar pelayanan maupun standar prosedur
operasional.

Standar-standar tersebut merupakan alat bagi semua praktisi atau profesi


untuk melaksanakan pelayanan kepada pasien. Dan dalam hal pengaturan
tentang memberikan pelayanan tertuang pada produk perundang-undangan,
seperti profesi bidan diatur dalam peraturan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia Nomor 28 Tahun 2017 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktek
Bidan. Rumah sakit sebagai salah satu tempat atau institusi, bidan dapat
melaksanakan pelayanannya, kewenangannya juga diatur menurut standar-
standar yang berlaku di rumah sakit. Sebagaimana diketahui karakteristik
rumah sakit sebagai lembaga yang cukup kompleks, sangat rentan terhadap
masalah hukum sejalan dengan fungsinya yang sudah tidak mungkin
diselenggarakan sebagai lembaga kemanusiaan, ( Michael, 2019).
Kegiatan rumah sakit dapat dipengaruhi oleh kesadaran hukum
masyarakat terhadap hak-haknya, melalui keseluruhan regulasi yang ada
tatanan tersebut menuntut setiap anggota masyarakat memahami norma hukum
yang berlaku untuk mengimplementasikan hak-hak dan kewajiban yang
melekat,( Rahmawati, 2010).

Regulasi pelimpahan wewenang tindakan medis kepada profesi bidan


dalam pelayanan kesehatan di rumah sakit yaitu Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2014 tentang tenaga Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 38 Tahun
2014 tentang Keperawatan, serta 3 (tiga) Peraturan Menteri Kesehatan, yaitu
Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 2052/MENKES/PER/X/2011 tentang
Izin Praktek dan Pelaksanaan Praktek Kedokteran, Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2017 tentang Ijin dan
Penyelenggaran Praktek Bidan serta Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 49
Tahun 2013 tentang Komite Keperawatan, (Busroh, 2017).

Kepastian hukum menurut Usman tahun 2014 dapat tercapai jika


peraturan dirumuskan secara jelas sehingga tidak menimbulkan penafsiran yang
beragam dan menjadi pedoman untuk pelaksanaan yang sama, dan bahwa
peraturan yang ada akan dilaksanakan secara konsekuen dan konsisten. Hal
tersebut, dimaksudkan untuk upaya pencapaian tujuan hukum dalam proses
bekerjanya hukum di masyarakat di bidang kesehatan sehingga persoalan rasa
keadilan di masyarakat, kepastian hukum dan kegunaaan dari norma hukum
yang dibentuk dapat tercapai dengan baik, serta pada aspek lain peraturan yang
diterbitkan memenuhi persyaratan formal berkenaan dengan bentuk pengaturan
sesuai tata urutan peraturan perundangundangan dan secara substansial materi
yang diatur tidak tumpang tindih dan tidak bertentangan dengan peraturan lain
yang relevan yang lebih tinggi tingkatannya (sinkron secara vertikal) ataupun
tidak bertentangan dengan peraturan lain yang sejajar tingkatannya (sinkron
secara horisontal).
Bidan dalam menerima pelimpahan wewenang tindakan medis dari
dokter, manakala terjadi dugaan penyalahgunaan wewenang dan
mengakibatkan kerugian bagi pasien, tidak hanya bidan sendiri yang
bertanggungjawab secara hukum, Dokter juga ikut bertanggung jawab secara
hukum, sebab dapat terjadi oleh sebab kesalahan dalam memberikan
pelimpahan wewenang. Oleh karena itu perlu dilakukan telaah terhadap rekam
medis pasien, dimana letak kesalahan yang terjadi, apakah bidan dalam
melaksanakan pelimpahan wewenang sudah sesuai standar-standar yang ada di
rumah sakit atau tidak, ataukah justru kesalahan ada pada dokter sebagai
pemberi pelimpahan wewenang. Jika terbukti adanya kesalahan, yang
menyebabkan adanya tuntutan, perdata maupun pidana, disebabkan ada
hubungan hukum perikatan. Selain tanggung jawab perdata, gugatan kepada
dokter, maupun bidan dapat digugat atau dituntut secara pidana, (Fathudin,
2015).

Rumah Sakit dapat bertanggung jawab sebab posisi yaitu penyedia


layanan kesehatan yang sepatutnya mampu memberikan layanan kesehatan
dengan kualifikasi mampu membangun rasa aman kepada pasein, kualitas
layanan yang terjamin bermutu, tidak melakukan tindakan diskriminasi
terhadap pasein serta mengutamakan kepentingan keselamatan pasein hal ini
adalah kewajiban Rumah Sakit untuk memenuhi tuntutan layanan tersebut,
sehingga bilamana terjadi pelanggaran atas pelimpahan wewenang dari
tindakan medis yang dilakukan oleh bidan atau dokter, kedudukan hukum
rumah sakit tetap harus dapat turut serta mempertanggungjawabkan terhadap
pelimpahan wewenang tersebut, (Kristian, 2014).
BAB IV
PENUTUP

Kesimpulan

Regulasi pelimpahan wewenang tindakan medis telah diatur dalam beberapa


peraturan perundang-undangan maupun peraturan menteri kesehatan. dan
pelaksanaan pelimpahan wewenang tindakan medis kepada profesi bidan di rumah
mengacu kepada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 28 Tahun
2017 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktek Bidan, Dan rumah sakit harus
mengatur secara teknis operasional tentang pelimpahan wewenang tindakan medis
tersebut menyangkut bagaimanakah mekanisme pelimpahan wewenang, maupun
jenis-jenis tindakan medis apa saja yang bisa dilimpahkan secara delegasi maupun
mandat. Hospital by laws merupakan peraturan internal rumah sakit, yang mengatur
tentang pengelolaan tata kelola klinis yang baik di rumah sakit.

Konsekuensi yuridis pelimpahan wewenang tindakan medis dari tenaga medis


kepada bidan, dan rumah sakit sebagai penyelenggara pelayanan kesehatan, sesuai
Pasal 46 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, bertanggung
jawab secara hukum terhadap semua kerugian yang ditimbulkan atas kelalaian yang
dilakukan oleh tenaga kesehatan di rumah sakit, hal ini mengindikasikan, jika bidan,
atau dokter dalam menjalankan praktek profesinya harus sesuai dengan standar
profesi, standar pelayanan, standar prosedur operasional yang berlaku, serta
memperhatikan etika profesi dan keselamatan pasien. Jika ada tuntutan, rumah sakit
bertanggung jawab secara hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Atang Hermawan Usman, (2014). ‘Kesadaran Hukum Masyarakat Dan Pemerintah


Sebagai Faktor Tegaknya Negara Hukum Di Indonesia’, Jurnal Wawasan
Yuridika, 2014.

Bahder Johan Nasution, (2013), Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter,


Jakarta: PT. Rineka Cipta, Hal. 2

Betty Sumiati, Yanti Fristikawati, and Hadi Susiarno,(2018). “Tanggungjawab Bidan


Terkait Kegagalan Dalam Pemasangan Alat Kontrasepsi Dalam Rahim
Ditinjau Dari Segi Hukum Perdata”, Soepra, 2018 .

Diah. (2020). Kode etik bidan Indonesia. http://jurnalbidandiah.blogspot.co.id/2012,


diakses pada tanggal 6 Desember 2020.

Dkk Hadiwijaya, (2010). ‘Peran Bidan Dalam Kewenangan Tindakan Episiotomi


Yang Diperluas Pada Praktek Swasta Mandiri Dan Klinik Bersalin’, SOEPRA
Jurnal Hukum Kesehatan, 2010.

Diah Arimbi, (2014), Etikolegal Kebidanan, Yogyakarta: Pustaka Rihama, Hal. 95


Endang Sutrisno, (2019).Relations Between Legal Culture and Economic
Empowerment among Marginalized Group of Farmers, Journal of Legal,
Ethical and Regulatory Issues, Volume 22, Issue 3, June 2019, page 22-3-329.
Endang Sutrisno -Taty Sugiarti - Novani Ambarsari Pratiwi, (2019).
Environmental :aw Enforcement in Hazardous-Waste Management in West
Java Indonesia: A Critical Trajectory of Green and AnthropogenicBased
Environmental Policy Orientations, International Journal of Scientific &
Technology Research, Vol.8, Issue 08, August 2019, page.430.

Eko Hidayat, (2016). ‘Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam Negara Hukum
Indonesia’, Asas: Jurnal Hukum Dan Ekonomi Islam, 2016.

Fathudin, (2015). ‘Tindak Pidana Korupsi (Dugaan Penyalahgunaan Wewenang)


Pejabat Publik (Perspektif Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang
Administrasi Pemerintahan)’, Jurnal Cita Hukum, 2015 .

Fahmi Ardiyanto, Amanda Raissa, Tomy Michael, Penuntutan Ganti Rugi


Kehilangan Benda Atau Barang Terhadap Pengelola Parkir Yang Berlindung
Di Bawah Klausa Baku, Jurnal Hukum Magnum Opus Februari 2020 Volume
3, Nomor 1.
Firman Freaddy Busroh, (2017). ‘Konseptualisasi Omnibus Law Dalam
Menyelesaikan Permasalahan Regulasi Pertanahan’, Arena Hukum, 2017.

Hartono, Sunaryati, (2011). Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional,
Penerbit Alumni, Bandung, 2011, hal. 29

Jan Bosarmen Sinaga, Edi Warman, and Syafruddin Syafruddin, (2014). ‘Analisis
Putusan Sanksi Pidana Malpraktek Yang Dilakukan Oleh Bidan (Studi Kasus
Di Pengadilan Negeri Tulungagung)’, Jurnal Mahupiki, 2014.

Kristian Kristian, (2014).‘Urgensi Pertanggungjawaban Pidana Korporasi’, Jurnal


Hukum & Pembangunan, 2014 .

Lastini, K., Sutrisno, E., & Sugiarti, T. (2020). Perlindungan Hukum Profesi Bidan
Dalam Pelimpahan Wewenang Tindakan Medis. Mimbar Keadilan, 13(2), 131-
140.

Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, (2003). Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja
Rusdakarya, Bandung, 2003, Hal. 118.

Lili Rasjidi dan B. Arief Sidharta, (1994). Filsafat Hukum Madzab dan Refleksi, PT.
Remaja Rosda Bandung, 1994, hal. 64.
Lex Crimen, (2015) ‘Tindakan Aborsi Dengan Indikasi Medis Karena Terjadinya
Kehamilan Akibat Perkosaan’.
M Chairul Basrun Umanailo,(2013). ‘Hukum Dan Perubahan Sosial’, in Sosiologi
Hukum, 2013.

Maria Wattimena. (2008). Analisis Penerapan Standar Asuhan Persalinan Normal


(APN) Oleh Bidan Di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Sorong Papua
Barat. Semarang. Tesis. Universitas Diponegoro Semarang. Hal.48.

Muchtar, Masrudi, (2016). Etika Profesi dan Hukum Kesehatan (Perspektif Profesi
Bidan Dalam Pelayanan Kebidanan di Indonesia), 2016, hlm. 130.

Fahmi Ardiyanto, Amanda Raissa, Tomy Michael, Penuntutan Ganti Rugi


Kehilangan Benda Atau Barang Terhadap Pengelola Parkir Yang Berlindung
Di Bawah Klausa Baku, Jurnal Hukum Magnum Opus Februari 2020 Volume
3, Nomor 1.

Satjipto Raharjo, (2000). Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2000.
Siti Nur Aisyah Jamillah and Sutarno, Yulianto, (2018). ‘Pertanggungjawaban
Hukum Bidan Akibat Pelimpahan Wewenang Oleh Dokter Dalam Pelayanan
Kesehatan Di Puskesmas’, Justitia Jurnal Hukum, 2018 .

Suryani Soepardan, Dadi Anwar Hadi. (2007). Etika Kebidanan & Hukum
Kesehatan. Jakarta. Buku Kedokteran EGC. Hal.39.

Sutrisno, (2017). Pelimpahan Tindakan Medik Dokter Kepada Perawat (Studi


Perlindungan Pasien Pada Layanan Kesehatan. Yogyakarta : Genta
Publishing, 2017, hlm 45-46.

Sungguh As’ad, (2014), Kode Etik Profesi Tentang Tenaga Kesehatan, Jakarta
Timur: Sinar Grafika,Hal.181.

Sulaiman Sulaiman, (2018). ‘Paradigma Dalam Penelitian Hukum’, Kanun Jurnal


Ilmu Hukum, 2018.

Trianengsih AT, Hardisman Hardisman, and Dedy Almasdy, (2019). ‘Implementasi


Permenkes Nomor 72 Tahun 2016 Tentang Standar Pelayanan Kefarmasian Di
Rumah Sakit Terhadap Tatakelola SDM Instalasi Farmasi Rsu Mayjen H.A
Thalib Kerinci Tahun 2018’, Jurnal Kesehatan Andalas, 2019 .

Tomy Michael, (2019). The big fundamental problem of all philosophy, especially
from philosophy which is lately is the problem of the relationship between mind
and condition, Humanity In The Enforcement Of Anti-Corruption Laws, Jurnal
Hukum Bisnis Bonum Commune Volume 2 Nomor 2 Agustus 2019.
Paristiyanti Nurwardani, (2016). Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan
Tinggi, Thema Publishing, 2016.

Rita Yulifah,dkk, (2014), Konsep Kebidanan, Jakarta: Penerbit Salemba Medika,


Hal.11

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-Undangan.

Vita Rahmawati, (2010). ‘Tanggung Jawab Hukum Rumah Saklt Dan Asas
Manfaat’, Kisi Hukum (Artikel Magister), 2010.

Yussy A. Mannas, (2018). ‘Hubungan Hukum Dokter Dan Pasien Serta Tanggung
Jawab Dokter Dalam Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan’, Jurnal Cita
Hukum, 2018

Anda mungkin juga menyukai