Kelas B
Disusun Oleh:
Elisa 1806139960
Depok
KATA PENGANTAR
Segala puji serta syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. yang telah
memberikan kami kemudahan sehingga kami, Home Group 2 dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya
kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah dengan topik “Pendidikan
Kesehatan dalam Pelayanan Keperawatan” ini dengan baik. Shalawat serta salam
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad
SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Kami (Home Group 2) tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya.
Untuk itu, kami mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini,
supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam
penyusunan maklah ini.
i
Home Group 2
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................1
1.3 Tujuan........................................................................................................2
BAB II......................................................................................................................3
2.1 Konsep Dan Teori Belajar.........................................................................3
2.1.1 Pengantar Konsep Promosi Kesehatan..............................................3
2.1.2 Definisi, Tujuan, dan Sasaran Konsep Promosi Kesehatan...............7
2.1.3 Ruang Lingkup Promosi Kesehatan.................................................10
2.1.4 Model Promosi Kesehatan: Health Belief Model dan Theory of
Reasoned Action.............................................................................................12
2.1.5 Model Promosi Kesehatan: Model Transtheoretical dan Model
Precede – Proceed...........................................................................................14
2.2 Kebijakan Promosi Kesehatan.................................................................19
2.2.1 Kebijakan Promosi Kesehatan dalam Lingkup Nasional.................19
2.2.2 Kebijakan Promosi Kesehatan dalam Lingkup Internasional..........21
2.3 Teori Perubahan......................................................................................24
2.4 Konsep Motivasi......................................................................................29
2.5 Konsep Kolaborasi..................................................................................31
2.6 Konsep Advokasi....................................................................................34
2.7 Konsep Pemberdayaan............................................................................38
2.8 Konsep Kemitraan...................................................................................39
2.9 Promosi Kesehatan dalam Pelayanan Keperawatan................................42
2.9.1 Prinsip Promosi Kesehatan..............................................................42
2.9.2 Jenis Metode Promkes (individual, massa, kelompok)....................45
2.9.3 Media Promosi Kesehatan...............................................................45
2.9.4 Strategi Promosi Kesehatan.............................................................47
ii
2.9.5 Tahapan Promosi Kesehatan (Pengkajian)......................................48
2.9.6 Tahapan Promosi Kesehatan (Diagnosis & Perencanaan)...............49
2.9.7 Tahapan Promkes (Implementasi dan Evaluasi)..............................51
2.10 Intervensi dan Terapi Komplementer dalam Promosi Kesehatan...........54
2.10.1 Strategi intervensi (Stanhope & Lancaster, 2016):..........................54
2.10.2 Bentuk Intervensi (Fertman & Allenswoth, 2010)...........................54
2.10.3 Terapi Komplementer......................................................................55
2.10.4 Pelayanan kesehatan preventif.........................................................56
2.11 Intervensi Promosi Kesehatan Berdasarkan Tingkat Usia......................56
2.11.1 Pada lansia dan dewasa....................................................................56
2.11.2 Pada anak dan remaja.......................................................................57
2.12 Peran Perawat dalam Promosi Kesehatan...............................................57
2.12.1 Advokat............................................................................................57
2.12.2 Kolaborator......................................................................................58
2.12.3 Care Giver........................................................................................58
2.12.4 Case Manager...................................................................................59
2.12.5 Change Agent...................................................................................59
2.12.6 Konselor...........................................................................................60
2.12.7 Edukator atau Pendidik....................................................................61
BAB III..................................................................................................................62
3.1 Kesimpulan..............................................................................................62
3.2 Saran........................................................................................................63
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................64
iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1
12. Apa tahapan-tahapan promosi kesehatan?
13. Bagaimana intervensi terkait promosi kesehatan?
14. Bagaimana peran perawat dalam promosi kesehatan?
1.3 Tujuan
Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang:
1. Konsep dan model promosi kesehatan
2. Kebijakan promosi kesehatan
3. Konsep perubahan
4. Konsep kolaborasi, advokasi, kemitraan, motivasi, pemberdayaan
5. Prinsip, metode, media, dan strategi promosi kesehatan
6. Tahapan promosi kesehatan
7. Intervensi promosi kesehatan
8. Peran perawat dalam promosi kesehatan
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
para ahli kesehatan pada tahun 1984 merevitalisasi pendidikan kesehatan tersebut
dengan menggunakan istilah promosi kesehatan. Promosi kesehatan
mengupayakan peningkatan kemampuan hidup sehat bukan sekedar berperilaku
sehat.
Pada periode tahu 1985-1995, Direktoral Peran Serta Masyarakat
dibentuk dan diberi tugas untuk memberdayakan masyarakat. Direktoral PKM
berubah menjadi Pusat PKM yang tugasnya sebagai penyebaran informasi,
komunikasi, kampanye, dan pemasaran social bidang kesehatan. Pandangan atau
visi mulai dipengaruhi oleh Piagam Ottawa tentang promosi kesehatan. Kemudian
pada periode 1995 sampai sekarang, istilah PKM berubah menjadi Promosi
Kesehatan. Pada tahun 1997 diadakan konvensi Internasional Promosi Kesehatan
dengan tema “Health Promotion Towards The 21’s Century, Indonesian Policy
for The Future” dengan melahirkan “The Jakarta Declaration”. Istilah promosi
kesehatan atau health promotion sudah mulai dicetuskan pada tahun 1986, yaitu
ketika diselenggarakannya Konferensi Internasional pertama tentang Health
Promotion di Ottawa, Canada.
Menurut Pender, Murdaugh, dan Parsons (2015), piagam ini meletakkan
dasar bagi teori dan praktik promosi kesehatan dan menekankan peran sumber
daya social dan pribadi serta kemampuan fisik untuk mencapai kesehatan. Piagam
Ottawa menyediakan lima bidang tindakan yang penting bagi kerangka kerja
konseptual promos kesehatan, yaitu (Wills, 2014):
1. Membangun kebijakan publik yang sehat seperti larangan merokok di
tempat umum, kebijakan menyusui di rumah sakit, hukuman bagi
pengendara yang tidak menggunakan helm, kebijakan dan undang-undang
tentang mengemudi, dan lainnya.
2. Menciptakan lingkungan yang mendukung misalnya pilihan makan sehat
untuk staf di tempat kerja, makanan sekolah yang sehat untuk anak-anak,
area bermain dan berjalan yang aman dan cukup terang.
3. Mengembangkan keterampilan pribadi setiap individu seperti keterampilan
berhenti merokok, informasi tentang masalah kesehatan, pembacaan label
produk makanan, dan keterampilan mengasuh anak.
4
4. Reorientasi layanan kesehatan. Masyarakat tidak sekedar pengguna tetapi
juga bisa sebagai provider dalam batas-batas tertentu melalui upaya
pemberdayaan.
5. Memperkuat aksi masyarakat dalam meningkatkan kesehatan seperti
adanya gerakan atau kegiatan di masyarakat yang mendukung kesehatan
mereka.
Untuk dapat meningkatkan derajat kesehatan atau mencegah penyakit
maka cara yang kita lakukan adalah dengan mengembangkan strategi melawan
faktor risiko tertentu. Determinan kesehatan atau penentu kesehatan merupakan
situasi atau lingkungan yang memungkinkan faktor risiko dan perlindungan untuk
memengaruhi kondisi sehat dan masalah kesehatan seseorang secara langsung
(Beale, 2017). Kesehatan fisik dan mental seseorang dipengaruhi oleh satu atau
lebih faktor penentu berikut (Beale, 2017):
1. Status ekonomi dan social. Keadaan ekonomi seseorang sangat
memengaruhi kondisi kesehatannya. Kemisikinan dapat mengurangi akses
masyarakat ke sumber pelayanan kesehatan sehingga mengakibatkan
masalah kesehatan yang terjadi tidak ditangani dengan baik. Selain itu,
pada masyarakat kelas social-ekonomi yang rendah akan lebih berisiko
dan rentan terhadap penyakit dan umur harapan hidup juga menjadi lebih
rendah (Susilowati, 2016).
2. Pekerjaan dan lingkungan kerja. Menurut Beale (2017), lapangan kerja
yang mapan dan lingkungan kerja yang sehat berkontribusi terhadap
kesehatan. Sedangkan stress di tempat kerja meningkatkan risiko terhadap
penyakit dan masalah kesehatan lainnya. Memperhatikan syarat-syarat
kesehatan dan keselamatan kerja akan meningkatkan derajat kesehatan
individu.
3. Pendidikan. Individu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan
lebih memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk membuat pilihan yang
sehat dan mengakses perawatan kesehatan yang berkualitas.
4. Health literacy. Kebiasaan seseorang dalam memperoleh, membaca,
memahami, dan menindaklanjuti informasi kesehatan tentunya
memengaruhi tingkat kesehatan individu tersebut. Orang yang memiliki
5
kebiasaan literasi yang baik akan lebih paham dalam menentukan pilihan
dan gaya hidup yang dapat meningkatkan kesehatannya.
5. Lingkungan fisik. Kualitas air dan udara yang baik, kontrol kebisingan,
pembuangan limbah beracun, kondisi perumahan, dan keselamatan
masyarakat semuanya mendukung kesehatan.
6. Dukungan keluarga, masyarakat, dan sosial. Hubungan social dan
kekerabatan yang baik dan harmonis tentunya akan memberikan dampak
kesehatan yang positif dalam keluarga dan masyarakat. Selain itu, apabila
individu yang mengalami masalah kesehatan terus mendapatkan dukungan
dari keluarga dan orang-orang di sekitarnya maka hal tersebut dapat
membantu individu dalam mengatasi penyakitnya.
7. Akses ke perawatan kesehatan yang berkualitas. Ketersediaan layanan
pencegahan dan perawatan primer penting dalam mempromosikan dan
menjaga kesehatan masyarakat.
8. Kebijakan terkait kesehatan. Kebijakan pemerintah tentunya memengaruhi
kesehatan masyarakat seperti adanya adanya kampanye antirokok, wajib
imunisasi, program GERMAS, program Pencegahan Stunting, dan lain-
lain.
9. Genetik. Susunan genetika yang diwariskan keluarga memiliki peran
dalam kesehatan dan memungkinkan individu terkena penyakit tertentu.
10. Sejarah atau history kesehatan keluarga. Kesehatan keluarga dan riwayat
medis di luar susunan genetik juga memengaruhi kesehatan (Beale, 2017).
11. Jenis kelamin. Perbedaan jenis kelamin memengaruhi kesehatan individu,
misalnya pada wanita maka akan lebih berisiko terkena kanker payudara
dibanding pada pria, selain itu menurut Beale (2017), usia harapan hidu
pria lebih pendek dan tingkat penyakit pada wanita lebih tinggi.
12. Perkembangan kesehatan anak. Pengalaman prenatal dan anak usia dini
memiliki efek yang signifikan pada kesehatan di kemudian hari.
Pertumbuhan fisik yang lambat dan dukungan emosional yang kurang baik
di awal kehidupan akan memberikan dampat kesehatan dan kemampuan
intelektual di masa dewasa (Susilowati, 2016).
6
13. Disparitas ras dan etnis. Populasi minoritas sering mengalami penyakit
pada tingkat yang lebih tinggi daripada populasi mayoritas karena faktor
social ekonomi, perbedaan pendapatan, dan masalah dengan aksesibilitas
layanan kesehatan.
14. Pengaruh budaya. Bagaimana suatu budaya memandang suatu penyakit
dan praktik perawatan kesehatannya memengaruhi tingkat kesehatan
masyarakat tersebut.
15. Disabilitas atau kecacatan. Penyandang disabilitas merupakan seseorang
yang memiliki keterbatasan dalam beraktivitas dan menggunakan bantuan.
Mereka cenderung melaporkan lebih banyak kecemasan dan masalah
kesehatan dibanding orang yang tidak memiliki disabilitas. Mereka juga
mengalami tingkat aktivitas fisik yang lebih rendah dan banyak dari
mereka yang tidak memiliki akses dalam mencapai perawat kesehatan
yang berkualitas.
16. Personal health responsibility. Bertanggung jawab atas kesehatan diri
sendiri dan membuat pilihan untuk hidup sehat memainkan peran utama
dalam mencegah penyakit.
17. Ketahanan dan keterampilan koping individu. Koping yang efektif
membantu seseorang untuk bisa memecahkan masalahnya dan membuat
pilihan yang menguntungkan kesehatannya.
18. Pangan. Pola makan yang sehat dan ketersediaan pangan yang adekuat
merupakan hal utama dalam kesehatan dan kesejahteraan seseorang dan
masyarakat. Kekurangan ataupun kelebihan gizi akan menimbulkan
masalah kesehatan dan penyakit pada diri seseorang.
7
pendidikan, kebijakan, peraturan, dan organisasi yang diintegrasikan untuk
mendukung kegiatan serta kondisi hidup yang dapat meningkatkan
kesehatan individu, kelompok, dan komunitas. Dapat disimpulkan bahwa
promosi kesehatan merupakan kombinasi atas segala upaya baik dalam hal
kebijakan atau politik, pendidikan, dan organisasi dengan tujuan untuk
mendukung kondisi hidup yang menguntungkan kesehatan individu,
kelompok, maupun komunitas serta mampu mencapai derajat kesehatan
yang setinggi-tinginya.
2.1.2.2 Tujuan Promosi Kesehatan
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, tujuan dari
promosi kesehatan adalah masyarakat dapat menolong dirinya sendiri dan
mengembangkan kegiatan yang bersumberdaya masyarakat, sesuai sosial
budaya setempat serta mendapat dukungan oleh kebijakan publik yang
berwawasan kesehatan (Ahmad, 2014). Tujuan dari pelaksanaan program
promosi kesehatan pada yaitu dapat mewujudkan masyarakat yang
berkeinginan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya,
memiliki kemampuan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya,
mau dan mampu dalam mencegah penyakit, melindungi diri dari
gangguan-gangguan kesehatan, serta memiliki kemauan dan mampu
meningkatkan kesehatannya.
Tujuan promosi kesehatan menurut Green (2005) dalam Susilowati
(2016) terbagi atas tiga tingkatan tujuan, yaitu tujuan program, pendidikan,
perilaku, dan intervensi perilaku dalam promosi kesehatan. Tujuan
program yaitu bentuk pernyataan tentang apa yang akan dicapai dalam
periode waktu tertentu yang berhubungan dengan status kesehatan. Contoh
penerapannya yaitu adanya program promosi kesehatan mengenai
pemeriksaan tekanan darah kepada masyarakat dalam jangka waktu yang
telah ditentukan. Tujuan pendidikan yaitu deskripsi perilaku yang akan
dicapai dapat mengatasi masalah kesehatan yang ada. Contoh
penerapannya yaitu penyuluhan kepada masyarakat tentang hand hygine
dalam mengatasi pandemi covid 19. Tujuan perilaku yaitu bentuk
pendidikan atau pembelajaran yang harus tercapai. Tujuan intervensi
8
perilaku dalam promosi kesehatan terbagi atas tiga bagian, yaitu dapat
mengurangi perilaku negatif bagi kesehatan, mencegah meningkatnya
perilaku negatif bagi kesehatan, meningkatkan perilaku positif bagi
kesehatan, serta dapat mencegah menurunnya perilaku positif bagi
kesehatan. Contoh penerapan tujuan ini adalah mengedukasi kepada
masyarakat mengenai do and don'ts yang masyarakat harus terapkan dalam
kehidupan sehari-hari untuk meningkatkan kesehatan jantung.
Tujuan lain dari program promosi kesehatan adalah tujuan
operasional. Tujuan operasional dalam program promosi kesehatan yaitu
agar orang memiliki pengertian yang lebih baik tentang eksistensi dan
perubahan-perubahan sistem dalam pelayanan kesehatan serta cara
memanfaatkannya secara efisien dan efektif dan klien atau masyarakat
memiliki tanggung jawab yang lebih besar pada kesehatan dirinya sendiri,
keselamatan lingkungan dan masyarakatnya. Berbagai tujuan operasional
lain yaitu agar orang melakukan langkah-langkah yang tepat dalam
mencegah terjadinya sakit, mencegah berkembangnya sakit menjadi lebih
parah dan mencegah keadaan ketergantungan melalui rehabilitasi cacat
karena penyakit. Tujuan operasional juga mengharapkan agar orang
mempelajari apa yang dapat dia lakukan sendiri dan bagaimana caranya,
tanpa selalu meminta pertolongan kepada sistem pelayanan kesehatan
yang normal (Susilowati, 2016).
2.1.2.3 Sasaran Konsep Promosi Kesehatan
Ruang lingkup sasaran promosi kesehatan adalah keempat
determinan kesehatan dan kesejahteran yaitu lingkungan, perilaku,
pelayanan kesehatan, dan faktor genetik atau faktor kependudukan.
Keempat sasaran tersebut saling mempengaruhi antara satu dengan yang
lainnya. Perilaku dapat mempengaruhi lingkungan dan lingkungan juga
dapat mempengaruhi perilaku. Faktor pelayanan kesehatan berperan untuk
meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat apabila pelayanan
yang disediakan digunakan atau merupakan bentuk perilaku dari
masyarakat. Faktor genetik yang tidak menguntungkan akan berkurang
resikonya apabila individu berperilaku sehat dan berada dalam lingkungan
9
yang sehat. Perilaku berperan sangat penting bagi kesehatan (Susilowati,
2016). Oleh sebab itu, ruang lingkup utama sasaran promosi kesehatan
merupakan perilaku dan akar-akarnya yang disertai dengan lingkungan,
khususnya lingkungan yang berpengaruh terhadap perilaku tersebut.
10
promosi kesehatan, hal ini juga menggambarkan luasnya ruang lingkup aktivitas
promosi kesehatan. Terdapat lima cara utama untuk mempromosikan kesehatan
yang tertulis dalam Ottawa Charter adalah dengan membuat kebijakan publik
yang sehat, menciptakan lingkungan yang mendukung, memperkuat kegiatan
masyarakat, mengembangkan keterampilan pribadi, dan melakukan orientasi
ulang pelayanan kesehatan. Terakhir, ruang lingkup perilaku kesehatan.
Menurut Becker (1979) dalam Susilowati (2016), perilaku kesehatan dibagi
menjadi tiga domain. Tiga domain tersebut adalah pengetahuan kesehatan, sikap
terhadap kesehatan, dan praktik kesehatan. Pengetahuan tentang kesehatan
mencakup tentang apa yang diketahui individu tentang apa yang harus dilakukan
untuk memelihara kesehatan, seperti pengetahuan tentang penyakit menular,
faktor yang mempengaruhi kesehatan, fasilitas pelayanan keseahtan, dan
pengetahuan untuk menghindari terjadinya kecelakaan. Sementara itu, sikap
terhadap kesehatan merupakan pendapat atau penilaian seseorang terhadap hal
yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan, seperti sikap terhadap penyakit,
sikap terhadap faktor yang mempengaruhi kesehatan, sikap tentang fasilitas
pelayanan kesehatan, dan sikap untuk menghindari kecelakaan. Kemudian, yang
dimaksud dengan praktik keseahatan merupakan kegiatan individu yang dilakukan
untuk memelihara kesehatan, seperti tindakan terhadap penyakit, tindakan
terhadap faktor yang mempengaruhi kesehata, tindakan tentang fasilitas
pelayanan kesehatan, maupun tindakan untuk menghindari kecelakaan.
Terdapat perbedaan antara promosi kesehatan dan edukasi kesehatan.
Promosi kesehatan merupakan suatu proses yang membantu individu dalam
meningkatkan kontrol atas kesehatan dan meningkatkan kesehatan mereka.
Promosi kesehatan penting karena dapat membantu masyarakat dalam
meningkatkan status kesehatannya, meningkatkan kualitas hidup masyarakat,
mengurangi kematian dini, bahkan mengurangi biaya finansial masyarakat untuk
perawatan medis (College College of Public Health University of Georgia, 2016).
Sedangkan edukasi kesehatan merupakan suatu kombinasi dari pengalaman
belajar, yang dirancang untuk membantu individu maupun masyarakat untuk
meningkatkan kesehatan, dengan meningkatkan pengetahuan atau mempengaruhi
sikap mereka (World Health Organization, n. d.). Sedangkan ddukasi kesehatan
11
merupakan sebuah komponen penting dari promosi kesehatan. Apabila dilihat dari
pengertiannya, pendidikan kesehatan ini bertujuan untuk menyalurkan informasi
yang berkaitan dengan kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan dan
mempengaruhi sikap. Berbeda dengan promosi kesehatan yang melibatkan
pemberdayaan setiap individu, dimana setiap individu didorong untuk
meningkatkan kontrol, atau istilahnya untuk memandirikan, meningkatkan
otonomi mereka dalam kesehatan, sehingga mereka dapat meningkatkan
kesehatan mereka.
12
penyakit yang dirasakan, dan isyarat untuk bertindak (mis., Kampanye
media massa dan saran dari keluarga, teman, dan profesional medis).
Misalnya, seorang pasien mungkin tidak menganggap penyakit jantungnya
serius, yang dapat memengaruhi cara ia merawat dirinya sendiri.
c. Persepsi individu tentang manfaat dan hambatan untuk mengambil
tindakan. Persepsi ini memungkinkan individu untuk mengambil tindakan
preventif. Tindakan pencegahan termasuk perubahan gaya hidup,
peningkatan kepatuhan terhadap terapi medis, atau pencarian saran atau
perawatan medis. Persepsi pasien tentang kerentanan terhadap penyakit
dan persepsi pasien tentang keseriusan penyakit membantu menentukan
kemungkinan bahwa pasien akan atau tidak akan mengambil bagian dalam
perilaku sehat.
Model kedua dari model promosi kesehatan yaitu theory of reasoned
action. Theory of Reasoned Action (TRA) merupakan model promosi kesehatan
yang mengeksplorasi hubungan antara perilaku dan keyakinan, sikap, dan niat.
Model ini menganggap niat perilaku adalah penentu yang paling penting. Niat
tersebut dipengaruhi oleh sikap seseorang terhadap melakukan suatu perilaku, dan
oleh keyakinan tentang apakah individu yang penting bagi orang tersebut
menyetujui atau tidak menyetujui perilaku (norma subyektif) (Rimer & Glanz,
2005). TRA Merupakan model untuk meramalkan perilaku preventif dan telah
digunakan dalam berbagai jenis perilaku sehat yang berlainan, seperti pengaturan
penggunaan substansi tertentu (merokok, alkohol, dan narkotik), perilaku makan
dan pengaturan makan, pencegahan AIDS (Maulana, 2009). Menurut Rimer dan
Glanz (2005) terdapat komponen dalam model ini, yaitu:
a. Behavioral intention
Merupakan persepsi individu mengenai kemungkinan melakukan suatu
perilaku. Pengukuran pendekatan ini dapat dilakukan dengan cara menanyakan
pertanyaan “ Apakah Anda mungkin atau tidak mungkin (melakukan perilaku)?”.
b. Attitude
Merupakan evaluasi perilaku secara pribadi. Pengukuran pendekatan ini
dapat dilakukan dengan cara menanyakan pertanyaan “Apakah Anda melihat
(perilaku) itu baik, netral, atau buruk?”.
13
c. Subjective norm
Merupakan keyakinan mengenai orang-orang menyetujui atau tidak
menyetujui perilaku tersebut. Selain itu ini juga merupakan motivasi bagi
seseorang untu berperilaku dengan cara yang mendapatkan persetujuan mereka.
Pengukuran pendekatan ini dapat dilakukan dengan cara menanyakan pertanyaan
“Apakah Anda setuju atau tidak setuju bahwa kebanyakan orang menyetujui /
tidak menyetujui (perilaku)?”.
14
memikirkan perilaku berisiko tinggi mereka. Mereka sering dicirikan dalam teori
lain yang sebagai klien yang resisten atau tidak termotivasi atau tidak siap untuk
terapi atau program promosi kesehatan (Prochaska & Velicer, 1984).
Kontemplasi adalah tahap dalam orang yang berniat untuk berubah dalam
6 bulan untuk ke depan. Mereka lebih sadar cenderung akan pro perubahan tetapi
juga sangat sadar akan kontra. Namun, orang tersebut mungkin tidak siap untuk
melakukan tindakan. Beberapa orang mungkin tetap dalam tahap kontroversial
selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun sebelum mengambil tindakan.
Kemudian ke tahap selanjutnya adalah persiapan. Persiapan adalah dimana orang-
orang berniat untuk mengambil tindakan dalam waktu dekat, biasanya di ukur
sebagai bulan depan. Mereka biasanya mengambil beberapa dalam setahun
terakhir. Beberapa orang dalam tahap ini mungkin sudah mulai membuat
perubahan perilaku kecil, seperti membeli buku swadaya. Pada tahap ini, orang
tersebut membuat rencana spesifik akhir untuk menyelesaikan perubahan (Berman
& Snyder, 2016).
Kemudian ada tahap aksi, Aksi adalah tahap dimana orang yang telah
membuat modifikasi terbuka spesifik dalam gaya hidup mereka dalam 6 bulan
terakhir. Pada tahap ini, terjadi ketika orang tersebut secara aktif
mengimplementasikan strategi perilaku dan kognitif dari rencana tindakan untuk
mengganggu perilaku risiko kesehatan sebelumnya dan mengadopsi yang baru.
Tahap ini membutuhkan komitmen terbesar dari waktu dan energi Karena
tindakan ini diamati yang melibatkan perubahan perilaku sering terjadi disamakan
dengan aksi. Namun, secara model transtheoretical aksi hanya ada satu dari enam
tahap. Tidak semua modifikasi perilaku dihitung sebagai tindakan dalam modul
ini. Orang harus mencapai kriteria itu, sedangkan para ilmuwan dan profesional
sependapat cukup untuk mengurangi risiko penyakit. Misalnya dalam hal
merokok, lapangan digunakan untuk menghitung pengurangan angka berrokok
sebagai tindakan, atau beralih ke rokok terendah dan nikotin (Prochaska &
Velicer, 2009).
15
perilaku yang baru diadopsi ke dalam gaya hidupnya. Tahap ini berlangsung
hingga orang tersebut tidak lagi mengalami godaan untuk kembali ke perilaku
tidak sehat sebelumnya. Diperkirakan pemeliharaan berlangsung dari 6 bulan
hingga 5 tahun (Berman & Snyder, 2016). Kemudian yang terakhir adalah tahap
pengakhiran. Tahap pengakhiran ini adalah tujuan akhir yang merupakan titik di
mana individu memiliki keyakinan penuh bahwa masalahnya bukan lagi godaan
atau ancaman. Seolah-olah orang tersebut tidak pernah memperoleh kebiasaan itu
sejak awal atau perilaku baru menjadi otomatis. Para ahli memperdebatkan apakah
beberapa perilaku dapat dihentikan versus membutuhkan pemeliharaan
berkelanjutan. Misalnya, orang dewasa yang secara otomatis mengikat sabuk
pengaman mereka ketika masuk ke kendaraan mereka dapat mencapai tahap
terminasi. Perilaku lain, seperti merokok atau makan berlebihan, mungkin tidak
pernah mencapai tahap terminasi karena godaan kambuh terlalu kuat. Tujuan
pemeliharaan mungkin lebih sesuai untuk individu-individu itu ( Berman, A. &
Snyder, S. , 2016).
Keenam tahap ini bersifat siklus artinya adalah orang pada umumnya
bergerak melalui satu panggung sebelum maju ke yang berikutnya. Namun, pada
titik mana pun seseorang dapat kambuh atau mendaur ulang ke tahap sebelumnya.
Faktanya, rata-rata self-changer yang berhasil didaur ulang melalui tahapan
beberapa kali sebelum mencapai puncak dan keluar dari siklus. Mayoritas
individu yang menolak kembali ke tahap kontemplasi. Selama waktu ini mereka
dapat memikirkan tentang apa yang mereka pelajari dan rencanakan untuk upaya
tindakan selanjutnya ( Berman, A. & Snyder, S. , 2016). Proses perubahan itu
sangat penting untuk program intervensi. Sepuluh proses telah menerima paling
banyak dukungan empiris menurut (Prochaska & Velicer, 2009.), antara lain :
16
b. Drama Relief : awalnya menghasilkan pengalaman emosional yang
meningkat. Psychodrama, bermain peran, berduka, dan kampanye media
adalah contoh teknik yang bisa menggerakan orang secara emosionalnya.
c. Evaluasi diri : menggabungkan keduanya. Penilaian positif dan afektif
citra diri seseorang dengan dan tanpa kebiasaan yang tidak sehat.
Klarifikasi nilai, model peran yang sehat, dan citra merupakan teknik yang
dapat menggerakan orang untuk mengevaluasi secara afektif.
d. Reevaluasi Lingkungan : Mengaitkan keduanya afektif dan kognitif
dimana kehadiran dari kebiasaan pribadi mempengaruhi lingkungan sosial.
e. Pembebasan diri : keyakinan keduanya seseorang dapat berubah dan
komitmen untuk ditindaklanjuti. Contoh orang yang dengan duapilihan
memiliki komitmen yang lebih besar daripada orang dengan satu pilihan.
f. Pembebasan sosial : membutuhkan suatu peluang sosial atau alternatif
terutama bagi orang yang relatif kekurangan atau tertindas. Seperti
advokasi, prosedure pemberdayaan, dan kebijakan yang tepat dapat
dihasilkan untuk meningkatkan peluang bagi minoritas promosi kesehatan
untuk orang yang miskin.
g. Counterconditioning : membutuhkan belajar perilaku sehati itu dapat
menggantikan dengan perilaku bermasalah. Contoh : relaksasi dapat
melawan stres.
h. Kontrol stimulus : Menghilangkan isyarat untu kebiassaan yang tidak sehat
dan menambah bisikan untuk alternatif yang lebih sehat.
i. Manajemen kontigensi : menyediakan konsekuensi untuk mengambil
langkah dalam arah tertentu. Sementara manjemen pemerintah dapat
mencakup penggunaan hukum.
j. Membantu relation chip : menggabungkan caring, kepercayaan,
keterbukaan, dan penerima serta dukungan. Membangun hubungan sehat,
atau terapetik, dan sistem teman dapat menjadi sumber dukungan sosial.
17
berubah secara dratis. Namun, trantheoretical model ini juga memiliki
kekurangan. Dalam beberapa tahapan yang telah dijelaskan, ada estimasi waktu
perubahan perilaku yaitu kurang lebih enam bulan. Namun jangka waktu tersebut
tidak bisa dikatakan valid karena masih terdapat terdapat penelitian yang
menyatakan bahwa untuk melewati suatu tahap membutuhakan waktu selama dua
tahun. Selain itu juga TTM tidak dijelaskan apakah model ini terpengaruh dari
aspek lain seperti kondisi ekonomi, sosial , maupun budaya.
Misalnya orang yang menghargai kesehatan sebagai salah satu yang paling
penting. Aspek pentinf dari kualitas hidup mereka ketika dirinya mulai mengalami
terancam. Contoh masalah kesehatan terpenting adalah penyakit CVC dan kanker.
Dari segi lingkungan, penyebabnya adalah industrialisasi dan lingkungan kerja
yang tidak sehat. Dari segi perilaku dan gaya hidup, merokok dan keseimbangan
energi yang terdistorsi merupakan penyebab utama. Kita mengambil sampelnya
adalah merokok. Merokok terjadi pada peran remaja. Hal yang menjadi latar
18
belakang seorang remaja adalah bukam karena mereka menyukai merokok dan
tidak tahu tentang bahaya. Salah satu alasannya adalah tekanan sosial, kebanyakan
dari teman sebaya, keluarga, ataupun media massa. Dalam hal prediposisi, faktor
– faktor lainnya remaja sering tidak tahu bagaimana menolak tekanan sosial (Kok
& Vries, 2015).
Dalam hal faktor penguat, teman sebaya adalah hal yang sangat penting
bagi remaja. Dalam faktor pendukungnya adalah rokok mudah di dapat di mana
saja termasuk dengan sanksi terhadap merokok memliki sifat yang lemah. Dalam
hal pendidikan kesehatan, kita ingin meningkatkan self efficacy remaja dalam
menolak tekanan sosial. Ada beberapa teknik yang membantu peran remaja adalah
dengan menahan tekanan untuk merokok dengan pemodelan peran postif.
Sedangkan hal fasilitas dan regulasi juga bisa mengembangkan kebijakan tentang
merokok, misalnya di sekolah, aksi masyarakat terhadap pedangan yang telah
menjual rokok ke remaja di bawah usia. Implementasinya adalah program
promosi kesehatan di selenggarakan yang bekerja sama dengan sekolah, orang
tua, dan siswa. Akhirnya, efektivitas program dapat diukur. Dalam hal evaluasi
proses adalah apakah program tersebut dapat dilaksanakan dengan sesuai dengan
rencana (Kok & Vries, 2015).
19
Pedoman Pelaksanaan dan Pembinaan Pemberdayaan Masyarakat Bidang
Kesehatan, kemudian Program GERMAS dimana Kementrian Kesehatan RI
memasukkan poin ajakan melakukan aktivitas fisik setidaknya 30 menit setiap
hari untuk mengurangi stres dan merangsang otak agar lebih bahagia dan santai.
Selanjutnya ada program Pencegahan Stunting, PHBS atau Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat, DESA SIAGA, dan program lainnya.
Visi nasional promosi kesehatan telah ditetapkan sebagai “Perilaku Hidup
Bersih & Sehat” (PHBS). Dalam mewujudkan visi promosi kesehatan,
dibentuklah beberapa misi promosi kesehatan, antara lain:
1. Memberdayakan mulai dari individu, keluarga, dan masyarakat.
2. Membina lingkungan demi terbentuknya perilaku hidup bersih dan sehat
di masyarakat.
3. Mengadvokasi para pengambil keputusan dan pihak-pihak lain untuk
membentuk kebijakan dan mengintegrasikannya.
a. Kebijakan promosi kesehatan di tingkat Kabupaten/Kota
Penanggung jawab promosi kesehatan di tingkat kabupaten/kota adalah
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Akan berkoordinasi dan bekerja sama
untuk pemberdayaan masyarakat dengan Puskesmas, Rumah Sakit, dan
pelayan kesehatan lain di wilayah tersebut.
Panduan promosi kesehatan di tingkat kabupaten/kota diatur dalam Surat
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1114/Menkes/SK/II/2005.
Pusat Promosi Kesehatan juga menerbitkan “Panduan Integrasi Promosi
Kesehatan dalam Program-Program Kesehatan di Kabupaten/Kota”.
Panduan ini berisi terkait ruang lingkup promosi kesehatan, langkah
integrasi promosi kesehatan, serta kegiatan-kegiatan yang dapat
dilaksanakan.
Pedoman promosi kesehatan di Puskemas juga diatur dalam Surat
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1114/Menkes/SK/II/2005
b. Kebijakan promosi kesehatan di tingkat Provinsi
Penanggung jawab promosi kesehatan di tingkat provinsi adalah Dinas
Kesehatan Provinsi. Tugas dari Dinas Kesehatan Provinsi adalah
mengkoordinasikan, mengembangkan, serta memfasilitasi Dinas
20
Kesehatan Kabupaten/Kota dalam promosi kesehatan. Dinas Kesehatan
Provinsi juga bertugas untuk memberikan pelatihan-pelatihan untuk
membekali Pemberdayaan Masyarakat.
c. Kebijakan promosi kesehatan di tingkat Pusat
Penanggung jawab promosi kesehatan di tingkat pusat adalah Pusat
Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan. Pusat Promosi Kesehatan ini
bertugas untuk mengembangkan kebijakan, tata laksana, dan standar
dalam promosi kesehatan. Pusat Promosi Kesehatan akan memfasilitasi
dan berkoordinasi untuk menyelenggarakan dan mengembangkan promosi
kesehatan, melalui Bina Suasana dan advokasi di tingkat nasional.
2.2.2 Kebijakan Promosi Kesehatan dalam Lingkup Internasional
Kebijakan internasional dalam promosi kesehatan terbentuk berdasarkan
konferensi-konferensi yang diadakan di beberapa negara.
1. Konferensi Ottawa, Canada (1986)
Tema dalam konferensi Ottawa adalah menuju kesehatan
masyarakat baru dan menghasilkan Ottawa Charter dengan lima pilar
utama menuju promosi kesehatan. Lima pilar tersebut diantaranya
mengembangkan kebijakan publik yang berwawasan kesehatan,
menciptakan lingkungan yang mendukung, memperkuat gerakan
masyarakat, mengembangkan kemampuan perorangan, dan reorientasi
pelayanan kesehatan (Notoatmojo, 2005). Selain itu, dalam Piagam
Ottawa juga menjelaskan mengenai sembilan faktor prasyarat untuk
menuju kesehatan yaitu perdamaian, tempat tinggal, pendidikan, makanan,
pendapatan, ekosistem yang seimbang, sumber daya yang
berkesinambungan, keadaan sosial yang sejahtera, dan pemerataan.
Piagam ottawa memiliki tujuan promosi kesehatan diantaranya advokasi
(meyakinkan pembuat kebijakan bahwa aturan kebijakan yang diajukan
tersebut penting), menjembatani (penghubung antara bidang kesehatan
dengan bidang lain), dan memampukan (membuat masyarakat mandiri)
(Canadian Public Health Assosiation, 2010).
2. Konferensi Adelaide, Australia (1988)
Konferensi Adelaide membahas lebih lanjut mengenai kebijakan
21
publik berwawasan kesehatan yang dicetuskan dengan “Kesehatan adalah
Hak Azasi Manusia dan Kesehatan merupakan Investasi Sosial”. Pada
Konferensi Adelaide terdapat empat prioritas kebijakan yaitu mendukung
kesehatan wanita, makan dan gizi, pengurangan tembakau dan alkohol,
serta menciptakan lingkungan yang mendukung (Notoatmojo, 2005).
Konferensi kedua ini memiliki tujuan mendukung terciptanya masyarakat
yang hidup dalam linkungan yang sehat dan berperilaku yang sehat.
Terdapat enam strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut.
Keenam strategi tersebut antara lain kebijakan publik berwawasan
kesehatan, mengupayakan revitalisasi nilai-nilai asasi kesehatan,
pemerataan akses pelayanan kesehatan, akuntabilitas program kesehatan,
meningkatkan pelayanan, dan kemitraan (Dixey, 2013). Pada tahun 1989
diadakan pertemuan kelompok promosi kesehatan negara-negara
berkembang di Geneva sebagai seruan untuk bertindak (a call for action).
Pada pertemuan tersebut menekankan tiga strategi pokok promosi
kesehatan yaitu advokasi kebijakan, pengembangan aliansi yang kuat dan
sistem dukungan sosial, serta pemberdayaan masyarakat (Fitriani, 2011).
3. Konferensi Sundsvall, Swedia (1991)
Konferensi Sundsvall memiliki tema “Menciptakan Lingkungan
yang Mendukung Kesehatan”. Pada Konferensi Sundsvall terdapat tiga
strategi yaitu memperkuat advokasi diseluruh lapisan masyarakat,
memberdayakan masyarakat dan indiividu agar mampu menjaga kesehatan
dan lingkungannya melalui pendidikan dan pemberdayaan, dan
membangun aliansi menjadi penengah diantara berbagai konflik
kepentingan di tengah masyarakat. Konferensi tersebut juga menghasilkan
tiga model yang dapat digunakan dalam melakukan praktik promosi
kesehatan. Tiga model tersebut diantaranya Health Promotion Strategy
Analysis Model atau HELPSAME (analisis pengalaman dalam
menciptakan lingkungan yang mendukung), Sundsvall Pyramid of
Supportive Environmet, dan Supportive Enviroment Action Model
(fasilitator dan kelompok) (Dixey, 2013).
4. Konferensi Jakarta, Indonesia (1997)
22
Konferensi Jakarta diselenggarakan pada bulan Juli, 1997 yang
bertempat di Hotel Horison, Ancol, Jakarta. Konferensi tersebut memiliki
tema “Pemeran Baru di Era Baru” dengan tujuan merubah pola tradisional
dalam promosi kesehatan dengan menciptakan kemitraan pada berbagai
sektor baik pemerintah maupun swasta. Pada konferensi ini terdapat
empat prioritas peningkatan kesehatan diantaranya meningkatkan
tanggung jawab dalam kesehatan yang dilakukan oleh pemberi layanan
kesehatan, meningkatkan investasi untuk pembangunan kesehatan,
meningkatkan kemitraan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan, dan
meningkatkan kemampuan masyarakat dalam pemberdayaan masyarakat,
serta mengembagkan infrastruktur secara bertahap dan berkelanjutan untuk
meningkatkan intensitas promosi kesehatan (Dixey, 2013).
5. Konferensi Mexico, Mexico (2000)
Konferensi Mexico memiliki tema BRIDGING THE EQUITY GAP
(Menjembatani Kesenjangan Pemerataan). Konferensi ini merupakan
konferensi promosi kesehatan yang dihadiri oleh 100 negara yang
diwakilkan oleh para Menteri Kesehatan. Pada konferensi tersebut para
menteri membuat kesepakatan diantaranya kesepakatan menteri kesehatan
sedunia untuk meningkatkan kesehatan, pengembangan kegiatan promosi
kesehatan di masing-masing negara di dunia, study kasus sebagai bukti
keberhasilan kegiatan promosi kesehatan didunia, dan membuat
perencanaan promosi kesehatan (Notoatmojo, 2005). Konferensi Mexico
menghasilkan delapan program kementerian antara lain menghargai
pencapaian standar kesehatan sebagai aset positif bagi kenyamanan hidup
dan pertumbuhan pembagunan sosial ekonomi dan pemerataan,
memahami promosi kesehatan sebagai tanggung jawab bersama, terjadi
perbaikan layanan kesehatan, menyadari banyak maslah belum teratasi,
infeksi mengurangi keberhasilan bidang kesehatan, pentingnya kolaborasi,
promosi kesehatan komponen dasar publik, dan stategi efektif (Dixey,
2013).
6. Konferensi Bangkok, Thailand (2005)
Konferensi Bangkok memiliki tema Health Promotion in a
23
Globalized World (Promosi Kesehatan dalam Dunia yang Mengglobal)
yaitu komitmen untuk kesehatan bagi semua. Pada konferensi ini
menghasilkan tiga kesepakatan yaitu menjadikan promosi kesehatan
sebagai pusat agenda pembangunan global, membuat promosi kesehatan
sebagai tanggung jawab semua bagian pemerintah, dan menjadikan
promosi kesehatan sebagai pemberdayaan masyarakat (Notoatmojo, 2005).
7. Konferensi Nairobi, Kenya (2009)
Konferensi Nairobi diselenggarakan di Nairobi, Kenya pada
tanggal 26 sampai 30 Oktober 2009. Konferensi tersebut mengambil tema
“Promoting Health and Develotment: Closing the Implementation Gap”.
Pada konferensi kenya menghasilkan lima strategi yang disepakati.
Strategi tersebut antara lain Membangun Kapasitas Promosi Kesehatan
(Building Capacity for Heaalth Promotion), Penguatan Sistem Kesehatan
(Strengthening Health Systems), Kemitraan dan Kerjasama Lintas Sektor
(Partnership and Intersesectoral Action), Pemberdayaan Masyarakat
(Community Empowerment), dan Sadar Sehat dan Perilaku Sehat (Health
Literacy and Health Behavior) (Notoatmojo, 2005).
24
Sedangkan perubahan revolusioner adalah jenis perubahan yang lebih cepat,
drastis, dan mengancam yang dapat sepenuhnya mengganggu keseimbangan suatu
sistem. Ini melibatkan berbagai tujuan dan mungkin pola perilaku yang baru
secara radikal. (Allender, 2014). Perubahan sosial yang berlangsung cepat karena
menyangkut unsur-unsur kehidupan atau lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Dalam revolusi perubahan dapat direncakan atau tidak direncanakan, dijalankan
tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. Namun, revolusi seringkali diawali
ketegangan atau konflik dalam tubuh masyarakat bersangkutan.(Kemendikbud,
2018). Jadi perubahan dapat bersifat evolusioner dan revolusioner yang mana
perubahan evolusioner bersifat bertahap dan perlahan, Sedangkan perubahan
revolusioner bersifat cepat.
Menurut pandangan Kurt Lewin, 1951 dalam Allender, 2014 seseorang
yang akan mengadakan suatu perubahan harus memiliki konsep tentang
perubahan yang tercantum dalam tahap proses perubahan agar proses perubahan
tersebut menjadi terarah dan mencapai tujuan yang ada. Tahapan tersebut
antaralain: Tahap Pencairan (Unfreezing), Tahap Bergerak (Moving), dan Tahap
Pembekuan (Refrezing). Pada Tahap Pencairan (Unfreezing) dapat dilakukan bagi
seseorang yang mau mengadakan proses perubahan adalah harus memiliki
motivasi yang kuat untuk berubah dari keadaan semula dengan merubah terhadap
keseimbangan yang ada. Disamping itu juga perlu menyiapkan diri dan siap untuk
berubah atau melakukan melakukan adanya perubahan. Pada Tahap Bergerak
(Moving) sudah dimulai adanya suatu pergerakan kearah sesuatu yang baru atau
perkembangan terbaru. Proses perubahan tahap ini dapat terjadi apabila seseorang
telah memiliki informasi yang cukup serta sikap dan kemampuan untuk berubah,
juga memilikikemampuan dalam memahami masalah serta mengetahui langkah-
langkah dalam menyesuaikan masalah. Sedangkakan pada Tahap Pembekuan
(Refrezing) merupakan tahap pembekuan dimana seseorang yang mengadakan
perubahan telah mencapai tingkat atau tahapan yang baru dengan keseimbangan
yang baru. Berdasarkan langkah-langkah menurut Kurt Lewin dalam proses
perubahan ditemuan banyak hambatan. Oleh karena itu, diperlukan kemampuan
yang benar-benar ada dalam konsep perubahan sesuai dengan tahapan berubah.
25
Tahap Perubahan perilaku sehat menurut Prochaska, Redding, dan Evers
(2009, dalam Kozier et al, 2015) antara lain:
1. Tahap Prakontemplasi
Tahap prakontemplasi ialah tahap dimana klien membantah bahwa ia
memiliki masalah, klien tidak tertarik dengan informasi kesehatan atau
klien pernah mengalami kegagalan dalam proses perubahan sehingga
masalah yang dihadapi klien dianggap sebagai takdir dan membiarkannya
saja.
2. Tahap Kontemplasi
Pada tahap ini klien menyadari masalah yang dihadapinya itu serius dan
perlu perubahan perilaku maka dari itu klien mulai mencari-cari informasi
dan mengungkapkan rencana untuk mengubah perilakunya.
3. Tahap Persiapan
Klien pada tahap ini sudah mulai membuat rencana khusus yang akan
dilakukan hingga akhir perubahan. Klien menganggap keuntungan
perubahan perilaku lebih banyak daripada kerugiannya.
4. Tahap Tindakan
Pada tahap ini klien sudah melakukan rencana yang telah dibuat
sebelumnya maka dari itu klien membutuhkan motivasi agar semangat
dalam menjalani rencana ini berjalan dengan baik.
5. Tahap Pemeliharaan
Tahap ini menekankan pada perubahan perilaku yang terjadi
diintegrasikan ke dalam gaya hidup klien. Klien yang gagal dalam tahap
ini akan mengalami relaps dan kembali ke tahap awal. Relaps merupakan
suatu kesempatan untuk belajar dari pengalaman dan memperbarui usaha
untuk berubah (Kozier et al, 2015).
6. Tahap Terminasi
Klien pada tahap ini sudah yakin bahwa masalah bukan lagi godaan atau
ancaman bagi kehidupan. Sebagai contoh, klien tadi sudah tidak takut
beresiko diabetes melitus lagi karena ia sudah yakin bahwa dengan
menjaga pola makan sehat dan bergizi akan menurunkan berat badannya.
26
Keenam tahap ini bersifat siklik, dimana biasanya individu umumnya
beroindah melalui satu tahap sebelum maju ke tahap berikutnya. Namun, pada
suau tahap, individu dapat kembali pada tahap sebelumnya. Rata-rata orang akan
berhasil berubah secara mandiri akan kembali pada tahap sebelumnya beberapa
kali sebelum mereka mencapai puncak dan keluar dari siklus tersebut. (Prochaska
et al., 1994 Dalam Kozier, 2015)
27
Ketiga strategi tersebut bisa digunakan secara bersamaan atau kombinasi.
Efektivitas setiap strategi juga ditentukan oleh situasi umum dan khusus yang
dimiliki klien dalam memenuhi perawatan diri. Perawat sebagai agen perubahan
harus menyesuaikan strategi agar sesuai dengan setiap perubahan situasi,
termasuk perasaan klien terhadap perubahan itu sendiri.
Enam prinsip pedoman pengaruh perubahan posotif tersebut adalah
(Allender et al., 2014):
1. Prinsip Partisipasi
Klien diusahan selalu terlibat dalam setiap langkah perubahan yang dilakukan.
Partispasi setiap klien akan membentuk hubungan kolaborasi, sehingga dapat
memberikan ide dan informasi yang dapat memaksimalkan rencana perubahan
yang akan dilakukan. Selain itu, hambatan seperti perlawanan juga dapat
diminimalisir melalui hubungan koloborasi dalam partispasi klien. Partispasi ini
juga meningkatkan peluang perubahan itu akan diterima oleh masyarakat.
2. Prinsip Perlawanan terhadap Perubahan
Semua sistem secara insting mempertahankan status quo yang dimilikinya. Semua
sistem mengalami inersia, yaitu, mereka menolak gerakan awal. Klien tidak akan
melakukan perubahan sampai mereka yakin terhadap nilai dalam perubahan
tersebut. Perlawanan juga bisa datang konflik atas tujuan dan metode atau dari
kesalahpahaman. Seperti yang dibahas di bagian sebelumnya, partisipasi klien
dalam proses perencaan perubahan adalah salah satu cara untuk mengatasinya
perlawanan. Cara lain adalah membangun dan mempertahankan jalur komunikasi
terbuka untuk membuat ide-ide dengan jelas dipahami dan untuk menyelesaikan
perselisihan dengan cepat. Perawat perlu mempersiapkan klien secara menyeluruh
untuk perubahan, baik dalam memberikan dukungan, kesabaran selama proses
perubahan, dan mendorong respons serta ekspresi perasaan klien.
3. Prinsip Waktu yang Tepat
Waktu yang tepat pentingnya dalam proses memeberikan perubahan. Waktu yang
tepat akan menghasilkan hasil yang baik. Ide atau gagasan perubahan yang sesuai,
kondisi klien, perubahan iklim, dan sumber daya yang tersedia juga perlu
diperhatikan dalam merencanakan suatu perubahan.
4. Prinsip Saling Ketergantungan
28
Setiap sistem memiliki banyak subsistem yang rumit dan saling ketergantungan
satu dengan yang lainnya. Sebuah perubahan di satu bagian sistem pun juga
memengaruhi bagian lainnya. Prinsip saling ketergantungan ini mengingatkan
perawat, bahwa perubahan itu tidak terjadi jika tidak ada ketergantungan dari
seluruh pihak. Seluruh pihak harus mengantisipasi dan mempersiapkan dampak
perubahan yang direncankan baik secara individu, organisasi, maupun wilayah
geografis.
5. Prinsip Fleksibilitas
Peristiwa tak terduga dapat terjadi setiap saat. Prinsip fleksibilitas menekankan
dua poin utama yang perlu diperhatikan. Pertama, perawat harus mampu
beradaptasi dengan kejadian yang tidak terduga dan manfaatkan semua yang ada
secara maksimal. Kedua, menyiapkan strategi atau cara alternatif dalam
mengantisipasi masalah yang mungkin terjadi. Prinsip fleksibilitas ini melibatkan
kemauan untuk mempertimbangkan beragam pilihan dan saran dari banyak
sumber
6. Prinsip Pemahaman Diri
Pemahaman diri sangat penting untuk seorang agen perubahan. Perawat
komunitas harus dapat mendefinisikan dengan jelas peran dan respon orang lain
terhadap dirinya. Hal ini penting untuk memahami nilai-nilai dan motif seseorang
dalam melakukan perubahan. Perawat juga perlu memahami ciri-ciri kepribadian
diri sendiri, sehingga mereka dapat memanfaatkan atau mengubah guna
memaksimalkan tugasnya menjadi agen perubahan.
Motivasi menjadi salah satu pengaruh bagi seseorang untuk mencapai suatu
tujuan tertentu. Menurut Suarli dan Bahtiar (2012), motivasi dapat bersumber dari
motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik merupakan motivasi yang
berasal dari dalam diri individu, seperti tingkat pendidikan, harapan atau
keinginan, dan pengalaman. Sementara motivasi ekstrinsik merupakan motivasi
yang berasal dari luar diri individu, seperti lingkungan, dorongan/bimbingan dari
orang lain dan jarak suatu tempat untuk mencapai tujuannya. Motivasi menurut
29
sifatnya dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu motivasi takut, motivasi insentif, dan
motivasi sikap atau self-motivation (Sukmadinata, 2009). Motivasi takut atau fear
motivation merupakan motivasi yang didasari oleh rasa ketakutan seseorang.
Individu melakukan sesuatu karena takut akan terjadi hal yang tidak diinginkan
atau diharapkan. Motivasi insentif merupakan motivasi yang didasari oleh
keinginan individu untuk mendapatkan suatu insentif. Contohnya adalah seorang
anak melakukan pemantapan materi ujian agar mendapatkan nilai yang bagus dan
diberikan hadiah oleh orang tuanya. Motivasi sikap atau self-motivation
merupakan motivasi yang bersifat intrinsik, muncul dari dalam diri individu,
berbeda dengan kedua motivasi sebelumnya yang bersifat ekstrinsik dan datang
dari luar diri. Motivasi sikap biasanya dialami oleh seseorang yang memiliki
tingkat kesadaran yang tinggi. Contohnya adalah seseorang ingin membuang
sampah pada tempat sampah sesuai golongan karena ia sadar bahwa sampah perlu
dipilah terlebih dahulu agar lebih mudah untuk didaur ulang
30
Tingkat ketiga adalah kebutuhan sosial, rasa ingin memiliki, dan cinta,
dimana seseorang memiliki hubungan antarsosial. Kebutuhan sosial yang
diperlukan pada tingkat ini, mungkin disadari melalui hubungan-hubungan
antarpribadi yang mendalam, tetapi juga yang dicerminkan dalam kebutuhan
untuk menjadi bagian berbagai kelompok sosial (Potter & Perry, 2013).
Contohnya adalah hubungan pertemanan, afiliasi, interaksi, pernikahan, kerja
sama dalam tim, dan lain-lain. Tingkat keempat adalah kebutuhan akan
penghargaan atau harga diri, kebutuhan untuk menghargai diri sendiri maupun
mendapat penghargaan dari orang lain. Manusia sebagai makhluk sosial yang
dalam kehidupannya selalu berinteraksi dengan orang lain, ingin mendapatkan
penerimaan dan penghargaan dari yang lainnya. Misalnya adalah pencapaian
posisi atau jabatan tertentu. Tingkat kelima atau tingkatan yang paling atas adalah
kebutuhan aktualisasi diri, kebutuhan untuk bisa memaksimalkan kemampuan,
keahlian, serta potensi diri (Potter & Perry, 2013). Ketika semua kebutuhan lain
sudah dipuaskan, seseorang ingin mencapai secara penuh potensinya, seperti
menghadapi tantangan kerja.
31
lain, dan anggota komunitas. Kolaborasi ini dilakukan atas dasar nilai, partisipasi,
dan upaya bersama (Allender, 2010). Kolaborasi ini dibangun dengan melibatkan
kepercayaan satu sama lain dan kepercayaan diri. Kolaborasi memiliki dua fitur
dasar, yaitu memiliki tujuan dan juga meibatkan beberapa pihak yang saling
membantu untuk mencapai tujuan tersebut (Allender, 2010). Adapun beberapa
strategi untuk membangun kolaborasi tim interprofesional, diantaranya:
32
memiliki keahlian dan paling berpengetahuan untuk menghasilkan hasil yang
menguntungkan. Misalnya setelah mendapat topik materi pendiddikan kesehatan,
perawat dan anggota tim lainnya berkolaborasi untuk mengekplorasi sumber daya
pendidikan kesehatan di pelayanan kesehatan setempat dalam profesi masing-
masing anggota (Allender, 2010).
Struktur pada kolaborasi biasanya terdiri dari tiga fase karena kebanyakan
hubungan kolaborasi melibatkan waktu, diantaranya fase awal, fase tengah, fase
akhir. Fase awal yaitu ketika hubungan tim baru saja dibangun. Pada fase ini
semua anggota tim saling mengenal dan mencoba untuk membangun pola
komunikasi dan mengembangkan kepercayaan satu sama lain. Fase selanjutnya
yaitu fase tengah atau dapat disebut sebagai fase kerja yaitu ketika anggota tim
mulai bekerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Fase ini dapat
diulang sesuai dengan kebutuhan sampai tujuan dapat tercapai dengan hasil yang
memuaskan (Allender, 2010). Fase akhir terjadi ketika kebutuhan dari kerja sama
antaranggota sudah berakhir.
33
Memahami apa yang dilakukan oleh profesional lain dan bagaimana
mereka memandang peran mereka
Memahami perbedaan antara tingkat ketajaman klien di seluruh tingkat
perawatan, termasuk perawatan akut, perawatan di rumah, perawatan
rawat jalan, dan perawatan jangka panjang.
(Stanhope, 2012).
34
2.6 Konsep Advokasi
35
pemerintahan, lembaga perwakilan rakyat, mitra di kalangan pengusaha, badan
penyandang dana, media massa, organisasi profesi maupun kemasyarakatan,
maupun tokoh-tokoh lain yang berpengaruh (Maulana, 2009).
36
b. Mengidentifikasi dan menganalisis kelompok sasaran. Sasatan kegiatan
ditujukan kepada para pembuat keputusan maupun penentu kebijakan, baik
dalam bidang kesehatan maupun bidang lainnya. Dalam mengidentifikasi
sasaran perlu menetapkan siapa saja yang menjadi sasaran, mengapa perlu
dilakukan advokasi, apa kecenderungan yang ada, serta apa harapan untuk
kedepannya (Maulana, 2009).
c. Menyiapkan dan mengemas bahan informasi. Bahan informasi adalah
informasi yang akurat, tepat dan menarik. Dalam menetapkan bahan infomasi
perlu mempertimbangkan hal berikut seperti a) bahan informasi memuat
rumusan masalah, latar belakang masalah, alternatif cara mengatasi masalah,
usulan tindakan yang diharapkan, serta tindak lanjut penyelesaian masalah, b)
dikemas secara menarik, ringkas, jelas, dan mengesankan, c) bahan informasi
disertai dengan data pendukung, ilustrasi contoh, gambar, ataupun gambar,
serta d) waktu dan tempat penyampaian dari bahan informasi tersebut, apakah
sebelum, saat maupun setelah pertemuan (Maulana, 2009).
d. Merencanakan teknik atau cara ataupun kegiatan operasional. Beberapa
teknik yang dapat dilakukan diantaranya konsultasi, lobi, pendekatan formal
maupun informal kepada para pembuat keputusan, negosiasi, pertemuan
khusus, debat publik, petisi, pembuatan opini, dan seminar kesehatan
(Maulana, 2009).
e. Melaksanakan kegiatan, pantau dan evaluasi serta lakukan tindak
lanjut. Evaluasi diperlukan untuk menilai ketercapaian tujuan serta
memperbaiki strategi pelaksanaan advokasi kesehatan (Maulana, 2009).
37
jaringan, maupun forum kegiatan. (3) Indikator input yaitu adanya sasaran yang
tepat, bahan informasi, serta kesiapan dari pelaku advokasi.
38
memanfaatkan potensi setempat. Keenam, upaya dilakukan secaran kemitraan
dengan berbagai pihak untuk mewujudkan tujuan yang telah disepakati
sebelumnya. Ketujuh, desentralisasi (sesuai dengan keadaan dan budaya
setempat), dimana adanya kesempatan bagi masyarakat untuk mengembangkan
potensi wilayah dan daerahnya masing-masing.
Terdapat 7 model dan bentuk konsep pemberdayaan dalam melakukan
promosi kesehatan (Jones, Winslow, Lee, Burns, & Zhang, 2011). Pertama,
pemberdayaan pimpinan masyarakat (community leaders), misalnya melalui
sarasehan. Kedua, pengembangan upaya kesehatan bersumber daya masyarakat
(community organizations), misalnya posyandu dan polindes. Ketiga,
pemberdayaan pendanaan masyarakat (community fund), misalnya JPKM dan
dana sehat. Keempat, pemberdayaan sarana masyarakat (community material),
misalnya pembangunan jamban atau sumur di masyarakat. Kelima, peningkatan
pengetahuan masyarakat (community knowledge), misalnya lomba melukis pada
anak atau lomba mengasah keterampilan lainnya. Keenam, pengembangan
teknologi tepat guna (community technology), misalnya pendeteksi dini kanker.
Terdapat 5 langkah kegiatan di tingkat operasional dalam pemberdayaan
masyarakat (Maulana, 2009). Pertama, pendekatan pada pimpinan masyarakat
(advocacy). Kedua, survei mawas diri, atau pengkajian masalah di masyarakat
(community diagnosis). Ketiga, perumusan masalah dan kesepakatan bersama
dalam musyawarah masyarakat desa (community prescription). Keempat,
pemecahan masalah bersama (community treatment). Kelima, pembinaan dan
pengembangan (development).
Kemitraan adalah kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk mencapai
tujuan bersama, dimana masing-masing pihak mewakili hak dan tanggung jawab
sesuai dengan kesepakatan (Kemenkes, 2019). Notoatmodjo pada tahun 2003
menyebutkan bahwa kemitraan adalah suatu kerjasama formal antara individu-
individu, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi untuk mencapai suatu
tugas atau tujuan tertentu. Berdasarkan pengertian yang telah disampaikan, dapat
39
dikatakan bahwa kemitraan merupakan hubungan kerjasama dua pihak atau lebih
untuk mencapai tujuan yang sama.
1. Equity (Kesetaraan)
40
merasa kedudukannya lebih tinggi. Seluruh anggota atau mitra memiliki hak dan
suara yang sama dalam pengambilan keputusan untuk mencapai tujuan bersama
dan menjunjung tinggi musyawarah dan mufakat.
2. Transparency (Keterbukaan)
Arti menguntungkan dalam hal ini tidak hanya dititikberatkan pada materi,
tetapi pada nonmateri, seperti kebersamaan atau sinergis antarmitra dalam
mencapi tujuan bersama. Selain itu setiap mitra mempunyai tujuan dan
kepentingan yang sama dalam melaksanakan upaya pembangunan kesehatan akan
mendapatkan keuntungan dan manfaat.
41
(antarmitra saling menjalin kedekatan satu sama lain), openness (setiap mitra
bersedia membantu dan dibantu mitra lainnya), synergy (satu mitra dengan
lainnya saling mendorong dan mendukung), reward (mitra harus saling
menghargai dan toleransi) (Kemenkes, 2014).
42
2.9 Promosi Kesehatan dalam Pelayanan Keperawatan
2.9.1 Prinsip Promosi Kesehatan
Prinsip promosi kesehatan menurut WHO pada Ottawa Charter for health
promotion (1986) mengemukakan ada tujuh prinsip pada promosi kesehatan,
antara lain :
43
b. Partisipative ( partisipasi) yaitu dimana seseorang mengambil bagian aktif
dalam pengambilan keputusan.
g. Multi Strategy yaitu bekerja pada sejumlah strategi daerah seperti program
kebijakkan.
44
g. Organisasi harus menggunakan inisiatif kebijakan berbasis populasi
maupun intervensi promosi kesehatan yang intensif dengan berorientasi
pada perorangan dan kelompok.
b. Metode kelompok: dibagi atas kelompok besar (lebih dari 15 orang) dan
kelompok kecil
45
2.9.3 Media Promosi Kesehatan
Media merupakan saluran seperti sarana visual dan pendengaran yang
berfungsi untuk membawa pesan (Potter & Perry, 2009). Media merupakan alat
atau sarana komunikasi yang menjadi perantara atau penghubung antara dua pihak
(orang, golongan, dan sebagainya), seperti koran, majalah, radio, televisi, film,
poster, dan spanduk (KBBI, 2019). Adapun manfaat dari penggunaan
media antara lain (1) Memudahkan penyampaian informasi; (2) Menghindari
kesalahan persepsi; (3) Memperjelas informasi; (4) Lebih mudah dipahami dan
diingat oleh klien; (5) Memusatkan perhatian; (6) Mendorong klien untuk
menerapkan perilaku kesehatan yang dianjurkan.
1. Media Cetak
46
efek gerak. Contoh: poster, lembar balik, brosur, pamflet, majalah, dan surat
kabar
2. Media Elektronik
1. Advokasi
2. Dukungan sosial
3. Pemberdayaan masyarakat
47
c. Reorientasi pelayanan kesehatan (reorient health service)
48
Faktor budaya, misalnya kebiasaan makan makanan bergula tinggi pada
suku tertentu. Faktor ekonomi, misalnya penyusunan menu makanan sehari-hari
disesuaikan dengan keadaan ekonomi. Gaya belajar, misalnya terdapat beberapa
klien yang menerima informasi dengan baik jika menggunakan alat bantu atau
demonstrasi. Faktor pendukung pada klien, misalnya keterlibatan keluarga
dalam mengawasi anggotanya mematuhi pengobatan, seperti meminum obat
secara rutin dan tepat waktu.
49
Contoh diagnosis keperawatan dalam promosi kesehatan meliputi: 1)
kesiapan untuk mekanisme koping keluarga, 2) kesiapan untuk peningkatan gizi.
Untuk menentukan diagnosis keperawatan dalam promosi kesehatan --> perawat
menggunakan penilaian-penilaian klinis untuk merumuskan
hipotesis atau penjabaran tentang kemungkinan adanya masalah, risiko, dan/
atau peluang promosi kesehatan. Semua langkah ini membutuhkan pengetahuan
tentang konsep dasar ilmu keperawatan itu sendiri sebelum pola yang ada dapat
diidentifikasi dalam data klinis atau diagnosis yang akurat dapat dibuat (Potter &
Perry, 2013).
50
4) Pengembangan koping, intervensi untuk membantu orang lain
dalam membangun dan memiliki kekuatan, beradaptasi dengan
perubahan fungsi, atau bahkan mencapai fungsi yang lebih tinggi.
Implementasi
a. sasaran/klien
b. jadwal
e. materi pembelajaran
Kegiatan yang dilakukan dapat berupa (Berman, Snyder, & Kozier, 2016):
a. dukungan, konseling
51
b. memberian fasilitas
c. pengajaran
d. konsultasi.
Evaluasi
52
Historical, yaitu dengan merekonstruksi kejadian di masa lalu secara
objektif kemudian dikaitkan dengan hipotesis.
Studi kasus, yaitu dengan meneliti latar belakang status sekarang dan
interaksi lingkungan di suatu unit sosial.
Studi korelasional, yaitu dengan melihat variasi faktor dengan faktor lain
berdasarkan koefisien tertentu.
53
1. rutin (pada saat proram berlangsung)
54
1. Instruction, pemberian informasi berbasis pengajaran yang dilakukan oleh
pengajar seperti ceramah, diskusi, atau kerja kelompok, dan pembelajaran
informasi yang dapat dilakukan oleh individu contohnya seperti pembelajaran
berbasis komputer, menulis, atau pembelajaran dengan audiovisual.
2. Counseling, dapat dilakukan pada kelompok maupun individu dengan tujuan
untuk mengubah perilaku dan kebiasaan klien.
3. Regulatory strategies, mencakup regulasi dari pihak berwenang, seperti
peraturan polisi, legislasi, dan peraturan yang memang dapat menunjang
promosi kesehatan.
4. Environmental change, yang meliputi perubahan lingkungan klien pada aspek
fisik, sosial, atau ekonomi yang dapat mempengaruhi perubahan perilaku klien
dalam meningkatkan kesehatan. Program ini menjadikan lingkungan fisik
penunjang kesehatan, baik di rumah, tempat kerja, atau tempat-tempat umum.
5. Social support, dukungan sosial yang dapat disediakan melalui kelompok atau
hubungan sosial.
6. Direct interventions atau intervensi langsung seperti pemantauan, perawatan,
dan follow-up untuk menstimulasi perubahan pada klien.
7. Communication or media outreach, bentuk intervensi yang memanfaatkan
komunikasi melalui media massa, radio, televisi, surat kabar, atau personal
blog untuk menginformasikan topik promosi kesehatan.
8. Advocacy, dengan melakukan pengorganisasian pada situs sosial, area atau
wilayah koalisi, dan aksi sosial yang dapat menunjang terpenuhinya tujuan
promosi kesehatan.
55
body systems therapy ( pengobatan kiropraksi, macam-macam pijat, rolfing, serta
hidroterapi).
56
lain karena pada usia lansia biasanya mereka mengalami beberapa perubahan
yang mempengaruhi kesehatan (semakin besar kemungkinan untuk terkena
penyakit tertentu) dan mempengaruhi kesejahteraan (berkurangnya lingkar
pertemanan karena teman-temannya mulai meninggal dan kesulitan bersosialisasi
karena sulit mengendarai kendaraan atau mengakses transportasi umum). Fokus
promosi kesehatan pada lansia berfokus pada fisiologi dan psikososial seperti
komunikasi terapeutik, sentuhan, orientasi kenyataan, dan meningkatkan
penampilan tubuh. Sedangkan pada usia dewasa berfokus pada pengalaman dan
permasalahan yang dihadapi dengan karakteristik pembelajaran self-centered
learning.
2.12.1 Advokat
Peran perawat sebagai advokat klien dapat ditunjukkan dengan
memposisikan diri perawat sebagai penerima keluhan masyarakat dan
menghubungkannya ke penyedia pelayanan kesehatan terkait agar kepuasan akan
kebutuhan kesehatan masyarakat dapat terpenuhi.
Peran perawat sebagai advokat menurut Edelman, Mandle, dan Kudzma (2014)
diantaranya:
57
2. Memastikan adanya pelayanan kesehatan yang berkualitas tinggi, aman,
pantas, dan dengan biaya yang efektif
3. Memberikan pelayanan yang sama kepada semua klien
4. Membantu dan mendukung klien mengambil keputusan akan kesehatannya
dengan tepat
Contoh advokat dalam promosi kesehatan yaitu
1. Membantu klien menetapkan nasib sendiri dan lebih mandiri secara personal
demi meningkatkan taraf kesehatannya
2. Membantu klien menjelaskan layanan kesehatan apa saja yang tersedia agar
klien mudah untuk menetapkan keputusannya
3. Membuat sistem pelayanan kesehatan menjadi relevan dengan kebutuhan
masyarakat
2.12.2 Kolaborator
Peran perawat sebagai kolaborator dapat ditunjukkan dengan kemampuan
untuk bekerja sama dengan profesi tenaga kesehatan lain. Seperti klien, perawat
lain, dokter, guru, pendidik kesehatan, pekerja sosial, ahli terapi dan lain-lain.
58
penyembuhan (Potter & Perry, 2013). Perawat dapat membantu kesembuhan klien
dengan memenuhi semua kebutuhan perawatan kesehatan pasien. Menurut
Fadhillah (2011), Contoh penerapan dalam promosi kesehatan, yaitu:
59
Memberikan dukungan baik kepada klien maupun tenaga kesehatan yang
membantu dalam memberikan pendidikan kesehan untuk meningkatkan
motivasinya dalam melaksanakan promosi kesehatan ini.
2.12.6 Konselor
Perawat sebagai konselor adalah peran yang dilakukan perawat dalam
membantu klien mengidentifikasi dan mengklarifikasi masalah kesehatan dan
membantu dlaam menyelesaikan masalahnya.Mengetahui sumber daya
masyarakat adalah faktor penting yang harus diketahui perawat sebagai konselor
agar dapat berjalan secara efektif. Fungsi perawat sebagai konselor yaitu:
60
2. membantu klien dalam mengidentifikasi masalah serta faktor - faktor
penyebabnya
3. memberikan petunjuk pada klien untuk mencari pemecahan masalah dan
memilih cara pemecahan masalah mana yang tepat
4. membantu klien dalam menentukan pemecahan masalah yang dapat dilakukan
61
pentingnya gizi seimbang pada anak, dan cara - caranya (perawat sebagai
pendidik).
BAB III
62
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dalam promosi kesehatan yang efektif diperlukan tindakan-tindakan nyata
yang dapat dilakukan oleh perawat untuk mewujudkan visi dan misi dalam
promosi kesehatan secara efektif dan efisien, maka diperlukan cara dan
pendekatan yang strategis yaitu strategi promosi kesehatan demi tercapainya
tujuan yang diinginkan serta dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
yang menerima promosi kesehatan.
3.2 Saran
Diharapkan dengan adanya makalah ini pembaca dapat memahami tentang
strategi promosi kesehatan dengan segala aspek-aspek lainnya yang sangat
membantu dalam rangka memajukan kesehatan masyarakat serta meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat dengan adanya promosi kesehatan yaitu melalui
penyuluhan kesehatan atau pendidikan kesehatan kita sebagai perawat dapat
memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat dengan cara memberikan edukasi
sebagai tindakan pencegahan dalam mengatasi masalah kesehatan.
63
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Kholid. (2014). Promosi Kesehatan. Jakarta: Raja Grafindo.
Allender, J.A., Rector, C., & Warner, K.D. (2010). Community Health Nursing:
Promoting and Protecting the Public’s Health. Philadelphia: Lippincot
Williams & Wilkins
Beale, L. (2017). Human Disease and Health Promotion. Canada: John Woley &
Sons Inc.
Berman, A. & Snyder, S. ( 2016). Kozier & Erb’s fundamentals of nursing :
concepts, practice, and process / Audrey Berman, Shirlee Snyder, and
Geralyn Frandsen.—Tenth edition. USA : Pearson PLC
Canadian Public Health Association. (2010). Public Health Community Health
Nursing Pravtice in Canada, Roles, and Activities. Ottawa: Canadian
Public Health Association.
College of Public Health University of Georgia. (n.d.). What is Health Promotion.
Retrieved from College of Public Health University of Georgia:
https://publichealth.uga.edu/departments/health-promotion-behavior/what-
is-health-promotion/
Dixey, R. (2013). Health Promotion Global Principle and Practice. Pondicherry:
Gutenberg Press
Edelman, CL and Mandle, CL. (2014). Helath Promotion Throught the lifepan.
The Mosby: St Louis
Effendi, F., & Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas, Teori dan
Praktik dalam Keperawatan.Jakarta: Salemba Medika
Fertman, C. I. & Allensworth, D. D. (2010). Health Promotion Programs: From
Theory to Practice. San Francisco: The Society for Public Health
Education
Green, L. W., dan Kreuter, M. W. (2005). Health Program Planning: An
Educational and Ecological Approach. San Fransisco: University of
California.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Promosi Kesehatan di Daerah
Bermasalah Kesehatan: panduan bagi petugas kesehatan di Puskesmas.
http://www/depkes.go.id/resources/download/promosi-kesehatan/panduan-
promkes-dbk.pdf
Kementrian kesehatan Republik Indonesia. (2018). Hasil Utama Riskesdas 2018.
Diambil dari https://www.kemkes.go.id/resources/download/info-
terkini/hasil-riskesdas-2018.pdf
Kok, G., & Vries, N. K. De. (2015). Health Education and Health Promotion. In
International Encyclopedia of Social & Behavioral Sciences (Second Edi,
Vol. 10). Elsevier. https://doi.org/10.1016/B978-0-08-097086-8.92055-5
Kumar, S., & Preetha, G. (2012). Health Promotion: An Effetive Tool for Global
Health. Indian Journal of Community Medicine, 5-12.
Maulana, H. D. J. (2009). Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC.
64
Notoatmodjo, Soekidjo. (2005). Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta:
Rineka Cipta. Fitriani, Shinta. (2011). Promosi Kesehatan. Yogykarta:
Graha Ilmu.
Notoadmodjo, Soekidjo. (2010). Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan.
Jakarta: Rineka Cipta
Pender, N. J., Murdaugh, C. L., dan Parsons, M. A. (2015). Health Promotion in
Nursing Practice. The United States of America: Pearson Education Inc.
Piper, S. (2009). Health Promotion for Nurses: Theory and Practice. London:
Routledge Taylor & Francis Group.
Potter, P. A., Perry, A. G., Stockert, P. A., & Hall, A. M. (2013). Fundamentals of
Nursing (8th ed.). Missouri: Elsevier.
65
World Health Organization. (2016). Health Promotion. Retrieved from World
Health Organization: https://www.who.int/health-topics/health-
promotion#tab=tab_1
World Health Organization. (2016). Primary Health Care. Retrieved from World
Health Organization: https://www.who.int/health-topics/primary-health-
care#tab=tab_1
World Health Organization. (2016.). The Ottawa Charter for Health Promotion.
Retrieved from World Health Organization:
https://www.who.int/healthpromotion/conferences/previous/ottawa/en/inde
x1.html
66