Anda di halaman 1dari 71

PENDIDIKAN KESEHATAN DALAM PELAYANAN KEPERAWATAN

Mata Kuliah Promosi Kesehatan

Kelas B

Disusun Oleh:

Dzakiyyah Alya Yusriyah 1806203566

Elisa 1806139960

Elok Dwi Oktaviana 1806139973

Shafa Az-Zahra Anindya 1806203673

Shafa Nabila Mumtaz 1806203446

Tantri Rosyiani 1806203181

Program Studi Sarjana Ilmu Keperawatan

Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia

Depok
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji serta syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. yang telah
memberikan kami kemudahan sehingga kami, Home Group 2 dapat
menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya
kami tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah dengan topik “Pendidikan
Kesehatan dalam Pelayanan Keperawatan” ini dengan baik. Shalawat serta salam
semoga terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad
SAW yang kita nanti-natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Kami (Home Group 2) tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata
sempurna dan masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya.
Untuk itu, kami mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini,
supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi.
Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis mohon
maaf yang sebesar-besarnya.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam
penyusunan maklah ini.

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Depok, 25 April 2020

i
Home Group 2

DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................1
1.3 Tujuan........................................................................................................2
BAB II......................................................................................................................3
2.1 Konsep Dan Teori Belajar.........................................................................3
2.1.1 Pengantar Konsep Promosi Kesehatan..............................................3
2.1.2 Definisi, Tujuan, dan Sasaran Konsep Promosi Kesehatan...............7
2.1.3 Ruang Lingkup Promosi Kesehatan.................................................10
2.1.4 Model Promosi Kesehatan: Health Belief Model dan Theory of
Reasoned Action.............................................................................................12
2.1.5 Model Promosi Kesehatan: Model Transtheoretical dan Model
Precede – Proceed...........................................................................................14
2.2 Kebijakan Promosi Kesehatan.................................................................19
2.2.1 Kebijakan Promosi Kesehatan dalam Lingkup Nasional.................19
2.2.2 Kebijakan Promosi Kesehatan dalam Lingkup Internasional..........21
2.3 Teori Perubahan......................................................................................24
2.4 Konsep Motivasi......................................................................................29
2.5 Konsep Kolaborasi..................................................................................31
2.6 Konsep Advokasi....................................................................................34
2.7 Konsep Pemberdayaan............................................................................38
2.8 Konsep Kemitraan...................................................................................39
2.9 Promosi Kesehatan dalam Pelayanan Keperawatan................................42
2.9.1 Prinsip Promosi Kesehatan..............................................................42
2.9.2 Jenis Metode Promkes (individual, massa, kelompok)....................45
2.9.3 Media Promosi Kesehatan...............................................................45
2.9.4 Strategi Promosi Kesehatan.............................................................47

ii
2.9.5 Tahapan Promosi Kesehatan (Pengkajian)......................................48
2.9.6 Tahapan Promosi Kesehatan (Diagnosis & Perencanaan)...............49
2.9.7 Tahapan Promkes (Implementasi dan Evaluasi)..............................51
2.10 Intervensi dan Terapi Komplementer dalam Promosi Kesehatan...........54
2.10.1 Strategi intervensi (Stanhope & Lancaster, 2016):..........................54
2.10.2 Bentuk Intervensi (Fertman & Allenswoth, 2010)...........................54
2.10.3 Terapi Komplementer......................................................................55
2.10.4 Pelayanan kesehatan preventif.........................................................56
2.11 Intervensi Promosi Kesehatan Berdasarkan Tingkat Usia......................56
2.11.1 Pada lansia dan dewasa....................................................................56
2.11.2 Pada anak dan remaja.......................................................................57
2.12 Peran Perawat dalam Promosi Kesehatan...............................................57
2.12.1 Advokat............................................................................................57
2.12.2 Kolaborator......................................................................................58
2.12.3 Care Giver........................................................................................58
2.12.4 Case Manager...................................................................................59
2.12.5 Change Agent...................................................................................59
2.12.6 Konselor...........................................................................................60
2.12.7 Edukator atau Pendidik....................................................................61
BAB III..................................................................................................................62
3.1 Kesimpulan..............................................................................................62
3.2 Saran........................................................................................................63
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................64

iii
iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Promosi kesehatan merupakan segala upaya untuk mendekatkan
masyarakat ke tingkat kesejahteraan yang optimal. Promosi kesehatan juga telah
dikemukakan pada Ottawa Charter, yaitu suatu proses yang memungkinkan
individu untuk meningkatkan derajat kesehatannya. Termasuk didalamnya adalah
sehat secara fisik, mental, dan sosial sehingga individu atau masyarakat dapat
merealisasikan cita-citanya, mencukupi kebutuhan-kebutuhannya, dan mengubah
atau mengatasi lingkungan.
Salah satu upaya pemerintah dalam dalam menyadarkan masyarakat
mengenai Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yaitu dengan melakukan
pendidikan kesehatan yang tidak hanya dilakukan di sekolah tetapi juga
dilaksanakan dengan cara penyuluhan oleh tenaga kesehatan termasuk perawat.
Oleh karena itu, pengetahuan perawat sangat penting untuk memberikan informasi
kepada masyarakat mengenai masalah yang terjadi. Seorang perawat harus
mengetahui mengenai model, teori, konsep, dan prinsip promosi kesehatan agar
dalam memberikan promosi kesehatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana konsep dan model dari promosi kesehatan?
2. Apa saja kebijakan-kebijakan terkait promosi kesehatan?
3. Apa yang dimaksud dengan konsep perubahan?
4. Apa yang dimaksud dengan konsep kolaborasi?
5. Apa yang dimaksud dengan konsep advokasi?
6. Apa yang dimaksud dengan konsep kemitraan?
7. Apa yang dimaksud dengan konsep motivasi?
8. Apa yang dimaksud dengan konsep pemberdayaan?
9. Bagaimana prinsip dalam promosi kesehatan?
10. Bagaimana metode dan media yang digunakan dalam promosi kesehatan?
11. Apa saja strategi yang bisa digunakan dalam promosi kesehatan?

1
12. Apa tahapan-tahapan promosi kesehatan?
13. Bagaimana intervensi terkait promosi kesehatan?
14. Bagaimana peran perawat dalam promosi kesehatan?

1.3 Tujuan
Mahasiswa dapat mengetahui dan memahami tentang:
1. Konsep dan model promosi kesehatan
2. Kebijakan promosi kesehatan
3. Konsep perubahan
4. Konsep kolaborasi, advokasi, kemitraan, motivasi, pemberdayaan
5. Prinsip, metode, media, dan strategi promosi kesehatan
6. Tahapan promosi kesehatan
7. Intervensi promosi kesehatan
8. Peran perawat dalam promosi kesehatan

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Konsep Dan Teori Belajar

2.1.1 Pengantar Konsep Promosi Kesehatan


Berdasarkan Allender (2014), promosi kesehatan merupakan segala upaya
yang mendekatkan orang ke tingkat kesejahteraan optimal. Promkes ini bertujuan
untuk meningkatkan tingkat kesehatan bagi individu, keluarga, populasi, dan
masyarakat, dengan meningkatkan rentang hidup sehat untuk semua warga
negara, mengurangi kesenjangan kesehatan di antara kelompok populasi, dan
semua orang dapat mengakses layanan pencegahan (Allender, 2014). Menurut
Piper (2009), promosi kesehatan merupakan suatu proses yang memungkinkan
individu untuk meningkatkan kontrol dan mencapai derajat kesehatan yang
setinggi-tingginya. Program dan kegiatan promosi kesehatan mencakup banyak
bentuk pendidikan kesehatan, misalnya mengajarkan bahaya penggunaan narkoba,
menunjukkan praktik yang menyehatkan seperti olahraga teratur, serta
menyediakan lebih banyak pilihan promosi kesehatan seperti pilihan menu yang
menyehatkan jantung. Promkes juga mencakup pengembangan dan pengelolaan
layanan perawatan kesehatan preventif terhadap kebutuhan kesehatan masyarakat.
Perkembangan promosi kesehatan di Indonesia dimulai dari periode
sebelum tahun 1965 dimana belum adanya istilah promosi kesehatan. Saat itu
istilahnya adalah Pendidikan Kesehatan dimana pendidikan tersebut hanya
sebagai pelengkap pelayanan kesehatan terutama ketika terjadi keadaan kritis
seperti wabah penyakit dan bencana. Tahun 1965 sampai 1975, telah dimulainya
peningkatan tenaga professional melalui Health Educational Service. Kemudian
pada tahun 1975 sampai 1985, istilah pendidikan kesehatan berubah menjadi
penyuluhan kesehatan. Depatermen kesehatan mulai aktif membina dan
memberdayakan masyarakat. Saat itu Posyandu lahir sebagai pusat pemberdayaan
masyarakat. Pendidikan kesehatan pada era tahun 80-am menekankan pada
pemberian informasi kesehatan melalui media dengan harapan masyarakat mau
melakukan perilaku hidup sehat, namun ternyata perubahan tersebut sangat
lamban dan dampak terhadap perbaikan kesehatan sangat kecil. Oleh sebab itu,

3
para ahli kesehatan pada tahun 1984 merevitalisasi pendidikan kesehatan tersebut
dengan menggunakan istilah promosi kesehatan. Promosi kesehatan
mengupayakan peningkatan kemampuan hidup sehat bukan sekedar berperilaku
sehat.
Pada periode tahu 1985-1995, Direktoral Peran Serta Masyarakat
dibentuk dan diberi tugas untuk memberdayakan masyarakat. Direktoral PKM
berubah menjadi Pusat PKM yang tugasnya sebagai penyebaran informasi,
komunikasi, kampanye, dan pemasaran social bidang kesehatan. Pandangan atau
visi mulai dipengaruhi oleh Piagam Ottawa tentang promosi kesehatan. Kemudian
pada periode 1995 sampai sekarang, istilah PKM berubah menjadi Promosi
Kesehatan. Pada tahun 1997 diadakan konvensi Internasional Promosi Kesehatan
dengan tema “Health Promotion Towards The 21’s Century, Indonesian Policy
for The Future” dengan melahirkan “The Jakarta Declaration”. Istilah promosi
kesehatan atau health promotion sudah mulai dicetuskan pada tahun 1986, yaitu
ketika diselenggarakannya Konferensi Internasional pertama tentang Health
Promotion di Ottawa, Canada.
Menurut Pender, Murdaugh, dan Parsons (2015), piagam ini meletakkan
dasar bagi teori dan praktik promosi kesehatan dan menekankan peran sumber
daya social dan pribadi serta kemampuan fisik untuk mencapai kesehatan. Piagam
Ottawa menyediakan lima bidang tindakan yang penting bagi kerangka kerja
konseptual promos kesehatan, yaitu (Wills, 2014):
1. Membangun kebijakan publik yang sehat seperti larangan merokok di
tempat umum, kebijakan menyusui di rumah sakit, hukuman bagi
pengendara yang tidak menggunakan helm, kebijakan dan undang-undang
tentang mengemudi, dan lainnya.
2. Menciptakan lingkungan yang mendukung misalnya pilihan makan sehat
untuk staf di tempat kerja, makanan sekolah yang sehat untuk anak-anak,
area bermain dan berjalan yang aman dan cukup terang.
3. Mengembangkan keterampilan pribadi setiap individu seperti keterampilan
berhenti merokok, informasi tentang masalah kesehatan, pembacaan label
produk makanan, dan keterampilan mengasuh anak.

4
4. Reorientasi layanan kesehatan. Masyarakat tidak sekedar pengguna tetapi
juga bisa sebagai provider dalam batas-batas tertentu melalui upaya
pemberdayaan.
5. Memperkuat aksi masyarakat dalam meningkatkan kesehatan seperti
adanya gerakan atau kegiatan di masyarakat yang mendukung kesehatan
mereka.
Untuk dapat meningkatkan derajat kesehatan atau mencegah penyakit
maka cara yang kita lakukan adalah dengan mengembangkan strategi melawan
faktor risiko tertentu. Determinan kesehatan atau penentu kesehatan merupakan
situasi atau lingkungan yang memungkinkan faktor risiko dan perlindungan untuk
memengaruhi kondisi sehat dan masalah kesehatan seseorang secara langsung
(Beale, 2017). Kesehatan fisik dan mental seseorang dipengaruhi oleh satu atau
lebih faktor penentu berikut (Beale, 2017):
1. Status ekonomi dan social. Keadaan ekonomi seseorang sangat
memengaruhi kondisi kesehatannya. Kemisikinan dapat mengurangi akses
masyarakat ke sumber pelayanan kesehatan sehingga mengakibatkan
masalah kesehatan yang terjadi tidak ditangani dengan baik. Selain itu,
pada masyarakat kelas social-ekonomi yang rendah akan lebih berisiko
dan rentan terhadap penyakit dan umur harapan hidup juga menjadi lebih
rendah (Susilowati, 2016).
2. Pekerjaan dan lingkungan kerja. Menurut Beale (2017), lapangan kerja
yang mapan dan lingkungan kerja yang sehat berkontribusi terhadap
kesehatan. Sedangkan stress di tempat kerja meningkatkan risiko terhadap
penyakit dan masalah kesehatan lainnya. Memperhatikan syarat-syarat
kesehatan dan keselamatan kerja akan meningkatkan derajat kesehatan
individu.
3. Pendidikan. Individu dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan
lebih memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk membuat pilihan yang
sehat dan mengakses perawatan kesehatan yang berkualitas.
4. Health literacy. Kebiasaan seseorang dalam memperoleh, membaca,
memahami, dan menindaklanjuti informasi kesehatan tentunya
memengaruhi tingkat kesehatan individu tersebut. Orang yang memiliki

5
kebiasaan literasi yang baik akan lebih paham dalam menentukan pilihan
dan gaya hidup yang dapat meningkatkan kesehatannya.
5. Lingkungan fisik. Kualitas air dan udara yang baik, kontrol kebisingan,
pembuangan limbah beracun, kondisi perumahan, dan keselamatan
masyarakat semuanya mendukung kesehatan.
6. Dukungan keluarga, masyarakat, dan sosial. Hubungan social dan
kekerabatan yang baik dan harmonis tentunya akan memberikan dampak
kesehatan yang positif dalam keluarga dan masyarakat. Selain itu, apabila
individu yang mengalami masalah kesehatan terus mendapatkan dukungan
dari keluarga dan orang-orang di sekitarnya maka hal tersebut dapat
membantu individu dalam mengatasi penyakitnya.
7. Akses ke perawatan kesehatan yang berkualitas. Ketersediaan layanan
pencegahan dan perawatan primer penting dalam mempromosikan dan
menjaga kesehatan masyarakat.
8. Kebijakan terkait kesehatan. Kebijakan pemerintah tentunya memengaruhi
kesehatan masyarakat seperti adanya adanya kampanye antirokok, wajib
imunisasi, program GERMAS, program Pencegahan Stunting, dan lain-
lain.
9. Genetik. Susunan genetika yang diwariskan keluarga memiliki peran
dalam kesehatan dan memungkinkan individu terkena penyakit tertentu.
10. Sejarah atau history kesehatan keluarga. Kesehatan keluarga dan riwayat
medis di luar susunan genetik juga memengaruhi kesehatan (Beale, 2017).
11. Jenis kelamin. Perbedaan jenis kelamin memengaruhi kesehatan individu,
misalnya pada wanita maka akan lebih berisiko terkena kanker payudara
dibanding pada pria, selain itu menurut Beale (2017), usia harapan hidu
pria lebih pendek dan tingkat penyakit pada wanita lebih tinggi.
12. Perkembangan kesehatan anak. Pengalaman prenatal dan anak usia dini
memiliki efek yang signifikan pada kesehatan di kemudian hari.
Pertumbuhan fisik yang lambat dan dukungan emosional yang kurang baik
di awal kehidupan akan memberikan dampat kesehatan dan kemampuan
intelektual di masa dewasa (Susilowati, 2016).

6
13. Disparitas ras dan etnis. Populasi minoritas sering mengalami penyakit
pada tingkat yang lebih tinggi daripada populasi mayoritas karena faktor
social ekonomi, perbedaan pendapatan, dan masalah dengan aksesibilitas
layanan kesehatan.
14. Pengaruh budaya. Bagaimana suatu budaya memandang suatu penyakit
dan praktik perawatan kesehatannya memengaruhi tingkat kesehatan
masyarakat tersebut.
15. Disabilitas atau kecacatan. Penyandang disabilitas merupakan seseorang
yang memiliki keterbatasan dalam beraktivitas dan menggunakan bantuan.
Mereka cenderung melaporkan lebih banyak kecemasan dan masalah
kesehatan dibanding orang yang tidak memiliki disabilitas. Mereka juga
mengalami tingkat aktivitas fisik yang lebih rendah dan banyak dari
mereka yang tidak memiliki akses dalam mencapai perawat kesehatan
yang berkualitas.
16. Personal health responsibility. Bertanggung jawab atas kesehatan diri
sendiri dan membuat pilihan untuk hidup sehat memainkan peran utama
dalam mencegah penyakit.
17. Ketahanan dan keterampilan koping individu. Koping yang efektif
membantu seseorang untuk bisa memecahkan masalahnya dan membuat
pilihan yang menguntungkan kesehatannya.
18. Pangan. Pola makan yang sehat dan ketersediaan pangan yang adekuat
merupakan hal utama dalam kesehatan dan kesejahteraan seseorang dan
masyarakat. Kekurangan ataupun kelebihan gizi akan menimbulkan
masalah kesehatan dan penyakit pada diri seseorang.

2.1.2 Definisi, Tujuan, dan Sasaran Konsep Promosi Kesehatan


2.1.2.1 Definisi Promosi Kesehatan
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, promosi
kesehatan diartikan sebagai upaya yang dilakukan dalam meningkatkan
kemampuan masyarakat untuk mengendalikan berbagai faktor kesehatan
melalui pembelajaran dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat. Definisi
promosi kesehatan menurut Green dan Kreuter (2005) yaitu upaya-upaya

7
pendidikan, kebijakan, peraturan, dan organisasi yang diintegrasikan untuk
mendukung kegiatan serta kondisi hidup yang dapat meningkatkan
kesehatan individu, kelompok, dan komunitas. Dapat disimpulkan bahwa
promosi kesehatan merupakan kombinasi atas segala upaya baik dalam hal
kebijakan atau politik, pendidikan, dan organisasi dengan tujuan untuk
mendukung kondisi hidup yang menguntungkan kesehatan individu,
kelompok, maupun komunitas serta mampu mencapai derajat kesehatan
yang setinggi-tinginya.
2.1.2.2 Tujuan Promosi Kesehatan
Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, tujuan dari
promosi kesehatan adalah masyarakat dapat menolong dirinya sendiri dan
mengembangkan kegiatan yang bersumberdaya masyarakat, sesuai sosial
budaya setempat serta mendapat dukungan oleh kebijakan publik yang
berwawasan kesehatan (Ahmad, 2014). Tujuan dari pelaksanaan program
promosi kesehatan pada yaitu dapat mewujudkan masyarakat yang
berkeinginan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya,
memiliki kemampuan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya,
mau dan mampu dalam mencegah penyakit, melindungi diri dari
gangguan-gangguan kesehatan, serta memiliki kemauan dan mampu
meningkatkan kesehatannya.
Tujuan promosi kesehatan menurut Green (2005) dalam Susilowati
(2016) terbagi atas tiga tingkatan tujuan, yaitu tujuan program, pendidikan,
perilaku, dan intervensi perilaku dalam promosi kesehatan. Tujuan
program yaitu bentuk pernyataan tentang apa yang akan dicapai dalam
periode waktu tertentu yang berhubungan dengan status kesehatan. Contoh
penerapannya yaitu adanya program promosi kesehatan mengenai
pemeriksaan tekanan darah kepada masyarakat dalam jangka waktu yang
telah ditentukan. Tujuan pendidikan yaitu deskripsi perilaku yang akan
dicapai dapat mengatasi masalah kesehatan yang ada. Contoh
penerapannya yaitu penyuluhan kepada masyarakat tentang hand hygine
dalam mengatasi pandemi covid 19. Tujuan perilaku yaitu bentuk
pendidikan atau pembelajaran yang harus tercapai. Tujuan intervensi

8
perilaku dalam promosi kesehatan terbagi atas tiga bagian, yaitu dapat
mengurangi perilaku negatif bagi kesehatan, mencegah meningkatnya
perilaku negatif bagi kesehatan, meningkatkan perilaku positif bagi
kesehatan, serta dapat mencegah menurunnya perilaku positif bagi
kesehatan. Contoh penerapan tujuan ini adalah mengedukasi kepada
masyarakat mengenai do and don'ts yang masyarakat harus terapkan dalam
kehidupan sehari-hari untuk meningkatkan kesehatan jantung.
Tujuan lain dari program promosi kesehatan adalah tujuan
operasional. Tujuan operasional dalam program promosi kesehatan yaitu
agar orang memiliki pengertian yang lebih baik tentang eksistensi dan
perubahan-perubahan sistem dalam pelayanan kesehatan serta cara
memanfaatkannya secara efisien dan efektif dan klien atau masyarakat
memiliki tanggung jawab yang lebih besar pada kesehatan dirinya sendiri,
keselamatan lingkungan dan masyarakatnya. Berbagai tujuan operasional
lain yaitu agar orang melakukan langkah-langkah yang tepat dalam
mencegah terjadinya sakit, mencegah berkembangnya sakit menjadi lebih
parah dan mencegah keadaan ketergantungan melalui rehabilitasi cacat
karena penyakit. Tujuan operasional juga mengharapkan agar orang
mempelajari apa yang dapat dia lakukan sendiri dan bagaimana caranya,
tanpa selalu meminta pertolongan kepada sistem pelayanan kesehatan
yang normal (Susilowati, 2016).
2.1.2.3 Sasaran Konsep Promosi Kesehatan
Ruang lingkup sasaran promosi kesehatan adalah keempat
determinan kesehatan dan kesejahteran yaitu lingkungan, perilaku,
pelayanan kesehatan, dan faktor genetik atau faktor kependudukan.
Keempat sasaran tersebut saling mempengaruhi antara satu dengan yang
lainnya. Perilaku dapat mempengaruhi lingkungan dan lingkungan juga
dapat mempengaruhi perilaku. Faktor pelayanan kesehatan berperan untuk
meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat apabila pelayanan
yang disediakan digunakan atau merupakan bentuk perilaku dari
masyarakat. Faktor genetik yang tidak menguntungkan akan berkurang
resikonya apabila individu berperilaku sehat dan berada dalam lingkungan

9
yang sehat. Perilaku berperan sangat penting bagi kesehatan (Susilowati,
2016). Oleh sebab itu, ruang lingkup utama sasaran promosi kesehatan
merupakan perilaku dan akar-akarnya yang disertai dengan lingkungan,
khususnya lingkungan yang berpengaruh terhadap perilaku tersebut.

2.1.3 Ruang Lingkup Promosi Kesehatan


Ruang lingkup promosi kesehatan dapat dilihat dari berbagai sudut pandang.
Sudut pandang tersebut antara lain adalah ruang lingkup berdasarkan area
masalah, tingkat pencegahan, pelayanan kesehatan dasar, aktivitas, dan perilaku
kesehatan (Susilowati, 2016). Apabila dipandang dari area masalah, ruang lingkup
promosi kesehatan mencakup berbagai ideologi kesehatan dan penyakit seperti
kesehatan ibu, anak, penyakit infeksi, penyakit tidak menular, kecelakaan,
bencana, maupun kesehatan manula [ CITATION Dwi16 \l 1033 ]. Social model of
health atau model kesehatan sosial juga telah mulai diterima pada saat ini. Social
model of health memeriksa seluruh faktor yang berkontribusi terhadap kesehatan
masyarakat, seperti sosial, budaya, politik, maupun lingkungan. Sementara itu,
apabila dipandang berdasarkan tingkat pencegahan, promosi kesehatan haruslah
bersifat komprehensif. Maksudnya, promosi kesehatan harus dilaksanakan secara
luas dan menyeluruh.
Menurut Susilowati (2016), promosi kesehatan yang komprehensif harus
mencakup lima tingkat pencegahan yang dikemukakan oleh Leavell & Clark
(1967). Lima tingkat pencegahan tersebut antara lain pencegahan primer yang
terdiri dari peningkatan derajat kesehatan dan perlindungan khusus, pencegahan
sekunder yang terdiri dari diagnosis dini dan pengobatan segera dan pembatasan
cacat, serta pencegahan tersier yang meliputi rehabilitasi. Selanjutnya, ruang
lingkup promosi kesehatan dipandang dari pelayanan kesehatan dasar. Pelayanan
kesehatan dasar bertujuan untuk menangani sebagian kebutuhan kesehatan
individu, yang mencakup promosi kesehatan, pencegahan penyakit, perawatan
atau pengobatan penyakit, dan rehabilitasi. Prinsip utama dari pelayanan
kesehatan utama adalah bahwa semua orang, dimanapun ia berada, berhak untuk
mendapatkan pelayanan kesehatan yang tepat. Kemudian, ruang lingkup
berdasarkan aktivitas. Dengan diperluasnya pendidikan kesehatan menjadi

10
promosi kesehatan, hal ini juga menggambarkan luasnya ruang lingkup aktivitas
promosi kesehatan. Terdapat lima cara utama untuk mempromosikan kesehatan
yang tertulis dalam Ottawa Charter adalah dengan membuat kebijakan publik
yang sehat, menciptakan lingkungan yang mendukung, memperkuat kegiatan
masyarakat, mengembangkan keterampilan pribadi, dan melakukan orientasi
ulang pelayanan kesehatan. Terakhir, ruang lingkup perilaku kesehatan.
Menurut Becker (1979) dalam Susilowati (2016), perilaku kesehatan dibagi
menjadi tiga domain. Tiga domain tersebut adalah pengetahuan kesehatan, sikap
terhadap kesehatan, dan praktik kesehatan. Pengetahuan tentang kesehatan
mencakup tentang apa yang diketahui individu tentang apa yang harus dilakukan
untuk memelihara kesehatan, seperti pengetahuan tentang penyakit menular,
faktor yang mempengaruhi kesehatan, fasilitas pelayanan keseahtan, dan
pengetahuan untuk menghindari terjadinya kecelakaan. Sementara itu, sikap
terhadap kesehatan merupakan pendapat atau penilaian seseorang terhadap hal
yang berkaitan dengan pemeliharaan kesehatan, seperti sikap terhadap penyakit,
sikap terhadap faktor yang mempengaruhi kesehatan, sikap tentang fasilitas
pelayanan kesehatan, dan sikap untuk menghindari kecelakaan. Kemudian, yang
dimaksud dengan praktik keseahatan merupakan kegiatan individu yang dilakukan
untuk memelihara kesehatan, seperti tindakan terhadap penyakit, tindakan
terhadap faktor yang mempengaruhi kesehata, tindakan tentang fasilitas
pelayanan kesehatan, maupun tindakan untuk menghindari kecelakaan.
Terdapat perbedaan antara promosi kesehatan dan edukasi kesehatan.
Promosi kesehatan merupakan suatu proses yang membantu individu dalam
meningkatkan kontrol atas kesehatan dan meningkatkan kesehatan mereka.
Promosi kesehatan penting karena dapat membantu masyarakat dalam
meningkatkan status kesehatannya, meningkatkan kualitas hidup masyarakat,
mengurangi kematian dini, bahkan mengurangi biaya finansial masyarakat untuk
perawatan medis (College College of Public Health University of Georgia, 2016).
Sedangkan edukasi kesehatan merupakan suatu kombinasi dari pengalaman
belajar, yang dirancang untuk membantu individu maupun masyarakat untuk
meningkatkan kesehatan, dengan meningkatkan pengetahuan atau mempengaruhi
sikap mereka (World Health Organization, n. d.). Sedangkan ddukasi kesehatan

11
merupakan sebuah komponen penting dari promosi kesehatan. Apabila dilihat dari
pengertiannya, pendidikan kesehatan ini bertujuan untuk menyalurkan informasi
yang berkaitan dengan kesehatan untuk meningkatkan pengetahuan dan
mempengaruhi sikap. Berbeda dengan promosi kesehatan yang melibatkan
pemberdayaan setiap individu, dimana setiap individu didorong untuk
meningkatkan kontrol, atau istilahnya untuk memandirikan, meningkatkan
otonomi mereka dalam kesehatan, sehingga mereka dapat meningkatkan
kesehatan mereka.

2.1.4 Model Promosi Kesehatan: Health Belief Model dan Theory of


Reasoned Action
Model promosi kesehatan yang pertama yaitu Health Belief Model. Pada
Health Belief Model membahas mengenai persepsi individu tentang ancaman yang
ditimbulkan oleh masalah kesehatan (kerentanan, keparahan), manfaat
menghindari ancaman, dan faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan untuk
bertindak (hambatan, isyarat untuk bertindak, dan self-efficacy) (Rimer & Glanz,
2005). Model ini membantu untuk memahami faktor-faktor yang memengaruhi
persepsi, keyakinan, dan perilaku pasien untuk merencanakan perawatan yang
akan paling efektif membantu pasien dalam mempertahankan atau memulihkan
kesehatan dan mencegah penyakit (Potter, Perry, Stockert, & Hall, 2013). Faktor-
faktor tersebut dapat saling memengaruhi hingga pada akhirnya dapat
memengaruhi kemungkinan seseorang untuk mengambil tindakan preventif.
Menurut Potter, Perry, Stockert dan Hall (2013) terdapat tiga komponen dalam
Health Belief Model, yaitu:
a. Persepsi individu mengenai kerentanan terhadap suatu penyakit.
Contohnya yaitu seorang pasien perlu mengenali hubungan keluarga untuk
penyakit arteri koroner. Setelah pasien memahami hubungan tersebut,
terutama ketika satu orangtua dan dua saudara kandung telah meninggal
akibat infark miokard, pasien dapat merasakan risiko pribadi dari penyakit
jantung.
b. Persepsi individu tentang keseriusan penyakit. Persepsi ini dipengaruhi
dan dimodifikasi oleh variabel demografis dan sosiopsikologis, ancaman

12
penyakit yang dirasakan, dan isyarat untuk bertindak (mis., Kampanye
media massa dan saran dari keluarga, teman, dan profesional medis).
Misalnya, seorang pasien mungkin tidak menganggap penyakit jantungnya
serius, yang dapat memengaruhi cara ia merawat dirinya sendiri.
c. Persepsi individu tentang manfaat dan hambatan untuk mengambil
tindakan. Persepsi ini memungkinkan individu untuk mengambil tindakan
preventif. Tindakan pencegahan termasuk perubahan gaya hidup,
peningkatan kepatuhan terhadap terapi medis, atau pencarian saran atau
perawatan medis. Persepsi pasien tentang kerentanan terhadap penyakit
dan persepsi pasien tentang keseriusan penyakit membantu menentukan
kemungkinan bahwa pasien akan atau tidak akan mengambil bagian dalam
perilaku sehat.
Model kedua dari model promosi kesehatan yaitu theory of reasoned
action. Theory of Reasoned Action (TRA) merupakan model promosi kesehatan
yang mengeksplorasi hubungan antara perilaku dan keyakinan, sikap, dan niat.
Model ini menganggap niat perilaku adalah penentu yang paling penting. Niat
tersebut dipengaruhi oleh sikap seseorang terhadap melakukan suatu perilaku, dan
oleh keyakinan tentang apakah individu yang penting bagi orang tersebut
menyetujui atau tidak menyetujui perilaku (norma subyektif) (Rimer & Glanz,
2005). TRA Merupakan model untuk meramalkan perilaku preventif dan telah
digunakan dalam berbagai jenis perilaku sehat yang berlainan, seperti pengaturan
penggunaan substansi tertentu (merokok, alkohol, dan narkotik), perilaku makan
dan pengaturan makan, pencegahan AIDS (Maulana, 2009). Menurut Rimer dan
Glanz (2005) terdapat komponen dalam model ini, yaitu:
a. Behavioral intention
Merupakan persepsi individu mengenai kemungkinan melakukan suatu
perilaku. Pengukuran pendekatan ini dapat dilakukan dengan cara menanyakan
pertanyaan “ Apakah Anda mungkin atau tidak mungkin (melakukan perilaku)?”.
b. Attitude
Merupakan evaluasi perilaku secara pribadi. Pengukuran pendekatan ini
dapat dilakukan dengan cara menanyakan pertanyaan “Apakah Anda melihat
(perilaku) itu baik, netral, atau buruk?”.

13
c. Subjective norm
Merupakan keyakinan mengenai orang-orang menyetujui atau tidak
menyetujui perilaku tersebut. Selain itu ini juga merupakan motivasi bagi
seseorang untu berperilaku dengan cara yang mendapatkan persetujuan mereka.
Pengukuran pendekatan ini dapat dilakukan dengan cara menanyakan pertanyaan
“Apakah Anda setuju atau tidak setuju bahwa kebanyakan orang menyetujui /
tidak menyetujui (perilaku)?”.

2.1.5 Model Promosi Kesehatan: Model Transtheoretical dan Model


Precede – Proceed
Model transtheoretical atau disebut dengan tahapan perubahan model
merupakan suatu fenomena siklus di mana orang berkembang melalui beberaoa
tahap. Pada tahap pertama, orang tersebut tidak berpikir serius tentang mengubah
perilaku. Pada saat orang tersebut mencapai tahap akhir, dia berhasil
mempertahankan perubahan perilaku. Tahapan ini dibagi menjadi antara lain pra-
kontemplasi, kontemplasi, persiapan tindakan, tindakan, pemeliharaan dan
penghentian. Intervensi berdasarkan model biasanya memiliki perbedaan metode
atau aplikasi untuk setiap tahap , yang disebut proses perubahan (Berman &
Snyder, 2016). Untuk perubahan sering ditafsirkan sebagai acara, seperti berhenti
merokok, minum, atau makan berlebihan. Transtheoretical model teoritis
mengkontruksikan perubahan sebagai proses yang melibatkan kemajuan melalui
serangkaian enam tahap.

Prekontemplasi adalah tahap dalam orang yang tidak berniat untuk


mengambil tindakan di masa mendatang, biasanya diukur sebagai 6 bulan
berikutnya. Orang mungkin berada dalam tahap ini karena mereka tidak memiliki
informasi atau tidak memiliki informasi tentang konsekuensinya perilaku mereka.
Atau mungkin mereka telah mencoba mengubah beberapa kali dan menjadi
terdemoralisasi tentang kemampuan mereka untuk mengganti. Orang yang telah
mencoba mengubah sebelumnya dan tidak berhasil sekarang dapat melihat
perilaku sebagai "nasib" nya atau percaya bahwa perubahan tidak ada harapan.
Kedua kelompok ini cenderung untuk menghindari membaca, berbicara , atau

14
memikirkan perilaku berisiko tinggi mereka. Mereka sering dicirikan dalam teori
lain yang sebagai klien yang resisten atau tidak termotivasi atau tidak siap untuk
terapi atau program promosi kesehatan (Prochaska & Velicer, 1984).

Kontemplasi adalah tahap dalam orang yang berniat untuk berubah dalam
6 bulan untuk ke depan. Mereka lebih sadar cenderung akan pro perubahan tetapi
juga sangat sadar akan kontra. Namun, orang tersebut mungkin tidak siap untuk
melakukan tindakan. Beberapa orang mungkin tetap dalam tahap kontroversial
selama berbulan-bulan atau bertahun-tahun sebelum mengambil tindakan.
Kemudian ke tahap selanjutnya adalah persiapan. Persiapan adalah dimana orang-
orang berniat untuk mengambil tindakan dalam waktu dekat, biasanya di ukur
sebagai bulan depan. Mereka biasanya mengambil beberapa dalam setahun
terakhir. Beberapa orang dalam tahap ini mungkin sudah mulai membuat
perubahan perilaku kecil, seperti membeli buku swadaya. Pada tahap ini, orang
tersebut membuat rencana spesifik akhir untuk menyelesaikan perubahan (Berman
& Snyder, 2016).

Kemudian ada tahap aksi, Aksi adalah tahap dimana orang yang telah
membuat modifikasi terbuka spesifik dalam gaya hidup mereka dalam 6 bulan
terakhir. Pada tahap ini, terjadi ketika orang tersebut secara aktif
mengimplementasikan strategi perilaku dan kognitif dari rencana tindakan untuk
mengganggu perilaku risiko kesehatan sebelumnya dan mengadopsi yang baru.
Tahap ini membutuhkan komitmen terbesar dari waktu dan energi Karena
tindakan ini diamati yang melibatkan perubahan perilaku sering terjadi disamakan
dengan aksi. Namun, secara model transtheoretical aksi hanya ada satu dari enam
tahap. Tidak semua modifikasi perilaku dihitung sebagai tindakan dalam modul
ini. Orang harus mencapai kriteria itu, sedangkan para ilmuwan dan profesional
sependapat cukup untuk mengurangi risiko penyakit. Misalnya dalam hal
merokok, lapangan digunakan untuk menghitung pengurangan angka berrokok
sebagai tindakan, atau beralih ke rokok terendah dan nikotin (Prochaska &
Velicer, 2009).

Tahap selanjutnya adalah tahap pemeliharaan. Selama tahap pemeliharaan,


orang tersebut berusaha mencegah pengulangan dengan mengintegrasikan

15
perilaku yang baru diadopsi ke dalam gaya hidupnya. Tahap ini berlangsung
hingga orang tersebut tidak lagi mengalami godaan untuk kembali ke perilaku
tidak sehat sebelumnya. Diperkirakan pemeliharaan berlangsung dari 6 bulan
hingga 5 tahun (Berman & Snyder, 2016). Kemudian yang terakhir adalah tahap
pengakhiran. Tahap pengakhiran ini adalah tujuan akhir yang merupakan titik di
mana individu memiliki keyakinan penuh bahwa masalahnya bukan lagi godaan
atau ancaman. Seolah-olah orang tersebut tidak pernah memperoleh kebiasaan itu
sejak awal atau perilaku baru menjadi otomatis. Para ahli memperdebatkan apakah
beberapa perilaku dapat dihentikan versus membutuhkan pemeliharaan
berkelanjutan. Misalnya, orang dewasa yang secara otomatis mengikat sabuk
pengaman mereka ketika masuk ke kendaraan mereka dapat mencapai tahap
terminasi. Perilaku lain, seperti merokok atau makan berlebihan, mungkin tidak
pernah mencapai tahap terminasi karena godaan kambuh terlalu kuat. Tujuan
pemeliharaan mungkin lebih sesuai untuk individu-individu itu ( Berman, A. &
Snyder, S. , 2016).

Keenam tahap ini bersifat siklus artinya adalah orang pada umumnya
bergerak melalui satu panggung sebelum maju ke yang berikutnya. Namun, pada
titik mana pun seseorang dapat kambuh atau mendaur ulang ke tahap sebelumnya.
Faktanya, rata-rata self-changer yang berhasil didaur ulang melalui tahapan
beberapa kali sebelum mencapai puncak dan keluar dari siklus. Mayoritas
individu yang menolak kembali ke tahap kontemplasi. Selama waktu ini mereka
dapat memikirkan tentang apa yang mereka pelajari dan rencanakan untuk upaya
tindakan selanjutnya ( Berman, A. & Snyder, S. , 2016). Proses perubahan itu
sangat penting untuk program intervensi. Sepuluh proses telah menerima paling
banyak dukungan empiris menurut (Prochaska & Velicer, 2009.), antara lain :

a. Meningkatkan kesadaran : melibatkan meningkatnya kesadaran tentang


penyebabnya, konsekuensi, dan lain – lain. Intervensi yang dapat
meningkatkan kesadaran termasu umpan balik, pendidikan, konfrontasi,
dan penafsiran.

16
b. Drama Relief : awalnya menghasilkan pengalaman emosional yang
meningkat. Psychodrama, bermain peran, berduka, dan kampanye media
adalah contoh teknik yang bisa menggerakan orang secara emosionalnya.
c. Evaluasi diri : menggabungkan keduanya. Penilaian positif dan afektif
citra diri seseorang dengan dan tanpa kebiasaan yang tidak sehat.
Klarifikasi nilai, model peran yang sehat, dan citra merupakan teknik yang
dapat menggerakan orang untuk mengevaluasi secara afektif.
d. Reevaluasi Lingkungan : Mengaitkan keduanya afektif dan kognitif
dimana kehadiran dari kebiasaan pribadi mempengaruhi lingkungan sosial.
e. Pembebasan diri : keyakinan keduanya seseorang dapat berubah dan
komitmen untuk ditindaklanjuti. Contoh orang yang dengan duapilihan
memiliki komitmen yang lebih besar daripada orang dengan satu pilihan.
f. Pembebasan sosial : membutuhkan suatu peluang sosial atau alternatif
terutama bagi orang yang relatif kekurangan atau tertindas. Seperti
advokasi, prosedure pemberdayaan, dan kebijakan yang tepat dapat
dihasilkan untuk meningkatkan peluang bagi minoritas promosi kesehatan
untuk orang yang miskin.
g. Counterconditioning : membutuhkan belajar perilaku sehati itu dapat
menggantikan dengan perilaku bermasalah. Contoh : relaksasi dapat
melawan stres.
h. Kontrol stimulus : Menghilangkan isyarat untu kebiassaan yang tidak sehat
dan menambah bisikan untuk alternatif yang lebih sehat.
i. Manajemen kontigensi : menyediakan konsekuensi untuk mengambil
langkah dalam arah tertentu. Sementara manjemen pemerintah dapat
mencakup penggunaan hukum.
j. Membantu relation chip : menggabungkan caring, kepercayaan,
keterbukaan, dan penerima serta dukungan. Membangun hubungan sehat,
atau terapetik, dan sistem teman dapat menjadi sumber dukungan sosial.

Model ini tentunya memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya


antara lain tidak dibatasi oleh usia, sehingga TTM felksibel untuk digunakan
siapapun dalam menerapkan suatu metode untuk mengubah perilaku. Dikarenakan
TTM memiliki model yang bertahap maka perilaku individu tidak langsung

17
berubah secara dratis. Namun, trantheoretical model ini juga memiliki
kekurangan. Dalam beberapa tahapan yang telah dijelaskan, ada estimasi waktu
perubahan perilaku yaitu kurang lebih enam bulan. Namun jangka waktu tersebut
tidak bisa dikatakan valid karena masih terdapat terdapat penelitian yang
menyatakan bahwa untuk melewati suatu tahap membutuhakan waktu selama dua
tahun. Selain itu juga TTM tidak dijelaskan apakah model ini terpengaruh dari
aspek lain seperti kondisi ekonomi, sosial , maupun budaya.

Model selanjutnya yang akan dibahas yaitu Green`s Model Precede –


Proceed. Model precede – proceed telah menjelaskan bahwa pentingnya
perencanaan yang sistematis intervensi yang didukung dengan bukti. Basis yang
menunjukkan suatu bukti adalah teori. Dengan model ini dimulai dengan
penilaian sosial seperti kualitas kehidupan kelompok, komunitas, atau negara
tertentu, relevan dengan kualitas kesehatan hidup, serta penilaian epidemiologis.
Dengan penilaian epidemiologi dapat mengetahui penyebab kesehatan dalam hal
perilaku / gaya hidup, genetika, dan lingkungannya yang dapat dianalisis. Dengan
demikian pendidikan dan ekologi, suatu analisis dapat dibuat dengan penentu
perilaku yang relevan, dalam hal faktor prediposisi, penguat, dan faktor
pendukung dan variable dapat dipilih yang ingin dipengaruhi. Dengan
penyelarasan intervensi dan penilaian administratif dan kebijakan, kemungkinan
manfaat pendidikan kesehatan dan lainnya intervensi potensial, fasilitas dan
regulasi, dapat dianalisis. Intervensi promosi kesehatan dikembangkan dan
kemudian diimplementasikan. Akhirnya, evaluasipun di buat dari proses, dampak,
dan hasil dari intervensi ini yang menghasilkan feed- kembali dan peningkatan
dari intervensi (Green & Kreuter, 2005).

Misalnya orang yang menghargai kesehatan sebagai salah satu yang paling
penting. Aspek pentinf dari kualitas hidup mereka ketika dirinya mulai mengalami
terancam. Contoh masalah kesehatan terpenting adalah penyakit CVC dan kanker.
Dari segi lingkungan, penyebabnya adalah industrialisasi dan lingkungan kerja
yang tidak sehat. Dari segi perilaku dan gaya hidup, merokok dan keseimbangan
energi yang terdistorsi merupakan penyebab utama. Kita mengambil sampelnya
adalah merokok. Merokok terjadi pada peran remaja. Hal yang menjadi latar

18
belakang seorang remaja adalah bukam karena mereka menyukai merokok dan
tidak tahu tentang bahaya. Salah satu alasannya adalah tekanan sosial, kebanyakan
dari teman sebaya, keluarga, ataupun media massa. Dalam hal prediposisi, faktor
– faktor lainnya remaja sering tidak tahu bagaimana menolak tekanan sosial (Kok
& Vries, 2015).

Dalam hal faktor penguat, teman sebaya adalah hal yang sangat penting
bagi remaja. Dalam faktor pendukungnya adalah rokok mudah di dapat di mana
saja termasuk dengan sanksi terhadap merokok memliki sifat yang lemah. Dalam
hal pendidikan kesehatan, kita ingin meningkatkan self efficacy remaja dalam
menolak tekanan sosial. Ada beberapa teknik yang membantu peran remaja adalah
dengan menahan tekanan untuk merokok dengan pemodelan peran postif.
Sedangkan hal fasilitas dan regulasi juga bisa mengembangkan kebijakan tentang
merokok, misalnya di sekolah, aksi masyarakat terhadap pedangan yang telah
menjual rokok ke remaja di bawah usia. Implementasinya adalah program
promosi kesehatan di selenggarakan yang bekerja sama dengan sekolah, orang
tua, dan siswa. Akhirnya, efektivitas program dapat diukur. Dalam hal evaluasi
proses adalah apakah program tersebut dapat dilaksanakan dengan sesuai dengan
rencana (Kok & Vries, 2015).

2.2 Kebijakan Promosi Kesehatan

2.2.1 Kebijakan Promosi Kesehatan dalam Lingkup Nasional


Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan diatur dalam Surat Keputusan
Menteri Kesehatan RI Nomor 1193/Menkes/SK/X/2004. SK Menkes ini
menjabarkan terkait pengertian promosi kesehatan, perkembangan promosi
kesehatan, analisis situasi dan kecenderungan yang ada di masyarakat, visi dan
misi, serta kebijakan dan strategi yang akan dilaksanakan. Selain itu, kebijakan
dan program-program yang dibentuk pemerintah dalam hal promosi kesehatan
antara lain berupa Permenkes No.8 Th. 2019 tentang Pemberdayaan Masyarakat
Bidang Kesehatan, Peraturan Permenkes No.74 Tahun 2015 tentang Upaya
Peningkatan dan Pencegahan Penyakit, Permenkes No.65 Tahun 2013 tentang

19
Pedoman Pelaksanaan dan Pembinaan Pemberdayaan Masyarakat Bidang
Kesehatan, kemudian Program GERMAS dimana Kementrian Kesehatan RI
memasukkan poin ajakan melakukan aktivitas fisik setidaknya 30 menit setiap
hari untuk mengurangi stres dan merangsang otak agar lebih bahagia dan santai.
Selanjutnya ada program Pencegahan Stunting, PHBS atau Perilaku Hidup Bersih
dan Sehat, DESA SIAGA, dan program lainnya.
Visi nasional promosi kesehatan telah ditetapkan sebagai “Perilaku Hidup
Bersih & Sehat” (PHBS). Dalam mewujudkan visi promosi kesehatan,
dibentuklah beberapa misi promosi kesehatan, antara lain:
1. Memberdayakan mulai dari individu, keluarga, dan masyarakat.
2. Membina lingkungan demi terbentuknya perilaku hidup bersih dan sehat
di masyarakat.
3. Mengadvokasi para pengambil keputusan dan pihak-pihak lain untuk
membentuk kebijakan dan mengintegrasikannya.
a. Kebijakan promosi kesehatan di tingkat Kabupaten/Kota
Penanggung jawab promosi kesehatan di tingkat kabupaten/kota adalah
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Akan berkoordinasi dan bekerja sama
untuk pemberdayaan masyarakat dengan Puskesmas, Rumah Sakit, dan
pelayan kesehatan lain di wilayah tersebut.
 Panduan promosi kesehatan di tingkat kabupaten/kota diatur dalam Surat
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1114/Menkes/SK/II/2005.
 Pusat Promosi Kesehatan juga menerbitkan “Panduan Integrasi Promosi
Kesehatan dalam Program-Program Kesehatan di Kabupaten/Kota”.
Panduan ini berisi terkait ruang lingkup promosi kesehatan, langkah
integrasi promosi kesehatan, serta kegiatan-kegiatan yang dapat
dilaksanakan.
 Pedoman promosi kesehatan di Puskemas juga diatur dalam Surat
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1114/Menkes/SK/II/2005
b. Kebijakan promosi kesehatan di tingkat Provinsi
Penanggung jawab promosi kesehatan di tingkat provinsi adalah Dinas
Kesehatan Provinsi. Tugas dari Dinas Kesehatan Provinsi adalah
mengkoordinasikan, mengembangkan, serta memfasilitasi Dinas

20
Kesehatan Kabupaten/Kota dalam promosi kesehatan. Dinas Kesehatan
Provinsi juga bertugas untuk memberikan pelatihan-pelatihan untuk
membekali Pemberdayaan Masyarakat.
c. Kebijakan promosi kesehatan di tingkat Pusat
Penanggung jawab promosi kesehatan di tingkat pusat adalah Pusat
Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan. Pusat Promosi Kesehatan ini
bertugas untuk mengembangkan kebijakan, tata laksana, dan standar
dalam promosi kesehatan. Pusat Promosi Kesehatan akan memfasilitasi
dan berkoordinasi untuk menyelenggarakan dan mengembangkan promosi
kesehatan, melalui Bina Suasana dan advokasi di tingkat nasional.
2.2.2 Kebijakan Promosi Kesehatan dalam Lingkup Internasional
Kebijakan internasional dalam promosi kesehatan terbentuk berdasarkan
konferensi-konferensi yang diadakan di beberapa negara.
1. Konferensi Ottawa, Canada (1986)
Tema dalam konferensi Ottawa adalah menuju kesehatan
masyarakat baru dan menghasilkan Ottawa Charter dengan lima pilar
utama menuju promosi kesehatan. Lima pilar tersebut diantaranya
mengembangkan kebijakan publik yang berwawasan kesehatan,
menciptakan lingkungan yang mendukung, memperkuat gerakan
masyarakat, mengembangkan kemampuan perorangan, dan reorientasi
pelayanan kesehatan (Notoatmojo, 2005). Selain itu, dalam Piagam
Ottawa juga menjelaskan mengenai sembilan faktor prasyarat untuk
menuju kesehatan yaitu perdamaian, tempat tinggal, pendidikan, makanan,
pendapatan, ekosistem yang seimbang, sumber daya yang
berkesinambungan, keadaan sosial yang sejahtera, dan pemerataan.
Piagam ottawa memiliki tujuan promosi kesehatan diantaranya advokasi
(meyakinkan pembuat kebijakan bahwa aturan kebijakan yang diajukan
tersebut penting), menjembatani (penghubung antara bidang kesehatan
dengan bidang lain), dan memampukan (membuat masyarakat mandiri)
(Canadian Public Health Assosiation, 2010).
2. Konferensi Adelaide, Australia (1988)
Konferensi Adelaide membahas lebih lanjut mengenai kebijakan

21
publik berwawasan kesehatan yang dicetuskan dengan “Kesehatan adalah
Hak Azasi Manusia dan Kesehatan merupakan Investasi Sosial”. Pada
Konferensi Adelaide terdapat empat prioritas kebijakan yaitu mendukung
kesehatan wanita, makan dan gizi, pengurangan tembakau dan alkohol,
serta menciptakan lingkungan yang mendukung (Notoatmojo, 2005).
Konferensi kedua ini memiliki tujuan mendukung terciptanya masyarakat
yang hidup dalam linkungan yang sehat dan berperilaku yang sehat.
Terdapat enam strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut.
Keenam strategi tersebut antara lain kebijakan publik berwawasan
kesehatan, mengupayakan revitalisasi nilai-nilai asasi kesehatan,
pemerataan akses pelayanan kesehatan, akuntabilitas program kesehatan,
meningkatkan pelayanan, dan kemitraan (Dixey, 2013). Pada tahun 1989
diadakan pertemuan kelompok promosi kesehatan negara-negara
berkembang di Geneva sebagai seruan untuk bertindak (a call for action).
Pada pertemuan tersebut menekankan tiga strategi pokok promosi
kesehatan yaitu advokasi kebijakan, pengembangan aliansi yang kuat dan
sistem dukungan sosial, serta pemberdayaan masyarakat (Fitriani, 2011).
3. Konferensi Sundsvall, Swedia (1991)
Konferensi Sundsvall memiliki tema “Menciptakan Lingkungan
yang Mendukung Kesehatan”. Pada Konferensi Sundsvall terdapat tiga
strategi yaitu memperkuat advokasi diseluruh lapisan masyarakat,
memberdayakan masyarakat dan indiividu agar mampu menjaga kesehatan
dan lingkungannya melalui pendidikan dan pemberdayaan, dan
membangun aliansi menjadi penengah diantara berbagai konflik
kepentingan di tengah masyarakat. Konferensi tersebut juga menghasilkan
tiga model yang dapat digunakan dalam melakukan praktik promosi
kesehatan. Tiga model tersebut diantaranya Health Promotion Strategy
Analysis Model atau HELPSAME (analisis pengalaman dalam
menciptakan lingkungan yang mendukung), Sundsvall Pyramid of
Supportive Environmet, dan Supportive Enviroment Action Model
(fasilitator dan kelompok) (Dixey, 2013).
4. Konferensi Jakarta, Indonesia (1997)

22
Konferensi Jakarta diselenggarakan pada bulan Juli, 1997 yang
bertempat di Hotel Horison, Ancol, Jakarta. Konferensi tersebut memiliki
tema “Pemeran Baru di Era Baru” dengan tujuan merubah pola tradisional
dalam promosi kesehatan dengan menciptakan kemitraan pada berbagai
sektor baik pemerintah maupun swasta. Pada konferensi ini terdapat
empat prioritas peningkatan kesehatan diantaranya meningkatkan
tanggung jawab dalam kesehatan yang dilakukan oleh pemberi layanan
kesehatan, meningkatkan investasi untuk pembangunan kesehatan,
meningkatkan kemitraan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan, dan
meningkatkan kemampuan masyarakat dalam pemberdayaan masyarakat,
serta mengembagkan infrastruktur secara bertahap dan berkelanjutan untuk
meningkatkan intensitas promosi kesehatan (Dixey, 2013).
5. Konferensi Mexico, Mexico (2000)
Konferensi Mexico memiliki tema BRIDGING THE EQUITY GAP
(Menjembatani Kesenjangan Pemerataan). Konferensi ini merupakan
konferensi promosi kesehatan yang dihadiri oleh 100 negara yang
diwakilkan oleh para Menteri Kesehatan. Pada konferensi tersebut para
menteri membuat kesepakatan diantaranya kesepakatan menteri kesehatan
sedunia untuk meningkatkan kesehatan, pengembangan kegiatan promosi
kesehatan di masing-masing negara di dunia, study kasus sebagai bukti
keberhasilan kegiatan promosi kesehatan didunia, dan membuat
perencanaan promosi kesehatan (Notoatmojo, 2005). Konferensi Mexico
menghasilkan delapan program kementerian antara lain menghargai
pencapaian standar kesehatan sebagai aset positif bagi kenyamanan hidup
dan pertumbuhan pembagunan sosial ekonomi dan pemerataan,
memahami promosi kesehatan sebagai tanggung jawab bersama, terjadi
perbaikan layanan kesehatan, menyadari banyak maslah belum teratasi,
infeksi mengurangi keberhasilan bidang kesehatan, pentingnya kolaborasi,
promosi kesehatan komponen dasar publik, dan stategi efektif (Dixey,
2013).
6. Konferensi Bangkok, Thailand (2005)
Konferensi Bangkok memiliki tema Health Promotion in a

23
Globalized World (Promosi Kesehatan dalam Dunia yang Mengglobal)
yaitu komitmen untuk kesehatan bagi semua. Pada konferensi ini
menghasilkan tiga kesepakatan yaitu menjadikan promosi kesehatan
sebagai pusat agenda pembangunan global, membuat promosi kesehatan
sebagai tanggung jawab semua bagian pemerintah, dan menjadikan
promosi kesehatan sebagai pemberdayaan masyarakat (Notoatmojo, 2005).
7. Konferensi Nairobi, Kenya (2009)
Konferensi Nairobi diselenggarakan di Nairobi, Kenya pada
tanggal 26 sampai 30 Oktober 2009. Konferensi tersebut mengambil tema
“Promoting Health and Develotment: Closing the Implementation Gap”.
Pada konferensi kenya menghasilkan lima strategi yang disepakati.
Strategi tersebut antara lain Membangun Kapasitas Promosi Kesehatan
(Building Capacity for Heaalth Promotion), Penguatan Sistem Kesehatan
(Strengthening Health Systems), Kemitraan dan Kerjasama Lintas Sektor
(Partnership and Intersesectoral Action), Pemberdayaan Masyarakat
(Community Empowerment), dan Sadar Sehat dan Perilaku Sehat (Health
Literacy and Health Behavior) (Notoatmojo, 2005).

2.3 Teori Perubahan

Perubahan adalah "setiap perubahan yang direncanakan atau tidak


direncanakan dari status quo dalam suatu organisme, situasi, atau proses" (Lippitt,
1973, dalam Allender, 2014). Proses perubahan dapat digambarkan sebagai tiba-
tiba atau drastis (revolusioner) atau bertahap dari waktu ke waktu (evolusioner).
(Allender, 2014)
Perubahan evolusioner adalah perubahan yang secara bertahap dan
membutuhkan penyesuaian dengan sikap perlahan. Karena bersifat perlahan dan
bertahap perubahan ini tidak membutuhkan perubahan yang radikal dalam tujuan
atau nilai. (Allender, 2014). Perubahan evolusioner mengikuti kondisi
perkembangan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Masyarakat hanya berusaha menyesuaikan diri dengan keperluan keadaan, dan
kondisi baru yang timbul sejalan dengan pertumbuhan masyarakat. Beberapa
contoh perubahan evolusioner yakni menjadi orang tua. (Kemendikbud, 2018)

24
Sedangkan perubahan revolusioner adalah jenis perubahan yang lebih cepat,
drastis, dan mengancam yang dapat sepenuhnya mengganggu keseimbangan suatu
sistem. Ini melibatkan berbagai tujuan dan mungkin pola perilaku yang baru
secara radikal. (Allender, 2014). Perubahan sosial yang berlangsung cepat karena
menyangkut unsur-unsur kehidupan atau lembaga-lembaga kemasyarakatan.
Dalam revolusi perubahan dapat direncakan atau tidak direncanakan, dijalankan
tanpa kekerasan atau melalui kekerasan. Namun, revolusi seringkali diawali
ketegangan atau konflik dalam tubuh masyarakat bersangkutan.(Kemendikbud,
2018). Jadi perubahan dapat bersifat evolusioner dan revolusioner yang mana
perubahan evolusioner bersifat bertahap dan perlahan, Sedangkan perubahan
revolusioner bersifat cepat.
Menurut pandangan Kurt Lewin, 1951 dalam Allender, 2014 seseorang
yang akan mengadakan suatu perubahan harus memiliki konsep tentang
perubahan yang tercantum dalam tahap proses perubahan agar proses perubahan
tersebut menjadi terarah dan mencapai tujuan yang ada. Tahapan tersebut
antaralain: Tahap Pencairan (Unfreezing), Tahap Bergerak (Moving), dan Tahap
Pembekuan (Refrezing). Pada Tahap Pencairan (Unfreezing) dapat dilakukan bagi
seseorang yang mau mengadakan proses perubahan adalah harus memiliki
motivasi yang kuat untuk berubah dari keadaan semula dengan merubah terhadap
keseimbangan yang ada. Disamping itu juga perlu menyiapkan diri dan siap untuk
berubah atau melakukan melakukan adanya perubahan. Pada Tahap Bergerak
(Moving) sudah dimulai adanya suatu pergerakan kearah sesuatu yang baru atau
perkembangan terbaru. Proses perubahan tahap ini dapat terjadi apabila seseorang
telah memiliki informasi yang cukup serta sikap dan kemampuan untuk berubah,
juga memilikikemampuan dalam memahami masalah serta mengetahui langkah-
langkah dalam menyesuaikan masalah. Sedangkakan pada Tahap Pembekuan
(Refrezing) merupakan tahap pembekuan dimana seseorang yang mengadakan
perubahan telah mencapai tingkat atau tahapan yang baru dengan keseimbangan
yang baru. Berdasarkan langkah-langkah menurut Kurt Lewin dalam proses
perubahan ditemuan banyak hambatan. Oleh karena itu, diperlukan kemampuan
yang benar-benar ada dalam konsep perubahan sesuai dengan tahapan berubah.

25
Tahap Perubahan perilaku sehat menurut Prochaska, Redding, dan Evers
(2009, dalam Kozier et al, 2015) antara lain:
1. Tahap Prakontemplasi
Tahap prakontemplasi ialah tahap dimana klien membantah bahwa ia
memiliki masalah, klien tidak tertarik dengan informasi kesehatan atau
klien pernah mengalami kegagalan dalam proses perubahan sehingga
masalah yang dihadapi klien dianggap sebagai takdir dan membiarkannya
saja.
2. Tahap Kontemplasi
Pada tahap ini klien menyadari masalah yang dihadapinya itu serius dan
perlu perubahan perilaku maka dari itu klien mulai mencari-cari informasi
dan mengungkapkan rencana untuk mengubah perilakunya.
3. Tahap Persiapan
Klien pada tahap ini sudah mulai membuat rencana khusus yang akan
dilakukan hingga akhir perubahan. Klien menganggap keuntungan
perubahan perilaku lebih banyak daripada kerugiannya.

4. Tahap Tindakan
Pada tahap ini klien sudah melakukan rencana yang telah dibuat
sebelumnya maka dari itu klien membutuhkan motivasi agar semangat
dalam menjalani rencana ini berjalan dengan baik.
5. Tahap Pemeliharaan
Tahap ini menekankan pada perubahan perilaku yang terjadi
diintegrasikan ke dalam gaya hidup klien. Klien yang gagal dalam tahap
ini akan mengalami relaps dan kembali ke tahap awal. Relaps merupakan
suatu kesempatan untuk belajar dari pengalaman dan memperbarui usaha
untuk berubah (Kozier et al, 2015).
6. Tahap Terminasi
Klien pada tahap ini sudah yakin bahwa masalah bukan lagi godaan atau
ancaman bagi kehidupan. Sebagai contoh, klien tadi sudah tidak takut
beresiko diabetes melitus lagi karena ia sudah yakin bahwa dengan
menjaga pola makan sehat dan bergizi akan menurunkan berat badannya.

26
Keenam tahap ini bersifat siklik, dimana biasanya individu umumnya
beroindah melalui satu tahap sebelum maju ke tahap berikutnya. Namun, pada
suau tahap, individu dapat kembali pada tahap sebelumnya. Rata-rata orang akan
berhasil berubah secara mandiri akan kembali pada tahap sebelumnya beberapa
kali sebelum mereka mencapai puncak dan keluar dari siklus tersebut. (Prochaska
et al., 1994 Dalam Kozier, 2015)

Terdapat tiga strategi dalam perencanaan perubahan (Allender et al., 2014):


1. Strategi perubahan empiris-rasional.
Strategi perubahan empiris-rasional digunakan untuk memengaruhi berdasarkan
asumsi bahwa orang itu rasional. Individu tersebut juga akan mengadopsi
informasi baru yang disajikan secara empiris yang tampaknya menjadi
kepentingan terbaik untuk dirinya. Strategi ini umum digunakan dalam promosi
kesehatan komunitas dengan cara memberikan informasi dasar kepada klien.
2. Strategi perubahan Normatif-Reduktif
Strategi ini dilakukan tidak hanya dengan memberikan informasi baru kepada
klien, namun juga memengaruhi langsung perilaku dan sikap klien secara
persuasif. Strategi ini mengasumsikan bahwa sikap dan praktik seorang klien
ditentukan oleh norma sosial budaya. Strategi ini membangun pemahaman,
penguasaan diri, dan komitmen klien terhadap suatu perubahan dengan
menggunakan metode persuasif seperti memberikan penghargaan. Perawat perlu
memastikan bahwa klien memiliki kemampuan untuk perawatan diri, namun
masih perlu pemanatauan atau bantuan dari pihak luar guna mempertahankan
perubahan tersebut. Klien seperti ini biasanya ditemukan pada situasi pengajaran,
konseling, dan terapi.
3. Strategi perubahan kekuatan-koersif
Strategi perubahan kekuatan-koersif berfokus kepada perubahan yang
menggunakan paksaan atau ketetapan yang berlaku sehingga memaksa klien
untuk melakukan perubahan berdasarkan rasa takut yang timbul. Strategi ini
umum digunakan terhadap klien yang tidak mampu melindungi diri dari kodisi
yang mengancamnya.

27
Ketiga strategi tersebut bisa digunakan secara bersamaan atau kombinasi.
Efektivitas setiap strategi juga ditentukan oleh situasi umum dan khusus yang
dimiliki klien dalam memenuhi perawatan diri. Perawat sebagai agen perubahan
harus menyesuaikan strategi agar sesuai dengan setiap perubahan situasi,
termasuk perasaan klien terhadap perubahan itu sendiri.
Enam prinsip pedoman pengaruh perubahan posotif tersebut adalah
(Allender et al., 2014):
1. Prinsip Partisipasi
Klien diusahan selalu terlibat dalam setiap langkah perubahan yang dilakukan.
Partispasi setiap klien akan membentuk hubungan kolaborasi, sehingga dapat
memberikan ide dan informasi yang dapat memaksimalkan rencana perubahan
yang akan dilakukan. Selain itu, hambatan seperti perlawanan juga dapat
diminimalisir melalui hubungan koloborasi dalam partispasi klien. Partispasi ini
juga meningkatkan peluang perubahan itu akan diterima oleh masyarakat.
2. Prinsip Perlawanan terhadap Perubahan
Semua sistem secara insting mempertahankan status quo yang dimilikinya. Semua
sistem mengalami inersia, yaitu, mereka menolak gerakan awal. Klien tidak akan
melakukan perubahan sampai mereka yakin terhadap nilai dalam perubahan
tersebut. Perlawanan juga bisa datang konflik atas tujuan dan metode atau dari
kesalahpahaman. Seperti yang dibahas di bagian sebelumnya, partisipasi klien
dalam proses perencaan perubahan adalah salah satu cara untuk mengatasinya
perlawanan. Cara lain adalah membangun dan mempertahankan jalur komunikasi
terbuka untuk membuat ide-ide dengan jelas dipahami dan untuk menyelesaikan
perselisihan dengan cepat. Perawat perlu mempersiapkan klien secara menyeluruh
untuk perubahan, baik dalam memberikan dukungan, kesabaran selama proses
perubahan, dan mendorong respons serta ekspresi perasaan klien.
3. Prinsip Waktu yang Tepat
Waktu yang tepat pentingnya dalam proses memeberikan perubahan. Waktu yang
tepat akan menghasilkan hasil yang baik. Ide atau gagasan perubahan yang sesuai,
kondisi klien, perubahan iklim, dan sumber daya yang tersedia juga perlu
diperhatikan dalam merencanakan suatu perubahan.
4. Prinsip Saling Ketergantungan

28
Setiap sistem memiliki banyak subsistem yang rumit dan saling ketergantungan
satu dengan yang lainnya. Sebuah perubahan di satu bagian sistem pun juga
memengaruhi bagian lainnya. Prinsip saling ketergantungan ini mengingatkan
perawat, bahwa perubahan itu tidak terjadi jika tidak ada ketergantungan dari
seluruh pihak. Seluruh pihak harus mengantisipasi dan mempersiapkan dampak
perubahan yang direncankan baik secara individu, organisasi, maupun wilayah
geografis.
5. Prinsip Fleksibilitas
Peristiwa tak terduga dapat terjadi setiap saat. Prinsip fleksibilitas menekankan
dua poin utama yang perlu diperhatikan. Pertama, perawat harus mampu
beradaptasi dengan kejadian yang tidak terduga dan manfaatkan semua yang ada
secara maksimal. Kedua, menyiapkan strategi atau cara alternatif dalam
mengantisipasi masalah yang mungkin terjadi. Prinsip fleksibilitas ini melibatkan
kemauan untuk mempertimbangkan beragam pilihan dan saran dari banyak
sumber
6. Prinsip Pemahaman Diri
Pemahaman diri sangat penting untuk seorang agen perubahan. Perawat
komunitas harus dapat mendefinisikan dengan jelas peran dan respon orang lain
terhadap dirinya. Hal ini penting untuk memahami nilai-nilai dan motif seseorang
dalam melakukan perubahan. Perawat juga perlu memahami ciri-ciri kepribadian
diri sendiri, sehingga mereka dapat memanfaatkan atau mengubah guna
memaksimalkan tugasnya menjadi agen perubahan.

2.4 Konsep Motivasi

Motivasi menjadi salah satu pengaruh bagi seseorang untuk mencapai suatu
tujuan tertentu. Menurut Suarli dan Bahtiar (2012), motivasi dapat bersumber dari
motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik merupakan motivasi yang
berasal dari dalam diri individu, seperti tingkat pendidikan, harapan atau
keinginan, dan pengalaman. Sementara motivasi ekstrinsik merupakan motivasi
yang berasal dari luar diri individu, seperti lingkungan, dorongan/bimbingan dari
orang lain dan jarak suatu tempat untuk mencapai tujuannya. Motivasi menurut

29
sifatnya dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu motivasi takut, motivasi insentif, dan
motivasi sikap atau self-motivation (Sukmadinata, 2009). Motivasi takut atau fear
motivation merupakan motivasi yang didasari oleh rasa ketakutan seseorang.
Individu melakukan sesuatu karena takut akan terjadi hal yang tidak diinginkan
atau diharapkan. Motivasi insentif merupakan motivasi yang didasari oleh
keinginan individu untuk mendapatkan suatu insentif. Contohnya adalah seorang
anak melakukan pemantapan materi ujian agar mendapatkan nilai yang bagus dan
diberikan hadiah oleh orang tuanya. Motivasi sikap atau self-motivation
merupakan motivasi yang bersifat intrinsik, muncul dari dalam diri individu,
berbeda dengan kedua motivasi sebelumnya yang bersifat ekstrinsik dan datang
dari luar diri. Motivasi sikap biasanya dialami oleh seseorang yang memiliki
tingkat kesadaran yang tinggi. Contohnya adalah seseorang ingin membuang
sampah pada tempat sampah sesuai golongan karena ia sadar bahwa sampah perlu
dipilah terlebih dahulu agar lebih mudah untuk didaur ulang

Terdapat beberapa jenis teori motivasi, yang pertama adalah Teori


Kebutuhan Maslow (Potter & Perry, 2013). Teori ini merupakan teori yang
mengungkapkan kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Maslow membagi
kebutuhan dasar tersebut menjadi 5 tingkatan, dimulai dari kebutuhan biologis
dasar sampai motif psikologis yang lebih kompleks; yang hanya akan penting
setelah kebutuhan dasar terpenuhi. Kebutuhan pada suatu peringkat paling tidak
harus terpenuhi sebagian sebelum kebutuhan pada peringkat berikutnya menjadi
penentu tindakan yang penting. Tingkat pertama atau tingkatan yang paling dasar
adalah kebutuhan fisiologis. Kebutuhan fisiologis ini mencakup kebutuhan yang
harus dicapai agar tetap hidup (kebutuhan fisik) seperti makan, minum, istirahat,
tidur, tempat tinggal, kesehatan badan, dan lainnya. Tingkat kedua adalah
kebutuhan rasa aman dan perlindungan. Pada tingkat ini seorang individu
membutuhkan rasa aman dari setiap jenis ancaman fisik atau kehilangan, serta
merasa terjamin (Potter & Perry, 2013). Pada waktu seseorang telah mempunyai
pendapatan cukup untuk memenuhi semua kebutuhan kejiwaan seperti membeli
makanan dan tempat tinggal, perhatian akan diarahkan kepada penyediaan
jaminan asuransi, melamar pekerjaan agar mendapat penghasilan yang stabil, dan
sebagainya.

30
Tingkat ketiga adalah kebutuhan sosial, rasa ingin memiliki, dan cinta,
dimana seseorang memiliki hubungan antarsosial. Kebutuhan sosial yang
diperlukan pada tingkat ini, mungkin disadari melalui hubungan-hubungan
antarpribadi yang mendalam, tetapi juga yang dicerminkan dalam kebutuhan
untuk menjadi bagian berbagai kelompok sosial (Potter & Perry, 2013).
Contohnya adalah hubungan pertemanan, afiliasi, interaksi, pernikahan, kerja
sama dalam tim, dan lain-lain. Tingkat keempat adalah kebutuhan akan
penghargaan atau harga diri, kebutuhan untuk menghargai diri sendiri maupun
mendapat penghargaan dari orang lain. Manusia sebagai makhluk sosial yang
dalam kehidupannya selalu berinteraksi dengan orang lain, ingin mendapatkan
penerimaan dan penghargaan dari yang lainnya. Misalnya adalah pencapaian
posisi atau jabatan tertentu. Tingkat kelima atau tingkatan yang paling atas adalah
kebutuhan aktualisasi diri, kebutuhan untuk bisa memaksimalkan kemampuan,
keahlian, serta potensi diri (Potter & Perry, 2013). Ketika semua kebutuhan lain
sudah dipuaskan, seseorang ingin mencapai secara penuh potensinya, seperti
menghadapi tantangan kerja.

Teori motivasi yang kedua adalah Teori Pengharapan yang dikemukakan


oleh Victor H. Vroom. Teori ini menjelaskan mengapa seseorang tidak melakukan
sesuatu yang ia yakini ia tidak dapat melakukannya, sekalipun hasil dari pekerjaan
itu sangat ia inginkan. Menurut Vroom, tinggi rendahnya motivasi seseorang
ditentukan oleh tiga komponen. Pertama adalah ekspektasi (harapan) keberhasilan
pada suatu tugas. Kedua adalah instrumentalis, yaitu penilaian tentang apa yang
akan terjadi jika berhasil dalam melakukan suatu tugas (keberhasilan tugas untuk
mendapatkan outcome tertentu). Ketiga adalah valensi yang merupakan respon
terhadap outcome seperti perasaan posistif, netral, atau negatif. Motivasi akan
menjadi tinggi jika usaha menghasilkan sesuatu yang melebihi harapan. Namun,
motivasi dapat menjadi rendah jika usahanya menghasilkan kurang dari yang
diharapkan.

2.5 Konsep Kolaborasi

Menurut Petersen tahun 2003, kolaborasi dalam keperawatan komunitas,


memiliki arti sebagai interaksi yang disengaja antara perawat, klien, professional

31
lain, dan anggota komunitas. Kolaborasi ini dilakukan atas dasar nilai, partisipasi,
dan upaya bersama (Allender, 2010). Kolaborasi ini dibangun dengan melibatkan
kepercayaan satu sama lain dan kepercayaan diri. Kolaborasi memiliki dua fitur
dasar, yaitu memiliki tujuan dan juga meibatkan beberapa pihak yang saling
membantu untuk mencapai tujuan tersebut (Allender, 2010). Adapun beberapa
strategi untuk membangun kolaborasi tim interprofesional, diantaranya:

 Memiliki pemikiran yang out of the box saat berkolaborasi


 Kolaborator harus menjadi bagian dari perencanaan
 Rencana yang dibuat ialah panduan untuk mencapai tujuan
 Saat menambah kolaborator, kita perlu membuat perencanaan ualang
 Gunakan teknik membangun konsensus yang kreatif dan visual
 Tetapkan visi bersama, lalu bagikan rencana dan kepemimpinan.

Kolaborasi memiliki karakteristik yaitu tujuan bersama, partisipasi


bersama, memaksimalkan sumber daya, tanggung jawab yang jelas, dan
menetapkan batasan (Allender, 2010). Tentu dalam berkolaborasi, kita perlu
memiliki tujuan bersama yang terarah. Hubungan kolaborasi bisa tercipta karena
dari tiap kolaboratornya telah mengenali alasan spesifik untuk bergabung dalam
kolaborasi. Perawat kesehatan masyarakat, perwakilan karyawan perusahaan ahli
keselamatan, ahli kesehatan industri, kesehatan pendidik, ahli terapi olahraga, ahli
gizi, dan psikolog mungkin bekerja bersama untuk mengembangkan fisik dan
kesehatan mental tertentu (Allender, 2010).

Menurut Leonard, Graham, dan Bonacum tahun 2004, dalam


berkolaborasi, tentu melibatkan partisipasi bersama, yang mana semua anggota
tim berkontribusi dan saling menguntungkan (Allender, 2010). Kolaborasi ini
melibatkan adanya pertukaran timbal baik yang mana setiap anggota merasa
sama-sama dihargai dan tidak memiliki hierarki dalam tim. Dalam hal ini setiap
anggota kolaborasi interdisiplin ini harus mampu untuk saling berbagi ide secara
efektif dan saling memberikan timbal balik (Allender, 2010).

Karakteristik ketiga ialah memaksimalkan oenggunaan sumber daya. Hal


ini berarti kolaborasi dirancang untuk memanfaatkan sumber daya manusia yang

32
memiliki keahlian dan paling berpengetahuan untuk menghasilkan hasil yang
menguntungkan. Misalnya setelah mendapat topik materi pendiddikan kesehatan,
perawat dan anggota tim lainnya berkolaborasi untuk mengekplorasi sumber daya
pendidikan kesehatan di pelayanan kesehatan setempat dalam profesi masing-
masing anggota (Allender, 2010).

Karakteristik kolaborasi lainnya ialah pembatasan. Pembatasan berarti


menentukan kondisi dimana kita harus bertindak dan kapan kita harus berhenti.
Dalam melakukan promosi kesehatan tentu kita perlu melakukan pembatasan
waktu atau targetan waktu untuk mencapai suatu tujuan. Jika sudah melewati
batas waktu yang telah ditentukan, namun para kolaborator masih ingin
mengerjakan kegiatan lain yang disepakati bersama, maka prosesnya harus
dimulai dari awal lagi dengan tujuan yang berbeda (Allender, 2010).

Struktur pada kolaborasi biasanya terdiri dari tiga fase karena kebanyakan
hubungan kolaborasi melibatkan waktu, diantaranya fase awal, fase tengah, fase
akhir. Fase awal yaitu ketika hubungan tim baru saja dibangun. Pada fase ini
semua anggota tim saling mengenal dan mencoba untuk membangun pola
komunikasi dan mengembangkan kepercayaan satu sama lain. Fase selanjutnya
yaitu fase tengah atau dapat disebut sebagai fase kerja yaitu ketika anggota tim
mulai bekerja sama untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Fase ini dapat
diulang sesuai dengan kebutuhan sampai tujuan dapat tercapai dengan hasil yang
memuaskan (Allender, 2010). Fase akhir terjadi ketika kebutuhan dari kerja sama
antaranggota sudah berakhir.

Menurut Stanhope, terdapat beberapa faktor dari kesuksesan kolaborasi


interprofesional yang dilihat dari beberapa aspek, yaitu pengetahuan,
keterampilan, dan perilaku (Stanhope, 2012).

Aspek pengetahuan sendiri terdiri dari:

 Mengerti bagaimana proses kelompok dapat digunakan untuk mencapai


tujuan bersama
 Mengerti bagaimana untuk memecahkan suatu masalah
 Memahami teori peran

33
 Memahami apa yang dilakukan oleh profesional lain dan bagaimana
mereka memandang peran mereka
 Memahami perbedaan antara tingkat ketajaman klien di seluruh tingkat
perawatan, termasuk perawatan akut, perawatan di rumah, perawatan
rawat jalan, dan perawatan jangka panjang.

Aspek keterampilan terdiri dari:

 Penggunaan prinsip-prinsip proses kelompok secara efektif


 Berkomunikasi dengan jelas dan akurat
 Berkomunikasi tanpa menggunakna jargon profesi
 Mengekspresikan diri dengan jelas dan singkat secara tertulis.

Aspek perilaku terdiri dari:

 Merasa percaya diri dalam peran sebagai professional


 Percaya dan menghormati profesi lainnya
 Berbagi tugas dengan professional lainnya
 Bekerja secara efektif untuk mencapai penyelesaian konflik
 Adopsi sikap inkuiri
 Tepat waktu

(Stanhope, 2012).

Perlu kita ketahui juga, terdapat beberapa hambatan untuk mencapai


kolaborasi yang efektif. Salah satunya ialah miskomunikasi yang terkadang
disebabkan oleh kesalahpahaman antarangota tentang pengetahuan prfesional da
motif anggota tim lainnya. Selain itu, stereotip mengenai ketidaksetaraan dan
wewenang yang diberikan pada professional tertentu juga dapat menjadi hambatan
dalam berkolaborasi. Keraguan dalam berbagi informasi dengan anggota tim lain
dan kegagalan dalam mengembangkan kesamaan maksud dan tujuan dapat
menghambat kolaborasi yang efektif.Akan lebih baik jika antaranggota saling
berbagi informasi mengenai disiplin ilmu masing-masing serta harapan pribadi
terkait upaya kolaboratif (Allender, 2010).

34
2.6 Konsep Advokasi

Advokasi adalah proses, bukanlah hasil, dimana mencakup identifikasi


masalah, mengumpulkan informasi, mengidentifikasi yang dapat dipengaruhi atau
mempengaruhi pembuatan keputusan, membangun dukungan serta mengambil
tindakan (Allender et al., 2010). Advokasi merupakan sebuah proses yang
terencana untuk mendapatkan komitmen dan dukungan dari pihak-pihak yang
terkait. Pihak-pihak yang terkait diantaranya tokoh masyarakat baik formal
maupun informal yang berprngaruh dalam masyarakat, penentu kebijakan atau
pemerintah, dan penyandang dana (Sulistyowati, 2011). Advokasi juga
merupakan proses pemberdayaan bagi orang-orang dalam mencapai tujuan salah
satunya perawatan kesehatan. Advokasi kesehatan masyarakat adalah suatu upaya
yang bertujuan untuk menciptakan kesadaran serta menghasilkan dukungan untuk
dapat memenuhi kebutuhan kesehatan masyarakat (Allender et al., 2010).Menurut
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2007) dalam Mulana (2009) terdapat
tujuan dari advokasi yang dibagi dalam tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan
umum dari advokasi adalah diperolehnya komitmen dan dukungan dalam upayan
kesehatan, baik berupa kebijakan, tenang, dana,sarana, kemudahan, keikutsertaan
dalam kegiatan, maupun bentuk lainnya yang sesuai dengan keadaan. Sedangkan
untuk tujuan khusus dari advokasi adalah meliputi (1) adanya pemahaman atau
pengenalan ataupun keasadaran, (2) adanya ketertarikan atau peminatan atau
tanpa sebuah penolakan, (3) adanya kepedulian atau kemauan, ataupun
kesanggupan untuk membantu dan menerima sebuah perubahan, (4) adanya
tindakan atau perbuatan ataupun kegiatan yang nyata yang tentunya diperlukan,
dan (5) adanya kelanjutan dari kesiatan yag telah ada (kesinambungan kegiatan).
Adapun hasil yang diharapkan dari advokasi dalam promosi kesehatan sendiri
adalah adanya pengertian, kepedulian, dan dukungan terhadap setiap upaya,
program, maupun kegiatan yang diadakan dalam bidang kesehatan (Maulana,
2009).

Sasaran dari advokasi kesehatan sendiri adalah berbagai pihak yang


diharapkan dapat memberikan dukungan terhadap berbagai upaya kesehatan,
kususnya para pengambil keputusan dan penentu kebijakan dalam sebuah

35
pemerintahan, lembaga perwakilan rakyat, mitra di kalangan pengusaha, badan
penyandang dana, media massa, organisasi profesi maupun kemasyarakatan,
maupun tokoh-tokoh lain yang berpengaruh (Maulana, 2009).

Selain sasaran, advokasi juga mempunyai pelaku advokasi yang disebut


dengan advokat, yaitu siapa saja yang peduli terhadap upaya kesehatan dan
memandang bahwa perlu adanya mitra untuk mendukung upaya tersebut. Pelaku
advokasi diantaranya pemerintah, swasta, perguruan tinggi, organisasi profesi
maupun masyarakat, LSM atau tokoh yang berpengaruh yang melakukan
pendekatan persuasif, dapat dipercaya, atau sebisa mungkin merupakan orang
yang dihormati dalam kelompok sasaran advokasi.

Menjadi seorang advokat bagi klien, seorang perawat harus memerhatikan


beberapa hal, seperti (1) Menjadi asertif atau kemampuan untuk
mengomunikasikan apa yang diinginkan, dirasakan, dan dipikirkan kepada orang
lain dengan tetap menghargai orang lain. (2) Mengakui hak-hak dan nilai-nilai
klien beserta keluarga harus diutamakan ketika mereka bertentangan dengan
orang-orang dari penyedia layanan kesehatan. (3) Menyadari bahwa kemungkinan
terjadi konflik atas masalah kesehatan. (4) Dapat bekerja dengan lembaga
masyarakat maupun praktisi awam. (5) Mengetahui bahwa advokasi memerlukan
tindakan politik dimana mencakup kebutuhan perawatan kesehatan klien terhadap
pemerintah maupun penjabat yang memiliki wewenang tentang kebutuhan
tersebut (Berman et al., 2016).

Kesepakatan yang didapat dari proses advokasi tentunya terjadi setelah


melalui beberapa tahapan. Terdapat lima langkah dalam kegiatan advokasi antara
lain sebagai berikut (Departemen Kesehatan, 2007 dalam Maulana, 2009).

a. Mengidentifikasi dan menganalisis masalah ataupun isu yang


memerlukan advokasi. Masalah ataupun isu advokasi perlu dirumuskan
berdasarkan data atau fakta. Data yang berbasis fakta sangat membantu dalam
menetapkan masalah dalam sebuah masyarakat, mengidentifikasi solusi dari
masalah, serta menentukan tujuan yang realistis (Maulana, 2009).

36
b. Mengidentifikasi dan menganalisis kelompok sasaran. Sasatan kegiatan
ditujukan kepada para pembuat keputusan maupun penentu kebijakan, baik
dalam bidang kesehatan maupun bidang lainnya. Dalam mengidentifikasi
sasaran perlu menetapkan siapa saja yang menjadi sasaran, mengapa perlu
dilakukan advokasi, apa kecenderungan yang ada, serta apa harapan untuk
kedepannya (Maulana, 2009).
c. Menyiapkan dan mengemas bahan informasi. Bahan informasi adalah
informasi yang akurat, tepat dan menarik. Dalam menetapkan bahan infomasi
perlu mempertimbangkan hal berikut seperti a) bahan informasi memuat
rumusan masalah, latar belakang masalah, alternatif cara mengatasi masalah,
usulan tindakan yang diharapkan, serta tindak lanjut penyelesaian masalah, b)
dikemas secara menarik, ringkas, jelas, dan mengesankan, c) bahan informasi
disertai dengan data pendukung, ilustrasi contoh, gambar, ataupun gambar,
serta d) waktu dan tempat penyampaian dari bahan informasi tersebut, apakah
sebelum, saat maupun setelah pertemuan (Maulana, 2009).
d. Merencanakan teknik atau cara ataupun kegiatan operasional. Beberapa
teknik yang dapat dilakukan diantaranya konsultasi, lobi, pendekatan formal
maupun informal kepada para pembuat keputusan, negosiasi, pertemuan
khusus, debat publik, petisi, pembuatan opini, dan seminar kesehatan
(Maulana, 2009).
e. Melaksanakan kegiatan, pantau dan evaluasi serta lakukan tindak
lanjut. Evaluasi diperlukan untuk menilai ketercapaian tujuan serta
memperbaiki strategi pelaksanaan advokasi kesehatan (Maulana, 2009).

Kegiatan advokasi tentunya memiliki indikator keberhasilan dalam proses


pelaksanaannya. Indikator keberhasilan ini dibagi menjadi tiga, yaitu indikator
output, proses, dan input (Maulana, 2009). (1) Indikator output yaitu adanya
kepedulian, keterlibatan dan dukungan, serta kesinambungan upaya kesehatan
baik berupa kebijakan, tenaga, dana, sarana, kemudahan, atau keterlibatan dalam
kegiatan. Output dari advokasi adalah undang-undang, peraturan daerah, instruksi
yang berkaitan dengan masalah kesehatan. (2) Indikator proses yaitu adanya
rencana kegiatan dan pelaksanaan kegiatan advokasi berupa adanya kerja sama,

37
jaringan, maupun forum kegiatan. (3) Indikator input yaitu adanya sasaran yang
tepat, bahan informasi, serta kesiapan dari pelaku advokasi.

2.7 Konsep Pemberdayaan

Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya menumbuhkan kemampuan


masyarakat agar mereka memiliki daya ataupun kekuatan untuk hidup mandiri
menjaga kesehatannya (Depkes RI, 2007 dalam Kholifah, 2016). Upaya ini
dilakukan dari, oleh dan untuk masyarakat sebagai sasaran utama berdasarkan
keadaan atau masalah yang dihadapi. Hasil yang diharapkan dari adanya
pemberdayaan ini berupa kemandirian masyarakat dalam mengenali tingkat
kesehatan, dan masalah kesehatan, merencanakan dan mengatasi, memelihara,
meningkatkan dan melindunginya (Kholifah, 2016). Hal tersebut juga dapat
berdampak pada masyarakat yang mengalami sakit, masyarakat mampu
mengenali, melindungi, memelihara hingga dapat meningkatkan kualitas
kesehatannya.
Menurut Kasmel & Andersen (2011), terdapat 3 komponen dasar dalam
pemberdayaan melalui partisipasi. Pertama, partisipasi sebagai proses aktif
dimana seluruh anggota masyarakat dapat mengutarakan pendapatnya. Kedua,
partisipasi sebagai pilihan dimana masyarakat memiliki hak untuk mengambil
keputusan yang dapat mempengaruhi kehidupannya. Ketiga, partisipasi efektif
dimana masyarakat dapat menghasilkan tujuan dengan mengusahakan aktivitas
partisipasi.
Terdapat 7 prinsip dalam pemberdayaan masyarakat (Maulana, 2009).
Pertama, menumbuhkembangkan potensi masyarakat, dimana potensi ini
dikelompokkan menjadi potensi sumber daya manusia dan potensi sumber daya
alam. Kedua, menggali kontribusi masyarakat, dimana potensi masyarakat
dikembangkan agar dapat berkontribusi sesuai kemampuan terhadap kegiatan
yang direncanakan. Ketiga, mengembangkan kegiatan gotong-royong di
masyarakat, dimana peran petugas kesehatan memfasilitasi melalui pendekatan
kepada tokoh masyarakat sebagai penggerak kesehatan dalam masyarakat.
Keempat, bekerja sama dengan masyarakat. Kelima, melakukan promosi,
pendidikan dan pelatihan dengan sebanyak mungkin menggunakan dan

38
memanfaatkan potensi setempat. Keenam, upaya dilakukan secaran kemitraan
dengan berbagai pihak untuk mewujudkan tujuan yang telah disepakati
sebelumnya. Ketujuh, desentralisasi (sesuai dengan keadaan dan budaya
setempat), dimana adanya kesempatan bagi masyarakat untuk mengembangkan
potensi wilayah dan daerahnya masing-masing.
Terdapat 7 model dan bentuk konsep pemberdayaan dalam melakukan
promosi kesehatan (Jones, Winslow, Lee, Burns, & Zhang, 2011). Pertama,
pemberdayaan pimpinan masyarakat (community leaders), misalnya melalui
sarasehan. Kedua, pengembangan upaya kesehatan bersumber daya masyarakat
(community organizations), misalnya posyandu dan polindes. Ketiga,
pemberdayaan pendanaan masyarakat (community fund), misalnya JPKM dan
dana sehat. Keempat, pemberdayaan sarana masyarakat (community material),
misalnya pembangunan jamban atau sumur di masyarakat. Kelima, peningkatan
pengetahuan masyarakat (community knowledge), misalnya lomba melukis pada
anak atau lomba mengasah keterampilan lainnya. Keenam, pengembangan
teknologi tepat guna (community technology), misalnya pendeteksi dini kanker.
Terdapat 5 langkah kegiatan di tingkat operasional dalam pemberdayaan
masyarakat (Maulana, 2009). Pertama, pendekatan pada pimpinan masyarakat
(advocacy). Kedua, survei mawas diri, atau pengkajian masalah di masyarakat
(community diagnosis). Ketiga, perumusan masalah dan kesepakatan bersama
dalam musyawarah masyarakat desa (community prescription). Keempat,
pemecahan masalah bersama (community treatment). Kelima, pembinaan dan
pengembangan (development).

2.8 Konsep Kemitraan

Kemitraan adalah kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk mencapai
tujuan bersama, dimana masing-masing pihak mewakili hak dan tanggung jawab
sesuai dengan kesepakatan (Kemenkes, 2019). Notoatmodjo pada tahun 2003
menyebutkan bahwa kemitraan adalah suatu kerjasama formal antara individu-
individu, kelompok-kelompok, atau organisasi-organisasi untuk mencapai suatu
tugas atau tujuan tertentu. Berdasarkan pengertian yang telah disampaikan, dapat

39
dikatakan bahwa kemitraan merupakan hubungan kerjasama dua pihak atau lebih
untuk mencapai tujuan yang sama.

Tujuan kemitraan dalam bidang kesehatan secara umun yaitu untuk


meningkatkan status kesehatan masyarakat dan daya tanggap pemangku
kepentingan terhadap lingkungan dan masyarakat. Sedangkan tujuan khususnya
yaitu terbinanya kepedulian dan motivasi para pemangku kepentingan terhadap
tercapainya sasaran strategis pembangunan kesehatan, terciptanya kesamaan
pemahaman dalam bermitra diantara pemangku kepentingan, meningkatkan
sumberdaya dalam penyelenggaraan pembangunan kesehatan, dan
terselenggaranya upaya kesehatan di lingkungan kerja dan masyarakat
(Kemenkes, 2019).

Kemernterian kesehatan pada tahun 2019 mengungkapkan bahwa sasaran


kemitraan dalam pembangunan kesehatan yaitu masyarakat, kader atau lintas
sektor, institusi pendidikan, instansi pemerintah, organiasasi kemasyarakatan,
kelompok peduli kesehatan, dunia usaha, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
donatur atau penyandang dana, pemuka atau tokoh masyarakat, organisasi profesi,
dan pengelolan media masa. Sasaran kemitraan ini dapat menyokong satu sama
lain untuk keberlangsungan promosi kesehatan yang efektif dan efisien.

Sebuah kerjasama atau kemitraan memiliki prinsip sebagai dasar atau


landasan untuk keberlangsungan kerjasama untuk mencapai tujuan bersama dan
meminimalisir kerugian antarpihak. Prinsip kemitraan membantu anggota untuk
bekerja sesuai dengan porsinya masing-masing tetapi saling menyokong fungsi
masing-masing anggota. Prinsip kemitraan dalam promosi kesehatan dibagi
menjadi 3 yaitu (Notoadmojdo, 2012):

1. Equity (Kesetaraan)

Makna kesetaraan yakni individu, organisasi, atau institusi yang telah


menyetuji kerjasama atau kemitraan mempunyai kedudukan yang sama tidak ada
yang lebih tinggi atau lebih rendah. Kesetaraan ini dapat terbangun dengan
penerapan asas demokrasi yang tinggi, yaitu satu individu, organisasi, atau
institusi tidak dapat memaksakan kehendak atau mendominasi yang lain karena

40
merasa kedudukannya lebih tinggi. Seluruh anggota atau mitra memiliki hak dan
suara yang sama dalam pengambilan keputusan untuk mencapai tujuan bersama
dan menjunjung tinggi musyawarah dan mufakat.

2. Transparency (Keterbukaan)

Keterbukaan merupakan sikap terbuka dan proaktif atas kemajuan atau


permasalahan yang terjadi kepada anggota kemitraan. Keterbukaan ini dapat
membantu kesulitan yang dialami agar dapat dikerjakan bersama-sama dengan
saling membantu atau saling melengkapi kekurangan untuk mencapai tujuan
bersama. Selain itu setiap kesepakatan yang telah dibuat dapat diimplementasikan
secara transparan, jujur, dan tidak saling merahasiakan (Kemenkes, 2019).

3. Mutual benefit (Saling menguntungkan)

Arti menguntungkan dalam hal ini tidak hanya dititikberatkan pada materi,
tetapi pada nonmateri, seperti kebersamaan atau sinergis antarmitra dalam
mencapi tujuan bersama. Selain itu setiap mitra mempunyai tujuan dan
kepentingan yang sama dalam melaksanakan upaya pembangunan kesehatan akan
mendapatkan keuntungan dan manfaat.

Kemitraan dalam bidang kesehatan mencakup 3 institusi atau organisasi


utama atau unsur pokok, yaitu unsur pemerintah yang terdiri dari berbagai sektor
pemerintah terkait dengan kesehatan, antara lain; kesehatan sebagai sektor utama,
sektor pendidikan, kehutanan, agama, lingkungan hidup, industri, dan
perdagangan; unsur swasta (private sector) atau kalangan bisnis seperti
pengusaha, industiawan, dan pemimpin perusahaan; unsur organisasi
nonpemerintah atau Non-Government Organization (NGO) yang terdiri dari 2
unsur penting yaitu ormas (yayasan bidang kesehatan) dan organisasi profesi (IDI,
PPNI, PDGI, dan lain sebagainya) (Notoadmodjo, 2012).

Landasan untuk menjalani sebuah kemitraan diperlukannya structure


(sikap saling memahami kedudukan, tugas, fungsi, dan struktur masing-masing
mitra), capacity (setiap mitra saling memahami kemampuannya masing-masing),
linkage (saling berhubungan melalui komunikasi yang efektif), proximity

41
(antarmitra saling menjalin kedekatan satu sama lain), openness (setiap mitra
bersedia membantu dan dibantu mitra lainnya), synergy (satu mitra dengan
lainnya saling mendorong dan mendukung), reward (mitra harus saling
menghargai dan toleransi) (Kemenkes, 2014).

Kementerian Kesehatan RI (2019) menyatakan bahwa kunci keberhasilan


kemitraan terdiri dari 5 aspek yaitu, cooperation (adanya kerjasama yang
harmonis dalam tukar pemikiran mengenai visi dan misi kemitraan), coordination
(adanya koordinasi yang baik dalam penyaluran pemikiran mengenai tujuan
bersama), collaboration (adanya kolaborasi sesuai dengan masing-masing
kemampuan mitra dan sumber daya), creation of dynamic team (terciptanya tim
yang harmonis), dan commitment (adanya komitmen berdasarkan kesepakatan
seluruh mitra).

Peran mitra dalam pembangunan kesehatan diharapkan dapat berperan


sebagai inisiator, advokator, katalisator, fasilitator, donatur, pendukung
sumberdaya, penggerak masyarakat, dinamisator, komunikator, motivator,
pembimbing teknis, dan pengembang model promosi kesehatan (Kemenkes,
2019).

Model kemitraan dibagi menjadi 2, yakni model I (model kemitraan paling


sederhana atau disebut building linkages (sifatnya dikenal sebagi koalisi) karena
memiliki karakteristik yang sama, dimana masing-masing mitra atau insttitusi
telah mempunyai program sendiri mulai dari perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi, contohnya koalisi Indonesia sehat atau forum promosi kesehatan
Indonesia) dan model II (model kemitraan yang solid, dimana masing-masing
mitra mempunyai tanggung jawan yang besar dalam program atau kegiatan
bersama, membuat visi, misi, dan kegiatan dalam mencapai tujuan kemitraan
harus direncanakan, dilaksanakan, dan dievaluasi bersama, contohnya gerakan
terpadu nasional (Gerdunas), TB Paru dan gerbak malaria (Rollback Malaria).

42
2.9 Promosi Kesehatan dalam Pelayanan Keperawatan
2.9.1 Prinsip Promosi Kesehatan

Banyak pendapat mengenai promosi kesehatan yang dapat diterapkan oleh


masyarakat untuk meningkatkan derajat kesehatannya agar lebih baik lagi, prinsip
ini dalam pelaksanaanya memiliki fungsi yang digunakan sebagai landasan
pelaksanaan program promosi kesehatan, prinsip tersebut yaitu, (1) promosi
kesehatan(Health Promotion),merupakan suatu proses pemanfaatan masyarakat
dalam memelihara, meningkatkan, dan melindungi kesehatannya. Dengan kegitan
edukasi/penyuluhan kesehatan yang merupakan bagian penting dalam promosi
kesehatan, (2) Promosi kesehatan merupakan perbaikan perilaku kesehatan 
dengan tujuan lingkungan juga ikut terpegaruhi terhapat perilaku kesehatan
sehingga dapat meningkatkan kualitas kesehatan, (3) Merupakan rangkaian
kesehatan yang komprehensif, memiliki sifat promotif dalam upaya preventif,
kuratif dan rehabilitatif, (4) Upaya advokai dan bina suasana tidak hanya
bertumpu pada pentingnya edukatif, yang selanjutnya disebutgerakan
pemberdayaan masyarakat, (5) memiliki patokan pada pola hidup bersih dan sehat
yang diterapkan pada tatanan tempat tinggal, sekolah, tempat kerja, tempat umum
serta fasilitas kesehatan, (6) merupakan peran kemitraan yang lebih ditekankan
dan berlandaskan pada kesamaan, keterbukaan dan saling memeberi manfaat,
kemitraan ini diterapkan antara masyarakat dengan pemerintah, (7) menekankan
pada proses atau upaya dengan tidak mengabaikan hasil apalagi dampak yang
timbul. Pada dasarnya cukup sulit untuk mengukur hasil promosi kesehatan hanya
pada perubahan perilaku masyarakat saja, dan ebih sesuai bila diukur melalui
mutu dan frekuensi (Nurmala,2020)

Prinsip promosi kesehatan menurut WHO pada Ottawa Charter for health
promotion (1986) mengemukakan ada tujuh prinsip pada promosi kesehatan,
antara lain :

a. Empowerment ( pemberdayaan) yaitu cara kerja untuk memungkinkan


seseorang untuk mendapatkan kontrol lebih besar atas keputusan dan
tindakkan yang mempengaruhi kesehatan mereka.

43
b. Partisipative ( partisipasi) yaitu dimana seseorang mengambil bagian aktif
dalam pengambilan keputusan.

c. Holistic ( menyeluruh ) yaitu memperhitungkan hal-hal yang


mempengaruhi kesehatan dan interaksi dari dimensi-dimensi tersebut.

d. Equitable ( kesetaraan) yaitu memastikan kesamaan atau kesetaraan hasil


yang di dapat oleh klien.

e. Intersectoral ( antar sektor ) yaitu bekerja dalam kemitraan dengan instasi


terkait lainnya atau organisasi.

f. Sustainable ( berkelanjutan) yaitu memastikan bahwa hasil dari kegiatan


promosi kesehatan yang berkelanjutan dalam jangka panjang.

g. Multi Strategy yaitu bekerja pada sejumlah strategi daerah seperti program
kebijakkan.

Sedangkan  menurut Michael,dkk,2009 Prinsip-prinsip promosi kesehatan


antara lain sebagai berikut:

a. Manajemen puncak harus mendukung secara nyata serta antusias program


intervensi dan turut terlibat dalam program tersebut.

b. Pihak pekerja pada semua tingkat ini pengorganisasian harus terlibat


dalam perencanaan dan implementasi intervensi.

c. Fokus intervensi harus berdasarkan pada factor risiko yang dapat


didefinisikan serta dimodifikasi dan merupakan prioritas bagi pekerja.

d. Intervensi harus disusun sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan


pekerja.

e. Sumber daya setempat harus dimanfaatkan dalam mengorganisasikan dan


mengimplementasikan intervensi.

f. Evaluasi harus dilakukan juga.

44
g. Organisasi harus menggunakan inisiatif kebijakan berbasis populasi
maupun intervensi promosi kesehatan yang intensif dengan berorientasi
pada perorangan dan kelompok.

h. Intervensi harus bersifat kontinue serta didasarkan pada prinsip-


prinsippemberdayaan dan atau model yang berorientasi pada masyarakat
dengan menggunakan lebih dari satu metode.

2.9.2 Jenis Metode Promkes (individual, massa, kelompok)


Metode promosi kesehatan secara garis besar dibagi menjadi dua, yakni
metode didaktif dan metode sokratik. Metode didaktif merupakan metode yang
dilakukan secara satu arah atau one way method. Contoh metode ini diantaranya
ceramah, film, leaflet, booklet, poster dan siaran radio (kecuali siaran radio
interaktif). Sedangkan, metode sokratik merupakan metode yang dilakukan secara
dua arah atau two ways method. Contoh metode ini diantaranya diskusi
kelompok, debat, panel, forum, seminar, bermain peran, curah pendapat
(brainstorming), dan demonstrasi. Dalam menentukan metode mana yang akan
digunakan, beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain ialah pemilihan
metode hendaknya disesuaikan dengan tujuan, kemampuan peserta didik dan
pendidik, waktu, besarnya kelompok sasaran, dan mempertimbangkan fasilitas
yang ada (Maulana, 2009).

Berdasarkan jumlah sasaran, jenis metode dibagi menjadi 3 yaitu :

a. Metode Individu: digunakan untuk membina perilaku seseorang yang


mulai tertarik dengan perubahan perilaku menjadi lebih baik,

b. Metode kelompok: dibagi atas kelompok besar (lebih dari 15 orang) dan
kelompok kecil

c. Metode massa: digunakan untuk mengkomunikasikan pesan-pesan


kesehatan kepada sasaran yang sifatnya massa atau public. Oleh karena
sasaran promosi bersifat umum (tidak membedakan rasa, agama, tingkat
pendidikan, dll), maka pesan-pean kesehatan harus dirancang sedimikian
rupa sehingga mudah dipahami oleh massa tersebut.

45
2.9.3 Media Promosi Kesehatan
Media merupakan saluran seperti sarana visual dan pendengaran yang
berfungsi untuk membawa pesan (Potter & Perry, 2009). Media merupakan alat
atau sarana komunikasi yang menjadi perantara atau penghubung antara dua pihak
(orang, golongan, dan sebagainya), seperti koran, majalah, radio, televisi, film,
poster, dan spanduk (KBBI, 2019). Adapun manfaat dari penggunaan
media antara lain (1) Memudahkan penyampaian informasi; (2) Menghindari
kesalahan persepsi; (3) Memperjelas informasi; (4) Lebih mudah dipahami dan
diingat oleh klien; (5) Memusatkan perhatian; (6) Mendorong klien untuk
menerapkan perilaku kesehatan yang dianjurkan. 

Media yang akan digunakan untuk promosi kesehatan dapat ditetapkan


setelah menetapkan tujuan, menetapkan segmentasi sasaran, memposisikan pesan
(positioning), dan menentukan strategi positioning (Mubarak, 2011). Tujuan yang
ditetapkan harus bersifat realistis, jelas, dan dapat diukur kriteria keberhasilannya.
Pada tahap menetapkan segmentasi sasaran, perawat perlu menentukan dengan
jelas sasaran promosi kesehatan. Tahap selanjutnya yaitu memposisikan pesan
atau positioning, yaitu mempersiapkan pesan apa saja yang akan disampaikan
kepada klien. Selanjutnya adalah menetapkan strategi positioning, perawat perlu
mengenali dengan baik keadaan klien, seperti usia, tingkat pendidikan, dan
lingkungan klien untuk menyusun strategi penyampaian pesan.

Tahap terakhir yaitu menetapkan media yang akan digunakan untuk


melakukan promosi kesehatan. Berdasarkan bentuknya, media dalam promosi
kesehatan dapat diklasifikasikan menjadi media cetak, media elektronik, dan
media luar ruang (Fitriani, 2011). 

1. Media Cetak

Media yang mengutamakan pesan – pesan visual, pada umumnya terdiri


dari tulisan, gambar, dan tata warna. Keunggulan: tahan lama, dapat dibawa oleh
klien, tidak perlu menggunakan listrik, biaya lebih murah, dan memudahkan
pemahaman klien karena klien dapat membaca/melihatnya berulang
kali. Kelemahan: mudah terlipat dan tidak dapat memberikan efek suara serta

46
efek gerak. Contoh: poster, lembar balik, brosur, pamflet, majalah, dan surat
kabar

2. Media Elektronik

Media yang dapat dilihat, didengar, dan menghasilkan efek


gerak. Keunggulan: sudah dikenal dengan baik oleh masyarakat, melibatkan
seluruh pancaindra, lebih menarik, lebih mudah untuk menjadi pusat perhatian,
mudah dipahami karena gabungan dari audio dan visual, dan jangkauan lebih
luas. Kelemahan: membutuhkan listrik, biaya lebih mahal, memerlukan
persiapan yang rumit, memerlukan alat yang canggih, serta memerlukan
keterampilan dalam mengoperasikan dan menyimpan.(Notoatmodjo,
2012). Contoh: televisi, radio, film, DVD, VCD, CD, dan slide show / power
point.

3. Media Luar Ruang

Media yangpenyampaian pesannya di luar ruang secara umum melalui


media cetak dan elektronik dan menetap. Keunggulan: dapat menjangkau
masyarakat secara luas. Kelemahan: masyarakat umumnya kurang memerhatikan
pesan yang terkandung dalam media luar ruang karena menganggapnya hanya
sebagai ‘pajangan’. Contoh: papan reklame, banner, dan televisi layar lebar 

2.9.4 Strategi Promosi Kesehatan


strategi promosi kesehatan menurut WHO itu ada

1. Advokasi

2. Dukungan sosial

3. Pemberdayaan masyarakat

Sedangkan menurut Piagam Ottawa, strategi promosi kesehatan terdiri dari 5


bentuk, yaitu:

a. Kebijakan berwawasan kesehatan (healthy public policy)

b. lingkungan yang mendukung (supportive environment)

47
c. Reorientasi pelayanan kesehatan (reorient health service)

d. keterampilan individu (personal skill)

e. gerakan masyarakat (community action). 

2.9.5 Tahapan Promosi Kesehatan (Pengkajian) 


Pengkajian pada Promosi Kesehatan

Pengkajian merupakan proses mengumpulkan, mengatur, memvalidasi,


dan mendokumentasikan data (Berman, Snyder, & Frandsen, 2016). Adapun
tujuan dari pengkajian yang dilakukan pada tahapan promosi kesehatan yaitu
untuk memperoleh informasi dari individu, keluarga, atau kelompok mengenai
kondisi kesehatan dan berbagai hal yang dapat mempengaruhi proses pelaksanaan
pendidikan kesehatan. Informasi yang didapatkan tersebut akan
mempengaruhi pemilihan materi, metode, dan media pada pelaksanaan
pendidikan kesehatan. Metode dalam melakukan pengkajian untuk kegiatan
pendidikan kesehatan dapat dilakukan dengan pengamatan langsung; wawancara
dengan individu, keluarga, atau komunitas setempat; dan mempelajari data yang
telah ada, seperti medical record (Efendi & Makhfudli, 2009). Tahapan
pengkajian pada promosi kesehatan merupakan proses pengumpulan informasi
untuk menentukan pemilihan materi, metode, dan media yang akan digunakan
dalam pelaksanaan kegiatannya.

Dalam tahapan pengkajian terdapat beberapa aspek yang perlu dikaji.


Adapun aspek yang perlu dikaji tersebut, yaitu riwayat keperawatan, faktor
budaya, faktor ekonomi, gaya belajar, faktor pendukung pada klien, dan
pemeriksaan fisik. Pada riwayat keperawatan terdapat informasi yang
diperlukan, meliputi; usia, misalnya klien adalah seorang lansia maka akan
berpengaruh pada cara penyampaian informasi yaitu secara lambat dan berulang;
pemahaman dan persepsi klien tentang masalah kesehatan, misalnya TBC bukan
merupakan penyakit keturunan; keyakinan dan praktik tentang kesehatan,
misalnya lebih memilih pengobatan dari dukun daripada dokter. 

48
Faktor budaya, misalnya kebiasaan makan makanan bergula tinggi pada
suku tertentu. Faktor ekonomi, misalnya penyusunan menu makanan sehari-hari
disesuaikan dengan keadaan ekonomi. Gaya belajar, misalnya terdapat beberapa
klien yang menerima informasi dengan baik jika menggunakan alat bantu atau
demonstrasi. Faktor pendukung pada klien, misalnya keterlibatan keluarga
dalam mengawasi anggotanya mematuhi pengobatan, seperti meminum obat
secara rutin dan tepat waktu. 

Pemeriksaan fisik dapat dilakukan untuk mengkaji kemampuan belajar


klien, misalnya pemeriksaaan mental, klien yang tegang atau bersedih akan sulit
dalam menerima informasi; tingkat energi dan status gizi, klien yang mengalami
malnutrisi akan sulit menerima informasi; kapasitas fisik, kemampuan untuk
melakukan aktivitas sehari-hari dan belajar; kemampuan penglihatan,
pendengaran dan koordinasi otot (Efendi & Makhfudli, 2009). Aspek yang perlu
dikaji tersebut dapat berpengaruh terhadap pemberian promosi kesehatatan. Jika
perawat dapat mengkaji dengan baik aspek-aspek tersebut, maka pelaksanaan
promosi kesehatan akan berjalan dengan baik pula. 

Setelah melakukan pengkajian terhadap beberapa aspek,


akan terdapat hasil pengkajian. Hasil pengkajian tersebut, diantaranya kesiapan
klien untuk belajar, motivasi, dan tingkat kemampuan membaca
klien. Kesiapan belajar klien dapat dipengaruhi oleh kesiapan fisik, emosi, dan
kognitifnya. Motivasi yang ada pada diri klien dapat mempengaruhi
kebutuhannya dalam belajar dan mendapatkan informasi baru. Tingkat
kemampuan membaca klien akan mempengaruhi kemampuan klien dalam
menerima informasi (Efendi & Makhfudli, 2009). 

2.9.6 Tahapan Promosi Kesehatan (Diagnosis & Perencanaan)


Diagnosis keperawatan dalam promosi kesehatan merupakan penilaian
klinis tentang motivasi, keinginan, dan kesiapan seorang individu, keluarga, atau
komunitas untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengaktualisasikan potensi
kesehatan, dalam kesiapannya untuk meningkatkan perilaku kesehatan tertentu
seperti nutrisi dan olahraga (Potter & Perry, 2013).

49
Contoh diagnosis keperawatan dalam promosi kesehatan meliputi: 1)
kesiapan untuk mekanisme koping keluarga, 2) kesiapan untuk peningkatan gizi.
Untuk menentukan diagnosis keperawatan dalam promosi kesehatan --> perawat
menggunakan penilaian-penilaian klinis untuk merumuskan
hipotesis atau penjabaran tentang kemungkinan adanya masalah, risiko, dan/
atau peluang promosi kesehatan. Semua langkah ini membutuhkan pengetahuan
tentang konsep dasar ilmu keperawatan itu sendiri sebelum pola yang ada dapat
diidentifikasi dalam data klinis atau diagnosis yang akurat dapat dibuat (Potter &
Perry, 2013).

Perencanaan melibatkan penetapan prioritas, mengidentifikasi tujuan yang


berpusat pada klien dan hasil yang diharapkan, serta rencana intervensi
keperawatan individual. Ini mengarahkan perawat dalam memperkirakan atau
meproyeksikan apa yang akan dilakukan selama dilaksanakannya pendidikan
kesehatan mengenai perilaku dan kondisi yang dapat ia tangani atau kelola
(Potter & Perry, 2013).

Mengacu pada NANDA International (2018) perencanaan


sistem behavioral, merupakan rencana asuhan keperawatan yang paling tepat
diterapkan dalam promosi kesehatan, ini mendukung fungsi psikososial dan
memfasilitasi perubahan gaya hidup.

Beberapa perencanaan keperawatan sistem behavioral ini diantaranya seperti:

1) Terapi perilaku, yakni intervensi yang ditujukan untuk memperkuat


atau mempromosikan perilaku dasar yang diinginkan dan atau
mengubah perilaku.

2) Terapi kognitif, yang mana merupakan intervensi untuk


memperkuat atau mempromosikan fungsi kognitif yang diinginkan
atau mengubah fungsi kognitif yang tidak diinginkan.

3) Peningkatan komunikasi, yakni intervensi untuk memfasilitasi


pengiriman dan penerimaan pesan verbal maupun non verbal.

50
4) Pengembangan koping, intervensi untuk membantu orang lain
dalam membangun dan memiliki kekuatan, beradaptasi dengan
perubahan fungsi, atau bahkan mencapai fungsi yang lebih tinggi.

5) Intervensi pendidikan klien, yang bertujuan memfasilitasi


pembelajaran.

6) dan Promosi kenyamanan psikologis, berupa intervensi untuk


mempromosikan kenyamanan menggunakan teknik psikologis
(Potter & Perry, 2013).

2.9.7 Tahapan Promkes (Implementasi dan Evaluasi)  


Jenis pencegahan

a. Pencegahan primer dapat berupa kegiatan promotif dan preventif seperti


promosi kesehatan.

b. Pencegahan sekunder berupa kegiatan kuratif atau penyembuhan

c. Pencegahan tersier berupa kegiatan rehabilitatasi.

Implementasi

yaitu melakukan tindakan penyelesaian untuk memenuhi tujuan dari promosi


kesehatan. Intervensi yang diberikan pada tahapan ini harus disesuaikan dengan
beberapa hal yang termuat dalam SAP yang terdiri dari (Susilowati, 2016):

a. sasaran/klien

b. jadwal

c. diagnose atau kebutuhan klien

d. tujuan yang diharapkan

e. materi pembelajaran

Kegiatan yang dilakukan dapat berupa (Berman, Snyder, & Kozier, 2016):

a. dukungan, konseling

51
b. memberian fasilitas

c. pengajaran

d. konsultasi.

Implementasi promosi kesehatan dapat dilakukan ke beberapa tatatanan


masyarakat seperti melalui pengembangan masyarakat, komunitas, sekolah,
tempat kerja, dan rumah sakit.

Evaluasi

Frankel dalam Susilowati (2016) membagi evaluasi menjadi 3 yaitu:

1. Evaluasi diagnostik yaitu evaluasi yang dilakukan pada saat


penilaian kebutuhan klien.

2. Evaluasi formatif yaitu evaluasi yang dilakukan pada waktu


promosi kesehatan sedang berlangsung.

3. Evaluasi summative yaitu evaluasi yang dilakukan di akhir


program.

Green dalam Susilowati (2016) juga mengklasifikasikan evaluasi menjadi 3 jenis


yaitu:

1. Evaluasi proses yaitu evaluasi yang dilakukan selama program


kesehatan berlangsung dengan tujuan monitoring.

2. Evaluasi dampak (impact) yaitu evaluasi yang dilakukan selama


program berlangsung dengan tujuan menilai perubahan
pengetahuan, sikap maupun praktik keterampilan sasaran program.

3. Evaluasi hasil yaitu evaluasi yang dilakukan di akhir program


dengan tujuan mengukur perubahan status kesehatan dan kualitas
hidup sasaran program promosi kesehatan.

Design-design evaluasi menurut Stephen dan William B. Michael (1981) dalam


Susilowati (2016) terdiri dari:

52
 Historical, yaitu dengan merekonstruksi kejadian di masa lalu secara
objektif kemudian dikaitkan dengan hipotesis.

 Deskriptif, yaitu melakukan penjelasan secara sistematis yang menjadi


faktual.

 Studi perkembangan, yaitu dengan menyelidiki pola dan urutan perubahan


menurut waktu.

 Studi kasus, yaitu dengan meneliti latar belakang status sekarang dan
interaksi lingkungan di suatu unit sosial.

 Studi korelasional, yaitu dengan melihat variasi faktor dengan faktor lain
berdasarkan koefisien tertentu.

 Studi sebab-akibat, yaitu dengan mengamati berbagai konsekuensi yang


ada dan menggalinya melalui data untuk mencari penyebabnya.

 Eksperimen murni, yaitu dengan menyelidiki kemungkinan hubungan


sebab-akibat dengan membuat satu kelompok percobaan terpapar atau
penerima perlakuan.

 Eksperimen semu, yaitu hampir sama dengan eksperiman murni hanya


saja tidak terdapat kelompok kontrol.

 Riset aksi, yaitu dengan mengembangkan pengalaman baru melalui


aplikasi langsung di berbagai kesempatan.

 Evaluasi dilakukan terhadap pihak pelaksana dan pihak penerima program.


Waktu untuk melakukan evaluasi dapat berupa penilaian rutin (pada saat
proram berlangsung), berkala (periodic di akhir suatu bagian seperti 3
bulan, 6 bulan, dst), dan akhir pada saat program selesai. Langkah-langkah
evaluasi yaitu menentukan tujuan evaluasi, menetapkan indikator evaluasi,
menentukan cara/design evaluasi, rencana pengumpulan data evaluasi,
mengukur evaluasi dengan instrumen pengumpulan data, dan melakukan
analisis dan interpretasi data (Susilowati, 2016). Waktu untuk melakukan
evaluasi:

53
1. rutin (pada saat proram berlangsung)

2. berkala (periodic di akhir suatu bagian seperti 3 bulan, 6 bulan,


dst)

3. akhir pada saat program selesai.

Langkah-langkah evaluasi yaitu menentukan tujuan evaluasi, menetapkan


indikator evaluasi, menentukan cara/design evaluasi, rencana pengumpulan data
evaluasi, mengukur evaluasi dengan instrumen pengumpulan data, dan melakukan
analisis dan interpretasi data (Susilowati, 2016).

2.10 Intervensi dan Terapi Komplementer dalam Promosi


Kesehatan

2.10.1 Strategi intervensi (Stanhope & Lancaster, 2016):


1. Group process, merupakan strategi intervensi keperawatan yang dilakukan
bersama-sama dengan lembaga seperti lembaga sekolahan atau lembaga
masyarakat melalui sistem pembentukan kelompok. Tujuannya untuk
meningkatkan kualitas dan keterampilan klien.
2. Health education, adalah program yang didalamnya terdapat proses perubahan
perilaku secara dinamis pada klien individu atau komunitas. Tujuannya untuk
meningkatkan derajat kesehatan dan mengurangi disabilitas serta
mengaktualisasikan potensi kesehatan yang dimiliki oleh klien.
3. Empowerment atau pemberdayaan merupakan proses pemberian kekuatan atau
dorongan melalui pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan
kemampuan klien dalam mengambil keputusan yang berpengaruh pada
kehidupan orang tersebut.
4. Partnership atau kemitraan merupakan bentuk hubungan atau kerja sama aktif
antara perawat, klien, dan pihak pendukung dalam meningkatkan pengetahuan
dan derajat kesehatan, seperti kolaborasi, negosiasi, dan sharing antar anggota
di masyarakat.

2.10.2 Bentuk Intervensi (Fertman & Allenswoth, 2010)

54
1. Instruction, pemberian informasi berbasis pengajaran yang dilakukan oleh
pengajar seperti ceramah, diskusi, atau kerja kelompok, dan pembelajaran
informasi yang dapat dilakukan oleh individu contohnya seperti pembelajaran
berbasis komputer, menulis, atau pembelajaran dengan audiovisual.
2. Counseling, dapat dilakukan pada kelompok maupun individu dengan tujuan
untuk mengubah perilaku dan kebiasaan klien.
3. Regulatory strategies, mencakup regulasi dari pihak berwenang, seperti
peraturan polisi, legislasi, dan peraturan yang memang dapat menunjang
promosi kesehatan.
4. Environmental change, yang meliputi perubahan lingkungan klien pada aspek
fisik, sosial, atau ekonomi yang dapat mempengaruhi perubahan perilaku klien
dalam meningkatkan kesehatan. Program ini menjadikan lingkungan fisik
penunjang kesehatan, baik di rumah, tempat kerja, atau tempat-tempat umum.
5. Social support, dukungan sosial yang dapat disediakan melalui kelompok atau
hubungan sosial.
6. Direct interventions atau intervensi langsung seperti pemantauan, perawatan,
dan follow-up untuk menstimulasi perubahan pada klien.
7. Communication or media outreach, bentuk intervensi yang memanfaatkan
komunikasi melalui media massa, radio, televisi, surat kabar, atau personal
blog untuk menginformasikan topik promosi kesehatan.
8. Advocacy, dengan melakukan pengorganisasian pada situs sosial, area atau
wilayah koalisi, dan aksi sosial yang dapat menunjang terpenuhinya tujuan
promosi kesehatan.

2.10.3 Terapi Komplementer


Terapi komplementer merupakan pengembangan terapi tradisional dan ada
yang diintegrasikan dengan terapi modern melalui pendekatan yang holistik, yaitu
meliputi aspek biologis, psikologis, dan spiritual. Contohnya adalah seperti mind-
body therapy (yoga, terapi musik, berdoa, humor, tai chi), alternative care
(homeopathy, naturopathy, dan cundarismo yang berasal dari Amerika),
biological therapy (terapi melalui herbal dan makanan), dan manipulative and

55
body systems therapy ( pengobatan kiropraksi, macam-macam pijat, rolfing, serta
hidroterapi).

2.10.4 Pelayanan kesehatan preventif


2.10.4.1 Pencegahan primer

Dilakukan saat individu belum menderita sakit melalui promosi


dan perlindungan khusus. Intervensi yang dapat digunakan diantaranya
kemitraan, group process, edukasi kesehatan, kemitraan dan terapi
komplementer (terapi menggunakan alat tradisional atau menggunakan
obat-obatan herbal untuk melengkapi pengobatan konvensional).

2.10.4.2 Pencegahan sekunder.

Mencakup diagnosis dini, pengobatan segera, dan pembatasan


kecacatan. Contoh intervensi yang dapat digunakan adalah terapi
komplementer dan direct intervention.

2.10.4.3 Pencegahan tersier.

Dilakukan untuk mencegah agar cacat yang diderita tidak menjadi


hambatan sehingga individu yang menderita dapat berfungsi optimal
secara fisik, mental, dan sosial. Intervensi yang dapat digunakan adalah
seperti pemberdayaan dan terapi komplementer (misal: terapi nutrisi).

2.11 Intervensi Promosi Kesehatan Berdasarkan Tingkat Usia

2.11.1 Pada lansia dan dewasa


Intervensi pada lansia dapat dilakukan dengan memberikan pendidikan
kesehatan, memberikan motivasi, memberikan kegiatan program efektif, dan lain-

56
lain karena pada usia lansia biasanya mereka mengalami beberapa perubahan
yang mempengaruhi kesehatan (semakin besar kemungkinan untuk terkena
penyakit tertentu) dan mempengaruhi kesejahteraan (berkurangnya lingkar
pertemanan karena teman-temannya mulai meninggal dan kesulitan bersosialisasi
karena sulit mengendarai kendaraan atau mengakses transportasi umum). Fokus
promosi kesehatan pada lansia berfokus pada fisiologi dan psikososial seperti
komunikasi terapeutik, sentuhan, orientasi kenyataan, dan meningkatkan
penampilan tubuh. Sedangkan pada usia dewasa berfokus pada pengalaman dan
permasalahan yang dihadapi dengan karakteristik pembelajaran self-centered
learning.

2.11.2 Pada anak dan remaja


Intervensi promosi kesehatan pada anak dan remaja yaitu dengan melakukan
diskusi kelompok dan pemberian edukasi dengan sistem reward. Intervensi yang
dapat dilakukan dengan melakukan pencegahan, perlindungan, dan melakukan
promosi kesehatan.

 Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan imunisasi


 Perlindungan dapat dilakukan dengan pengendalian kecelakaan, cedera,
serta menyediakan makanan sekolah yang lebih baik
 Promosi kesehatan dapat dilakukan dengan melakukan promosi kesehatan
mengenai bahaya merokok, alkohol, dan narkoba

2.12 Peran Perawat dalam Promosi Kesehatan

2.12.1 Advokat
Peran perawat sebagai advokat klien dapat ditunjukkan dengan
memposisikan diri perawat sebagai penerima keluhan masyarakat dan
menghubungkannya ke penyedia pelayanan kesehatan terkait agar kepuasan akan
kebutuhan kesehatan masyarakat dapat terpenuhi.

Peran perawat sebagai advokat menurut Edelman, Mandle, dan Kudzma (2014)
diantaranya:

1. Melindungi hak hukum klien

57
2. Memastikan adanya pelayanan kesehatan yang berkualitas tinggi, aman,
pantas, dan dengan biaya yang efektif
3. Memberikan pelayanan yang sama kepada semua klien
4. Membantu dan mendukung klien mengambil keputusan akan kesehatannya
dengan tepat
Contoh advokat dalam promosi kesehatan yaitu

1. Membantu klien menetapkan nasib sendiri dan lebih mandiri secara personal
demi meningkatkan taraf kesehatannya
2. Membantu klien menjelaskan layanan kesehatan apa saja yang tersedia agar
klien mudah untuk menetapkan keputusannya
3. Membuat sistem pelayanan kesehatan menjadi relevan dengan kebutuhan
masyarakat

2.12.2 Kolaborator
Peran perawat sebagai kolaborator dapat ditunjukkan dengan kemampuan
untuk bekerja sama dengan profesi tenaga kesehatan lain. Seperti klien, perawat
lain, dokter, guru, pendidik kesehatan, pekerja sosial, ahli terapi dan lain-lain.

Contoh peran kolaborator:

Ketika seorang perawat melihat fenomena peningkatan insiden


penggunaan narkoba pada anak sekolah di lingkungan sekitarnya. Dia memiliki
ide untuk memulai program konseling untuk masalah ini. Akan tetapi, ia tidak
bisa bertindak sendirian. Dia memerlukan bantuan orang lain seperti orang tua
siswa, guru, kepala sekolah, psikolog, dan pusat rehabikitasi lokal untik mencapai
tujuannya. Hal inilah yang akhirnya membuat perawat memiliki peran untuk dapat
berkolaborasi secara bersama-sama demi tercapainya suatu tujuan.

2.12.3 Care Giver


Sebagai care giver, perawat akan membantu pasien mempertahankan dan
mendapatkan kembali kesehatan, mengelola penyakit dan gejala yang dirasakan,
serta mencapai fungsi dan kemandirian tingkat maksimal melalui proses

58
penyembuhan (Potter & Perry, 2013). Perawat dapat membantu kesembuhan klien
dengan memenuhi semua kebutuhan perawatan kesehatan pasien. Menurut
Fadhillah (2011), Contoh penerapan dalam promosi kesehatan, yaitu:

1. Memberikan pendidikan kesehatan kepada pasien.


2. Memberikan kenyamanan dan rasa aman bagi klien agar dapat membangun
bina hubungan saling percaya antara perawat dan klien sehingga itu dapat
dijadikan strategi dalam memberikan pendidikan kesehatan.
3. Merancang dan memberikan program pendidikan kesehatan bagi masyarakat
yang membutuhkan. Sebagai contoh jika dapat suatu kasus, maka perawat
melakukan pengkajian kebutuhan yang dibutuhkan oleh klien atau masyarakat
terlebih dahulu lalu setelah itu perawat dapat merancang program pendidikan
apa yang akan diberikan kepada klien atau masyarakat tersebut serta membuat
klien mandi sehingga dapat meningkatkan kesehatannya.
4. Mengevaluasi hasil pelaksanaan pendidikan kesehatan yang dapat dilihat dari
kriteria keberhasilan pencapaian tujuannya

2.12.4 Case Manager


Sebagai case manager, perawat bertanggung jawab dalam pengelolaan
layanan keperawatan. Perawat perlu membangun lingkungan dengan gaya
kepemimpinan yang tepat untuk perawatan yang berpusat pada pasien secara
kolaboratif untuk memberikan perawatan yang aman dan berkualitas dengan hasil
yang memuaskan. Menurut Fadhillah (2011), Contoh penerapan dalam promosi
kesehatan, yaitu:

1. Mengelola asuhan keperawatan pendidikan kesehatan mulai dari perencanaan,


pengorganisasian, actuating, pengelolaan staf, pengarahan,
2. Melakukan pengendalian pada klien individu, keluarga, kelompok, dan
komunitas.
3. Mendelegasikan kegiatan keperawatan, melakukan evaluasi, dan pembinaan
pendidikan kesehatan terhadap klien.

59
Memberikan dukungan baik kepada klien maupun tenaga kesehatan yang
membantu dalam memberikan pendidikan kesehan untuk meningkatkan
motivasinya dalam melaksanakan promosi kesehatan ini.

2.12.5 Change Agent


Sebagai change agent, perawat dapat memberikan pembaharuan dan
mengadakan invasi dalam cara berfikir, bersikap, bertingkah laku serta
meningkatkan keterampilan klien/keluarga agar menjadi individu yang sehat.
Menurut Fadhillah (2011), Perawat dapat memodifikasi perilaku, lingkungan dan
sistem untuk membantu klien memperoleh kembali kesehatannya. Contoh
penerapan dalam promosi kesehatan, yaitu:

1. Saat ingin memberikan pendidikan kesehatan terkait dengan mencuci tangan,


perawat dapat memodifikasi cara penyampaiannya agar lebih mudah dipahami
oleh masyarakat seperti menggunakan media film pendek atau dengan metode
demostrasi.
2. Membawa pembaharuan dalam sistem pelayanan dan asuhan keperawatan,
misalkan dengan menggunakan inovasi baru seperti melakukan pembelajaran
dengan main games agar pemahaman terkait materi yang diberikan lebih cepat
ditangkap oleh masyarakat.
3. Perawat mampu memperbaiki perilaku dan kondisi kesehatannya setelah
perawat memberikan pendidikan kesehatan.

2.12.6 Konselor
Perawat sebagai konselor adalah peran yang dilakukan perawat dalam
membantu klien mengidentifikasi dan mengklarifikasi masalah kesehatan dan
membantu dlaam menyelesaikan masalahnya.Mengetahui sumber daya
masyarakat adalah faktor penting yang harus diketahui perawat sebagai konselor
agar dapat berjalan secara efektif. Fungsi perawat sebagai konselor yaitu:

1. memberikan informasi, mendengarkan secara objektif, memberikan dukungan


emosional maupun psikologis, memberikan asuhan, dan menjaga kepercayaan
klien

60
2. membantu klien dalam mengidentifikasi masalah serta faktor - faktor
penyebabnya
3. memberikan petunjuk pada klien untuk mencari pemecahan masalah dan
memilih cara pemecahan masalah mana yang tepat
4. membantu klien dalam menentukan pemecahan masalah yang dapat dilakukan

2.12.7 Edukator atau Pendidik


Perawat sebagai edukator berperan mendidik dan memberikan pendidikan
kesehatan kepada individu, keluarga, atau masyarakat yang bertujuan
menciptakan pola hidup sehat dan membantu pasien dalam melaksanakan
perawatan diri secara mandiri. Fungsi yang dilakukan perawat sebagai pendidik
yaitu:

1. mengkaji kebutuhan klien untuk menentukan kegiatan yang akan dilakukan


dalam promosi kesehatan, dari pengkajian tersebut akan didapatkan tingkat
pengetahuan klien, informasi yang diperlukan, dan apa yang ingin diketahui
klien
2. meningkatkan dan memelihara kesehatan klien melalui promosi kesehatan
3. melaksanakan promosi kesehatan sebagai pemulihan kesehatan klien seperti
pengobatan, hygiene, perawatan, serta tanda dan gejala yang berbahaya
4. menyusun program promosi kesehatan untuk topik sehat ataupun sakit seperti
nutrisi, aktivitas fisik, penyakit dan pengelolaannya
5. mengajarkan klien informasi mengenai tahapan perkembangan
6. membantu klien memilih sumber informasi kesehatan
Contoh Perawat sebagai konselor dan pendidik yaitu jika seorang perawat
ingin berkunjung ke suatu keluarga yang mengalami masalah anak dengan gizi
buruk, ketika datang ke tempat klien, perawat menggunakan teknik komunikasi
terapeutik (tahap orientasi, kerja dan terminasi). Perawat lebih dahulu
menanyakan penyebab dari masalah klien, dan keluarga bercerita mengenai
masalahnya terkait dengan anaknya tersebut, perawat perlu mendengarkan secara
seksama dan membantu keluarga dalam memutuskan keputusan yang tepat dalam
menangani masalahnya (perawat sebagai konselor). Lalu, perawat akan
menjelaskan dan menampilkan suatu video mengenai definisi gizi buruk,

61
pentingnya gizi seimbang pada anak, dan cara - caranya (perawat sebagai
pendidik).

BAB III

62
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam promosi kesehatan yang efektif diperlukan tindakan-tindakan nyata
yang dapat dilakukan oleh perawat untuk mewujudkan visi dan misi dalam
promosi kesehatan secara efektif dan efisien, maka diperlukan cara dan
pendekatan yang strategis yaitu strategi promosi kesehatan demi tercapainya
tujuan yang diinginkan serta dapat meningkatkan derajat kesehatan masyarakat
yang menerima promosi kesehatan.

3.2 Saran
Diharapkan dengan adanya makalah ini pembaca dapat memahami tentang
strategi promosi kesehatan dengan segala aspek-aspek lainnya yang sangat
membantu dalam rangka memajukan kesehatan masyarakat serta meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat dengan adanya promosi kesehatan yaitu melalui
penyuluhan kesehatan atau pendidikan kesehatan kita sebagai perawat dapat
memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat dengan cara memberikan edukasi
sebagai tindakan pencegahan dalam mengatasi masalah kesehatan.

63
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Kholid. (2014). Promosi Kesehatan. Jakarta: Raja Grafindo.
Allender, J.A., Rector, C., & Warner, K.D. (2010). Community Health Nursing:
Promoting and Protecting the Public’s Health. Philadelphia: Lippincot
Williams & Wilkins
Beale, L. (2017). Human Disease and Health Promotion. Canada: John Woley &
Sons Inc.
Berman, A. & Snyder, S. ( 2016). Kozier & Erb’s fundamentals of nursing :
concepts, practice, and process / Audrey Berman, Shirlee Snyder, and
Geralyn Frandsen.—Tenth edition. USA : Pearson PLC
Canadian Public Health Association. (2010). Public Health Community Health
Nursing Pravtice in Canada, Roles, and Activities. Ottawa: Canadian
Public Health Association.
College of Public Health University of Georgia. (n.d.). What is Health Promotion.
Retrieved from College of Public Health University of Georgia:
https://publichealth.uga.edu/departments/health-promotion-behavior/what-
is-health-promotion/
Dixey, R. (2013). Health Promotion Global Principle and Practice. Pondicherry:
Gutenberg Press
Edelman, CL and Mandle, CL. (2014). Helath Promotion Throught the lifepan.
The Mosby: St Louis
Effendi, F., & Makhfudli. (2009). Keperawatan Kesehatan Komunitas, Teori dan
Praktik dalam Keperawatan.Jakarta: Salemba Medika
Fertman, C. I. & Allensworth, D. D. (2010). Health Promotion Programs: From
Theory to Practice. San Francisco: The Society for Public Health
Education
Green, L. W., dan Kreuter, M. W. (2005). Health Program Planning: An
Educational and Ecological Approach. San Fransisco: University of
California.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2011). Promosi Kesehatan di Daerah
Bermasalah Kesehatan: panduan bagi petugas kesehatan di Puskesmas.
http://www/depkes.go.id/resources/download/promosi-kesehatan/panduan-
promkes-dbk.pdf
Kementrian kesehatan Republik Indonesia. (2018). Hasil Utama Riskesdas 2018.
Diambil dari https://www.kemkes.go.id/resources/download/info-
terkini/hasil-riskesdas-2018.pdf
Kok, G., & Vries, N. K. De. (2015). Health Education and Health Promotion. In
International Encyclopedia of Social & Behavioral Sciences (Second Edi,
Vol. 10). Elsevier. https://doi.org/10.1016/B978-0-08-097086-8.92055-5
Kumar, S., & Preetha, G. (2012). Health Promotion: An Effetive Tool for Global
Health. Indian Journal of Community Medicine, 5-12.
Maulana, H. D. J. (2009). Promosi Kesehatan. Jakarta: EGC.

64
Notoatmodjo, Soekidjo. (2005). Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi. Jakarta:
Rineka Cipta. Fitriani, Shinta. (2011). Promosi Kesehatan. Yogykarta:
Graha Ilmu.
Notoadmodjo, Soekidjo. (2010). Promosi Kesehatan dan Perilaku Kesehatan.
Jakarta: Rineka Cipta
Pender, N. J., Murdaugh, C. L., dan Parsons, M. A. (2015). Health Promotion in
Nursing Practice. The United States of America: Pearson Education Inc.
Piper, S. (2009). Health Promotion for Nurses: Theory and Practice. London:
Routledge Taylor & Francis Group.
Potter, P. A., Perry, A. G., Stockert, P. A., & Hall, A. M. (2013). Fundamentals of
Nursing (8th ed.). Missouri: Elsevier.

Prochaska, J. O., & Velicer, W. F. (2009). The Transtheoretical Change Model of


Health Behavior. 38–48.
Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI . (2006). Panduan Integrasi
Promosi Kesahatan dalam Program-Program Kesehatan di Kabupaten
Kota Jild I. Jakarta: Departemen Kesehatan RI.
Rimer, B. K., & Glanz, K. (2005). Theory at a Glance A Guide For Health
Promotion Practice (5th ed.). Spring: U.S. Department of Health and
Human Services National Institutes of Health.
Sequist, T.D., Cullen, T., & Ayanian, J.Z. (2005). Information technology as a
tool to improve the quality of American Indian health care. American
Journal of Public Health, 95, 2173–2179.
Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1193/Menkes/SK/X/2004 tentang
Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan.
Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1114/Menkes/SK/II/2005 tentang
Pedoman Promosi Kesehatan di Daerah.
Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 585/Menkes/SK/V/2007 tentang
Pedoman Pelaksanaan Promosi Kesehatan di Puskesmas.
Susilowati, D. (2016). Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan: Promosi
Kesehatan. Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan.
Susilowati, D. (2016). Promosi Kesehatan. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Stanhope, M. & Lancaster, J. (2016). Public Health Nursing: Population-
Centered Health Care in The Community (9th ed.). Missouri: Elsevier Inc.
Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan.
Diambil dari
https://jdih.kemenkeu.go.id/fulltext/2009/36TAHUN2009UU.html
Widyatuti. (2008). Terapi Komplementer dalam Keperawatan. Jurnal
Keperawatan Indonesia, 12, 1, 53-57. Doi 10.7454/jki.v12i1.200.
Wills, J. (2014). Fundamentals of Health Promotion for Nurses. London: Wiley
Blackwell.

65
World Health Organization. (2016). Health Promotion. Retrieved from World
Health Organization: https://www.who.int/health-topics/health-
promotion#tab=tab_1
World Health Organization. (2016). Primary Health Care. Retrieved from World
Health Organization: https://www.who.int/health-topics/primary-health-
care#tab=tab_1
World Health Organization. (2016.). The Ottawa Charter for Health Promotion.
Retrieved from World Health Organization:
https://www.who.int/healthpromotion/conferences/previous/ottawa/en/inde
x1.html

66

Anda mungkin juga menyukai