Anda di halaman 1dari 64

KELAINAN

KONGENITAL
YANYAN MULYANI, SST, MM, M.Keb
KELAINAN KONGENITAL

Kelainan kongenital adalah kelainan atau defek yang


bisa terjadi ketika di dalam kandungan dan terlihat
pada waktu lahir dan dapat pula terjadi dalam
perkembangan anak di kemudian hari
INSIDEN

Kelainan musculoskeletal merupakan kelainan


bawaan yang sering dijumpai di klinik sesudah
kelainan sistem kardiovaskular dan sistem
susunan saraf pusat
3% dari kelainan bawaan dapat diamati pada
waktu bayi baru lahir
Pada waktu umur satu tahun bisa mencapai 6%.
ETIOLOGI

1. Faktor genetik
2. Faktor lingkungan
3. Kombinasi faktor genetik, lingkungan dan faktor
yang tidak diketahui
FAKTOR GENETIK

Ditransmisikan melalui gen kromosom sel telur


dan sperma, kelainan-kelainan yang spesifik sesuai
dengan hukum-hukum Mendel
Bila faktor genetik bersifat dominant, maka
kelainan akan memberikan manifestasi klinis pada
anak-anak yang bersifat herediter
Kelainan bawaan juga dapat disebabkan oleh
karena mutasi gen
FAKTOR LINGKUNGAN

1. Faktor hormonal
2. Obat-obatan
3. Defisiensi nutrisi
4. Zat-zat kimia
5. Radiasi
6. Infeksi
7. Faktor mekanik
8. Faktor termis
9. Anoksia
KOMBINASI FAKTOR GENETIK DAN LINGKUNGAN

Kelainan bawaan umumnya disebabkan oleh


multifaktor (60-70%) dan tidak diketahui penyebab
utamanya, 20% disebabkan oleh faktor lingkungan
dan hanya 10% oleh faktor genetik.
DIAGNOSIS

Diagnosis prenatal  pemeriksaan janin dalam


kandungan, kelainan bawaan yang serius pada janin
dapat dideteksi sehingga memberikan pilihan
kepada orang tua untuk melakukan abortus
medisinalis secara selektif
Diagnosis pada masa kanak-kanak  pemeriksaan
sistem muskuloskeletal yang merupakan bagian
integral pemeriksaan pediatrik pada bayi baru lahir,
melalaui pemeriksaan ini beberapa kelainan ortopedi
dapat diketahui secara dini
Pemeriksaan-pemeriksaan yang dapat dilakukan
untuk menegakkan diagnosis prenatal yaitu :
1. Pemeriksaan ultrasound
2. Skrining maternal
3. Amniosintesis
4. Pemeriksaan vilus korionik
Labio skiziz

DEFINISI
Sumbing atau orofacial cleft, baik pada bibir (cleft lip
atau labioschisis), pada palatum (cleft palate atau
palatoschisis) atau kombinasi keduanya (cleft lip and
palate atau labiopalatoschisis), merupakan
malformasi kongenital pada bibir bagian atas dan/atau
kavum oral sehingga mengganggu struktur normal
wajah dan fungsi oromotor.
Malformasi ini disebabkan oleh gangguan
pertumbuhan, migrasi, diferensiasi, dan/atau
apoptosis dari sel yang dibutuhkan selama
perkembangan janin sehingga tulang maksilaris dan
tulang nasal/palatum tidak menyambung
ETIOLOGI

Sampai saat ini penyebab terjadinya sumbing masih


belum diketahui secara jelas. Banyak faktor yang
mempengaruhi terjadinya kondisi ini, baik faktor
genetik, lingkungan, maupun teratogen. Riwayat
keluarga derajat pertama dengan sumbing juga
meningkatkan risiko terjadinya sumbing pada anak
PEMERIKSAAN FISIK

1. Sumbing biasanya dapat dikenali melalui inspeksi


atau palpasi pada rongga mulut bayi baru lahir.
2. Pada pemeriksaan prenatal, sumbing juga dapat
terdiagnosis saat pemeriksaan dengan
ultrasonografi pada trimester pertama atau kedua.
3. Anak yang mengalami sumbing perlu diperiksa
secara holistik untuk mencari kelainan kongenital
lain atau kemungkinan adanya sindrom tertentu
yang mendasari kondisi sumbing
PENATALAKSANAAN

Pembedahan merupakan penatalaksanaan primer


pada sumbing. Tujuan pembedahan ini adalah
memperbaiki jalur pernapasan dan fungsi oromotor
sehingga tidak mengganggu perkembangan berbicara,
bahasa, dan pendengaran anak. Pembedahan untuk
sumbing biasanya dilakukan pada usia 10 – 12
minggu, sedangkan pembedahan untuk celah langit-
langit biasanya dilakukan pada usia 9 – 12 bulan
KOMPLIKASI

Gangguan Pertumbuhan dan perkembangan anak,


seperti kesulitan makan, gangguan pada pendengaran
dan telinga bagian tengah, kelainan gigi, obstructive
sleep apnea, dan gangguan berbicara
Atresia Ani

Definisi
Tidak dijumpainya anus pada daerah perineum.
Kelainan ini dikenal juga dengan malformasi anorektal
dimana saluran cerna yaitu anus dan rektum tidak
berkembang secara normal. Kelainan ini sering kali
juga melibatkan kelainan pada saluran genitourinaria
Atresia ani terjadi karena terhentinya penurunan
rektum yang berasal dari posisi usus yang lebih tinggi
ke posisi anus normal sehingga terjadi ektopik anal
kanal dan tidak adanya anus pada posisi normal.
Faktor genetik dan lingkungan diduga berperan dalam
terjadinya atresia ani
DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan pemeriksaan fisik


yang menunjukkan ketiadaan anus. Atresia ani
biasanya dapat diketahui dalam 24 jam pertama usia
bayi, dengan gejala adanya distensi abdomen dan
tidak adanya pengeluaran mekonium pada 24 jam
pertama kehidupan
PATOFISIOLOGI

Patofisiologi atresia ani melibatkan proses embriologi


dalam kandungan. Pada embrio tahap awal, hindgut
masih berupa struktur sederhana, dimana bagian
kranialnya berhubungan dengan midgut dan bagian
kaudal berhubungan dengan ektoderm. Pada bagian
ektoderm terbentuk struktur yang disebut membran
kloaka
Ketika perkembangan kloaka berlanjut, bagian
kaudal dari hindgut berdiferensiasi menjadi dua
sistem organ yang berbeda, yaitu sistem urogenital
dan sistem anorektal. Kelainan pemisahan kedua
sistem organ ini mengakibatkan terjadinya kelainan
perkembangan kloaka. Rektum mengalami migrasi
selama perkembangan normal dari posisi yang tinggi
menuju daerah yang lebih rendah, yang merupakan
tempat anus pada saat lahir. Bila proses migrasi ini
terhenti sebelum anus mencapai posisi normalnya di
daerah perineum, terjadilah kelainan atresia ani
ETIOLOGI

Etiologi atresia ani belum diketahui, namun diduga


ada faktor genetik dan lingkungan yang berperan.
Malformasi anorektal bisa merupakan bagian dari
sindrom dan bisa berdiri sendiri tanpa kelainan
lainnya (nonsindrom). Kelainan atresia ani
nonsindrom dapat terjadi sporadik tanpa riwayat
keturunan pada keluarga, serta dapat bersifat
keturunan pada keluarga. Familial anorectal
malformation diturunkan melalui autosomal
dominan, x-linked resesif, atau autosomal resesif.
EPIDEMIOLOGI

Kejadian atresia ani atau malformasi anorektal


diperkirakan 1 dari 2.000-5.000 kelahiran hidup.
 Rasio laki-laki dibanding perempuan sekitar 1,7.
Sekitar 60% malformasi anorektal merupakan bagian
dari sindrom genetik / kelainan kongenital kompleks /
aberasi kromosom, sedangkan 40% nya merupakan
malformasi kongenital yang berdiri sendiri
DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan dari pemeriksaan fisik dengan


tidak adanya lubang anus atau struktur anus yang
tidak normal pada daerah perineum
Anamnesis Gejala bayi dengan atresia ani biasanya
adalah distensi abdomen dan bayi tidak
mengeluarkan mekonium dalam 24 jam pertama
kehidupannya
PEMBEDAHAN

Manajemen dan pembedahan bergantung dari


diagnosis kelainan pada bayi. Beberapa jenis
pembedahan yang bisa dilakukan pada bayi atresia ani
adalah anoplasti, kolostomi, posterior sagittal
anorectoplasty (PSARP), anterior sagittal
anorectoplasty (ASARP), dan Abdominoperineal pull
through.
PROGNOSIS

Atresia ani memiliki prognosis yang baik selama


segera ditangani dan tidak terjadi komplikasi pasca
operasi.
KOMPLIKASI

Merupakan sekuele pasca bedah yang paling sering


terjadi. Insidensi terjadinya konstipasi pasca bedah
pada penderita atresia ani adalah 8,3 - 28,6 %.
Penelitian lain menunjukkan tingkat konstipasi
sebesar 42%. Konstipasi mempengaruhi kualitas
hidup jangka panjang penderita atresia ani.
Komplikasi lain yang bisa terjadi adalah prolaps dan
striktur kolostomi,peritonitis, dehisensi luka operasi,
inkontinensia feses dan inkontinensia urine.
ATRESIA OESOFAGUS

DEFINISI
kondisi saat bagian kerongkongan (esofagus) si kecil
tidak berkembang dengan sempurna karena ada
bagian kerongkongan yang hilang.
PENDAHULUAN

 Atresia esofagus adalah kondisi yang juga disebut dengan


esophageal atresia. Selama masa perkembangan awal sejak berada
di dalam kandungan, kerongkongan (esofagus) dan tenggorokan
(trakea) bayi merupakan saluran tunggal.
 Normalnya, lama kelamaan saluran tunggal tersebut akan terbelah
menjadi dua bagian yang saling berdekatan.
 Proses pembelahan kedua saluran ini biasanya berlangsung sekitar
4-8 minggu setelah pembuahan.
 Jika pemisahan kedua saluran terjadi dengan baik dan benar,
otomatis saluran kerongkongan dan tenggorokan akan terbagi
menjadi dua bagian secara sempurna.
 Sebaliknya, ketika proses pemisahan atau pembelahan tersebut
tidak terjadi dengan benar bisa mengarah pada atresia esofagus
EPIDEMIOLOGI

• Secara epidemiologi, insidensi atresia esofagus di dunia


adalah sekitar 1 kasus untuk tiap 2500-4500 kelahiran
hidup.
• Global
Secara global, angka insidensi atresia esofagus berkisar
antara 1 untuk setiap 2500 hingga 4500 kelahiran hidup.
Atresia esofagus lebih banyak terjadi pada anak laki-laki,
dengan presentasi laki-laki berbanding perempuan 1,2:1.
Berdasarkan hasil studi, negara Finlandia merupakan
negara tertinggi penderita atresia esofagus dengan angka
insidensi 1 kasus untuk tiap 2500 kelahiran hidup
TANDA DAN GEJALA

Ada gelembung putih berbusa yang keluar dari


mulut bayi.
Bayi sering batukatau bayi tersedak saat menyusu.
Kulit bayi berwarna biru, terutama saat sedang
menyusu.
Bayi mengalami kesulitan bernafas
ETIOLOGI

• Etiologi atresia esofagus pernah dilaporkan berhubungan


dengan trisomi 21,13 dan 18. Risiko mengalami atresia
esofagus akan meningkat jika terdapat riwayat keluarga
yang mengalami atresia esofagus, terutama riwayat pada
saudara kandung.
• Namun banyak ahli yang berpendapat kelainan atresia
esofagus tidak bersifat diturunkan. Kebanyakan kasus
sementara timbul secara acak tanpa adanya bukti
penyebab keturunan atau teratogenik dari lingkungan.
Etiologi teratogenik yang dapat menyebabkan atresia
esofagus sampai saat ini belum diketahui
DIAGNOSIS

Diagnosis atresia esofagus dapat ditegakkan melalui


adanya gambaran manifestasi klinis ketidakmampuan
pemasangan nasogastric tube atau orogastric tube.
Biasanya kateter akan mengalami hambatan di antara
thoracic inlet dan T4, sehingga selang akan berhenti
setelah masuk sekitar 10-12 sentimeter. Selang juga
dapat dijadikan sebagai media kontras dengan udara
sebagai bahan kontras untuk menghindari tersedak
bila menggunakan media kontras berupa cairan pada
rontgen
JENIS

• Tipe A
Atresia esofagus tipe A adalah kondisi saat bagian atas dan
bawah kerongkongan (esofagus) tidak terhubung dengan
bagian ujungnya alias tetutup.
Dengan begitu, kondisi ini membuat tidak ada bagian
kerongkongan yang menempel atau bersinggungan dengan
tenggorokan (trakea).
• Tipe B
Atresia esofagus tipe B adalah kondisi saat bagian atas
kerongkongan melekat pada tenggorokan, tetapi bagian
bawah kerongkongan memiliki ujung yang tertutup. Tipe B
ini terbilang sangat jarang terjadi pada bayi.
JENIS

• Tipe C
Atresia esofagus tipe C adalah ketika bagian atas kerongkongan
memiliki ujung yang terutup sedangkan bagian bawahnya
melekat pada tenggorokan (trakea).
Tipe C termasuk kondisi yang paling umum dialami oleh bayi
yang baru lahir.
• Tipe D
Atresia esofagus tipe D adalah kondisi ketika bagian atas dan
bawah kerongkongan tidak saling terhubung, tetapi masing-
masing terhubung secara terpisah pada tenggorokan.
Tipe D ini termasuk kondisi cacat bawaan pada bayi yang paling
langka dan parah.
• Penatalaksanaan atresia esofagus dilakukan dengan
pembedahan untuk perbaikan atresia esofagus. Terapi
antibiotik dan perawatan neonatus juga perlu dilakukan
sebagai tata laksana penunjang untuk meningkatkan
luaran prognosis pasien.
• Tata Laksana Pembedahan
Pendekatan terapi atresia esofagus adalah dengan
prosedur pembedahan dengan perbaikan primer atresia
bila memungkinkan. Hal ini dapat menjadi perkecualian
pada kasus atresia esofagus dengan jarak yang lebar
(long gap), keadaan umum yang sangat buruk atau
adanya anomali gastrointestinal mayor lainnya
PROGNOSIS

Prognosis pasien dengan atresia esofagus saat ini


semakin membaik dipengaruhi oleh angka mortalitas
yang jauh menurun karena meningkatnya angka
keberhasilan operasi serta perkembangan perawatan
perioperatif dan setelah operasi.
KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien atresia


esofagus, dapat dibagi menjadi komplikasi ringan dan
berat serta komplikasi akibat pembedahan yang
terbagi pula menjadi komplikasi early dan late.
Atresia billier

Atresia bilier adalah penyakit hati pada neonatus yang


ditandai dengan obstruksi, obliterasi, serta fibrosis
duktus biliaris ekstrahepatik yang progresif. Bayi
dengan atresia bilier umumnya akan mengalami
ikterus saat usia 3-6 minggu. Cairan empedu yang
telah diproduksi tidak dapat mengalir dengan baik ke
intestinal sehingga terakumulasi di hepar dan
menyebabkan inflamasi hepar yang progresif, bahkan
sampai dengan sirosis hepatis.
PENDAHULUAN

Atresia bilier dapat terjadi secara kongenital atau


akibat inflamasi yang terjadi beberapa saat setelah
lahir sehingga menyebabkan kerusakan duktus
biliaris. Atresia bilier dapat disebabkan oleh infeksi
virus, paparan zat yang bersifat toksik, dan mutasi
genetik (gen CFC1).
Neonatus dengan atresia bilier biasanya baru
menunjukkan gejala khas ikterus pada usia 3-6
minggu. Gejala dapat berupa perubahan warna kulit
dan sklera menjadi ikterik, feses seperti dempul, dan
urine yang gelap.
Patofisiologi atresia bilier melibatkan berbagai faktor,
antara lain defek embriogenesis, gangguan/abnormalitas
sirkulasi fetus/prenatal, faktor genetik, toksin, infeksi
virus, serta autoimun. Faktor-faktor tersebut
mengganggu perkembangan normal serta maturasi
sistem bilier dan terjadi pada periode tertentu (sebelum
usia 3 bulan kehamilan).
Secara singkat, patogenesis atresia bilier berawal dari
adanya faktor lingkungan (toksin atau virus) yang dapat
menginduksi kerusakan duktus biliaris, kemudian diikuti
dengan proses autoimun serta proses inflamasi yang
berlebihan pada duktus biliaris, dan berakhir dengan
sirosis hepatis karena adanya kerusakan duktus yang
progresif serta obstruksi duktus
ETIOLOGI

 Etiologi atresia bilier sebenarnya belum dapat diketahui


dengan pasti. Namun, beberapa jurnal menyatakan adanya
gangguan pada masa prenatal (toksin atau virus) dapat
merusak duktus ekstrahepatik pada fetus saat perkembangan
maupun secara genetik. Namun, pada masa prenatal,
gangguan ini masih dapat dikompensasi oleh ibu. Kerusakan
hepar menjadi progresif setelah lahir dengan teraktivasinya
sistem imun dan autoimun yang berlebihan.
 Defek embriogenesis yang terjadi pada waktu tertentu pada
masa embrio dapat dipicu oleh kelainan genetik (misalnya
mutasi) maupun gangguan pada proses biologis pada saat
organogenesis. Hal ini menyebabkan kemungkinan terjadinya
reprogramming diferensiasi seluler dan berakhir pada
gangguan perkembangan.
EPIDEMIOLOGI

 Di Indonesia, epidemiologi atresia bilier masih belum dapat


diketahui dengan pasti karena belum ada data epidemiologi
yang pasti. Atresia bilier merupakan indikasi operasi tersering
pada kolestasis neonatal. Insidensi kolestasis neonatal di
dunia mencapai 1 per 2.500 kelahiran hidup. Di antara kasus
kolestasis neonatal, ditemukan sebanyak 34-42% adalah
kasus atresia bilier. Atresia bilier lebih sering terjadi pada
wanita dibanding laki-laki dengan rasio 1,4:1.
Global
 Insidensi atresia bilier secara global mencapai 1 per 8.000-
18.000 kelahiran hidup. Data di Amerika Serikat
menunjukkan terdapat 1 kasus atresia bilier per 10.000
sampai 15.000 kelahiran hidup. Atresia bilier menjadi
indikasi terbanyak transplantasi liver(32,3%) pada pediatric
liver transplants pada tahun 2016.
DIAGNOSIS

Deteksi dini untuk diagnosis atresia   bilier   sangat  


penting dilakukan sebab keberhasilan tata laksana
akan menurun apabila dilakukan setelah umur 2
bulan. Diagnosis dapat dilakukan dengan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
untuk menyingkirkan diagnosis banding.
Diagnosis atresia bilier dapat dilakukan dengan
kolangiogram intraoperatif dengan didukung oleh
biopsi hepar
PENATALAKSANAAN

 Atresia bilier adalah memperbaiki drainase cairan empedu melewati


duktus ekstrahepatik ke intestinal serta memperbaiki fungsi hepar
yang telah mengalami kerusakan. Berdasarkan hal tersebut, maka
tata laksana definitif pada atresia bilier adalah dengan
portoenterostomi (Prosedur Kasai). [7]
 Portoenterostomi (Prosedur Kasai)
Neonatus yang dicurigai mengalami atresia bilier memerlukan tindakan
operasi eksplorasi dengan kolangiogram intraoperatif. Apabila
diagnosis atresia bilier ditegakkan, maka portoenterostomi (prosedur
Kasai) harus dilakukan. Prosedur ini idealnya dilakukan pada 1-2
bulan pertama kehidupan. Setelah periode tersebut, prognosis akan
memburuk. Neonatus yang tidak dapat dilakukan portoenterostomi
memerlukan transplantasi hepar pada usia 1-2 tahun
PROGNOSIS

Prognosis pada pasien dengan atresia biliaris


sebenarnya bergantung pada waktu dilakukannya
tindakan pembedahan. Hal ini karena success rate
prosedur Kasai yang dilihat dengan tercapainya
perbaikan drainase cairan bilier lebih tinggi sebelum
usia 8 minggu. Komplikasi pada atresia biliaris
biasanya terjadi karena terlambatnya dilakukan terapi
serta komplikasi dari prosedur operasi itu sendiri.
KOMPLIKASI

Komplikasi atresia bilier dapat terjadi apabila


penatalaksanaan tidak memadai. Komplikasi yang
umum terjadi adalah sirosis hepatis hipertensi portal,
perdarahan varises esofagus, asites, dan gangguan
fungsi hati. Pada keadaan ini pasien akan
membutuhkan transplantasi hati. Selain itu,
komplikasi kolangitis asendens pada pasien pasca
operasi juga dapat terjadi, namun kejadian ini
menurun dengan pemberian antibiotik pasca operasi.
Hisprung

Hirschsprung (hisprung) adalah suatu kelainan


kongenital pada saluran pencernaan, ditandai dengan
hilangnya sel ganglion pada intestinal distal dan dapat
mempengaruhi intestinal proksimal
PATOFISIOLOGI

 keadaan aganglionik pada intestinal, terutama bagian distal. Kondisi


aganglionik pada usus akan menimbulkan efek inabilitas melakukan
relaksasi, menyebabkan gangguan pada refleks inhibisi rektoanal yang
normalnya terjadi pada proses defekasi. Mekanisme disfungsi
motilitas usus pada Hirschsprung disease masih belum diketahui
secara pasti, namun terdapat beberapa teori yang diduga
menyebabkan hal tersebut:
 Inervasi Nitrergik
Nitrit oksida (NO) merupakan hasil sintesis dari reaksi yang melibatkan
enzim nitrit oksida sintase (NOS). NO merupakan neurotransmitter
yang berfungsi untuk merelaksasi otot polos. Kadar NOS pada
penderita Hirschsprung disease ditemukan lebih rendah
dibandingkan normal, sehingga menyebabkan penurunan relaksasi
yang berdampak pada gangguan peristaltik usus.
 Pertumbuhan sel-sel saraf bayi dengan Hirschsprung berhenti di bagian ujung
usus besar atau tepat sebelum rektum dan anus.
 Inilah mengapa bayi baru lahir yang memiliki penyakit Hirschsprung biasanya
tidak dapat buang air besar setelah kelahiran.
 Pada beberapa bayi lainnya, sel-sel saraf juga bisa hilang atau berhenti tumbuh di
bagian sistem pencernaan mana pun. Terhentinya pertumbuhan sel-sel saraf
tersebut membuat feses yang seharusnya keluar malah berhenti di bagian tertentu.
 Hal ini membuat feses yang macet dan susah keluar jadi menumpuk di dalam
sistem pencernaan. Akibatnya, bagian usus bayi tersumbat sehingga membuat
perut menjadi bengkak dan kembung.
 Menurut Bostons’s Children Hospital, penyebab sel-sel aganglion pada bayi
dengan Hirschsrpung atau hisprung belum diketahui secara pasti.
 Namun, penyebab Hirschsrpung atau hisprung diduga karena ada faktor genetik
yang diturunkan dari orangtua ke anak atau ada riwayat keluarga yang juga
mengalaminya.
TANDA DAN GEJALA

 perut bengkak dan kembung pada bayi,


 anak muntah berwarna hijau atau cokelat,
 sembelit atau susah buang air besar,
 perut bergas yang dapat menyebabkan bayi rewel,
 bayi dan anak demam,
 kesulitan dalam buang air kecil,
 gagal untuk mengeluarkan mekonium setelah kelahiran,
 frekuensi buang air besar tidak sering,
 penyakit kuning,
 susah menyusui, serta
 kenaikan berat badan yang buruk.
ETIOLOGI

• Etiologi Hirschsprung disease merupakan suatu hal yang


kompleks karena merupakan kombinasi dari kegagalan
migrasi sel krista saraf dengan peranan genetik.
• Gangguan Migrasi Sel Krista Saraf
Sistem saraf pada saluran pencernaan manusia berasal
dari sel primordium sistem saraf pusat yang mulai
membelah dan berkembang sejak berada di dalam
kandungan. Semua bagian aksis primordial akan
membentuk saraf seluruh tubuh, namun hanya beberapa
bagian dari aksis yang akan membentuk persarafan pada
saluran gastrointestinal.
EPIDEMIOLOGI

• Epidemiologi Hirschsprung disease di Asia


dilaporkan sebesar 1:3571 kelahiran hidup.
Global
• Hirschsprung disease dilaporkan lebih banyak
terjadi pada laki-laki dengan rasio laki-laki :
perempuan adalah 4:1. Pada populasi Asia
dilaporkan bahwa insidensi Hirschsprung disease
sebesar 1:3571 kelahiran hidup.
DIAGNOSIS

Sebanyak 80-90% penderita dapat terdeteksi sejak


usia neonatus berdasarkan temuan klinis atau gejala
yang dialami. Penderita Hirschsprung disease
biasanya mengalami pengeluaran mekonium yang
tertunda pada 24 jam pertama kehidupan. Selain itu,
penderita juga akan mengalami gejala lain yang
menunjukkan adanya obstruksi saluran cerna, seperti
muntah bilier atau kehijauan, distensi abdomen,
kesulitan makan, dan akan berdampak pada
pertumbuhan dengan manifestasi berupa kesulitan
meningkatkan berat badan.
DIAGNOSIS

• Pemeriksaan x-ray perut menggunakan pewarna


kontras
• Mengontrol otot-otot di sekitar rektum
• Mengambil sampel jaringan usus besar
PENATALAKSANAAN

• Penatalaksanaan Hirschsprung disease terbagi menjadi


dua, yaitu penatalaksanaan awal dan penatalaksanaan
definitif. Penatalaksanaan awal dilakukan untuk
memperbaiki keadaan umum, irigasi, dan dekompresi.
Tatalaksana Awal
• Tujuan dari penatalaksanaan awal Hirschsprung disease
adalah stabilisasi keadaan umum pasien. Biasanya
penderita mengalami gambaran peritonitis, perforasi
maupun enterokolitis. Stabilisasi dilakukan dengan
tindakan resusitasi cairan jika pasien mengalami
dehidrasi. Selain itu, dilakukan pula irigasi dan
dekompresi.
PENGOBATAN

1. Operasi memotong bagian usus


Operasi ini dilakukan dengan memotong atau
menghilangkan bagian usus besar yang tidak memiliki
sel saraf. Selanjutnya, bagian usus besar yang normal
atau memiliki sel saraf ditarik dan dihubungkan ke
anus anak.
Operasi untuk menangani Hirschsprung atau
hisprung ini biasanya dilakukan dengan metode
laparoskopi, menggunakan alat dengan kamera kecil
yang dimasukkan ke dalam sistem pencernaan anak.
2. Operasi ostomi
Ostomi untuk menangani Hirschsprung atau hisprung adalah
operasi yang bisa dilakukan dalam dua tahap.
Pertama, bagian usus besar yang abnormal diangkat dan
bagian usus besar atas yang sehat disambungkan pada lubang
yang dibuat oleh dokter pada perut anak.
Feses kemudian keluar dari tubuh melalui lubang ke kantung
di bagian ujung usus yang menjulur melalui lubang pada perut
(stoma). Hal ini akan memungkinkan bagian bawah usus besar
bisa pulih kembali.
Pada tahap operasi ostomi kedua untuk menangani
Hirschsprung atau hisprung, bagian usus yang normal
kemudian dihubungkan dengan anus guna menutup stoma.
PROGNOSIS

Prognosis Hirschsprung disease 9% berkaitan dengan


anomali kromosom atau sindrom, misalnya sindrom
Down
KOMPLIKASI

Jika Hirschsprung disease terlambat didiagnosis,


dapat timbul komplikasi berupa enteritis akut dan
toksik megakolon.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai