Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

HIPERTENSI PADA LANSIA DENGAN PENDEKATAN TEORI KEPERAWATAN


VIRGINIA HENDERSON
Dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia
Dosen Pengampu: Rizki Yeni Wulandari,S.Kep.,Ners,.M.Kep

DISUSUN OLEH:
Andhika Rifki Perdana (210101011)
Dinda Yosi Permana (210101023)
Diva Nur Alifah (210101014)
Fingki Pirdayanti (210101030)
Miftahul Jannah (210101027)
Nadia Pramesti (210101032)
Raga Tama (210101034)
Saskia Yufi Khairunnisa (210101026)
Savira Sasih Safitri (210101029)

PRODI S1 KEPERAWATAN
FAKULTAS KESEHATAN
UNIVERSITAS AISYAH PRINGSEWU LAMPUNG
TAHUN AKADEMIK 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan
pada penulis untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Hipertensi Pada Lansia Dengan Pendekatan Teori
Keperawatan Virginia Henderson” tepat waktu. Makalah ini disusun guna memenuhi tugas
pada mata kuliah Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia. Selain itu, penulis juga berharap agar
makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Rizki Yeni
Wulandari,S.Kep,.Ners,.M.Kep selaku dosen mata kuliah Pemenuhan Kebutuhan Dasar
Manusia. Tugas yang telah diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait
bidang yang ditekuni penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang
telah membantu proses penyusunan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun akan penulis terima demi kesempurnaan makalah ini.

Pringsewu, 13 September 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................................2
DAFTAR ISI ..............................................................................................................................3
BAB I .........................................................................................................................................4
PRNDAHULUAN ......................................................................................................................4
1.1 Latar Belakang ..............................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah .........................................................................................................5
1.3 Tujuan Penelitian ..........................................................................................................5
1.3.1 Tujuan Umum ........................................................................................................5
1.3.2 Tujuan Khusus .......................................................................................................5
BAB II ........................................................................................................................................6
TINJAUAN TEORI ....................................................................................................................6
2.1 Model Konsep Keperawatan Virginia Henderson ..........................................................6
2.1.1 Definisi Keperawatan Virginia Henderson .............................................................6
2.1.2 Kebutuhan Dasar Manusia Menurut Virginia Henderson ........................................6
2.1.3 Teori Keperawatan Menurut Virginia Henderson ...................................................7
BAB III ..................................................................................................................................... 10
PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 10
3.1 Konsep Hipertensi....................................................................................................... 10
3.2 Konsep Lansia ............................................................................................................ 11
3.2.1 Teori Konseptual Lansia ...................................................................................... 11
3.2.2 Batasan-batasan Lansia ........................................................................................ 11
3.2.3 Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia ................................................................... 11
3.3 Hubungan Kesehatan Spiritual Dengan Hipertensi ...................................................... 12
BAB IV..................................................................................................................................... 15
PENUTUP ................................................................................................................................ 15
4.1 Kesimpulan ................................................................................................................. 15
4.2 Saran........................................................................................................................... 15
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 16
BAB I

PRNDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Virginia Henderson memperkenalkan definition of nursing (definisi keperawatan). Ia


mengatakan bahwa definisi keperawatan harus menyertakan prinsip keseimbangan fisiologis. Di
samping itu Henderson juga mengembangkan sebuah model keperawatan yang dikenal sebagai
“The Activities of Living”. Pada model tersebut terdapat empat belas kebutuhan dasar Virginia
Henderson yang dapat diklasifikasikan menjadi empat komponen yang mana salah satunya
adalah komponen spiritual. Spiritualitas, agama, dan existential concerns juga menjadi
komponen utama health related quality of life (HRQOL) (Krageloh et al., 2015). Koenig et al
(dalam Moeini et al, 2016) percaya bahwa spiritualitas dapat mempengaruhi fungsi sosial
seseorang dan emosi seseorang serta pada gilirannya juga mempengaruhi sistem kekebalan tubuh
dan kelenjar endokrin. Oleh karena itu, keyakinan dan praktik spiritual dikaitkan dengan perilaku
sehat, fungsi kekebalan tubuh yang lebih kuat, kondisi kardiovaskular yang lebih baik, dan
kehidupan yang lebih panjang. Model keperawatan diatas juga menjelaskan bahwa tugas perawat
adalah membantu individu dengan meningkatkan kemandiriannya secepat mungkin serta
membantu individu yang sehat maupun sakit melaksanakan berbagai aktivitas guna mendukung
kesehatan dan penyembuhan individu (Harmer dan Henderson (1995, dalam Potter, 2005 : 274).
Kesehatan di definisikan sebagai suatu keadaan fisik, mental, dan sosial yang lengkap,
bukan hanya tidak adanya penyakit dan kelemahan pada tubuh (Sambo et al., 2014). Kesehatan
juga disebut sebagai keseimbangan antara kebutuhan manusia yang mana meliputi spiritual,
sosial, fisik, lingkungan, perasaan emosi, dan intelektual diri. Kesehatan atau kesejahteraan
spiritual merupakan suatu keharmonisan dan saling kedekatan antar sesama makhluk hidup,
saling menjalin kedekatan antara individu satu dan individu lainnya, serta dengan Tuhan Yang
Maha Esa (Yusuf et al., 2016).
Kesehatan spiritual adalah faktor yang menunjukkan bagaimana orang bisa menghadapi
masalah dan tekanan yang disebabkan oleh penyakit, dan sebagai tolak ukur kesehatan
seseorang. Kesehatan spiritual akan memberikan kekuatan pada lansia yang diperlukan untuk
berjuang dan beradaptasi dengan masalah kehidupan sehari-hari seperti penyakit, kehilangan,
dan kematian. Penguatan kesehatan spiritual nampaknya begitu mendukung sumber daya
spiritual dan keagamaan. (Moeini et al., 2016).
Penyakit yang berhubungan dengan kesehatan spiritual yang dapat mengancam dan
menghambat perkembangan spiritual lansia salah satunya adalah hipertensi (Moeini et al, 2016).
Hipertensi atau penyakit darah tinggi adalah suatu keadaan dimana seseorang mengalami
peningkatan tekanan darah diatas normal yang ditunjukkan oleh angka systolic (bagian atas) dan
angka bawah (diastolic) pada pemeriksaan tensi darah menggunakan alat pengukur tekanan
darah baik yang serupa cuff air raksa (sphygmomanometer) ataupun alat digital lainnya
(Rudianto, 2013). Penyakit ini dikategorikan sebagain the silent disease karena penderita tidak
mengetahui dirinya mengidap hipertensi sebelum memeriksakan tekanan darahnya. Tekanan
darah itu sendiri adalah kekuatan aliran darah dari jantung yang mendorong melawan dinding
pembuluh darah (arteri). Tekanan darah seseorang dianggap normal, jika tekanan darah
sistoliknya 120 mmHg dan tekanan darah diastoliknya 80 mmHg. Tekanan darah seseorang
dianggap prehipertensi jika tekanan darah sistoliknya 120-139 mmHg atau tekanan darah
diastoliknya 80-89 mmHg. Hipertensi tahap I, jika tekanan darah sistolik seseorang 140-159 atau
tekanan darah distoliknya 90-99. Hipertensi tahap II, jika tekanan darah sistolik seseorang mulai
160 mmHg dan tekanan darah diastoliknya mulai 100 mmHg (Rudianto, 2013).

1.2 Rumusan Masalah

Adakah hubungan kesehatan spiritual dengan hipertensi pada lansia dengan


pendekatan teori keperawatan Virginia Henderson?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum


Untuk mengetahui hubungan kesehatan spiritual dengan hipertensi pada lanjut
usia dengan pendekatan teori keperawatan Virginia Henderson di RW 02, kelurahan
Ngaglik, Kota Batu.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengidentifikasi kesehatan spiritual pada lansia penderita hipertensi dengan
pendekatan teori keperawatan Virginia Henderson.
2. Mengidentifikasi tekanan darah pada lansia penderita hipertensi dengan pendekatan
teori keperawatan Virginia Henderson.
3. Menganalisis hubungan antara kesehatan spiritual dengan hipertensi pada lansia
dengan pendekatan teori keperawatan Virginia Henderson.
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Model Konsep Keperawatan Virginia Henderson

2.1.1 Definisi Keperawatan Virginia Henderson


Harmer dan Henderson (1995, dalam Potter, 2005 : 274) mengemukakan teori
keperawatan Virginia Henderson mencakup seluruh kebutuhan dasar seorang manusia.
Henderson (1964, dalam Potter, 2005 : 274) mendefinisikan keperawatan sebagai membantu
individu yang sakit dan yang sehat dalam melaksanakan aktivitas yang memiliki kontribusi
terhadap kesehatan dan penyembuhannya, dimana individu tersebut akan mampu mengerjakanya
tanpa bantuan bila ia memiliki kekuatan, kemauan, dan pengetahuan yang dibutuhkan. Hal ini
dilakukan dengan cara membantu mendapatkan kembali kemandiriannya secepat mungkin.
2.1.2 Kebutuhan Dasar Manusia Menurut Virginia Henderson
Teori Virginia Henderson membehas tentang kebutuhan dsar manusia. Virginia Hederson
menyimpulkan bahwa asuhan keperawatan dasarnya pada setiap situasi keperawatan, sehingga
perawat dapat bekerja pada semua dibidang yang khusus di rumah sakit. Virginia Henderson
merupakan ahli teori keperawatan yang penting dan memberi pengaruh besar pada keperawatan
sebagai profesi yang mendunia.virginia Virginia Henderson mengharapkan pasien menjadi salah
satu titik fokus perhatian bagi perawat dan profesional lainnya. Virginia Henderson tidak
menyukai, bila pasien sebagai penerima asuhan keperawatan tidak dilindungi dari malpraktek,
sehingga Hendorson berpikir bahwa profesi yang mempengaruhi kehidupan manusia harus
memiliki fungsi yang jelas. Sehingga fungsi dari perawat adalah membantu pasien, sehat atau
sakit, dalam memberikan keehatan atau pemulihan atau kematian yang damai yang dapat
dilakukan tanpa bantuan jika memiliki kekuatan, kemauan atau pengetahuan, dan melakukan
dengan cara tersebut dapat membantu kemandirian secara cepat.
Pemikiran Virginia Henderson dipengaruhi oleh Edward Thorndyke, yang banyak
melakukan penelitian tentang bidang kebutuhan dasar manusia. Berdasarkan teori Edward
Thorndyke dan definisi tentang keperawatan, Virginia Henderson membagi tugas keperawatan
menjadi 14 komponen yang berusaha untuk memenuhi kehidupan manusia. Pembagian dari 14
komponen kebutuhan dasar manusia dijadikan pilar dari model keperawatan, Virginia Henderson
menyatakan bahwa perawat harus selalu mengakui pola kebutuhan dasar pasien harus dipenuhi
dan perawat harus selalu mencoba menempatkan dirinya pada posisi pada pasien. Adapun
kebutuhan dasar manusia menurut teori Virgina Henderson meliputi 14 komponen (Aini, 2018).
1. Bernafas secara normal.
2. Makan dan minum dengan cukup.
3. Membuang kotoran tubuh.
4. Bergerak dan menjaga posisi yang diinginkan.
5. Tidur dan istirahat.
6. Memilih pakaian yang sesuai.
7. Menjaga suhu tubuh tetap dalam batas normal dengan menyesuaikan pakaian dan
mengubah lingkungan.
8. Menjaga tubuh tetap bersih dan terawat serta melindungi integumen.
9. Menghindari bahaya lingkungan yang bisa melukai.
10. Berkomunikasi dengan orang lain dalam mengungkapkan emosi, kebutuhan, rasa takut
atau pendapat.
11. Beribadah sesuai dengan keyakinan.
12. Bekerja dengan tata cara yang mengandung unsur prestasi.
13. Bermain atau terlibat dalam berbagai kegiatan rekreasi.
14. Belajar mengetahui atau memuaskan rasa penasaran yang menuntun pada perkembangan
normal dan kesehatan serta menggunakan fasilitas kesehatan yang tersedia.
Henderson (1964, dalam Potter, 2005) menyebutkan keempat belas kebutuhan dasar
manusia diatas dapat diklasifikasikan menjadi empat komponen, yaitu komponen biologis,
psikologis, sosiologis dan spiritual. Kebutuhan dasar pada poin 1-9 termasuk komponen
kebutuhan biologis. Pada poin 10 dan 14 termasuk komponen kebutuhan psikologis. Lalu pada
poin 11 termasuk komponen spiritual. Sedangkan poin 12 dan 13 termasuk komponen kebutuhan
sosiologis.
2.1.3 Teori Keperawatan Menurut Virginia Henderson
Tugas unik perawat adalah membantu individu baik dalam keadaan sakit maupun sehat
melalui upayanya melaksanakan berbagai aktivitas guna mendukung kesehatan dan
penyembuhan individu atau proses meninggal dengan damai, yang dilakukan secara mandiri oleh
individu saat ia memiliki kekuatan, kemampuan, kemauan, atau pengetahuan untuk itu.
Handerson mengemukakan teori tersebut dikarenakan keyakinan dan nilai yang dia percayai
yaitu manusia, keperawatan, kesehatan, dan lingkungan. Selain itu dia juga mengatakan dalam
mendefinisikan tentang keperawatan harus memikirkan keseeimbangan fisiologisnya.
Henderson menghubungakan hal-hal tersebut dengan kegiatan sehari-hari dan Ia juga
memberikan gambaran tentang bagaimana tugas perawat harus bisa mengkaji, menganalisis dan
mengobservasi untuk bisa memberikan dukungan dalam kesehatan dan proses penyembuhan atau
pemulihan dengan demikian individu tersebut mendapatkan kembali kemandirian dan kebebasan
yang merupakan tujuan mendasar dari teori tersebut. Ia juga berpendapat dalam sudut
Epistemologi karakteristik ilmu keperawatan, manusia adalah makhluk yang unik, dan tidak ada
yang memiliki kebutuhan dasar yang sama yang dalam pemenuhannya memerlukan bantuan
orang lain (Kusuma, 2014).
a. Manusia
Henderson melihat manusia individu yang mengalami perkembangan rentang kehidupan
yang dalam meraih kesehatan, kebebasan, dan kematian yang damai membutuhkan orang
lain. Ia melihat bahwa pikiran dan tubuh manusia adalah satu komponen yang tidak dapat
dipisahkan. Oleh sebab itu Ia membagi kebutuhan dasar manusia itu menjadi 14 komponen
penanganan perawatan, dimana kebutuhan dasar manusia itu diklasifikasikan menjadi 4
kategori yaitu komponen kebutuhan biologis, psikologis, sosiologis, dan spiritual.
Diantaranya yaitu:
1. Biologis
 Bernapas secara normal.
 Makan dan minum dengan cukup.
 Membuang kotoran tubuh.
 Bergerak dan menjaga posisi yang diinginkan.
 Tidur dan istirahat.
 Memilih pakaian yang sesuai.
 Menjaga suhu tubuh tetap dalam batas normal dengan menyesuaikan
 Pakaian dan mengubah lingkungan.
 Menjaga tubuh tetap bersih dan terawat serta melindungi integumen.
 Menghindari bahaya lingkungan yang bisa melukai.
2. Psikologis
 Berkomunikasi dengan orang lain dalam mengungkapkan emosi, kebutuhan, rasa
takut, atau pendapat.
 Belajar mengetahui atau memuaskan rasa penasaran yang menuntun pada
perkembangan normal dan kesehatan serta menggunakan fasilitas kesehatan yang
tersedia.
3. Sosiologis
 Bekerja dengan tata cara yang mengandung unsur prestasi.
 Bermain atau terlibat dalam berbagai kegiatan rekreasi.
4. Spiritual
 Beibadah sesuai dengan keyakinan.

b. Keperawatan
Dalam menjalankan fungsinya penanganan keperawatan didasari oleh 14 kebutuhan dasar
manusia (independence). Untuk membantu individu yang sakit maupun sehat untuk
mendapatkan kembali pemulihannya yang tujuannya ialah kebebasan.
1. Kesehatan
Dalam mendapatkan kesehatan manusia perlu memiliki kesadaran dan
pengetahuan dalam meningkatkan kualitas hidup lebih baik yang menjadi dasar
manusia berfungsi bagi kemanusiaan karena mencegah lebih baik daripada mengobati
penyakit. Agar manusia mendapatkan kesehatannya maka diperlukan kemandirian
dan saling ketergantungan.
2. Lingkungan
Lingkungan adalah salah satu yang harus di perhatikan karena lingkungan sekitar
adalah cerminan pola kehidupan manusia dan merupakan faktor yang memiliki
pengaruh besar bagi kesehatan. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam lingkungan
yaitu :
a) Manusia harus mampu menjaga lingkungan sekitarnya agar tetap dalam kondisi
sehat.
b) Perawat dituntut mampu menjaga pasien dari cedera mekanis.
c) Sebagai seorang perawat dituntut untuk memiliki pengetahuan tentang kesehatan,
kebersihan, dan keamanan lingkungan.
d) Perawat harus mampu membuat observasi secara menyeluruh terhadap seorang
pasien dengan tepat agar hasilnya dapat membantu dokter dalam memberikan
resep.
e) Dalam menjalankan tugasnya perawat harus memiliki ketelitian agar dapat
meminimalkan peluang terjadinya kecelakaan atau luka dikarenakan sarana
kontruksi bangunan dan pemeliharaannya.
f) Dalam menjaga keselamatan yang lebih bagi seorang pasien maka perawat harus
memiliki pengetahuan tentang kebiasaan sosial dan praktik keagamaan untuk
memperkirakan adanya ancaman. (Hidayat, 2007)
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Konsep Hipertensi

Hipertensi (HTN) adalah faktor resiko utama penyakit jantung (Tailakh et al, 2013).
Hipertensi adalah keadaan tekanan darah diastolik lebih dari 90 mmHg dan tekanan sistolik lebih
tinggi dari 140 mmHg (Mujahidullah, 2012). Penyakit darah tinggi atau hipertensi ini adalah
suatu keadaan seseorang mengalami peningkatan tekanan darah sistolik dan diastolik jauh diatas
normal yang dapat diketahui dengan pemeriksaan tekanan darah mengunakan alat pengukur
tekanan darah yang biasa disebut sphygmomanometer atau juga bisa dengan alat digital lain
(Rudianto 2013).
Penyakit tekanan darah ini sering terjadi karena penderita tidak mengetahui bahwa ia
mengidap hipertensi sebelum memeriksakan tekanan darahnya atau yang biasa disebut dengan
the silent disease atau gangguan yang terjadi secara diam-diam (Rudianto, 2013). Penyebab
hipertensi sendiri bermacam-macam termasuk kelelahan, faktor keturunan, stres, proses penuaan
pada seseorang, serta diet yang tidak seimbang (Mujahidullah, 2012). Tekanan darah yang
optimal didefinisikan jika tekanan sistolik kurang dari 120 mmHg dan tekanan diastolik kurang
dari 80 mmHg. Sedangkan dikatakan pra hipertensi jika tekanan sistolik lebih dari sama dengan
120 mmHg dan kurang dari 140 mmHg serta tekanan diastolik lebih dari sama dengan 80 mmHg
dan kurang dari 90 mmHg. Hipertensi diartikan apabila tekanan sistolik lebih dari sama dengan
140 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari sama dengan 90 mmHg (Wu et al, 2015). Tanda dan
gejala hipertensi juga bermacam-macam mulai dari sakit kepala yang berkepanjangan, perubahan
pada sistem pengelihatan, nyeri dada, dan bisa juga mual muntah pada seseorang (Mujahidullah,
2012).
Prevalensi hipertensi di seluruh dunia kian meningkat. Jumlah kasus meningkat dari 600
juta di tahun 1980 menjadi 1 miliar kasus di tahun 2008. Hipertensi sendiri umumnya merupakan
gangguan asimtomatik, ini merupakan salah satu faktor resiko utama terjadinya penyakit
kardiovaskuler. Hipertensi sendiri mengakibatkan 45% kematian akibat penyakit jantung dan
51% kematian akibat stroke. Komplikasi dari penyakit hipertensi diperkirakan menyebabkan 9,4
juta kematian per tahun dan jika tanpa tindakan lebih lanjut maka jumlah ini akan terus
meningkat (Kjeldsen et al, 2014).
Pengklasifikasian hipertensi terdapat dua macam yaitu hipertensi primary yang mana
merupakan kondisi tekanan darah tinggi sebagai akibat dari gaya hidup dan juga faktor
lingkungan individu. Individu yang pola makan tidak terkontrol yang dapat menyebabkan
kelebihan berat badan hingga obesitas merupakan pencetus awal terjadinya penyakit tekanan
darah tinggi. Seseorang yang berada atau tinggal dalam lingkungan dengan kondisi stressor yang
tinggi juga dapat terkena penyakit tekanan darah tinggi termasuk individu yang juga kurang
berolahraga dan menggerakkan badan juga bisa meningkatkan resiko hipertensi (Rudianto,
2013). Klasifikasi selanjutnya adalah hipertensi secondary yang mana kondisi peningkatan
tekanan darah sebagai akibat individu tersebut menderita penyakit lain yang berhubungan
dengan kardiovaskuler, gagal ginjal, atau kerusakan sistem hormon tubuh (Rudianto, 2013).
Pengobatan yang efektif untuk mengendalikan tekanan darah sudah tersedia namun
tindakan lebih lanjut perlu dilakukan untuk memastikan penggunaannya dimaksimalkan pada
kelompok individu yang membutuhkan (Kjeldsen et al, 2014). Penyembuhan dan penanganan
hipertensi dapat dibagi menjadi dua golongan (farmakologis dan non farmakologis). Pengobatan
farmakologis memiliki beberapa golongan obat hipertensi yang memang pada dasarnya
menurukan tekanan darah dengan cara mempengaruhi kerja jantung dan pembuluh darah
(Rudianto, 2013). Pengobatan non farmakologi yang pertama adalah hindari stress, lalu
melakukan olahraga yang teratur, dan mengurangi asupan garam (Rudianto, 2013).

3.2 Konsep Lansia

3.2.1 Teori Konseptual Lansia


Aging process (proses penuaan) dalam perjalanan hidup manusia merupakan suatu hal
yang wajar, dan akan dialami oleh semua orang yang dikaruniai umur panjang, hanya cepat dan
lambatnya proses tersebut tergantung pada masing-masing individu (Mujahidullah, 2012). Proses
menua merupakan proses yang terus-menerus (berkelanjutan) secara alamiah yang dimulai sejak
manusia lahir sampai tua. Pada usia lansia ini biasanya seseorang akan mengalami kehilangan
jaringan otot, susunan syaraf, dan jaringan lain sehingga tubuh akan “mati” sedikit demi sedikit.
3.2.2 Batasan-batasan Lansia
1. Menurut WHO (dalam Mujahidullah, 2012)
a. Usia pertengahan (midle age) mulai 45-59 tahun.
b. Usia lanjut (elderly) antara 60-70 tahun.
c. Usia lanjut tua (old) antara 75-90 tahun.
d. Usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun.
2. Menurut Undang-undang RI No. 13 (1998, dalam Mujahidullah, 2012)
Bahwa usia lanjut adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas.
3. Menurut Departemen Kesehatan (dalam Mujahidullah, 2012 : 4)
Usia lanjut digolongkan menjadi 3 golongan yaitu:
a. Kelompok lansia dini (55-64 tahun).
b. Kelompok lansia pertengahan (65 tahun ke atas).
c. Kelompok lansia dengan resiko tinggi (70 tahun keatas).

3.2.3 Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia


1. Perubahan Fisik
a. Sel
Jumlah sel pada lanjut usia semakin sedikit, lalu mekanisme perbaikan sel pada
lanjut usia juga mengalami gangguan, serta menurunnya proporsi protein di otak, darah,
ginjal serta di hati (Mujahidullah, 2012).
b. Sistem Persyarafan
Pada lanjut usia respon dan waktu dalam bereaksi melambat, serta sensitifitas
berkurang terhadap sentuhan (Mujahidullah, 2012).
c. Sistem Pendengaran
Sistem pendengaran pada lanjut usia juga mengalami penurunan atau bahkan
hilang kemampuan terhadap bunyi dan suara dan sulit untuk mengerti kata-kata
(Mujahidullah, 2012).
d. Sistem Pengelihatan
Pada lanjut usia pengelihatannya berkurang terkadang juga hilang respon terhadap
cahaya, lanjut usia juga mengalami kekeruhan pada lensa mata, menurunnya daya
membedakan warna antara hijau dan biru, serta lapang pandang pada lanjut usia
megalami penurunan (Mujahidullah, 2012).
e. Sistem Respirasi
Pada usia lanjut kekuatan otot pernapasan mengalami penurunan (Mujahidullah,
2012).
f. Sistem Gastrointestinal
Menurunnya selera makan dan rasa dahaga (haus) pada usia lanjut, mudah
mengalami konstipasi dan gangguan pencernaan lainnya (Mujahidullah, 2012).
g. Sistem Integumen
Sistem integument pada lansia juga mengalami penurunan yang cukup drastic
sebagai contoh adalah mengeriputya kulit, permukaan yang kasar dan biasanya terdapat
sisik, elastisitas kulit menurun, kuku menjadi lebih keras pada usia lanjut serta kelenjar
keringat pada lansia berkurang (Mujahidullah, 2012).

2. Perubahan Spiritual
Perubahan spiritual pada lansia bayangan kematian sering mendominasi perasaan lansia,
biasanya pada saat lanjut usia seharusnya lebih banyak mendekatkan diri kepada sang Pencipta,
serta bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan, selain mendekatkan diri kepada sang
Pencipta, seharusnya juga memperbanyak berkumpul dengan keluarga, tetangga, dan juga alam
agar bayangan kematian tidak terus mendominasi pikiran dan perasaan lansia (Yusuf et al, 2016).

3.3 Hubungan Kesehatan Spiritual Dengan Hipertensi

Pada penelitian yang dilakukan oleh Moeini et al (2016) menyebutkan kesehatan spiritual
adalah faktor yang menunjukkan bagaimana orang bisa menghadapi masalah dan tekanan yang
disebabkan oleh penyakit dan sebagai dimensi kesejahteraan spiritual, ia bisa mengintegrasikan
dengan berbagai dimensi penyakit. Memperkuat kesehatan spiritual akan memberi lansia
kekuatan yang diperlukan untuk berjuang dan beradaptasi dengan masalah kehidupan sehari-hari
seperti perubahan kondisi, penyakit, kerugian, dan kematian. Tampaknya begitu mendukung
sumber daya spiritual dan keagamaan serta dengan menawarkan pelayanan semacam itu bisa
bermanfaat untuk menguatkan kesehatan spiritual dan kemampuan lansia untuk menghadapi dan
melawan penyakit. Karena perawatan spiritual dianggap sebagai tugas perawat, mereka
diharapkan tidak hanya untuk di pertimbangkan dan memantau kesehatan fisik dan mental lansia
tetapi juga untuk memahami dimensi kesehatan spiritual lansia dan lebih memahami kebutuhan
mereka. Beberapa penelitian yang telah dilakukan dalam hal ini misalnya Pargament et al (2004
dalam Moeini et al, 2016) menemukan hubungan antara agama dengan teknik adaptasi dan
konsekuensi spiritual, bersama dengan kesehatan fisik dan mental lansia yang dirawat di rumah
sakit. Delani dan Barer (dalam Moeini et al, 2016) menunjukkan bahwa perawatan spiritual
efektif dalam meningkatkan kesehatan spiritual pasien dengan penyakit kardiovaskular.
Penelitian yang dilakukan oleh Buck et al (2009) menyebutkan riset telah menetapkan peran
hereditas dan gaya hidup sebagai salah satu penyebab terjadinya hipertensi, namun faktor
psikososial, terutama religiusitas, kurang dipahami. Pada penelitian ini menganalisis hubungan
antara berbagai dimensi religiusitas dan tekanan darah sistolik, tekanan darah diastolik, dan
hipertensi menggunakan data yang diambil dari Chicago Community Adult Health Study,
dimana terdapat sampel orang dewasa (N= 3105) berusia 18 tahun dan tinggal di kota Chicago,
Amerika Serikat. Variabel religiusitas yang utama diteliti disini, kehadiran dan partisipasi publik
atau masyarakat tidak secara signifikan terkait dengan hasil penelitian. Doa dikaitkan dengan
kemungkinan penurunan hipertensi, dan spiritualitas dikaitkan dengan penurunan tekanan darah
diastolik. Tambahan dari beberapa variabel religiusitas lainnya tampaknya tidak mempengaruhi
temuan ini. Namun, Variabel tersebut dikaitkan dengan penurunan hipertensi. Temuan ini
menekankan pentingnya menganalisis religiusitas sebagai fenomena multidimensi. Studi ini
harus dianggap sebagai yang pertama dan langkah menganalisis secara sistematis hubungan yang
kompleks.
Semakin banyak penelitian yang telah menemukan hubungan yang signifikan antara
keterlibatan agama dan tekanan darah sehingga individu yang melaporkan tingkat keterlibatan
agama yang lebih tinggi memiliki tekanan sistolik lebih rendah, menurunkan tekanan diastolik,
dan atau menurunkan resiko hipertensi. Dalam salah satu yang terbaru contohnya Gillum dan
Ingram (2006, dalam Buck et al, 2009) menganalisis data dari sampel nasional orang dewasa
memeriksa hubungan antara kehadiran acara keagamaan, tekanan darah, dan hipertensi. Setelah
menguasai karakteristik sosio demografi dan status kesehatan, hasilnya menunjukkan bahwa
dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah menghadiri acara keagamaan dengan mereka
yang menghadiri acara keagamaan mingguan atau lebih dari mingguan memiliki prevalensi
hipertensi yang agak berkurang dan lebih rendah tekanan darahnya. Dengan menggunakan
sampel probabilitas orang dewasa berusia 65 tahun ke atas Koenig (1998 dalam Buck et al, 2009)
menemukan bahwa seseorang yang partisipasi lebih sering dalam kegiatan keagamaan (misalnya
menghadiri pengajian, berdoa, belajar) secara signifikan memiliki tekanan darah yang lebih
rendah.
Dimensi utama religiusitas digambarkan secara langsung dapat mempengaruhi tekanan
darah dan hipertensi, namun ada beberapa tambahan dimensi religiusitas yang belum cukup
diperhatikan dalam literatur tentang tema ini. Pertama, ada kemungkinan hubungan yang baik
antara kehadiran pada kegiatan keagamaan, tekanan darah, dan hipertensi berasal dari
kepercayaan individu tentang manfaat spiritual dan sosial. Misalnya, tindakan simbolis dan
ritualistik dalam melakukan kegiatan keagamaan dapat berkontribusi terhadap perasaan
kedamaian dan pemberdayaan batin (Williams (1994 dalam Buck et al, 2009). "Psikodinamik
religius" telah di hipotesiskan untuk mengurangi tekanan darah dan hipertensi (Levin dan
Vanderpool (1989 dalam Buck et al, 2009). Sebagai kegiatan antar individu yang berbagi
kepercayaan dan nilai, kegiatan kegamaan juga dapat mempromosikan integrasi dan dukungan
sosial (Idler (1987 dalam Buck et al, 2009).
Keyakinan dan makna agama juga dapat berperan dalam hubungan keterlibatan agama
dan tekanan darah. Keyakinan agama yang kuat bisa memberikan suatu sistem melalui individu
yang dapat menafsirkan keadaan dan kejadian yang menyedihkan dan merugikan. Lebih spesifik,
keyakinan akan kehidupan akhirat dapat berkontibusi dalam memberikan kenyamanan yang
besar (Ellison (1991 dalam Buck et al, 2009) dan pada akhirnya mengurangi risiko hipertensi.
Penjelasan lain yang mungkin melibatkan religiusitas dan tekanan darah adalah sifatnya dan
tingkat dukungan sosial yang diterima oleh individu dari keluarga maupun masyarakat. Individu
yang secara aktif melakukan kegiatan ibadah dan keagamaan serta spiritual memiliki persepsi
yang lebih besar yang mendukung dan bila diperlukan dalam penurunan tekanan darah. Sebagai
tambahan, melakukan kegiatan kegamaan dikaitkan dengan tingkat dukungan instrumental dan
emosional yang lebih tinggi (Ellison dan George (1994 dalam Buck et al, 2009).

3.4 Klasifikasi Hipertensi


Menurut Udjianti (2011) Berdasarkan penyebabnya hipertensi dibagi menjadi dua
golongan yaitu :
1. Hipertensi Primer/ Esensial
Hipertensi primer yaitu hipertensi yang belum diketahui penyebabnya dengan
jelas (Ideopatik). Beberapa faktor penyebab diduga berkaitan dengan berkembangnya
hipertensi primer seperti berikut:
a. Genetik: beresiko tinggi terkena hipertensi, padaindividu yang mempunyai riwayat
keluarga dengan hipertensi.
b. Jenis kelamin dan usia: laki-laki berusia 35-50 tahun dan wanita pasca menopause
beresiko tinggi terkena hipertensi.
c. Diet: konsumsi diet tinggi garam atau lemak secara langsung berhubungan dengan
berkembangnya hipertensi.
d. Berat badan: obesitas (>25% diatas berat badan ideal) dikaitkan dengan berkembangnya
hipertensi.
e. Gaya hidup: merokok dan konsumsi alkohol meningkatkan tekanan darah, jika tidak
mengubah gaya hidup.

2. Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan karena kerusakan suatu
organ. Yang termasuk hipertensi sekunder seperti: hipertensi jantung, hipertensi penyakit
ginjal, hipertensi penyakit jantung dan ginjal, hipertensi diabetes melitus, dan hipertensi
sekunder lain yang tidak spesifik.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dengan meningkatnya populasi lanjut usia di Indonesia, kejadian hipertensi pada


populasi ini meningkat pula. Salah satu karakteristik hipertensi pada lanjut usia adalah
terdapat nya berbagai penyakit penyerta (komorbid) dan komplikasi organ target.
Selain diagnosis yang sangat teliti, tatalaksana hipertensi pada lanjut usia harus
juga memperhatikan kedua hal tersebut di atas. Penatalaksanaan hipertensi pada lansia
tidak berbeda dengan penatalaksanaan hipertensi pada umumnya, yaitu merubah pola
hidup dan pengobatan anti hipertensi. Dan saat ini berbagai pilihan obat-obatan anti
hipertensi telah beredar di pasaran. Pemakaian berbagai obat tersebut bisa disesuaikan
dengan penyakit komorbid yang menyertai keadaan hipertensi tersebut.

4.2 Saran

Kami sadar bahwa masih banyak kekrangan yang kami miliki, baik dari tulisan
maupun bahasan yang kami sajikan, oleh karena itu mohon di berikan sarannya agar kami
bisa membuat makalah lebih baik lagi, dan semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita
semua, dan menjadi wawasan kita dalam memahami paragrap.
DAFTAR PUSTAKA

Buck, A., Williams, D. R., Musick, M. A., Sternthal, M. J. (2009). An Examination of the
Relationship between Multiple Dimensions of Religiosity, Blood Pressure, and
Hypertension. Soc Sci Med, 68(2), 314-322. doi:10.1016/j.socscimed.2008.10.010.
Caldeira, S., Carvalho, E. C., Vieira, M. (2014). Between spiritual wellbeing and spiritual
distress: possible related factors in elderly patients with cancer. Latino-Am Enfermagem,
22(1), 28-31. doi: 10.1590/0104-1169.3073.2382.
Cowlishaw, S., Niele, S., Teshuva, K., Browning, C., Kendig, H. (2013). Older adults’
spirituality and life satisfaction: a longitudinal test of social support and sense of
coherence as mediating mechanism. Ageing & Society, 33, 1248.
doi:10.1017/S0144686X12000633.
Donsu, J. D. T. (2017). Metodologi Penelitian Keperawatan. Yogyakarta: Pustaka Baru Press.
Gherghina., Cindea., Costea., Popescu., Balcan. (2014). Spiritual distress assessment tool a valid
instrument for elderly patients in the perioperative period. European Journal of
Anaesthesiology, 31.
Hidayat, A. A. A. (2006). Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: Salemba Medika.
Heydari, A., Khorashadizadeh, F., Nabavi, F. H., Mazlom, S. R., Ebrahimi, M. (2016). Spiritual
Health in Nursing From the Viewpoint of Islam. Iran Red Crescent Medical Journal,
18(6), 1-2. doi:10.5812/ircmj.24288.

Anda mungkin juga menyukai