Anda di halaman 1dari 20

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keperawatan

transkultural

merupakan

suatu

arah

utama

dalam

keperawatan yang berfokus pada study komparatif dan analisis tentang budaya
dan

sub

budaya

yang

berbeda

di

dunia

yang

menghargai

perilaku caring, layanan keperawatan, niai-nilai, keyakinan tentang sehat sakit,


serta

pola-pola

knowladge yang

tingkah
ilmiah

laku
dan

yang

bertujuan

humanistik

guna

mengembangkan body
memberi

tempat

of

praktik

keperawatan pada budaya tertentu dan budaya universal (Marriner-Tomey,


1994). Teori keperawatan transkultural ini menekankan pentingnya peran
keperawatan dalam memahami budaya klien
Pemahaman yang benar pada diri perawat mengenai budaya klien, baik
individu,

keluarga,

kelompok,

maupun

masyarakat,

dapat

mencegah

terjadinya culture shock maupun culture imposition.Cultural shock terjadi saat


pihak luar (perawat) mencoba mempelajari atau beradaptasi secara efektif
dengan kelompok budaya tertentu (klien) sedangkan culture imposition adalah
kecenderungan tenaga kesehatan (perawat), baik secara diam-diam mauoun
terang-terangan

memaksakan

nilai-nilai

budaya,

keyakinan,

dan

kebiasaan/perilaku yang dimilikinya pda individu, keluarga, atau kelompok dari


budaya lain karena mereka meyakini bahwa budayanya lebih tinggi dari pada
budaya kelompok lain.
Teory keperawatan transkultural matahari terbit, sehinnga di sebut juga
sebagai sunrise modelmatahari terbit (sunrise model ) ini melambangkan esensi
keperawatan dalam transkultural yang menjelaskan bahwa sebelum memberikan
asuhan keperawatan kepada klien (individu, keluarga, kelompok, komunitas,
lembaga), perawat terlebih dahulu harus mempunyai pengetahuan mengenai
pandangan dunia (worldview) tentang dimensi dan budaya serta struktur sosial
yang, bersyarat dalam lingkungan yang sempit.
Dimensi budaya dan struktur sosial tersebut menurut Leininger di
pengaruhi oleh tujuh faktor, yaitu teknologi, agama dan falsafah hidup, faktor
sosial dan kekerabatan, nilai-nilai budaya dan gaya hidup, faktor kebijakan dan
peraturan yang berlaku, faktor ekonomi, dan faktor pendidikan.

Peran perawatan pada transcultural nursing teory ini adalah menjebatani


antara sistem perawatan yang dilakukan masyarakat awam dengan sistem
perawatan prosfesional melalui asuhan keperawatan. Eksistensi peran perawat
tersebut digambarkan oleh leininger.oleh karena itu perawat harus mampu
membuat keputusan dan rencana tindakan keperawatan yang akan diberikan
kepada masyarakat. Jika di sesuaikan dengan proses keperawatan, hal tersebut
merupakan tahap perencanaan tindakan keperawatan.
Tindakan keperawatan yang diberikan kepada klien harus tetap
memperhatikan tiga perinsip asuhan keperawatan, yaitu :
a. Cultural care preservation/maintenance
Mempertahankan budaya dilakukan
bertentangan

dengan

kesehatan.

apabila

budaya

Perencanaan

dan

pasien

tidak

implementasi

keperawatan diberikan sesuai dengan dengan nilai-nilai yang relevan yang


telah dimilki klien sehingga klien dapat meningkatkan atau mempertahankan
status kesehatannya, misalnya budaya berolahraga setiap pagi.
b. Cultural careaccomodation/negotiation
Membantu klien beradaptasi terhadap budaya tertentu yang lebih condong
ke arah kesehatan. Perawat membantu klien agar dapat memilih dan
menentukan budaya lain yang mendukung peningkatan kesehatan. Misalnya
klien sedang hamil mempunyai pantangan makanan yang berbau amis.
c. Cultual care repartening/reconstruction
Restrukturisasi budaya klien dilakukan apabila budaya yang dimiliki
merugikan status kesehatan. Perawat berupaya merestrukturisasi gaya
hidup klien yang biasanya merokok menjadi tidak merokok. Pola rencana
hidup yang dipilih biasanya yang lebih menguntungkan dan sesuai dengan
keyakinan yang dianut.

1.2 Tujuan
1.2.1 Tujuan Umum

Mahasiswa dapat menentukan cara pengkajian, diagnosa,


intervensi, implementasi dan evaluasi berdasarkan teori transkultural ras
Madura.
1.2.2 Tujuan Khusus
Mahasiswa dapat mengetahui pengkajian berdasarkan cultural nursing
yang meliputi :

1) Memahami Budaya Madura.


2) Memahami asuhan keperawatan transkultural nursing pada Budaya
Madura.

BAB 2
TINJAUAN TEORI
2.1 Definisi Madura
Suku Madura adalah salah satu suku di provinsi Jawa Timur, yang
mendiami pulau Madura dan pulau-pulau kecil sekitarnya, seperti Gili Raja,
Sapudi, Raas, dan Kangean. Populasi suku Madura termasuk yang ke-3 terbesar
di Indonesia, diperkirakan lebih dari 6.800.000 orang. Masyarakat Madura
dikenal memiliki budaya yang khas, unik, dan identitas budayanya itu dianggap
sebagai jati diri individual etnik Madura dalam berperilaku dan berkehidupan
masyarakat. Madura dengan empat kabupaten merupakan wilayah dengan
jumlah penduduk yang sangat besar dibandingkan dengan wilayah lain di Jawa
Timur, dan angka kematian bayi di Madura sangat tinggi dibandingkan dengan
wilayah lain di Jawa Timur. Budaya ini sebenarnya merupakan sarkasme bagi
entitas budaya Madura.
Dalam sejarah orang Madura, carok adalah duel satu lawan satu, dan
ada

kesepakatan

sebelumnya

untuk

melakukan

duel.

Malah

dalam

persiapannya, dilakukan ritual-ritual tertentu menjelang carok berlangsung.


Kedua pihak pelaku carok, sebelumnya sama-sama mendapat restu dari
keluarga masing-masing. Karenanya, sebelum hari H duel maut bersenjata
celurit dilakukan, di rumahnya diselenggarakan selamatan dan pembekalan
agama berupa pengajian. Oleh keluarganya, pelaku carok sudah dipersiapkan
dan diikhlaskan untuk terbunuh.
Carok ini adalah sebuah pembelaan harga diri ketika diinjak-injak oleh
orang lain, yang berhubungan dengan harta, tahta dan wanita. Pada intinya
carok ini dilakukan untuk menjaga kehormatan. Ungkapan etnografi yang
menyatakan, etembang pote mata lebih bagus pote tolang (daripada hidup
menanggung perasaan malu, lebih baik mati berkalang tanah) inilah yang
menjadi motivasi orang untuk melakukan carok.
Suku Madura terkenal karena gaya bicaranya yang blak-blakan serta
sifatnya yang temperamental dan mudah tersinggung, tetapi mereka juga dikenal
hemat, disiplin, dan rajin bekerja. Padahal orang madura itu adalah orang yang
mudah menerima keadaan, berusaha mengalah, dan cenderung berprasangka
baik pada orang lain. Hal inilah yang sering melahirkan pemikiran untuk
memperdayai dan memanfaatkan keluguan orang madura. Sehingga pada
4

akhirnya ketika orang madura berusaha membela diri, emosi dan membalas
secara fisik, terlihat seperti suku yang tempramental.
Bahasa Madura sebagai alat pemersatu orang-orang Madura dimana pun
mereka berada, sebenarnya adalah budaya dasar Madura. Akan tetapi, semakin
hari semakin lama, orang-orang Madura mulai jarang menggunakan bahasanya
sendiri. Sehingga dengan adanya kenyataan ini, pemerintah kota Surabaya
pernah mengadakan lomba pantun dan syair Madura. Tujuannya adalah tidak
lain untuk tetap melestarikan bahasa Madura sebagai bahasa daerah Madura.
Pandangan hidup orang Madura tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai
agama Islam yang mereka anut. Fakta sosiologisnya, yaitu hampir seluruh orang
Madura adalah penganut agama Islam. Ketaatan mereka pada agama Islam
sudah merupakan penjatidirian penting bagi orang Madura. Ini terindikasikan
pada pakaian mereka yaitu sampr (kain panjang), kebaya, dan burgo
(kerudung) bagi kaum perempuan, sedangkan sarong (sarung) dan songko
(kopiah atau peci) bagi kaum laki-laki sudah menjadi lambang keislaman
khususnya di wilayah pedesaan (Rifai, 2007: 446). Oleh karena itu, identitas
keislaman merupakan suatu hal yang amat penting bagi orang Madura.
Sesuai dengan ajaran Islam yang dianutnya, pandangan hidup orang
Madura menuntunnya untuk menjalani kehidupan demi pencapaian kebahagiaan
dunia dan akhirat. Untuk itulah kegiatan berikhtiar/berupaya menjadi sangat
penting bagi orang Madura, sebab pendekatan ini akan memperbesar
kemungkinan pencapaian semua keinginan dan tujuan (Munir 1985: 228).
Orang Madura sangat sadar bahwa hidup itu tidak hanya berlangsung di dunia
sekarang ini tetapi juga diteruskan kelak di akhirat. Itu sebabnya orang Madura
sangat yakin bahwa amal mereka di dunia ini akan dapat dijadikan bekal buat
kehidupannya di akhirat kelak. Ibadah agama dilaksanakan dengan penuh
ketekunan dan ketaatan karena dilandasi kesadaran dan keyakinan bahwa
mengaji menjadi bekal atau modal di akhirat.
Pandangan hidup orang Madura yang lain tercermin pula dalam
ungkapan bhuppa bhabhu ghuru rato. Orang Madura pertama-tama harus patuh
dan taat pada kedua orangtuanya, kemudian pada guru (ulama/kiai), dan terakhir
pada rato (pemimpin formal atau biasa disebut birokrasi). Kepatuhan atau
ketaatan kepada Ayah dan Ibu (buppa ban Babbu) sebagai orangtua kandung
atau nasabiyah sudah jelas, tegas, dan diakui keniscayaannya. Secara kulturak
ketaatan dan ketundukan seseorang kepada kedua orangtuanya adalah mutlak.
5

Jika tidak, ucapan atau sebutan kedurhakanlah ditimpakan kepadanya oleh


lingkungan sosiokultural masyarakatnya. Bahkan, dalam konteks budaya mana
pun kepatuhan anak kepada kedua orangtuanya menjadi kemestian secara
mutlak, tidak dapat dinegosiasikan, maupun diganggu gugat. Yang mungkin
berbeda, hanyalah cara dan bentuk dalam memanifestasikannya. Kepatuhan
mutlak itu tidak terkendala oleh apa pun, sebagai kelaziman yang ditopang oleh
faktor genealogis. Konsekuensi lanjutannya relatif dapat dipastikan bahwa jika
pada saat ini seseorang (anak) patuh kepada orangtuanya maka pada saatnya
nanti dia ketika menjadi orangtua akan ditaati pula oleh anak-anaknya. Itulah
salah satu bentuk pewarisan nilai-nilai kultural yang terdiseminasi. Siklus secara
kontinu dan sinambung itu kiranya akan berulang dan berkelanjutan dalam
kondisi normal, wajar, dan alamiah. Sebagai aturan normatif yang mengikat
setiap orang Madura maka pelanggaran atau paling tidak melalaikan aturan itu
akan mendapatkan sanksi sosial sekaligus kultural. Tentu saja, pemaknaan
sebatas itu tidak sepenuhnya salah. Oleh karenanya, perlu adanya perenungan
kembali yang lebih mendalam.
Figur ghuru dalam konteks kehidupan budaya Madura berfungsi dan
berperan sebagai figur panutan sekaligus rujukan tentang segala hal yang
berkaitan dengan aspek-aspek moralitas dan keagamaan. Dengan demikian,
dalam pandangan dunia (world view) orang Madura figur ghuru lebih merupakan
reprensentasi tentang kehidupan ukhrowi (sacred world). Sedangkan figur rato
adalah suatu achievement status yang persyaratannya bukan faktor genealogis
melainkan semata-mata karena faktor achievement (prestasi). Siapa pun yang
dapat dan mampu meraih prestasi itu berhak pula menduduki posisi sebagai figur
rato. Namun demikian, dalam realitas praksisnya tidak semua orang Madura
dapat mencapai prestasi ini. Oleh karena itu, figur rato pun kemudian menjadi
barang langka.
Dalam konteks itu, para bupati-kiai yang secara politik dan legal formal
telah ditasbihkan menjadi rato. Mau tidak mau dituntut harus memiliki sikap dan
perilaku yang jelas, tegas sesuai dengan konteks dan setting sosial-politik serta
budaya yang melingkupinya. Artinya, pada saat dan situasi apa harus berperan
dan berfungsi sebagai figur guru dan pada saat dan situasi sosial budaya mana
pula yang harus berfungsi dan berperan sebagai figur rato. Jika tidak, bukan
hanya warga masyarakat yang akan mengalami kebingungan kultural, melainkan
dirinya sendiri yang akan mengalami hal yang sama. Bila demikian, pelaksanaan
6

kegiatan pemerintahan dan pembangunan daerah tidak akan berjalan secara


efektif dan efisien.
Namun

tidak

menutup

kemungkinan

para

bupati-kiai

bisa

jadi

menyikapinya dengan sikap dan perilaku dalam bentuk dwi fungsi. Yakni dalam
sikap dan perilakunya berfungsi dan berperan sebagai figur guru sekaligus
sebagai rato dalam segala macam situasi baik yang bersifat sosial-budayakeagamaan

maupun

bersifat

politik

formal

dalam

menjalankan

roda

pemerintahan. Dalam konteks ini tentu sangat diperlukan suatu kearifan agar
tidak terjadi benturan-benturan peran dan fungsi antara kedua figur itu yang
akibatnya akan sangat kontra produktif bagi pelaksanaan aktivitas pemerintahan
dan pembangunan daerah.
Mungkin hal lain yang sangat penting diperhatikan dan diperlukan adalah
semangat dan kemampuan kepemimpinan (leadership) yang memadai demi
terlaksananya semua kegiatan dan aktivitas pemerintahan dan pembangunan
daerah dengan sebaik-baiknya. Kepatuhan dan ketaatan dari setiap warga
masyarakat sangat penting demi kelancaraan dan efektifitas pelaksanaan tugastugas pemerintahan dan pembangunan daerah Madura ke depannya. Ini terkait
dengan

upaya

menumbuh

kembangkan

semangat

demokratisasi

serta

menciptakan clean government dan good governance yang ditandai dengan


semakin meningkatnya tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat Madura
secara lahiriah maupun batiniah.
Dalam kebudayaan Madura terdapat ungkapan mon bhagus, pabhagas,
mon soghi pasogha. Dalam pengertian luas, jika orang Madura telah memiliki
harta (kekuasaan) dan menjadi figur rato (karena telah mencapai prestasi
tertentu) hendaknya harus bersikap santun dan berwibawa. Caranya janganlah
bersikap dan berperilaku arogan (congkak), semena-mena, otoriter, tidak
menghargai bawahan, dan mau menang sendiri hanya karena dirinya menjadi
figur yang dipatuhi sehingga menjadi lupa daratan dalam mengimplementasikan
kekuasaannya. Oleh karena itu, setiap orang Madura yang memiliki kekuasaan
dan menjadi figur rato sudah seharusnya bersikap andhap asor (sopan santun,
arif dan bijaksana) sesuai dengan falsafah dan etika dalam kebudayaan Madura.
Budaya gotongroyong sangat terlihat saat ada prosesi kematian atau
pernikahan yang diselenggarakan oleh penduduk Madura. Karena di saat itulah
sanak saudara yang berada jauh dari Madura akan dengan rela hati

menyempatkan diri datang ke Madura untuk membantu keluarganya yang di


Madura, begitu pula dengan tetangga-tetangga dekat atau jauhnya.
Akulturasi adalah proses secara bertahap, seseorang mendeteksi
kesamaan dan perbedaan budayanya sendiri dengan lingkungan barunya. Orang
Madura dan orang Jawa pada kenyataannya memiliki budaya yang sama dalam
hal sopan santun.Keduanya ternyata sama-sama menjunjung tinggi sopan
santun kepada orang lain terutama kepada orang yang lebih tua atau kepada
kedua orang tua. Hanya saja yang berbeda adalah dalam menjaga harga diri.
Jika harga diri orang Madura dilecehkan dan tidak dihargai maka orang Madura
akan marah dan tidak terima akan hal itu. Jika orang lain masih meremehkannya
dan membuatnya sakit hati maka tidak hanya dirinya yang tersakiti yang akan
maju menghadapi orang yang telah membuatnya sakit hati, akan tetapi sanak
saudara dan orang-orang sesama Madura (bagi yang berada di luar Madura)
akan membantu temannya yang sedang sakit hati ini untuk melawan orang
tersebut. Inilah yang membedakan antara orang Jawa dan Madura pada
umumnya.
Dekulturasi adalah proses dimana seseorang tidak mempelajari budaya
mendasar dari budaya barunya. Dan dia masih tetap memegang budayanya
sendiri. Bagi orang Madura yang berada di perantauan, mereka akan tetap
memegang budaya kekeluargaannya, yakni merasa malu jika perbuatan yang
dilakukan itu salah, sopan santun, keramahan, dan taretan dhibi, sebagaimana
telah dijelaskan di atas tadi pada bagian enkulturasi. Akan tetapi yang perlu
diingat dan dijadikan catatan adalah jangan sampai membuat orang Madura sakit
hati.
Asimilasi adalah tingkat akulturasi dengan budaya baru dan tingkatan
dekulturasi dari budaya asalnya. Dan dari asimilasi inilah cikal bakal terjadinya
adaptasi. Dalam masyarakat Madura, adat pernikahan orang Madura dahulu
adalah dengan cara lesehan tanpa ada kursi ataupun pelaminan. Akan tetapi
karena semakin banyaknya orang Madura yang memiliki pasangan yang berasal
dari luar Madura maka saat ini, adat pernikahan Madura yang awalnya lesehan
itu menjadi tidak ada dan berganti dengan adat pernikahan seperti orang Jawa
kebanyakan. Bahkan jika ada keluarga yang bisa menikahkan anak-anaknya di
gedung-gedung hal itu menjadi kebanggaan tersendiri.
Selain itu pula, prosesi tukar cincin dalam pernikahan orang Madura saat
ini mulai merebak. Padahal sebenarnya prosesi tukar cincin itu bukan berasal
8

dari adat budaya Islam, hanya sebagian masyarakat Madura yang masih
memegang teguh ajaran Islamnya saja yang tidak melakukan prosesi tukar cincin
tersebut. Karena prosesi itu dilaksanakan sebelum akad nikah, dan dalam Islam
jika belum di akad nikah maka kedua orang laki-laki dan perempuan itu belum
menjadi mahram.
2.2 Perilaku Budaya Madura
Perilaku para ibu hamil di Madura lebih banyak mengkonsumsi nasi dan
sedikit jenis sayuran, dan sangat jarang mengkonsumsi telur dan susu, konsumsi
daging pun sangat kurang, barangkali hanya ikan yang mereka konsumsi, itu pun
jumlahnya sangat tidak mencukupi. Dan terbebani dengan berbagai aktivitas
rumah tangga, sehingga seringkah mereka merasa lebih cepat lelah, hal ini
sebagai 'efek samping' dari anemia yang mereka alami, selain itu juga
menyebabkan bayi lahir secara prematur dan bayi lahir dengan berat badan
rendah. Hal yang menyebabkan angka kematian ibu dan anak tinggi di Madura
adalah

ketidak

percayaan

masyarakatnya

terhadap

tenaga

kesehatan

professional, mereka lebih memilih ke para dukun beranak yang berjenis kelamin
perempuan karena Islam yang melarang seorang perempuan untuk berdekatan
dengan laki-laki yang bukan kerabatnya (mahram = orang yang diharamkan
untuk dinikahi). Selain itu faktor Ekonomi menjadi faktor pendorong mengapa
banyak ibu hamil di Madura lebih memilih untuk mendatangi dukun dan tenaga
kesehatan non- professional.
2.3 Definisi Keperawatan Transkultural
Keperawatan transkultural merupakan istilah yang sering digunakan
dalam cross-cultural atau lintas budaya, intercultural atau antar budaya, dan
multikultural atau banyak budaya (Andrews,1999). Leininger merupakan ahli
antropologi keperawatan sejak pertengahan lima puluhan yang merencanakan
bahwa transkultural nursing merupaer mendefinisikan transkultural Nursing"kan
area

formal

yang

harus

diaplikasikan

dalam

praktik

keperawatan

(leininger,1999;McFarland,2002).
Leininger mendefinisikantranskultural Nursing sebagai area yang luas
dalam keperawatan yang mana berfokus pada komparatif studi dan analisis
perbedaan kultur dan subkultur dengan menghargai perilaku caring, nursing care
dan nilai sehat-sakit, kepercayaan dan pola tingkah laku dengan tujuan
9

perkembangan ilmu dan humanistic body of knowledge untuk kultur yang spesifik
dan kultur yang universasl dalam keperawatan (Andrews and Boyle,1997:
Leininger dan McFarland,2002). Tujuan dari transkultural dalam keperawatan
adalah kesadaran dan apresiasi terhadap perbedaan kultur. Selain itu juga untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan dalam keperawatan yang humanis sehingga
terbentuk

praktik

keperawatan

sesuai

dengan

kultur

dan

universal

(leininger,1978).
2.4 Konsep Utama Keperawatan Transkultural
Leininger (2002), beberapa asumsi yang mendasari konsep transkultural
berasal dari hasil penelitian kualitatif tentang kultur, yang kemudian teori ini
dipakai sebagai pedoman untuk mencari culture care yang akan diaplikasikan.
1)
Human caring merupakan fenomena yang universal dimana
ekspresi, struktur dan polanya bervariasi diantara culture satu tempat
2)

dengan tempat yang lainnya.


Caring act dikatakan sebagai tindakan yang dilakukan dalam
memberikan dukungan kepada individu secara utuh. Perilaku caring
semestinya diberikan pada manusia sejak lahir , masa perkembangan ,

3)

4)

masa pertumbuhan , masa pertahanan sampai dikala meninggal.


Caring adalah esensi dari keperawatan dan membedakan,
mendominasi

serta

Keperawatan

adalah

mempersatukan
fenomena

tindakan

transkultural

keperawatan.

dimana

perawat

berinteraksi dengan klien, staff dan kelompok lain.


Identifikasi universal dan nonuniversal kultur dan perilaku caring
profesional, kepercayaan dan praktek adalah esensi untuk menemukan

5)

epistemology dan ontology sebagai dasar dari ilmu keperawatan.


Culture adalah berkenaan dengan mempelajari, membagi dan
transmisi nilai, kepercayaan norma dan praktek kehidupan dari sebuah
kelompok yang dapat terjadi tuntunan dalam berfikir, mengambil

6)

keputusan, bertindak dan berbahasa.


Cultural care berkenaan dengan kemampuan kognitif untuk
mengetahui

nilai,

kepercayaan

dan

pola

ekspresi

yang

mana

membimbing, mendukung atau memberi kesempatan individu lain atau


kelompok untuk mempertahankan kesehatan, meningkatkan kondisi
7)

kehidupan atau
kematian serta keterbatasan.
Nilai kultur berkenaan dengan keputusan/kelayakan yang lebih
tinggi atau jalan yang diinginkan untuk bertindak atau segala sesuatu

10

yang diketahui yang mana biasanya bertahan dengan kultur pada


8)

periode tertentu.
Perbedaan kulturdalam keperawatan adalahvariasidari pengertian
pola,

9)

nilai

atau

simbol

dari

perawatan,kesehatan

atau

untuk

meningkatkan kondisi manusia, jalan kehidupan atau untuk kematian.


Culture care universality berkenaan dengan hal umum,
merupakan bentuk dari pemahaman terhadap pola, nilai atau simbol dari
perawatanyang mana kiltur mempengaruhi kesehatan atau memperbaiki

10)

kondisi manusia.
Etnosentris adalah kepercayaan yang mana satu ide yang dimiliki,

11)

kepercayaan dan prakteknya lebih tinggi untuk kultur yang lain.


Cultural imposition berkenaan dengan kecendrungantenaga
kesehatan untuk memaksakan kepercayaan, praktik dan nilai diatas
kultur lain karena mereka percaya bahwa ide mereka lebih tinggi dari
pada kelompok lain.

11

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Kasus
Sebuah keluarga di daerah Madura yang istrinya (Ny. B) seorang petani
yang berumur 28 tahun dan suaminya (Tn. B) seorang nelayan berumur 30 tahun
yang pulang ke rumah seminggu sekali. Mereka bersuku Madura beragama
islam yang sangat berpegang teguh pada ajarannya. Suatu ketika istrinya hamil,
dia lebih banyak mengonsumsi nasi dan sedikit mengonsumsi sayuran, dan
sangat jarang mengonsumsi telur dan susu, konsumsi daging pun sangat kurang,
dan hanya mengkonsumsi ikan, itu pun jumlahnya sangat tidak mencukupi. Dia
juga sering memeriksakan kehamilannya kepada dukun beranak yang ada di
desanya karena tidak percaya dengan tenaga profesional.
Setalah sembilan bulan, dia mulai merasakan kontraksi yang hebat.
Kemudian oleh sang suami dibawa ke rumah seorang dukun yang berada di
desanya. Setelah satu jam ditangani oleh dukun tersebut, ternyata bayi (bayi B)
ibu tersebut memiliki berat badan yang kurang dari 2400 gram. Bapak dan ibu
bayi tersebut khawatir dengan kondisi bayinya yang kurang dari berat ideal (3000
gram). Dukun bayi tersebut kebingungan dan tidak bisa berbuat apa-apa karena
dukun tersebut tidak memiliki peralatan medis sama sekali.
Bapak dan ibu tersebut kebingungan karena dukun yang dipercayainya
tidak bisa membantu sang bayi. Akhirnya mereka membawa bayi mereka pulang
ke rumah. Setelah dua hari bayi tersebut berada di rumah, bayi tersebut
mengalami demam yang cukup tinggi. Kemudian oleh kedua orang tuanya, sang
bayi di bawa ke seorang dukun yang dipercayai keluarganya secara turunmenurun oleh keluarganya. Dukun tersebut memberikan sebotol air untuk
diberikan kepada sang bayi.
Beberapa hari kemudian air yang diberikan oleh kyai itu habis, tetapi sang
bayi masih demam. Tetangga mereka yang menjadi seorang perawat
menyarankan kepada mereka untuk membawa sang bayi ke rumah sakit agar
mendapat penangan medis. Orang tua sang bayi tidak mau karena mereka tidak
percaya pada tenaga medis yang proposional. Akhirnya sang bayi dibawa ke
rumah dukun lagi, karena mereka sangat percaya kepada pengobatan alternatif.

12

Sang dukun menyarankan untuk dibawa ke rumah sakit, karena sang dukun
tidak mampu mengatasi keadaan sang bayi.
Keesokan harinya, mereka membawa bayi mereka ke sebuah rumah
sakit. Setelah diperiksa, bayi tersebut berat badannya kurang karena dari factor
sang ibu pada saat hamil hanya mengkonsumsi nasi, sedikit jenis sayuran,
sangat jarang mengkonsumsi telur dan susu. Padahal makanan tersebut sangat
bermanfaat bagi kesehatan karena protein berperan untuk mendukung
perkembangan tubuh dan sel otak, manfaat sayur bagi kesehatan yaitu
membentuk sel darah merah untuk sang ibu dan mencegah anemia bagi sang
bayi, dan manfaat susu bagi kesehatan yaitu membentuk tulang dan gigi bayi.
Sehingga diduga untuk bayi yang berat badannya kurang dari berat ideal
bayi baru dilahirkan karena efek dari sang ibu yang kurang mengkonsumi sayur,
telur, protein, dan susu. Jadi untuk menghindari bayi lahir dengan berat badan
kurang ideal yaitu dengan mengkonsumsi makanan 4 sehat 5 sempurna secara
rutin.
3.2 PENGKAJIAN
1. Nama perawat
Tgl pengkajian
Jam pengkajian
2. Identitas pasien
Nama pasien
Usia
Agama
Jenis kelamin
Pekerjaan
Alamat
Suku
Bangsa
Tgl masuk RS
Jam masuk RS
No rekam medis

: Bhisma Prihaswara
: 12 September 2014
: 09.00 WIB
: Ny. B
: 28 Tahun
: Islam
: Perempuan
: Petani
: Jl.Cemara 12, Sumenep
: Madura
: Indonesia
: 12 September 2014
: 07.00 WIB
: 12324501

3. Penanggung jawab
Nama
Usia
Agama
Jenis kelamin
Pekerjaan
Status pernikahan
Hubungan dengan klien
Alamat

: Tn. B
: 30 Tahun
: Islam
: Laki-laki
: Nelayan
: Menikah
: Suami
: Jl.Cemara 12, Sumenep
13

Suku
Bangsa

: Madura
: Indonesia

4. Data Biokultural
Beberapa komponen yang spesifik pada pengkajian transkultural:
a. Faktor teknologi
Faktor ini menguraikan alasan klien memilih dukun beranak sebagai
tempat rujukan untuk bersalin. Ini dikarenakan tradisi keluarga klien yang lebih
percaya kepada dukun beranak ketimbang tenaga kesehatan professional.
b. Faktor agama dan falsafah hidup
Pasien beragama islam, dan memeluk erat agama islam. Ini terbukti dari
mereka lebih memilih ke dukun yang berjenis kelamin perempuan. Dalam agama
islam melarang seseorang yang bukan mahramnya untuk berdekatan atau
bersinggungan.
c. Faktor sosial dan keterikatan keluarga
Klien sangat dekat dengan keluarga nya hubungan nya harmonis, di
tinjau dari suaminya yang mengantarkannya ke dukun beranak dan ke rumah
sakit. Menunjukkan bahwa pasien juga dekat dengan keluarganya. Dan sangat
patuh terhadap tradisi keluarga terbukti mereka mengutamakan bersalin ke
dukun beranak.

d. Nilai budaya dan gaya hidup


e. Gaya hidup dalam klien ini membutuhkan pembenaran dan pendekatan
perawat dalam pemilihan bantuan proses persalinan dan kebiasaan dari
klien yang lebih banyak mengonsumsi nasi dan sedikit mengonsumsi
sayuran, serta sangat jarang mengonsumsi telur dan susu, konsumsi
daging pun sangat kurang, dan hanya mengkonsumsi ikan, itu pun
jumlahnya sangat tidak mencukupi.
f.

Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku

14

Dari hasil analisa kasus, klien sangat mengandalkan dukun beranak


desa tempat tinggalnya. Klien juga memerlukan pembenaran tentang kebiasaan
makan yang tidak bergizi dari perawat, agar klien mengikuti peraturan yang
berlaku di rumah sakit dengan mengganti konsumsi nasi dan sedikit
mengonsumsi sayuran, serta sangat jarang mengonsumsi telur dan susu,
konsumsi daging pun sangat kurang, dan hanya mengkonsumsi ikan menjadi
makanan berprotein tinggi.
g. Faktor ekonomi
Hasil analisa kasus didapatkan bahwa klien merupakan seorang yang
kurang

berkecukupan dalam keluarganya. Ditinjau dari sudut pekerjaan nya,

yaitu petani dan suaminya seorang nelayan. Serta ditinjau dari kendaraan becak
yang di pakainya menuju dukun beranak dan rumah sakit .
h. Faktor pendidikan
Di tinjau dari kasus, klien merupakan orang yang berpendidikan rendah.
Karena dilihat dari segi pekerjaannya dia seorang buruh tani, dan suaminya yang
merupakan seorang nelayan. Hanya saja klien beserta keluarganya kurang
mengetahui bahwa makan cabai setelah melahirkan itu dianggap kurang baik.

15

BAB 4
PEMBAHASAN

4.1 Intervensi
Dalam kasus ini, perawat menggunakan pendekatan negosiasi. Intervensi
yang bisa dilakukan berupa :
4.1.1

Memberikan pemahaman terhadap klien melalui pengetahuan kesehatan


tentang budaya masyarakat madura yang lebih mempercayai pengobatan

4.1.2

alternatif daripada pengobatan secara medis.


Memberikan solusi bahwa ketika hamil mengkonsumsi makanan 4 sehat
5 sempurna secara rutin dan proses melahirkan di bantu oleh tenaga

4.1.3

kesehatan professional.
Melakukan penyuluhan tentang pengobatan secara medis yang dilakukan
sebagai penanganan pertama sebelum melakukan pengobatan alternatif.
Negosiasi dengan pendekatan problem solving ini diharapkan dapat

meluruskan persepsi klien. Maka perawat harus mampu mengubah budaya klien.
Hanya saja dalam pelaksanaan tindakannya tidak dapat langsung menyalahkan
tetapi dengan dukungan, dengan pemberian informasi yang kuat dan dengan
penuh kesabaran memberikan informasi tentang bahayanya bagi kesehatan si
bayi.
Pada bab ini membahas tentang asuhan keperawatan pada Ny. B.
Adapun ruang lingkup dari pembahasan ini adalah sesuai dengan proses
keperawatan yaitu mulai dari pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan
(intervensi), pelaksanaan (implementasi) dan evaluasi.
4.2 Pengkajian
Proses pengkajian yang dilakukan pada Ny. B dilakukan dengan
wawancara, observasi, dan pemeriksaan fisik langsung ke Ny. B, selain itu
penulis mendapatkan keterangan dari keluarga Ny. B, diskusi dengan perawat
ruangan dan dari catatan medis keperawatan Ny. B . Pelaksanaan pengkajian
mengacu pada teori, akan tetapi disesuaikan dengan kondisi Ny. B saat dikaji.

16

Pada saat dilakukan pengkajian, Ny. B

dan suami cukup terbuka dan

sudah terjalin hubungan saling percaya antara pengkaji dengan Ny. B

dan

suami, sehingga memudahkan dalam pelaksanaan asuhan keperawatan. Hal ini


dibuktikan dengan Ny. B dan keluarga klien mau menjawab pertanyaan dan
menerima saran yang diberikan oleh pengkaji. Dari data yang terkumpul
kemudian dilakukan analisis dan identifikasi masalah yang dihadapi oleh klien
yang merupakan data fokus dan selanjutnya dirumuskan diagnosa atau masalah
keperawatan. Kondisi klinis yang ditunjukkan oleh klien pada kasus Ny. B saat
dikaji sesuai dengan teori yang ada yaitu permasalah utama klien pada budaya
keluarga klien, yang memiliki kebiasaan apabila salah satu dari keluarga yang
akan melahirkan dibawa ke dukun dan mempercayai tenaga kesehatan
profosional..
Proses pengkajian dalam kasus di atas sesuai dengan teori Sunrise Model
yaitu dikaji berdasarkan 7 komponen Sunrise Model yaitu Faktor teknologi
(technological factors), Faktor agama dan falsafah hidup (religious and
philosophical factors), Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social
factors), Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (cultural value and life ways), Faktor
kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors, Faktor ekonomi
(economical factors), dan Faktor pendidikan (educational factors). Proses
pengkajian juga disesuaikan dengan kondisi klien.
4.3 Pelaksanaan (Implementasi)
Setelah rencana keperawatan dibuat, kemudian dilanjutkan dengan
pelaksanaan. Pelaksanaan rencana asuhan keperawatan merupakan kegiatan
atau tindakan yang diberikan Ny. B

dengan menerapkan pengetahuan dan

kemampuan klinik yang dimiliki oleh klien berdasarkan ilmu-ilmu keperawatan


dan ilmu-ilmu lainnya yang terkait. Seluruh perencanaan tindakan yang telah
dibuat dapat terlaksana dengan baik.
Pada kasus diatas semua intervensi kami implementasikan, kemudian
tujuan pada intervensi sudah tertasi sehingga pada evaluasi intervensi dihentikan
atau dipertahankan.

4.4 Evaluasi

17

Evaluasi adalah tahap akhir dalam proses keperawatan. Tahap evaluasi


dalam proses keperawatan menyangkut pengumpulan data subjektif dan data
objektif.
Tujuan tahap evaluasi adalah untuk memberikan umpan balik rencana
keperawatan,

menilai,

meningkatkan

mutu asuhan

keperawatan

melalui

perbandingan asuhan keperawatan yang diberikan serta hasilnya dengan


standar yang telah ditetapkan lebih dulu.
Keberhasilan mengubah budaya yang sesuai dengan kesehatan. Ditandai
dengan pemahaman klien dan keluarga mengenai pentingnya suatu pelayanan
kesehatan.

18

BAB 5
PENUTUP
5.1 KESIMPULAN
Keperawatan Transkultural adalah suatu area/wilayah keilmuan budaya
pada proses belajar dan praktek keperawatan yang focus memandang
perbedaan dan kesamaan diantara budaya dengan menghargai asuhan, sehat
dan sakit didasarkan pada nilai budaya manusia, kepercayaan dan tindakan, dan
ilmu ini digunakan untuk memberikan asuhan keperawatan khususnya budaya
atau keutuhan budaya kepada manusia (Leininger, 2002).
Pengkajian dirancang berdasarkan 7 komponen yang ada pada
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)

Sunrise Model yaitu :


Faktor teknologi (technological factors)
Faktor agama dan falsafah hidup (religious and philosophical factors)
Faktor sosial dan keterikatan keluarga (kinship and social factors)
Nilai-nilai budaya dan gaya hidup (culture value and life ways)
Faktor kebijakan dan peraturan yang berlaku (political and legal factors)
Faktor ekonomi (economical factors)
Faktor pendidikan (educational factors)

5.2 SARAN
5.2.1

Masyarakat

suku

Madura

masih

berpegang

teguh

pada

tradisi

mengkonsumsi makanan yang kurang bergizi dan mempercayakan


5.2.2

proses persalinan pada dukun beranak


Strategi intervensi yang bisa dilakukan perawat adalah melakukan
negosiasi

budaya

yaitu

secara

bertahap

menawarkan

substitusi/perubahan pola hidup penggunaan/mengkonsumsi makanan 4


sehat 5 sempurna.

19

DAFTAR PUSTAKA
Dochter, Joanne Mecloskey, Phd dkk. 2004. Nursing Intervention Classification.
Jakarta : Mosby Elevier
Doengoes, Marilyann E Dkk. 1993 Rencana Asuhan Keperawatan. Pedoman
Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan. Jakarta :
EGC
dr. Suririna.2008.Buku Pintar Kehamilan dan Persalinan.Jakarta:Gramedia
Pustaka Utama.
Astawan, Made.2008.Khasiat Warna-warni Makanan.Jakarta:Gramedia Pustaka
Utama.
http://MADURA/DENGAN/MASALAH/KESEHATAN_IPUTUJUNIARTHASEMARA
PUTRA.htm (diakses pada tanggal 15 November 2014. Pukul 09.00
WIB)
http://www.maduratea.com.au/ (diakses pada tanggal 15 November 2014. Pukul
11.00 WIB)
http://kebudayaanindonesia.net/kebudayaan/1260/suku-madura

(diakses pada

tanggal 15 November 2014. Pukul 14.00 WIB)


http://PerilakuKomunikasiAntarBudayaSukuMadura.htm

(diakses pada tanggal

16 November 2014. Pukul 7.00 WIB)

20

Anda mungkin juga menyukai