Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

PSIKOLOGI & BUDAYA KEPERAWATAN

Disusun Oleh :

Kelas B

Kelompok 5

1. Nurma Yunita (200101036)

2. Putri Rahma Amalia (200101038)

3. Nurpita Sari (200101047)

4. Putri Eka Juliyanti (200101061)

Dosen Pembimbing :

Zenni Puspitarini, S.Kep.,Ners.,M.Kep

FAKULTAS KESEHATAN

PROGAM STUDI S1 KEPERAWATAN

UNIVERSITAS AISYAH PRINGSEWU LAMPUNG


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini tepat pada
waktunya.

Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas pada
mata kuliah Psikologi dan Budaya Keperawatan. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang Kebudayaan yang Berkaitan dengan
Kesehatan di Pulau Bali bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu dosen Zenni Puspitarini,


S.Kep.,Ners.,M.Kep selaku dosen mata kuliah Psikologi dan Budaya Keperawatan
yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan
wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini.

Pringsewu, 11 Oktober 2021

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................. 2

DAFTAR ISI ............................................................................................................ 3

BAB I ....................................................................................................................... 4

PENDAHULUAN .................................................................................................... 4

1.1 Latar Belakang Masalah.............................................................................. 4

1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 5

1.3 Tujuan Masalah .......................................................................................... 5

BAB II ...................................................................................................................... 6

PEMBAHASAN ....................................................................................................... 6

2.1 Kebudayaan yang Berkaitan dengan Kesehatan di Pulau Bali ..................... 6

2.1.1 Konsep Kebudayaan Bali ..................................................................... 6

2.1.2 Tinjauan Keperawatan ....................................................................... 10

2.2 Pengaruh Budaya Pada Kehidupan Masyarakat Yang Berkaitan Dengan


Kesehatan di Pulau Bali ....................................................................................... 12

2.3 Faktor Budaya Yang Mempengaruhi Pasien di Pulau Bali ......................... 17

BAB III................................................................................................................... 20

KESIMPULAN ...................................................................................................... 20

3.1 Kesimpulan............................................................................................... 20

3.2 Saran ........................................................................................................ 20

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 21


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Pada awal sejarahnya, keperawatan dikenal sebagai bentuk pelayanan
komunitas dan pembentukannya berkaitan erat dengan dorongan alami untuk
melayani dan melindungi keluarga (Donahue,1995). Keperawatan merupakan
suatu disiplin ilmu yang pengetahuannya bersumber dari ilmu fisika, ilmu
manusia, ilmu social dan kompetensi klinis yang digunakan untuk memenuhi
kebutuhan individual klien. Keperawatan sebagai profesi memiliki landasan
body of knowledge yang kuat, yang dapat dikembangkan serta dapat
diaplikasikan dalam praktek keperawatan. Perkembangan teori keperawatan
tebagi menjadi 4 level perkembangan yaitu metha theory, grand theory, midle
range theory dan practice theory.

Salah satu teori yang diungkapkan pada midle range theory adalah
Transcultural Nursing Theory. Teori ini berasal dari disiplin ilmu antropologi
dan dikembangkan dalam konteks keperawatan. Teori ini menjabarkan konsep
keperawatan yang didasari oleh pemahaman tentang adanya perbedaan nilai-
nilai kultural yang melekat dalam masyarakat. Leininger beranggapan bahwa
sangatlah penting memperhatikan keanekaragaman budaya dan nilai-nilai
dalam penerapan asuhan keperawatan kepada klien. Bila hal tersebut
diabaikan oleh perawat, akan mengakibatkan terjadinya cultural shock.

Budaya adalah keyakinan dan perilaku yang diturunkan atau diajarkan


manusia kepada generasi berikutnya (Taylor, 1989). Kebudayaan adalah
keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakan dengan
belajar, beserta keseluruhan hasil budi dan karyanya (Kuntjaraningrat, 1928
dalam Napitupulu, 1988). Sehingga dari budaya tersebut jika dilanggar
dipercaya dapat memberikan mala petaka bagi orang yang melanggar aturan
dan nilai-nilai budaya. Terdapat lebih dari 300 kelompok etnik atau suku
bangsa di Indonesia lebih tepatnya 1.340 suku bangsa menurut sensus BPS
tahun 2010 yang masih sangat kental unsur budayanya. Setiap daerah memilki
ciri khas budayanya masing-masing. Begitu juga pada daerah Bali, Bali
memiliki kebiasaan, budaya dan ciri khasnya sendiri. Masyarakat Bali hingga
kini masih mempertahankan nilai-nilai dan kepercayaan yang diturunkan oleh
nenek moyang mereka.
Dalam bidang kesehatan masyarakat Bali mengenal bidang
penyembuhan sebagai Usadha Bali, dimana Balian sebagai dokternya. Usadha
disini merupakan semua tata cara untuk penyembuhan penyakit, cara
pengobatan, pencegahan, memeperkirakan jenis penyakit dan diagnosa,
perjalanan penyakit dan pemulihannya. Balian usadha adalah seseorang yang
sadar belajar tentang ilmu pengobatan, baik melalui guru waktra, belajar pada
balian, maupun belajar sendiri melalui lontar usadha. Balian ini tidak terbatas
pada pengobatan dengan ramuan obat, tetapi termasuk balian lung (patah
tulang), uut, manak (melahirkan) dan sebagainya. Seperti halnya sorang
dokter dalam dunia medis, saat tamat pendidikan dokter harus disumpah.
Balian pun sama setelah mempelajari harus melakukan upacara aguru waktra.
Sehingga jika balian melanggar dipercaya akan menerima hukuman secata
niskala dan hidupnya akan sengsara sampai keturunannya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah Kebudayaan yang berkaitan dengan kesehatan di Pulau
Bali?

2. Bagaimanakah pengaruh budaya pada kehidupan masyarakat yang


berkaitan dengan kesehatan di Pulau Bali?

3. Apa saja faktor budaya yang mempengaruhi pasien di Pulau Bali?

1.3 Tujuan Masalah


1. Untuk mengetahui bagaimanakah Kebudayaan yang berkaitan dengan
kesehatan di Pulau Bali

2. Untuk mengetahui bagaimanakah pengaruh budaya pada kehidupan


masyarakat yang berkaitan dengan kesehatan di Pulau Bali

3. Untuk mengetahui apa saja faktor budaya yang mempengaruhi pasien di


Pulau Bali.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kebudayaan yang Berkaitan dengan Kesehatan di Pulau Bali

2.1.1 Konsep Kebudayaan Bali


Bali berasal dari kata “Bal” dalam bahasa Sansekerta berarti
"Kekuatan", dan "Bali" berarti "Pengorbanan" yang berarti supaya kita tidak
melupakan kekuatan kita. Supaya kita selalu siap untuk berkorban. Suku Bali
adalah suku bangsa yang mendiami pulau Bali, menggunakan bahasa Bali dan
mengikuti budaya Bali. Bali mempunyai 2 pahlawan nasional yang sangat
berperan dalam mempertahankan daerahnya yaitu I Gusti Ngurah Rai dan I
Gusti Ketut Jelantik. Suku Bali dibagi menjadi 2 yaitu: Bali Aga (penduduk
asli Bali biasa tinggal di daerah turunannya), dan Bali Mojopahit (Bali Hindu
/ keturunan Bali Mojopahit).

1. Kebudayaan Bali

a) Bahasa

Bali sebagian besar menggunakan bahasa Bali dan bahasa Indonesia.


Sebagian besar masyarakat Bali adalah bilingual atau bahkan trilingual.
Bahasa Inggris adalah bahasa ketiga dan bahasa asing utama bagi masyarakat
Bali yang dipengaruhi oleh kebutuhan industri pariwisata. Bahasa Bali di bagi
menjadi 2 yaitu, bahasa Aga dan bahasa Bali Mojopahit. Bahasa Aga yaitu
bahasa Bali yang pengucapannya lebih kasar, dan bahasa Bali Mojopahit yaitu
bahasa yang pengucapannya lebih halus.

b) Bentuk desa

Banjar atau bisa disebut sebagai desa adalah suatu bentuk kesatuan-
kesatuan sosial yang didasarkan atas kesatuan wilayah. Kesatuan sosial
tersebut diperkuat oleh kesatuan adat dan upacara keagamaan. Banjar
dikepalahi oleh klian banjar yang bertugas sebagai menyangkut segala urusan
dalam lapangan kehidupan sosial dan keagamaan, tetapi sering kali juga harus
memecahkan persoalan yang mencakup hukum adat tanah, dan hal-hal yang
sifatnya administrasi pemerintahan.

c) Teknologi
Masyarakat Bali telah mengenal dan berkembang system pengairan
yaitu system subak yang mengatur pengairan dan penanaman di sawah-sawah.
Dan mereka juga sudah mengenal arsitektur yang mengatur tata letak ruangan
dan bangunan yang menyerupai bangunan Feng Shui. Arsitektur merupakan
ungkapan perlambang komunikatif dan edukatif.

d) Organisasi sosial

 Perkawinan

Penarikan garis keturunan dalam masyarakat Bali adalah mengarah


pada patrilineal. System kasta sangat mempengaruhi proses
berlangsungnya suatu perkawinan, karena seorang wanita yang
kastanya lebih tinggi kawin dengan pria yang kastanya lebih rendah
tidak dibenarkan karena terjadi suatu penyimpangan, yaitu akan
membuat malu keluarga dan menjatuhkan gengsi seluruh kasta dari
anak wanita. Di beberapa daerah Bali (tidak semua daerah), berlaku
pula adat penyerahan mas kawin, tetapi sekarang ini terutama diantara
keluarga orang-orang terpelajar, sudah menghilang.

 Kekerabatan

Adat menetap di Bali sesudah menikah mempengaruhi pergaulan


kekerabatan dalam suatu masyarakat. Ada macam – macam adat
menetap yang sering berlaku di Bali yaitu adat virilokal adalah adat
yang membenarkan pengantin baru menetap disekitar pusat kediaman
kaum kerabat suami, dan adat neolokal adalah adat yang menentukan
pengantin baru tinggal sendiri ditempat kediaman yang baru. Di Bali
ada 3 kelompok klen utama (triwangsa) yaitu: Brahmana sebagai
pemimpin upacara, Ksatria yaitu: kelompok-klompok khusus seperti
arya Kepakisan dan Jaba yaitu sebagai pemimpin keagamaan.

 Kemasyarakatan

Desa, suatu kesatuan hidup komunitas masyarakat bali mencakup pada


2 pengertian yaitu: desa adat dan desa dinas (administratif). Keduanya
merupakan suatu kesatuan wilayah dalam hubungannya dengan
keagamaan atau pun adat istiadat, sedangkan desa dinas adalah
kesatuan admistratif. Kegiatan desa adat terpusat pada bidang upacara
adat dan keagamaan, sedangkan desa dinas terpusat pada bidang
administrasi, pemerintahan dan pembangunan.
e) Agama

Sebagaian besar orang Bali menganut agama Hindu – Bali. sekitar


90%, dari jumlah penduduk Bali, sedangkan sisanya 10% adalah penganut
agama Islam, Kristen, Katholik, Budha, dan Kong Hu Cu. Tujuan hidup
ajaran Hindu adalah untuk mencapai keseimbangan dan kedamaian hidup
lahir dan batin. Orang Hindu percaya adanya 1 Tuhan dalam bentuk
konsep Trimurti, yaitu wujud Brahmana (sang pencipta), wujud Wisnu
(sang pelindung dan pemelihara), serta wujud Siwa (sang perusak).
Tempat beribadah dibali disebut pura. Tempat-tempat pemujaan leluhur
disebut sangga. Kitab suci agama Hindu adalah weda yang berasal dari
India. Orang yang meninggal dunia pada orang Hindu diadakan upacara
Ngaben yang dianggap sanggat penting untuk membebaskan arwah orang
yang telah meninggal dunia dari ikatan-ikatan duniawinya menuju surga.
Ngaben itu sendiri adalah upacara pembakaran mayat. Hari raya umat
agama hindu adalah Nyepi yang pelaksanaannya pada perayaan tahun baru
saka pada tanggal 1 dari bulan 10 (kedasa), selain itu ada juga hari raya
galungan, kuningan, saras wati, tumpek landep, tumpek uduh, dan siwa
ratri.

Pedoman dalam ajaran agama Hindu yakni :tattwa (filsafat agama),


Etika (susila), Upacara (yadnya). Dibali ada 5 macam upacara (panca
yadnya), yaitu Manusia Yadnya yaitu upacara masa kehamilan sampai
masa dewasa. Pitra Yadnya yaitu upacara yang ditujukan kepada roh-roh
leluhur. Dewa Yadnya yaitu upacara yang diadakan di pura / kuil
keluarga. Rsi yadnya yaitu upacara dalam rangka pelantikan seorang
pendeta. Bhuta yadnya yaitu upacara untuk roh-roh halus disekitar
manusia yang mengganggu manusia.

f) Kesenian

Kebudayaan kesenian di bali di golongkan 3 golongan utama yaitu


seni rupa misalnya seni lukis, seni patung, seni arsistektur, seni
pertunjukan misalnya seni tari, seni sastra, seni drama, seni musik.

g) Nilai-nilai budaya Bali

1. Tata krama: kebiasaan sopan santun yang disepakati dalam lingkungan


pergaulan antar manusia didalam kelompoknya.

2. Nguopin: gotong-royong.
3. Ngayah atau ngayang: kerja bakti untuk keperluan agama

4. Sopan santun: adat hubungan dalam sopan pergaulan terhadap orang-


orang yang berbeda suku atau ras.

2. Mata Pencaharian

Pada umumnya masyarakat bali bermata pencaharian mayoritas


bercocok tanam, peternakan, perikanan, dan kerajinan.

a) Berocok tanam

Mata pencarian pokok dari orang Bali adalah bercocok tanam. Dapat
dikatakan 70% dari mereka berpenghidupan bercocok tanam, dan 30%
hidup di perternakan, berdagang, menjadi buru, pegawai, atau lainnya. Di
Bali utara manyoritas perkebunan buah-buahan seperti jeruk, salak,
palawija, kopi dan kelapa. Sedangkan di daerah Bali selatan yang
merupakan daerah dataran yang lebih luas, pada umumnya daerah hujan
yang cukup baik penduduk mengusahakan bercocok tanam di sawah.

b) Peternakan

Selain bercocok tanam, peterakan juga merupakan usaha yang penting


dalam masyrakat perdesaan Bali. Binatang piaraan yang terutama adalah
babi dan sapi. Babi di pelihara terutama oleh para wanita biasanya sebagai
sambilan dalam kehidupan rumah tanggah, sedangkan sapi digunakan
sebagai hubungan dengan pertanian, sebagai tenaga bantu disawah atau
diladang dan sebagai peliharaan untuk dagingnya.

c) Perikanan

Suatu mata pencarian lain adalah perikanan, baik perikanan darat


maupun perikanan laut. Perikanan darat boleh dikatakan umunya
merupakan mata pencarian sambilan dari penanaman padi disawah,
terutama di daerah-daerah dengan cukup air, artinya airnya sepanjang
masa itu ada. Jenis ikan yang di pelihara adalah ikan mas, karper dan
mujair.

d) Kerajinan
Di Bali terdapat pula cukup banyak industri dan kerajinan rumah
tanggah usaha perseorangan, atau usaha setengah besar, yang meliputi
meliputi kerajinan pembuatan benda anyaman, patung, kain, ukir-ukiran,
percetakaan, pabrik kopi, pabrik rokok, dll. Usaha dalam bidang ini tentu
memberikan lapangan kerja yang agak luas kepada penduduk.

Oleh karenanya Bali sangat menarik dalam bidang pemandangannya,


aktivitas-aktivitas adat istiadatnya, upacara dan kesenian, maka banyaklah
wisatawan baik dari dalam negri atau luar negri mengunjungi Bali. Untuk
menjaga kepariwisataan, maka timbullah perusahaan-perusahaan seperti
perhotelan, taxi, travel, toko kesenian dan sebagainya, terutama di daerah-
daerah Denpasar, Gianyar, Bangli dan Tabanan. Kepariwisataan tela
merangsang adanya perkembangan kreasi-kreasi kesenian baik seni tabuh,
seni tari, maupun seni rupa.

2.1.2 Tinjauan Keperawatan


Unsur kebudayaan yang lebih mudah dikenal dipahami dan diyakini
oleh masyarakat dalam pengobatan tradisional Bali adalah ucapan dukun
(balian), yang berhubungan dengan diagnosis, prognosis, terapi tentang
tanaman obat yang bernilai sosioreligiusmagis, maupun bernilai obat. Hal ini
salah satu persoalan penting dalam era global yang bukan hanya sebagai
masalah identitas,sosioekonomi, pemertahanan budaya, eksistensi dari etnik
itu sendiri, tetapi juga merupakan benteng pemertahanan budaya bangsa, yang
secara spesifik memiliki nilai religi. Implementasi pengobatan tradisional
sebagai subbudaya sastra lisan merupakan salah satu identitas etnik
masyarakat Bali. Interaksi individu dalam pengobatan tradisional antara
dukun-pasien atau keluarganya saat ini telah digeser oleh interaksi individu
(dokter, perawat, bidan) pasien dan keluarganya dalam pengobatan modern
yang cenderung melakukan komunikasi terbatas karena obat dibeli di apotek.
Berbeda dengan pengobatan tradisional, yang bahannya harus dicari dari
alam, sehingga memerlukan komunikasi yang intensif.

Dalam kitab suci Veda Smerti agama Hindu, Ayurweda yang banyak
dikutip oleh para balian (dukun) di Bali disebutkan bahwa wyadhi (penyakit)
menurut penyebabnya dibagi atas:

a) Adyatmika (dalam diri)

Penyakit yang penyebabnya berasal dari diri sendiri, yang dibagi menjadi:
a) adibala prawrta (penyakit keturunan) seperti kencing manis, buta
warna

b) Janmabala prawrta (penyakit yang diperoleh ketika dalam kandungan),


seperti kurang gizi, sehingga tubuh tidak normal

c) doshabala prawrta, penyakit akibat gangguan ketidakseimbangan


unsur, angin, api, dan air didalam tubuh. Akibatnya organ tubuh
mengalami kelainan, sehingga fungsinya tidak optimal
yangmenyebabkan tubuh menjadi filek, batuk, alergi demam.

b) Adhidaiwika (pengaruh lingkungan)

Penyakit akibat pengaruh lingkungan di luar tubuh, yang dibagi menjadi:

a) kalabala prawrta (penyakit akibat pengaruh musim, seperti pilek,


demam

b) daiwabala prawrta (penyakit akibat gangguan supranatural

c) swabawa bala prawrta (penyakit akibat gangguan yang nampak


seperti, benjol akibat lemparan batu.

c) Adhibautika (benda tajam)

Penyakit yang diakibatkan oleh benda tajam seperti goresan pisau atau
gigitan binatang (Nala,2006: 93-94)

Di Bali, obat dibagi menurut khasiatnya menjadi tiga macam, yakni


obat anget (hangat), tis (dingin), dan dumalada (sedang, netral). Tanaman
obat berkhasiat hangat seperti kulit pohonbelimbing, daun pare. Tanaman
obat berkhasiat dingin seperti akar dan daun kayu manis. Dan
tanamanyang berkhasiat sedang, netral seperti akar delima, akar kenanga,
getah kenari daun sembung (Nala,2006 : 94).

Secara umum penyakit ada tiga jenis, yakni penyakit panes (panas),
nyem (dingin), dan sebaa (panas-dingin). Demikian pula tentang obatnya.
Ada obat yang berkasihat anget (hangat), tis (sejuk), dan dumelada
(sedang). Untuk melaksanakan semua aktifitas ini adalah Brahma, Wisnu,
dan Iswara. Disebut juga dengan Sang Hyang Tri Purusa atau Tri Murti
atau Tri Sakti wujud Beliau adalah api, airdan udara. Penyakit panes dan
obat yang berkasihat anget, menjadi wewenang Bhatara Brahma. Bhatara
Wisnu bertugas untuk mengadakan penyakit nyem dan obat yang
berkasihat tis. Bhatara Iswara mengadakan penyaki sebaa dan obat yang
berkasihat dumelada.

Penyakit seperti kita ketahui, tidaklah hanya merupakan gejala biologi


saja,tetapi memiliki dimensi yang lain yakni sosial budaya.
Menyembuhkan suatu penyakit tidaklah cukup hanya ditangani masalah
biologinya saja, tetapi harus digarap masalah sosial budayanya.
Masyarakat pada umumnya mencari pertolongan pengobatan bukanlah
karena penyakit yang patogen, tetapi kebanyakan akibat adanya kelainan
fungsi dari tubuhnya. Masyarakat di Bali masih percaya bahwa
pengobatan dengan usada banyak maanfaatnya untuk menyembuhkan
orang sakit. Walaupun telah banyak ada Puskesmas tersebar merata di
setiap kecamatan,tetap berobat ke pengobat tradisional Bali (balian) masih
merupakan pilihan yang tidak dapat dikesampingkan begitu saja baik bagi
orang desa maupun orang kota.

2.2 Pengaruh Budaya Pada Kehidupan Masyarakat Yang Berkaitan Dengan


Kesehatan di Pulau Bali
Kandungan gizi dan keamanan pangan makanan tradisional “lawar”
Bali. Lawar adalah sejenis lauk pauk yang dibuat dari campuran daging atau
ikan dengan sayur mayur dan bambu (Panji, 1985). Lawar ini sudah dikenal
sejak lama oleh masyarakat Hindu di Bali, karena disamping sebagai lauk
pauk, lawar menjadi salah satu sarana dalam melaksanakan upacara adat
maupun keagamaan di Bali seperti upacara pernikahan, kematian dan upacara
ditempat-tempat suci (Pura).

1. Aspek sosial budaya

Bagi masyarakat Hindu di Bali makan lawar tidak hanya berfungsi


gastronomic yaitu lawar sebagai makanan tidak hanya untuk
menghilangkan rasa lapar atau untuk memenuhi kebutuhan perut besar
(gaster) yang kosong, tetapi juga berfungsi social antara lain berfungsi
sebagai alat komunikasi, berfungsi relegius dan menunjukkan identitas
budaya.

Fungsi sebagai alat komunikasi, lawar bersama dengan jenis makanan


lainnya seperti nasi diberikan kepada orang lain dan tidak terbatas pada
hanya keluarga dekat, tetapi kepada semua orang yang dianggap telah
memberikan bantuan baik moril maupun material pada saat dilaksanakan
suatu upacara tertentu. Lawar yang diberikan kepada orang lain tersebut
dikenal dengan nama jotan sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantunya. Disamping itu jotan juga berfungsi
sebagai tanda atau permakluman kepada orang lain bahwa orang yang
mengirim lawar tersebut sedang atau akan melaksanakan upacara tertentu
misal upacara pernikahan ada dikenal nasi rongan (beberapa unsurnya
adalah lawar, sate dan nasi). Nasi rongan ini biasanya diberikan oleh pihak
keluarga mempelai laki-laki kepada keluarga mempelai perempuan,
kemudian nasi rongan tersebut oleh keluarga pihak mempelai perempuan
dibagi-bagi tanpa memperhatikan jumlah besar pembagiannya. Tiap
bagian nasi rongan tersebut selanjutnya diberikan kepada seluruh keluarga
mempelai perempuan yang maknanya adalah sebagai pemberitahuan
bahwa akan dilaksanakan upacara mepamit di keluarga perempuan.

Fungsi religius dari lawar sangat menonjol di daerah Bali yaitu lawar
digunakan sebagai salah satu sarana dalam membuat sesaji. Sesaji itu
sendiri adalah simbol untuk menyatakan rasa syukur, bhakti serta terima
kasih kehadapan Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
kehidupan di dunia ini. Dalam kaitan dengan fungsi inilah lawar tidak
pernah absen dalam suatu upacara baik adat maupun keagamaan
khususnya agama Hindu di Bali.

Dari jenis makanan yang dikonsumsi seseorang atau sekelompok


orang, orang lain dapat mengetahui dari budaya mana orang tersebut
berasal. Masyarakat Hindu di Bali sejak dulu sampai sekarang tetap
membuat lawar dan menyukai lawar. Oleh karena itu lawar dapat dipakai
sebagai identitas budaya bagi masyarakat Hindu di Bali.

2. Aspek nutrisi dan khasiat

a) Kandungan zat gizi lawar

Bahan penyusun lawar seperti daging, sayur, kelapa dan darah


mempunyai potensi sebagai zat gizi. Daging merupakan sumber
protein hewani yang penting, sedangkan sayuran yang dipakai seperti
kacang panjang (Vigna sinensis, L.), merupakan sumber protein
nabati, vitamin dan mineral, pepaya (Carica pepaya, L ) dan buah
nangka (Artocarpus integra, L) merupakan sumber vitamin dan
mineral. Menyimak hasil analisis terhadap lawar yang dijual di Kodya
Denpasar dari 18 pedagang lawar sapi yang dilaporkan oleh Yusa
(1996) diketahui bahwa lawar sapi (lawar putih dan lawar merah)
mengandung protein berkisar antara 8,48 – 11,14 %, lemak 17,98 –
18,54 % dan karbohidrat 3,94 – 6,61 % dengan kandungan air lawar
yang cukup tinggi yaitu sekitar 65,21 – 65,63 %. Disamping
mengandung zat gizi utama seperti tersebut di atas lawar juga
mengandung vitamin B1, vitamin B2, vitamin C dan mineral kalsium
(Ca), besi (Fe) dan fosfor (P).

Mengenai pengaruh jenis sayuran (buah nangka, kacang


panjang dan campuran buah nangka dan kacang panjang) sebagai
bahan baku lawar terhadap kandungan zat gizi lawar babi. Lawar yang
menggunakan sayur kacang panjang secara nyata kadar proteinnya
lebih tinggi bila dibandingkan dengan lawar yang menggunakan buah
nangka saja. Hal ini disebabkan karena kandungan protein dari kacang
panjang 2,7 % lebih tinggi daripada kandungan protein buah nangka
sebesar 2,0 %. Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas maka
penggunaan kacang panjang sebagai bahan lawar lebih baik
dibandingkan dengan nangka, bila dilihat dari kandungan proteinnya.

b) Khasiat lawar

Khasiat makanan secara umum dimaksudkan adalah


bagaimana hubungan atau pengaruh makanan terhadap kesehatan
manusia. Khasiat makanan terhadap kesehatan manusia disebabkan
karena kandungan senyawa-senyawa kimia yang ada dalam bahan
makanan atau senyawa kimia yang ada pada hasil olahannya.
Senyawa-senyawa kimia itu adalah zat gizi seperti karbohidrat, lemak,
protein, vitamin dan mineral dan senyawasenyawa non-gizi seperti
serat makanan, antioksidan, pigmen dan lain-lainnya.

Khasiat lawar bila dikaitkan dengan kandungan zat gizinya


terutama karbohidrat, protein dan lemak adalah memperlancar proses
fisiologis dalam tubuh karena zat gizi tersebut sebagai sumber energi.
Kandungan senyawa non-gizi pada lawar belum banyak diketahui.
Berdasarkan bahan baku dan khususnya bumbu yang digunakan pada
pembuatan lawar seperti bawang putih, bawang merah, cabai,
lengkuas, jahe, kunir, lada dan lain-lainnya mengandung senyawa-
senyawa non-gizi, seperti minyak atsiri, anti oksidan dan anti mikroba
yang berfungsi meningkatkan citarasa lawar, mencegah proses
oksidasi dan menghambat atau membunuh mikroba sehingga lawar
dalam jangka waktu tertentu aman untuk dikonsumsi. Secara spesifik
bagaimana khasiat lawar yang disebabkan oleh senyawa non-gizi
terhadap penyakit tertentu, misalnya penyakit degeneratif (penyakit
jantung koroner/PJK, diabetes militus, hipertensi dan kanker) belum
ada dilaporkan. Masalah ini perlu mendapat perhatian oleh para
peneliti pangan tradisional daerah Bali dalam rangka pengembangan
lawar menjadi pangan fungsional.

3. Aspek keamanan

Keamanan lawar terutama bila dilihat dari aspek mikrobiologisnya,


sangat tergantung pada sanitasi (kebersihan) dari bahan baku air yang
digunakan, peralatan, cara pengolahan, tempat dan lingkungan serta
higiene (kesehatan) daging yang digunakan dan kesehatan pengolah lawar
sendiri. Pengolahan lawar khususnya yang dilakukan secara kolektif oleh
masyarakat pada saat upacara adat kurang memperhatikan kebersihan dari
bahah-bahan dan peralatan yang digunakan. Berbeda dengan pengolahan
lawar yang dilakukan oleh perorangan di tingkat rumah tangga (keluarga).
Masalah kebersihan telah mendapat perhatian yang lebih baik sesuai
dengan pengetahuan yang dimilikinya yang berkaitan dengan kesehatan.

Sebagai gambaran tentang keamanan lawar yang dijual Di Kodya


Denpasar seperti dilaporkan oleh Yusa (1996) bahwa lawar putih (tanpa
penambahan darah segar) dengan menggunakan daging sapi dan
menggunakan air sumur, sebanyak 78 % contoh lawar (ada 9 contoh
lawar) kandungan total mikrobanya sebanyak 9,03 x 106 koloni/g yaitu
lebih tinggi dari kandungan total mikroba pangan segar sebanyak 106
koloni/g, sedangkan lawar merah mengandung rata-rata 8,89 x 106
koloni/g. Disamping itu baik lawar merah ataupun lawar putih ternyata
tercemar oleh bakteri Escherichia coli. Kondisi tersebut terjadi satu jam
setelah lawar dicampur atau diolah. Hal yang sama juga dilaporkan oleh
Suter, et al., (1997 a) bahwa dari enam contoh lawar babi yang dibeli di
kota Gianyar, Tabanan dan Denpasar, ternyata sebanyak 66,67 % dari
contoh lawar total mikrobanya melebihi 106 koloni/g dan 50 % dari
contoh lawar terkontaminasi E.coli dan tidak ada terkontaminasi oleh
Salmonella. Berdasarkan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Arihantana
(1993), ternyata E.coli yang ada pada lawar bersumber dari daging
mentah. Bahan lawar lainnya seperti kulit dan sayuran yang digunakan
ternyata mengandung E.coli, yang berasal dari talenan bekas mencincang
daging mentah.
Dari kasus-kasus atau laporan tersebut di atas diketahuilah bahwa
lawar merupakan jenis lauk pauk yang peka terhadap kerusakan oleh
mikroba yaitu dalam waktu satu jam setelah diolah bisa menjadi
rusak/busuk. Disamping itu dengan adanya E.coli pada lawar maka lawar
menjadi tidak aman untuk dikonsumsi karena E.coli tersebut dapat
menyebabkan gangguan kesehatan seperti diare.

Berdasarkan kenyataan tersebut di atas yaitu di satu sisi lawar telah


menjadi budaya dari masyarakat Bali yang sulit dihilangkan karena
disamping mengandung zat gizi yang cukup, lawar juga mempunyai
fungsi sosial dan menjadi sarana dalam upacaraupacara adat dan
keagamaan. Disisi lainnya lawar sangat peka terhadap kerusakan oleh
mikroba dan kadang-kadang berbahaya bagi kesehatan manusia yang
mengkonsumsinya, sekalipun sampai saat ini laporan orang yang
meninggal dunia akibat mengkonsumsi lawar tidak ada. Oleh karena itu
upaya peningkatan keamanan lawar perlu terus dilakukan agar lawar
menjadi makanan yang aman, bergizi dan disukai tidak hanya oleh
masyarakat Bali tetapi juga masyarakat Indonesia bahkan masyarakat
Internasional.

Upaya perbaikan mutu gizi dan keamanan lawar belum banyak


dilakukan namun perhatian untuk itu telah ada. Sebagai contoh seperti
dilaporkan oleh Sukardika dan Aryanta (1993) mutu lawar masih baik
dilihat dari aspek mikrobiologisnya dan dapat dipertahankan sampai 48
jam (2 hari) dengan cara menyimpan lawar pada suhu 5oC dengan
kandungan total mikroba 103,8 koloni/g, sedangkan lawar yang disimpan
pada suhu 30oC mengandung total mikroba sebanyak 109,7 koloni/g
(tidak layak dikonsumsi) setelah disimpan 48 jam. Keamanan lawar dapat
ditingkatkan melalui peningkatan kebersihan peralatan dan kebersihan
bahan baku yang digunakan terutama daging dan darah seperti yang
dilaporkan oleh Suter, et al., (1997).

Lawar yang dibuat baik dengan menambahkan darah segar maupun


tanpa penambahan darah segar dengan menggunakan daging mentah atau
daging direbus 15 menit atau daging yang diseduh dengan air mendidih
ternyata kandungan total mikrobanya lebih kecil dari 106 koloni/g yaitu
sekitar 2,33 x 104 koloni/g sampai 13,6 x 104 koloni/g. Disamping itu
ternyata dengan menyeduh daging babi dengan air mendidih dan tanpa
menggunakan darah segar kandungan E.coli dari lawar yang dihasilkan
lebih rendah (3,00 koloni/g) daripada kandungan E.coli lawar yang dibuat
dengan daging babi mentah dan ditambahkan dengan darah segar yaitu
sebesar 29,67 koloni/g. Selanjutnya menurut Lestari, et al., (1988) pada
lawar sapi yang diolah dengan cara darah diseduh dengan air pada suhu
100oC selama 5 menit, total mikroba lawar dapat diturunkan dari 3,4 x
106 koloni/g menjadi 2,1 x 106 koloni/g, demikian pula bila dagingnya
dipepes selama 10 menit (setengah matang) atau daging dikukus pada
suhu 100oC selama 3 menit secara nyata dapat menurunkan total mikroba
lawar. Penurunan total mikroba , total coliform serta total E.coli pada
lawar ayam dapat juga dilakukan dengan penambahan bawang putih baik
yang dibakar maupun tidak dibakar pada cincangan daging atau dengan
penyeduhan cincangan daging dengan air suhu 80oC selama 10 menit,
tanpa menurunkan kandungan zat gizi lawar ayam. Bawang putih dibakar
selama 5 menit pada suhu 70oC dan ditambahkan pada cincangan daging
ayam sebanyak 10 % (Putra, 1988).

Dari hasil-hasil penelitian tersebut di atas keamanan lawar dapat


ditingkatkan melalui penanganan lawar setelah diolah yaitu dengan cara
disimpan pada suhu 5oC, dan dengan perbaikan cara pengolahan antara
lain dengan menyeduh daging dengan air mendidih atau direbus dalam air
mendidh, dikukus, dipepes dan dengan penambahan bawang putih pada
cincangan daging. Dihindari penggunaan daging dan darah mentah, serta
peralatan yang digunakan dijaga tetap bersih.

2.3 Faktor Budaya Yang Mempengaruhi Pasien di Pulau Bali


1. Pengaruh tradisi

Tradisi adalah suatu wujud budaya yang abstrak dinyatakan dalam bentuk
kebiasaan, tata kelakuan dan istiadat. Ada beberapa tradisi di dalam
masyarakat yang dapat berpengaruh negatif juga positif.

a) Contoh negatif : tradisi cincin leher. Meskipun berbahaya karena


penggunaan cincin ini bisa membuat tulang leher menjadi lemah dan
bisa mengakibatkan kematian jika cincin dilepas, namun tradisi ini
masih dilakukan oleh sebagian perempuan Suku Kayan. Mereka
meyakini bahwa leher jenjang seperti jerapah menciptakan seksual
atau daya tarik seksual yang kuat bagi kaum pria. Selain itu,
perempuan dengan leher jenjang diibaratkan seperti naga yang kuat
sekaligus indah.
b) Contoh positif: tradisi nyirih yang dapat menyehatkan dan menguatkan
gigi.

2. Sikap fatalistis

Sikap fatalistis yang juga mempengaruhi perilaku kesehatan. Contoh :


beberapa anggota masyarakat di kalangan kelompok tertentu (fanatik)
sakit atau mati adalah takdir, sehingga masyarakat kurang berusaha untuk
segera mencari pertolongan pengobatan bagi anaknya yang sakit.

3. Pengaruh nilai

Nilai yang berlaku didalam masyarakat berpengaruh terhadap perilaku


kesehatan. Contoh masyarakat memandang lebih bergengsi beras putih
daripada beras merah, padahal mereka mengetahui bahwa vitamin B1
lebih tinggi pada beras merah daripada beras putih.

4. Sikap ethnosentris

Sikap yang memandang kebudayaan sendiri yang paling baik jika


dibandingkan dengan kebudayaan pihak lain. Misal sikap seorang yang
menggunakan vitsin pada makanannya yang menganggap itu lebih benar
daripada orang yang tidak menggunakan vitsin padahal vitsin tidak bagi
kesehatan.

5. Pengaruh perasaan bangga pada statusnya

Contoh : dalam upaya perbaikan gizi, di suatu daerah pedesaan


tertentu menolak untuk makan daun singkong, walaupun mereka tahu
kandungan vitaminnya tinggi. Setelah diselidiki ternyata masyarakat
beraggapan daun singkong hanya pantas untuk makanan kambing dan
mereka menolaknya karena status mereka tidak dapat disamakan dengan
kambing.

6. Pengaruh norma

Contoh : upaya untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi


banyak mengalami hambatan karena ada norma yang melarang hubungan
antara dokter yang memberikan pelayanan dengan bumil sebagai
pengguna pelayanan.

7. Pengaruh konsekuensi dari inovasi terhadap perilaku kesehatan


Apabila seorang petugas kesehatan ingin melakukan perubahan
perilaku kesehatan masyarakat, maka yang harus dipikirkan adalah
konsekuensi apa yang akan terjadi jika melakukan perubahan,
menganalisis faktorfaktor yang terlibat/berpengaruh pada perubahan dan
berusaha untuk memprediksi tentang apa yang akan terjadi dengan
perubahan tersebut.
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan
Unsur kebudayaan yang lebih mudah dikenal dipahami dan diyakini
oleh masyarakat dalam pengobatan tradisional Bali adalah ucapan dukun
(balian), yang berhubungan dengan diagnosis, prognosis, terapi tentang
tanaman obat yang bernilai sosioreligiusmagis, maupun bernilai obat. Hal ini
salah satu persoalan penting dalam era global yang bukan hanya sebagai
masalah identitas,sosioekonomi, pemertahanan budaya, eksistensi dari etnik
itu sendiri, tetapi juga merupakan benteng pemertahanan budaya bangsa, yang
secara spesifik memiliki nilai religi.

Begitu banyak ragam budaya Bali membuat orang Bali begitu


mencintai daerahnya. Bahkan bagi masyarakat Bali yang merantaupun tetap
berusaha mempertahankan adat Bali meskipun tidak sepenuhnya (atau
dicampur dengan kebiasaan setempat). Contohnya masyarakat Bali yang
tinggal di Lombok, masih mempertahankan adat Bali dalam rangka
merayakan upacara-upacara tertentu.

Jadi, dimanapun orang Bali tinggal. Mereka tidak akan pernah


melupakan adat khas mereka.

3.2 Saran
Inilah yang dapat kelompok kami tulis meskipun tulisan ini belum
dapat dikatakan sempurna dan kami membutuhkan kritik atau saran agar
menjadi motivasi kami untuk belajar lagi agar lebih baik pada tulisan
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Vheer, Yani. Academia. “Konsep Budaya dan Anropoli Kesehatan”.


http://www.academia.edu/31345091/KONSEP_BUDAYA_DAN_ANTROPO
LOGI_KESEHATAN <diakses pada 13/10.2019;19:00 WIB>

Foster/Anderson. 2009. Antropologi Kesehatan, terj. UI-Press: Yogyakarta The Field


of Medical Anthropology

Sodik, M. A., & Nzilibili, S. M. M. (2017). The Role Of Health Promotion And
Family Support With Attitude Of Couples Childbearing Age In Following
Family Planning Program In Health. Journal of Global Research in Public
Health, 2(2), 82-89.

Sodik, M. A., Astikasari, N. D., Fazrin, I., Chusnatayaini, A., & Peristiowati, Y.
(2018). Dental health child with retardation mental and parents behavior.
Indian Journal of Physiotherapy and Occupational TherapyAn International
Journal, 12(4), 278-282.

Anda mungkin juga menyukai