Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN GANGGUAN SISTEM INTEGUMEN


MORBUS HANSEN

Dosen Pengampu :
Hepta Nur Anugrahini, S.Kep., Ns., M.Kep

Disusun Oleh :
Maya Angelina Berdianita P27820721107

JURUSAN KEPERAWATAN
PENDIDIKAN PROFESI NERS JENJANG SARJANA TERAPAN
POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA
TAHUN AJARAN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan Karunia dan Rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penyusunan makalah berjudul “Makalah Asuhan Keperawatan dengan Gangguan pada
Sistem Integumen (Morbus Hansen)” dengan tepat waktu yang ditujukan sebagai
salah satu syarat untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah 2.
Tak lupa rasa terima kasih kami sampaikan kepada Ibu Hepta Anugrahini, S.Kep.,
Ns., M.Kep selaku dosen pembimbing dalam penyusunan makalah ini. Juga kepada
pihak-pihak yang turut membantu sehingga penyusunan makalah ini berjalan lancar.
Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat
kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang di harapkan. Untuk itu, penulis
berharap adanya kritik, saran, dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun.
Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya
makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang
membacanya. Sebelumnya penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan di masa depan.

Surabaya, 12 April 2023

(Penyusun)

DAFTAR ISI

2
KATA PENGANTAR.................................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................................iii

BAB 1 PENDAHULUAN............................................................................................4
1.1 Latar Belakang................................................................................................4
1.2 Rumusan Masalah...........................................................................................5
1.3 Tujuan ............................................................................................................5

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................6
2.1. Definisi Kusta ................................................................................................6
2.2. Patofisiologi Kusta..........................................................................................6
2.3. Etiologi Kusta ................................................................................................7
2.4. Klasifikasi Kusta ............................................................................................7
2.5. Pathway ..........................................................................................................8
2.6. Manifestasi Klinis Kusta ................................................................................9
2.7. Komplikasi Kusta ...........................................................................................9
2.8. Pemeriksaan Penunjang ...............................................................................10
2.9. Asuhan Keperawatan dengan Klien Morbus Hansen ..................................10

BAB III PENUTUP...................................................................................................23


3.1. Kesimpulan...................................................................................................23
3.2. Saran.............................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................24

BAB I

3
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kusta merupakan penyakit menular dan menahun yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium Leprae, penyakit ini menyerang kulit, saraf tepi dan dapat pula
menyerang jaringan tubuh lainnya kecuali otak. Penyakit kusta adalah salah satu penyakit
menular yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud
bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya,
keamanan dan ketahan nasional. (Depkes RI, 2007). Penyakit kusta sampai saat ini
masish ditakuti masyarakat, keluarga termasuk Sebagian petugas kesehatan. Hal ini
disebabkan masih kurangnya pengetahuan dan kepercayaan yang keliru terhadap kusta
dan cacat yang ditimbulkan oleh kusta.
Jumlah penderita lepra (kusta) di Indonesia masih tinggi. Selama kurun waktu 10
tahun terakhir data jumlah penderita lepra di Indonesia tidak mengalami penurunan.
Sekitar 17 ribu penderita lepra baru ditemukan di seluruh Indonesia. Jumlah penderita
lepra di Indonesia nomor tiga dunia setelah india dan brazil. Jumlah penderita lepra yang
masih tinggi diantaranya Jawa Timur, Papua, Sulawesi Selatan dan Maluku. Khusus Jawa
Timur merupakan wilayah dengan jumlah penyandang kusta terbanyak di Indonesia, Jawa
Timur menjadi daerah endemis penyakit kusta. Penyebaran penderita dan penyakit ini
berada di 12 wilayah yakni Jember, Situbondo, Bondowoso, Probolinggo, Pasuruan,
Sampang, Sumenep, Bojonegoro, Bangkalan, Pamekasan, Tuban dan Lamongan.
Suatu kenyataan bahwa sebagaian besar penderita kusta adalah dari golongan
ekonomi lemah. Perkembangan penyakit pada diri penderita bila tidak ditangani dengan
secara cermat dapat menimbulkan cacat dan keadaan ini menjadi halangan bagi penderita
kusta dalam kehidupan bermasyarakat untuk memenuhi kebutuhan sosial ekonomi
mereka, juga tidak dapat berperan dalam pembangunan bangsa dan negara. Disamping
cacat yang timbul, pendapat yang keliru dari masyarakat terhadap kusta, rasa takut yang
berlebihan atau leprophobia akan memperkuat persoalan sosial ekonomi penderita kusta.
Mengingat kompleksnya masalah penyakit kusta, maka diperlukan program
penanggulangan secara terpadu dan menyeluruh dalam hal pemberantasan, rehabilitasi
medis, rehabilitasi sosial ekonomi dan permasyarakatan dari bekas penderita kusta.
Dengan kemajuan teknologi dibidang promotive, pencegahan, pengobatan serta

4
pemulihan Kesehatan dibidang penyakit kusta, maka penyakit kusta sudah dapat diatasi
dan seharusnya tidak lagi menjadi masalah Kesehatan masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah


1) Apa definisi Morbus Hansen ?
2) Apa patofisiologi Morbus Hansen ?
3) Apa saja etiologi Morbus Hansen ?
4) Apa saja klasifikasi Morbus Hansen ?
5) Bagaimana manifestasi klinis Morbus Hansen ?
6) Apa saja komplikasi Morbus Hansen ?
7) Apa saja pemeriksaan penunjang Morbus Hansen ?
8) Bagimana asuhan keperawatan dengan klien Morbus Hansen ?

1.3 Tujuan Penulisan


1) Tujuan Umum
- Untuk memahami apa itu kusta sampai bagaimana asuhan keperawatan
- Untuk memenuhi tugas mata kuliah Sistem Integumen
2) Tujuan Khusus
- Untuk mengetahui definisi kusta
- Untuk mengetahui bagaimana patofisiologi dari penyakit kusta
- Unutk mengetahui bagaimana etiologi dari penyakit kusta
- Untuk mengetahui klasifikasi apa saja dari penyakit kusta
- Untuk mengetahui bagaimana manifestasi klinis dari penyakit kusta
- Untuk mengetahui apa saja komplikasi dari penyakit kusta
- Untuk mengetahui apa saja pemeriksaan penunjang dari penyakit kusta
- Untuk mengatahui bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan kusta

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Kusta


Penyakit Hansen atau Penyakit Morbus Hansen yang dahulu dikenal sebagai Penyakit
Kusta atau Lepra adalah penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium
Leprae dan biasanya memengaruhi kulit serta saraf tepi, namun memiliki berbagai macam
manifestasi klinis. (WHO, 2010). Penyakit ini ditandai dengan borok dari tulang dan kulit
yang menyebabkan hilangnya sensasi, lumpuh, gangrene, dan deformasi. (The American
Heritage – Dictionary of the English language).
Istilah kusta berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kustha berarti kumpulan gejala –
gejala kulit secara umum. Penyakit ini adalah tipe penyakit granulomatosa pada saraf tepi
dan mukosa dari saluran pernafasan atas dan lesi pada kulit adalah tanda yang bisa
diamati dari luar. Bila tidak ditangani, kusta dapat sangat progresif menyebabkan
kerusakan pada kulit, saraf – saraf, anggota gerak dan mata. Tidak seperti mitos yang
beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh sebegitu
mudah seperti pada penyakit tzararaath yang digambarkan dan sering disamakan dengan
kusta. (Pusdatin, 2015)

2.2 Patofisiologi Kusta


Cara penularan yang pasti belum diketahui, tetapi menurut sebagian ahli cara
penulannya adalah melalui saluran pernapasan (inhalasi) dan kulit (kontak langsung yang
lama). Kuman mencapai permukaan kulit melalui folikel rambut, kelenjar keringat, dan
diduga juga air susu ibu. Timbulnya penyakit kusta pada seseorang tidak mudah sehingga
tidak perlu ditakuti. Hal ini bergantung pada beberapa faktor, antara lain sumber
penularan, kuman kusta, daya tahan, sosial ekonomi dan iklim. Sumber penularan adalah
kusta utuh yang berasal dari pasien kusta tipe MB (Multi Basiler) yang belum diobati atau
tidak teratur berobat. Bila seseorang terinfeksi M. Leprae, sebagian besar (95%) akan
sembuh sendiri, dan 5% akan menjadi indeterminate. Dari 5% indeterminate, 30%
manifestasi klinik menjadi determinate dan 70% menjadi sembuh.
Setelah M. leprae masuk kedalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung
pada kerentanan seseorang. Respon tubuh terhadap masa tunas dilampaui tergantung pada
derajat sistem immunitas seluler (cellular mediated immune) pasien. Kalau sistem
immunitas seluler tinggi, penyakit berkembang kearah tuberkuloid dan bila rendah,

6
berkembang kearah lepromatosa. Teori yang paling banyak digunakan adalah penularan
melalui kontak/sentuhan yang berlangsung lama, namun berbagai penelitian mutakhir
mengarah pada droplet infection yaiut penularan melalui selaput lendir pada saluran
napas. M. leprae tidak dapat bergerak sendiri dan tidak menghasilkan racun yang dapat
merusak kulit, sedangkan ukuran fisiknya yang lebih besar dari pada pori-pori kulit. Oleh
karena itu, M. leprae yang karena sesuatu hal menempel pada kulit kita, tidak dapat
menembus kulit jika tidak ada luka pada kulit.

2.3 Etiologi Kusta


M. (leprae) merupakan basil tahan asam (BTA), bersifat obligat intraseluler,
menyerang saraf pereifer, kulit dan organ lain seperti mukosa saluran pernapasan atas,
hati, sum – sum tulang kecuali susunan saraf pusat. Masa membeladiri M.leprae 12 – 21
hari sedangakan masa tunas 40 hari – 40 tahun.

2.4 Klasfikasi Kusta


Untuk keperluan kombinasi atau Multidrug Therapy (MDT) yaitu menggunakan
gabungan Rifampicin, Lamprene dan DDS, maka penyakit kusta di Indonesia
diklasifikasikan mennjadi 2 tipe yaitu :
a. Tipe PB (Pausi basiler)
b. Tipe MB (Multi basiler)
Dalam menentukan klasifikasi tipe PB dan MB didasarkan pada kriteria seperti table
dibawah ini. Penentuan tipe tidak boleh berpegang pada hanya salah satu kriteria, akan
tetapi harus dipertimbangkan dari seluruh kriteria.

7
2.5 Pathway Kusta

8
2.6 Manifestasi Klinis Kusta
Untuk menetapkan diagnosa penyakit kusta perlu dicari tanda – tanda pokok atau
“cardinal signs” pada badan yaitu :
1. Kelainan kulit / lesi yang hypopigmentasi atau kemerahan dengan hilang / mati rasa
yang jelas
2. Kerusakan dari saraf tepi, yang berupa hilang / mati rasa dan kelemahan otot tangan,
kaki atau muka
3. Adanya kuman tahan asam di dalam kultur jaringan kulit (BTA positif)

Gambar. Lesi kulit pada paha

9
2.7 Komplikasi Kusta
Karena gejala kusta berupa mati rasa atau baal, penyakit ini sering tidak disadari
penderita hingga muncul komplikasi. Berikut ini adalah komplikasi kusta yang harus
diwaspadai.
1. Kerusakan Saraf
Komplikasi paling parah penyakit kusta adalah rusaknya saraf secara
permanen. Ini merupakan akibat bakteri yang menyerang saraf bagian tepi, terutama
saraf pada wajah, tangan dan kaki.
Kondisi tersebut membuat penderitanya tidak dapat merasakan nyeri dan suhu.
Bukan tak mungkin penderita tanpa sadar melukai dirinya dengan benda tajam atau
membakar dirinya.
Kerusakan saraf juga memengaruhi kulit sekitarnya. Ini membuat kulit
menjadi kering, timbul borok, serta rambut di sekitarnya ikut rontok.

2. Kerusakan Mata
Seperti yang dijelaskan pada poin sebelum, kusta menyerang saraf yang ada di
wajah, termasuk yang saraf mata. Keadaan ini mengakibatkan penderitanya menjadi
sulit untuk menutup mata (lagoftalmus).

Kurangnya sensitivitas pada mata dapat menimbulkan katarak, keratitis,


dan glaukoma yang bisa menyebabkan kebutaan.

3. Kerusakan pada Wajah dan Hidung


Lapisan mukosa pada hidung bisa mengering dan mati rasa akibat kerusakan
saraf. Akibatnya, hidung jadi tersumbat dan terjadi mimisan kronis.
Infeksi sekunder juga bisa terjadi di hidung, sehingga tulang rawan mengalami
pengikisan, membuat bentuk hidung tak lagi normal.
Kerusakan pada wajah juga bisa terjadi, yaitu timbul seperti benjolan dan
pembengkakan permanen.

4. Kecacatan pada Tangan dan Kaki

Akibat kerusakan saraf secara terus-menerus dan menjadi permanen, kondisi


ini menyebabkan kelumpuhan pada otot tangan dan kaki. Kemudian, jari-jari bisa

10
berubah bentuk menjadi tertekuk atau bengkok, susah diluruskan, dan tak lagi mampu
mengangkat bagian depan kaki.

Infeksi sekunder juga dapat timbul, sehingga menyebabkan penyerapan dan


pengikisan pada tulang dan jaringan sekitar. Perlahan, jari tangan dan kaki akan
hilang.

5. Kerusakan Ginjal
Jika infeksi sudah masuk ke aliran darah, kerusakan ginjal dapat terjadi.
Kerusakan yang dimaksud adalah terjadinya peradangan pada bagian ginjal yang
memiliki fungsi sebagai penyaring dan pembuang cairan berlebih. Kerusakan yang
terus-terusan terjadi dapat membuat penderitanya mengalami gagal ginjal.

6. Infertilitas
Pada penderita pria, infertilitas dan impotensi dapat terjadi. Hal ini disebabkan
oleh infeksi bakteri yang dapat menurunkan hormon testosteron dan produksi sperma.

2.8 Pemeriksaan Penunjang


1. Pemeriksaan Bakterioskopik
Memiliki lesi yang paling aktif yaitu : yang paling erythematous dan paling
infiltratif. Secara topografik yang paling baik adalah muka dan telinga. Denngan
menggunakan Vaccinosteil dibuat goresan sampai didermis, diputar 90 derajat dan
dicongkelkan, dari bahan tadi dibuat sediaan apus dan diwarnai Zeihlnielsen. Pada
pemeriksaan akan tampak batang-batang merah yang utuh, terputus-putus atau
granuler.
2. Test Mitsuda
Berupa penyuntikan lepromin secara intrakutan pada lengan, yang hasilnya
dapat dibaca setelah 3 – 4 minggu kemudian bila timbul infiltrat di tempat
penyuntikan berarti lepromim test positif

11
2.9 Asuhan Keperawatan dengan Klien Morbus Hansen
2.9.1 Pengakajian
Umur memberikan petunjuk mengenai dosis obat yang diberikan, anak-anak
dan dewasa pemberian dosis obatnya berbeda. Pekerjaan, alamat menentukan
tingkat sosial, ekonomi dan tingkat kebersihan lingkungan. Karena pada
kenyataannya bahwa sebagian besar penderita kusta adalah dari golongan
ekonomi lemah.

2.9.2 Riwayat Penyakit


2.9.2.1 Sekarang
Biasanya klien dengan morbus hansen datang berobat dengan keluhan
adanya lesi dapat tunggal atau multipel, neuritis (nyeri tekan pada saraf)
kadang-kadang gangguan keadaan umum penderita (demam ringan) dan
adanya komplikasi pada organ tubuh.
2.9.2.2 Masa lalu
Ada klien dengan morbus hansen reaksinya mudah terjadi jika dalam
kondisi lemah, kehamilan, malaria, stres, sesudah mendapat imunisasi.
2.9.2.3 Keluarga
Morbus hansen merupakan penyakit menular yang menahun yang
disebabkan oleh kuman kusta (mikobakterium leprae) yang masa
inkubasinya diperkirakan 2-5 tahun. Jadi salah satu anggota keluarga
yang mempunyai penyakit morbus hansen akan tertular.

2.9.3 Riwayat Psikososial


Fungsi tubuh dan komplikasi yang diderita. Klien yang menderita morbus
hansen akan malu karena sebagian besar masyarakat akan beranggapan bahwa
penyakit ini merupakan penyakit kutukan, sehingga klien akan menutup diri dan
menarik diri, sehingga klien mengalami gangguan jiwa pada konsep diri karena
penurunan.

2.9.4 Riwayat Ekonomi


Biasanya klien yang menderita penyakit ini kebanyakan dari
golonganmenengah kebawah terutam apada daerah yang lingkungannya kumuh
dan sanitasi yang kurang baik

12
2.9.5 Pola Aktivitas Sehari – hari
Aktifitas sehari-hari terganggu karena adanya kelemahan pada tangan dan kaki
maupun kelumpuhan. Klien mengalami ketergantungan pada orang lain dalam
perawatan diri karena kondisinya yang tidak memungkinkan.

2.9.6 Pemeriksaan Fisik


Keadaan umum klien biasanya dalam keadaan demam karena reaksi berat
pada tipe I, reaksi ringan, berat tipe II morbus hansen. Lemah karena adanya
gangguan saraf tepi motorik.
1) Sistem Penglihatan
Adanya gangguan fungsi saraf tepi sensorik, komea mata anastesi sehingga
reflek kedip berkurang jika terjadi infeksi mengakibatkan kebutaan, dan saraf
tepi motorik terjadi kelemahan mata akan lagophthalmos jika ada infeksi akan
buta. Pada morbus hansen tipe II reaksi berat, jika terjadi peradangan pada
organ-organ tubuh akan mengakibatkan irigocyclitis. Sedangkan pause basiler
jika ada bercak pada alis mata maka alis mata akan rontok.
2) Sistem Pernapasan
Klien dengan morbus hansen hidungnya seperti pelana dan terdapat
gangguan pada tenggorokan
3) System Persyarafan
 Kerusakan system sensorik
Kelainan fungsi sensorik ini menyebabkan terjadinya kurang mati rasa.
Akibat kurang/ mati rasa pada telapak tangan dan kaki dapat terjadi luka,
sedang pada kornea mata mengkibatkan kurang/ hilangnya reflek kedip.
 Kerusakan system motoric
Kekuatan otot tangan dan kaki dapat menjadi lemah/ lumpuh dan lama-
lama ototnya mengecil (atropi) karena tidak dipergunakan. Jari-jari tangan
dan kaki meniadi hengkok dan akhirnya danat terjadi kekakuan pada sendi
(kontraktur), bila terjadi pada mata akan mengakibatkan (lagophthalmos).
mata tidak dapat dirapatkan.
 Kerusakan fungsi otonom

13
Terjadi gangguan pada kelenjar keringat, kelenjar minyak dan
gangguan sirkulasi darah sehingga kulit menjadi kering menebal,
mengeras dan akhirnya dapat pecah-pecah.
4) System Musculoskeletal
Adanya gangguan fungsi saraf tepi motorik adanya kelemahan atau
kelumpuhan otot tangan dan kaki, jika dibiarkan akan atropi.
5) System Integumen
Terdapat kelainan berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercak
eritem (kemerah-merahan), infiltrat (penebalan kulit), nodul
(benjolan). Jika ada kerusakan fungsi otonom terjadi gangguan
kelenjar keringat, kelenjar minyak dan gangguan sirkulasi darah
sehingga kulit kering, tebal, mengeras dan pecah-pecah. Rambut sering
didapati kerontokan jika terdapat bercak.

2.9.7 Diagnosa Keperawatan


a. Gangguan rasa nyaman (D.0074) nyeri yang berhubungan dengan proses
inflamasi jaringan.
b. Kerusakan integritas kulit (D.0139) yang berhubungan dengan lesi dan proses
inflamas.
c. Intoleransi aktivitas (D.0056) yang berhubungan dengan kelemahan otot
d. Gangguan konsep diri (citra diri) (D.0083) yang berhubungan dengan
ketidakmampuan dan kehilangan fungsi tubuh.
e. Resiko penyebaran infeksi (D.0142) berhubungan dengan lesi yang meluas

2.9.8 Analisa Data


No. Diagnosa Keperawatan Kemungkinan Masalah
Penyebab Keperawatan
1. Gangguan rasa nyaman Reaksi Kusta Gangguan Rasa
(D.0074) nyeri yang Nyaman
berhubungan dengan Terjadinya
proses inflamasi jaringan peningkatan cellur –
mediatedimmunity

14
Saraf tepi

Gangguan fungsi
saraf

Cacat

Gangguan Rasa
Nyaman

2. Kerusakan integritas kulit Inflamasi Kerusakan


(D.0139) yang Integritas Kulit
berhubungan dengan lesi Kalor, rubor
dan proses inflamas.
Kulit mudah
terbakar butterfly
rash

Integritas Kulit
3. Intoleransi aktivitas Difusi O2 Inteloransi
(D.0056) yang Aktivitas
berhubungan dengan Hipoksia jaringan
kelemahan otot
Metabolisme
anaerob

Asam laktat, ATP

Pegal-pegal, Fatique

Intoleransi
Aktivitas

15
4. Gangguan konsep diri Kerusakan Gangguan Citra
(citra diri) (D.0083) yang Integritas Kulit Tubuh
berhubungan dengan
ketidakmampuan dan
kehilangan fungsi tubuh Gangguan Citra
Tubuh
5. Resiko penyebaran infeksi Kerusakan Resiko Infeksi
(D.0142) berhubungan Integritas Kulit
dengan lesi yang meluas
Risiko Infeksi

2.9.9 Intervensi Keperawatan


N Diagnosa Tujuan & Intervensi Rasional
o. Keperawatan Kriteria Hasil Keperawaan
1. Gangguan Setelah dilakukan Status Kenyaman - Memberikan
rasa nyaman dilakukan (L.08064) informasi
(D.0074) tindakan - Mengkaji untuk
nyeri yang keperawatan karakteristik membantu
berhubungan selama 2 × 24 jam nyeri dalam
dengan proses diharapkan nyeri - Mengobserv memberikan
inflamasi yang di alami asi tanda – intervensi
jaringan klien berkurang, tanda vital - Untuk
Dengan kriteria - Menganjurka mengetahui
hasil : n melakukan perkembang
o Skala Teknik an atau
nyeri 1 – distrksi dan keadaan
3 relaksasi pasien
o Grimace - Mengatur - Dapat
tidak ada posisi mengurangi
o Pasien sennyaman rasa nyeri
dapat mungkin - Posisi yang
tidur atau - Kolaborasi nyaman
istirahat untuk dapat
dengan pemberian menurunkan
tenang analgesic rasa nyaman
sesuai

16
o Pasien indikasi - Menghilang
dapat kan rasa
beraktivit nyeri
as sesuai
toleransi

2. Kerusakan Setelah dilakukan Integritas Kulit - Memberikan


integritas kulit Tindakan (L.14125) informasi
(D.0139) keperawatan - Mengkaji dasar tentang
yang selama 3 × 24 jam warna lesi, terjadinya
berhubungan proses inflamasi perhatikan proses
dengan lesi berhenti dan jika ada inflamasi
dan proses berangsur – jaringan dan
inflamas. angsur sembuh, nekrotik dan mengenai
Dengan kriteria kondisi sirkulasi
hasil : sekitar luka daerah yang
o Menunnju - Memberikan terdapat lesi
kan perawatan - Menurunkan
regenerasi khusus pada terjadinya
jaringan daerah yang penyebaran
o Mencapai terjadi inflamasi
penyembu inflamasi pada
han tepat - Mengevaluas jaringan
waktu i warna lesi sekitar
pada lesi dan jaringan - Mengevalua
yang terjadi si
inflamasi, perkembang
perhatikan an lesi dan
penyebaran inflamasi
pada dan
jaringan mengidentifi
sekitarnya kasi
- Membersihk terjadinya
an lesi komplikasi
dengan - Kulit yang
sabun terjadi lesi
padawaktu perlu

17
direndam perawatan
khusus untuk
mempertaha
nkan
kebersihan
lesi
- Tekanan
pada lesi
bisa
menghambat
proses
penyembuha
n
3. Intoleransi Setelah dilakukan Toleransi aktivitas - Meningkatka
aktivitas Tindakan (L.05047) n posisi
(D.0056) keperaawatan - Mempertaha fungsional
yang selama 3 × 24 jam nkan posisi pada
berhubungan kelemahan fsik tubuh yang ekstermitas
dengan dapat teratasi dan nyaman - Oedema
kelemahan aktivitas dapat - Memperhatik dapat
otot dilakukan, an sirkulasi, mempengaru
Dengan kriteria Gerakan, dan hi sirklus
hasil : kepekaaan pada
o Pasien pada kulut ekstermitas
dapat - Melakukan - Mencegah
melakuka Latihan secara
n aktivitas rentang progresif
sehari - gerak secara menencangk
hari konsisten, an jaringan,
diawali meningkatka
dengan pasif n
kemudian pemeliharaa
aktif n fungsi
- Menjadwalk otot / sendi
an - Meningkatka
pengobatan n kekuatan
dan aktivitas dan toleransi

18
perawatan pasien
untuk terhadap
memberikan aktivitas
periode
istirahat
4. Gangguan Setelah dilakukan Citra Tubuh - Traumatic
konsep diri Tindakan (L.09067) mengakibatk
(citra diri) keperawatan - Mengkaji an
(D.0083) selama 2 × 24 jam makna perubahan
yang tubuh klien dapat perubahan tiba – tiba.
berhubungan berfungsi secara pada pasien Ini
dengan optimal dan - Menerima memerlukuk
ketidakmamp konsep diri dan an dukungan
uan dan meningkat, mengakui dalam
kehilangan Dengan kriteria ekspresi perbaikan
fungsi tubuh hasil : frustasi, optimal
o Pasien ketergantung - Menerima
menyatak an, dan perasaan
an kemarahan. sebagai
penerima Perhatian respon
situasi perilaku normal
dirinya menarik diri terhadap apa
o Memasuk - Memberkan yang terjadi
kun harapan membantu
perubahan dalam perbaikan
dalam parameter - Meningkatka
konsep situasi n perilaku
diri tanpa individu, positif dan
harga diri jangan memberikan
negatif memberikan kesempatan
kenyakinan untuk
yang salah Menyusun
- Memberikan tujuan dan
kelompok rencana
pendukung untuk masa
untuk orang depan
terdekat berdasrkan

19
realistis
- Meningkatka
n perasaan
dan
memungkink
an perasaan
dan respon
yang lebih
membantu
pasien
5. Resiko Setelah diberikan Tingkat Infeksi - Unntuk
penyebaran Tindakan (L.14137) mengetahui
infeksi keperawatan - Mengkaji apakah
(D.0142) selama 1 × 24 jam tanda – tanda pasien
berhubungan diharapkan tidak vital mengalami
dengan lesi terjadi tanda – - Memantau infeksi. Dan
yang meluas tanda infeksi, TTV, untuk
Dengan kriteria terutama menentuukk
hasil : suhu tubuh an tindakkan
o Tidak - Mengajarkan keperawatan
terdapat tekhnik berikutnya
tanda – asepik pada - Tanda –
tanda pasien tanda vital
infeksi, - Mencuci merupakan
seperti : tangan acuan untuk
kalor, sebelum mengetahui
rubor, memberikan keadaan
tumor, asuhan umum
dolor, dan keperawatan pasien.
funngsiole kepada Perubahan
sa pasien suhu
o TTV menjadi
dalam tinggi
batas merupakan
normal salah satu
tanda –

20
tanda infeksi
- Meminimalk
an terjadinya
infeksi
- Meminimalk
an terjadinya
infeksi
mosokomial

2.9.10 Implementasi Keperawatan


Implementasi atau pelaksanaan merupakan salah satu tahap proses
keperawatan keluarga dimana perawat mendapatkan kesempatan untuk
membangkitkan minat untuk mendapatkan perbaikan kearah perilaku hidup sehat.
Pelaksanaan tindakan keperawatan keluarga didasarkan kepada rencana asuhan
keperawatan yang telah disusun sebelumnya (Gusti, 2013).
Tindakan perawat terhadap keluarga berupa pendidikan kesehatan mengenai
penyakit sebagai berikut :
1. Kaji tingkat pengetahuan keluarga tentang proses penyakit Kusta.
2. Jelaskan pada keluarga tentang pengertian dan penyebab dan faktor risiko
penyakit.
3. Jelaskan pada keluarga tentang proses patofisiologi, tanda gejala yang
ditimbulkan oleh penyakit serta pencegahan penularannya oleh penyakit.
4. Diskusikan pada keluarga tentang kemungkinan terjadinya komplikasi dan
penanganan penyakitnya.
5. Sediakan informasi yang aktual kepada keluarga mengenai kondisinya.
6. Tanyakan kepada keluarga tentang materi yang belum dimengerti.
7. Jelaskan kepada keluarga mengenai materi yang belum dimengerti.

2.9.11 Evaluasi Keperawatan


Evaluasi adalah tahap terakhir dalam proses keperawatan. Tujuan dari evaluasi
yaitu untuk menentukan apakah tujuan tersebut dapat dicapai secara efektif.
Evaluasi diakukan sesuai dengan intervensi yang telah diberikan, dan dilkukan
penilaian untuk melihat keberhasilannya. Jika tindakan belum berhasil, maka
perlu kita cari metode atau ide lainnnya. Pada tahapan ini dapat dilakukan selama

21
proses asuhan keperawatan (formatif) dan evaluasi di akhir (sumatif) (Bakri,
2017).
Kemudian bisa diaplikasikan dengan dasar ( PPNI, 2018 ), yang diharapkan yaitu :
1. Informasi kognitif yang berkaitan dengan topik meningkat
2. Kemampuan keluarga dalam menjelaskan pengetahuan tentang suatu topik
meningkat
3. Verbalisasi minat dalam belajar meningkat
4. Perilaku sesuai anjuran
5. Persepsi yang keliru terhadap masalah menurun
6. Menjalani pemeriksaan yang tidak tepat
7. Kemampuan menggambarkan pengalaman sebelumnya yang sesuai topik
meningkat

BAB III
PENUTUP

22
3.1. Kesimpulan
Kusta merupakan penyakit menular dan menahun yang disebabkan oleh kuman
Mycobacterium Leprae, penyakit ini menyerang kulit, saraf tepi dan dapat pula menyerang
jaringan tubuh lainnya kecuali otak. Penyakit kusta adalah salah satu penyakit menular
yang menimbulkan masalah yang sangat kompleks. Masalah yang dimaksud bukan hanya
dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, budaya, keamanan dan
ketahan nasional. (Depkes RI, 2007). Penyakit kusta sampai saat ini masish ditakuti
masyarakat, keluarga termasuk Sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih
kurangnya pengetahuan dan kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang
ditimbulkan oleh kusta.

3.2. Saran
Untuk menanggulangi penyebaran penyakit kusta, hendaknya pemerintah
mengadakan suatu program pemberantasan kusta yang mempunyai tujuan
sebagai  penyembuhan pasien kusta dan mencegah timbulnya cacat serta memutuskan mata
rantai penularan dari pasien kusta terutama tipe yang menular kepada orang lain untuk
menurunkan insiden penyakit.
Hendaknya masyarakat yang tinggal didaerah yang endemi akan kusta diberikan
penyuluhan tentang, cara menghindari, mencegah, dan mengetahui gejala dini pada kusta
untuk mempermudah pengobatanya.
Karena di dunia kasus penderita kusta juga masih tergolong tinggi maka perlu
diadakanya penelitian tentang penanggulangan penyakit kusta yang efektif.

23
DAFTAR PUSTAKA
Asuhan Keperawatan Kusta. (2023, April 13). Retrieved from Scribd:
https://www.scribd.com/embeds/484759491/content?
start_page=1&view_mode=scroll&access_key=key-fFexxf7r1bzEfWu3HKwf

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (2023, April 13). Retrieved from repository.unimus.ac.id:


http://repository.unimus.ac.id/2584/4/BAB%20II.pdf

Dr. Suparyanto, M. (2013, Mei Kamis,13). SEKILAS TENTANG PENYAKIT KUSTA.


Retrieved from http://dr-suparyanto.blogspot.com/2013/05/sekilas-tentang-penyakit-
kusta.html

Salhuteru, T. (2023, April 13). Asuhan Keperawatan Morbus Hansen Kusta. Retrieved from
Scribd: https://www.scribd.com/document/484759491/ASUHAN-KEPERAWATAN-
MORBUS-HANSEN-KUSTA

24

Anda mungkin juga menyukai