Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH TERAPI KOGNITIF

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Keperawatan Jiwa II
Dosen pembimbing :
Wildan Akasyah, S. Kep., Ns., M. Kep. 

Disusun Oleh Kelompok 1:

1. Ajeng 12. Kristiant


y Eka A.

Qurrota’ayun (10217001) (10217037)


2. Amilatul Faizah (10217002) 13. Lia Hayu Ratnasari (10217038)
3. Anisaatul Azizah (10217005) 14. Nadya Dwi Siswanti (10217042)
4. Atria Dhara Sekar A. (10217008) 15. Nafiatul Amanah (10217043)
5. Desi Tia Tunika Putri (10217011) 16. Odya Hafidz P. (10217047)
6. Elma Yustika A. (10217019) 17. Sisilia Pusdikta D. M (10217055)
7. Erlangga Alviza F. (10217021) 18. Suci Agustina (10217058)
8. Etik Dwi Rohmita (10217022) 19. Timing Dwi N. S. (10217060)
9. Fariza Abadi (10217025) 20. Whika Cofi A. (10217063)
10. Gilang Prasetyo (10217030)
Yona Oktavia I.(10217065
11. Hanan Agustin(10217033)

PRODI STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
INSTITUT ILMU KESEHATAN BHAKTI WIYATA
KEDIRI
2020
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang
berjudul “Terapi Kognitif” dengan baik dan tepat waktu.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah keperawatan
Komunitas. Selain itu,makalah ini disusun untuk memperluas ilmu tentang
“Terapi Kognitif”
Kami mengakui masih banyak kekurangan dalam pembuatan makalah ini
karena pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki masih kurang. Oleh karena
itu, kami berharap kepada pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang
bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dalam rangka
menambah pengetahuan juga wawasan tentang Terapi Kognitif.

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI...........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

1.1 Latar Belakang..........................................................................................1

1.2 Rumusan masalah......................................................................................2

1.3 Tujuan penulisan.......................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................3

2.1 Definisi......................................................................................................3

2.2 Tujuan Terapi Kognitif..............................................................................4

2.3 Uraian Struktur Tugas...............................................................................4

2.4 Uraian Struktur Kegiatan...........................................................................5

BAB III PENUTUP............................................................................................10

3.1 Kesimpulan..............................................................................................10

3.2 Saran........................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................11

ii
iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan jiwa adalah suatu kondisi sehat emosional, psikologis, dan


sosial yang terlihat dari hubungan interpersonal yang memuaskan perilaku
dan koping individu efektif, konsep diri yang positif dan kestabilan
emosional (Johnsons, 1997 dalam Videback, 2008). Kesehatan jiwa juga
mempunyai sifat yang harmonis dan memperhatikan semua segi dalam
kehidupan manusia dalam berhubungan dengan manusia lainnya yang akan
mempengaruhi perkembangan fisik, mental, dan sosial individu secara
optimal yang selaras dengan perkembangan masingmasing individu.
Menurut WHO (2009), prevalensi masalah kesehatan jiwa mencapai
13% dari penyakit secara keseluruhan dan kemungkinan akan berkembang
menjadi 25% di tahun 2030, gangguan jiwa juga berhubungan dengan
bunuh diri, lebih dari 90% dari satu juta kasus bunuh diri setiap tahunnya
akibat gangguan jiwa. Gangguan jiwa ditemukan di semua negara, terjadi
pada semua tahap kehidupan, termasuk orang dewasa dan cenderung terjadi
peningkatan gangguan jiwa. Prevalensi terjadinya gangguan jiwa berat di
Indonesia berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (2007) adalah sebesar 4,6
permil, dengan kata lain dari 1000 penduduk Indonesia empat sampai lima
diantaranya menderita gangguan jiwa berat (Balitbang Depkes RI, 2008).
Penduduk Indonesia pada tahun 2007 (Pusat Data dan Informasi Depkes RI,
2009) sebanyak 225.642.124 sehingga klien gangguan jiwa di Indonesia
pada Tahun 2007 diperkirakan 1.037.454 orang. Kondisi diatas
mengambarkan jumlah klien gangguan jiwa yang mengalami
ketidakmampuan untuk terlibat dalam aktivitas oleh karena keterbatasan
mental akibat gangguan jiwa berat yang akan mempengaruhi kualitas
kehidupan penderitanya. Tahun 2009 angka kejadian penderita gangguan
jiwa di Jawa Tengah berkisar antara 3300 orang sampai 9300orang
(Widyayati, 2009). Angka kejadian ini merupakan penderita yang sudah

1
terdiagnosa. Persentase gangguan kesehatan jiwa itu akan terus bertambah
seiring dengan meningkatnya beban hidup masyarakat Indonesia.
Menurut (Martin, 2010) bahwa penerapan terapi psikososial dengan
perilaku kognitif dapat merubah pola pikir yang negatif menjadi positif
sehingga perilaku yang maladaptif yang timbul akibat pola pikir yang salah
juga akan berubah menjadi perilaku yang adaptif, sehingga pada akhirnya
diharapkan individu dengan masalah isolasi sosial memiliki peningkatan
kemampuan untuk melakukan interaksi sosial dan bereaksi secara adaptif
dalam menghadapi masalah atau situasi yang sulit dalam setiap fase
hidupnya.

1.2 Rumusan masalah


1. Apa definisi dari terapi kognitif ?
2. Apa tujuan dari terapi kognitif ?
3. Apa definisi Halusinasi Audiotorik ?
4. Bagaimana Aplikasi Terapi Kognitif terhadap Perilaku untuk Halusinasi
Auditorik

1.3 Tujuan penulisan


1. Untuk mengetahui definisi dari terapi kognitif
2. Untuk mengetahui tujuan dari kegiatan terapi kognitif
3. Untuk mengetahui definisi Halusinasi Audiotorik
4. Untuk mengetahui bagaimana Terapi Kognitif Perilaku untuk Halusinasi
Auditorik

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Definisi

Kognitif adalah salah satu ranah dalam taksonomi pendidikan. Secara


umum kognitif diartikan potensi intelektual yang terdiri dari tahapan:
pengetahuan (knowledge), pemahaman (comprehention), penerapan
(aplication), analisa (analysis), sintesa (sinthesis), evaluasi (evaluation).
Kognitif berarti persoalan yang menyangkut kemampuan untuk
mengembangkan kemampuan rasional (akal).
Teori kognitif lebih menekankan bagaimana proses atau upaya untuk
mengoptimalkan kemampuan aspek rasional yang dimiliki oleh orang lain.
Oleh sebab itu kognitif berbeda dengan teori behavioristik, yang lebih
menekankan pada aspek kemampuan perilaku yang diwujudkan dengan cara
kemampuan merespons terhadap stimulus yang datang kepada dirinya.
Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar kata kognitif.
Dari aspek tenaga pendidik misalnya. Seorang guru diharuskan memiliki
kompetensi bidang kognitif. Artinya seorang guru harus memiliki
kemampuan intelektual, seperti penguasaan materi pelajaran, pengetahuan
mengenai cara mengajar, pengetahuan cara menilai siswa dan sebagainya.
Jean Piaget (1896-1980), pakar psikologi dari Swiss, mengatakan
bahwa anak dapat membangun secara aktif dunia kognitif mereka sendiri.
Dalam pandangan Piaget, terdapat dua proses yang mendasari
perkembangan dunia individu, yaitu pengorganisasian dan penyesuaian
(adaptasi).
Kecenderungan organisasi dapat dilukiskan sebagai kecenderungan
bawaan setiap organisme untuk mengintegasi proses-proses sendiri menjadi
system – sistem yang koheren. Adaptasi dapat dilukiskan sebagai
kecenderungan bawaan setiap organisme untuk memyesuaikan diri dengan
lingkungan dan keadaan sosial.

3
Piaget yakin bahwa kita menyesuaikan diri dalam dua cara yaitu
asimiliasi dan akomodasi. Asimilasi terjadi ketika individu menggabungkan
informasi baru ke dalam pengetahuan mereka yang sudah ada. Sedangkan
akomodasi adalah terjadi ketika individu menyesuaikan diri dengan
informasi baru.
Terapi kognitif berfokus pada masalah, orientasi, pada tujuan, kondisi
dan waktu saat itu. Terapi ini memandang individu sebagai pembuat
keputusan. Terapi kognitif telah menunjukkan keaktifan penanganan dalam
masalah klinik misalnya, cemas, skizofrenia, substance abuse, gangguan
kepribadian, gangguan mood. Dalam prakteknya, terapi ini dapat
diaplikasikan dalam pendidikan, tempat kerja dan setting lainnya.

2.2 Tujuan Terapi Kognitif


1. Tujuan Umum
Setelah mengikuti kegiatan terapi kognitif diharapkan klien semakin
meningkatkan aktivitas dan meningkatkan kemampuan sosialnya.
2. Tujuan Khusus
a. Melatih konsentrasi untuk memusatkan perhatian sesuai petunjuk yang
diberikan
b. Melatih ketajaman daya ingat dan dapat meningkatkan pendengaran dan
kognitifnya
c. Klien dapat meningkatkan kemampuan akan kegiatan kelompok
(mengikuti kegiatan dari awal sampai selesai)
d. Klien mampu melakukan hubungan sosial dengan lingkungannya (mau
berinteraksi dengan perawat/klien lain).
5. Uraian Struktur Tugas Aplikasi Terapi Kognitif terhadap Perilaku untuk
Halusinasi Auditorik
6. Aplikasi Terapi Kognitif terhadap Perilaku untuk Halusinasi Auditorik
7. Aplikasi Terapi Kognitif terhadap Perilaku untuk Halusinasi Auditorik
8. Aplikasi Terapi Kognitif terhadap Perilaku untuk Halusinasi Auditorik
9. Aplikasi Terapi Kognitif terhadap Perilaku untuk Halusinasi Auditorik

4
2.3 Halusinasi Auditorik
Wells dan Matthews menyebutkan halusinasi auditorik adalah
fenomena“sisipan ke dalam kesadaran” (intrusions into awareness), dimana
seseorang yang mengalami halusinasi auditorik memiliki suatu gambaran
mental yang diyakininya sebagai stmulus dari luar. Sisipan ini oleh Hoffman
disebut sebagai “parasitic memories” karena dirasa mengganggu. Menurut
Morrison, sebenarnya mendengar suara-suara adalah fenomena psikologis yang
wajar dan bisa dialami siapapun, dengan atau tanpa fenomena traumatis. Honig
et al menemukan bahwa halusinasi auditorik sering diawali dengan peristiwa
lain yang mengingatkan seseorang pada pengalaman traumatis di masa lalunya.

5
2.4 Terapi Kognitif Perilaku untuk Halusinasi Auditorik

A. Pendekatan Kognitif

Prinsip terapi kognitif-perilaku didasarkan pada teori belajar (learning


theory), yang meyakini setiap manusia memiliki kemampuan dalam
mempelajari suatu perilaku. BF. Skinner mengatakan bahwa sebuah perilaku
(behavior, B) dipengaruhi oleh beberapa kejadian yang mendahului
(antecedents, A) lalu diikuti oleh konsekuensi (consequences, C). Albert
Ellis menyebutkan, ada satu faktor yang menyebabkan sikap antar individu
bisa berbeda meski dihadapkan pada kejadian yang sama. Faktor tersebut
adalah belief. Ellis mengusulkan bahwa faktor “B” bukan sekedar behavior,
melainkan belief (keyakinan), yang merupakan kumpulan persepsi dan nilai
individu yang dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya. Belief inilah yang
menjadi faktor utama bagaimana individu tersebut memandang antecedent
atau activating events, A, yang dapat diamati dalam consequences, C,
berupa perubahan sikap dan perasaan individu tersebut. (Harris 2009; Corey,
2009; Sudak, 2011).

Untuk mengevaluasi keyakinan ini, Beck menggunakan teknik yang


disebut cognitive restructuring. Cognitive restructuring ini berdasarkan
filosofi Socrates dalam mendidik murid-muridnya, yakni “I know that I
know nothing.”—saya tahu bahwa saya tidak tahu apa-apa. Filosofi ini
mengharuskan terapis banyak bertanya kepada kliennya. Tujuannya adalah
mendorong klien lebih banyak berbicara untuk mengungkapkan dirinya,
sehingga terapis dapat mendeteksi automatic thought pasien. Dengan
mengobservasi automatic thought-nya, terapis bersama-sama klien dapat
menggali kegagalan logika (logical errors) yang dikenal sebagai cognitive
distortions, kemudian mencari ide atau pemahaman yang lebih adaptif.
Model cognitive restructuring ini menggunakan tehnik Socratic questioning
sebagai berikut:

6
Tabel 2. Socratic Questioning untuk Cognitive Restructuring (Dirangkum
dari Hagen & Nordahl, 2008; Smith et al, 2003; Padesky, 1993; Beck, 2011)
Simple Socratic Questioning:
- Formal hypothesis testing: “Jika [premis-1], apakah [premis-2] akan terjadi?”
- Discovery-oriented method: “Apa yang akan terjadi jika [premis-1]?”
In-Depth Socratic Questioning:
1. The “Evidence” Questions (tujuan: mencari bukti yang mendukung dan
melemahkan)
- Saat ini, apa yang Anda pikirkan jika mengingat kejadian tersebut? Apa yang
membuat Anda yakin hal tersebut benar? Adakah penjelasan sebaliknya?
- Apa yang membuat Anda berpikir bahwa Anda gagal? Apakah ada kejadian
tertentu yang mendahului, ataukah sepanjang waktu Anda merasa gagal seperti
ini?
2. The “Alternative Explanation” Questions (tujuan: mencari penjelasan alternatif
tentang fokus masalah)
- Seberapa sering Anda mengalami kesedihan seperti sekarang ini? Adakah saat-
saat Anda tidak teringat tentang kejadian tersebut?
- Adakah saat-saat Anda meski teringat kejadian tersebut, namun tidak merasa
sedih seperti sekarang ini? Kapankah itu?
- (Pada beberapa kasus, langkah ini bisa dilakukan terapis dengan menjelaskan
proses kesedihan dari segi biokimiawi otak, atau fakta ilmiah lainnya).
3. The “Decatastrophizing” Questions (tujuan: melihat kondisi terbaik dan
terburuk dari fokus masalah)
- Hal apa yang Anda bayangkan yang akan terjadi ketika Anda belum bisa lepas
dari kesedihan Anda? Apa yang ingin Anda lakukan ketika merasa sedih?
- Hal apa yang Anda bayangkan yang akan terjadi ketika Anda lepas dari
kesedihan Anda? Bagaimana pekerjaan Anda? Bagaimana teman-teman dan
keluarga Anda?
4. The “Impact of The Automatic Thought” Questions (tujuan: menilai akibat jika
mengikuti atau tidak mengikuti pola berpikirnya)
- Apa akibatnya jika Anda meyakini bahwa hal tersebut membuat Anda sedih?
- Apa manfaatnya jika Anda meyakini sebaliknya?
5. The “Distancing” Questions (tujuan: memberikan “jarak psikologis” dengan
fokus masalah)
- Ketika Anda mampu melakukan hal yang berbeda untuk mengatasi kesedihan
ini, bagaimana kira-kira tanggapan orang lain?

7
- Ketika mungkin ada teman atau keluarga yang mengalami hal yang sama seperti
Anda, apa yang Anda katakan untuk mereka?
6. The “Problem Solving” Questions (tujuan: mengubah hal yang abstrak ke
rencana konkrit)
- Apa yang Anda rencanakan selanjutnya untuk situasi ini?

B. Pendekatan Perilaku

Pendekatan perilaku adalah dengan menggunakan reality testing. Hagen


dan Nordahl menggunakan teknik ini pada satu kasus yang dilaporkannya.
Pertama-tama terapis menggunakan Socratic questioning untuk membantu pasien
menelisik lebih jauh mengenai struktur halusinasi auditoriknya. Dapat juga
digunakan kuesioner PSYRATS dan BAVQ-R untuk mengevaluasi distress yang
muncul dan belief pasien terhadap halusinasi auditoriknya. Pada kasus yang
ditulis Hagen dan Nordahl, pasien meyakini bahwa meletakkan botol-botol
minuman yang telah terisi air ledeng, lalu melapisi kasurnya dengan aluminium
foil, dapat mengurangi frekuensi halusinasi auditoriknya. Perilaku ini
diidentifikasi sebagai safety behavior yang menyuburkan halusinasinya. Terapis
memandu pasien untuk menyimpulkan, semakin banyak botol, maka suara-suara
semakin berkurang, sementara semakin sedikit botol, maka suara-suara semakin
bertambah. Kemudian terapis mengajak pasien untuk bereksperimen untuk
membuktikan hipotesis tersebut. Pada dua hari eksperimen, pasien menemukan
bahwa tidak ada perbedaan mencolok terhadap halusinasinya ketika ditambah
maupun dikurangi jumlah botolnya. Terapis memandu pasien untuk membuat
kesimpulan baru, bahwa strategi coping yang dilakukan pasien ternyata tidak
efektif mengurangi halusinasinya (Chadwick et al, 2000; Favrod et al, 2004;
Hagen & Nordahl, 2008). Pada titik ini, terjadi “kekosongan pendapat” atau
emptiness of self-statements dalam diri pasien.

Ini adalah resiko yang sering terjadi dalam proses reality testing. Terapis
hendaknya waspada ketika pasien mulai mengalami kebingungan. Dalam hal ini,
‘pendapat’ adalah domain kognitif, sehingga pasien perlu mendapatkan penjelasan
baru tentang halusinasinya. Jika tidak segera mendapatkan penjelasan baru
tentang apa yang sebenarnya dialami, pasien kemungkinan besar akan kembali

8
kepada safety behavior-nya. Hagen dan Nordahl memandu pasiennya agar tidak
terlalu lama mengalami kebingungan, dengan cara memverbalkan apa yang
mungkin dipikirkan pasien. Terapis dapat memandu pasien dengan beberapa
pertanyaan berikut:

1) “Apa sebabnya hingga saat ini saya tidak diganggu atau dibunuh? Apakah
suara-suara tersebut bohong?” atau,

2) “Sebenarnya seberapa sering suara-suara tersebut berkata benar tentang


ancaman mereka kepada saya?” Diharapkan pasien mulai memahami lebih jelas,
bahwa fenomena halusinasi auditorik tak lain adalah sisipan yang
dipersepsikannya sebagai suara-suara. Setelah pasien memahami, maka rasa
percaya dirinya bertambah, kecemasannya mereda, dan perasaan pasien menjadi
lebih baik (Morrison, 2001; Smith et al, 2003; Hagen & Nordahl, 2008).

C. Tahapan Terapi Kognitif-Perilaku

Masing-masing tahapan terapi kognitif-perilaku dapat dibagi lagi menjadi


sesi-sesi yang lebih kecil dengan tujuan yang lebih spesifik sesuai permasalahan
atau kondisi pasien saat itu. Berikut adalah tahapan-tahapannya (Smith et al, 2003;
Hatzipetrou & Po Oei, 2010; Valmaggia et al, 2005):

1. Fase Early Engagement: Membangun rapport, psikoedukasi dan penjelasan


program terapi, melakukan asesmen awal, meredakan gejala suasana perasaan
(mungkin depresi atau kecemasan) yang menyertai halusinasi auditoriknya,
membicarakan target terapi pasien untuk pertemuan berikutnya.

2. Fase Kedua: Menyusun formulasi kasus berdasarkan asesemen awal,


menetapkan target terapi yang lebih spesifik, membuat koneksi pikiran dan
perasaan (thoughts and feels) dan relabeling symptoms, meredakan gejala suasana
perasaan yang menyertai halusinasi dengan relaksasi, changing activity levels
dengan graded exposure.

3. Fase Terminasi: Mendiskusikan manfaat terapi yang dapat digunakan pasien


secara mandiri dalam kehidupannya sehari-hari, strategi pencegahan kekambuhan
(relapse prevention strategies). Antar sesi terdapat sebuah proses yang disebut

9
jembatan antar-sesi (bridging session). Pada bridging session ini dilakukan dengan
me-review target yang sudah dicapai dan tugas rumah apa yang sudah dikerjakan
pasien saat akan menuju sesi berikutnya. Saat menerima umpan balik, terapis
melakukan reinforcement, bahwa pasien telah berhasil mempelajari sesuatu pada
pertemuan sebelumnya. Melalui reinfrocement diharapkan dapat mendorong
pasien agar aktif mempraktekkan dalam kegiatan sehari-hari. (Smith et al, 2003;
Cully & Teten, 2008; Beck, 2011).

D. Beberapa Kendala yang Mungkin Dihadapi

Terapis seringkali terburu-buru menggunakan terapi kognitif-perilaku,


padahal pasien masih berada pada fase akut, dimana gejala halusinasi auditorik
dan wahamnya masih menonjol. Sehingga perlu intervensi farmakologis untuk
mengatasi keparahan gejala selama fase akut. Jika fase akut sudah terlewati, maka
sebaiknya terapis membuka pembicaraan dengan hal-hal yang dikenal pasien
tanpa perlu masuk ke dalam inti permasalahan pasien. Terapis perlu menerapkan
Colombo technique (sebuah teknik untuk membangun rapport) untuk mengatasi
hal ini. Selain itu, Adanya ketidakmampuan kognisi yang menonjol akibat
kronisitas penyakit, sehingga intervensi kognitif kurang dapat dilakukan.

Maka terapis perlu beralih ke intervensi perilaku, mengawali terapi dengan


eksperimen perilaku, kemudian secara berkala melakukan umpan balik bertahap
sebagai intervensi kognitif kepada pasien. Pada kondisi ini sangat dibutuhkan
pendampingan dari keluarga atau caregiver, untuk membantu pasien menerapkan
intervensi perilaku di rumah. Perlu diingat bahwa terapis harus membuat prioritas
masalah, kira-kira mana yang sangat mendesak untuk ditangani. Jika didapatkan
adanya kepribadian premorbid yang mungkin dapat mengganggu proses terapi,
maka terapis perlu menggunakan modalitas psikoterapi lainnya yang berfokus
pada terapi untuk Axis II. (Smith et al, 2003; Hagen & Nordahl, 2008).

10
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Teori kognitif pada hakikatnya adalah teori yang menjelaskan hal-
hal yang berkaitan dengan kemampuan manusia dalam memahami
berbagai pengalamannya. Teori ini meyakini bahwa belajar adalah hasil

11
dari usaha dari individu dalam memaknai pengalaman-pengalamannya
yang berada disekitarnya. Oleh sebab itu, belajar adalah proses yang
melibatkan individu secara aktif. Karena melibatkan seluruh kemampuan
mental secara optimal. Hal ini tercermin dari cara berfikir yang digunakan
individu dalam menghadapi sebuah situasi, dan hal itulah yang
memperngaruhi cara belajar.
Dalam teori kognitif proses belajar tidak sekedar melibatkan
hubungan antara stimulus dan respon. Lebih dari itu belajar adalah
melibatkan proses berfikir yang sangan kompleks. Ilmu pengetahuan di
bangun dalam diri seseorang melalui proses interaksi yang
berkesinambungan dengan lingkungan. Proses ini tidak berjalan terpisah-
pisah tapi melalui proses yang mengalir berkesinambungan dan
menyeluruh.
Terapi kognitif-perilaku pada makalah ini berfokus melatih coping
skill yang adaptif untuk membentuk belief yang baru terhadap halusinasi
auditoriknya. Pendekatan terapi ini dapat dilakukan intervensi kognitif
dengan Socratic Questioning, sementara pendekatan perilaku dapat
digunakan reality testing. Terapis dapat menggunakan intervensi kognitif
untuk membentuk perilaku baru, atau menggunakan eksperimen perilaku
untuk membentuk self statement baru.
3.2 Saran
Makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kami
selaku penyusun mohon diberi saran dan kritik yang membangun guna
terciptanya makalah yang lebih baik.

12
DAFTAR PUSTAKA

Keliat, B.A., dkk. (2005). Modul Basic Course Community Mental Health
Nursing. Kerjasama FIK UI dan WHO.

Oemarjoedi, A,K,. (2003). Pendekatan Cognitive Behavioral Dalam Psikoterapi.


Jakarta : Kreativ Media.

13

Anda mungkin juga menyukai