Anda di halaman 1dari 28

ANALISIS JURNAL

HISCPRUNG

DISUSUN OLEH:

Rexy Septadiansyah

21220055

Dosen Pembimbing :Efroliza, S.Kep., Ns., M.Kep.

INSTITUTE KESEHATAN DAN TEKNOLOGI

MUHAMMADIYAH PALEMBANG

PROGRAM PROFESI NERS

TAHUN 2020-2021
BAB I
HIRSCHPRUNG DISEASE

1. PENGERTIAN

Penyakit Hirschsprung adalah suatu kelainan bawaan berupa aganglionosis


usus, mulai dari sfingter anal internal ke arah proksimal dengan panjang segmen
tertentu, tetapi selalu termasuk anus dan setidak-tidaknya sebagian rektum. Kelainan
ini dikenal sebagai congenital aganglionesis, aganglionic megacolon, atau
Hirschsprung’s disease.

Hircshprung adalah malformasi kongenital di mana saraf dari ujung distal usus
tidak ada (Sacharin, 2002).Hircshprung disebut juga penyakit yang disebabkan oleh
obstruksi mekanis yang disebabkan oleh tidak adekuatnya motilitas pada usus
sehingga tidak ada evakuasi usus spontan dan tidak mampunya spinkter rectum
berelaksasi.Hirschsprung atau Mega Colon adalah penyakit yang tidak adanyasel– sel
gangglion dalam rectum atau bagian rektosigmoid Colon. Ketidakadaan ini
menimbulkan keabnormalan atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi
usus spontan( Betz, Cecily &Sowden : 2000 )
Foto pasien penderita Hirschsprung berusia 3 hari. Terlihat abdomen sangat distensi
dan penderita kelihatan menderita

2. ETIOLOGI
Penyakit ini disebabkan aganglionosis Meissner dan Aurbach dalam lapisan
dinding usus, mulai dari spingter ani internus ke arah proksimal, 70 % terbatas di
daerah rektosigmoid, 10 % sampai seluruh kolon dan sekitarnya 5 % dapat mengenai
seluruh usus sampai pilorus. Diduga terjadi karena faktor genetik sering terjadi pada
anak dengan Down Syndrom, kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding
usus, gagal eksistensi, kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus
(Budi, 2010).

3. PATOFISIOLOGI
Masalah utama dari penyakit ini adalah inervasi dari usus yang mengalami
gangguan terutama pada segmen anal termasuk mulai dari lokasi sfingter sampai
internus ke arah proksimal. Inervasi kolon berasal dari dua saraf yaitu saraf intrinsik
dan saraf ekstrinsik, saraf ekstrinsik simpatis berasal dari medula spinalis, sedangkan
yang parasimpatis untuk kolon sebelah kanan berasal dari nervus vagus, sedangkan
yang sebelah kiri berasal dari S2, S3, S4. Persarafan dari segmen anal dan sfingter
internus berasal dari sraf simpatis L5 dan saraf parasimpatis S1, S2, S3. Persarafan
simpatis akan menghambat kontraksi dari usus sedangkan persarafan para simpatis
akan mengaktifkan aktifitas peristaltik dari kolon. Saraf intrinsik berasal dari saraf
parasimpatis ganglion pleksus submukosa meisner dan ganglion mienterikus aurbach,
yang terletak diantara otot yang sirkuler dan longitudinal.
Secara sederhana, patofisiologi penyakit hirschprung adalah sebagai berikut.

Kegagalanmigrasi ganglion selcraniocaudal (5-12 minggu)

Pembentukan syaraf parasimpatis pada segmen usus besar tidak sempurna


(agangglionik)

Tidakadanyasel ganglion parasimpatisotonom (pleksusmeissnerdanAuerbach)

Hirschprung (segmenpanjang :melebihi sigmoid,


seluruhkolon/usushalus&segmenpendek)

Hipertrofi otot colon Kegagalan sfinter anal internal relaksasi

pada sub proximal

(zona peralihan antara usus Motilitas usus menurun

dan persyarafan)

Terjadi konstipasi atau


obstipasi
Penebalan dinding colon

Colon distal berdilatasi hebat

Akumulasi feses dan gas Dilatasi colon distal


Tindakan operasi

Mikroorganisme berkembang Megacolon Luka terbuka (terpasang stoma)

Biak di daerah colon

Akumulasi enterocolitis Peningkatan peristaltik pada


Terputusnya

colon proksimal
kontinuitas

Diare Hipertrofi otot colon dan distensi abdomen jaringan


Output cairan dan

elektrolit berlebih Stagnansi makanan menekan difragma Pengeluaran

Dehidrasi Berat Impuls ke SSP zat


vasoaktif

Ekspansi paru menurun


(bradikinin,

Merangsang serotonin)
vomiting
center

Sesak napas Rangsang reseptor syaraf

Nausea dan vomitus bebas

Anoreksia Rangsang
thalamus

Cortex serebri
4. MANIFESTASI KLINIS

Gejala yang ditemukan pada bayi yang baru lahir adalah: Dalam rentang waktu
24-48 jam, bayi tidak mengeluarkan mekonium (kotoran pertama bayi yang berbentuk
seperti pasir berwarna hijau kehitaman), malas makan, muntah yang berwarna hijau,
pembesaran perut (perut menjadi buncit)distensi abdomen, konstipasi, dan
diaremeningkat

Sedangkan, gejala pada masa pertumbuhan (usia 1 -3 tahun) adalah sebagai berikut:

a. Tidak dapat meningkatkan berat badan


b. Konstipasi (sembelit)
c. Pembesaran perut (perut menjadi buncit)
d. Diare cair yang keluar seperti disemprot
e. Demam dan kelelahan adalah tanda-tanda dari radang usus halus dan dianggap
sebagai keadaan yang serius dan dapat mengancam jiwa.

Pada anak diatas 3 tahun, gejala bersifat kronis :


a. Konstipasi (sembelit)
b. Kotoran berbentuk pita
c. Berbau busuk
d. Pembesaran perut
e. Pergerakan usus yang dapat terlihat oleh mata (seperti gelombang)
f. Menunjukkan gejala kekurangan gizi dan anemia

Pada anak-dewasa

a. Konstipasi
b. Distensi abdomen
c. Dinding abdomen tipis
d. Aktivitasperistaltikmenurun
e. Terjadi malnutrisi dan pertumbuhannya terhambat

5. KLASIFIKASI
a. Hirschprung segmenp endek : meliputi colon sigmoid, rektum, dananal canal,
tipeinilebih seringdideritaolehlaki-lakisertaseringditemukan
b. Hirschprung segmen panjang: tidak ditemukan sel-selganglionik hampir diseluruh
colon atau seluruh colon tidak memiliki ganglion (aganglionik colon total),
biasanya melebihi sigmoid, kadang-kadang sampai usus halus

6. DIAGNOSA
Diagnosis yang diperoleh terutama dengan teknik radiografi dan ultrasound. Studi
tentang penilaian kolonik transit sangat berguna dalam menentukan kemampuan fisik
tubuh untuk menahan daya yang dapat merubah posisi megakolon dari bentuk
istirahat atau untuk merubah bentuk..Dalam tes ini, pasien diharuskan menelan larutan
yang mengandung bolus ‘kontras radio-opaq’. Dari sini didapatkan film dalam jangka
waktu1,3 dan 5 jam kemudian. Pasien dengan kelembaman kolon dapat dikenal pasti
dari penilaian yang terbentukdi sepanjang usus besar, sementara pasien obstruksi
berlebihan akan mengakumulasi penilaian pada tempat tertentu. Suatu colonscopy
bisa juga digunakan untuk menegaskan penyebab obstruksi secara mekanikal.
Monometri anorektal bisa membantu dalam membedakan bentuk kongenital dan
didapat. Biopsi rektal direkomendasi untuk diagnosis akhir bagi penyakit
Hirschprung.

7. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan hirsprung ada dua cara, yaitu pembedahan dan konservatif.

a) Pembedahan

Pembedahan pada penyakit hirscprung dilakukan dalam dua tahap.Mula-mula


dilakukan kolostomi loop atau double–barrel sehingga tonus dan ukuran usus yang
dilatasi dan hipertrofi dapat kembali normal (memerlukan waktu kira-kira 3 sampai
4 bulan). Bila umur bayi itu antara 6-12 bulan (atau bila beratnya antara 9 dan 10
Kg), satu dari tiga prosedur berikut dilakukan dengan cara memotong usus
aganglionik dan menganastomosiskan usus yang berganglion ke rectum dengan
jarak 1 cm dari anus.

Prosedur pembedahan :

1. Prosedur Duhamel

Prosedur Duhamel umumnya dilakukan terhadap bayi yang berusia kurang


dari 1 tahun. Prosedur ini terdiri atas penarikan kolon normal ke arah bawah
dan menganastomosiskannya di belakang anus aganglionik, menciptakan
dinding ganda yang terdiri dari selubung aganglionik dan bagian posterior
kolon normal yang ditarik tersebut.

2. Prosedur Swenson
Pada prosedur Swenson, bagian kolon yang aganglionik itu dibuang.
Kemudian dilakukan anastomosis end-to-end pada kolon bergangliondengan
saluran anal yang dilatasi. Sfinterotomi dilakukan pada bagian posterior.
3. Prosedur Soave
Prosedur Soave dilakukan pada anak-anak yang lebih besar dan merupakan
prosedur yang paling banyak dilakukanuntuk mengobati penyakit hirsrcprung.
Dinding otot dari segmen rektum dibiarkan tetap utuh. Kolon yang bersaraf
normal ditarik sampai ke anus, tempat dilakukannya anastomosis antara kolon
normal dan jaringan otot rektosigmoid yang tersisa.Dengan cara membiarkan
dinding otot dari segmen rektum tetap utuh kemudian kolon yang bersaraf
normal ditarik sampai ke anus tempat dilakukannya anastomosis antara kolon
normal dan jaringan otot rektosigmoid yang tersisa
4. Prosedur Transanal Endorectal Pull-Through.

Tehnik ini dilakukan dengan pendekatan lewat anus. Setelah dilakukan dilatasi
anus dan pembersihan rongga anorektal dengan povidon-iodine, mukosa
rektum diinsisi melingkar 1 sampai 1,5 cm diatas linea dentata. Dengan diseksi
tumpul rongga submukosa yang terjadi diperluas hingga 6 sampai 7 cm kearah
proksimal. Mukosa yang telah terlepas dari muskularis ditarik ke distal sampai
melewati anus sehingga terbentuk cerobong otot rektum tanpa mukosa.

Keuntungan prosedur ini antara lain lama pemendekan dan operasi lebih
singkat, waktu operasi lebih singkat, perdarahan minimal, feeding dapat
diberikan lebih awal, biaya lebih rendah, skar abdomen tidak ada. Akan tetapi
masih didapatkan komplikasi enterokolitis, konstipasi dan striktur
anastomosis.
5. Posterior Sagital Neurektomi Repair for Hirschsprung Disease

Teknik ini diperkenalkan oleh Rochadi, 2005. Setelah dilakukan desinfeksi


pada daerah anogluteal kemudian daerah operasi ditutup duk steril. Irisan
pertama dimulai dengan irisan kulit intergluteal dilanjutkan membuka lapisan-
lapisan otot yang menyusun “muscle complex” secara tumpul dan tajam
sehingga terlihat dinding rektum. Lapisan otot dinding rektum dibuka
memanjang sampai terlihat lapisan mukosa menyembul dari irisan operasi.
Identifikasi daerah setinggi linea dentata dilakukan dengan cara memasukkan
jari telunjuk tangan kiri ke anus. Panjang irisan adalah 1 cm proksimal linea
dentata sampai zone transisi yang ditandai dengan adanya perubahan diameter
dinding rektum. Supaya tidak melukai mukosa rektum maka setelah mukosa
menyembul, muskularis dinding rektum dipisahkan dari mukosa dengan cara
tumpul sehingga lapisan muskularis benar-benar telah terpisah dari mukosa.
Strip muskularis dinding rektum dengan lebar 0,5 cm dilepaskan dari mukosa
sepanjang zone spastik sampai zone transisi. Material ini dikirim ke bagian
Patologi Anatomi untuk pemeriksaan pewarnaan hematoksilin-eosin guna
identifikasi sel ganglion Auerbach dan Meissner.
Tehnik Posterior Sagittal Repair for Hirschsprung’s Disease ini dilakukan satu
tahap, tanpa kolostomi dan tanpa pull –through.

b) Konservatif

Pada neonatus dengan obstruksi usus dilakukan terapi konservatif melalui


pemasangan sonde lambung serta pipa rectal untuk mengeluarkan mekonium dan
udara.

c) Tindakanbedahsementara

Kolostomi dikerjakan pada pasien neonatus, pasien anak dan dewasa yang
terlambat didiagnosis dan pasien dengan enterokolitis berat dan keadaan umum
memburuk. Kolostomi dibuat di kolon berganglion normal yang paling distal.

Pemeriksaan Penunjang Penyakit Hirschprung


1. Radiologi
a. Foto Polos Abdomen
Pemeriksaan foto polos abdomen, terlihat tanda-tanda obstruksi usus letak
rendah. Umumnya gambaran kolon sulit dibedakan dengan gambaran usus
halus. Pada foto polos abdomen memperlihatkan obstruksi pada bagian distal
dan dilatasi kolon proksimal.Penyakit Hirschsprung pada neonatus cenderung
menampilkan gambaran obstruksi usus letak rendah. Daerah pelvis terlihat
kosong tanpa udara. Pada pasien bayi dan anak gambaran distensi kolon dan
massa feses lebih jelas dapat terlihat.
Foto Polos Abdomen Penderita Hirschprung

b. Foto Barium Enema


Pada foto barium enema memberikan gambaran yang sama disertai dengan
adanya daerah transisi diantara segmen yang sempit pada bagian distal dengan
segmen yang dilatasi pada bagian yang proksimal. Jika tidak terdapat daerah
transisi, diagnosa penyakit hirschprung ditegakkan dengan melihat perlambatan
evakuasi barium karena gangguan peristaltik.

Terdapat tiga jenis gambaran zona transisi yang dijumpai pada foto enema
barium :

 Abrupt, perubahan mendadak


 Cone, bentuk seperti corong atau kerucut
 Funnel, bentuk seperti cerobong

2. Laboratorium
a. Kimia Darah : Pada kebanyakan pasien temuan elektrolit dan panel renal
biasanya dalam batas normal. Anak dengan diare memiliki hasil yang sesuai
dengan dehidrasi. Pemeriksaan ini dapat membantu mengarahkan pada
penatalaksanaan cairan dan elektrolit.
b. Darah Rutin : Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui hematokrit dan
platelet preoperatif.
c. Profil Koagulasi : Pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan tidak ada
gangguan pembekuan darah yang perlu dikoreksi sebelum operasi dilakukan.
3. Patologi Anatomis (Biopsi)
Biopsi rektum untuk melihat ganglion pleksus submukosa meisner, apakah terdapat
ganglion atau tidak. Padapenyakithirschprung ganglion initidakditemukan.

8. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian

Menurut Suriadi (2001:242) fokus pengkajian yang dilakukan pada penyakit


hischprung adalah :

1. Riwayat pengeluaran mekonium dalam 24 jam pertama setelah lahir, biasanya ada
keterlambatan.

2. Riwayat tinja seperti pita dan bau busuk.

3. Pengkajian status nutrisi dan status hidrasi.

a. Adanya mual, muntah, anoreksia, mencret.

b. Keadaan turgor kulit biasanya menurun

c. Peningkatan atau penurunan berat badan.

d. Penggunaan nutrisi dan rehidrasi parenteral

4. Pengkajian status bising usus untuk melihat pola bunyi hiperaktif pada bagian
proximal karena obstruksi, biasanya terjadi hiperperistaltik usus.

5. Pengkajian psikososial keluarga berkaitan dengan

a. Anak : Kemampuan beradaptasi dengan penyakit, mekanisme koping yang


digunakan.
b. Keluarga : Respon emosional keluarga, koping yang digunakan keluarga,
penyesuaian keluarga terhadap stress menghadapi penyakit anaknya.

6. Pemeriksaan laboratorium darah hemoglobin, leukosit dan albumin juga perlu


dilakukan untuk mengkaji indikasi terjadinya anemia, infeksi dan kurangnya
asupan protein.

Menurut Wong (2004:507) mengungkapkan pengkajian pada penyakit


hischprung yang perlu ditambahkan selain uraian diatas yaitu :

1. Lakukan pengkajian melalui wawancara terutama identitas, keluhan utama,


pengkajian pola fungsional dan keluhan tambahan.

2. Monitor bowel elimination pattern : adanya konstipasi, pengeluaranmekonium


yang terlambat lebih dari 24 jam, pengeluaran feses yang berbentuk pita dan
berbau busuk.

3. Ukur lingkar abdomen untuk mengkaji distensi abdomen, lingkar abdomen


semakin besar seiring dengan pertambahan besarnya distensi abdomen.

4. Lakukan pemeriksaan TTV, perubahan tanda viatal mempengaruhi keadaan umum


klien.

5. Observasi manifestasi penyakit hirschprung

a. Periode bayi baru lahir

1) Gagal mengeluarkan mekonium dalam 24-48 jam setelah lahir.

2) Menolak untuk minum air.

3) Muntah berwarna empedu

4) Distensi abdomen

b. Masa bayi
1) Ketidakadekuatan penembahan berta badan

2) Konstipasi

3) Distensi abdomen

4) Episode diare dan muntah

5) Tanda – tanda ominous (sering menandakan adanya enterokolitis : diare


berdarah, letargi berat)

c. Masa kanak –kanak

1) Konstipasi.

2) Feses berbau menyengat dan seperti karbon.

3) Distensi abdomen.

4) Anak biasanya tidak mempunyai nafsu makan dan pertumbuhan yang


buruk.

6. Bantu dengan prosedur diagnostik dan pengujian

a. Radiasi : Foto polos abdomen yang akan ditemukan gambaran obstruksi usus
letak rendah.

b. Biopsi rektal : menunjukan aganglionosis otot rectum.

c. Manometri anorectal : ada kenaikan tekanan paradoks karena rektum


dikembangkan / tekanan gagal menurun.

Lakukan pengkajian fisik rutin, dapatkan riwayat kesehatan dengan cermat terutama
yang berhubungan dengan pola defekasi.

1. Kaji status hidrasi dan nutrisi umum


a. Monitor bowel elimination pattern

b. Ukur lingkar abdomen

c. Observasi manifestasi penyakit hischprung

2. Periode bayi baru lahir

a. Gagal mengeluarkan mekonium dalam 24 – 48 jam setelah lahir

b. Menolak untuk minum air

c. Muntah berwarna empedu / hijau-Distensi abdomen

3. Masa bayi

a. Ketidakadekuatan penambahan berat badan

b. Konstipasi

c. Distensi abdomen

d. Episode diare dan muntah

e. Tanda – tanda ominous (sering menandakan adanya enterokolitis)

f. Diare berdarah

g. Demam dan Letargi berat

4. Masa kanak – kanak (gejala lebih kronis)

a. Konstipasi

b. Feses berbau menyengat seperti karbon

c. Distensi abdomen

d. Masa fekal dapat teraba


e. Anak biasanya mampu mempunyai nafsu makan & pertumbuhan yang buruk

B. Diagnosa Keperawatan

1. Pola nafas tidak efektif b.d penurunan ekspansi paru.

2. Nyeri akut b.d inkontinuitas jaringan.

3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d masukan makanan


tak adekuat dan rangsangan muntah.

4. Perubahan pola eliminasi (konstipasi) b.d defek persyarafan terhadap aganglion


usus.

5. Resiko kekurangan volume cairan b.d muntah, diare dan pemasukan terbatas
karena mual.

6. Resiko tinggi infeksi b.d imunitas menurun dan proses penyakit

C. Intervensi

1. Dx 1 : Pola nafas tidak efektif b.d penurunan ekspansi paru

Kriteria Hasil :

1) Frekuensi pernafasan dalam batas normal

2) Irama nafas sesuai yang diharapkan

3) Ekspansi dada simetris

4) Bernafas mudah

5) Keadaan inspirasi
Intervensi :

1) Monitor frekuensi, ritme, kedalamam pernafasan.

2) Catat pergerakan dada, kesimetrisan, penggunaan otot tambahan.

3) Monitor pola nafas bradipnea , takipnea, hiperventilasi.

4) Palpasi ekspansi paru

5) Auskultasi suara pernafasan

Oxygen therapy

1) Atur peralatan oksigenasi

2) Monitor aliran oksigen

3) Pertahankan jalan nafas yang paten

4) Pertahankan posisi pasien

2. Dx 2 : Nyeri akut b.d inkontinuitas jaringan

Kriteria hasil :

1) Mengenali faktor penyebab

2) Menggunakan metode pencegahan

3) Menggunakan metode pencegahan nonanalgetik untuk mengurangi nyeri.

4) Menggunakan analgetik sesuai kebutuhan

5) Mengenali gejala – gejala nyeri


Intervensi:

1) Kaji secara komprehensif tentang nyeri meliputi : lokasi ,karakteristik dan onset,
durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan faktor – faktor
presipitasi.

2) Observasi isyarat – isyarat non verbal dari ketidaknyamanan, khususnya dalam


ketidakmampuan untuk komunikasi secara efektif.

3) Gunakan komunikasi terapeutik agar pasien dapat mengekspresikan nyeri.

4) Kontrol faktor – faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien


terhadap ketidaknyamanan (ex : temperatur ruangan , penyinaran).

5) Ajarkan penggunaan teknik nonfarmakologi (misalnya : relaksasi, guided


imagery, distraksi, terapi bermain, terapi aktivitas)

Analgetik administration

1) Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas, dan derajat nyeri sebelum pemberian


obat.

2) Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis dan frekuensi

3) Pilih analgetik yang diperlukan/kombinasi dari analgetik ketika pemberian lebih


dari satu.

4) Tentukan pilihan analgetik tergantung tipe dan beratnya nyeri.

3. Dx 3 : Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d


masukan makanan tak adekuat dan rangsangan muntah.

Kriteria hasil :
1) Stamina

2) Tenaga

3) Kekuatan menggenggam

4) Penyembuhan jaringan

5) Daya tahan tubuh

6) Pertumbuhan

Intervensi :

1) Timbang Berat badan

2) Anjurkan pada keluarga pasien untuk memberikan ASI

3) Anjurkan pasien untuk meningkatkan protein dan vit C

4) Kolaborasikan dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kaloridan nutrisi yang
dibutuhkan pasien.

Monitoring nutrisi

1) Monitor turgor kulit

2) Monitor mual dan muntah

3) Monitor intake nutrisi

4) Monitor pertumbuhan dan perkembangan

4. Dx 4 : Perubahan pola eliminasi (konstipasi) b.d defek persyarafan terhadap


aganglion usus
Kriteria hasil :

1) Pola eliminasi dalam batas normal

2) Warna feses dalam batas normal

3) Feses lunak / lembut dan berbentuk

4) Bau feses dalam batas normal (tidak menyengat)

5) Konstipasi tidak terjadi

Intervensi :

1) Tetapkan alasan dilakukan tindakan pembersihan sistem pencernaan.

2) Pilih pemberian enema yang tepat

3) Jelaskan prosedur pada pasien

4) Monitor efek samping dari tindakan irigasi atau pemberian obat oral

5) Catat keuntungan dari pemberian enema laxatif

6) Informasikan pada pasien kemungkinan terjadi perut kejang atau keinginan untuk
defekasi.

5. Dx 5 : Resiko kekurangan volume cairan b.d muntah, diare dan pemasukan


terbatas karena mual.

Kriteria hasil :

1) Keseimbangan intake dan output 24 jam

2) Berat badan stabil

3) Tidak ada mata cekung


4) Kelembaban kulit dalam batas normal

5) Membran mukosa lembab

Intervensi :

1) Timbang popok jika diperlukan

2) Pertahankan intake dan output yang akurat

3) Monitor status hidrasi (kelembaban membran mukosa, nadiadekuat, tekanan darah)

4) Monitor vital sign

5) Kolaborasikan pemberian cairan IV

6) Dorong masukan oral

7) Dorong keluarga untuk membantu pasien makan

6. Dx 6 : Resiko tinggi infeksi b.d imunitas menurun dan proses penyakit

Kriteria hasil :

1) Pasien bebas dari tanda dan gejala infeksi

2) Menjelaskan proses penularan penyakit

3) Menjelaskan faktor yang mempengaruhi penularan serta penatalaksanaannya

4) Menunjukan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi

5) Menunjukan perilaku hidup sehat

Intervensi :
1) Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan local

2) Monitor kerentanan terhadap infeksi

3) Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas dan drainase

4) Inspeksi kondisi luka / insisi bedah

5) Dorong masukan nutrisi yang cukup

6) Dorong istirahat

BAB II

PEMBAHASAN

1. KASUS
2. Seorang ibu melahirkan bayi dengan usia 36 minggu.Pada pemeriksaan didapatkan bayi
dengan sklera,kuku dan kulit tampak kuning serta konjugtiva ikterus.Pemeriksaan Lab
Bilirubin serum 13,5 mg/dl, BB bayi 2200 gram,panjang bayi 45 cm,penurunan refleks
menghisap lemah,bayi belum BAB,perut tampak kembung,bising usus 6.

3. PERTANYAAN KLINIS

Pengaruh apa yang di nilai dari kasus di atas?

4. PICO

P:Bayi R

I:Pemeriksaan Lab Bilirubin serum


C:Tidak ada pembanding

O:Penurunan refleks menghisap lemah,bayi belum BAB,perut tampak kembung,bising usus


6

5. SEARCHING LITERATUR(JOURNAL)

Setelah dilakukan Searching literature (journal) di Google scholar, didapatkan Salah satu
journal yang terkait dengan judul “Hipoalbuminemia prabedah sebagai faktor prognostik

enterokolitis pascabedah penderita megakolon kongenital (Hirschsprung’s disease)”.

Dengan alasan:

a. Jurnal tersebut sesuai dengan kasus.

b. Jurnal tersebut up to data

5.VIA

Validity:

a) Desain : desain

Penelitian

ambidirectional cohort yang merupakan gabungan desain kohort prospektif dan desain
kohort retrospektif dengan lama waktu pengamatan 6 bulan pascabedah.

b) Sampel :

Sampel penelitian

yang diikutkan dalam penelitian ini sejumlah 104 penderitapenyakit Hirschsprung


pascabedah yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi.

c) Kriteria inklusi dan ekslusi :

Kriteria insklusi : subjek penelitian ini adalah subjek berumur kurang atau sama dengan 14
tahun, bersedia mengikuti penelitian atas persetujuan orang tua dengan menandatangani
informed concent, dan menjalani terapi lengkap sampai waktu follow-up.
Kriteria eksklusi: Kriteria eksklusi adalah adanya kelainan gastrointestinal lain yang akan
mengganggu

jalannya operasi, megakolon residif, serta adanya kelainan fungsi hati dan jantung yang akan
membahayakan penderita apabila dikerjakan tindakan operasi.

d) Randomisasi: Tidak dilakukan randomisasi dalam pengambilan sampel

a. Importance dalam hasil

1) Karakteristik subjek : Karakteristik subjek dalam penelitian ini Penyakit Hirschsprung atau
megakolon kongenital

2) Beda proporsi :

Hasil: Dari 104 anak dengan penyakit Hirschsprung, diperoleh 53 (51%) anak dengan
hipoalbuminemia dan 51 (49%) anak dengan normoalbuminemia. Enterokolitis pascabedah
terjadi pada 18 (17,3%) anak, diantaranya terdapat 11 (61,1%) anak dengan
hipoalbuminemia dan 7 (38,9%) anak dengan normoalbuminemia. Kadar albumin bukan
merupakan faktor prognostik enterokolitis pascabedah pada anak megakolon kongenital
(RR=1,51; IK 95%:0,64-3,60; p=0,34).

3) Beda mean :

-proporsi kejadian

enterokolitis pascabedah pada laki-laki 2,6 kali lebih besar dibandingkan perempuan.

-disimpulkan bahwa

jenis kelamin, umur operasi, berat badan, kadar Hb, dan kadar albumin tidak berhubungan
bermakna dengan kejadian enterokolitis pascabedah (p>0,05) sedangkan lama operasi, lama
perawatan, dan jenis operasi berhubungan bermakna dengan kejadian enterokolitis.

-Jenis operasi tidak diikutkan dalam model regresi logistik maupun PSNRHD, diperoleh
kejadian enterokolitis Pasca bedah pada 18 subjek (17,3%) dan menunjukkan adanya
perbedaan yang bermakna antara kedua teknik operasi tersebut (p=0,001).

4) Nilai p value :
Berdasarkan lama waktu perawatan, hasil penelitian ini menunjukkan adanya perbedaan
yang bermakna (p=0,032), yaitu kejadian enterokolitis pascabedah pada lama waktu
perawatan kurang dari atau sama dengan 10 hari adalah 0,26 kali dibandingkan dengan
lama perawatan lebih dari 10 hari.

b. Applicability

1) Dalam diskusi

Mengidentifikasi hasil penelitian yang telah dilakukan, “Hipoalbuminemia prabedah sebagai


faktor prognostik enterokolitis pascabedah penderita megakolon kongenital

(Hirschsprung’s disease)” Kadar albumin secara statistik tidak berpengaruh terhadap


terjadinya enterokolitis pascabedah penderita penyakit megakolon kongenital
(Hirschsprung’s disease). Namun, secara klinis perlu dipertimbangkan untuk melakukan
operasi dengan kadar albumin lebih dari 3,5 g/dl.

1) Karakteristik klien : kadar albumin prabedah, penyakit megakolon kongenital

(Hirschsprung’s disease).

2) Fasilitas biaya : Tidak dicantumkan jumlah biaya yang digunakan

6. Diskusi

Berdasarkan jurnal yang berjudul “Hipoalbuminemia prabedah sebagai faktor prognostik


enterokolitis pascabedah penderita megakolon kongenital

(Hirschsprung’s disease)"

Penyakit Hirschsprung atau megakolon kongenital adalah kelainan kongenital berupa


ketiadaan sel ganglion pada kolon. Rektum selalu terlibat dan 90% kelainan ini didapatkan
pada rektum dan sigmoid. Ketiadaan sel ganglion akan menyebabkan gangguan peristaltik
sehingga mengakibatkan terjadinya ileus fungsional. Keberhasilan terapi tergantung pada
beberapa faktor antara lain umur saat operasi, berat badan, kadar hemoglobin, albumin,
lama operasi, lama perawatan, dan faktor-faktor prognostik lainnya. Enterokolitis dan
komplikasi pascabedah lainnya masih merupakan masalah yang harus dihadapi oleh para
ahli bedah anak.Hasil: Dari 104 anak dengan penyakit Hirschsprung, diperoleh 53 (51%) anak
dengan hipoalbuminemia dan 51 (49%) anak dengan normoalbuminemia. Enterokolitis
pascabedah terjadi pada 18 (17,3%) anak, diantaranya terdapat 11 (61,1%) anak dengan
hipoalbuminemia dan 7 (38,9%) anak dengan normoalbuminemia. Kadar albumin bukan
merupakan faktor prognostik enterokolitis pascabedah pada anak megakolon kongenital
(RR=1,51; IK 95%:0,64-3,60; p=0,34).Kesimpulan nya Kadar albumin bukan merupakan
faktor prognostik enterokolitis pascabedah pada anak dengan megakolon kongenital.Kadar
albumin secara statistik tidak berpengaruh terhadap terjadinya enterokolitis pascabedah
penderita penyakit megakolon kongenital (Hirschsprung’s disease). Namun, secara klinis
perlu dipertimbangkan untuk melakukan operasi dengan kadar albumin lebih dari 3,5 g/dl.

BAB III KESIMPULAN

Penyakit Hirschsprung atau megakolon kongenital adalah kelainan kongenital berupa


ketiadaan sel ganglion pada kolon. Rektum selalu terlibat dan 90% kelainan ini didapatkan
pada rektum dan sigmoid. Ketiadaan sel ganglion akan menyebabkan gangguan peristaltik
sehingga mengakibatkan terjadinya ileus fungsional. Keberhasilan

terapi tergantung pada beberapa faktor antara lain umur saat operasi, berat badan, kadar
hemoglobin, albumin, lama operasi, lama perawatan, dan faktor-faktor prognostik lainnya.
Enterokolitis dan komplikasi pascabedah lainnya masih

merupakan masalah yang harus dihadapi oleh para ahli bedah anak.Kadar albumin secara
statistik tidak berpengaruh terhadap terjadinya enterokolitis pascabedah penderita penyakit
megakolon kongenital (Hirschsprung’s disease). Namun, secara klinis perlu
dipertimbangkan untuk melakukan operasi dengan kadar albumin lebih dari 3,5 g/dl.
DAFTAR PUSTAKA
Betz, Cecily, L. Dan Linda A. Sowden 2002. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Edisi
ke-3. Jakarta : EGC.
Carpenito , Lynda juall. 1997 . Buku saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC
Corputty, Elfianto. D, dkk. 2015. Gambaran Pasien Hirschsprung di RSUP PROF. DR. R. D.
KANDOU Manado Periode Januari 2010-September 2014.
Corwin, Elizabeth J. 2000. Buku Saku Patofisiologi. Alih bahasa : Brahm U Pendit. Jakarta :
EGC.
Gonzalo, David Hernandez dan Thomas Plesec. 2013. Hirschsprung Disease and Use of
Calretinin in Inadequate Rectal Suction Biopsies. CINAHL with Full Text,
EBSCOhost (accessed April 21, 2014).
Kartono, Darmawan. 2004. Penyakit Hirschsprung. Jakarta : Sagung Seto.

Kuzemko, Jan, 1995, Pemeriksaan Klinis Anak, alih bahasa Petrus Andrianto, cetakan III,
EGC, Jakarta.

Lyke, Merchant Evelyn, 1992, Assesing for Nursing Diagnosis ; A Human Needs
Approach,J.B. Lippincott Company, London.

Mansjoer, dkk. 2000, Kapita Selekta Kedokteran, ed.3, Media Aesculapius, Jakarta.

Octavia, Putu Dewi dan I Made Darmajaya.2012. Teknik Operasi Dua Tahap pada Kasus
Penyakit Hirschsprung Diagnosis Terlambat di RSUP Sangalah: Studi Deskriptif
Tahun 2010-2012.

Wong, Donna L. 2003. Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik.Sri Kurnianingsih (Fd),


Monica Ester (Alih bahasa) edisi – 4 Jakarta : EGC

Rochadi. 2013. Hipoalbuminemia prabedah sebagai faktor prognostik enterokolitis


pascabedah penderita megakolon kongenital (Hirschsprung’s disease). JURNAL GIZI
KLINIK INDONESIA. Vol. 9, No. 3, Januari 2013 : 111-116

Anda mungkin juga menyukai