HIPERBILIRUBIN
DOSEN PENGAJAR :
Ns. Mercy Nafratilova, M.Kep.,Sp.Kep.An
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kadar bilirubin serum orang normal umumnya kurang lebih 0,8 mg % (17mmol/l),
akan tetapi kira-kira 5% orang normal memiliki kadar yang lebih tinggi (1-3 mg/dl). Bila
penyebabnya bukan karena hemolisis atau penyakit hati kronik maka kondisi ini biasanya
disebabkan oleh kelainan familial metabolism bilirubin,yang paling sering adalah
sindrom gilbert. Sindrom lainnya juga sering ditemukan, prognasisnya baik. Diagnosis
yang akurat terutama pada penyakit hati kroniksangat penting untuk penatalaksanaan
pasien. Adanya riwayat keluarga, lamanya penyakit serta tidak ditemukan adanya
pertanda penyakit hati dan splenomegali, serum transaminase normal dan bila perlu
dilakukan biopsi hati. (Aru W. sudoyo).
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hiperbilirubin
Bilirubin adalah pigmen kristal tetrapiol berwarna jingga kuning yang merupakan
bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi-reduksi
yang terjadi di sistem retikulo endothelial (Kosim, 2012). Bilirubin diproduksi oleh
kerusakan normal sel darah merah. Bilirubin dibentuk oleh hati kemudian dilepaskan ke
dalam usus sebagai empedu atau cairan yang befungsi untuk membantu pencernaan
(Mendri dan Prayogi, 2017).
Hiperbilirubin dapat disebabkan proses fisiologis atau patologis dan dapat juga
disebabkan oleh kombinasi keduanya. Hiperbilirubinemia menyebabkan bayi baru lahir
tampak kuning, keadaan tersebut timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin (4Z, 15Z
bilirubin IX alpha) yang berwarna ikterus atau kuning pada sklera dan kulit (Kosim,
2012).
Pada keadaan normal kadar bilirubin indirect pada tali pusat bayi baru lahir yaitu 1 –
3 mg/dL dan terjadi peningkatan kurang dari 5 mg/dL per 24 jam. Bayi baru lahir
biasanya akan tampak kuning pada hari kedua dan ketiga dan memuncak pada hari
kedua sampai hari keempat dengan kadar 5 – 6 mg/dL dan akan turun pada hari ketiga
sampai hari kelima. Pada hari kelima sampai hari ketujuh akan terjadi penurunan kadar
bilirubin sampai dengan kurang dari 2 mg/dL. Pada kondisi ini bayi baru lahir dikatakan
mengalami hyperbilirubinemia fisiologis (Stoll et al, 2004).
2.2 Etiologi
Hiperbilirubinemia disebabkan oleh peningkatan produksi bilirubin karena
tingginya jumlah sel darah merah, dimana sel darah merah mengalami pemecahan sel
yang lebih cepat. Selain itu, hiperbilirubinemia juga dapat disebabkan karena penurunan
uptake dalam hati, penurunan konjugasi oleh hati, dan peningkatan sirkulasi
enterohepatik (IDAI, 2013).
Kejadian ikterik atau hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir disebabkan oleh
disfungsi hati pada bayi baru lahir sehingga organ hati pada bayi tidak dapat berfungsi
maksimal dalam melarutkan bilirubin ke dalam air yang selanjutkan disalurkan ke
empedu dan diekskresikan ke dalam usus menjadi urobilinogen. Hal tersebut
meyebabkan kadar 11 bilirubin meningkat dalam plasma sehingga terjadi ikterus pada
bayi baru lahir (Anggraini, 2016).
Menurut Nelson (2011) secara garis besar etiologi ikterus atau hiperbilirubinemia
pada neonatus dapat dibagi menjadi :
a. Produksi bilirubin yang berlebihan. Hal ini melebihi kemampuan neonatus untuk
mengeluarkan zat tersebut. Misalnya pada hemolisis yang meningkat pada
inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah lain, defisiensi enzim G6-PD, piruvat
kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar. Gangguan ini dapat disebabkan
oleh asidosis, hipoksia, dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase
(sindrom crigglerNajjar). Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein Y dalam hepar
yang berperan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
c. Gangguan transportasi bilirubin. Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian
diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat
misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak
terdapatnya bilirubin indirect yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam ekskresi. Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau
diluar hepar. Kelainan diluar hepar 12 biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan.
Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.
2.3 Patofisiologi
Bilirubin di produksi sebagian besar (70-80%) dari eritrosit yang telah rusak.
Kemudian bilirubin indirect (tak terkonjugasi) dibawa ke hepar dengan cara berikatan
dengan albumin. Bilirubin direk (terkonjugasi) kemudian diekskresikan melalui traktus
gastrointestinal. Bayi memiliki usus yang belum sempurna, karna belum terdapat
bakteri pemecah, sehingga pemecahan bilirubin tidak berhasil dan menjadi bilirubin
indirect yang kemudian ikut masuk dalam aliran darah, sehingga bilirubin terus
bersirkulasi (Atika dan Jaya, 2016).
Warna kuning dalam kulit akibat dari akumulasi pigmen bilirubin yang larut lemak,
tak terkonjugasi, non polar (bereaksi indirect). Pada bayi dengan hiperbilirubinemia
kemungkinan merupakan hasil dari defisiensi atau tidak aktifnya glukoronil transferase.
Rendahnya pengambilan dalam hepatik kemungkinan karena penurunan protein hepatik
sejalan dengan penurunan darah hepatik (Suriadi dan Yuliani 2010).
Jaundice yang terkait dengan pemberian ASI merupakan hasil dari hambatan kerja
glukoronil transferase oleh pregnanediol atau asam lemak bebas yang terdapat dalam
ASI. Terjadi empat sampai tujuh hari setelah lahir. Dimana terdapat kenaikan bilirubin
tak terkonjugasi dengan kadar 25 – 30 mg/dL selama minggu kedua sampai ketiga. Jika
pemberian ASI dilanjutkan hiperbilirubinemia akan menurun berangsur-angsur dapat
menetap selama tiga sampai sepuluh minggu pada kadar yang lebih rendah. Jika
pemberian ASI dihentikan, kadar bilirubin serum akan turun dengan cepat, biasanya
mencapai normal dalam beberapa hari. Penghentian ASI selama satu sampai dua hari
dengan penggantian ASI dengan susu formula mengakibatkan penurunan bilirubin
serum dengan cepat. (Suriadi dan Yuliani 2010).
2.4 Pathway
Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir dapat menyebabkan ikterus pada sklera,
kuku, atau kulit dan membrane mukosa. Jaundice yang muncul pada 24 jam pertama
disebabkan oleh penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis, atau ibu dengan
diabetik atau infeksi. Jaundice yang tampak pada hari kedua atau hari ketiga, dan
mencapai puncak pada hari ketiga sampai hari keempat dan menurun pada hari kelima
sampai hari ketujuh yang biasanya merupakan jaundice fisiologis (Suriadi dan Yuliani
2010).
Ikterus diakibatkan oleh pengendapan bilirubin indirect pada pada kulit yang
cenderung tampak kuning terang atau orange. Pada ikterus tipe obstruksi (bilirubin
direk) akan menyebabkan kulit pada bayi baru lahir tampak berwarna kuning kehijauan
atau keruh. Perbedaan ini hanya dapat dilihat pada ikterus yang berat. Selain itu
manifestasi klinis pada bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia atau ikterus yaitu
muntah, anoreksia, fatigue, warna urine gelap, serta warna tinja pucat (Suriadi dan
Yuliani 2010).
a) Sklera, selaput lendir, kulit atau organ lain tampak kuning akibat
penumpukan bilirubin.
b) Terjadi pada 24 jam pertama kehidupan.
c) Peningkatan konsentasi bilirubin 5mg/dL atau lebih setelah 24 jam.
d) Konsentrasi bilirubin serum 10 mg/dL pada neonatus cukup bulan dan 12,5
mg/dL pada neonatus kurang bulan.
e) Ikterik yang disertai proses hemolisis.
f) Ikterik yang disertai berat badan lahir kurang dari 2000 gram, masa gestasi
kurang dari 36 minggu, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, infeksi
trauma lahir kepala, hipoglikemia, hiper.
2.7 Komplikasi
Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir apabila tidak segera diatasi dapat
mengakibatkan bilirubin encephalopathy (komplikasi serius). Pada keadaan lebih fatal,
hiperbilirubinemia pada neonatus 20 dapat menyebabkan kern ikterus, yaitu kerusakan
neurologis, cerebral palsy, dan dapat menyebabkan retardasi mental, hiperaktivitas,
bicara lambat, tidak dapat mengoordinasikan otot dengan baik, serta tangisan yang
melengking (Suriadi dan Yuliani, 2010).
a. Pemberian antibiotic
Pemberian antibiotik dilakukan apabila hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir
disebabkan oleh infeksi.
b. Fototerapi
c. Fenobarbital
Transfusi tukar dilakukan apabila hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir sudah
tidak dapat ditangani dengan fototerapi.
1. Pengkajian Keperawatan
a) Pengkajian
Pengkajian pada kasus hiperbilirubinemia meliputi :
a. Identitas, seperti : Bayi dengan kelahiran prematur, BBLR, dan lebih
sering diderita oleh bayi laki-laki.
b. Keluhan utama
Bayi terlihat kuning dikulit dan sklera, letargi, malas menyusu, tampak
lemah, dan bab berwarna pucat.
c. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Keadaan umum bayi lemah, sklera tampak kuning, letargi, refleks
hisap kurang, pada kondisi bilirubin indirect yang sudah .20mg/dl
dan sudah sampai ke jaringan serebral maka bayi akan mengalami
kejang dan peningkatan tekanan intrakranial yang ditandai dengan
tangisan melengking.
2) Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya ibu bermasalah dengan hemolisis. Terdapat gangguan
hemolisis darah (ketidaksesuaian golongan Rh atau golongan darah
A,B,O). Infeksi, hematoma, gangguan metabolisme hepar
obstruksi saluran pencernaan, ibu menderita DM. Mungkin
praterm, bayi kecil usia untuk gestasi (SGA), bayi dengan
letardasio pertumbuhan intra uterus (IUGR), bayi besar untuk usia
gestasi (LGA) seperti bayi dengan ibu diabetes. Terjadi lebih
sering pada bayi pria daripada bayi wanita.
3) Riwayat kehamilan dan kelahiran
Antenatal care yang kurang baik, kelahiran prematur yang dapat
menyebabkan maturitas pada organ dan salah satunya hepar,
neonatus dengan berat badan lahir rendah, hipoksia dan asidosis
yang akan menghambat konjugasi bilirubin, neonatus dengan
APGAR score rendah juga memungkinkan terjadinya hipoksia
serta asidosis yang akan menghambat konjugasi bilirubin.
b) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia menurut
Widagdo, 2012 meliputi:
1) Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : tingkat keparahan penyakit, kesadaran, status nutrisi,
postur/aktivitas anak, dan temuan fisis sekilas yang prominen dari
organ/sistem, seperti ikterus, sianosis, anemi, dispneu, dehidrasi, dan
lain-lain.
Tanda vital : suhu tubuh, laju nadi, tekanan darah, dan laju nafas.
Data antropometri : berat badan, tinggi badan, lingkar kepala, tebal
lapisan lemak bawah kulit, serta lingkar lengan atas.
2) Pemeriksaan Organ
Kepala : bentuk, ubun-ubun besar, sutura, keadaan rambut, dan bentuk
wajah apakah simestris kanan atau kiri.
Kulit : warna, ruam kulit, lesi, petekie, pigmentasi, hiper/hipohidrolisis,
dan angiektasis. Menurut rumus kramer apabila kuning terjadi di daerah
kepala dan leher termasuk ke grade satu, jika kuning pada daerah kepala
serta badan bagian atas digolongkan ke grade dua. Kuning terdapat pada
kepala, badan bagian atas, bawah dan tungkai termasuk ke grade tiga,
grade empat jika kuning pada daerah kepala, badan bagian atas dan
bawah serta kaki dibawah tungkai, sedangkan grade 5 apabila kuning
terjadi pada daerah kepala, badan bagian atas dan bawah, tungkai, tangan
dan kaki.
Mata : ketajaman dan lapangan penglihatan, hipertelorisme, supersilia,
silia, esksoptalmus, strabismus, nitagmus, miosis, midriasis, konjungtiva
palpebra, sclera kuning, reflek cahaya direk/indirect, dan pemeriksaan
retina dngan funduskopi.
Hidung : bentuk, nafas cuping hidung, sianosis, dan sekresi.
Mulut dan tenggorokan : warna mukosa pipi/lidah, ulkus, lidah kotor
berpeta, tonsil membesar dan hyperemia, pembengkakan dan perdarahan
pada gingival, trismus, pertumbuhan/ jumlah/ morfologi/ kerapatan gigi.
Telinga : posisi telinga, sekresi, tanda otitis media, dan nyeri tekan.
Leher : tiroid, kelenjar getah bening, skrofuloderma, retraksi,
murmur,bendungan vena, refluks hepatojugular, dan kaku kuduk.
Thorax : bentuk, simetrisisitas, pembengkakan, dan nyeri tekan.
Jantung : tonjolan prekordial, pulsasi, iktus kordis, batas
jantung/kardiomegali. Getaran, bunyi jantung, murmur, irama gallop,
bising gesek perikard (pericard friction rub)
Paru-paru : Simetrsitas static dan dinamik, pekak, hipersonor, fremitus,
batas paru-hati, suara nafas, dan bising gesek pleura (pleural friction rub)
Abdomen : bentuk, kolteral, dan arah alirannya, smiling umbilicus,
distensi, caput medusa, gerakan peristaltic, rigiditas, nyeri tekan, masa
abdomen, pembesaran hati dan limpa, bising/suara peristaltik usus, dan
tanda-tanda asites.
Anogenetalia : atresia anus, vesikel, eritema, ulkus, papula, edema
skrotum.
Ekstremitas : tonus/trofi otot, jari tabuh, sianosis, bengkak dan nyeri
otot/tulang/sendi, edema pretibial, akral dingin, capillary revill time,
cacat bawaan.
b. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan bilirubin serum Pada bayi cukup bulan, kadar bilirubin
mencapai puncak kira-kira 6 mg/dL, antara 2 dan 4 hari kehidupan.
Apabila nilainya diatas 10 mmg/dL maka dikatakan
hiperbilirubinemia non fisiologis atau patologis. Pada bayi dengan
kurang bulan, kadar bilirubin mencapai puncaknya pada nilai 10 – 12
mg/dL, antara lima dan tujuh hari kehidupan. Apabila nilainya diatas
14 mg/dL maka dikatakan hiperbilirubinemia non fisiologis atau
patologis (Suriadi & Yulliani, 2010).
2) Ultrasonograf (USG) Pemeriksaan USG digunakan untuk
mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu (Suriadi & Yulliani,
2010).
3) Radioscope Scan Pemeriksaan radioscope scan dapat digunakan untuk
membantu membedakan hepatitis atau atresia biliary (Suriadi &
Yulliani, 2010).
2. Diagnosa keperawatan
a. Ikterik neonatus berhubungan dengan Hasil kadar bilirubin meningkat
b. Resiko hipotermi berhubungan dengan Transfer panas (efek samping
fototerapi)
c. Gangguan intregitas kulit berhubungan dengan Peningkatan kadar bilirubin
3. Intervensi Keperawatan
No
Diagnosa (SDKI) Tujuan Dan Kriteria Hasil (SLKI) Intervensi (SIKI)
.
1. Ikterik neonatus b.d Hasil kadar Setelah dilakukan tindakan keperawatan Fototerapi Neonatus [I.03091]
bilirubin meningkat [D.0024] 3 x 24 jam diharapkan Adaptasi
Observasi
Neonatus Membaik [L.10098] dengan
Gejala dan Tanda Mayor
1. Monitor ikterik pada skelradan kulit bayi
Kriteria hasil :
Subjektif : -
2. Monitor suhu dan TTV setiap 3 jam
Objektif : 1. Membran mukosa tidak ikterik
2. Kulit tidak kuning Terapeutik
1. Profil darah abnormal (hemolysis,
3. Sklera tidak kuning
bilirubin serum total >2mgdl, 1. Lepaskan pakaian bayi kecuali popok
4. Kadar bilirubin menurun
bilirubin serum total pada rentang 2. Berikan penutup mata pada bayi
resiko tinggi menurut usia pada 3. Biarkan tubuh bayi terpapar sinar fototerapi
normogram spesifik waktu) secara berkelanjutan
2. Membran mukosa kuning
3. Kulit kuning Kolaborasi
4. Sklera kuning 1. Kolaborasi pemeriksaan darah vena bilirubin
Gejala dan Tanda Minor direct dan indirect
Subjektif : -
Objektif : -
2. Resiko hipotermi b.d Transfer panas Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Hipotermi [I.14507]
(efek samping fototerapi) [D.0140] 3 x 24 jam diharapkan Termoregulasi
Observasi
[L.14134] dengan
Kriteria hasil : 1. Monitor suhu tubuh
2. Identifikasi penyebab hipotermi
1. Menggigil menurun
3. Monitor tanda dan gejala akibat hipotermi
2. Kulit merah menurun
3. Suhu tubuh membaik Terapeutik
4. Suhu kulit membaik
1. Sediakan lingkungan yang hangat
3. Gangguan integritas kulit b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan Perawatan Kulit dan Jaringan [I.11353]
Peningkatan kadar bilirubin [D.0142] 3 x 24 jam diharapkan Integritas kulit
Observasi
dan jaringan [L.14125] dengan
Gejala dan tanda mayor
1. Identifikasi penyebab gangguan integritas
Kriteria hasil :
Subjektif:- kulit
1. Kerusakan lapisan kulit menurun
Objektif: kerusakan jaringan atau Terapeutik
lapisan 2. Kemerahan menurun
3. Tekstur kulit membaik 1. Ubah posisi tiap 2 jam (tirah baring)
Gejala dan tanda minor 2. Membersihkan perineal dengan air
Subjektif:- hangat/tisu basah
Objektif: Edukasi
PENUTUP
3.1 Saran
Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum
setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum
bilirubin. Hiperbilirubi- nemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap
tergolong non patologis sehingga disebut 'Excessive Physiological Jaundice.
Digolongkan sebagai hiperbillirubenemia patologis ("Non Physiological
Jaundice') apabila kadar serum bilirubin terhadap usia neonates >95% menurut
Normogram Bhutani.
3.2 Saran
Penulis berharap jika perawat menemukan gejala hiperbilerubinemia, perawat
dapat mendiagnosa dan dapat melakukan intervensi teerhadap seseorang tersebut.
Dan penulis juga berharap makalah ini dapar bermanfaan bagi pembaca terutama
bagi perawat
DAFTAR PUSTAKA
Behrman, dkk. 1999. Ilmu Kesehatan Anak. Nelson Vol 1. Edisi 15. Jakarta: EGC
https://asus 10.wordpress.com/asuhan-keperawatan/askep-pada-kasus-bayi-hiperbilirubinemia/
Diakses pada tanggal 01 Oktober 2015 pukul 16.20 WIB
https://cnennisa.files.wordpress.com/2007/08/asuhan-keperawatan-dengan- hiperbilirubin.pdf
Diakses pada tanggal 01 oktober 2015 pukul 16.30 WIB
Nurarif, Amin Huda. Hardhi Kusuma 2013. Paniluan Penyusunan Asuhan Keperawatan
Profesional. Yogyakarta: Mediaction Publishing
http://repository.usu.ac.id/bitstream 123456789/37957/4/Chapter2011.pdf Diakses pada tanggal
01 oktober 2015 pukul 16.45 WIB
Sudoyo, Aru W, dkk. 2010. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: Interna