Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH KEPERAWATAN ANAK

HIPERBILIRUBIN

Disusun Oleh Kelompok 16 Tingkat 2B


Nama Anggota :
1. Ahmad Rusydan Abdul Hadi (P05120221054)
2. Enjelita Vianjani Dwinka (P05020221070)
3. Madona Rusti Aini (P05120221081)

DOSEN PENGAJAR :
Ns. Mercy Nafratilova, M.Kep.,Sp.Kep.An

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BEGKULU
JURUSAN KEPERAWATAN PRODI DIPLOMA III
TAHUN AKADEMIK 2023
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT. Senantiasa kita ucapkan atas karunia-Nya
berupa nikmat iman dan kesehatan ini akhirnya kami bisa menyelesaikan makalah Keperawatan
Anak “Hiperbilirubin” dosen pengajar Ns. Mercy Nafratilova, M.Kep.,Sp.Kep.An dengan tepat
waktu. Tidak lupa shalawat serta salam tercurahkan bagi baginda agung Rasulullah SAW yang
syafaatnya akan kita nantikan kelak.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing mata kuliah Keperawatan
Anak, serta kepada semua pihak yang telah membagi pengetahuannya sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah keperawatan maternitas ini.
Penulis meminta maaf jika ada kekeliruan dan salah kata dalam pembuatan makalah ini.
Sehingga makalah yang kami buat ini masih jauh dari kata sempurna oleh karena itu kritik dan
saran yang membangunakan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis juga berharap agar isi makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Demikian kata
pengantar ini penulis sampaikan. Terimakasih atas semua pihak yang membantu penyusunan dan
membaca makalah ini.

Bengkulu, 25 Februari 2023

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Kadar bilirubin serum orang normal umumnya kurang lebih 0,8 mg % (17mmol/l),
akan tetapi kira-kira 5% orang normal memiliki kadar yang lebih tinggi (1-3 mg/dl). Bila
penyebabnya bukan karena hemolisis atau penyakit hati kronik maka kondisi ini biasanya
disebabkan oleh kelainan familial metabolism bilirubin,yang paling sering adalah
sindrom gilbert. Sindrom lainnya juga sering ditemukan, prognasisnya baik. Diagnosis
yang akurat terutama pada penyakit hati kroniksangat penting untuk penatalaksanaan
pasien. Adanya riwayat keluarga, lamanya penyakit serta tidak ditemukan adanya
pertanda penyakit hati dan splenomegali, serum transaminase normal dan bila perlu
dilakukan biopsi hati. (Aru W. sudoyo).

Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang paling sering


ditemukan pada bayi baru lahir. Sekitar 25-50% bayi baru lahir menderita ikterus pada
minggu pertama. Hiperbilirubinemia adalah peningkatan kadar plasma bilirubin, standar
deviasi atau lebih dari kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari 90
persen. Dalam perhitungan bilirubin terdiri dari bilirubin direk dan bilirubin indirect.
Peningkatan bilirubin indirect terjadi akibat produksi bilirubin yang berlebihan, gangguan
pengambilan bilirubin oleh hati, atau kelainan konjugasi bilirubin. Setiap bayi dengan
ikterus harus mendapat perhatian, terutama ikterus ditemukan dalam 24 jam pertama
kehidupan bayi atau bila kadar bilirubin indirect meningkat 5 mg/dl. dalam 24 jam dan
bilirubin direk > 1 mg/dL. merupakan keadaan yang menunjukkan kemungkinan adannya
ikterus patologis.

Hiperbilirubinemia dianggap patologis apabila waktu muncul, lama, atau kadar


bilirubin serum yang ditentukan berbeda secara bermakna dari ikterus fisiologis bilirubin
direk > 1 mg/dl merupakan keadaan yang menunjukkan kemungkinan adannya ikterus
patologis.

Hiperbilirubinemia dianggap patologis apabila waktu muncul, lama, atau kadar


bilirubin serum yang ditentukan berbeda secara bermakna dari ikterus fisiologis. Gejala
paling mudah diidentifikasi adalah ikterus yang didefinisikan sebagai kulit dan selaput
lendir menjadi kuning. Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah.

1.2 Rumusan Masalah


a) Apa yang dimaksud dengan pengertian hiperbilirubinemia?
b) Bagaimana etiologi hiperbilirubinemia?
c) Bagaimana patofisiologi hiperbilinbinemia?
d) Bagaimana pathway dari hiperbilirubinemia?
e) Bagaimana klasifikasi dari hyperbilirubinemia
f) Bagaimana manifestasi klinis hiperbilirubinemia?
g) Bagaimana komplikasi dari hiperbilirubinemia?
h) Bagaimana pemeriksaan fisik dari hiperbilirubinem
i) Bagaimana pemeriksaan laboratoriam hipabilirubinemia?
j) Bagaimana diagnose keperawatan hiperbilirubinemis?
k) Bagaimana intervensi keperawatan hiperhilininema?

1.3 Tujuan Penulisan


a) Untuk mengetahui pengertian hyperbilirubinemia
b) Untuk mengetahui etiologi hyperbilirubinemia
c) Untuk mengetahui patofisiologi dari penyakit hiperbilirubinemia.
d) Untuk mengetahui pathway penyakit hiperbilirubinemia.
e) Untuk mengetahui klasifikasi dari hiperbilirubinemia.
f) Untuk mengetahui manifestasi klinis hiperbilirubinemia.
g) Untuk mengetahui komplikasi dari hiperbilirubinemia.
h) Untuk mengetahui pemeriksaan fisik dari penyakit hiperbilirubinemia.
i) Untuk mengetahui pemeriksaan laboratorium hyperbilirubinemia
j) Untuk mengetahui diagnose keperawatan hyperbilirubinemia
k) Untuk mengetahui intervensi keperawatan hiperbilirubinemia.
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Hiperbilirubin
Bilirubin adalah pigmen kristal tetrapiol berwarna jingga kuning yang merupakan
bentuk akhir dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi-reduksi
yang terjadi di sistem retikulo endothelial (Kosim, 2012). Bilirubin diproduksi oleh
kerusakan normal sel darah merah. Bilirubin dibentuk oleh hati kemudian dilepaskan ke
dalam usus sebagai empedu atau cairan yang befungsi untuk membantu pencernaan
(Mendri dan Prayogi, 2017).

Hiperbilirubin merupakan peningkatan kadar bilirubin serum yang disebabkan oleh


salah satunya yaitu kelainan bawaan sehingga menyebabkan icterus (Imron, 2015).
Hiperbilirubinemia atau penyakit kuning adalah penyakit yang disebabkan karena
tingginya kadar bilirubin pada darah sehingga menyebabkan bayi baru lahir berwarna
kuning pada kulit dan pada bagian putih mata (Mendri dan Prayogi, 2017).

Hiperbilirubin dapat disebabkan proses fisiologis atau patologis dan dapat juga
disebabkan oleh kombinasi keduanya. Hiperbilirubinemia menyebabkan bayi baru lahir
tampak kuning, keadaan tersebut timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin (4Z, 15Z
bilirubin IX alpha) yang berwarna ikterus atau kuning pada sklera dan kulit (Kosim,
2012).

Pada keadaan normal kadar bilirubin indirect pada tali pusat bayi baru lahir yaitu 1 –
3 mg/dL dan terjadi peningkatan kurang dari 5 mg/dL per 24 jam. Bayi baru lahir
biasanya akan tampak kuning pada hari kedua dan ketiga dan memuncak pada hari
kedua sampai hari keempat dengan kadar 5 – 6 mg/dL dan akan turun pada hari ketiga
sampai hari kelima. Pada hari kelima sampai hari ketujuh akan terjadi penurunan kadar
bilirubin sampai dengan kurang dari 2 mg/dL. Pada kondisi ini bayi baru lahir dikatakan
mengalami hyperbilirubinemia fisiologis (Stoll et al, 2004).

Pada kebanyakan bayi baru lahir, hiperbilirubinemia tak terkonjugasi merupakan


fenomena transisional yang normal, tetapi pada beberapa bayi akan terjadi peningkatan
bilirubin secara berlebihan sehingga bilirubin berpotensi menjadi toksik. Hal ini akan
menyebabkan kematian bayi baru lahir dan apabila bayi bertahan hidup dalam jangka
panjang akan menyebabkan sekuele neurologis (Kosim, 2012).

2.2 Etiologi
Hiperbilirubinemia disebabkan oleh peningkatan produksi bilirubin karena
tingginya jumlah sel darah merah, dimana sel darah merah mengalami pemecahan sel
yang lebih cepat. Selain itu, hiperbilirubinemia juga dapat disebabkan karena penurunan
uptake dalam hati, penurunan konjugasi oleh hati, dan peningkatan sirkulasi
enterohepatik (IDAI, 2013).

Kejadian ikterik atau hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir disebabkan oleh
disfungsi hati pada bayi baru lahir sehingga organ hati pada bayi tidak dapat berfungsi
maksimal dalam melarutkan bilirubin ke dalam air yang selanjutkan disalurkan ke
empedu dan diekskresikan ke dalam usus menjadi urobilinogen. Hal tersebut
meyebabkan kadar 11 bilirubin meningkat dalam plasma sehingga terjadi ikterus pada
bayi baru lahir (Anggraini, 2016).

Menurut Nelson (2011) secara garis besar etiologi ikterus atau hiperbilirubinemia
pada neonatus dapat dibagi menjadi :

a. Produksi bilirubin yang berlebihan. Hal ini melebihi kemampuan neonatus untuk
mengeluarkan zat tersebut. Misalnya pada hemolisis yang meningkat pada
inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah lain, defisiensi enzim G6-PD, piruvat
kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar. Gangguan ini dapat disebabkan
oleh asidosis, hipoksia, dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase
(sindrom crigglerNajjar). Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein Y dalam hepar
yang berperan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
c. Gangguan transportasi bilirubin. Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian
diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat
misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak
terdapatnya bilirubin indirect yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam ekskresi. Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau
diluar hepar. Kelainan diluar hepar 12 biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan.
Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.

2.3 Patofisiologi
Bilirubin di produksi sebagian besar (70-80%) dari eritrosit yang telah rusak.
Kemudian bilirubin indirect (tak terkonjugasi) dibawa ke hepar dengan cara berikatan
dengan albumin. Bilirubin direk (terkonjugasi) kemudian diekskresikan melalui traktus
gastrointestinal. Bayi memiliki usus yang belum sempurna, karna belum terdapat
bakteri pemecah, sehingga pemecahan bilirubin tidak berhasil dan menjadi bilirubin
indirect yang kemudian ikut masuk dalam aliran darah, sehingga bilirubin terus
bersirkulasi (Atika dan Jaya, 2016).

Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya


dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Neonatus mempunyai
kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin
yang rendah dan kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang terikat dengan
albumin tidak dapat memasuki susunan syaraf pusat dan bersifat toksik (Kosim, 2012).

Pigmen kuning ditemukan di dalam empedu yang terbentuk dari pemecahan


hemoglobin oleh kerja heme oksigenase, biliverdin, reduktase, dan agen pereduksi non
enzimatik dalam sistem retikuloendotelial. Setelah pemecahan hemoglobin, bilirubin tak
terkonjugasi diambil oleh protein intraseluler “Y protein” dalam hati. Pengambilan
tergantung pada aliran darah hepatik dan adanya ikatan protein. Bilirubin tak
terkonjugasi dalam hati diubah atau terkonjugasi oleh enzim asam uridin
disfoglukuronat (uridine disphoglucuronid acid) glukurinil transferase menjadi bilirubin
mono dan diglucuronida yang polar, larut dalam air (bereaksi direk). Bilirubin yang
terkonjugasi yang larut dalam air dapat dieliminasi melaui ginjal. Dengan konjugasi,
bilirubin masuk dalam empedu melaui membran kanalikular. Kemudian ke sistem
gastrointestinal dengan diaktifkan oleh bakteri menjadi urobilinogen dalam tinja dan
urine. Beberapa bilirubin diabsorbsi kembali menjadi sirkulasi enterohepatik (Suriadi
dan Yuliani 2010).
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh pembentukan bilirubin yang melebihi
kemampuan hati untuk mengekskresikan bilirubin yang telah diekskresikan dalam
jumlah normal. Selain itu, hiperbilirubinemia juga dapat disebabkan oleh obstruksi
saluran ekskresi hati. Apabila konsentrasi bilirubin mencapai 2 – 2,5 mg/dL maka
bilirubin akan tertimbun di dalam darah. Selanjutnya bilirubin akan berdifusi ke dalam
jaringan yang kemudian akan menyebabkan kuning atau ikterus (Khusna, 2013).

Warna kuning dalam kulit akibat dari akumulasi pigmen bilirubin yang larut lemak,
tak terkonjugasi, non polar (bereaksi indirect). Pada bayi dengan hiperbilirubinemia
kemungkinan merupakan hasil dari defisiensi atau tidak aktifnya glukoronil transferase.
Rendahnya pengambilan dalam hepatik kemungkinan karena penurunan protein hepatik
sejalan dengan penurunan darah hepatik (Suriadi dan Yuliani 2010).

Jaundice yang terkait dengan pemberian ASI merupakan hasil dari hambatan kerja
glukoronil transferase oleh pregnanediol atau asam lemak bebas yang terdapat dalam
ASI. Terjadi empat sampai tujuh hari setelah lahir. Dimana terdapat kenaikan bilirubin
tak terkonjugasi dengan kadar 25 – 30 mg/dL selama minggu kedua sampai ketiga. Jika
pemberian ASI dilanjutkan hiperbilirubinemia akan menurun berangsur-angsur dapat
menetap selama tiga sampai sepuluh minggu pada kadar yang lebih rendah. Jika
pemberian ASI dihentikan, kadar bilirubin serum akan turun dengan cepat, biasanya
mencapai normal dalam beberapa hari. Penghentian ASI selama satu sampai dua hari
dengan penggantian ASI dengan susu formula mengakibatkan penurunan bilirubin
serum dengan cepat. (Suriadi dan Yuliani 2010).
2.4 Pathway

Sumber : Suriadi dan Yuliani (2010)


2.5 Klasifikasi
a. Hiperbilirubinemia Fisiologis
Hiperbilirubinemia fisiologis pada bayi baru lahir tidak muncul pada 24 jam pertama
setelah bayi dilahirkan. Biasanya pada hiperbilirubinemia fisiologis peningkatan kadar
bilirubin total tidak lebih dari 5mg/dL per hari. Pada bayi cukup bulan,
hiperbilirubinemia fisiologis akan mencapai puncaknya pada 72 jam setelah bayi
dilahirkan dengan kadar serum bilirubin yaitu 6 – 8 mg/dL. Selama 72 jam awal
kelahiran kadar bilirubin akan meningkat sampai dengan 2 – 3 mg/dL kemudian pada
hari ke-5 serum bilirubin akan turun sampai dengan 3mg/dL (Hackel, 2004). Setelah
hari ke-5, kadar serum bilirubin akan turun secara perlahan sampai dengan normal pada
hari ke-11 sampai hari ke-12. Pada Bayi dengan Berat Lahir Rendah (BBLR) atau bayi
kurang bulan (premature) bilirubin mencapai puncak pada 120 jam pertama dengan
peningkatan serum bilirubin sebesar 10 – 15 mg/dL dan akan menurun setelah 2 minggu
(Mansjoer, 2013)
b. Hiperbilirubinemia Patologis
Hiperbilirubinemia patologis atau biasa disebut dengan ikterus pada bayi baru lahir
akan muncul dalam 24 jam pertama setelah bayi dilahirkan. Pada hiperbilirubinemia
patologis kadar serum bilirubin total akan meningkat lebih dari 5 mg/dL per hari. Pada
bayi cukup bulan, kadar serum bilirubin akan meningkat sebanyak 12 mg/dL sedangkan
pada bayi kurang bulan (premature) kadar serum bilirubin total akan meningkat hingga
15 mg/dL. Ikterus biasanya berlangsung kurang lebih satu minggu pada bayi cukup
bulan dan lebih dari dua minggu pada bayi kurang bulan (Imron, 2015).

2.6 Manifestasi klinis


Bayi baru lahir dikatakan mengalami hiperbilirubinemia apabila bayi baru lahir
tersebut tampak berwarna kuning dengan kadar serum bilirubin 5mg/dL atau lebih
(Mansjoer, 2013).

Hiperbilirubinemia merupakan penimbunan bilirubin indirect pada kulit sehingga


menimbulkan warna kuning atau jingga. Pada hiperbilirubinemia direct bisanya dapat
menimbulkan warna kuning kehijauan atau kuning kotor (Ngatisyah, 2012).

Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir dapat menyebabkan ikterus pada sklera,
kuku, atau kulit dan membrane mukosa. Jaundice yang muncul pada 24 jam pertama
disebabkan oleh penyakit hemolitik pada bayi baru lahir, sepsis, atau ibu dengan
diabetik atau infeksi. Jaundice yang tampak pada hari kedua atau hari ketiga, dan
mencapai puncak pada hari ketiga sampai hari keempat dan menurun pada hari kelima
sampai hari ketujuh yang biasanya merupakan jaundice fisiologis (Suriadi dan Yuliani
2010).
Ikterus diakibatkan oleh pengendapan bilirubin indirect pada pada kulit yang
cenderung tampak kuning terang atau orange. Pada ikterus tipe obstruksi (bilirubin
direk) akan menyebabkan kulit pada bayi baru lahir tampak berwarna kuning kehijauan
atau keruh. Perbedaan ini hanya dapat dilihat pada ikterus yang berat. Selain itu
manifestasi klinis pada bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia atau ikterus yaitu
muntah, anoreksia, fatigue, warna urine gelap, serta warna tinja pucat (Suriadi dan
Yuliani 2010).

Menurut Ridha (2014) bayi baru lahir dikatakan mengalami hiperbilirubinemia


apabila tampak tanda-tanda sebagai berikut :

a) Sklera, selaput lendir, kulit atau organ lain tampak kuning akibat
penumpukan bilirubin.
b) Terjadi pada 24 jam pertama kehidupan.
c) Peningkatan konsentasi bilirubin 5mg/dL atau lebih setelah 24 jam.
d) Konsentrasi bilirubin serum 10 mg/dL pada neonatus cukup bulan dan 12,5
mg/dL pada neonatus kurang bulan.
e) Ikterik yang disertai proses hemolisis.
f) Ikterik yang disertai berat badan lahir kurang dari 2000 gram, masa gestasi
kurang dari 36 minggu, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, infeksi
trauma lahir kepala, hipoglikemia, hiper.

2.7 Komplikasi
Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir apabila tidak segera diatasi dapat
mengakibatkan bilirubin encephalopathy (komplikasi serius). Pada keadaan lebih fatal,
hiperbilirubinemia pada neonatus 20 dapat menyebabkan kern ikterus, yaitu kerusakan
neurologis, cerebral palsy, dan dapat menyebabkan retardasi mental, hiperaktivitas,
bicara lambat, tidak dapat mengoordinasikan otot dengan baik, serta tangisan yang
melengking (Suriadi dan Yuliani, 2010).

Menurut American Academy of Pediatrics (2004) manifestasi klinis kern ikterus


pada tahap kronis bilirubin ensefalopati, bayi yang selamat biasanya menderita gejala
sisa berupa bentuk atheoid cerebral palsy yang berat, gangguan pendengaran, paralisis
upward gaze, dan dysplasia dental enamel. Kern ikterus merupakan perubahan
neuropatologi yang ditandai oleh deposisi pigmen bilirubin pada beberapa daerah otak
terutama di ganglia basalis, pons, dan cerebellum.

Bilirubin ensefalopati akut menurut American Academy of Pediatrics (2004)


terdiri dari tiga fase, yaitu :

1) Fase inisial, ditandai dengan letargis, hipotonik, berkurangnya gerakan bayi,


dan reflek hisap yang buruk.
2) Fase intermediate, ditandai dengan moderate stupor, iritabilitas, dan peningkatan
tonus (retrocollis dan opisthotonus) yang disertai demam.
3) Fase lanjut, ditandai dengan stupor yang dalam atau koma, peningkatan tonus,
tidak mampu makan, high-pitch cry, dan kadang kejang.

2.8 Penatalaksanaan Medis


Menurut Suriadi dan Yuliani (2010) penatalaksanaan terapeutik pada bayi baru lahir
dengan hiperbilirubinemia yaitu :

a. Pemberian antibiotic
Pemberian antibiotik dilakukan apabila hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir
disebabkan oleh infeksi.

b. Fototerapi

Tindakan fototerapi dapat dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbiliribunemia


pada bayi baru lahir bersifat patologis. Fototerapi berfungsi untuk menurunkan
bilirubin dalam kulit melaui tinja dan urine dengan oksidasi foto pada bilirubin
dari biliverdin.

c. Fenobarbital

Fenobarbital dapat mengekskresikan bilirubin dalam hati dan memperbesar


konjugasi. Meningkatkan sintesis hepatik glukoronil transferase yang dapat
meningkatkan bilirubin konjugasi dan clearance hepatik pada pigmen dalam
empedu, sintesis protein dimana dapat meningkatkan albumin untuk mengikat
bilirubin. Akan tetapi fenobarbital tidak begitu sering dianjurkan untuk mengatsi
hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.
d. Transfusi Tukar

Transfusi tukar dilakukan apabila hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir sudah
tidak dapat ditangani dengan fototerapi.

2.9 Asuhan keperawatan


Asuhan Keperawatan Hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir yaitu meliputi
pengkajian keperawatan, diagnos keperawatan, perencanaan keperawatan, pelaksanaan
keperawatan, evaluasi keperawatan, serta discharge planning.

1. Pengkajian Keperawatan
a) Pengkajian
Pengkajian pada kasus hiperbilirubinemia meliputi :
a. Identitas, seperti : Bayi dengan kelahiran prematur, BBLR, dan lebih
sering diderita oleh bayi laki-laki.
b. Keluhan utama
Bayi terlihat kuning dikulit dan sklera, letargi, malas menyusu, tampak
lemah, dan bab berwarna pucat.
c. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Keadaan umum bayi lemah, sklera tampak kuning, letargi, refleks
hisap kurang, pada kondisi bilirubin indirect yang sudah .20mg/dl
dan sudah sampai ke jaringan serebral maka bayi akan mengalami
kejang dan peningkatan tekanan intrakranial yang ditandai dengan
tangisan melengking.
2) Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya ibu bermasalah dengan hemolisis. Terdapat gangguan
hemolisis darah (ketidaksesuaian golongan Rh atau golongan darah
A,B,O). Infeksi, hematoma, gangguan metabolisme hepar
obstruksi saluran pencernaan, ibu menderita DM. Mungkin
praterm, bayi kecil usia untuk gestasi (SGA), bayi dengan
letardasio pertumbuhan intra uterus (IUGR), bayi besar untuk usia
gestasi (LGA) seperti bayi dengan ibu diabetes. Terjadi lebih
sering pada bayi pria daripada bayi wanita.
3) Riwayat kehamilan dan kelahiran
Antenatal care yang kurang baik, kelahiran prematur yang dapat
menyebabkan maturitas pada organ dan salah satunya hepar,
neonatus dengan berat badan lahir rendah, hipoksia dan asidosis
yang akan menghambat konjugasi bilirubin, neonatus dengan
APGAR score rendah juga memungkinkan terjadinya hipoksia
serta asidosis yang akan menghambat konjugasi bilirubin.
b) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia menurut
Widagdo, 2012 meliputi:
1) Pemeriksaan Umum
 Keadaan umum : tingkat keparahan penyakit, kesadaran, status nutrisi,
postur/aktivitas anak, dan temuan fisis sekilas yang prominen dari
organ/sistem, seperti ikterus, sianosis, anemi, dispneu, dehidrasi, dan
lain-lain.
 Tanda vital : suhu tubuh, laju nadi, tekanan darah, dan laju nafas.
 Data antropometri : berat badan, tinggi badan, lingkar kepala, tebal
lapisan lemak bawah kulit, serta lingkar lengan atas.
2) Pemeriksaan Organ
 Kepala : bentuk, ubun-ubun besar, sutura, keadaan rambut, dan bentuk
wajah apakah simestris kanan atau kiri.
 Kulit : warna, ruam kulit, lesi, petekie, pigmentasi, hiper/hipohidrolisis,
dan angiektasis. Menurut rumus kramer apabila kuning terjadi di daerah
kepala dan leher termasuk ke grade satu, jika kuning pada daerah kepala
serta badan bagian atas digolongkan ke grade dua. Kuning terdapat pada
kepala, badan bagian atas, bawah dan tungkai termasuk ke grade tiga,
grade empat jika kuning pada daerah kepala, badan bagian atas dan
bawah serta kaki dibawah tungkai, sedangkan grade 5 apabila kuning
terjadi pada daerah kepala, badan bagian atas dan bawah, tungkai, tangan
dan kaki.
 Mata : ketajaman dan lapangan penglihatan, hipertelorisme, supersilia,
silia, esksoptalmus, strabismus, nitagmus, miosis, midriasis, konjungtiva
palpebra, sclera kuning, reflek cahaya direk/indirect, dan pemeriksaan
retina dngan funduskopi.
 Hidung : bentuk, nafas cuping hidung, sianosis, dan sekresi.
 Mulut dan tenggorokan : warna mukosa pipi/lidah, ulkus, lidah kotor
berpeta, tonsil membesar dan hyperemia, pembengkakan dan perdarahan
pada gingival, trismus, pertumbuhan/ jumlah/ morfologi/ kerapatan gigi.
 Telinga : posisi telinga, sekresi, tanda otitis media, dan nyeri tekan.
 Leher : tiroid, kelenjar getah bening, skrofuloderma, retraksi,
murmur,bendungan vena, refluks hepatojugular, dan kaku kuduk.
 Thorax : bentuk, simetrisisitas, pembengkakan, dan nyeri tekan.
 Jantung : tonjolan prekordial, pulsasi, iktus kordis, batas
jantung/kardiomegali. Getaran, bunyi jantung, murmur, irama gallop,
bising gesek perikard (pericard friction rub)
 Paru-paru : Simetrsitas static dan dinamik, pekak, hipersonor, fremitus,
batas paru-hati, suara nafas, dan bising gesek pleura (pleural friction rub)
 Abdomen : bentuk, kolteral, dan arah alirannya, smiling umbilicus,
distensi, caput medusa, gerakan peristaltic, rigiditas, nyeri tekan, masa
abdomen, pembesaran hati dan limpa, bising/suara peristaltik usus, dan
tanda-tanda asites.
 Anogenetalia : atresia anus, vesikel, eritema, ulkus, papula, edema
skrotum.
 Ekstremitas : tonus/trofi otot, jari tabuh, sianosis, bengkak dan nyeri
otot/tulang/sendi, edema pretibial, akral dingin, capillary revill time,
cacat bawaan.
b. Pemeriksaan Diagnostik
1) Pemeriksaan bilirubin serum Pada bayi cukup bulan, kadar bilirubin
mencapai puncak kira-kira 6 mg/dL, antara 2 dan 4 hari kehidupan.
Apabila nilainya diatas 10 mmg/dL maka dikatakan
hiperbilirubinemia non fisiologis atau patologis. Pada bayi dengan
kurang bulan, kadar bilirubin mencapai puncaknya pada nilai 10 – 12
mg/dL, antara lima dan tujuh hari kehidupan. Apabila nilainya diatas
14 mg/dL maka dikatakan hiperbilirubinemia non fisiologis atau
patologis (Suriadi & Yulliani, 2010).
2) Ultrasonograf (USG) Pemeriksaan USG digunakan untuk
mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu (Suriadi & Yulliani,
2010).
3) Radioscope Scan Pemeriksaan radioscope scan dapat digunakan untuk
membantu membedakan hepatitis atau atresia biliary (Suriadi &
Yulliani, 2010).

2. Diagnosa keperawatan
a. Ikterik neonatus berhubungan dengan Hasil kadar bilirubin meningkat
b. Resiko hipotermi berhubungan dengan Transfer panas (efek samping
fototerapi)
c. Gangguan intregitas kulit berhubungan dengan Peningkatan kadar bilirubin
3. Intervensi Keperawatan

No
Diagnosa (SDKI) Tujuan Dan Kriteria Hasil (SLKI) Intervensi (SIKI)
.
1. Ikterik neonatus b.d Hasil kadar Setelah dilakukan tindakan keperawatan Fototerapi Neonatus [I.03091]
bilirubin meningkat [D.0024] 3 x 24 jam diharapkan Adaptasi
Observasi
Neonatus Membaik [L.10098] dengan
Gejala dan Tanda Mayor
1. Monitor ikterik pada skelradan kulit bayi
Kriteria hasil :
Subjektif : -
2. Monitor suhu dan TTV setiap 3 jam
Objektif : 1. Membran mukosa tidak ikterik
2. Kulit tidak kuning Terapeutik
1. Profil darah abnormal (hemolysis,
3. Sklera tidak kuning
bilirubin serum total >2mgdl, 1. Lepaskan pakaian bayi kecuali popok
4. Kadar bilirubin menurun
bilirubin serum total pada rentang 2. Berikan penutup mata pada bayi
resiko tinggi menurut usia pada 3. Biarkan tubuh bayi terpapar sinar fototerapi
normogram spesifik waktu) secara berkelanjutan
2. Membran mukosa kuning
3. Kulit kuning Kolaborasi
4. Sklera kuning 1. Kolaborasi pemeriksaan darah vena bilirubin
Gejala dan Tanda Minor direct dan indirect

Subjektif : -
Objektif : -
2. Resiko hipotermi b.d Transfer panas Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Hipotermi [I.14507]
(efek samping fototerapi) [D.0140] 3 x 24 jam diharapkan Termoregulasi
Observasi
[L.14134] dengan
Kriteria hasil : 1. Monitor suhu tubuh
2. Identifikasi penyebab hipotermi
1. Menggigil menurun
3. Monitor tanda dan gejala akibat hipotermi
2. Kulit merah menurun
3. Suhu tubuh membaik Terapeutik
4. Suhu kulit membaik
1. Sediakan lingkungan yang hangat

3. Gangguan integritas kulit b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan Perawatan Kulit dan Jaringan [I.11353]
Peningkatan kadar bilirubin [D.0142] 3 x 24 jam diharapkan Integritas kulit
Observasi
dan jaringan [L.14125] dengan
Gejala dan tanda mayor
1. Identifikasi penyebab gangguan integritas
Kriteria hasil :
Subjektif:- kulit
1. Kerusakan lapisan kulit menurun
Objektif: kerusakan jaringan atau Terapeutik
lapisan 2. Kemerahan menurun
3. Tekstur kulit membaik 1. Ubah posisi tiap 2 jam (tirah baring)
Gejala dan tanda minor 2. Membersihkan perineal dengan air
Subjektif:- hangat/tisu basah

Objektif: Edukasi

1. Nyeri 1. Anjurkan ibu memberikan asupan nutrisi


2. Pedarahan yang cukup (ASI)
3. Kemerahan 2. Anjurkan ibu agar bayi dihindarkan dari suhu
4. Hematoma ekstrem
BAB III

PENUTUP

3.1 Saran
Hiperbilirubinemia adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum
setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum
bilirubin. Hiperbilirubi- nemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap
tergolong non patologis sehingga disebut 'Excessive Physiological Jaundice.
Digolongkan sebagai hiperbillirubenemia patologis ("Non Physiological
Jaundice') apabila kadar serum bilirubin terhadap usia neonates >95% menurut
Normogram Bhutani.

Bilirubin adalah produk penguraian heme. Sebagian besar(85-90%) terjadi


dari penguraian hemoglobin dan sebagian kecil (10-15%) dari senyawa lain
seperti mioglobin. Sel retikuloendotel menyerap kompleks haptoglobin dengan
hemoglobin yang telah dibebaskan dari sel darah merah. Sel-sel ini kemudian
mengeluarkan besi dari heme sebagai cadangan untuk sintesis berikutnya dan
memutuskan cincin heme untuk menghasilkan tertapirol bilirubin, yang
disekresikan dalam bentuk yang tidak larut dalam air (bilirubin tak terkonjugasi,
indirect).

Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma terikat ke albumin untuk


diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam tubuh dan melewati
lobulus hati hepatosit meleras hilimbin dari albumin danair (bilirubin tak
terkonjugasi, indirect). Karena ketidaklarutan ini, bilirubin dalam plasma serikat
ke albumin untuk diangkut dalam medium air. Sewaktu zat ini beredar dalam
tubuh dan melewati lobulus hati, hepatosit melepas bilirubin dari albumin das
menyebabkan laranya air dengan mengikat bilirubin keasam glukorona (bilirubin
terkonjugasi, direct).

Penyebab dari hiperbilirubinemia terdapat beberapa faktor. Secara garis besar.


penyebab dari hiperbilirubinemia adalah produksi bilirubin yang berlebihan,
gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar, gangguan transportasi, dan
gangguan dalam ekskresi.

3.2 Saran
Penulis berharap jika perawat menemukan gejala hiperbilerubinemia, perawat
dapat mendiagnosa dan dapat melakukan intervensi teerhadap seseorang tersebut.
Dan penulis juga berharap makalah ini dapar bermanfaan bagi pembaca terutama
bagi perawat
DAFTAR PUSTAKA
Behrman, dkk. 1999. Ilmu Kesehatan Anak. Nelson Vol 1. Edisi 15. Jakarta: EGC

https://asus 10.wordpress.com/asuhan-keperawatan/askep-pada-kasus-bayi-hiperbilirubinemia/
Diakses pada tanggal 01 Oktober 2015 pukul 16.20 WIB
https://cnennisa.files.wordpress.com/2007/08/asuhan-keperawatan-dengan- hiperbilirubin.pdf
Diakses pada tanggal 01 oktober 2015 pukul 16.30 WIB
Nurarif, Amin Huda. Hardhi Kusuma 2013. Paniluan Penyusunan Asuhan Keperawatan
Profesional. Yogyakarta: Mediaction Publishing
http://repository.usu.ac.id/bitstream 123456789/37957/4/Chapter2011.pdf Diakses pada tanggal
01 oktober 2015 pukul 16.45 WIB
Sudoyo, Aru W, dkk. 2010. Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V. Jakarta: Interna

Anda mungkin juga menyukai