Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hyperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis yang
paling sering di temukan pada bayi baru lahir.
Hyperbilirubinemia merupakan peningkatan kadar plasma bilirubin 2
standar deviasi atau lebih dari yang diharapkan berdasarkan umur bayi
atau lebih dari presentil 90% (Kosim, 2012).
Bayi baru lahir normal adalah berat lahir antara 2500 gram sampai
4000 gram, cukup bulan, lahir langsung menangis dan tidak ada kelainan
kongenital atau cacat bawaan. Masalah utama bayi baru baru lahir adalah
masalah yang sangat spesifik yang terjadi pada masa bayi serta dapat
menyebabkan kecacatan dan kematian, salah satunya penyebab kematian
adalah gangguan hiperbilirubin. Berdasarkan data riset kesehatan dasar
(Riskerdas, 2015) menunjukan angka hiperbilirubin pada bayi baru lahir
diindonesia sebesar 51,47 %, disumatra barat 47,3 % dengan faktor
penyebaran antara lain asfiksia 51%, BBLM 42, 9% sektio cesaria 18, 9 %,
prematur 33,3 %, kelainan kongenital 2,8%, sepsis 12 %.
Hiperbilirubin adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum
setelah ada hasil laboratorium yang menunjukan peningkatan kadar serum
bilirubin (Iyan, 2009).
Ikterus merupakan salah satu penyebab kematian pada bayi, icterus
merupakan manifestasi klinis dari hyperbilirubinemia. Sekitar 25-50 %
bayi baru lahir menderita icterus pada minggu pertama. Icterus ini bagi
sebagian penderita dapat berbentuk fisiologi dan sebagian lagi patologi
yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan
kematian (Rinawati, 2009).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud hyperbilirubinemia?
2. Apa penyebab terjadinya hyperbiliribinemia?
3. Bagaimana manifestasi klinis pada pasien hyperbilirubinemia?
4. Apa faktor resiko pada hyperbilirubinemia?
5. Bagaimana patofisiologi hyperbilirubinemia?
6. Bagaimana penatalaksanaan pada hyperbilirubinemia?
7. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien dengan
hyperbilirubinemia?

C. Tujuan
1. Mengetahui apa yang dimaksud hyperbilirubinemia.
2. Mengetahui apa penyebab terjadinya hyperbiliribinemia.
3. Mengetahui bagaimana manifestasi klinis pada pasien
hyperbilirubinemia.
4. Mengetahui apa faktor resiko pada hyperbilirubinemia.
5. Mengetahui bagaimana patofisiologi hyperbilirubinemia.
6. Mengetahui bagaimana penatalaksanaan pada hyperbilirubinemia.

D. Manfaat
1. Manfaat bagi penulis
Hasil makalah ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan bagi
penulis untuk mengetahui Hiperbilirubinemia pada balita dan anak.
2. Manfaat bagi pembaca
Hasil makalah ini diharapkan dapat memberi ilmu serta wawasan
bagi pembaca makalah ini.
3. Manfaat bagi masyarakat
Hasil makalah ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarat
untuk mengenal tanda, gejala serta penyebab pada hiperbilirubin.

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Definisi Hyperbilirubin
Bilirubin adalah pigmen berwarna kuning yang merupakan produk
utama dari hasil perombakan heme dari hemoglobin yang terjadi akibat
perombakan sel darah merah oleh sel retikuloendotel. Selain sebagai hasil
pemecahan eritrosit juga di hasilkan dari perombakan zat-zat lain.
Bilirubin disaring dari darah oleh hati, dan dikeluarkan melalui cairan
empedu. Tingkat kelebihannya dalam darah (hiperbilirubinemia) dapat
mengindikasikan kerusakan hati. Tingkat bilirubin normal adalah di bawah
1.3 mg.
Menurut Putri (2013), bilirubin dibedakan menjadi 2 jenis yaitu
sebagai berikut:
1. Bilirubin tidak terkonjugasi atau bilirubin indirek atau bilirubin bebas
yaitu bilirubin tidak larut dalam air, berikatan dengan albumin untuk
transport dan komponen bebas larut dalam lemak serta bersifat toksik
untuk otak karena bisa melewati sawar darah otak.
2. Bilirubin terkonjugasi atau bilirubin direk atau bilirubin terikat yaitu
bilirubin larut dalam air dan tidak toksik untuk otak.
Hiperbilirubinemia adalah peningkatan kadar bilirubin serum yang
dihubungkan dengan hemolisis sel darah merah dari bilirubin yang tidak
terkonjugasi dari usus kecil, yang ditandai dengan jaundice pada kulit,
sclera mukosa, dan urine (Mitayani, 2012).

3
B. Etiologi
Salah satu penyebab hiperbilirubinemia adalah kelahiran prematur
(IDAI, 2008).
Hiperbilirubinemia yang dialami oleh bayi prematur disebabkan
karena belum matangnya fungsi hati bayi untuk memproses eritrosit. Saat
lahir hati bayi belum cukup baik untuk melakukan tugasnya
(Syajaratuddur, 2014).
Menurut Glover (1993) dalam KTI Radis (2012) pada bayi dengan
persalinan prematur hiperbilirubin terjadi karena belum maturnya fungsi
hepar, bayi prematur memiliki kadar zat besi yang tinggi dalam sel darah
merahnya. Proses pemecahan hemoglobin terjadi pada akhir usia sel darah
merah yaitu 120 hari, sedangkan bayi prematur memiliki sel darah merah
yang jangka usianya pendek yaitu 80-90 hari, karena itu sel darah merah
harus diganti dalam waktu yang lebih cepat.
Pada penelitian ini juga diperoleh bahwa bayi yang lahir prematur
rata-rata memiliki berat badan lahir rendah yaitu <2500 gram, sehingga
berat bayi lahir rendah juga mempengaruhi terjadinya hiperbilirubin
(Anggraini, 2014).
Peningkatan kadar bilirubin dalam darah tersebut dapat terjadi karena
keadaan sebagai berikut;
1. Polychetemia (peningkatan jumlah sel darah merah).
2. Kelainan struktur dan enzim sel darah merah.
3. Keracunan obat (hemolisis kimia; salisilat, kortikosteroid,
kloramfenikol).
4. Hemolisis ekstravaskuler.
5. Gangguan fungsi hati; defisiensi glukoronil transferase, obstruksi
empedu (atresia biliari), infeksi, masalah metabolik galaktosemia,
hipotiroid jaundice ASI.
6. Adanya komplikasi; asfiksia, hipotermi, hipoglikemi. Menurunnya
ikatan albumin; lahir prematur, asidosis.
C. Manifestasi Klinis
Menurut danis Fikhri (2015) tanda gejala yang biasa muncul antara
lain:
1. Kulit jaundice (kuning).
2. Sklera ikterik.
3. Peningkatan konsentrasi bilirubin serum 10 mg/dl pada neonatus yang
cukup bulan dan 15mg% pada neonatus yang kurang bulan.
4. Kehilangan berat badan sampai 5% selama 24 jam yang disebabkan
oleh intake kalori.
5. Asfiksia.
6. Hipoksia.
7. Syndrome gangguan nafas.
8. Pemeriksaan abdomen terjadi bentuk perut yang membuncit.
9. Feses berwarna seperti dempul dan pemeriksaan neurologis dapat
ditemukan adanya kejang.
10. Epistotonus (posisi tubuh bayi melengkung).
11. Terjadi pembesaran hati.
12. Tidak mau meminum ASI.
13. Letargi.

D. Faktor Resiko
Menurut Putri (2013) kadar bilirubin merupakan gejala fisiologis yang
dipengaruhi banyak faktor atau multifaktorial. AAP (American Academic
Of Pediatrics) menyatakan terdaat beberapa faktor utama atau factor resiko
mayor penyebab hyperbilirubinemia, diantaranya adalah :
1. Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin
transkutaneus terletak pada daerah resiko tinggi.
2. Icterus muncul dalam 24 jam pertama kehidupan. Ikterus menetap
sesudah bayi berumur 10 hari (pada bayi cukup bulan) dan lebih dari
14 hari pada bayi baru lahir BBLR.

13
3. Ikterus yang disertai proses hemolisis (incompatibilitas golongan
darah antara ibu dan janin dengan tes antiglobulin direk yang positif
atau penyakit hemolotik lainnya defisiensi G6PD, koma peningkatan
ETCO.)
4. Umur kehamilan 35 – 36 minggu.
5. Riwayat anak sebelumnya yang mendapat fototerapi.
6. Sefalhematom atau memar yang bermakna.
7. ASI ekslusif dengan cara perawatan yang tidak baik dan kehilangan
berat badan yang berlebihan.
8. Ras Asia Timur.

Sedangkan untuk faktor resiko minor adalah :


1. Sebelum pulang, kadar bilirubin serum total atau bilirubin
transkutaneus terletak pada daerah resiko sedang.
2. Umur kehamilan 37 – 38 minggu.
3. Sebelum pulang neonatus tampak kuning.
4. Riwayat anak sebelumnya kuning.
5. Bayi makrosomia dari ibu DM .
6. Umur ibu ≥ 25 tahun.
Faktor resiko kurang (factor-faktor ini berhubungan dengan
menurunnya resiko icterus yang signifikan, besarnya resiko sesuai dengan
urutan yang tertulis makin kebawah resiko makin rendah.)
1. Kadar bilirubin total atau bilirubin transkutaneus terletak pada daerah
resiko rendah.
2. Umur kehamilan ≥ 41 minggu.
3. Bayi mendapat susu formula penuh.
4. Kulit hitam.
5. Bayi dipulangkan setelah 72 jam.

13
E. Patofisiologis
Bilirubin adalah produk pemecahan hemoglobin yang berasal dari
pengrusakan sel darah merah/RBCs. Ketika RBCs rusak maka produknya
kan masuk sirkulasi, diimana hemoglobin pecah menjadi heme dan globin.
Globin (protein) digunakan kembali oleh tubuh sedangkan heme akan
diruah menjadi bilirubin unkonjugata dan berikatan dengan albumin.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan
bebab bilirubin pada streptucocus hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini
dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit,
polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya
bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi
enterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma terjadi apabila kadar protein-Z
dan protein-Y terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis
atau dengan anoksia/hipoksia, ditentukan gangguan konjugasi hepar
(defisiensi enzim glukuronii transferase) atau bayi menderita gangguan
ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran
empedu intra/ekstra hepatika. Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan
bersifat toksik dan merusakan jaringan otak. Toksisitas ini terutama
ditemukan pada bilirubin indirek. Sifat indirek ini yang memungkinkan
efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar
darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau
ensefalopati biliaris.
Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak
hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada
keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar
darah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas. Berat lahir
rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia dan kelainan susunan saraf
pusat yang karena trauma atau infeksi. Peningkatan kadar Bilirubin tubuh
dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian yang sering ditemukan
adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang

13
berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan
penghancuran Eritrosit, Polisitemia. Gangguan pemecahan Bilirubin
plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal
ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi
hipoksia, asidosis.
Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin
adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang
mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu. Pada
derajat tertentu Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan
tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat
sukar larut dalam air tapi mudah ldarut dalam lemak. sifat ini
memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin
tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak
disebut kernikterus.Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf
pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih
dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak
ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek
akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan
BBLR , hipoksia, dan hipoglikemia.

F. Pemeriksaan penunjang
1. Laboratorium (pemeriksaan darah)
a. Pemeriksaan bilirubin serum. Pada bayi prematur kadar bilirubin ≥10
mg/dl dan bayi cukup bulan kadar bilirubin 12 mg/dl merupakan
keadaan yang tidak fisiologis.
Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam
tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum
albumin juga perlu diukur untuk menentukan pilihan terapi sinar
ataukah tranfusi tukar (Riyanto, dkk, 2015).
b. Hb, HCT, hitung darah lengkap (golongan darah dan Coombs test,
hitung retikulosit, skrining G-6-PD).

13
2. USG, untuk mengevaluasi anatomi cabang kantong empedu.
3. Radioisotop Scan, dapat digunakan untuk membantu membedakan
hepatitis dan atresia billiari.

G. Penatalaksanaan
Dibawah ini adalah penatalaksanaan untuk hiperbillirubin, yaitu
sebagai berikut:
1. Pengawasan antenatal dengan baik dan pemberian makanan sejak dini
(pemberian ASI).
2. Menghindari obat yang meningkatakan ikterus pada masa kelahiran,
misalnya sulfa furokolin.
3. Pencegahan dan pengobatan hipoksin pada neonatus dan janin.
4. Fenobarbital
Fenobarbital dapat mengeksresi billirubin dalam hati dan
memperbesar konjugassi. Meningkatkan sintesis hepatik glukoronil
transferase yang mana dapat meningkatkan billirubin konjugasi dan
clereance hepatik pigmen dalam empedu. Fenobarbital tidak begitu
sering digunakan.
5. Antibiotik, bila terkait dengan infeksi.
6. Fototerapi
Fototerapi dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbillirubin
patologis dan berfungsi untuk menurunkan billirubin dikulit melalui
tinja dan urine dengan oksidasi foto pada billirubin dari billiverdin.
7. Transfusi tukar.
Transfusi tukar dilakukan bila sudah tidak dapat ditangani dengan
foto terapi. Tranfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan
sejumlah kecil darah yang dilanjutkan dengan pengambilan darah dari
donor dalam jumlah yang sama yang dilakukan berulang sampai
sebagai besar darah penderita tertukar.
Pada hiperbilirubinemia, tindakan ini bertujuan mencegah
terjadinya ensefalopati bilirubin dengan cara mengeluarkan bilirubin

13
indirek dari sirkulasi. Pada bayi dengan isoimunisasi, tranfusi tukar
memiliki manfaat tambahan, karna membantu mengeluarkan antibodi
maternal dari sirkulasi bayi. Sehingga mencegah hemolisis lebih lanjut
dan memperbaiki anemia. Teknik tranfusi tukar yaitu sebagai berikut:
a. Simple double volume (push pull method)
Untuk keluar masuk darah hanya diperlukan satu jalur transfusi
(biasanya dari vena besar, seperti vena umbilikal). Teknik ini
dipergunakan untuk hiperbilirubinemia tanpa komplikasi seperti
anaemia, sepsis, dll. Waktu rata-rata perkali untuk keluar masuk
kira-kira 3-5 menit, sehingga total transfusi akan berlangsung
selama 90-120 menit.
b. Isovolumetric
Darah secara bersamaan dan simultan dikeluarkan memlalui
arteri umbiulikalis dalam jumlah yang sama. Keuntungan dimetode
ini adalah peroses masuk dan keluar darah bisa dilakukan pada
waktu bersamaan sehingga gangguan hemodinamik minimal,
disamping itu waktu pelaksanaan tranfusi tukar juga lebih singkat
(45-60 menit). Waktu pelaksaan bisa diperpanjang sampai 4 jam
untuk memungkinkan ekuilibrasi bilirubin didarah dan jaringan, hal
ini akan meningkatkan kadar bilirubin yang bisa dihilangkan.
c. Partial exchange tranfusion
Tranfusi tukar sebagian, dilakukan biasanya pada bayi dengan
polisitemi

13
BAB III
ANALISA JURNAL

JURNAL 1
Nama peneliti : Nailul Khusna, Meria mexitalia, Arsita eka rini, Endang
sulistyowati
Tahun : 2013
Judul Jurnal : Faktor Resiko Neonatus Bergolongan darah A atau B dari
ibu bergolongan darah O terhadap kejadian
Hyperbilurubinemia
Hasil analisa :

Dari 244 neonatus terdapat 19 neonatus (7,8%) yang mengalami


hiperbilirubinemia. Terdiri dari 5 (10, 9%) neonatus bergolongan darah A, 7
(14,3 %) neonatus bergolongan darah B, dan 7 (4,7%) neonatus bergolongan
darah O. Neonatus bergolongan darah A bukan merupakan faktor risiko
hiperbilirubinemia. Neonatus bergolongan darah B mempunyai faktor risiko
sebesar 3,4x lebih besar dari pada neonatus bergolongan darah O . Selain itu,
didapatkan perbedaan rerata kadar bilirubin yang bermakna terdapat pada
kelompok neonatus golongan darah A - O dan B- O . Sampel pada penelitian ini
adalah 244 neonatus yang terbagi dalam tiga kelompok, yakni 149 neonatus
bergolongan darah O, 46 neonatus bergolongan darah A, dan 49 neonatus
bergolongan darah B. Seluruh responden penelitian masuk kriteria inklusi yaitu
neonatus yang memiliki ibu bergolongan darah O.

JURNAL 2

Nama peneliti : Stevery Mathindas, Rocky wilar, Audrey wahani


Tahun : 2013
Judul Jurnal : Hyperbilurubinemia pada Neonatus
Hasil analisa :
Hiperbilirubinemia adalah keadaan dimana terjadi peningkatan kadar
bilirubin >5 mg/dL pada darah, yang sering ditandai oleh adanya ikterus. Pada
bayi baru lahir, hiperbilirubinemia sering terjadi karena kemampuan hati bayi

11
yang masih kurang untuk mengekskresikan bilirubin yang terus diproduksi.
Jumlah bilirubin yang tersisa masih menumpuk di dalam tubuh. Oleh karena itu
bilirubin berwarna kuning, maka jumlah bilirubin yang berlebihan dapat memberi
warna pada kulit, sklera, dan jaringan-jaringan tubuh lainnya. Pada setiap bayi
yang mengalami ikterus harus dapat dibedakan apakah ikterus yang terjadi
merupakan keadaan yang fisiologik atau non-fisiologik.

Ikterus fisiologik disini yaitu umumnya terjadi pada bayi baru lahir dengan
kadar bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama >2 mg/dL. Kadar bilirubin
puncak akan mencapai kadar yang lebih tinggi (7-14 mg/dL) dan penurunan bisa
terjadi lebih lambat selama 2-4 minggu, bahkan dapat mencapai 6 minggu.
Peningkatan kadar billirubin sampai 10-12 mg/dl masih dalam kisaran fisiologik,
bahkan peningkatannya bisa mencapai hingga 15 mg/dL tanpa disertai kelainan
metabolisme bilirubin. Frekuensi ikterus pada bayi cukup bulan dan kurang bulan
ialah secara berurut 50-60% dan 80%. Umumnya fenomena ikterus ini ringan dan
dapat membaik tanpa pengobatan karena ikterus fisiologik ini tidak disebabkan
oleh faktor tunggal tetapi kombinasi dari berbagai faktor yang berhubungan
dengan maturitas fisiologik bayi baru lahir. Peningkatan kadar bilirubin tidak
terkonjugasi dalam sirkulasi bayi baru lahir karena disebabkan oleh kombinasi
peningkatan ketersediaan bilirubin dan penurunan klirens bilirubin.

ikterus non fisiologik jenis ikterus ini dahulu dikenal sebagai ikterus
patologik, yang tidak mudah dibedakan dengan ikterus fisiologik yaitu: ikterus
yang terjadi sebelum usia 24 jam; setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang
memerlukan fototerapi, peningkatan kadar bilirubin, total serum >0,5 mg/dL/jam
serta adanya tanda-tanda penyakit yang mendasar pada setiap bayi (muntah,
letargis, malas menetek, penurunan berat badan yang cepat, apnea, takipnea, atau
suhu yang tidak stabil) ikterus yang bertahan setelah delapan hari pada bayi
cukup bulan atau setelah 14 hari pada bayi kurang bulan.

Etiologi ikterus yang sering ditemukan ialah: hiperbilirubinemia fisiologik,


inkompabilitas golongan darah ABO dan Rhesus, breast milk jaundice, infeksi,
bayi dari ibu penyandang diabetes melitus, dan polisitemia/hiperviskositas serta

13
Etiologi yang jarang ditemukan yaitu: defisiensi G6PD, defisiensi piruvat kinase,
sferositosis kongenital, sindrom Lucey-Driscoll, penyakit Crigler-Najjar, hipo-
tiroid, dan hemoglobinopati. Sebagian besar kasus hiperbilirubinemia tidak
berbahaya, tetapi kadang-kadang kadar bilirubin yang sangat tinggi bisa
menyebabkan kerusakan otak (Kern icterus). Gejala klinis yang tampak ialah rasa
kantuk, tidak kuat menghisap ASI/susu formula, muntah, opistotonus, mata ter-
putar-putar keatas, kejang, dan yang paling parah bisa menyebabkan kematian.
Efek jangka panjang Kern icterus ialah retardasi mental, kelumpuhan serebral, tuli,
dan mata tidak dapat digerakkan ke atas.

JURNAL III

Nama peneliti : Elli Hidayat, Marisa Rahmaswari


Tahun : 2015
Judul jurnal : Hubunga faktor ibu dan faktor bayi dengan kejadian
hyperbilurubinemia pada bayi baru lahir 9(BBL) di Rumah Sakit Umum Daerah
(RSUD) Koja, Jakarta Utara Tahun 2015

Hasil analisa :

Salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati
biliaris (lebih dikenal dengan kernikterus). 14 Ensefalopati biliaris merupakan
komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka
mortalitas yang tinggi,juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy,
tuli nada tinggi,paralysis dan displasia dental yang sangat mempengaruhi kualitas
hidup.
Hiperbilirubin mempunyai potensi menimbulkan kern-ikterus, jika tidak
ditanggulangi dengan baik.14Hal ini disebabkan oleh perbedaan faktor penyebab
seperti umur kehamilan, berat badan lahir, jenis persalinan dan golongan darah.

13
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bilirubin adalah pigmen berwarna kuning yang merupakan produk
utama dari hasil perombakan heme dari hemoglobin yang terjadi akibat
perombakan sel darah merah oleh sel retikuloendotel. Bilirubin dibedakan
menjadi 2 jenis, yaitu billirubin tak terkonjugasi atau bilirubin indirek dan
bilirubin terkonjugasi atau bilirubin direk.
Hiperbilirubin adalah istilah yang dipakai untuk ikterus neonatorum
setelah ada hasil laboratorium yang menunjukan peningkatan kadar serum
bilirubin (Iyan, 2009).
Ikterus merupakan salah satu penyebab kematian pada bayi, icterus
merupakan manifestasi klinis dari hyperbilirubinemia. Sekitar 25-50 %
bayi baru lahir menderita icterus pada minggu pertama. Icterus ini bagi
sebagian penderita dapat berbentuk fisiologi dan sebagian lagi patologi
yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan
kematian (Rinawati, 2009).
Hiperbilirubin ini berkaitan erat dengan riwayat kehamilan ibu dan
prematuritas. Selain itu, asupan ASI pada bayi juga dapat mempengaruhi
kadar bilirubin dalam darah.

B. Saran
Kita sebagai calon tenaga kesehatan (keperawatan) harus
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan pada maternal maupun
neonatal sehingga sehingga dapat mengurangi insiden terjadinya
hiperbilirubin.

13
DAFTAR PUSTAKA

Anggraini, Yetti. 2014. Hubungan antara Persalinan Prematur dengan


Hiperbilirubin pada Neonatus. Jurnal Kesehatan, Volume V, No. 2,
Oktober 2014, hlm. 109-112. Tanjungkarang: Poltekkes Kemenkes
Tanjungkarang.
Bulechek, Gloria M, et al. 2013. Nursing Intervensions Classification (NIC), edisi
keenam. Indonesia: ELSEVIER.
Herdman, T. Heather. 2015. Nanda International Inc. Diagnosis Keperawatan:
Definisi & Klasifikasi 2015-2017, Ed. 10. Jakarta: EGC.
Kosim, M. Sholeh, dkk. 2007. Hubungan Hiperbilirubinemia dan Kematian
Pasien yang dirawat di NICU RSUP Dr. Kariadi Semarang. Semarang: Sari
Pediatri.
Kosim, M. Sholeh, dkk. 2012. Buku Ajar Neonatologi. Jakarta: Ikatan Dokter
Anak Indonesia.
Moorhead, Sue, et al. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC), edisi kelima.
Indonesia: ELSEVIER.
Ngastiah. 2008. Perawatan Anak Sakit. Jakarta: EGC.
Putri, Rizki Amalia. 2013. Faktor Risiko Hiperbilirubinemia Pada Neonatus.
Semarang: Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Putri, Rizki Amalia, dkk. 2013. Faktor Risiko Hiperbilirubinemia Pada Neonatus.
Jurnal Medica Hospitalia, Vol. 2(2): 105-109. Semarang: Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro.
Rinawati Rohsiswanto. 2009. Buku Indonesia Menyusui. Jakarta: Ikatan Dokter
Anak Indonesia.
Riyanto, Ahmad, dkk. 2015. Hiperbilirubinemia. STIKes Cendekia Utama Kudus.
Slusher, et al. 2013. Treatment of Neonatal Jaundice With Filtered Sunlight in
Nigerian Neonates. Study Protocol of A Non-Inferiority, Randomized
Controlled Trial.
Syajaratuddur, Faiqah. 2014. Hubungan Usia Gestasi dan Jenis Persalinan
dengan Kadar Bilirubinemia Pada Bayi Ikterus di RSUP NTB. Jurnal
Kesehatan Prima Vol. 8 No. 2 Agustus 2014.

13
L
A
M
P
I
R
A
N

Anda mungkin juga menyukai