Anda di halaman 1dari 51

MIND MAP RESUME SP PBL

SKENARIO 4

Nama : Belia Gustami Putri

NPM : 114170008

Kelompok : 2

Semester :4

Blok : 4.1

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI

CIREBON

2020
K
E
S
F
A
f
g
tD
s
n
le
o
k
m
r
ia
N
R
P
T
L
M
MIND MAP
RESUME SP PBL

SKENARIO 4

Nama : AFIFAH PUTRI STEVIANI

NPM : 118170002

Kelompok : 7

Semester :4

Blok : 4.1

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SWADAYA GUNUNG JATI

CIREBON

2020
STEP V – SASARAN BELAJAR

1. Mekanisme terjadinya kesulitan bernafas (sesak) berdasarkan penyebabnya


(etiologi pulmonal dan proses patofisiologinya: restriktif dan obstruktif)
dihubungkan dengan manifestasi klinis.
2. Penegakkan diagnosis penyakit dengan keluhan kesulitan bernafas
3. Penatalaksanaan penyakit dengan keluhan kesulitan bernafas (etiologi
pulmonal) secara komprehensif
4. Mekanisme farmakologi terapi simptomatik pada kasus dengan keluhan
kesulitan bernafas.

REFLEKSI DIRI

Alhamdulillah pada pbl pertemuan pertama di skenario ini berjalan dengan baik
dan lancar. Semoga apa yang didapatkan dapat bermanfaat dan berguna untuk
kedepannya, dan untuk pertemuan kedua semoga dapat lebih baik lagi.

STEP VI – BELAJAR MANDIRI

Belajar Mandiri

STEP VII – PENJELASAN

KELUHAN SESAK NAFAS (OBSTRUKSI DAN RESTRIKTIF)

Penyakit paru difus dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori:

Penyakit obstruktif (karena hambatan) jalan napas, ditandai oleh terhambatnya alir
an udara, biasanya terjadi akibat meningkatnya resistensi yang disebabkan oleh. h
ambatan parsial atau total pada berbagai tahap.

Penyakit restriktif (karena pembatasan), ditandai oleh terbatasnya pengembangan


parenkim paru yang disertai berkurangnya kapasitas paru total.

Penyakit obstruktif difus yang utama adalah emfisema, bronchitis kronik, bronkie
ktasis, dan asma. Pada pasien-pasien dengan penyakit ini, kapasitas vital paksa/ fo
rced vital capacity (FVC) normal atau sedikit menurun, sedangkan tingkat aliran e
kspirasi, biasanya diukur sebagai volume ekspirasi paksa/ forced expiratory volum
e pada detik pertama (FEV1), sangat berkurang. Sehingga, rasio FEV terhadap FV
C berkurang. Obstruksi ekspirasi dapat terjadi akibat penyempitan anatomik jalan
napas, biasanya terjadi pada asma, atau dari hilangnya kemampuan berkerut kemb
ali (recoil elastik), yang khas ditemukan pada emfisema. Sebaliknya, pada penyaki
t restriktif difus, FVC berkurang dan tingkat aliran ekspirasi normal atau secara pr
oporsional berkurang. Sehingga, rasio FEV terhadap FVC hampir normal.

Defek restriktif terjadi pada dua kondisi umum:

Gangguan dinding dada dengan kondisi paru normal (misalnya, pada obesitas bera
t, penyakit pleura, dan gangguan neuromuskular, seperti sindrom Guillain-Barre,
yang memengaruhi otot respirasi).

Penyakit paru interstisialis akut atau kronik. Penyakit restriktif akut yang klasik ad
alah ARDS, akan didiskusikan kemudian. Penyakit restriktif kronik mencakup pn
eumokoniosis, fibrosis interstisialis dengan etiologi tidak diketahui, dan sebagian
besar kondisi infiltratif (misalnya, sarkoidosis).
Gambar Kelompok Utama Penyakit Paru Obstruktif.

Gambar Kelompok Utama Penyakit Paru Restriktif.

Spirometri merupakan suatu metode sederhana yang dapat mengukur sebagian ter
besar volume dan kapasitas paru. Spirometri merekam secara grafis atau digital, v
olume ekspirasi paksa (forced expiratory volume in 1 second/FEV1) dan kapasitas
vital paksa (forced vital capacity/FVC). Pemeriksaan dengan spirometer ini pentin
g untuk pengkajian fungsi ventilasi paru secara mendalam. Jenis gangguan fungsi
paru dapat digolongkan menjadi 2 yaitu:

a. Gangguan fungsi obstruktif (hambatan aliran udara)


Bila nilai rasio FEV1/FVC <70%.
b. Gangguan fungsi restriktif (hambatan pengembangan paru)
Bila nilai kapasitas vital (vital capacity/VC) <80% dibanding dengan nilai
standar.

Gangguan Faal Paru Restriksi:

a. VC atau FVC <80% dari nilai prediksi


b. Restriksi ringan jika VC atau FVC 60% - 80%
c. Restriksi sedang jika VC atau FVC 30% - 59%
d. Restriksi berat jika VC atau FVC <30%

Gangguan Faal Paru Obstruksi:

a. FEV1 <80% dari nilai prediksi


b. Rasio FEV1/FVC <70%
c. Obstruksi ringan jika rasio FEV1/FVC 60% - 80%
d. Obstruksi sedang jika rasio FEV1/FVC 30% - 59%
e. Obstruksi berat jika rasio FEV1/FVC <30%

Klasifikasi gangguan ventilasi (% nilai prediksi):

a. Gangguan restriksi
Vital Capacity (VC) < 80% nilai prediksi FVC < 80% nilai prediksi.
b. Gangguan obstruksi
FEV1 < 80% nilai prediksi FEV1/FVC < 75% nilai prediksi.
c. Gangguan restriksi dan obstruksi
FVC < 80% nilai prediksi FEV1/FVC < 75% nilai prediksi.

ASMA

Asma adalah penyakit heterogen, selalu dikarakteristikkan dengan inflamasi kroni


s disaluran napas. Terdapat riwayat gejala respirasi seperti mengi, sesak, rasa bera
t di dada dan batuk yang intensitasnya berberda-beda berdasarkan variasi keterbat
asan aliran udara ekspirasi

Tabel Faktor Resiko Asma.


Faktor Pejamu Predisposisi genetik
Atopi
Hiperesponsif jalan napas
Jenis kelamin
Ras atau etnik
Faktor Lingkungan Alergen didalam ruangan
Allergen diluar ruangan
Bahan dilingkungan kerja
Polusi udara
Infeksi pernafasan
Infeksi parasit
Status sosioekonomi
Diet dan obat
Obesitas
Faktor lingkungan yang mencetuskan Allergen didalam ruangan
eksaserbasi dan atau menyebabkan Polusi udara didalam dan diluar
gejala-gejala asma menetap ruangan
Infeksi pernapasan
Latihan fisik dan hipervenilasi
Perubahan cuaca
Sulfur dioksida
Makanan, aditif, obat-obatan
Emosi yang berlebihan
Asap rokok
Iritan

Pathway Asma

Factor resiko  inflamasi  hipereaktifitas bronkus  obstruksi bronkus. Asma


merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan teruta
ma sel mast, eosinofil, sel limfosit T, makrofag, neutrofil dan sel epitel. Faktor lin
gkungan dan berbagai faktor lain berperan sebagai penyebab atau pencetus inflam
asi saluran napas pada penderita asma. Inflamasi terdapat pada berbagai derajat as
ma baik pada asma intermiten maupunasma persisten. Inflamasi dapat ditemukan
pada berbagai bentuk asma seperti asma alergik, asmanonalergik, asma kerja dan
asma yang dicetuskan aspirin.

Inflamasi Akut  Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor
antara lain alergen, virus, iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut ya
ng terdiri atas reaksi asma tipe cepat danpada sejumlah kasus diikuti reaksi asma ti
pe lambat.

a. Reaksi Asma Tipe Cepat


Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi
degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan preformed
mediator seperti histamin, protease dan newly generated mediator seperti
leukotrin, prostaglandin dan PAF yang menyebabkan kontraksi otot polos
bronkus, sekresi mukus dan vasodilatasi.
b. Reaksi Fase Lambat
Reaksi ini timbul antara 6-9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan
pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel T CD4+, neutrofil dan makrofag.

Infalamasi kronik  Berbagai sel terlibat dan teraktivasi pada inflamasi kronik. S
el tersebut ialah limfosit T, eosinofil, makrofag , sel mast, sel epitel, fibroblast dan
otot polos bronkus.

a. Limfosit T
Limfosit T yang berperan pada asma ialah limfosit T-CD4+ subtipe Th2).
Limfosit T ini berperan sebagai orchestra inflamasi saluran napas dengan
mengeluarkan sitokin antara lain IL-3, IL-4, IL-5, IL-13 dan GM-CSF.
Interleukin-4 berperan dalam menginduksi Th0 ke arah Th2 dan bersama-
sama IL-13 menginduksi sel limfosit B mensintesis IgE. IL-3, IL-5 serta GM-
CSF berperan pada maturasi, aktivasi serta memperpanjang ketahanan hidup
eosinofil.
b. Epitel
Sel epitel yang teraktivasi mengeluarkan a.l 15-HETE, PGE2 pada penderita
asma. Sel epitel dapat mengekspresi membran markers seperti molekul
adhesi, endothelin, nitric oxide synthase, sitokin atau khemokin. Epitel pada
asma sebagian mengalami sheeding. Mekanisme terjadinya masih
diperdebatkan tetapi dapat disebabkan oleh eksudasi plasma, eosinophil
granule protein, oxygen free-radical, TNF-alfa, mast-cell proteolytic enzym
dan metaloprotease sel epitel.
c. Eosinofil
Eosinofil jaringan (tissue eosinophil) karakteristik untuk asma tetapi tidak
spesifik. Eosinofil yang ditemukan pada saluran napas penderita asma adalah
dalam keadaan teraktivasi. Eosinofil berperan sebagai efektor dan mensintesis
sejumlah sitokin antara lain IL-3, IL-5, IL-6, GM-CSF, TNF-alfa serta
mediator lipid antara lain LTC4 dan PAF. Sebaliknya IL-3, IL-5 dan GM-
CSF meningkatkan maturasi, aktivasi dan memperpanjang ketahanan hidup
eosinofil. Eosinofil yang mengandung granul protein ialah eosinophil cationic
protein (ECP), major basic protein (MBP), eosinophil peroxidase (EPO) dan
eosinophil derived neurotoxin (EDN) yang toksik terhadap epitel saluran
napas.
d. Sel Mast
Sel mast mempunyai reseptor IgE dengan afiniti yang tinggi. Cross-linking
reseptor IgE dengan “factors” pada sel mast mengaktifkan sel mast. Terjadi
degranulasi sel mast yang mengeluarkan preformed mediator seperti histamin
dan protease serta newly generated mediators antara lain prostaglandin D2
dan leukotrin. Sel mast juga mengeluarkan sitokin antara lain TNF-alfa, IL-3,
IL-4, IL-5 dan GM-CSF.
e. Makrofag
Sel terbanyak didapatkan pada organ pernapasan, baik pada orang normal
maupun penderita asma, didapatkan di alveoli dan seluruh percabangan
bronkus. Makrofag dapat menghasilkan berbagai mediator antara lain
leukotrin, PAF serta sejumlah sitokin. Selain berperan dalam proses
inflamasi, makrofag juga berperan pada regulasi airway remodeling. Peran
tersebut melalui a.l sekresi growth-promoting factors untuk fibroblast,
sitokin, PDGF danTGF-β.

Gambar Pathway Asma Bronkial.

Hasil Anamnesis

Gejala khas untuk Asma, jika ada maka meningkatkan kemungkinan pasien memil
iki Asma, yaitu :

a. Terdapat lebih dari satu gejala (mengi, sesak, dada terasa berat) khususnya
pada dewasa muda.
b. Gejala sering memburuk di malam hari atau pagi dini hari.
c. Gejala bervariasi waktu dan intensitasnya.
d. Gejala dipicu oleh infeksi virus, latihan, pajanan allergen, perubahan cuaca,
tertawa atau iritan seperti asap kendaraan, rokok atau bau yang sangat tajam.

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pasien asma biasanya normal. Abnormalitas yang paling sering
ditemukan adalah mengi ekspirasi saat pemeriksaan auskultasi, tetapi ini bisa saja
hanya terdengar saat ekspirasi paksa. Mengi dapat juga tidak terddengan selama e
ksaserbasi asma yang berat karena penurunan aliran napas yang dikenal dengan “s
ilent chest”.

Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan faal paru dengan spirometer


b. Pemeriksaan APE dengan peakflowmeter
c. Uji reversibilitas (dengan bronkodilator)
d. Uji provokasi bronkus, untuk menilai ada tidaknya hipereaktivasi bronkus
e. Uji alergi
f. Foto thoraks

Penegakan Diagnosis

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


penunjang, yaitu terdapat kenaikan ≥15 % rasio APE sebelum dan sesudah pembe
rian inhalasi salbutamol

Klasifikasi Asma Bronkial

Asma saat tanpa serangan

Biasanya pada dewasa, asma saat tanpa atau diluar serangan, yang terdiri dari : int
ermitten, persisten ringan, persisten sedang, persisten berat.

Tabel klasifikasi derajat asam berdasarkan gambaran klinis secara umum pada or
ang dewasa.

Derajat asma Gejala Gejala malam Faal paru


Intermitten Bulanan APE ≥ 80%
Gejala ≤2 kali sebulan VEP1 ≥ 80% nilai
<1x/minggu, prediksi APE ≥
tanpa gejala diluar 80% nilai terbaik.
serangan, Variability APE
serangan singkat. ≤20 %.
Persisten ringan Mingguan APE ≥ 80%
Gejala >2 kali sebulan VEP1 ≥ 80% nilai
>1x/minggu tetapi prediksi APE ≥
<1x/hari, serangan 80% nilai terbaik.
dapat Variability APE
mengganggu 20-30 %.
aktivitas dan
tidur.
Persisten sedang Harian APE 60-80%
Gejala setiap hari, >2 kali sebulan VEP1 60-80%
serangan nilai prediksi
mengganggu APE 60-80% nilai
aktivitas dan terbaik.
tidur, Variability APE
membutuhkan >30 %.
bronkodilator
setiap hari.
Persisten berat Kontinue APE ≤60%
Gejala terus Sering VEP1 ≤60 % nilai
menerus, sering prediksi APE ≤60
kambuh, aktivitas % nilai terbaik.
fisik terbatas. Variability APE
>30 %.

Asma saat serangan

Berdasarkan frekuensi serangan dan obat yang digunakan sehari-hari, ari berat-ri
ngannya serangan.
Gambar Klasifikasi menurut derajat serangan.

Penatalaksanaan

a. Pasien disarankan untuk mengidentifikasi serta mengendalikan faktor


pencetusnya.
b. Perlu dilakukan perencanaan dan pemberian pengobatan jangka panjang serta
menetapkan pengobatan pada serangan akut.
Gambar Penatalaksanaan asma berdasarkan beratnya keluhan.

Konseling dan Edukasi

a. Memberikan informasi kepada individu dan keluarga mengenai seluk beluk


penyakit, sifat penyakit, perubahan penyakit (apakah membaik atau
memburuk), jenis dan mekanisme kerja obat-obatan dan mengetahui kapan
harus meminta pertolongan dokter.
b. Kontrol secara teratur antara lain untuk menilai dan monitor berat asma
secara berkala (asthma control test/ ACT).
c. Pola hidup sehat.
d. Menjelaskan pentingnya melakukan pencegahan dengan:
(a) Menghindari setiap pencetus.
(b) Menggunakan bronkodilator/ steroid inhalasi sebelum melakukan exercise
untuk mencegah exercise induced asthma.

Diagnosis Banding
a. Gagal Jantung
b. Bronkiektasis
c. PPOK

Prognosis

Ad sanasionam : bonam.

Ad fungsionam : bonam.

Ad vitam : bonam.

ASMA PADA ANAK

Asma adalah mengi berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebaga
i berikut: timbul secara episodik, cenderung pada malam/dini hari (nokturnal), mu
siman, setelah aktivitas fisik, serta terdapat riwayat asma atau atopi lain pada pasi
en dan/atau keluarganya. Inflamasi ini juga berhubungan dengan hiperreaktivitas j
alan napas terhadap berbagai rangsangan. Prevalens total asma di dunia diperkirak
an 7,2% (6% pada dewasa dan 10% pada anak).

Hasil Anamnesis

Anamnesis harus dilakukan dengan cermat agar didapatkan riwayat penyakit yang
akurat mengenai gejala sulit bernapas, mengi atau dada terasa berat yang bersifat e
pisodic dan berkaitan dengan musim serta terdapat riwayat asma atau penyakit ato
pi pada anggota keluarga. Walaupun informasi akurat mengenai hal-hal tersebut ti
dak mudah didapat, beberapa pertanyaan berikut ini sangat berguna dalam pertimb
angan diagnosis asma:

a. Apakah anak mengalami serangan mengi atau serangan mengi berulang?


b. Apakah anak sering terganggu oleh batuk pada malam hari?
c. Apakah anak mengalami mengi atau batuk setelah berolahraga?
d. Apakah anak mengalami gejala mengi, dada terasa berat, atau batuk setelah
terpajan alergen atau polutan?
e. Apakah jika mengalami pilek, anak membutuhkan >10 hari untuk sembuh?
f. Apakah gejala klinis membaik setelah pemberian pengobatan anti- asma?

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan fisik, umumnya tidak ditemukan kelainan saat pasien tidak men
galami serangan. Pada sebagian kecil pasien yang derajat asmanya lebih berat, dap
at dijumpai mengi di luar serangan. Dengan adanya kesulitan ini, diagnosis asma
pada bayi dan anak kecil (dibawah usia 5 tahun) hanya merupakan diagnosis klini
s (penilaian hanya berdasarkan gejala dan pemeriksaan fisik dan respons terhadap
pengobatan). Pada kelompok usia ini, tes fungsi aru atau pemeriksaan untuk meng
etahui adanya hiperresponsivitas saluran napas tidak mungkin dilakukan dalam pr
aktek sehari-hari. Kemungkinan asma perlu dipikirkan pada anak yang hanya men
unjukkan batuk sebagai satu- satunya gejala dan pada pemeriksaan fisik tidak dite
mukan mengi, sesak, dan lain-lain. Pada anak yang tampak sehat dengan batuk ma
lam hari yang rekuren, asma harus dipertimbangkan sebagai probable diagnosis. B
eberapa anak menunjukkan gejala setelah berolahraga.

Pemeriksaan Penunjang

Arus puncak ekspirasi (APE) dengan peak flowmeter. Metode yang dianggap mer
upakan cara mengukur nilai diurnal APE terbaik adalah pengukuran selama paling
sedikit 1 minggu dan hasilnya dinyatakan sebagai persen nilai terbaik dari selisih
nilai APE pagi hari terendah dengan nilai APE malam hari tertinggi. Jika didapatk
an variabilitas APE diurnal > 20% (petanda adanya perburukan asma) maka diagn
osis asma perlu dipertimbangkan.

Penegakan Diagnosis

Asma Stabil

Jika gejala dan tanda klinis jelas serta respons terhadap pemberian obat asma baik,
pemeriksaan lebih lanjut tidak perlu dilakukan. Jika respons terhadap obat asma ti
dak baik, sebelum mengganti obat dengan yang lebih poten, harus dinilai lebih dul
u apakah dosis sudah adekuat, cara dan waktu pemberian sudah benar, serta ketaat
an pasien baik. Bila semua aspek tersebut sudah dilakukan dengan baik dan benar,
diagnosis bukan asma perlu dipikirkan.

Gambar Klasifikasi asma pada anak menurut PNAA.

Asma Eksaserbasi

Eksaserbasi (serangan) asma adalah episode perburukan gejala-gejala asma secara


progresif. Gejala yang dimaksud adalah sesak napas, batuk, mengi, dada rasa terte
kan, atau berbagai kombinasi gejala tersebut. Pada umumnya, eksaserbasi disertai
distres pernapasan. Serangan asma ditandai oleh penurunan PEF atau FEV1. Peng
ukuran ini merupakan indicator yang lebih dapat dipercaya daripada penilaian ber
dasarkan gejala. Sebaliknya, derajat gejala lebih sensitif untuk menunjukkan awal
terjadinya ekaserbasi karena memberatnya gejala biasanya mendahului perburuka
n PEF. Derajat serangan asma bervariasi mulai dari yang ringan sampai yang men
gancam jiwa, perburukan dapat terjadi dalam beberapa menit, jam, atau hari. Sera
ngan akut biasanya timbul akibat pajanan terhadap faktor pencetus (paling sering i
nfeksi virus atau allergen atau kombinasi keduanya), sedangkan serangan berupa p
erburukan yang bertahap mencerminkan kegagalan pengelolaan jangka panjang pe
nyakit.

Penatalaksanaan
Asma Stabil

Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda (reliever) dan
obat pengendali (controller). Obat pereda terkadang juga disebut sebagai obat pele
ga atau obat serangan. Obat kelompok ini digunakan untuk meredakan serangan at
au gejala asma yang sedang timbul. Jika serangan sudah teratasi dan gejala sudah
menghilang, obat ini tidak digunakan lagi. Kelompok kedua adalah obat pengenda
li yang sering disebut sebagai obat pencegah atau profilaksis. Obat ini digunakan
untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran napas. Denga
n demikian, obat ini dipakai terus menerus dalam jangka waktu yang relative lama,
bergantung pada derajat penyakit asma dan responsnya terhadap pengobatan.

Asma Eksaserbasi

Global initiative for asthma (GINA) membagi tatalaksana serangan asma menjadi
dua yaitu tatalaksana di rumah dan di rumah sakit. Tatalaksana di rumah dilakuka
n oleh pasien (atau orang tuanya) sendiri di rumah. Hal ini dapat dilakukan oleh p
asien yang sebelumnya telah menjalani terapi dengan teratur dan mempunyai pend
idikan yang cukup. Pada panduan pengobatan di rumah, disebutkan bahwa terapi
awal adalah inhalasi B2agonis kerja cepat sebanyak 2 kali dengan selang waktu 2
0 menit. Bila belum ada perbaikan, segera mencari pertolongan ke dokter atau sar
ana kesehatan.

Nilai derajat serangan

Tatalaksana awal

a. Nebulisasi B2agonis 1-2x, selang 20 menit


b. Nebulisasi kedua + antikolinergik jika serangan sedang/berat
c. Nebulisasi langsung dengan B2agonis + antikolinergik.

Serangan ringan (nebulisasi 1x, respons baik)

a. Observasi 1-2 jam


b. Jika efek bertahan, boleh pulang
c. Jika gejala timbul lagi, perlakukan sebagai serangan sedang
Serangan sedang (nebulisasi 2x, respons parsial)

a. Berikan oksigen
b. Nilai kembali derajat serangan, jika sesuai dengan serangan sedang, observasi
di Ruang Rawat Sehari
c. Berikan steroid oral
d. Pasang jalur parenteral

Serangan berat (bila telah nebulisasi 3x, respons buruk)

a. Sejak awal berikan O2 saat/di luar nebulisasi


b. Pasang jalur parenteral, nilai ulang keadaan klinis, jika seuai dgn serangan
berat, rawat di Ruang Rawat Inap
c. Foto rontgen toraks

Boleh pulang

a. Bekali dengan obat ß-agonis (hirupan/oral)


b. Jika sudah ada obat pengendali, teruskan
c. Jika pencetusnya adalah infeksi virus, dapat diberikan steroid oral
d. Dalam 24-48 jam control ke klinik rawat

Tatalaksana Asma Eksaserbasi

a. Asma episodik jarang cukup diobati dengan obat pereda berupa bronkodilator
agonis hirupan kerja pendek (Short Acting B2-Agonist, SABA) atau
golongan xantin kerja cepat hanya apabila perlu saja, yaitu jika ada
gejala/serangan.
b. Asma episodik sering. Penggunaan B2-agonis hirupan lebih dari 3x per
minggu (tanpa menghitung penggunaan pra-aktivitas fisik), atau serangan
sedang/berat terjadi lebih dari sekali dalam sebulan, merupakan indikasi
penggunaan anti-inflamasi sebagai pengendali.
c. Asma persisten. Bergantung pada kasusnya, steroid hirupan dapat diberikan
mulai dari dosis tinggi diturunkan sampai dosis rendah selama gejala masih
terkendali, atau sebaliknya, mulai dari dosis rendah sampai dosis tinggi
hingga gejala dapat dikendalikan. Pada keadaan tertentu, khususnya pada
anak dengan penyakit berat, dianjurkan untuk menggunakan dosis tinggi
dahulu, disertai steroid oral jangka pendek (3-5 hari).

Diagnosis Banding

a. PJB
b. Rinosinusitis

Komplikasi

a. Pneumotoraks
Kondisi dimana terdapat udara bebas dalam rongga pleura.
Keluhan  Pneumotoraks dapat menimbulkan keluhan atau tidak. Keluhan
yang dapat timbul adalah sesak napas, yang dapat disertai nyeri dada pada sisi
yang sakit. Nyeri dada tajam, timbul secara tiba- tiba, dan semakin nyeri jika
menarik napas dalam atau terbatuk. Keluhan timbul mendadak ketika tidak
sedang aktivitas.
Pemeriksaan fisik  gejala klinis : Hiperkapnia, hipotensi, takikardi,
perubahan status mental.
Pemeriksaan fisik paru :
(a) Inspeksi paru, tampak sisi yang sakit lebih menonjol dan tertinggal pada
pernapasan.
(b) Palpasi paru, suara fremitus menurun di sisi yang sakit.
(c) Perkusi paru, ditemukan suara hipersonor dan pergeseran mediastinum ke
arah yang sehat.
(d) Auskultasi paru, didapatkan suara napas yang melemah dan jauh.

Pemeriksaan Penunjang  Foto toraks, didapatkan garis penguncupan paru y


ang sangat halus (pleural line), dan gambaran avaskuler di sisi yang sakit. Bil
a disertai darah atau cairan lainnya, akan tampak garis mendatar yang merupa
kan batas udara dan cairan (air fluid level). Pulse oxymetry. Pemeriksaan ini t
idak untuk menegakkan diagnosis, namun untuk menilai apakah telah terjadi
gagal napas.
b. Status Asmatikus
Episode perburukan gejala yang progresif dsri sesak, batuk, mengi, atau rasa
berat di dada, atau ombinasi dari gejala itu.
Hasil anamnesis  riwayat singkat serangan meliputi gejala, pengobatan
yang telah digunakan, respons pengobatan, awal terjadinya, dan
penyebabnya. Untuk mendapatkan keadaan fatal/kematian yaitu:
(a) Riwayat serangan asma yang membutuhkan intubasi atau ventilasi
mekanis.
(b) Riwayat perawatan di RS atau kunjungan ke darurat gawat dalam satu
tahun terakhir.
(c) Saat serangan masih dalam glukokortikosteroid oral, atau baru saja
menghentikan salbutamol.
(d) Penggunaan sedasi
(e) Tidak patuh pengobatan jangka lama asma.

Pemeriksaan fisik  ada fasilitas layanan yang sederhana hanya menekankan


kepada : posisi penderita, cara bicara, frek. napas, penggunaan otot bantuan n
apas, nadi, TD, dan tidak ada mengi.

Pemeriksaan penunjang  pada serangan asma, sebaiknya APE diperiksa seb


elum pengobatan, tanpa menunja pemberian pengobatan. Saturasi oksigen de
ngan pulse oxymerty, pemeriksaan analisis gas darah.

BRONKIEKTASIS

Definisi

Dilatasi bronkus yang bersifat abnormal dan permanen.

Patogenesis

Penyakit yang melibatkan infeksi transmural dan reaksi radang. Penyakit tersebut
bersifat kronik dan eksaserbasi akut sepanjang perjalanannya. Infeksi, biasanya ps
eudomonas aerugionosa dan haemophilus influenza, menyebabkan proses peradan
gan dan merusak dinding bronkus.

Manifestasi Klinis

Pada anamnesis

a. Umumnya batuk berdahak, abtuk kering lama.


b. Hemoptisis.
c. Lemas, penurunan BB, mialgia.
d. Dipsneu, mengi.
e. Demam, nyeri dada pleuritik.
f. Kor pulmonal.
g. Tidak ada atau riwayat rokok.
h. Riwayat keluhanyang kronik.

Pemeriksaan Fisik

a. Takipneu.
b. Ronkhi basah.
c. Mengi.
d. Jari tabuh.

Pemeriksaan Penunjang

a. Foto thoraks dada


Terlihat gambaran jalur tram, cincin, garis parallel, dan struktur tubular.
b. CT scan
Karakteristik : bronchial tapering menurun, bronkus terlihat 1 cm pada tepi
paru, rasio ukuran bronkoarteri meningkat (tanda signet-ring).
c. Bronkoskopi fiberoptik
Untuk mengetahui penyumbatan endobronkial.
d. Pemeriksaan sputum, kultur sputum, pewarnaan
Dapat ditemukan neutrofilia dan kolonisasi.
Tata laksana

Medikamentosa

a. Terapi antibiotic.
b. Pemberian bronkodilator.
Untuk memperbaiki penyumbatan dan meingkatkan klirens.

Bedah

Jika keluhan meningkat morbiditas, reseksi pada region paru yang terkena jika lesi
bersifat local atau embolisasi jika lesi luas.

BRONCHITIS

Definisi

Bronkitis adalah suatu peradangan pada bronkus (saluran udara ke paru-paru).

Patofisiologi

Gambar Pathway Bronkitis Akut.

Hasil Anamnesis (subjective)

Keluhan
a. Batuk (berdahak maupun tidak berdahak) selama 2-3 minggu.
b. Dahak dapat berwarna jernih, putih, kekuning-kuningan atau kehijauan.
c. Demam (biasanya ringan).
d. Rasa berat dan tidak nyaman di dada.
e. Sesak nafas.
f. Sering ditemukan bunyi nafas mengi atau “ngik”, terutama setelah batuk.
g. Bila iritasi saluran terjadi, maka dapat terjadi batuk darah.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana (objective)

Pemeriksaan Fisik

Pada pemeriksaan paru dapat ditemukan:

a. Inspeksi : Pasien tampak kurus dengan barrel shape chest (diameter


anteroposterior dada meningkat).
b. Palpasi : Fremitus taktil dada normal.
c. Perkusi : Sonor, peranjakan hati mengecil, batas paru hati lebih rendah.
d. Auskultasi : Suara nafas vesikuler atau bronkovesikuler, dengan ekpirasi
panjang, terdapat ronki basah kasar yang tidak tetap (dapat hilang atau pindah
setelah batuk), wheezing dengan berbagai gradasi (perpanjangan ekspirasi
hingga mengi) dan krepitasi.

Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan sputum dengan pengecatan Gram akan banyak didapat leukosit


PMN dan mungkin pula bakteri.
b. Foto thoraks pada bronkitis kronis memperlihatkan tubular shadow berupa
bayangan garis-garis yang paralel keluar dari hilus menuju apex paru dan
corakan paru yang bertambah.
c. Tes fungsi paru dapat memperlihatkan obstruksi jalan napas yang reversible
dengan menggunakan bronkodilator.

Diagnosis Banding

a. Epiglotitis, yaitu suatu infeksi pada epiglotis, yang bisa menyebabkan


penyumbatan saluran pernafasan.
b. Bronkiolitis, yaitu suatu peradangan pada bronkiolus (saluran udara yang
merupakan percabangan dari saluran udara utama), yang biasanya disebabkan
oleh infeksi virus.
c. Influenza, yaitu penyakit menular yang menyerang saluran napas, dan sering
menjadi wabah yang diperoleh dari menghirup virus influenza.
d. Sinusitis, yaitu radang sinus paranasal yaitu rongga-rongga yang terletak
disamping kanan - kiri dan diatas hidung.
e. PPOK, yaitu penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara
di saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel parsial.
f. Faringitis, yaitu suatu peradangan pada tenggorokan (faring) yang disebabkan
oleh virus atau bakteri.
g. Asma, yaitu suatu penyakit kronik (menahun) yang menyerang saluran
pernafasan (bronchiale) pada paru dimana terdapat peradangan (inflamasi)
dinding rongga bronchiale sehingga mengakibatkan penyempitan saluran
nafas yang akhirnya seseorang mengalami sesak nafas.
h. Bronkiektasis, yaitu suatu perusakan dan pelebaran (dilatasi) abnormal dari
saluran pernafasan yang besar.

Komplikasi

a. Bronkopneumoni.
b. Pneumonia.
c. Pleuritis.
d. Penyakit-penyakit lain yang diperberat seperti:jantung.
e. Penyakit jantung rematik.
f. Hipertensi.
g. Bronkiektasis.

Penatalaksanaan Komprehensif (plan)

Penatalaksanaan

a. Memperbaiki kemampuan penderita mengatasi gejala-gejala tidak hanya pada


fase akut, tapi juga pada fase kronik, serta dalam melaksanakan aktivitas
sehari-hari sesuai dengan pola kehidupannya.
b. Mengurangi laju perkembangan penyakit apabila dapat dideteksi lebih awal.
c. Oksigenasi pasien harus memadai.
d. Istirahat yang cukup.
e. Pemberian obat antitusif (penekan batuk):
Kodein (obat Doveri) dapat diberikan 10 mg, diminum 3 x/hari, bekerja
dengan menekan batuk pada pusat batuk di otak. Antitusif tidak dianjurkan
pada kehamilan, ibu menyusui dan anak usia 6 tahun ke bawah. Pada
penderita bronkitis akut yang disertai sesak napas, pemberian antitusif perlu
umpan balik dari penderita. Jika penderita merasa tambah sesak, maka
antitusif dihentikan.
f. Pemberian ekspektoran (obat batuk pengencer dahak) yang lazim digunakan
diantaranya: GG (Glyceryl Guaiacolate), bromheksin, ambroksol, dan lain-
lain.
g. Antipiretik (pereda panas): parasetamol (asetaminofen), dan sejenisnya,
digunakan jika penderita demam.
h. Bronkodilator (melonggarkan napas), diantaranya: salbutamol, terbutalin
sulfat, teofilin, aminofilin, dan lain-lain. Obat-obat ini digunakan pada
penderita yang disertai sesak napas atau rasa berat bernapas, sehingga obat ini
tidak hanya untuk obat asma, tetapi dapat juga untukbronkitis. Efek samping
obat bronkodilator perlu diketahui pasien, yakni: berdebar, lemas, gemetar
dan keringat dingin.
i. Antibiotika hanya digunakan jika dijumpai tanda-tanda infeksi oleh kuman
berdasarkan pemeriksaan dokter. Antibiotik yang dapat diberikan antara lain:
ampisilin, eritromisin, atau spiramisin, 3 x 500 mg/hari.
j. Terapi lanjutan: jika terapi anti inflamasi sudah dimulai, lanjutkan terapi
hingga gejala menghilang paling sedikit 1 minggu. Bronkodilator juga dapat
diberikan jika diperlukan.

Rencana Tindak Lanjut


Pasien kontrol kembali setelah obat habis, dengan tujuan untuk:

a. Mengevaluasi modifikasi gaya hidup.


b. Mengevaluasi terapi yang diberikan, ada atau tidak efek samping dari terapi.

Konseling dan Edukasi

Memberikan saran agar keluarga dapat:

a. Mendukung perbaikan kemampuan penderita dalam melaksanakan aktivitas


sehari-hari sesuai dengan pola kehidupannya.
b. Memotivasi pasien untuk menghindari merokok, menghindari iritan lainnya
yang dapat terhirup, mengontrol suhu dan kelembaban lingkungan, nutrisi
yang baik, dan cairan yang adekuat.
c. Mengidentifikasi gejala efek samping obat, seperti bronkodilator dapat
menimbulkan berdebar, lemas, gemetar dan keringat dingin.

Prognosis

Prognosis umumnya dubia ad bonam.

EMFISEMA

Definisi
Pembesaran permanen abnormal rongga udara distal terhadap bronkiolus terminal,
disertaidengan destruksi dinding rongga udara tersebut.
Patogenesis
Gambar Pathway Emfisema
Etiologi
a. Merokok.
b. Predisposisi genetic - Alpha1 protease inhibitor.
c. Paparan okupasi terhadap iritan kimia.
d. Paparan polutan di atmosfer.
Manifestasi Klinis
a. Biasanya mengalami sesak progresif, penurunan toleransi latihan, wheeze dan
penurunan berat badan.
b. Tanda hiperinflasi
c. Hilangnya suport elastik → saluran napaskolaps pada saat ekspirasi → Pola
obstruksipada pemeriksaan spirometry.
d. Asidosis respiratorik.
e. Cor pulmonale.
f. Pneumothorax.
Pemeriksaan Fisik
a. Tanda vital
(a) Peningkatan laju respirasi.
(b) Peningkatan nadi, cardiac output,tekanan darah.
(c) Penggunaan otot asesori inspirasi.
(d) Penggunaan otot asesori ekspirasi.
(e) Pursed-lip breathing.
(f) Peningkatan diameter dada posteroanterior(barrel chest).
(g) Sianosis.
Pemeriksaan penunjang
a. Hematologi
Peningkatan hematocrit and hemoglobin.
b. Elektrolit
Hipokloremia (Kegagalan ventilasi kronik).
c. Pemeriksaan sputum
Streptococcus pneumonia dan Haemophilus influenza.
d. Foto toraks
(a) Lapang paru translusen (gelap).
(b) Depresi atau pendataran diafragma.
(c) Jantung memanjang dan tampak langsing (berbentuk pendulum).
(d) Jantung membesar.
(e) Peningkatan rongga udara retrosternal (Foto toraks lateral).
Tatalaksana

a. Edukasi pasien dan keluarga.


b. Manajemen perilaku:
(a) Hindari merokok dan iritan inhalasi.
(b) Hindari infeksi.
(c) Edukasi nutrisi.
c. Terapi oksigen.
d. Higiene sistem respirasi.
e. Obat-obat inhalasi.
f. Ventilasi mekanik
g. Antibiotik.
h. Vaksinasi influenza dan pneumokokus.
i. Lung volume reduction surgery.
j. Transplantasi paru.
PPOK (Penyakit Paru Obstuktif Kronis)

Definisi

Penyakit paru kronik yang dapat dicegah dan diobati, dikarakteristikkan dengan h
ambatan aliran udara yang persisten, progresif dan berhubungan dengan peningkat
an respons inflamasi kronis di paru terhadap partikel dangas berbahaya.

Manifestasi klinis

Anamnesis

Keluhan :

a. Sesak napas.
b. Kadang-kadang disertai mengi.
c. Batuk kering atau dengan dahak yang produktif.
d. Rasa berat di dada.

Faktor risiko

a. Genetik.
b. Pajanan partikel :
(a) Asap rokok.
(b) Debu kerja, organik dan inorganic.
(c) Polusi udara dalam rumah daripemanas atau biomassa rumah tangga
dengan ventilasi yang buruk.
(d) Polusi udara bebas
c. Pertumbuhan dan perkembangan paru.
d. Stres oksidatif.
e. Jenis kelamin.
f. Umur.
g. Infeksi paru.
h. Status sosial-ekonomi.
i. Nutrisi.
j. Komorbiditas.
Pemeriksaan fisik

a. Inspeksi
(a) Sianosis sentral pada membran mukosa mungkin ditemukan.
(b) Abnormalitas dinding dada yang menunjukkan hiper inflasi paru termasuk
iga yang tampak horizontal, barrel chest (diameter antero - posterior dan
transversal sebanding) dan abdomen yang menonjol keluar.
(c) Hemidiafragma mendatar.
(d) Laju respirasi istirahat meningkat lebih dari 20 kali/menit dan pola napas
lebih dangkal.
(e) Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu), laju ekspirasi
lebih lambat memungkinkan pengosongan paru yang lebih efisien.
(f) Penggunaan otot bantu napas adalah indikasi gangguan pernapasan.
(g) Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di
leher dan edema tungkai.
b. Palpasi dan Perkusi
(a) Sering tidak ditemukan kelainan pada PPOK.
(b) Irama jantung di apeks mungkin sulit ditemukan karena hiperinflasi paru.
(c) Hiperinflasi menyebabkan hati letak rendah dan mudah di palpasi.
c. Auskultasi
(a) Pasien dengan PPOK sering mengalami penurunan suara napas tapi tidak
spesifik untuk PPOK.
(b) Mengi selama pernapasan biasa menunjukkan keterbatasan aliran udara.
Tetapi mengi yang hanya terdengar setelah ekspirasi paksa tidak
spesifikuntuk PPOK.
(c) Ronki basah kasar saat inspirasi dapat ditemukan.
(d) Bunyi jantung terdengar lebih keras di area xiphoideus.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah uji jalan 6 menit yang dimod
ifikasi.Untuk di Puskesmas dengan sarana terbatas, evaluasi yang dapat digunakan
adalah keluhan lelah yang timbul atau bertambah sesak.
Pemeriksaan-pemeriksaan ini dapat dilakukan bila fasilitas tersedia:

a. Spirometri.
b. Peak flow meter (arus puncak respirasi).
c. Pulse oxymetry.
d. Analisis gas darah.
e. Foto toraks.
f. Pemeriksaan darah rutin (Hb, Ht, leukosit, trombosit).

Penatalaksanaan Komprehensif

Penatalaksanaan PPOK stabil

a. Obat-obatan dengan tujuan mengurangi laju beratnya penyakit dan


mempertahankan keadaan stabil.
b. Bronkodilator dalam bentuk oral, kombinasi golongan ß2 agonis (salbutamol)
dengan golongan xantin (aminofilin dan teofilin).Masing-masing dalam dosis
suboptimal, sesuai dengan berat badan dan beratnya penyakit. Untuk dosis
pemeliharaan, aminofilin/teofilin 100-150 mg kombinasi dengan salbutamol 1
mg.
c. Kortikosteroid digunakan dalam bentuk inhalasi, bila tersedia.
d. Ekspektoran dengan obat batuk hitam (OBH).
e. Mukolitik (ambroxol) dapat diberikan bila sputum mukoid.

Penatalaksanaan PPOK eksaserbasi akut ringan

a. Oksigen (bila tersedia).


b. Bronkodilator
Pada kondisi eksaserbasi, dosis dan atau frekuensi bronkodilator kerja pendek
ditingkatkan dan dikombinasikan dengan antikolinergik. Bronkodilator yang
disarankan adalah dalam sediaan inhalasi. Jika tidak tersedia, obat dapat
diberikan secara injeksi, subkutan, intravena atau perdrip, misalnya:
Adrenalin 0,3 mg subkutan, digunakan dengan hati-hati Aminofilin bolus 5
mg/kgBB (denganpengenceran) harus perlahan (10 menit) utk menghindari
efek samping.dilanjutkan dengan perdrip 0,5-0,8 mg/kgBB/jam.
c. Kortikosteroid
Diberikan dalam dosis 30 mg/hari diberikan maksimal selama 2 minggu.
Pemberian selama 2 minggu tidak perlu tapering off.
d. Antibiotik yang tersedia di Puskesmas.
e. Pada kondisi telah terjadi kor pulmonale, dapat diberikan diuretik dan perlu
berhati-hati dalam pemberian cairan.

Konseling dan Edukasi

a. Edukasi ditujukan untuk mencegah penyakit bertambah berat dengan cara


menggunakan obat-obatan yang tersedia dengan tepat, menyesuaikan
keterbatasan aktivitas serta mencegah eksaserbasi.
b. Pengurangan pajanan faktor risiko.
c. Berhenti merokok.
d. Keseimbangan nutrisi antara protein lemak dan karbohidrat, dapat diberikan
dalam porsi kecil tetapi sering.
e. Rehabilitasi
(a) Latihan bernapas dengan pursed lip breathing.
(b) Latihan ekspektorasi.
(c) Latihan otot pernapasan dan ekstremitas
f. Terapi oksigen jangka panjang.

Prognosis

Ad vitam : Dubia.

Ad functionam : Dubia.

Ad sanationam : Dubia.

ARDS (Acute Respiratory Distress Syndrome)

Definisi

Acute Respiratory Distress Sydrome (ARDS) merupakan suatu kondisi kegawat d


aruratan di bidang pulmonology yang terjadi karena adanya akumulasi cairan di al
veoli yang menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas sehingga distribusi o
ksigen ke jaringan menjadi berkurang. Definisi ARDS mengalami perkembangan
dari waktu ke waktu. Adult Respiratory Distress Syndrome didefinisikan pertama
kali tahun 1994 oleh AECC (American-European Consensus Conference). Definis
i ARDS menurut AECC:

a. Gagal napas dengan onset yang bersifat akut


b. Rasio PaO2/FIO2 ≤ 200 mmHg
c. Infiltrat bilateral pada foto toraks, tanpa adanya bukti edema paru
kardiogenik.
d. Pulmonary arterial wedge pressure (PAWP) ≤ 18 mmHg atau tidak ada tanda-
tanda peningkatan tekanan pada atrium kiri.

Derajat hipoksemia untuk membuat diagnosis ARDS ditentukan dengan rasio teka
nan parsial oksigen pada darah arteri (PaO2) dengan fraksi oksigen pada udara ins
pirasi (FiO2). Nilai PaO2 didapat dari hasil pemeriksaan analisis gas darah dengan
memperhatikan berapa liter oksigen yang diberikan saat pengambilan spesimen da
rah. Fraksi oksigen didapat dengan memperhatikan jumlah oksigen yang diberikan.
Dengan pemberian oksigen binasal setiap 1L akan akan meningkatkan FiO2 4 %
dan nilai tersebut ditambahkan dengan nilai FiO2 pada room air yang besarnya 21
%. Dengan pemberian oksigen melalui simple mask dimana oksigen yang diberik
an 8-10L maka besarnya FiO2 adalah 100 %. Kriteria ARDS menurut AECC adal
ah bila didapatkan perbandingan PaO2/FIO2 ≤ 200 mmHg, sedangkan bila perban
dingan PaO2/FIO2 ≤ 300 mmHg sesuai dengan ALI (Acute Lung Injury).

Dalam penggunaan kriteria AECC tersebut, terdapat beberapa keterbatasan sehing


ga definisi ARDS diperbaharui di tahun 2011 dalam Kriteria Berlin. Berdasarkan
Kriteria Berlin, ARDS didefinisikan berdasarkan waktu, gambaran foto toraks, pe
nyebab edema paru, dan derajat hipoksemia. Definisi ARDS berdasarkan Kriteria
Berlin dapat dilihat pada tabel 1. Pada kriteria Berlin, PAWP tidak digunakan lagi
dalam kriteria diagnosis, demikian juga dengan terminologi ALI dan digantikan d
engan pembagian subgroup ARDS berdasarkan tingkat keparahan hipoksemia.
Etiologi
a. Primer (Intraparu)
Aspirasi, pneumonia, inhalasi toksik, kontusio paru, sedangkan kelainan
ektraparu terjadi akibat sepsis, pankreatitis, transfusi darah, trauma dan
penggunaan obat-obatan seperti heroin
b. Sekunder (Ekstraparu)
Sepsis, pankreatitis, transfusi darah, trauma dan penggunaan obat-obatan
seperti heroin

Faktor Resiko
a. Usia tua
b. Jenis kelamin perempuan (terutama pada kasus trauma)
c. Riwayat merokok
d. Riwayat alkoholik

Patogenesis dan Patofisiologi

Kelainan utama pada ARDS adalah adanya inflamasi yang disebabkan oleh aktiva
si neutrophil, dan untuk mengerti patogenesisnya perlu diperhatikan hal-hal beriku
t:

a. Faktor-faktor yang menyebabkan akumulasi cairan di interstitial paru dan di


distal alveolus
b. Mekanisme yang mengganggu reabsorpsi cairan edema.

Berdasarkan karakteristik gambaran histopatologinya, ARDS dibagi menjadi 3 fas


e seperti tampak pada gambar 1 yaitu:

a. Fase akut (hari 1-6) = tahap eksudatif


a) Edema interstitial dan alveolar dengan akumulasi neutrofil, makrofag,
dan sel darah merah
b) Kerusakan endotel dan epitel alveolus
c) Membran hialin yang menebal di alveoli
b. Fase sub-akut (hari 7-14) = tahap fibroproliferatif
a) Sebagian edema sudah direabsorpsi
b) Proliferasi sel alveolus tipe II sebagai usaha untuk memperbaiki
kerusakan
c) Infiltrasi fibroblast dengan deposisi kolagen
c. Fase kronis (setelah hari ke-14) = tahap resolusi
a) Sel mononuclear dan makrofag banyak ditemukan di alveoli
b) Fibrosis dapat terjadi pada fase ini.
Proses terjadinya ARDS melibatkan kerusakan pada endotel kapiler paru dan sel
epitel alveolus karena produksi mediator proinflamasi lokal maupun yang
terdistribusi melalui arteri pulmonalis. Hal ini menyebabkan hilangnya integritas
barrier alveolar-kapiler sehingga terjadi transudasi cairan edema yang kaya
protein.

a. Kerusakan endotel kapiler paru


Kerusakan endotel kapiler paru berperan dalam terjadinya ARDS. Kerusakan
endotel tersebut menyebabkan permeabilitas vaskular meningkat sehingga
terjadi akumulasi cairan yang kaya akan protein. Kerusakan endotel ini dapat
terjadi melalui beberapa mekanisme. Mekanisme yang utama adalah
terjadinya kerusakan paru melalui keterlibatan netrofil.
Pada ARDS (baik akibat infeksi maupun non-infeksi) menyebabkan neutrofil
terakumulasi di mikrovaskuler paru. Neutrofil yang teraktivasi akan
berdegranulasi dan melepaskan beberapa mediator toksik yaitu protease,
reactive oxygen species, sitokin pro-inflamasi, dan molekul pro-koagulan.
Mediator-mediator inflamasi tersebut menyebabkan peningkatan
permeabilitas vaskular dan hilangnya fungsi endotel yang normal. Hal
tersebut menyebabkan terjadinya akumulasi cairan yang berlebihan di
interstitial dan alveoli.
Selain neutrofil dalam patogenesis ARDS, platelet juga mempunyai peran
yang penting. Studi yang ada membuktikan efek sinergisme antara platelet
dengan neutrofil yang menyebabkan kerusakan paru.
b. Kerusakan epitel alveoli
Dalam patogenesisnya kerusakan endotel saja tidak cukup menyebabkan
ARDS. Kerusakan sel epitel alveoli juga merupakan faktor yang penting.
Neutrophil berperan dalam meningkatkan permeabilitas paraselular pada
ARDS. Dalam keadaan normal neutrophil dapat melintasi ruang paraselular
dan menutup kembali intercellular junction sehingga barrier epitel dan ruang
udara di distal alveoli tetap utuh. Pada kondisi patologis neutrofil dalam
jumlah besar dapat merusak epitel alveoli melalui mediator inflamasi yang
dapat merusak intercellular junction dan melalui mekanisme apoptosis atau
nekrosis sel epitel.
Sel alveolus tipe I (yang menyusun 90% epitel alveoli) merupakan jenis sel
yang paling mudah rusak. Kerusakan sel tersebut menyebabkan masuknya
cairan ke dalam alveoli dan menurunnya bersihan cairan dari rongga alveoli.
Sel tipe II bersifat tidak mudah rusak dan memiliki fungsi yang penting dalam
memproduksi surfaktan, transport ion, dan lebih lanjut dapat berproliferasi
dan berdiferensiasi menjadi sel alveoli tipe I. Kerusakan pada kedua sel
tersebut menyebabkan penurunan produksi surfaktan dan penurunan
elastisitas paru.
c. Resolusi dari inflamasi dan edema alveoli
Pada tahap awal resolusi ARDS ditandai dengan pembersihan cairan edema
dari rongga alveoli, dimana cairan tersebut akan direabsorpsi ke sistem
limfatik paru, mikrosirkulasi paru dan rongga pleura. Pembersihan cairan
edema dari rongga alveoli membutuhkan transport aktif sodium dan klorida
yang akan membuat gradient osmosis sehingga air dapat direabsorpsi. Pada
kondisi ARDS, pembuangan cairan edema dari alveoli terjadi lebih lambat
karena epitel alveoli mengalami kerusakan.
Disfungsi selular dan kerusakan yang terjadi pada ARDS berdampak pada:
a. Ketidak sesuaian antara ventilasi (V) dan perfusi (Q)  V/Q mismatching
disertai dengan shunting
b. Hipertensi pulmonal
c. Penurunan elastisitas paru (stiff lungs) dan hiperinflasi alveoli yang tersisa
d. Gangguan proses perbaikan paru yang normal  fibrosis paru pada stadium
lanjut
Gambaran Klinis dan Diagnosis
Gejala klinis ARDS ditandai dengan timbulnya sesak napas akut yang
berkembang dengan cepat setelah kejadian predisposisi seperti trauma, sepsis,
overdosis obat, transfusi masif, pankreatitis, maupun aspirasi. Pada sebagain besar
kasus faktor predisposisi ARDS jelas didapat, namun pada beberapa kasus (seperti
pada overdosis obat) predisposisis ARDS sulit diidentifikasi. Manifestasi ARDS
bervariasi tergantung pada penyakit predisposisi, derajat injuri paru, dan ada
tidaknya disfungsi organ lainnya.
Pada pemeriksaan fisis ARDS akan didapatkan temuan yang bersifat non-spesifik
seperti takipnea, takikardi dan kebutuhan FIO2 yang semakin bertambah untuk
menjaga agar saturasi oksigen tetap normal. Karena ARDS sering terjadi pada
sepsis, maka hipotensi dan tanda-tanda vasokonstriksi perifer (akral dingin dan
sianosis perifer) dapat ditemukan. Pada pemeriksaan fisis toraks dapat ditemukan
ronkhi basah bilateral. Suhu pasien dapat febris maupun hipotermia. Edema paru
kardiogenik harus dibedakan dengan ARDS. Pada ARDS tidak didapatkan gejala
dan tanda-tanda gagal jantung (non-cardiac pulmonary edema) Tanda-tanda gagal
jantung harus diperhatikan dengan baik untuk menyingkirkan diagnosis tersebut
seperti peningkatan JVP, murmur, gallops, hepatomegali dan edema tungkai.

Gambaran foto toraks pada ARDS secara umum berupa opasifikasi bilateral,
konsolidasi yang bisa simetris maupun asimetris disertai dengan air bronchogram
(Gambar 3). Diagnosis banding meliputi pneumonia terutama akibat aspirasi,
perdarahan alveolar difus dan edema paru karena penyebab lainnya.
Komplikasi

Komplikasi yang mungkin timbul pada ARDS dan yang berkaitan dalam
tatalaksananya adalah

a. Barotrauma akibat penggunaan PEEP atau CPAP yang tinggi


b. Komplikasi saluran napas atas akibat ventilasi mekanik jangka panjang
seperti edema laring dan stenosis subglotis
c. Risiko infesi nosokomial yang meningkat : VAP (Ventilator-Associated
Pneumonia), ISK, flebitis. Infeksi nosokomial tersebut terjadi pada 55%
kasus ARDS.
d. Gagal ginjal terutama pada konteks sepsis
e. Multisystem organ failure
f. Miopati yang berkaitan dengan blockade neuromuskular jangka panjang
g. Tromboemboli vena, perdarahan saluran cerna dan anemia.
Tatalaksana
Walaupun tidak ada terapi yang spesifik untuk menghentikan proses inflamasi,
penanganan ARDS difokuskan pada 3 hal penting yaitu mencegah lesi paru
iatrogenik, mengurangi cairan dalam paru dan mempertahankan oksigenasi
jaringan. Ketiga hal tersebut harus selalu diupayakan dalam tatalaksana awal
ARDS.

a. Terapi Umum
a) Atasi penyakit yang mendasarinya (faktor predisposisinya)
b) Sedasi dengan kombinasi opiat benzodiasepin, karena penderita akan
memerlukan bantuan ventilasi mekanik dalam jangka lama. Berikan dosis
minimal yang masih memberikan efek sedasi yang adekuat.
c) Memperbaiki hemodinamik untuk meningkatkan oksigenasi dengan
memberikan cairan, obat vasodilator/konstriktor, inotropic atau diuretik.
Prognosis

Pembagian subgroup ARDS berdasarkan kriteria Berlin menjadi prediktor


prognosis. ARDS ringan, sedang, dan berat berkaitan dengan meningkatnya angka
mortalitas masing-masing 27%, 32%, and 45% dan meningkatnya durasi
penggunaan ventilasi mekanik.

PNEUMONIA

Definisi

Peradangan/inflamasi parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang menca


kup bronkiolus respiratorius dan alveoli, sertamenimbulkan konsolidasi jaringan p
aru dan gangguan pertukaran gas setempat. Sebagian besar disebabkan oleh mikro
organisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, ra
diasi dll).

Manifestasi Klinis

Anamnesis

Gambaran klinik biasanya ditandai dengan :

a. Demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat melebihi 40°C.


b. Batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah.
c. Sesak napas.
d. Nyeri dada.

Hasil Pemeriksaan Fisik dan Penunjang Sederhana

Temuan pemeriksaan fisik dada tergantung dari luas lesi di paru.

a. Inspeksi : dapat terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas.


b. Palpasi : fremitus dapat mengeras pada bagian yang sakit.
c. Perkusi : redup di bagian yang sakit.
d. Auskultasi : terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronkial yang
mungkin disertai ronki basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah
kasar pada stadium resolusi.

Pemeriksaan Penunjang

a. Pewarnaan gram.
b. Pemeriksaan lekosit.
c. Pemeriksaan foto toraks jika fasilitas tersedia.
d. Kultur sputum jika fasilitas tersedia.
e. Kultur darah jika fasilitas tersedia.

Komplikasi

Efusi pleura, Empiema, Abses paru, Pneumotoraks, gagal napas, sepsis.

Penatalaksanaan Komprehensif

Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diperhatikan keadaan klinisnya.


Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi rawat dapat diobati di rumah. Juga
diperhatikan ada tidaknya faktor modifikasi yaitu keadaan yangdapat meningkatka
n risiko infeksi dengan mikroorganisme patogen yang spesifik.

a. Pengobatan suportif / simptomatik.


b. Istirahat di tempat tidur.
c. Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi.
d. Bila panas tinggi perlu dikompres atau minum obat penurun panas.
e. Bila perlu dapat diberikan mukolitik dan ekspektoran.

Terapi definitif dengan pemberian antibiotic yang harus diberikan kurang dari 8 j
am.Pasien Rawat Jalan.

a. Pasien yang sebelumnya sehat dan tidak ada risiko kebal obat
(a) Makrolid:azitromisin, klaritromisin atau eritromisin (rekomendasi kuat).
(b) Doksisiklin (rekomendasi lemah).
b. Terdapat komorbid seperti penyakit jantung kronik, paru, hati atau penyakit
ginjal, diabetes mellitus, alkoholisme, keganasan, kondisi imunosupresif atau
penggunaan obat imunosupresif, antibiotik lebih dari 3 bulan atau faktor
risiko lain infeksi pneumonia :
(a) Florokuinolon respirasi : moksifloksasisn, atau levofloksasin(750 mg)
(rekomendasi kuat).
(b) ß-lactam + makrolid : Amoksisilin dosis tinggi (1 gram, 3x1/hari) atau
amoksisilin-klavulanat (2 gram, 2x1/hari) (rekomendasi kuat)Alternatif
obat lainnya termasuk ceftriakson, cefpodoxime dan cefuroxime (500 mg,
2x1/hari), doksisiklin.

Pasien perawatan, tanpa rawat ICU :

a. Florokuinolon respirasi (rekomendasi kuat).


b. ß-laktam+makrolid (rekomendasi kuat) Agen ß-laktam termasuk sefotaksim,
seftriakson, dan ampisilin; ertapenem untuk pasien tertentu; dengan
doksisiklin sebagai alternatif untuk makrolid.Florokuinolon respirasi
sebaikanya digunakan untuk pasien alergi penisilin.

Konseling dan Edukasi

a. Edukasi
Edukasi diberikan kepada individu dan keluarga mengenai pencegahan
infeksi berulang, pola hidup sehat termasuk tidak merokok dan sanitasi
lingkungan.
b. Pencegahan
Vaksinasi influenza dan pneumokokal,terutama bagi golongan risiko tinggi
(orang usia lanjut atau penderita penyakit kronis).

Prognosis

Prognosis tergantung pada beratnya penyakit dan ketepatan penanganan.

Mekanisme Kerja Obat

Manajemen pengendalian asma terdiri dari:

a. Pengetahuan  Memberikan pengetahuan kepada penderita asma tentang


keadaan penyakitnya dan mekanisme pengobatan yang akan dijalaninya
kedepan.
b. Monitor  Memonitor asma secara teratur kepada tim medis yang
menangani penyakit asma. Memonitor perkembangan gejala, hal- hal apa saja
yang mungkin terjadi terhadap penderita asma dengan kondisi gejala yang
dialaminya beserta memonitor perkembangan fungsi paru.
c. Menghindari Faktor Resiko  Hal yang paling mungkin dilakukan penderita
asma dalam mengurangi gejala asma adalah menhindari faktor pencetus yang
dapat meningkatkan gejala asma. Faktor resiko ini dapat berupa makanan,
obat-obatan, polusi, dan sebagainya.

Pengobatan Medis Jangka Panjang

Pengobatan jangka panjang terhadap penderita asma, dilakukan berdasarkan tingk


at keparahan terhadap gejala asma tersebut. Pada penderita asma intermitten, tidak
ada pengobatan jangka panjang. Pada penderita asma mild intermitten, mengguna
kan pilihan obat glukokortikosteroid inhalasi dan didukung oleh Teofilin, kromon
es, atau leukotrien. Dan untuk asma moderate persisten, menggunakan pilihan oba
t β-agonist inhalsi dikombinasikan dengan glukokortikoid inhalasi, teofiline atau l
eukotrien. Untuk asma severe persisten, β2- agonist inhalasi dikombinasikan deng
an glukokortikosteroid inhalasi, teofiline dan leukotrien atau menggunakan obat β
2 agonist oral.

Berikut penjelasan tentang obat-obat pengontrol asma (Controller):

a. Glukokortikosteroid Inhalasi
Jenis obat ini digunakan selama satu bulan atau lebih untuk mengurangi
gejala inflamasi asma. Obat ini dapat meningkatkan fungsi paru, mengurangi
hiperresponsive dan mengurangi gejala asma dan meningkatkan kualitas
hidup (GINA, 2005). Obat ini dapat menimbulkan kandidiasis orofaringeal,
menimbulkan iritasi pada bagian saluran napas atas dan dapat memberikan
efek sistemik, menekan kerja adrenal atau mengurangi aktivitas osteoblast .
b. Glukokortikosteroid
Oral Mekanisme kerja obat dan fungsi obat ini sama dengan obat
kortikosteroid inhalasil. Obat ini dapat menimbulkan hipertensi, diabetes,
penekanan kerja hipothalamus-pituitary dan adrenal, katarak, glukoma,
obaesitas dan kelemahan.
c. Kromones (Sodium Cromogycate dan Nedocromyl Sodium)
Obat ini dapat menurunkan jumlah eosin bronchial pada gejala asma. Obat ini
dapat menurunkan gejala dan menurunkan reaksi hiperresponsive pada 2-
agonist inhalsi dikombinasikan dengan glukokortikoid inhalasi, teofiline atau
leukotrien. Untuk asma severe persisten, β2-agonist inhalasi dikombinasikan
dengan glukokortikosteroid inhalasi, teofiline dan leukotrien atau
menggunakan obat β2 agonist oral. imun nonspecific. Obat ini dapat
menimbulkan batuk-batuk pada saat pemakaian dengan bentuk formulasi
powder.
d. Β2-Agioinst Inhalasi
Obat in berfungsi sebagai bronkodilator selama 12 jam setelah pemakaian.
Obat ini dapat mengurangi gejala asma pada waktu malam, meningkatkan
fungsi paru. Obat ini dapat menimbulkan tremor pada bagian
musculoskeletal, menstimulasi kerja cardiovascular dan hipokalemia
e. B2-Agonist
OralObat ini sebagai bronkodilator dan dapat mengontrol gejala asma pada
waktu malam. Obat ini dapat menimbulkan anxietas, meningkatkan kerja
jantung, dan menimbulkan tremor pada bagian musculoskeletal.
f. Teofiline Obat ini digunakan untuk menghilangkan gejala atau pencegahan
asma bronkial dengan merelaksasi secara langsung otot polos bronki dan
pembuluh darah pulmonal. Obat ini dapat menyebabkan efek samping berupa
mual, muntah, diare, sakit kepala, insomnia dan iritabilitas. Pada level yang
lebih dari 35 mcg/mL menyebabkan hperglisemia, hipotensi, aritmia jantung,
takikardi, kerusakan otak dan kematian.
g. Leukotriens
Obat ini berfungsi sebagai anti inflamasi. Obat ini berfungsi untuk
mengurangi gejala termasuk batuk, meningkatkan fungsi paru dan
menurunkan gejala asma.
Berikut penjelasan tentang obat-obat meringankan (Reliever) asma:

a. β2- Agoinst Inhalasi Obat ini bekerja sebagai bronkodilator. Obat ini
digunakan untuk mengontrol gejala asma, variabilitas peak flow,
hiperresponsive jalan napas. Obat ini dapat menstimulasi kerja jantung,
tremor otot skeletal dan hipokalemia.
b. Β2- Agionst Oral Obat ini sebagai bronkodilator. Obat ini dapat menstimulasi
kerja jantung, tremor otot skeletal dan hipokalemia.
c. Antikolinergic Obat ini sebagai bronkodilator. Obat ini dapat meningkatkan
fungsi paru. Obat ini dapat menyebabkan mulut kering dan pengeluaran
mucus (GINA, 2005).

Metode Pengobatan Alternative

Metode pengobatan alternative ini sebagian besar masih dalam penelitian. Buteyk
o merupakan salah satu pengobatan alternative yang terbukti dapat menurunkan v
entilasi alveolar terhadap hiperventilasi paru penderita asma, selain itu memperbai
ki gejala yang ditimbulkan asma. Buteyko ini merupakan tehnik bernapas yang dir
ancang khusus, untuk penderita asma dengan prinsip latihan tehnik bernapas dang
kal.

Slow deep breathing adalah gabungan dari metode nafas dalam (deep breathing) d
an napas lambat sehingga dalam pelaksanaan latihan pasien melakukan nafas dala
m dengan frekuensi kurang dari atau sama dengan 10 kali permenit. Latihan napas
dalam dan lambat secara teratur akan meningkatkan respons saraf parasimpatis da
n penurunan aktivitas saraf simpatik, meningkatkan fungsi pernafasan dan kardiov
askuler, mengurangi efek stres, dan meningkatkan kesehatan fisik dan mental.
Gambar Tatalaksana asma dirumah sakit.
Gambar Penatalaksanaan asma di rumah.
DAFTAR PUSTAKA

1. Ikawati Z. Penatalaksanaan Terapi Penyakit Sistem Pernapasan. Edisi 1. Yog


yakarta: Bursa Ilmu; 2016.
2. Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Jilid I. Jakarta;Interna Pu
blishing.
3. Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Jilid II. Jakarta;Interna P
ublishing.
4. Huether SE. Buku Ajar Patofisiologi. Ed : 6. Vol :2. Singapore; Elsevier: 201
9.
5. Aster KA. Buku Ajar Patologi Robbins. Edisi ke- 9. Singapore: Elsevier; 201
5.
6. Djojodibroto, Darmanto. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC:
2014.

Anda mungkin juga menyukai