I. Furunkel
Definisi
Furunkel atau disebut juga Bisul, adalah peradangan pada folikel rambut dan
jaringan yang biasanya mengalami nekrosis ini disebabkan oleh staphylococcus
aureus.
Furunkel (Bisul)
Etiologi
Etiologinya kebanyakan oleh Staphylococcus aureus, merupakan sel-sel
berbentuk bola atau coccus Gram positif yang berpasangan berempat dan
berkelompok. Staphylococcus aureus merupakan bentuk koagulase positif, ini
yang membedakannya dari spesies lain, dan merupakan patogen utama bagi
manusia. Pada Staphylococcus koagulase negatif merupakan flora normal
manusia. Staphylococcus menghasilkan katalase yang membedakannya dengan
streptococcus.
Gejala
1
2
Cara Mendiagnosa
Diagnosis furunkel dapat ditegakkan secara klinis mengingat gambaran klinisnya
yang khas yaitu lesi awal berupa infiltrat kecil, membesar membentuk nodul
eritematosa berbentuk kerucut, nyeri, terdapat core (mata bisul), kemudian
melunak menjadi abses, pecah, terbentuk ulkus. Tetapi untuk lebih menegakkan
diagnosisnya yaitu dari segi :
Anamnesis : timbul bisul atau benjolan yang nyeri dan ada matanya.
Pemeriksaan fisik khususnya efloresensi nodul eritema berbentuk kerucut,
dan ditengahnya terdapat core
Pemeriksaan penunjang : pengecatan Gram, kultur dan tes sensitivitas
Diagnosis Banding
Diagnosis banding furunkolosis adalah folikulitis dan karbunkel. Antara
furunkolosis dan folikulitis dapat dibedakan dari segi efloresensinya kalau pada
folikulitis berupa macula eritematus, papula, pustula, tidak terdapat core dan
jaringan disekitarnya tidak meradang. Antara furunkolosis dengan karbunkel,
dapat dibedakan dari segi efloresensinya mirip dengan furunkel hanya saja
ukurannya lebih besar dan mata bisulnya lebih dari satu, dan biasanya sering
dijumpai pada penderita Diabetes Militus.
Penatalaksanaan
3
II. Scabies
Definisi Scabies
Skabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan
sensitisasi terhadap Sarcoptes scabiei varian hominis dan produknya. (Handoko,
R, 2001)
Scabies adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh tungau (mite)
Sarcoptes scabiei yang termasuk dalam kelas Arachnida. Tungau ini berukuran
sangat kecil dan hanya bisa dilihat dengan mikroskop.
Penyakit ini merupakan infeksi pada kulit yang disebabkan oleh kutu,
penetrasi pada kulit terlihat jelas berbentuk papula, vesikel atau berupa saluran
kecil berjejer, berisi kutu dan telurnya. Jika dapat terjadi komplikasi dengan
kuman β hemolytic streptococcus bisa terjadi glomerulonephritis akut.
Penyakit scabies juga sering disebut dengan kutu badan. Penyakit ini
tergolong penyakit yang mudah menular dari manusia ke manusia, hewan ke
manusia, dan manusia ke hewan.
Scabies merupakan penyakit yang menyebabkan rasa gatal pada kulit
seperti sela-sela jari, siku, dan perut bagian bawah. Scabies juga identik dengan
penyakit anak pondok atau asrama. Bukan bermaksud mendiskriminasikan
pondok atau asrama tetapi, melihat kondisi pondok atau asrama yang kebanyakan
kondisi kebersihannya kurang terjaga, sanitasi yang buruk, kurang gizi, dan
kondisi ruangan yang terlalu lembab karena kurang mendapat sinar matahari.
Penyakit scabies ini menular dengan cepat pada suatu komunitas yang tinggal
bersama sehingga dalam tindakan pengobatannya harus dilakukan dengan cepat
dan secara menyeluruh individu dan lingkungan yang terserang scabies.
5
Dilakukan tindakan seperti itu, karena apabila pengobatan hanya dilakukan secara
individual maka akan mudah tertular kembali penyakit scabies.
Epidemiologi Scabies
Scabies ditemukan hampir di seluruh Negara dengan prevalensi yang
bervariasi. Di beberapa Negara yang sedang berkembang, prevalensi scabies
sekitar 6% - 27% populasi umum dan cenderung tinggi pada anak-anak serta
remaja.
Ada dugaan bahwa setiap siklus 30 tahun terjadi epidemi scabies. Banyak
faktor yang menunjang perkembangan penyakit ini antara lain sosial ekonomi
yang rendah, hygiene yang buruk, hubungan seksual yang bersifat promiskuitas
atau sering bergonta-ganti pasangan, kesalahan diagnosis, dan perkembangan
demografi serta ekologi. Selain itu, mudahnya penyakit ini menular dari manusia
ke manusia, hewan ke manusia, dan menusia ke hewan melalui berbagai cara
penularan.
Kejadian wabah disebabkan oleh buruknya sanitasi lingkungan karena
peperangan, pengungsian dan krisis ekonomi. Penyebaran scabies di Amerika
Serikat dan Eropa yang terjadi ternyata terjadi pada situasi normal yaitu tanpa
peperangan, tanpa krisis, menyerang masyarakat di semua tingkat sosial tanpa
melihat usia, jenis kelamin, ras atau status kesehatan seseorang. Scabies endemis
di sebagian besar negara berkembang.
Penularan atau Transimisi Scabies
Secara umum, cara penularan scabies dibagi menjadi 2 yang didalamnya dapat
dibagi-bagi lagi, yaitu:
Penularan kontak langsung yaitu: penularan yang terjadi akibat kontak
langsung antara penderita scabies dengan orang sehat seperti melalui:
hubungan seksual antara penderita dengan orang sehat, kontak dengan hewan
pembawa tungau seperti anjing, babi, kambing, dan biri-biri, dan faktor
fasilitas umum yang dipakai secara bersama-sama dengan lingkungan padat
penduduk, tidur bersama, dan berjabat tangan.
Penularan tanpa kontak langsung yaitu: penularan yang terjadi melalui kontak
tidak langsung antara penderita dengan orang sehat seperti: penggunaan
6
handuk secara bergantian, penggunaan pakaian dan tempat tidur, sprei, dan
bantal secara bersamaan.
Penularan scabies biasanya melalui Sarcoptes scabiei betina yang sudah
dibuahi atau kadang-kadang oleh bentuk larva. Dikenal pula Sarcoptes
scabiei var. animalis yang kadang-kadang menulari manusia, terutama pada
mereka yang banyak memelihara binatang peliharaan misalnya anjing.
Akan tetap menular kecuali kutu dan telur sudah dihancurkan dengan
pengobatan, biasanya setelah dilakukan 1 atau 2 kali pengobatan dalam
seminggu.
Faktor Resiko Scabies
Faktor resiko scabies adalah:
Sistem imun tubuh
Semakin rendah imunitas seseorang maka, akan semakin besar kemungkinan
orang tersebut untuk terjangkit atau tertular penyakit scabies. Namun,
diperkirakan terjadi kekebalan setelah infeksi. Orang yang pernah terinfeksi
akan lebih tahan terhadap infeksi ulang walaupun tetap masih bisa terkena
infeksi dibandingkan mereka (orang-orang) yang sebelumnya belum pernah
terinfeksi scabies.
Lingkungan dengan hygiene sanitasi yang kurang
Lingkungan yang dimungkinkan sangat mudah terjangkiti scabies adalah
lingkungan yng lembab, terlalu padat, dan dengan sanitasi buruk.
Semua kelompok umur
Semua kelompok umur, baik itu anak-anak, reaja, dewasa, dan tua
mempunyai resiko untuk terjangkiti penyakit scabies.
Kemiskinan
Seksual promiskuitas (berganti-ganti pasangan)
Diagnosis yang salah
Demografi
Ekologi
Derajat sensitasi individual
Klasifikasi Scabies
7
jumlah tungau yang menginfestasi sangat banyak (ribuan). Bentuk ini terjadi
akibat defisiensi imunologik sehingga sistem imun tubuh gagal membatasi
proliferasi tungau sehingga dapat berkembang biak dengan mudah.
f. Scabies pada bayi dan anak
Lesi scabies pada anak dapat terjadi di seluruh tubuh, termasuk seluruh
kepala, leher, telapak tangan, telapak kaki, dan sering terjadi infeksi sekunder
berupa impetigo, ektima sehingga terowongan jarang ditemukan. Pada bayi, dapat
terjadi lesi di muka.
g. Scabies terbaring di tempat tidur (bed ridden)
Pada penderita penyakit kronis atau orang tua yang terpaksa tinggal di
tempat tidur dapat menderita scabies yang lesinya terbatas.
Etiologi Scabies
Scabies atau kudis disebabkan oleh seekor tungau (kutu/mite) yang
bernama Sarcoptes scabiei, filum Arthopoda, kelas Aracnida, ordo Ackarina,
Superfamili Sarcoptes. Jenis Sarcoptes yang menyerang pada hewan dan manusia
adalah:
a. Pada manusia : S. scabiei var homonis
b. Pada hewan : S. scabiei var animalis
c. Pada babi : S. scabiei var suis
d. Pada kambing : S. scabies var caprae
e. Pada biri-biri : S. scabiei var ovis
Secara morfologik, tungau berukuran kecil, berbentuk oval, punggungnya
cembung dan bagian perutnya rata. Tungau ini transient, berwarna putih kotor,
dan tidak bermata. Ukurannya yang betina berkisar 330-450 mikron x 250-350
mikron sedangkan yang jantan lebih kecil yakni 200-210 mikron x 150-200
mikron. Bentuk dewasanya memiliki 4 pasang kaki yaitu 2 pasang kaki di depan
sebagai alat melekat dan 2 pasang kaki kedua pada betina berakhir dengan rambut,
sedangkan pada yang jantan pasangan kaki ketiga berakhir dengan rambut dan
kaki keempat berakhir dengan alat perekat. Tungau ini memiliki siklus hidup
sebagai berikut:
9
perut bagian bawah, dan genitalia eksterna pria. Pada orang dewasa jarang
terdapat di bagian muka dan kepala, kecuali pada penderita imunosupresif,
sedangkan pada bayi lesi dapat terjadi di seluruh permukaan kulit
d. Penyembuhan terjadi dengan cepat setelah pemberian obat anti scabies
topical yang efektif
e. Adanya gatal hebat pada malam hari. Bila lebih dari 1 anggota keluarga
menderita gatal, perlu diwaspadai terjadinya scabies. Gatal meningkat pada
malam hari disebabkan karena temperatur badan yang meningkat sehingga
aktivitas kutu atau tungau juga meningkat.
f. Menemukan tungau. Metode-metode penemuan tungau yang lain:
Kerokan kulit
Papul atau terowongan yang baru dibentuk dan utuh ditetesi minyak
mineral/KOH, kemudian dikerok dengan scalpel steril untuk mengangkat
atap papul atau terowongan. Hasil kerokan diletakkan di gelas obyek dan
ditutup dengan lensa mantap, lalu diperiksa dibawah mikroskop.
Mengambil tungau dengan jarum
Jarum ditusukkan pada terowongan di bagian yang gelap dan digerakkan
tangensial. Tungau akan memegang ujung jarum dan dapat diangkat
keluar.
Epidermal shave biopsy
Papul atau terowongan yang dicurigai diangkat dengan ibu jari dan
telunjuk lalu diiris dengan scalpel no. 15 sejajar dengan permukaan kulit.
Biopsy dilakukan sangat superfisial sehingga perdarahan tidak terjadi dan
tidak diperlukan anestesi.
Burrow ink test
Papul scabies dilapisi tinta cina dengan menggunakan pena lalu dibiarkan
selama 2 menit kemudian dihapus dengan alkohol. Tes dinyatakan positif
bila tinta masuk kedalam terowongan dan membentuk gambaran khas
berupa garis zig-zag.
Swab kulit
12
Kulit dibersihkan dengan eter lalu dilekatkan selotip dan diangkat dengan
cepat. Selotip dilekatkan pada gelas obyek kemudian diperiksa dengan
mikroskop.
Uji tetrasiklin
Tetrasiklin dioleskan pada daerah yang dicurigai ada terowongan,
kemudian dibersihkan dan diperiksa dengan lampu Wood. Tetrasiklin
dalam terowongan akan menunjukkan fluoresensi.
J. Diagnosis Banding
Diagnosis banding untuk penyakit scabies adalah:
a. Prurigo, biasanya berupa papel-papel yang gatal, predileksi pada bagian
ekstensor ekstremitas
b. Gigitan serangga, biasanya jelas timbul sesudah ada gigitan
c. Folikulitis, nyeri berupa pustule miliar dikelilingi daerah yang eriterm
Penatalaksanaan Scabies
Penatalaksanaan scabies adalah secara farmakologis (pengobatan).
Pengobatan untuk scabies tersedia dalam beberapa bentuk yaitu: krim dan salep.
Namun, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi antara lain: tidak berbau, efektif
terhadap semua stadium kutu (telur, larva, maupun kutu dewasa), tidak
menimbulkan iritasi kulit, mudah diperoleh, dan juga murah harganya
Pengobatan Scabies
Semua keluarga atau orang terdekat yang berkontak dengan penderita harus
ikut serta diobati. Beberapa macam obat yang dapat digunakan untuk mengobati
scabies adalah:
a. Permetrin
Obat dengan tingkat keamanan yang cukup tinggi, mudah pemakaiannya
dan tidak mengiritasi kulit. Dapat digunakan di kepala dan leher anak usia kurang
dari 2 tahun. Penggunaannya dengan cara dioleskan di tempat lesi lebih kurang 8
jam kemudian dicuci bersih.
b. Malation
13
g. Tidak berganti-ganti pakaian, handuk, sprei, dan alat atau benda-benda yang
menempel pada tubuh
h. Selalu menjaga kebersihan sanitasi dan hygiene personal dan lingkungan
i. Jika ada salah satu orang terdekat yang mengalami gejala atau tanda scabies
segera lakukan pemeriksaaan dan pengobatan baik secara individu maupun
serentak
j. Berikan vaksin atau obat antiscabies pada hewan peliharaan yang dekat dengan
manusia, seperti anjing
Prognosis Scabies
Dengan memperhatikan pemilihan dan cara pemakaian obat serta syarat
pengobatan dan menghilangkan faktor predisposisi, penyakit ini dapat di berantas
dan memberikan prognosis yang baik. (Harahap, M, 2000)
15
EPIDEMIOLOGI
Acne vulgaris dianggap penyakit kulit fisiologis karena hampir semua
orang pernah menderita penyakit ini. Insiden jerawat 85 – 100% dan biasanya
terjadi pada usia remaja, yaitu umur 14 – 17 tahun pada remaja putri dan 16 – 19
tahun pada remaja pria. Berdasarkan penelitian GOOdman ( 1999 ), prevalensi
tertinggi yaitu pada umur 16 -17 dimana pada remaja putri berkisar 83 – 85% dan
pada remaja pria berkisar 95 – 100%. Meskipun demikian, jerawat dapat pula
terjadi pada usia lebih muda atau lebih tua dari pada usia tersebut.
Kadang – kadang pada remaja putri jerawat menetap sampai dekade 30-an
atau bahkan lebih. Meskipun pada remaja pria jerawat lebih cepat berkurang,
namun pada penelitian terdahulu diketahui bahwa gejala berat justru terjadi pada
remaja pria. Diketahui pula bahwa ras Oriental ( Jepang, Cina, Korea ) lebih
16
jarang menderita jerawat dibanding dengan ras Kaukasia ( Eropa, Amerika ) dan
lebih sering terjadi nodulo – kistik pada kulit putih dari pada Negro.
Acne dapat terjadi pada remaja putra maupun putri dengan insiden atau
perbandingan yang hampir sama karena meskipun seharusnya remaja putri
mempunyai kemungkinan lebih tinggi ( akibat faktor hormonal, kegiatan fisik,
makanan ) namun remaja putri lebih peduli pada keindahan dan lebih sering
menggunakan kosmetika. Prevalensi acne vulgaris menurun setelah berusia 20-an
tahun yaitu sebanyak 30% pada laki – laki dan 20% pada wanita, setelah
mengalami menopause wanita dapat juga terserang acne dikarenakan produksi
hormon estrogen yang berkurang. Frekuensi penyakit ini cukup tinggi diseluruh
dunia, juga di Indonesia.
ETIOLOGI
Faktro penyebab acne vulgaris sangat banyak, antara lain genetik,
endokrin, faktor makanan, keaktifan dari kelenjar sebasea sendiri, faktor psikis,
musim, infeksi bakteri ( Propionicbacterium acnes ), kosmetika dan bahan kimia
lainya. Penyebab yang pasti belum diketahui, tetapi banyak faktor yang
berpengaruh, seperti:
Sebum
Sebum merupakan faktor utama penyebab timbulnya jerawat. Jerawat
yang keras selalu disertai pengeluaran sebore yang banyak.
Bakteri
Mikroba yang terlibat pada terbentuknya jerawat adalah Corynebacterium
acnes, Staphylococcus epidermis, dan pityrosporum ovale.
Herediter
Faktor herediter sangat berpengaruh pada besar dan aktivitas kelenjar palit
( glandula sebasea ). Apabila kedua orang tua mempunyai parut bekas
jerawat, kemungkinan besar anaknya akan mederita jerawat.
17
Endokrin, diantaranya:
a) Hormon androgen
Hormon ini memegang peranan yang penting karena kelenjar palit sangat sensitif
terhadap hormon ini. Hormon androgen berasal dari testis dan kelenjar anak ginjal
( adrenal ). Hormon ini menyebabkan kelenjar palit bertambah besar dan produksi
sebum meningkat.
b) Estrogen
Pada keadaan fisiologi, estrogen tidak berpengaruh terhadap produksi sebum.
Estrogen dapat menurunkan kadar gonadotropin yang berasal dari kelenjar
hipofisis. Hormon gonadotropin mempunyai efek menurunkan produksi sebum.
c) Progesteron
Progesteron dalam jumlah fisiologis tidak mempunyai efek pada efektifitas
terhadap kelenjar lemak. Produksi sebum tetap selama siklus menstruasi, akan
tetapi kadang – kadang progesteron dapat menyebabkan jerawat premenstrual.
5. Makanan
Terutama yang tinggi lemak, kaya karbohidrat, alcohol dan pedas. Saat ini
lingkungan sering kali mempengaruhi seseorang untuk menjadi individu yang
tidak sehat. Makanan yang serba instan serta minuman yang kurang sehat
menyebabkan tubuh mengalami stress tanpa kita sadari. Jika jerawat yang tumbuh
tidak juga kunjung sembuh, ada kemungkinan gaya hidup yang kita jalani menjadi
penyebabnya. Oleh karena itu rubahlah gaya hidup yang tidak sehat. Konsumsi
makanan yang sehat, cukup tidur serta olah raga teratur akan membuat produksi
minyak berjalan lancar sehingga mengurangi timbulnya jerawat.
6. Faktor Psikis
Pada beberapa penderita, stress dan gangguan emosi dapat menyebabkan
eksaserbasi acne. Mekanisme yang pasti mengenai hal ini belum diketahui.
Kecemasan menyebabkan penderita memanipulasi acnenya secara mekanis
sehingga terjadi kerusakan pada dinding folikel dan timbul lesi yang beradang
18
yang baru, teori lain mengatakan bahwa eksaserbasi ini disebakan oleh
meningkatnya produksi hormon androgen dari kelenjar anak ginjal dan sebum,
bahkan asam lemak dalam sebum pun meningkat dan stress menyebabkan
peningkatan asam lemak bebas.
7. Kosmetik
Jenis kosmetik yang dapat menimbulkan jerawat tidak tergantung pada harga,
merk, dan kemurnian bahanya. Penyelidikan terbaru di Leeds tidak berhasil
menemukan hubungan antara lama pemakaian dan jumlah kosmetik yang dipakai
dengan hebatnya jerawat.
8. Obat – obatan
Konsumsi obat kortikosteroid, baik yang diminum maupun yang dioles dapat
mengakibatkan daya tahan tubuh menurun, juga meningkatkan potensi timbulnya
jerawat karena aktivitas bakteri patogen yang meningkat. Isoniazid, obat yang
mengandung hormon, Klor, Yodum.
9. Iklim
Faktor ini berhubungan dengan seksresi sebum, pada udara yang panas dan
lembab seksresi sebum akan meningkat dan dengan kelembaban yang tinggi maka
infestasi bakteri juga akan semakin banyak di permukaan kulit.
PATOGENESIS
Patogenesis akne vulgaris sangat kompleks dipengaruhi banyak faktor dan
kadang-kadang masih controversial. Asam lemak bebas yang terbentuk dari
trigliserida dalam sebum menyebabkan kekentalan sebum bertambah dan
menimbulkan sumbatan saluran pilosebasea serta reaksi radang disekitarnya
(komedogenik). Pembentukan pustula, nodus, dan kista terjadi sesudahnya. Ada
empat hal penting yang berhubungan dengan terjadinya akne :
1. Kenaikan sekresi sebum
Acne biasanya mulai timbul pada masa pubertas pada waktu kelenjar sebasea
membesar dan mengeluarkan sebum lebih banyak. Terdapat korelasi antara
hebatnya akne dan produksi sebum. Pertumbuhan kelenjar palit dan produksi
sebum dibawah pengaruh hormon androgen. Pada penderita acne terdapat
19
3. Bakteri
Tiga macam mikroba yang terlibat dalam patogenesis acne
adalah Corynebakterium acne, Stafylococcus epidermidis, dan Pityrosporum
ovale ( malazzea furfur ). Adanya sebore pada pubertas biasanya disertai dengan
kenaikan jumlah corynebacterium acne, tetapi tidak ada hubungan dengan jumlah
bakteri pada permukaan kulit atau dalam saluran pilosebasea dengan derajat
hebatnya acne. Tampaknya ketiga macam bakteri ini bukanlah penyebab
primer pada proses patologis acne. Beberapa lesi mungkin timbul tanpa ada
mikroorganisme yang hidup, sedangkan pada lesi yang lain mikroorganisme
mungkin memegang peranan penting. Bakteri mungkin berperan pada lamanya
masing-masing lesi. Apakah bakteri yang berdiam dalam folikel ( residen bacteria
) mengadakan eksaserbasi tergantung pada lingkungan mikro dalam folikel
tersebut. Menurut hipotesis Saint-Leger skualen yang dihasilkan oleh kelenjar
palit dioksidasi dalam kelenjar folikel dan hasil oksidasi ini dapat menyebabkan
terjadinya komedo. Kadar oksigen dalam folikel berkurang dan akhirnya menjadi
kolonisasi C. Acnes. bakteri ini memproduksi porfirin, yang bila dilepaskan dalam
folikel akan menjadi katalisator untuk terjadinya oksidasi skualen, sehingga
oksigen dalam folikel tambah berkurang lagi. Penurunan tekanan oksigen dan
tingginya jumlah bakteri ini dapat menyebabkan peradangan folikel. Hipotesis ini
dapat menerangkan mengapa akne hanya dapat terjadi pada beberapa folikel,
sedangkan folikel yang lain tetap normal
4. Peradangan ( inflamasi )
Faktor yang menyebabkan peradangan pada acne belum lah diketahui dengan
pasti. Pencetus kemotaksis adalah dinding sel dan produk yang dihasilkan
21
Proses terbentuknya dimulai dengan adanya radang saluran kelenjar minyak kulit,
kemudian dapat menyebabkan sumbatan aliran sebum yang dikeluarkan oleh
kelenjar sebasea di permukaan kulit, sehingga timbul erupsi ke permukaan kulit
yang dimulai dengan komedo. Proses peradangan selanjutnya akan membuat
komedo berkembang menjadi papul, pustul, nodus dan kista. Bila peradangan
surut terjadi jaringan parut.
Sumbatan saluran kelenjar minyak dapat terjadi karena:
22
a) Perubahan jumlah dan konsistensi kelenjar minyak dalam kulit yang terjadi
karena berbagai faktor, antara lain: genetik, rasial, hormonal, cuaca, makanan,
stress fisik, dll. Terjadi pada acne vulgaris. Banyak terdapat di muka, leher,
punggung, bahu dan lengan atas.
b) Tertutupnya saluran keluar kelenjar sebasea oleh masa eksternal, baik dari
kosmetik, bahan kimia, detergen. Acne jenis ini disebutakne venenata. Hanya
terdapat pada daerah yang terpapar, biasanya di muka, lengan atas dan bawah,
serta betis.
c) Saluran keluar kelenjar sebasea menyempit akibat radiasi sinar ultra violet atau
sinar radioaktif, dikenal sebagai acne fisi
MANIFESTASI KLINIK
Tempat predileksi acne vulgaris adalah pada bagian tubuh yang memiliki
kelenjar sebasea yang terbesar dan terbanyak, yaitu pada wajah, bahu, dada bagian
atas, dan punggung bagian atas ( Feldman, 2004 ). Lokasi kulit lainnya seperti
leher, lengan atas, dan glutea kadang-kadang terkena ( Wasitaatmadja, 2002 ).
Lesi berpusat di sekitar folikel polisebasea yang terbuka pada permukaan kulit
sebagai pori-pori kulit (Brown, 1998). Erupsi kulit berupa komedo, papul, pustula,
nodus, atau kista. Dapat di sertai rasa gatal, namun umumnya keluhan penderita
adalah keluhan estetik. Komedo adalah gejala patognomonik bagi akne yang
berupa papul miliar yang di tengahnya mengandung sumbatan sebum. Bila
berwarna hitam akibat mengandung unsur melanin disebut komedo hitam atau
komedo terbuka ( black comedones, open comedones ). Bila berwarna putih
karena letaknya lebih dalam sehingga tidak mengandung unsur melanin disebut
komedo tertutup ( white comedones, closed comedones ).
Lesi inflamasi lainnya seperti papul, pustula, dan nodul. Pustula dan papul
terjadi karena inflamasi superfisial atau profundal yang berhubungan dengan
ruptur mikroskopik komedo. Kista atau nodul merupakan abses yang besar dan
dalam yang berfluktuasi saat dipalpasi ( Brown, 1998 ). Isi kata biasanya pus dan
darah. Pada kasus yang berat ( acne konglobata ) lesi destruktif ini menonjol dan
meninggalkan jaringan parut (Yuindartanto, 2009).
23
Manifestasi lain yang terdapat terjadi pada acne yaitu jaringan parut dan
hiperpigmentasi. Jaringan parut dapat berupa suatu atropi yang menyebabkan
parut tusukan es ( ice-pick scars ), atau hipertropi ( keloid ). Hiperpigmentasi
lebih sering terjadi dan biasanya terjadi pada pasien dengan kulit yang berwarna
gelap.
GRADIASI
gradiasi menunjukan berat ringanya suatu penyakit diperlukan untuk
pilihan pengobatan. Adanya berbagai pola pembagian gradiasi acne vulgaris, salah
satunya berdasarkan gradiasi berat ringanya, yaitu;
1. Acne Ringan
Pada tipe akne ringan, lesi yang dominan berbentuk komedo terapi kadang
terdapat pula pustula.
2. Acne Sedang
Pada akne sedang derajat sedang didapatkan pustula dan papula sebagai lesi yagng
dominan, biasanya akan meninggalkan scar sebagai bekas jerawat.
3. Acne Berat
Pada akne berat dapat ditemukan bentuk kista yang berisi pus.
Bila dilihat dari lesinya, maka acne dapat dibagi menjadi inflamasi dan non -
inflamasi.
1. Inflamasi
Pada lesi inflamasi ditandai dengan terdapatnya satu atau lebih papul, pustule, dan
nadul. Papul berukuran kurang dari 5mm, pustule terdapat materi yang purulen,
dan nodul berukuran lebih dari 5mm.
2. Non inflamasi
Pada lesi non inflamasi ditandai dengan komedo yang terbuka dan tertutup.
GEJALA KLINIS
24
Tempat pembentukan jerawat adalah di muka, bahu, dada bagian atas dan
punggung bagian atas. Lokasi kulit lain, misalnya leher, lengan atas dan glutea
kadang – kadang terkena. Erupsi kulit polimorfi, dengan gejala komedo, papul
yang tidak berkembang, dapat juga disertai rasa gatal. Komedo adalah gejala bagi
jerawat berupa papul miliar yang ditengahnya merupakan sumbatan sebum, bila
berwarna hitam akibat mengandung melanin disebut komedo hitam atau komedo
terbuka. Bila berwarna putih karena letaknya lebih dalam sehingga tidak
mengandung melanin disebut sebagai komedo putih atau tertutup.
2. Jerawat Biasa
Jenis jerawat ini mudah dikenal, tenjolan kecil berwarna pink atau kemerahan.
Terjadi karena pori – pori yang tersumbat oleh bakteri.
Bakteri yang menginfeksi bisa dari waslap, kuas make up, jari tangan, juga
telepon. Stress, hormon dan udara yang lembab, dapat memperbesar kemungkinan
terbentuknya jerawat.
DIAGNOSA
1. Anamnesis
Dari anamnesis dapat ditemukan keluhan yang bersifat subjektif, biasanya pasien
mengeluh timbul bintik – bintik merah, rasa sakit, dan sangat menganggu dalam
hal estetika.
2. Pemerikasaan Klinis
Pada pemeriksaan klinis dapat ditemukan lesi yang khas berupa komedo, dan bila
terjadi peradangan akan terbentuk ruam berupa papul, pustul, nodul dan kista di
tempat predileksinya.
3. Pemeriksaan Histopatologi
Memperlihatkan gambaran yang tidak spesifik berupa sebukan sel radang kronis
di sekitar folikel pilosebasea dengan massa sebum dalam folikel. Pada kista,
radang telah telah menghilang diganti dengan jaringan ikat pembatasan massa cair
sebum yang bercampur dengan darah, jaringan mati dan keratin yang lepas.
4. Pemeriksaan Lain
Pemeriksaan mikrobiologis terhadap jasad renik yang mempunyai peran pada
etiologi dan patogenesis penyakit dapat dilakukan di laboraturium mikrobiologi
yang lengkap untuk tujuan penelitian, namun hasilnya sering tidak memuaskan.
Pemerikasaan susunan dan kadar lipid permukaan kulit ( skin surface lipids )
dapat pula dilakukan untuk tujuan serupa. Pada acne vulgaris kadar asam lemak
26
bebas ( free fatty acid ) meningkat dan karena itu pada pencegahan dan
pengobatan digunakan cara untuk menurunkannya.
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan aCne vulgaris meliputi usaha untuk mencegah terjadinya
erupsi ( preventif ) dan usaha untuk menghilangkan jerawat yang terjadi ( kuratif
). Kedua usaha tersebut harus dilakukan bersamaan mengingat bahwa kelainan ini
terjadi akibat pengaruh berbagai faktor ( multifaktorial ), baik faktor internal dari
dalam tubuh sendiri ( ras, familial, hormonal ), maupun faktor eksternal (
makanan, musim, stres ) yang kadang-kadang tidak dapat dihindari oleh penderita.
STRATEGI TERAPI
1. Terapi Non Farmakologis
a) Cuci muka tidak perlu terlalu sering dilakukan, cukup dua kali sehari dengan
memakai sabun ( bukan antiseptik )
b) Jangan biarkan rambut menutupi daerah wajah. Rambut terutama yang kotor,
dapat memperburuk kondisi pori-pori yang tersumbat.
c) Gunakan kosmetik yang berbahan dasar air .
d) Jangan memencet atau memecahkan jerawat karena dapat meninggalkan bekas
berupa jaringan parut pada kulit.
e) Asupan gizi seimbang juga bermanfaat membantu menjaga kesehatan kulit
usahakan untuk tetap rileks. Stres diketahui merupakan salah satu faktor penyebab
timbulnya akne.
2. Terapi Farmakologis
a) Terapi Topikal
Penggunaan obat – obatan sebagai terapi topikal merupakan satu cara yang
banyak dipilih dalam mengatasi penyakit acne vulgaris. Tujuan diberikan terapi
ini adalah untuk mengurangi jumlah jerawat yang telah ada, mencegah
terbentuknya spot yang baru dan mencegah terbentuknya scar ( bekas jerawat ).
Terapi topikal diberikan untuk beberapa bulan atau tahun, tergantung dari tingkat
27
keparahan jerawat. Obat – obatan topikal tidak hanya dioleskan pada daerah yang
terkena jerawat, tetapi juga ada pada daerah disekitarnya. Ada berbagai macam
obat – obatan yang dipakai secaa topikal, yaitu:
· Benzoil Peroksida
Benzoil peroksida adalah suatu zat kimia gabungan antara 2 kelompok benzoil (
benzaldehyde ) dengan kelompok peroksida. Mempunyai sifat bleaching yang
kuat dan dalam konsentrasi yang tinggi mudah terbakar dan meledak.
Efek benzoil peroksida dalam sekresi sebum masih belum jelas. Lake ( 1942 )
melakukan penelitian dengan menggunakan benzoil peroksida pada kulit,
didapatkan efek antiseptik tanpa menimbulkan iritasi pada kulit dengan efek lain
berupa mempercepat penyembuhan, lokal anestesi, menghilangkan nyeri dan
iritasi lokal. Beberapa penelitian lain telah menunjukan bahwa zat ini dapat
mengurangi pembentukan sebum. Zat ini juga mempunyai efek antiseptik, dapat
mengurangi jumlah bakteri pada permukaan kulit tetapi tidak menyebabkan
resistensi bakteri terhadap antibiotik. Selain itu, benzoil peroksida juga dapat
mengurangi jumlah yeasts, bertindak sebagai anti inflamasi. Efek anti
inflamasinya dapat mengurangi pembengkakan pada papul yang terinfeksi
meringankan rasa nyeri yang kadang muncul sebagai akibat adanya jerawat.
Faktor oksidasi dapat mengeluarkan sebum yang tersumbat dan membantu
membebaskan pori – pori dan melepaskan radikal bebas yang dapat membunuh
bakteri.
Zat ini digunakan sebagai terapi topikal pada acne vulgaris sejak 20 tahun terakhir
dan mungkin menjadi terapi topikal pertama yang terbukti efektif. Benzoil
peroksida digunakan untuk pengobatan jerawat ringan sampai sedang dan juga
komedo. Benzoil peroksida tersedia dalam berbagai zat tunggal atau campuran
dengan zat lain seperti sulfur, hidrokuinolon. Sediaanya dapat berupa gel, krim,
lotion dan pembersih muka dengan konsentrasi 2,5%, 5%, 10%, 20%. Beberapa
peningkatan efektifitas yang nyata jika dibandingkan dengan konsentrasi 2,5% (
konsentrasi dengan toleransi yang lebih baik ).
Tretionin adalah bentuk asam dari Vitamin A dan juga dikenal sebagai semua –
trans retinoic acid ( ATRA ). Obat ini telah dikembangkan untuk pengobatan
jerawat sejak tahun 1969 dan mulai banyak digunakan pada tahun 70-an.
Tretionin merupakan obat yang menyebabkan deskuamasi, menyerupai efek sinar
matahari, melepaskan prostaglandin, menyebabkan pengelupasan ( peeling ) dan
eritema. Meskipun mekanisme kerja yang pasti dari obat ini belum diketahui,
beberapa penelitian menunjukan bahwa tretionin topikal dapat menurunkan
penyatuan folikel – folikel sel epitelial dengan mengurangi pembentukan komedo
( blackheads ) sehingga dapat menekan jumlah lesi yang terinflamasi. Sebagai
efek sekunder dari komedogenesis, tretionin mampu mengubah lingkuangan
duktus menjadi tempat yang asing bagi pertumbuhan P. Acnes
Pemilihan sediaan tergantung pada lokasi timbulnya jerawat. Biasanya lotio yang
digunakan untuk jerawat di punggung , sedangkan gel untuk jerawat dimuyka.
Sediaan tretionin dapat berupa gel, krim, lotio dengan konsentrasi 0,025% -
0,05%. Terapi terutama pada wajah, harus dimulai perlahan untuk menghindari
reaksi iritan yang berlebihan. Pada penggunaan topikal, berbagai macam efek
samping dapat timbul. Tertionin dapat menyebabkan kulit menjadi kering, bahkan
pada bebrapa orang yang sensitif dapat menimbulkan kemerahan, gatal dan rasa
panas seperti terbakar.
Kesimpulannya terapi menggunakan retinoid ( tretionin ) aman, efektif, ekonomis
dalam mengatasi semua bentuk jerawat terutama pada kasus – kasus yang berat.
Retinoid sebaiknya diberikan sebagai terapi awal, baim secara tunggal ataupun
kombinasi dengan topikal atau oral antibiotik dan bezoil peroksida.
· Antibiotik
Antibiotik topikal banyak digunakan sebagai terapi jerawat. Mekanisme kerja
antibiotik topikal yang utama adalah sebagai antimikroba. Hal ini telah terbukti
pada klindamisin 1% dalam mengurangi jumlah P. Acnes baik dipermukaan atau
dalam sealuran kelenjar sebasea. Lebih efektif diberikan pada pastula dan lesi
papulopustular yang kecil. Eritromisin 3% dengan dikombiunasi benzoil
peroksida 5% tersedian dalam bentuk gel. Thomas dkk melakukan penelitian
29
· Azelaic Acid
Azelaic acid adalah derivat asam dekarboksilat dari Pityrsporum ovale, ditemukan
beberapa tahun lalu. Beberapa penelitian dari Italia dan United kingdom ( UK )
menemukan bahwa azelaic acid ini efektif sebagai terapi jerawat, bahkan pada
jerawat yang berat.
Penelitian klinis menunjukan bahwa azelaic acid dapat mengurangi jumlah lesi
non inflamasi. Mekanisme yang mungkin dari penelitian klinis ini adalah
perubahan pada granula keratohialin, yang merupakan tanda morfologis dari
filaggrin, keratin, aggregating protein, efek azelaic dalam terapi jerawat adalah
sebagai antibitoik komedolitik dan antibakteri.
sebagai terapi terutama ketika jenis terapi – terapi terbaru tidak memberikan
respon yang baik.
· Anti – Androgen
Sejak diketahui bahwa jerawat merupakan salah satu penyakit beruhubungan
dengan aktivitas hormon androgen, beberapa dermatologis dan industri
farmakologi mengembangkan anti androgen topikal sebagai salah satu terapi
jerawat yang tidak mempunyai efek sistemik. Studi yang dikembangkan adalah
tentang penggunaan topikal dari 17 α-propylmesterolone, akan tetapi preparat ini
belum tersedia secara komersial.
b) Terapi Oral
Terapi oral diberikan pada kasus jerawat sedang samapi berat. Terkadang terapi
oral juga diberikan pada beberapa pasien yang secara psikologis merasa sangat
terganggu dengan adanya jerawat pada wajah mereka atau pada pasien yang
merasa jerawat dapat menganggu pekerjaan meskipun jerawat pada wajah mereka
relatif ringan. Pada orang – orang dengan kulit berwarna cendrung mengalami
masalah dengan bekas jerawat yang berwarna kehitaman yang bisa bertahan
selama beberapa bulan. Pada kasus seperti ini juga diberikan terapi oral sebagai
terapi tambahan meskipun tergolong jerawat ringan.
Dosis pemeberian terapi oral minimal selama 6 – 8 bulan. Ada tiga kelompok
utama dalam terapi oral pada jerawat, yaitu : antibiotika, hormon dan retinoid.
Antibiotik biasanya digunakan sebagai terapi oral lini pertama.
· Antibotik
Antibiotik bekerja dengan beberapa mekanisme terutama dalam mengurangi
jumlah bakteri di dalam dan disekitar folikel. Selain itu, antibiotik juga
mengurangi zat – zat kimia yang mengiritasi yang diproduksi oleh sel darah putih,
pada akhirnya antibiotik dapat mengurangi konsentrasi asam lemak bebas dalam
sebum dan berguna sebagi anti inflamasi. Beberapa antibiotik yang sering
digunakam adalah:
31
1) Tetrasiklin
Merupakan jenis antibiotik yang sering digunakan sebagai terapi jerawat. Dosis
awal biasanya 250 – 500mg, satu – empat kali sehari dan dilanjutkan sampai
terlihat penurunan jumlah lesi. Dosis dapat diturunkan secara perlahan tergantung
dari respon terapi pada pasien. Tetrasiklin lebih efektif diberikan 30 menit
sebelum makan dan sebaiknya tidak diberikan pada wanita hamil. Tetrasiklin
dapat membunuh P. Acnes dan menurunkan kadar asam lemak pada folikel
sebasea. Tetrasiklin berespon baim pada 70% pasien. Terapi dengan tetrasiklin
akan terlihat hasilnya setelah 4 – 6 minggu.
2) Eritromisin
Antibiotik jenis ini biasanya digunakan sebagai terapi jerawat dan mempunyai
beberapa kelebihan dibanding tetrasiklin yaitu dapat mengurangi kemerahan pada
lesi dan dapat diberikan bersama dengan makanan. Eritromisin h=juga dapat
digunakan pada pasien yang tidak bisa mengkonsumsi tetrasiklin seperti pada
wanita hamil. Dosis yang diberikan 250 – 500mg, dua – empat kali sehari, karena
sering menimbulkan resitensi pada P. Acnes maka eritromisin sering
dikombinasikan dengan benzoil peroksida.
3) Minosiklin
Merupakan derivat dari tetrasiklin yang digunakan secara efektif sebagai terapi
jerawat selama beberapa dekade, khususnya untuk jerawat tipe pustular. Absorpsi
obat ini dapat menurun bila dicampur dengan makanan dan susu, tetapi tidak
seperti penurunan absorbsi pada tetrasiklin. Dosis awal antara 50 – 100mg, dua
kali sehari. Efek samping utama berupa pusing ( vertigo ), lemah, mual,
perubahan pigmen kulit, dan perubahan warna gigi perubahan pada kulit dan gigi
lebih sering dijumpai pada orang – orang yang mengkonsumsi minosiklin dalam
waktu lama.
32
4) Doksisiklin
Antibiotik ini sering diberikan pada orang – orang yang tidak dapat merespon
pemberian eritromisin atau tetrasiklin. Dosis yang digunakan antara 50 – 100mg
dua kali sehari dan dapat dikonsumsi bersama dengan makanan ( mudah
diabsorbsi ). Horrisson melaporkan 50mg doksisiklin satu kali perhari sama
efektif dengan 50mg minosiklin dua kali perhari. Sebaiknya tidak mengkonsumsi
bersama antasida, tablet besi, kalsium dan tidak dikonsumsi selama masa
menyusui atau wanita hamil. Doksisiklin akan membuat kulit lebih sensitif
terhadap sinar matahari. Karena itu harus disertai dengan penggunaan tabir surya.
5) Klindamisin
Klindamisin berguna sebagai antibiotik oral untuk terapi jerawat. Tetapi
antibiotika ini banyak digunakan dalam bentuk topikal. Dosis awal 150mg, tiga
kali sehari. Efek samping utama berupa infeksi intestinal yang dinamakan kolitis
pseudomembran yang disebabkan oleh bakteri.
6) Kontrimoksazol
Antibiotik ini diindikasikan pada penderita yang intoleran dengan tetrasiklin atau
eritromisin, atau pada penderita yang tidak ada respon terhadap terapi lain.
Kontrimoksazol juga digunakan pada folikulitis gram negatif.
· Hormon
Terapi hormonal diindikasikan pada wanita yang tidak mempunyai respon trhadap
terapi konvensional. Mekanisme kerja obat – obat hormonal ini secara sistemik
mengurangi kadar testosteron dan dehidroepiandrosterone, yang pada akhirnya
dapat mengurangi produksi sebum dan mengurangi terbentuknya komedo. Ada
tiga jenis terapi hormonal yang tersedia, yaitu: estrogen dengan prednisolon,
estrogen dengan cyproterone acetate ( Diane, Dianette ) dan spironolakton. Terapi
hormonal harus diberikan selama 6 – 12 bulan dan penderita harus melanjutkan
terapi topikal. Seperti halnya antibiotik, tingkat respon obat – obat hormonal juga
lambat, dalam bulan pertama terapi tidak didapatkan perubahan dan perubahan
33
kadang – kadang baru dapat terlihat pada bulan ke enam pemakian. Tetapi setelah
itu akan terlihat perubahan yang nyata. Perubahan yang dihasilkan pada
penggunaan diane hampir mirip dengan tetrasiklin 1g?hari. diane merupakan
kombinasi antara 50mg ethinylestradiol dan 2mg cyproterone acetate. Pada wanita
usia tua ( >30 tahun ) dengan kontraindikasi relatif terhadap pil kontrasepsi yang
mengandung estrogen, salah satau terapi pilihan adalah dengan penggunaan
spironolakton. Dosis efektif yang diberikan antara 100 – 200mg.
· Isotretionin
Isotretionin ( 13 – cis – retinoic acid ) telah digunakan sebagai terapi pada jerawat
yang berat. Beberapa penelitian yang berat menunjukan bahwa isotretionin lebih
baik dari pada terapi konvensional berupa ertiromisin 1g/hari, 5% benzoil
peroksida, tetrasiklin dan asam retinoat topikal. Pilihan dosis obat ini masih
diperdebatkan. Di Switzerland dosis yang digunakan adalah 0,5mg/kgbb/hari,
sementara di USA dan UK digunakan dosis yang lebih tinggi yaitu
1mg/kgbb/hari. Kebanyakan penderita membutuhkan waktu 4 bulan dalam terapi
bahkan 13% penderita membutuhkan waktu lebih lama. Bila pada waktu tersebut
hanya sedikit lesi yang tersisa, maka penggunaan obat ini dapat dihentikan salah
satu keunggulan obat ini adalah sedikitnya kekambuhan yang terjadi bila
pengobatan tidak dilanjutkan. Isotretion dapat menekan eksresi sebum secara
cepat, sehingga dapat mencegah komedogenesis. Isotretionin tidak secara
langsung mempengrahui P. Acne tetapi menekan bakteri dipermukaan secara vivo
dengan cara mengurangi suplai nutrisi untuk P. Acne dan mengurangi ukuran
daerah folikular yang merupakan tempat P. Acne tumbuh. Isotretionin juga
mempengaruhi inflamasi akibat jerawat dengan mengurangi kemotaksis dari
polymorphonucleocytes dan monocytes serta mengurangi pembentukan pustul.
Secara ringkas, mekanisme kerja dari obat – obat yang digunakan sebagai terapi
jerawat dapat dilihat pada gambar dibawah ini
3. Terapi Fisik
Selain terapi topikal dan terapi oral, terdapat beberapa terapi tambahan dengan
menggunakan alat atupun agen fisik, diantaranya adalah:
34
a) Ekstraksi Komedo
Pengangkatan komedo dengan menekan daerah sekitar lesi dengan menggunakan
alat ekstraktor dapat berguna dalam mengatasi jerawat. Secara teori, pengangkatan
closed comedos dapat mencegah pembentukan lesi inflamasi. Dibutuhkan
keterampilan dan kesabaran untuk mendapatkan hasil yang lebih baik.
b) Kortikosteroid Intralesi
Acne cysts dapat diterapi dengan triamsinolon intralesi atau krioterapi. Nodul –
nodul yang mengalami inflamasi menunjukan perubahan yang baik. Dalam kurun
waktu 48 jam setelah disuntikan dengan steroid. Dosis yang biasa digunakan
adalah 2,5 mg/ml triamsinolon asetonid dan menggunakan syringe sampai 0,1ml
dan penyuntikan harus ditengah lesi. Penyuntikan yang terlalu dalam atau terlalu
superfisial akan menyebabkan atrofi.
c) Liquid Nitrogen
Cara lain untuk terapi acne systs adalah dengan mengaplikasikan nitrogen cair
selama 20 detik, aplikasi kedua diberikan 2 menit berikutnya. Terapi ini bekerja
dengan mendinginkan dinding fibrotik dari acne cysts sehingga akan terjadi
kerusakan pada dinding tersebut.
d) Radiasi Ultraviolet
Radiasi ultraviolet alami ( UVR ) yang didapat dari paparan matahari 60% dapat
digunakan sebagai terapi tambahan pada jerawat, tetapi sekarang terapi ini tidak
dianjurkan lagi
35
Herpes zoster adalah radang kulit akut yang bersifat khas seperti gerombolan
vesikel unilateral, sesuai dengan dermatomnya (persyarafannya). Herpes zoster
adalah sutau infeksi yang dialami oleh seseorang yang tidak mempunyai
kekebalan terhadap varicella (misalnya seseorang yang sebelumnya tidak
terinfeksi oleh varicella dalam bentuk cacar air). Herpes zoster adalah penyakit
yang disebabkan oleh reaktivasi virus Varicella – Zoster yang sifatnya localized,
dengan ciri khas berupa nyeri radikuler, unilateral, dan gerombolan vesikel yang
tersebar sesuai dermatom yang diinervasi satu ganglion saraf sensoris. Herpes
simpleks adalah infeksi akut yg disebabkan oleh virus herpes simpleks (virus
herpes hominis) tipe I atau tipe II yang ditandai oleh adanya vesikel yang
berkelompok diatas kulit yang sembab dan eritematosa pada daerah dekat
mukokutan, sedangkan infeksi dapat berlangsung baik primer maupun rekurens
Penyakt infeksiosa dan kontagiosa yang disebabkan oleh virus herpes simplek tipe
1 dan 2 dengan kecenderungan menyerang kulit-mukosa (orofasial , genital),
terdapat kemungkinan manifestasi ekstrakutan dan cenderung untuk residif karena
sering terjadi persintensi virus. Derajat penularannya tinggi, tetapi karena
patogenitas dan daya tahan terhadap infeksi baik, maka infeksi ini sering berjalan
tanpa gejala atau gejala ringan, subklinis atau hanya local. ( Rassner Dermatologie
Lehrbuch und atlas, 1995)
Herpes zoster disebabkan oleh infeksi virus varisela zoster (VVZ) dan tergolong
virus berinti DNA, virus ini berukuran 140-200 nm, yang termasuk subfamili alfa
herpes viridae. Berdasarkan sifat biologisnya seperti siklus replikasi, penjamu,
sifat sitotoksik dan sel tempat hidup laten diklasifikasikan kedalam 3 subfamili
yaitu alfa, beta dan gamma. VVZ dalam subfamili alfa mempunyai sifat khas
menyebabkan infeksi primer pada sel epitel yang menimbulkan lesi vaskuler.
Selanjutnya setelah infeksi primer, infeksi oleh virus herpes alfa biasanya menetap
36
dalam bentuk laten didalam neuron dari ganglion. Virus yang laten ini pada
saatnya akan menimbulkan kekambuhan secara periodik. Secara in vitro virus
herpes alfa mempunyai jajaran penjamu yang relatif luas dengan siklus
pertumbuhan yang pendek serta mempunyai enzim yang penting untuk replikasi
meliputi virus spesifik DNA polimerase dan virus spesifik deoxypiridine
(thymidine) kinase yang disintesis di dalam sel yang terinfeksi.
Masa Inkubasi
Masa inkubasinya 14–21 hari , Herpes zoster disebabkan oleh virus varicella
zoster . virus varicella zoster terdiri dari kapsid berbentuk ikosahedral dengan
diameter 100 nm. Kapsid tersusun atas 162 sub unit protein–virion yang lengkap
dengan diameternya 150–200 nm, dan hanya virion yang terselubung yang
bersifat infeksius. Infeksiositas virus ini dengan cepat dihancurkan oleh bahan
organic , deterjen, enzim proteolitik, panas dan suasana Ph yang tinggi..
Secara umum, seluruh jenis penyakit herpes dapat menular melalui kontak
langsung. Namun pada herpes zoster, seperti yang terjadi pada penyakit cacar
(chickenpox), proses penularan bisa melalui bersin, batuk, pakaian yang tercemar
dan sentuhan ke atas gelembung/lepuh yang pecah. Pada penyakit Herpes
Genitalis (genetalia), penularan terjadi melalui prilaku sex. Sehingga penyakit
Herpes genetalis ini kadang diderita dibagian mulut akibat oral sex. Gejalanya
akan timbul dalam masa 7-21 hari setelah seseorang mengalami kontak
(terserang) virus varicella-zoster.
Seseorang yang pernah mengalami cacar air dan kemudian sembuh, sebenarnya
virus tidak 100% hilang dari dalam tubuhnya, melainkan bersembunyi di dalam
sel ganglion dorsalis sistem saraf sensoris penderita. Ketika daya tahan tubuh
(Immun) melemah, virus akan kembali menyerang dalam bentuk Herpes zoster
dimana gejala yang ditimbulkan sama dengan penyakit cacar air (chickenpox).
Bagi seseorang yang belum pernah mengalami cacar air, apabila terserang virus
varicella-zoster maka tidak langsung mengalami penyakit herpes zoster akan
tetapi mengalami cacar air terlebih dahulu.
Pada penderita penyakit cacar hal yang terpenting adalah menjaga gelembung
cairan tidak pecah agar tidak meninggalkan bekas dan menjadi jalan masuk bagi
37
kuman lain (infeksi sekunder), antara lain dengan pemberian bedak talek yang
membantu melicinkan kulit. Penderita apabila tidak tahan dengan kondisi hawa
dingin dianjurkan untuk tidak mandi, karena bisa menimbulkan shock.
Obat-obatan yang diberikan pada penderita penyakit cacar ditujukan untuk
mengurangi keluhan gejala yang ada seperti nyeri dan demam, misalnya diberikan
paracetamol. Pemberian Acyclovir tablet (Desciclovir, famciclovir, valacyclovir,
dan penciclovir) sebagai antiviral bertujuan untuk mengurangi demam, nyeri,
komplikasi serta melindungi seseorang dari ketidakmampuan daya tahan tubuh
melawan virus herpes. Sebaiknya pemberian obat Acyclovir saat timbulnya rasa
nyeri atau rasa panas membakar pada kulit, tidak perlu menunggu munculnya
gelembung cairan (blisters).
Pada kondisi serius dimana daya tahan tubuh sesorang sangat lemah, penderita
penyakit cacar (herpes) sebaiknya mendapatkan pengobatan terapy infus (IV)
Acyclovir. Sebagai upaya pencegahan sebaiknya seseorang mendapatkan
imunisasi vaksin varisela zoster. Pada anak sehat usia 1 – 12 tahun diberikan satu
kali. Imunasasi dapat diberikan satu kali lagi pada masa pubertas untuk
memantapkan kekebalan menjadi 60% – 80%. Setelah itu, untuk
menyempurnakannya, berikan imunisasi sekali lagi saat dewasa. Kekebalan yang
didapat ini bisa bertahan sampai 10 tahun.
Pencegahan
Untuk mencegah herper zoster, salah satu cara yang dapat ditempuh adalah
pemberian vaksinasi.Vaksin berfungsi untuk meningkatkan respon spesifik
limfosit sitotoksik terhadap virus tersebut pada pasien seropositif usia lanjut.
Vaksin herpes zoster dapat berupa virus herpes zoster yang telah dilemahkan atau
komponen selular virus tersebut yang berperan sebagai antigen. Penggunaan virus
yang telah dilemahkan telah terbukti dapat mencegah atau mengurangi risiko
terkena penyakit tersebut pada pasien yang rentan, yaitu orang lanjut usia dan
penderita imunokompeten, serta imunosupresi.
38
V. Morbilli (Campak)
Definisi
Penyakit campak adalah suatu penyakit berjangkit. Campak atau rubeola adalah
suatu infeksi virus yang sangat menular, yang ditandai dengan demam, batuk,
konjungtivitis dan ruam kulit3.
Campak ialah penyakit infeksi virus akut, menular yang ditandai dengan 3
stadium, yaitu: a. stadium kataral, b. stadium erupsi dan c. stadium konvalesensi4.
Campak adalah suatu penyakit akut menular, ditandai oleh tiga stadium5:
Stadium kataral
Di tandai dengan enantem (bercak koplik) pada mukosa bukal dan faring,
demam ringan sampai sedang, konjungtivitis ringan, koryza, dan batuk.
Stadium erupsi
Ditandai dengan ruam makuler yang muncul berturut-turut pada leher dan
muka, tubuh, lengan dan kaki dan disertai oleh demam tinggi.
Stadium konvalesensi
Ditandai dengan hilangnya ruam sesuai urutan munculnya ruam, dan
terjadi hiperpigmentasi.
Etiologi
inklusi intranuklear. Antibodi dalam sirkulasi dapat dideteksi bila ruam muncul.
Penyebaran virus maksimal adalah melalui percikan ludah (droplet) dari mulut
selama masa prodormal (stadium kataral). Penularan terhadap penderita rentan
sering terjadi sebelum diagnosis kasus aslinya. Orang yang terinfeksi menjadi
menular pada hari ke 9-10 sesudah pemajanan, pada beberapa keadaan dapat
menularkan hari ke 7. Tindakan pencegahan dengan melakukan isolasi terutama di
rumah sakit atau institusi lain, harus dipertahankan dari hari ke 7 sesudah
pemajanan sampai hari ke 5 sesudah ruam muncul5.
Epidemiologi
Dari 19 lokasi KLB campak yang diselidiki Subdit Surveilans, daerah dan
mahasiswa FETP (UGM) selama 1999, terlihat attack-rate pada KLB campak
dominan pada kelompok umur balita. Angka proporsi penderita pada KLB
campak 1998–1999 juga menunjukkan proporsi terbesar pada kelompok umur 1–4
tahun dan 5–9 tahun bila dibandingkan kelompok umur lebih tua (10–14 tahun)3.
Patofisiologi
Lesi campak terdapat di kulit, membran mukosa nasofaring, bronkus, dan saluran
cerna dan pada konjungtiva. Eksudat serosa dan proliferasi sel mononuklear dan
beberapa sel polimorfonuklear terjadi disekitar kapiler. Ada hiperplasi limfonodi,
terutama pada apendiks. Pada kulit, reaksi terutama menonjol sekitar kelenjar
40
sebasea dan folikel rambut. Bercak koplik pada mukosa bukal pipi berhadapan
dengan molar II terdiri dari eksudat serosa dan proliferasi sel endotel serupa
dengan bercak pada lesi kulit. Bronkopneumonia dapat disebabkan oleh infeksi
bakteri sekunder.
Gejala Klinis
Masa inkubasi 10-20 hari dan kemudian timbul gejala-gejala yang dibagi dalam 3
stadium, yaitu:
Stadium ini berlangsung selama 4-5 hari disertai gambaran klinis seperti demam,
malaise, batuk, fotopobia, konjungtivitis, dan coryza. Menjelang akhir dari
stadium kataral dan 24 jam sebelum timbul enantem, terdapat bercak koplik
berwarna putih kelabu sebesar ujung jarum dan dikelilingi oleh eritema.
Lokasinya di mukosa bukal yang berhadapan dengan molar bawah. Gambaran
darah tepi leukopeni dan limfositosis.
2. Stadium erupsi
Coryza dan batuk bertambah. Timbul enantem atau titik merah di palatum durum
dan palatum mole. Kadang – kadang terlihat bercak koplik. Terjadi eritem bentuk
makulopapuler disertai naiknya suhu badan. Diantara macula terdapat kulit yang
normal. Mula-mula eritema timbul dibelakang telinga, bagian atas lateral tengkuk
sepanjang rambut dan bagian belakang bawah. Kadang-kadang terdapat
perdarahan ringan pada kulit. Rasa gatal, muka bengkak. Ruam mencapai anggota
bawah pada hari ke 3, dan menghilang sesuai urutan terjadinya.
Variasi yang biasa terjadi adalah Black Measless, yaitu morbili yang disertai
dengan perdarahan di kulit, mulut, hidung, dan traktus digestivus.
3. Stadium konvalesensi
Diagnosis Banding
1. Campak jerman.
Pada penyakit ini tidak ada bercak koplik, tetapi ada pembesaran kelenjar di
daerah suboksipital, servikal bagian posterior, belakang telinga.
2. Eksantema subitum.
Perbedaan dengan penyakit campak. Ruam akan timbul bila suhu badan menurun.
3. Infeksi enterovirus
Ruam kulit cenderung kurang jelas dibandingkan dengan campak. Sesuai dengan
derajat demam dan berat penyakitnya.
4. Penyakit Riketsia
Disertai batuk tetapi ruam kulit yang timbul biasanya tidak mengenai wajah yang
secara khas terlihat pada penyakit campak.
5. Meningokoksemia
Disertai ruam kulit yang mirip dengan campak, tetapi biasanya tidak dijumpai
batuk dan konjungtivits.
Ruam kulit tidak disertai dengan batuk dan umumnya ruam kulit timbul setelah
ada riwayat penyuntikan atau menelan obat.
7. Demam skarlantina.
Ruam kulit difus dan makulopapuler halus, eritema yang menyatu dengan tekstur
seperti kulit angsa secara jelas terdapat didaerah abdomen yang relatif mudah
dibedakan dengan campak.
42
Diagnosis
Diagnosis dibuat dari gambaran klinis, selama stadium prodormal, sel raksasa
multinuklear dapat ditemukan pada apusan mukosa hidung. Virus dapat diisolasi
pada biakan jaringan. Angka leukosit cenderung rendah dengan limfositosis
relatif. Pungsi lumbal pada penderita dengan ensefalitis campak biasanya
menunjukkan kenaikan protein dan sedikit kenaikan limfosit. Kadar glukosa
normal. Bercak koplik dan hiperpigmentasi adalah patognomonis untuk
rubeola/campak.
Komplikasi
Pada penyakit campak terdapat resistensi umum yang menurun sehingga dapat
terjadi alergi (uji tuberkulin yang semula positif berubah menjadi negatif).
Keadaan ini menyebabkan mudahnya terjadi komplikasi sekunder seperti:
1. Bronkopnemonia
2. Komplikasi neurologis
Encephalitis morbili akut ini timbul pada stadium eksantem, angka kematian
rendah. Angka kejadian ensefalitis setelah infeksi morbili ialah 1:1000 kasus,
sedangkan ensefalitis setelah vaksinasi dengan virus morbili hidup adalah 1,16
tiap 1.000.000 dosis.
SSPE yaitu suatu penyakit degenerasi yang jarang dari susunan saraf pusat.
Ditandai oleh gejala yang terjadi secara tiba-tiba seperti kekacauan mental,
disfungsi motorik, kejang, dan koma. Perjalan klinis lambat, biasanya meninggal
dalam 6 bulan sampai 3 tahun setelah timbul gejala spontan. Meskipun demikian,
remisi spontan masih dapat terjadi. Biasanya terjadi pada anak yang menderita
morbili sebelum usia 2 tahun. SSPE timbul setelah 7 tahun terkena morbili,
sedang SSPE setelah vaksinasi morbili terjadi 3 tahun kemudian.
43
Penyebab SSPE tidak jelas tetapi ada bukti-bukti bahwa virus morbilli memegang
peranan dalam patogenesisnya. Anak menderita penyakit campak sebelum umur 2
tahun, sedangkan SSPE bisa timbul sampai 7 tahun kemudian SSPE yang terjadi
setelah vaksinasi campak didapatkan kira-kira 3 tahun kemudian. Kemungkinan
menderita SSPE setelah vaksinasi morbili adalah 0,5-1,1 tiap 10.000.000,
sedangkan setelah infeksi campak sebesar 5,2-9,7 tiap 10.000.000.
Prognosis
Prognosis baik pada anak dengan keadaan umum yang baik, tetapi prognosis
buruk bila keadaan umum buruk, anak yang sedang menderita penyakit kronis
atau bila ada komplikasi4.
Angka kematian kasus di Amerika Serikat telah menurun pada tahun-tahun ini
sampai tingkat rendah pada semua kelompok umur, terutama karena keadaan
sosioekonomi membaik.
Campak bila dimasukkan pada populasi yang sangat rentan, akibatnya bencana.
Kejadian demikian di pulau Faroe pada tahun 1846 mengakibatkan kematian
sekitar seperempat, hampir 2000 dari populasi total tanpa memandang umur5.
Pengobatan
Simtomatik yaitu antipiretika bila suhu tinggi, sedativum, obat batuk dan
memperbaiki keadaan umum. Tindakan lain adalah pengobatan segera terhadap
komplikasi yang timbul4.
Diberikan sedatif, antipiretik untuk demam tinggi, tirah baring dan masukan
cairan yang cukup. Penderita harus dilindungi dari kontak dengan cahaya yang
kuat selama masa fotofobia. Adanya komplikasi seperti ensefalitis, SSPE,
bronkopneumonia pada setiap kasus harus dinilai secara individual5.
Pencegahan
1. Imunisasi aktif.
Imunisasi campak awal dapat diberikan pada usia 12-15 bulan tetapi mungkin
diberikan lebih awal pada daerah dimana penyakit terjadi (endemik). Imunisasi
aktif dilakukan dengan menggunakan strain Schwarz dan Moraten. Vaksin
tersebut diberikan secara subcutan dan menyebabkan imunitas yang berlangsung
lama. Dianjurkan untuk memberikan vaksin morbili tersebut pada anak berumur
44
Vaksin morbili tersebut dapat diberikan pada orang yang alergi terhadap telur.
Hanya saja pemberian vaksin sebaiknya ditunda sampai 2 minggu sembuh.
Vaksin ini juga dapat diberikan pada penderita tuberkulosis aktif yang sedang
mendapat tuberkulosita. Akan tetapi vaksin ini tidak boleh diberikan pada wanita
hamil, anak dengan tuberkulosis yang tidak diobati, penderita leukemia dan anak
yang sedang mendapat pengobatan imunosupresif4.
2. Imunisasi pasif.
3. Isolasi
Etiologi
Varisela disebabkan oleh Varicella Zoster Virus (VZV). yang termasuk
dalam kelompok Herpes Virus tipe ;. Virus ini berkapsul dengan diameter kira-
kira 150-200 nm. Inti virus disebut capsid yang berebntuk ikosahedral, terdiri dari
protein dan DNA berantai ganda. Berbentuk suatu garis dengan berat molekul 100
juta dan disusun dari 162 isomer. Lapisan ini bersifat infeksius.
VZV dapat ditemukan dalam cairan vesikel dan dalam darah penderita.
Virus ini dapat diinokulasikan dengan menggunakan biakan dari fibroblas paru
embrio manusia kemudian dilihat dibawah mikroskop elektron. Di dalam sel yang
terinfeksi akan tampak adanya sel raksasa berinti banyak (multinucleated giant
cell) dan adanya badan inklusi eosinofilik jernih (intranuclear eosinophilic
inclusion bodies) VZV menyebabkan penyakit varisela dan Herpes Zoster. Kedua
penyakit ini memiliki manifestasi klinis yang berbeda. Pada kontak pertama
dengan manusia menyebabkan penyakit varisela atau cacar air, karena itu varisela
dikatakan sebagai infeksi akut primer. Penderita dapat sembuh, atau penderita
sembuh dengan virus yang menjadi laten (tanpa manifestasi klinis) dalam ganglia
sensoris dorsalis, jika kemudian terjadi reaktivasi maka virus akan menyebabkan
penyakit Herpes zoster.
1. Varisela
Definisi Varisela
Varisela adalah suatu penyakit infeksi akut primer menular, disebabkan oleh
Varicella Zooster Virus (VZV), yang menyerang kulit dan mukosa, dan ditandai
dengan adanya vesikel-vesikel1 . Varisela pada tubuh anak I
Epidemiologi
Di negara barat kejadian varisela terutama meningkat pada musim dingin dan
awal musim semi, sedangkan di Indonesia virus menyerang pada musim peralihan
antara musim panas ke musim hujan atau sebaliknya Namun varisela dapat
46
menjadi penyakit musiman jika terjadi penularan dari seorang penderita yang
tinggal di populasi padat, ataupun menyebar di dalam satu sekolah. Varisela
terutama menyerang anak-anak dibawah 10 tahun terbanyak usia 5-9 tahun.
Varisela merupakan penyakit yang sangat menular, 75 % anak terjangkit setelah
terjadi penularan. Varisela menular melalui sekret saluran pernapasan, percikan
ludah, terjadi kontak dengan lesi cairan vesikel, pustula, dan secara transplasental.
Individu dengan zoster juga dapat menyebarkan varisela. Masa inkubasi 11-21
hari. Pasien menjadi sangat infektif sekitar 24 – 48 jam sebelum lesi kulit timbul
sampai lesi menjadi krusta biasanya sekitar 5 hari .
Patogenesis
Setelah VZV masuk melaui saluran pernapasan atas, atau setelah penderita
berkontak dengan lesi kulit, selama masa inkubasinya terjadi viremia primer.
Infeksi mula-mula terjadi pada selaput lendir saluran pernapasan atas kemudian
menyebar dan terjadi viremia primer. Pada Viremia primer ini virus menyebar
melalui peredaran darah dan system limfa ke hepar, dan berkumpul dalam
monosit/makrofag, disana virus bereplikasi, pada kebanyakan kasus virus dapat
mengatasi pertahanan non-spesifik sehingga terjadi viremia sekunder. Pada
viremia sekunder virus berkumpul di dalam Limfosit T, kemudian virus menyebar
ke kulit dan mukosa dan bereplikasi di epidermis memberi gambaran sesuai
dengan lesi varisela. Permulaan bentuk lesi mungkin infeksi dari kaliper endotel
pada lapisan papil dermis menyebar ke sel epitel dermis, folikel kulit dan glandula
sebasea, saat ini timbul demam dan malaise.
Manifestasi Klinis
Manifestasi Klinis varisela terdiri atas 2 stadium yaitu stadium prodormal,
stadium erupsi. Stadium Prodormal timbul 10-21 hari, setelah masa inkubasi
selesai. Individu akan merasakan demam yang tidak terlalu tinggi selama 1-3 hari,
mengigil, nyeri kepala anoreksia, dan malaise2,3 . Stadium erupsi 1-2 hari
kemudian timbuh ruam-ruam kulit “ dew drops on rose petals” tersebar pada
wajah, leher, kulit kepala dan secara cepat akan terdapat badan dan ekstremitas.
Ruam lebih jelas pada bagian badan yang tertutup, jarang pada telapak tangan dan
telapak kaki. Penyebarannya bersifat sentrifugal (dari pusat). Total lesi yang
ditemukan dapat mencapai 50-500 buah. Makula kemudian berubah menjadi
papulla, vesikel, pustula, dan krusta. Erupsi ini disertai rasa gatal. Perubahan ini
hanya berlangsung dalam 8-12 jam, sehingga varisella secara khas dalam
perjalanan penyakitnya didapatkan bentuk papula, vesikel, dan krusta dalam
waktu yang bersamaan, ini disebut polimorf. Vesikel akan berada pada lapisan sel
dibawah kulit dan membentuk atap pada stratum korneum dan lusidum,
sedangkan dasarnya adalah lapisan yang lebih dalam Gambaran vesikel khas,
bulat, berdinding tipis, tidak umbilicated, menonjol dari permukaan kulit, dasar
eritematous, terlihat seperti tetesan air mata/embun “tear drops”. Cairan dalam
vesikel kecil mula-mula jernih, kemudian vesikel berubah menjadi besar dan
keruh akibat sebukan sel radang polimorfonuklear lalu menjadi pustula.
47
Kemudian terjadi absorpsi dari cairan dan lesi mulai mengering dimulai dari
bagian tengah dan akhirnya terbentuk krusta. Krusta akan lepas dalam 1-3 minggu
tergantung pada dalamnya kelainan kulit. Bekasnya akan membentuk cekungan
dangkal berwarna merah muda, dapat terasa nyeri, kemudian berangsur-angsur
hilang. Lesi-lesi pada membran mukosa (hidung, faring, laring, trakea, saluran
cerna, saluran kemih, vagina dan konjungtiva) tidak langsung membentuk krusta,
vesikel-vesikel akan pecah dan membentuk luka yang terbuka, kemudian sembuh
dengan cepat. Karena lesi kulit terbatas terjadi pada jaringan epidermis dan tidak
menembus membran basalis, maka penyembuhan kira-kira 7-10 hari terjadi tanpa
meninggalkan jaringan parut, walaupun lesi hyper-hipo pigmentasi mungkin
menetap sampai beberapa bulan. Penyulit berupa infeksi sekunder dapat terjadi
ditandai dengan demam yang berlanjut dengan suhu badan yang tinggi (39-40,5
oC) mungkin akan terbentuk jaringan parut.
Varisela yang menyerang wanita hamil sangat jarang (0,7 tiap 1000
kelamilan). Sekitar 17 % anak yang dilahirkan dari wanita yang mendapat varisela
pada 20 minggu pertama kehamilannya akan menderita kelainan bawaan berupa
bekas luka dikulit (cutaneous scarr), mikrosefali, berat badan lahir rendah,
hipoplasia tungkai, kelumpuhan, atrofi tungkai, kejang, retardasi mental,
korioretinitis, mikropthalmia, atrofi kortikal, katarak dan defisit neurologis
lainnya. Defisit neurologis yang mengenai system persarafan autonom dapat
menimbulkan kelainan kontrol sphingter, obstruksi intestinal, Horner sindrom.
Jika wanita hamil mendapatkan varisela dalam waktu 21 hari sebelum ia
melahirkan, maka 25 % dari neonatus yang dilahirkan akan memperliharkan
gejala varisela kongenital pada waktu dilahirkan sampai berumur 5 hari, biasanya
varisela ringan sebab antibodi ibu yang sempat dihantarkan transplasental dalam
bentuk IGg spesifik masih ada dalam tubuh neonatus sehingga jarang
mengakibatkan kematian. Bila seorang wanita hamil mendapatkan varisela pada
4-5 hari sebelum ia melahirkan, maka neonatusnya akan memperliharkan gejala
verisela kongenital pada umur 5-19 hari Disini perjalanan varisela sering berat dan
menyebabkan kematian pada 25-30 % karena mereka mendapatkan virus dalam
jumlah yang banyak tanpa sempat mendapatkan antibodi yang dikirimkan
transplasental. Wanita hamil dengan varisela pneumonia dapat menderita hipoksia
dan gagal nafas yang dapat berakibat fatal bagi ibu maupun fetus.
Seorang anak yang ibunya mendapat varisella selama masa kehamilan,
atau bayi yang terkena varisela selama bulan awal kelahirannya mempunyai
kemungkinan lebih besar untuk menderita herpes zoster dibawah 2 tahun .
Komplikasi
Varisela Beberapa komplikasi dapat terjadi pada infeksi varisela, infeksi yang
dapat terjadi diantaranya adalah: Infeksi sekunder dengan bakteri Infeksi bakteri
sekunder biasanya terjadi akibat stafilokokus. Stafilokokus dapat muncul sebagai
impetigo, selulitis, fasiitis, erisipelas furunkel, abses, scarlet fever, atau sepsis2,7.
Varisela Pneumonia Varisela Pneumonia terutama terjadi pada penderita
immunokompromis, dan kehamilan. Ditandai dengan panas tinggi, Batuk, sesak
napas, takipneu, Ronki basah, sianosis, dan hemoptoe terjadi beberapa hari setelah
48
Reye sindrom
letargi, mual, muntah menetap, anak tampak bingung dan perubahan sensoris
menandakan terjadinya Reye sindrom atau ensefalitis. Reye sindrom terutama
terjadi pada pasien yang menggunakan salisilat, sehingga pada varisela
penggunaan varisela harus dihindari. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
peningkatan SGOT, SGPT serta amonia1,
Ensefalitis
Komplikasi ini tersering karena adanya gangguan imunitas. Dijumpai 1 pada 1000
kasus varisela dan memberikan gejala ataksia serebelar, biasanya timbul pada hari
3-8 setelah timbulnya ruam. Maguire (1985) melaporkan 1 kasus pada anak
berusia 3 tahun dengan komplikasi ensefalitis menunjukkan gejala susah tidur,
nafsu makan menurun, hiperaktif, iritabel dan sakit kepala. 19 hari setelah ruam
timbul, gerakan korea atetoid lengan dan tungkai. Penderita meninggal setelah 35
hari perawatan1 . Hemorrargis varisela terutama disebabkan oleh autoimun
trombositopenia, tetapi hemorrargis varisela dapat menyebabkan idiopatik
koagulasi intravaskuler diseminata (purpura fulminan).
Hepatitis Komplikasi lain Komplikasi yang dapat ditemukan namun jarang terjadi
diantaranya adalah neuritis optic, myelitis tranversa, orkitis dan arthritis.
49
VII. IMPETIGO
Etiologi
Impetigo adalah disebabkan oleh Staphylococcus aureus dan streptokokus
beta-hemolitik grup A (GABHS). GABHS juga dikenal sebagai Streptococcus
pyogenes. Infeksi oleh S aureus dapat didahului oleh infeksi primer oleh GABHS.
Epidemiologi
Rasio antara laki-laki dan perempuan adalah sama. Impertigo dapat terjadi
pada semua umur. Anak umur kurang dari 6 tahun insidensinya lebih tinggi
dibandingkan dewasa. Impetigo bulosa lebih sering mengenai neonates dan infant.
Sembilan persen impetigo bulosa terjadi pada usia kurang dari 2 tahun.
Sedangkan impetigo nonbulosa biasanya terjadi pada usia 2-5 tahun.
Patofisiologi
Kira-kira 30% nares anterior dikolonisasi oleh S aureus. Beberapa individu
kolonisasi S aureus menyebabkan episode berulang impetigo pada hidung dan
50
bibir. Bakteri dapat menyebar dari hidung ke kulit yang sehat dalam waktu 7-14
hari, dengan lesi impetigo muncul 7-14 hari kemudian.
Penyebab impetigo bullous adalah gram positif, koagulase-positif, S
aureus grup II, yang paling sering adalah fag tipe 71. S aureus menghasilkan
eksotoksin eksfoliatif ekstraselular disebut exfoliatins A dan B. Eksotoksin S.
aureus menyebabkan kehilangan adhesi sel di permukaan dermis yang
menyebabkan kulit melepuh. Salah satu target protein eksotoksin A adalah
desmoglein I yang mempertahankan adhesi sel. Molekul-molekul ini juga
merupakan superantigen yang bertindak secara lokal dan mengaktifkan limfosit T.
Koagulasi dapat menyebabkan toksin untuk tetap berada dalam epidermis atas
dengan menghasilkan fibrin thrombi. Tidak seperti impetigo nonbulosa, impetigo
bullous terjadi pada kulit utuh.
Impetigo nonbulosa terjadi pada lebih dari 70% kasus pada anak usia <15
tahun dengan infeksi. Penyebabnya adalah S aureus. S aureus menghasilkan
toksin bakteritoksin dari sterptokokus.
Jika seseorang terkontak orang lain (misalnya, anggota rumah tangga,
teman-teman sekelas, rekan satu tim) yang kulitnya telah terinfeksi GABHS atau
pembawa organisme, kulit normal seseorang dapat terkolonisasi bakteri. Setelah
kulit yang sehat terkolonisasi bakteri, trauma ringan seperti lecet atau digigit
serangga, bisa mengakibatkan perkembangan lesi impetigo dalam waktu 1-2
minggu. GABHS dapat dideteksi dalam hidung dan tenggorokan dalam 2-3
minggu setelah lesi berkembang, walaupun mereka tidak memiliki gejala-gejala
faringitis streptococcus. Hal ini karena impetigo dan faringitis disebabkan oleh
berbagai jenis bakteri. Impetigo biasanya karena strain D, sedangkan faringitis
disebabkan strain A, B dan C.
· Impetigo bulosa dimulai dengan timbulnya blister yang besar dan rupture
dengan onset yang cepat
· Infeksi menyebar ke area diatal melakui autoinokulasi secara langsung
Pemeriksaan fisik
Impetigo bulosa:
· Karakteristik lesi adalah vesikel yang berkembang menjadi bula pada kulit
yang utuh, dengan minimal atau tanpa kemerahan disekitarnya. Awalnya vesikel
mengandung cairan jernih kemudian menjadi keruh.
o Atap bula rupture, sering meninggalkan sisik kolaret perifer
o Bulosa biasanya tidak ada karena sangat fragil
o Tidak ada pembesaran limfadenopati
o Pada infant, lesi ekstensif dihubungkan dengan gejala sistemik seperti
demam, malaise, kelelahan yang menyeluruh dan diare.
o Jika tak terobati lesi menyebar secara autoinokulasi kemudian sembuh spontan
setelah beberapa minggu tanpa skar.
Penemuan histopatologis
Impetigo bulosa dengan atau tanpa adanya sel inflamasi pada bula. Terdapat
infiltrate polimorfi dalam dermis atas serta akantolisis pada lapisan granular.
Impetigo nonbulosa terdapat serum kering diatas epidermis. Kokus gram positif
juga dapat terlihat. Spongiosis epidermal dan adanya infiltrasi dermal berat
dengan neutrofil dan sel limfosit.
E. Terapi
Terapi utama impetigo adalah antibiotik, agen yang dipilih harus
mencakup perlawanan terhadap Staphylococcus aureus dan Streptococcus
pyogenes. Obat beta-lactam merupakan pilihan awal dalam pengobatan
impetigo. Topical antibiotik digunakan pada pasien dengan lesi kecil atau
53
sedikit, dioleskan pada daerah yang terkena dua atau tiga kali sehari
selama 7-10 hari. Salep mupirocin telah digunakan baik untuk lesi.
Obat antibiotik topikal yang dilaporkan berguna pada terapi impetigo
adalah:
· Klindamisin (krim, losio dan sabun) berguna untuk beberapa infeksi MRSA
· Gentamisin salep atau krim dapat digunakan untuk infeksi gram positif oleh
spesies staphylococcus termasuk impetigo dan pioderma.
· Hydrogen peroksida 1 % krem, mempunyai aktifitas bakterisidal yang
mempunyai durasi aksi lebih lama dari pada hydrogen peroksida cair.
· Tetrasiklin berguna untuk impetigo local tetapi beresiko terjadinya reaksi
fotosensitifitas.
Antibiotik oral yang direkomendasikan sebagai terapi impetigo adalah
sepalosporin, penisilin semisintetik, penghambat beta laktamse. Jika kultur bakteri
menunjukan MRSA dan pada pasien yang tidak terjadi peningkatan dapat
diberikaan tetrasiklin, trimethoprim/sulfamethoxazole (Bactrim), klindamicin,
atau linezolid.
F. Komplikasi
Impetigo bulosa:
· Selulitis, limfangitis, bakteriemia, arthritis septic, dan septicemia
· Toksin eksfoliatif yang diabsorbsi akan masuk kedalam pembuluh darah
dapat menyebabkan Staphylococcal scalded skin syndrome (SSSS). Ini sering
terjadi pada anak yang antibodinya untuk melawan toksin tidak berkembang.
VIII. KELOID
PENDAHULUAN
Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas tiga lapisan utama, yaitu :
1. Lapisan epidermis atau kutikel, terdiri atas : stratum korneum, stratum lusidum,
stratum granulosum, stratum spinosum dan stratum basale (terdiri atas dua jenis
sel : sel-sel kolumner dan sel pembentuk melanin).
2. Lapisan dermis (korium, kutis vera, true skin). Secara garis besar dibagi
menjadi dua bagian, yakni : pars papillare dan pars retikulare.
3. Lapisan subkutis (hipodermis) adalah kelanjuta dermis, terdiri atas jaringan ikat
longgar berisi sel-sel lemak di dalamnya.
Vaskularisasi di kulit diatur oleh 2 pleksus, yaitu pleksus yang terletak di bagian
atas dermis (pleksus superfisial) dan yang terletak di subkutis (pleksus profunda).
Pleksus yang di dermis bagian atas mengadakan anastomosis di papil dermis,
pleksus yang di subkutis dan di pars papillare juga mengadakan anastomosis, di
bagian ini pembuluh darah berukuran lebih besar. Bergandengan dengan
pembuluh darah terdapat saluran getah bening.7
56
Fungsi utama kulit adalah fungsi proteksi (pelindung terhadap cedera fisik,
kekeringan, zat kimia, kuman penyakit dan radiasi), absorpsi, ekskresi, persepsi
(faal perasa dan peraba yang dijalankan oleh ujung saraf sensoris Vater paccini,
Meisner, Krause, dan Ruffini yang terdapat di dermis), pengatura suhu tubuh
(termoregulasi akibat adanya jaringan kapiler yang luas di dermis, adanya lemak
subkutan, dan kelenjar keringat), pembentukan pigmen, pembentukan vitamin D,
dan keratinisasi).
ETIOLOGI
Penyebab pasti tidak diketahui, tidak ada gen khusus yang diidentifikasi sebagai
penyebab berkembangnya suatu keloid, meskipun peningkatan prevalensi keloid
berhubungan dengan peningkatan pigmentasi kulit yang menunjukkan adanya
pengaruh genetik.1,4
Keloid dihubungkan secara genetik dengan HLA-B14, HLA-B21, HLA-Bw16,
HLA-Bw35, HLA-DR5, HLA-DQw3, dan golongan darah A. Transmisi
dilaporkan secara autosom dominan dan autosom resesif.1
Keloid dapat disebabkan oleh insisi bedah, luka, penyuntikan vaksinasi (BCG),
luka bakar, bekas jerawat, setelah cacar, gigitan serangga, pemakaian
anting.1,2,3,4,5,6
PATOFISIOLOGI
Keloid dapat dijelaskan sebagai suatu variasi dari penyembuhan luka. Pada suatu
luka, proses anabolik dan katabolik mencapai keseimbangan selama kurang lebih
6-8 minggu setelah suatu trauma. Pada stadium ini, kekuatan luka kurang lebih
30-40% dibandingkan kulit sehat. Seiring dengan maturnya jaringan parut (skar),
kekuatan meregang dari skar juga bertambah sebagai akibat pertautan yang
progresif dari serat kolagen. Pada saat itu, skar akan nampak hiperemis dan
mungkin menebal, tepi penebalan ini akan berkurang secara bertahap selama
beberapa bulan sampai menjadi datar, putih, lemas, dapat diregangkan sebagai
suatu skar yang matur. Jika terjadi ketidakseimbangan antara fase anabolik dan
katabolik dari proses penyembuhan, lebih banyak kolagen yang diproduksi dari
57
yang dikeluarkan, dan skar bertumbuh dari segala arah. Skar sampai diatas
permukaan kulit dan menjadi hiperemis.5
Skar yang meluas ini akan timbul sebagai keloid dengan dipengaruhi oleh
beberapa faktor antara lain : semua rangsang fibroplasia yang berkelanjutan
(infeksi kronik, benda asing dalam luka, tidak ada regangan setempat waktu
penyembuhan, regangan berlebihan pada pertautan luka), usia pertumbuhan,
bakat, ras dan lokasi.3
DIAGNOSIS
VII. PENATALAKSANAAN
• Konservatif
Keloid ditangani secara konservatif dengan penyuntikan sediaan kortikosteroid
intrakeloid yang diulang 2-3 minggu sekali sampai efek yang diinginkan tercapai.
Penyuntikan ini biasanya dapat memperkecil keloid dan mengurangi iritasi.3,4,6
Pengobatan baru untuk keloid juga termasuk penyuntikan interferon, verapamil,
bleomisin, asam retinoid, toksin botolinum intrakeloid.
• Pembedahan
1. Krioterapi
Digunakan nitroge liquid yang mempengaruhi mikrovaskularisasi dan
menyebabkan kerusakan sel melalui kristal intrasel yang mengakibatkan anoksia
sel. Penggunaan krioterapi tanpa modalitas tanpa modalitas terapi yang lain
menghasilkan resolusi tanpa rekurensi pada 51-74% pasien setelah 30 bulan
observasi.1,3,4,5,6
2. Eksisi
Rekurensi dapat terjadi sekitar 45-100% pada pasien dengan terapi eksisi tanpa
modalitas terapi lain seperti radioterapi atau injeksi kortikosteroid post eksisi.1
3. Terapi laser
Dapat digunakan laser karbon dioksida, laser argon atau YAG laser. Dengan laser
59
karbon dioksida, lesi dapat terpotong dan terbakar dengan trauma jaringan yang
minimal.1
KOMPLIKASI
• Trauma pada keloid dapat menyebabkan erosi lesi dan menjadi sarang infeksi
bakteri.
• Rekurensi
• Stress psikologik jika keloid sangat luas dan menimbulkan cacat.1,5
PROGNOSIS
• Keloid secara medis biasanya tidak berbahaya, tetapi sangat berpengaruh pada
penampilan (koIsmetik).
• Keloid jarang sembuh secara spontan, tetapi dengan pengobatan keloid dapat
menjadi lebih kecil dan lembut, tanpa nyeri dan gatal.
• Pada beberapa kasus, keloid dapat mengecil secara spontan seiring waktu.
• Terapi keloid dengan eksisi tanpa terapi yang lain dapat menimbulkan rekurensi
60
sering dari pada pria. Penyakit ini sering kali bherawal pada akhir masa remaja
atau awal masa dewasa. Di amerika ga Serikat penyakit ini menyerang wanita
berkulit hitam tiga kali lebih sering dar pada wanita berkulit putih jika penyakit ini
bermuncul pada uia diatas 60 tahun, biasanya akan lebih mudh untuk diatasi.
Etiologi
C. Epidemiologi
62
D. Klasifikasi
Ada 3 jenis penyakit Lupus yang dikenal yaitu:
1. Discoid Lupus, yang juga dikenal sebagai Cutaneus Lupus, yaitu penyakit Lupus
yang menyerang kulit.
2. Systemics Lupus, penyakit Lupus yang menyerang kebanyakan system di dalam
tubuh, seperti kulit, sendi, darah, paru-paru, ginjal, hati, otak, dan system saraf.
Selanjutnya kita singkat dengan SLE (Systemics Lupus Erythematosus).
3. Drug-Induced, penyakit Lupus yang timbul setelah penggunaan obat tertentu.
Gejala-gejalanya biasanya menghilang setelah pemakaian obat dihentikan.
E. Patofisiologi
F. Manifestasi Klinis
Jumlah dan jenis antibodi pada lupus, lebih besar dibandingkan dengan
pada penyakit lain, dan antibodi ini (bersama dengan faktor lainnyayang tidak
diketahui) menentukan gejala mana yang akan berkembang. Karena itu, gejala dan
beratnya penyakit, bervariasi pada setiap penderita. Perjalanan penyakit ini
bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang berat.
Gejala pada setiap penderita berlainan, serta ditandai oleh masa bebas
gejala (remisi) dan masa kekambuhan (eksaserbasi). Pada awal penyakit, lupus
hanya menyerang satu organ, tetapi di kemudian hari akan melibatkan organ
lainnya.
1. Sistem Muskuloskeletal
a. Artralgia
b. artritis (sinovitis)
c. pembengkakan sendi,
d. nyeri tekan dan rasa nyeri ketika bergerak, dan rasa kaku pada pagi hari.
2. Sistem Integument (Kulit)
a. Lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang
pangkal hidung serta pipi
b. Ulkus oral dapat mengenai mukosa pipi atau palatum durum.
3. Sistem kardiak
a. Perikarditis merupakan manifestasi kardiak.
65
4. Sistem pernafasan
a. Pleuritis atau efusi pleura.
5. Sistem vaskuler
a. Inflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,
b. eritematous dan purpura di ujung jari kaki, tangan, siku serta permukaan
ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan berlanjut nekrosis.
6. Sistem perkemihan
a. Glomerulus renal yang biasanya terkena.
7. Sistem saraf
a. Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk
penyakit neurologik, sering terjadi depresi dan psikosis.
G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan lupus tidak mudah. Penyakit ini memiliki banyak
manifestasi dan setiap orang memiliki pola tersendiri yang berubah dari waktu ke
waktu, yang terkadang berlangsung cepat. Secara umum, pasien dengan lupus
berat, misalnya lupus ginjal atau sistem saraf pusat (SSP), dan mereka yang
menderita lebih dari satu jenis penyakit autoantibodi cenderung memiliki gejala
yang serius dan menetap. Pasien yang memiliki gejala ringan dapat terus
mengalami gejala ringan atau berkembangmenjadi lebih serius. Sehingga penting
untuk memperhatikan semua gejala baru yang timbul sebagai manifestasi dari
penyakit tersebut karena penatalaksanaan lupus sangat berkaitan dengan gejala
klinis dan organ tubuh yang terkena.
1. Penilaian Aktivitas Penyakit
Penilaian klinis aktivitas penyakit sama pentingnya dengan hasil tes
laboratorium. Kelelahan, demam atau perubahan emosi dapat menjadi indikasi
aktifnya lupus, seperti juga munculnya ruam atau nyeri sendi. Pemantauan
aktifitas penyakit sangat diperlukan untuk menentukan agresifitas penatalaksanaan
lupus dan dosis obat yang dibutuhkan. Hal ini dapat dimonitor dari banyaknya
organ tubuh pasien yang terkena dan tes laboratorium yang sesuai untuk
memantau aktifitas penyakit misalnya pemeriksaan tes fungsi ginjal,atau fungsi
66
paru, jumlah sel darah putih (leukosit), sel darah merah (hemoglobin) atau bahkan
laju endap darah (LED).
Berbagai indeks penilaian derajat penyakit telah dikembangkan dan
digunakan oleh para spesialis, namun aktivitas penyakit yang terus berubah dan
kerusakan jaringan yang terjadi menyulitkan untuk membedakan pengaruh dari
peradangan aktif atau akibat kerusakan yang terbentuk. Sehingga pada
prakteknya, lupus dibagi menjadi 3 tingkatan yaitu ringan, sedang, dan berat,
sesuai dengan berat ringannya gejala yang muncul.
2. Lupus Ringan
Manifestasi yang umum adalah nyeri sendi, ruam, sensitif terhadap cahaya
matahari, sariawan di mulut, Raynaud’s syndrome (perubahan warna pada ujung
jari akibat suhu dingin), rambut rontok, dan kelelahan. Seringkali gejala tersebut
cukup dikontrol oleh analgesik dan mengurangi paparan sinar matahari dengan
menggunakan tabir surya. Hidroksikloroquin umumnya digunakan dalam gejala
ini.
Kelelahan merupakan gejala lain dari tingkatan ini yang terkadang menjadi
alasan digunakannya steroid dosis rendah, walaupun hasilnya kadang tidak
maksimal. Nyeri sendi atau ruam kulit dapat juga menggunakan dosis tersebut.
Dosis steroid yang tinggi harus dihindari jika resiko efek samping yang timbul
cenderung lebih besar dari manfaatnya. Hal ini penting untuk dipertimbangkan
dalam membuat keputusan pemberian steroid karena efek samping obat lebih
umum terjadi pada orang dengan lupus dibandingkan populasi lainnya. Pola hidup
sehat (makanan sehat dan olah raga ringan yang teratur) juga sangat dianjurkan.
3. Lupus Sedang
Tingkatan ini meliputi pleuritis (radang selaput paru), perikarditis (radang
selaput jantung), ruam berat dan manifestasi darah seperti trombositopenia atau
leukopenia. Dalam kasus ini, terapi steroid biasanya sudah dibutuhkan, namun
dengan penggunaan dosis yang cukup untuk mengendalikan penyakit dan
kemudian menguranginya menjadi dosis pemeliharaan serendah mungkin. Agak
sulit untuk menstandarisasi dosis, namun pada umumnya Pleuritis dapat dikontrol
67
dengan 20mg prednisolon per hari, kelainan darah membutuhkan dosis 40mg atau
lebih.
Hidroksikloroquin sudah memadai sebagai tambahan steroid, tapi kadang
obat imunosuppressan juga dibutuhkan seperti: Azathioprine, dan Methotrexate.
Siklosporin juga dapat digunakan khususnya dalam pengobatan trombositopenia,
tetapi karena kecendrungan menyebabkan hipertensi dan merusak fungsi ginjal
harus digunakan secara hati-hati. Obat- obat immunosupresan ini membutuhkan
waktu 1-3 bulan sampai efeknya muncul,sehingga dalam periode tersebut steroid
masih dibutuhkan dalam dosis yang cukup untuk mengontrol penyakit. Jika pasien
sudah dapat distabilkan dengan obat imunosupresan, dosis steroid harus segera
diturunkan ke dosis terendah untuk pengendalian penyakit.
4. Lupus Berat
Ginjal, SSP, dan manifestasi kulit berat atau kelainan darah berat
termasuk ke dalam tingkatan ini. Steroid sangat dibutuhkan dalam tahap ini
dengan tambahan obat immunosupresan. Prednisolon atau metilprednisolon
intravena mungkin dibutuhkan untuk mengendalikan penyakit ini. Azathioprin,
methotrexate, atau mychophenolate dapat digunakan sebagai imunosupresif dan
dapat mengurangi dosis steroid yang diperlukan. Pengobatan dapat dibagi menjadi
2 fase yaitu: induksi awal dimana penyakit aktif dikendalikan, dan fase
pemeliharaan agar penyakit tetap terkontrol.
Pengobatan tambahan yang digunakan untuk lupus berat meliputi
immunoglobulin intravena, plasma exchange, dan antibodi monoclonal (agen
biologi). mengalami penurunaan penggunaannya dibandingkan waktu yang lalu
tapi banyak yang masih percaya bahwa pengobatan tersebut sangat membantu
pada lupus akut, penyakit berat, dan sebagian lupus yang mengenai otak. Antibodi
monoklonal, terutama rituximab sangat menjanjikan dan cenderung memainkan
bagian penting dalam pengelolaan penyakit sedang dan berat.
H. Aspek Etik
6. Justice (keadilan)
kewajiban untuk berlaku adil kepada semua orang
Perkataan adil sendiri berarti tidakmemihak atau tidak berat sebelah
7. Fidelity (loyalty/ketaatan)
Kewajiban untuk setia terhadap kesepakatan dan bertanggungjawab terhadap
kesepakatan yang telah diambil
Era modern , pelayanan kesehatan : Upaya Tim (tanggungjawab tidak hanya pada
satuprofesi), 80% kebutuhan pt dipenuhi perawat
Masing-masing profesi memiliki aturan tersendiri yang berlaku
Memiliki keterbatasan peran dan berpraktik dengan menurut aturan yang disepakati
69
X. VITILIGO
PENDAHULUAN
Warna kulit manusia ditentukan oleh berbagai pigmen. Yang berperan pada
penentuan warna kulit adalah karoten, melanin, oksihemoglobin dan hemoglobin
bentuk reduksi, yang paling berperan adalah pigmen melanin. Melanosis adalah
kelainan pada proses pembentukan pigmen melanin kulit dapat berupa
hipermelanosis (melanoderma) bila produksi pigmen bertambah dan
hipomelanosis (lekoderma) bila produksi pigmen berkurang.
Sejak jaman dahulu telah dikenal beberapa istilah untuk vitiligo antara lain
shwetakustha, suitra, behak dan beras. Vitiligo adalah suatu kelainan didapat yang
sering dijumpai dalam praktek sehari – hari.
DEFINISI
EPIDEMIOLOGI
Insidens yang dilaporkan bervariasi antara 0,1 sampai dengan 8,8% penduduk
dunia tanpa membedakan ras dan jenis kelamin. Mengenai semua umur, paling
banyak umur 20 – 40 tahun. Frekuensi pada kedua jenis kelamin sma, hanya sja
penelitian epidemiologik menunjukan bahwa penderita yang datang berobat lebih
banyak wanita daripada pria. Terdapat juga pengaruh faktor genetik, dimana pada
penderita vitiligo, 5% akan mempunyai anak dengan vitiligo juga.
71
ETIOLOGI
Penyebab vitiligo masih belum diketahui dengan jelas, namun ada beberapa teori
yang berusaha menerangkan patogenesisnya :
1. Teori Neurogenik
Teori ini berdasarkan atas beberapa pengamatan. Menurut teori ini suatu mediator
neurokemik dilepaskan dan senyawa tersebut dapat menghambat melanogenesis
serta dapat menyebabkan efek toksik pada melanosit.
2. Teori Autoimun
4. Teori Autositotoksik
Sel melanosit membentuk melanin melalui oksidasi tirosin ke DOPA dan DOPA
ke dopakinon. Dopakinon akan dioksidasi menjadi berbagai indol dan radikal
bebas.
GEJALA KLINIS
Gejala subyektif tidak ada, tetapi dapat timbul rasa panas pada lesi. Gejala atau
gambaran klinis vitiligo dimulai dengan bintik – bintik atau makula putih yang
makin lama makin lebar hingga mencapai ukuran lentikular atau plakat dengan
batas tegas tanpa perubahan epidermis yang lain. Biasanya tidak gatal atau nyeri.
Didalam makula vitiligo dapat ditemukan makula dengan pigmentasi normal atau
hiperpigmentasi disebut repigmentasi perifolikular. Kadang – kadang ditemukan
tepi lesi yang meninggi, eritema dan gatal disebut inflamatoar.
KLASIFIKASI
Vitiligo mempunyai beberapa pola distribusi yang khas. Ada 2 bentuk vitiligo :
1. Lokalisata
72
a. Vitiligo Fokal (Localized) : satu atau lebih makula pada satu area, tetapi tidak
segmental.
2. Generalisata
Pada area yang terkena trauma dapat timbul vitiligo. Daerah yang sering terkena
adalah :
Ø Siku
Ø Lutut
Ø Pergelangan kaki
Ø Genitalia
Ø Kelopak mata
Ø Regio perioral
DIAGNOSIS
73
§ Anamnesa
a. Awitan penyakit
b. Riwayat keluarga tentang timbulnya lesi dan uban yang timbul dini.
c. Riwayat penyakit kelainan tiroid, alopesia areata, diabetes mellitus, dan anemia
pernisiosa.
§ Pemeriksaan Fisik
§ Tes Diagnostik
§ Tes Laboratorium
§ Pemeriksaan Histopatologi
DIAGNOSIS BANDING
Sebagai diagnosis banding ialah
74
1. Piebaldisme
PENGOBATAN
Umum
3. Pada lesi, oleh karena mudah terbakar sinar matahari, dianjurkan memakai tabir
surya.
Khusus
Tidak ada terapi yang memuaskan, bila perlu dianjurkan untuk penggunaan
kamufalse agar kelainan tersebut tertutup dengan cover mask.
Psoralen (PUVA)
Bahan aktif yang sering digunakan adalah trimetoksi psoralen (TPM) dan 8
metoksi psoralen yang bersifat photosensitizer.
Cara pemberian : Obat psoralen 20-30 mg (0,6 mg/kgBB) dimakan 2 jam sebelum
penyinaran, selama 6 bulan sampai setahun. Obat psoralen topikal dioleskan lima
menit sebelum penyinaran, tetapi sering menimbulkan dermatitis kontak iritan .
Obat psoralen topikal dioleskan lima menit sebelum penyinaran, tetapi sering
menimbulkan dermatitis kontak iritan .
Helioterapi
Prosedur pelaksanaan :
– Pengobatan diberikan 2-3 kali setiap minggu tidak boleh dua hari berturut –
turut
Kortikosteroid
a. Krim kortikosteroid (KST) dioleskan pada lesi sekali sehari selama 3-4 bulan.
Depigmentasi
Jika lesi vitiligo sangat luas, jauh lebih luas dari kulit normalnya (lebih dari 50%)
ada yang menganjurkan untuk memberikan monobenzil hidrokuinon 20% dua kali
sehari pada kulit normal sehingga terjadi bleaching dan diharapkan warna kulit
menjadi sama.
76
Tindakan Bedah
Tindakan bedah yang dapat dilakukan adalah autologous skin graft yakni
memindahkan kulit yang normal (2-4 mm) ke ruam vitiligo. Efek samping yang
mungkin timbul antara lain parut, repigmentasi yang tidak teratur, Koebnerisasi
dan infeksi
Sinar ultraviolet B gelombang pendek adalah teknologi yang relative baru dalam
pengobatan vitiligo. Dahulu kebanyakan dokter menggunakan sistem PUVA
namun efek samping tidak dapat dihindarkan. Panel dan kabinet sinar UVB
gelombang pendek memecahkan masalah paparan berlebihan sinar UV dengan
memaksimalkan pengiriman radiasi UVB gelombang pendek (dalam kisaran 311
sampai 312 nanometer).
UVB gelombang pendek hanya memancarkan sinar 311 sampai 312 nanometer.
Studi klinis menunjukkan panjang gelombang yang paling efektif bersifat
therapeuik adalah 295 sampai 313 nanometer, namun panjang gelombang
dibawah 300 nm dapat menyebabkan eritema atau luka bakar parah dan
meningkatkan resiko kanker kulit.
PROGNOSIS