Anda di halaman 1dari 48

REFERAT PAPER

ANASTESI UMUM ( GENERAL ANESTHESIA)

Disusun Oleh :

Hudli Bambang Aruman `18360084

Pembimbing :

dr. Aldreyn Asman Aboet , Sp.An

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR SMF ANASTESI


RUMAH SAKIT UMUM HAJI MEDAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
MEDAN
2019
BAB I

PENDAHULUAN

Anestesi umum (general anesthesia) adalah suatu keadaan yang didapatkan


ketika agen obat-obatan anestetik mencapai konsentrasi tertentu untuk
memberikan efeknya secara reversibel pada sistem saraf pusat, dimana keadaan
tidak sadar (unconsciousness), amnesia, analgesik, immobilisasi, dan melemahnya
respon autonom pada stimulasi berbahaya telah dicapai. (Crowder, 2014)
Obat-obatan dan alat pemantau perubahan fisiologis tubuh mengalami suatu
kemajuan yang semakin baik untuk menurunkan risiko kematian akibat tindakan
anestesi dalam suatu prosedur bedah menjadi kurang dari 1:100000 kejadian.
Komplikasi minim yang seringkali timbul pada pasien sehat sebelumnya sebagai
gejala pada 24 jam pertama pasca operasi yaitu, keluhan muntah sebanyak 10-
20%, mual 10-40%, sakit tenggorokan 25%, dan nyeri pada lokasi operasi 30%.
(Jenkins, 2003)
Tujuan anestesi dilakukan secara umum adalah untuk menciptakan
ketidaksadaran yang aman dan reversibel, mengoptimalisasi respon fisiologis, dan
menciptakan keadaan operasi yang kondusif. Anestesi umum memiliki tiga
komponen penting, yaitu hilangnya kesadaran, analgesik, dan relaksasi otot.
(Gardens, 2012)

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Anestesi umum (general anesthesia) merupakan keadaan yang didapatkan
ketika agen obat-obatan anestetik mencapai konsentrasi tertentu untuk
memberikan efeknya secara reversibel pada sistem saraf pusat, dimana keadaan
tidak sadar (unconsciousness), amnesia, analgesik, immobilisasi, dan melemahnya
respon autonom pada stimulasi berbahaya telah dicapai (Crowder, 2014).
Komponen anestesia yang ideal terdiri: (1) sedasi, (2) analgesia, (3) relaksasi otot
(Joenoerham dan Latief, 2004).

2.2. STADIUM ANESTESI


Gambaran klasik tentang tanda dan tingkat anestesi (tanda Guedel) berasal
dari pengamatan atas efek pembiusan dengan eter yang berlangsung lambat,
walaupun tak lagi banyak digunakan karena anestesi modern cenderung
memperlihatkan masa induksi yang singkat.
Semua zat anestetik menghambat SSP secara beratahap, yang mula-mula
dihambat adalah fungsi yang kompleks, dan yang paling akhir dihambat ialah
medulla oblongata tempat pusat vasomotor dan pernafasan. Adapun pembagian
stadium anestesi menurut Guedel dapat dibagi menjadi (As’at, 2004, dalam
Muhiman, dkk., 2004):
2.2.1. Stadium I
Stadium I (Analgesia/Disorientasi) dimulai dari saat pemberian zat
anestetik sampai hilangnya kesadaran.Pada stadium ini pasien masih dapat
mengikuti perintah dan terdapat analgesi.Tindakan pembedahan ringan,
seperti pencabutan gigi dan biopsi kelenjar, dapat dilakukan pada stadium
ini.Stadium ini berakhir ditandai oleh hilangnya refleks bulu mata.
2.2.2. Stadium II

Stadium II (Eksitasi/Delirium)dimulai dari akhir stadium I dan


ditandai dengan pernapasan yang irreguler, pupil melebar dengan reflekss
cahaya (+), pergerakan bola mata tidak teratur, lakrimasi (+), tonus otot

2
meninggi dan diakhiri dengan hilangnya refleks menelan dan kelopak
mata.
2.2.3. Stadium III
Stadium III yaitu stadium sejak mulai teraturnya lagi pernapasan
hingga hilangnya pernapasan spontan. Stadium ini ditandai oleh hilangnya
pernapasan spontan, hilangnya reflekss kelopak mata dan dapat
digerakkannya kepala ke kiri dan kekanan dengan mudah. Stadium ini
dibagi menjadi 4 tingkat, yaitu :
a. Tingkat I : Dari napas teratur sampai berhentinya gerakan bola mata.
Ditandai dengan napas teratur, napas torakal sama dengan abdominal.
Gerakan bola mata berhenti, pupil mengecil, refleks cahaya (+),
lakrimasi meningkat, refleks faring dan muntah menghilang, tonus
otot menurun.
b. Tingkat II : Dari berhentinya gerakan bola mata sampai permulaan
paralisis otot interkostal. Ditandai dengan pernapasan teratur, volume
tidak menurun dan frekuensi napas meningkat, mulai terjadi depresi
napas torakal, bola mata berhenti, pupil mulai melebar dan refleks
cahaya menurun, refleks kornea menghilang dan tonus otot makin
menurun.
c. Tingkat III : Dari permulaan paralisis otot interkostal sampai paralisis
seluruh otot interkostal. Ditandai dengan pernapasan abdominal lebih
dorninan dari torakal, pupil makin melebar dan refleks cahaya
menghilang, lakrimasi negafif, refleks laring dan peritoneal
menghilang, tonus otot makin menurun.
d. Tingkat IV : Dari paralisis semua otot interkostal sampai paralisis
diafragma. Ditandai dengan paralisis otot interkostal, pernapasan
lambat, iregular dan tidak adekuat, terjadi jerky karena terjadi paralisis
diafragma. Tonus otot makin menurun sehingga terjadi flaccid, pupil
melebar, refleks cahaya negatif, refleks spincter ani negatif.
2.2.4. Stadium IV
Ditandai dengan kegagalan pernapasan (apnea) yang kemudian akan
segera diikuti kegagalan sirkulasi/ henti jantung dan akhirnya pasien

3
meninggal. Pasien sebaiknya tidak mencapai stadium ini karena itu berarti
terjadi kedalaman anestesi yang berlebihan.

Gambar Tingkatan Stadium Anestesi Umum

2.3. INDIKASI, KONTRAINDIKASI DAN TUJUAN ANESTESI UMUM

Indikasi anestesi umum diantaranya:


a) Operasi di sekitar kepala, leher, intra-torakal atau intra-abdomen
b) Pada bayi atau anak-anak
c) Pasien gelisah, tidak kooperatif atau disorientasi gangguan jiwa
d) Pembedahan lama
e) Pembedahannya luas atau ekstensif
f) Memiliki riwayat alergi terhadap anestesi lokal
g) Pasien yang memilih anestesi umum (ASA, 2009)

Kontraindikasi relative anestesi umum dilakukannya anestesi umum


yaitu gangguan kardivaskular yang berat, hipertensi berat atau tak terkontrol
(diastolik >110 mmHg), diabetes tak terkontrol, infeksi akut, sepsis (Latief
et al., 2010).

4
Kombinasi agen anestestik yang digunakan pada anestesi umum
memiliki beberapa tujuan, diantaranya:
a) Analgesia (respon terhadap nyeri hilang)
b) Amnesia (kehilangan memori atau tidak mengingat apa yang terjadi)
c) Immobilitas (hilangnya refleks motorik)
d) Kehilangan kesadaran
e) Relaksasi otot skeletal

2.4. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN ANESTESI UMUM

Kelebihan:
a. Mengurangi kesadaran dan ingatan pasien selama operasi
b. Memungkinkan relaksasi otot untuk jangka waktu yang lama
c. Dapat mempertahankan jalan napas, pernapasan dan sirkulasi yang
adekuat
d. Dapat digunakan pada pasien yang sensitive terhadap agen anestetik
lokal
e. Dapat dilakukan tanpa merubah posisi pasien dari posisi supine
f. Dapat dengan mudah disesuaikan pada durasi yang tidak terduga atau
lebih lama
g. Dapat diberikan dengan cepat dan bersifat reversible

Kerugian:
a. Membutuhkan perawatan yang lebih rumit dan biaya yang lebih besar
b. Membutuhkan beberapa persiapan preoperative
c. Dapat menginduksi fluktuasi fisiologi yang membutuhkan intervensi
aktif
d. Berhubungan dengan komplikasi seperti mual, muntah, sakit
tenggorokan, sakit kepala, menggigil dan lamanya perbaikan
psikomotorik (Healy dan Kninght, 2003; Sebel et al., 2004)

5
2.5. FAKTOR YANG MEMPENGARUHI ANESTESI UMUM
2.5.1. Faktor Respirasi

Sesudah obat anestesi inhalasi sampai di alveoli, maka akan


mencapai tekanan parsiel tertentu, makin tinggi konsentrasi zat yang
dihirup tekanan parsielnya makin tinggi. Perbedaan tekanan parsiel zat
anestesi dalam alveoli dan di dalam darah menyebabkan terjadinya difusi.
Bila tekanan di dalam alveoli lebih tinggi maka difusi terjadi dari alveoli
ke dalam sirkulasi dan sebaliknya difusi terjadi dari sirkulasi ke dalam
alveoli bila tekanan parsiel di dalam alveoli lebih rendah (keadaan ini
terjadi bila pemberian obat anestesi dihentikan).Makin tinggi perbedaan
tekanan parsiel makin cepat terjadinya difusi. Proses difusi akan terganggu
bila terdapat penghalang antara alveoli dan sirkulasi darah misalnya pada
udem paru dan fibrosis paru. Pada keadaan ventilasi alveoler meningkat
atau keadaan ventilasi yang menurun misalnya pada depresi respirasi atau
obstruksi respirasi.

2.5.2. Faktor Sirkulasi

Aliran darah paru menentukan pengangkutan gas anestesi dari paru


ke jaringan dan sebaliknya. Pada gangguan pembuluh darah paru makin
sedikit obat yang dapat diangkut demikian juga pada keadaan cardiac
output yang menurun.
Blood gas partition coefisien adalah rasio konsentrasi zat anestesi
dalam darah dan dalam gas bila keduanya dalam keadaan keseimbangan.
Bila kelarutan zat anestesi dalam darah tinggi/BG koefisien tinggi maka
obat yang berdifusi cepat larut di dalam darah, sebaliknya obat dengan BG
koefisien rendah, maka cepat terjadi keseimbangan antara alveoli dan
sirkulasi darah, akibatnya penderita mudah tertidur waktu induksi dan
mudah bangun waktu anestesi diakhiri.

6
2.5.3. Faktor Jaringan
1. Perbedaan tekanan parsial obat anestesika antara darah arteri dan
jaringan.
2. Koefisien partisi jaringan/darah: kira-kira 1,0 untuk sebagian besar zat
anestesika, kecuali halotan.
3. Aliran darah terdapat dalam 4 kelompok jaringan:
a) Jaringan kaya pembuluh darah (JKPD): otak, jantung, hepar, ginjal.
Organ-organ ini menerima 70-75% curah jantung hingga tekanan
parsial zat anestesika ini meninggi dengan cepat dalam organ-
organ ini. Otak menerima 14% curah jantung.
b) Kelompok intermediate : otot skelet dan kulit.
c) Lemak : jaringan lemak
d) Jaringan sedikit pembuluh darah (JSPD) : relative tidak ada aliran
darah: ligament dan tendon.

2.5.4. Faktor Zat Anestesi


Tiap-tiap zat anestesi mempunyai potensi yang berbeda. Untuk
mengukur potensi obat anestesi inhalasi dikenal adanya MAC (minimal
alveolar concentration). Menurut Merkel dan Eger (1963), MAC adalah
konsentrasi obat anestesi inhalasi minimal pada tekanan udara 1 atm yang
dapat mencegah gerakan otot skelet sebagai respon rangsang sakit supra
maksimal pada 50% pasien. Makin rendah MAC makin tinggi potensi obat
anestesi tersebut.

2.6. METODE PEMBERIAN ANESTESI UMUM

Pemberian/induksi anestesi adalah tindakan untuk membuat pasien dari


sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi dan
pembedahan. Induksi anestesi dapat dikerjakan secara intravena, inhalasi,
intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesi langsung
dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesi sampai tindakan pembedahan
selesai. Sebelumj memulai induksi anestesi disiapkan peralatan dan obat-

7
obatan yang diperlukan, sehingga jika terjadi keadaan gawat darurat dapat
diatasi lebih cepat dan lebih baik (Latief et al., 2009).

2.6.1. Induksi intravena


Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi
jika sudah terpasang jalur vena pada pasien. Induksi intravena hendaknya
dikerjakan dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat
induksi bolus disuntikkan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama
induksi anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darahharus diawasi
dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang
kooperatif.
Thiopental (tiopenton, pentotal) diberikan secara intravena dengan
kepekatan 2,5% dan dosis antara 3-7 mg/kgBB. Keluar vena menyebabkan
nyeri. Pada anak dan manula digunakan dosis rendah dan dewasa muda
sehat dosis tinggi.
Propofol (recofol, diprivan) intravena dengan kepekatan 1%
menggunakan dosis 2-3 mg/kgBB. Suntikan propofol intravena sering
menyebabkan nyeri, sehingga satu menit sebelumnya sering digunakan
lidokain 1 mg/kgBB secara intravena.
Ketamin (ketalar) intravena dengan dosis 1-2 mg/kgBB. Pasca
anestesi ketamin sering menimbulkan halusinsasi, karena itu sebelumnya
dianjurkan menggunakan sedative seperti midazolam (dormikum).
Ketamin tidak dianjurkan pada pasien dengan tekanan darah >160 mmHg.
Ketamin menyebabkan pasien tidak sadar tetapi mata tetap terbuka.

2.6.2. Induksi intramuskular


Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan
secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit
pasien tidur.

2.6.3. Induksi inhalasi


Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau
sevofluran. Cara induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum
terpasang jalur vena atau pada dewasa yang takut disuntik.

8
Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O
dan O2. Induksi dimulai dengan aliran O2 >4 liter/menit atau campuran
N2O:O2=3:1 aliran >4 liter/menit, dimulai dengan halotan 0,5 vol% sampai
konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien batuk, konsentrasi halotan
diturunkan untuk kemudian jika sudah tenang dinaikkan lagi sampai
konsentrasi yang diperlukan.
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang
batuk, walaupun langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8
vol%. Seperti dengan halotan konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.
Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran) atau
desfluran jarang dilakukan, karena pasien sering menjadi batuk dan waktu
induksi yang lama.

2.6.4. Induksi per rektal


Cara ini hanya untuk anak atau bayi, menggunakan thiopental atau
midazolam.

2.6.5. Induksi mencuri


Induksi mencuri (steal induction) dilakukan pada anak atau bayi
yang sedang tidur. Untuk yang sudah ada jalur vena tidak masalah, tetapi
pada yang belum terpasang jalur vena, harus dikerjakan dengan hati-hati
suapaya pasien tidak terbangun. Induksi mencuri inhalasi seperti induksi
inhalasi biasa hanya sungkup muka tidak ditempelkan pada muka pasien,
tetapi kita berikan jarak beberapa sentimeter sampai pasien tertisur baru
sungkup muka ditempelkan.

2.7. OBAT – OBAT ANESTESI UMUM

2.7.1. Premedikasi

Premedikasi merupakan tindakan pemberian obat-obatan


pendahuluan dalam rangka pelaksanaan anestesia dengan tujuan sebagai
berikut (Joenoerham, 2004):

9
i. Menimbulkan suasana nyaman bagi pasien, yaitu menghilangkan
rasa cemas, member ketenangan, membuat amnesia, mencegal mual
ataupun muntah serta bebas dari nyeri.
ii. Mengurangi dosis dari anestesia
iii. Memudahkan dan memperlancar induksi
iv. Menekan dan mengurangi sekresi kelenjar
v. Menekan reflek-refleks yang tidak dinginkan
Pada umumnya premedikasi tidak diberikan terkecuali pasien terlalu
gelisah ataupun sulit dikendalikan. Premedikasi akan memerpanjang masa
pulih. Obat premedikasi yang umumnya diberikan adalah Sulfas Atropin,
terutama bila memakai eter atau ketamin yang menambah produksi sekresi
jalan napas. Narkotika tidak diberikan karena memperpanjang masa pulih
dan menyebabkan mual atau muntah pasca bedah (Said,2001)
Obat-obatan yang biasanya digunakan untuk premedikasi adalah :
a. Antimuskarinik
Hipersekresi kelenjar ludah dan bronkus yang ditimbulkan oleh
anestesi inhalasi dapat mengganggu pernapasan selama anestesia. Atropine
0,4-0,6 mg IM dapat mencegah hipersekresi ini 10-15 menit setelah
penyuntikan. Efek ini berlangsung selama ± 90 menit. Dosis obat ini
tidaklah cukup untuk mencegah perubahan kardiovaskular akibat
rangsangan parasimpatis, berupa hipotensi dan bradikardia, yang
disebabkan oleh manipulasi sinus karotikus atau pemberian berulang
suksinilkolin IV. Untuk keadaan ini diperlukan dosis IV 1,5-2 mg pada
dewasa dan 0,02 mg/kgBB pada anak (Zunilda dan Elysabeth, 2011;
Mahadevan dan Shannon, 2005).
b. Obat golongan analgetik narkotik
Morfin dapat digunakan untuk mengurangi cemas dan ketegangan
pasien, mengurangi nyeri. Teknik anestesi berimbang dapat membuat
dampak buruk morfin yaitu memperpanjang waktu pemulihan dan depresi
kardiovaskular, dapat diatasi, dan mual, muntah serta nyeri paska bedah
dapat dikurangi. Morfin 8-10 mg yang diberikan IM biasanya sudah cukup
untuk tujuan tersebut, sedangkan dosis 0,01-0,2 mg/kg IV sudah cukup

10
untuk menimbulkan analgesia. Dalam dosis berimbang dengan N2O
diperlukan morfin sampai 3 mg/kgBB, sedangkan apabila digunakan
anestetik inhalasi lainnya dianjurkan dosis tidak lebih dari 1-2 mg/kgBB.
Opioid lain yang biasa digunakan sebagai premedikasi, sesuai
dengan urutan kekuatannya adalah sulfentanil (1000 kali), remifentanil
(300 kali), fentanil (100 kali), alfentanil (15 kali), morfin (1 kali) dan
meperidin (0,1 kali). Pemilihan penggunaan analgesik opioid didasarkan
pada lama kerja karena semuanya dapat memberikan efek analgesia dan
efek samping sama. Berdasarkan lama kerjanya, analgesik opioid
dibedakan atas opioid dengan lama kerja singkat misalnya remifentanil (10
menit), dan opioid lama kerja sedang misalnya sulfentanil (15 menit),
alfentanil (20 menit) dan fentanil (30 menit). Dosis fentanil pada dewasa
3-6 mcg/kgBB atau 1-3 mcg/kgBB pada anak (Zunilda dan Elysabeth,
2011; Mahadevan dan Shannon, 2005).
c. Barbiturat
Barbiturat (Pentobarbital dan Sekobarbital) biasanya diberikan untuk
sedasi dam untuk mengurangi kekhawatiran sebelum operasi. Obat ini
dapat diberikan secara oral atau IM. Dosis dewasa 100-150 mg dan 1
mg/kgBB pada anak di atas 6 bulan. Keuntungan dari pemakaian
barbiturate adalah masa pemulihan tidak diperpanjang dan efek
depresannya yang lemah terhadap pernapasan dan sirkulasi serta jarang
menyebabkan mual dan muntah (Zunilda dan Elysabeth, 2011).
d. Benzodiazepine
Golongan benzodiazepine yang lebih dianjurkan dibandingkan
opioid dan berbiturat. Pada dosis biasa, obat tersebut tidak menambah
depresi napas akibat opioid. Opioid menyebabkan tidur, amnesia
retrograde fam dapat mengurangi rasa cemas. Penggunaan benzodiazepine
untuk premedikasi berbeda dosis dengan induksi, diazepam oral 0,2-0,5
mg/kgBB, midazolam intramuscular 0,07-0,15 mg/kgBB serta lorazepam
oral 0,05 mg/kgBB (Zunilda dan Elysabeth, 2011; Butterworth et al.,
2013).

11
e. Neuroleptik
Kelompok obat neuroleptik digunakan untuk mengurangi mual dan
muntah akibat anestetik pada masa induksi maupun pemulihan, misalnya
droperidol yang biasa digunakan bersama fentanil. Kualitas sedasinya pun
lebih baik daripada kualitas sedasi yang ditimbulkan bila menggunakan
morfin saja. Golongan fenotiazin seperti klorpromazin atau prometazin
juga dapat mengurangi muntah, tetapi penggunaannya dibatasi oleh adanya
efek hipotensi intraoperatif dan takikardi (Zunilda dan Elysabeth, 2011).
2.7.2 Induksi
a. Induksi Anestesi
Induksi Anestesi merupakan tindakan untuk membuat pasien dari
sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan dimulainya anestesi
dan pembedahan. Induksi dapat dikerjakan baik secara intravena, inhalasi,
intramuscular atau rectal. Pasien kemudian tidur akibat induksi anestesia
langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia sampai tindakan
pembedahan selesai (Wirdjoatmodjo,2000).
Jenis-jenis Induksi antara lain (Wrobel,2010):
1. Induksi Intravena
Paling banyak dikerjakan dan digemari. Induksi intravena
dikerjakan dengan hati-hati, perlahan, lembut dan terkendali. Obat induksi
bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi
anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi dan
selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
Obat-obat induksi intravena:
1. Tiopental (pentotal, tiopenton) amp 500 mg atau 1000 mg
Sebelum tiopental digunakan dilarutkan dalam akuades steril
sampai kepekatan 2,5% (1ml=25mg). Tiopental hanya boleh digunakan
untuk intravena yaitu dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan
dihabiskan dalam 30-60 detik.
Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan
menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hipnosis, anestesi atau
depresi napas. Tiopental menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor,

12
tekanan intracranial dan diguda dapat melindungi otak akibat kekurangan
O2. Dosis rendah bersifat anti-analgesi(Mahadevan dan Shannon, 2005).
2. Propofol (diprivan, recofol)
Propofol dikemas ke dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu
yang bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1 ml = 10 mg). Suntikan
intravena seringkali menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik
sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. Dosis bolus
propofol untuk induksi adalah 2-2,5 mg/kg, sedangkan untuk dosis
rumatannya adalah anesthesia intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis
sedasi untuk perawatan intensif 0.2 mg/kg. pengenceran hanya
diperbolehkan menggunakan dekstrosa 5%. Propofol tidak dianjurkan
untuk anak < 3 tahun dan pada wanita hamil (Mahadevan dan Shannon,
2005).
3. Ketamin (ketalar)
Ketamin seringkali menimbulkan takikardia, hipertensi,
hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anesthesia bahkan dapat menimbulkan
mual-muntah, pandangan kabur serta mimpi buruk. Sebelum pemberian
sebaiknya diberikan sedasi midazolam (dormikum) atau diazepam
(valium) dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan untuk mengurangi salvias
diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg.Dosis ketamin untuk bolus adalah 1-2
mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg. Ketamin dikemas dalam cairan
bening kepekatan 1% (1 ml = 10 mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1 ml =
100 mg) (Mahadevan dan Shannon, 2005).
4. Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)
Opioid diberikan dosis tinggi. Obat ini tidak mengganggu
kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan
kelainan jantung. Anestesi opioid ini sendiri digunakan fentanil dosis 20-
50 mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit (Mahadevan dan
Shannon, 2005; Butterworth et al., 2013).
2. Induksi intramuscular

13
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan
secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit
pasien tidur (Zunilda dan ELysabeth, 2011; Aranake et al., 2013).
3. Induksi inhalasi
a) N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen
monoksida)berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak
terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai
O2 minimal 25%. Bersifat anastetik lemah, analgesinya kuat,
sehingga sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang
persalinan. Pada anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tapi
dikombinasi dengan salah satu cairanan astetik lain seperti halotan
(Butterworth et al., 2013).
b) Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan anestesinya
cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesi
semprot lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring.Kelebihan dosis
menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi
hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi
miokard, dan inhibisi reflex baroreseptor. Merupakan analgesi
lemah, anestesi kuat. Halotan menghambat pelepasan insulin
sehingga meninggikan kadar gula darah (Butterworth et al., 2013).
c) Enfluran (etran, aliran)
Efek depresi napas lebih kuat disbanding halotan dan enfluran lebih
iritatif dibanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat
disbanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek
relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibanding halotan
(Butterworth et al., 2013).
d) Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial. Peninggian
aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat dikurangi dengan
teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran banyak digunakan
untuk bedah otak.Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung

14
minimal, sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak
digunakan pada pasien dengan gangguan koroner (Zunilda dan
ELysabeth, 2011; Butterworth et al., 2013).
e) Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%), bersifat
simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi
napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas
sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi(Butterworth et al.,
2013).
f) Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran.
Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga
digemari untuk induksi anestesi inhalasi di samping halotan (Zunilda
dan Elysabeth, 2011).
4. Induksi perektal
Dapat dipakai pada anak untuk induksi anestesi atau tindakan
singkat. Obat induksi per rektal adalah tiopental atau midazolam.
Midazolam memiliki kontraindikasi dengan glaukoma sudut sempit
akut, miastenia gravis, syok atau koma, intoksikasi alkohol akut dengan
depresi tanda- tanda vital, bayi prematur. Efek samping dapat
menyebabkan kejadian- kejadian kardiorespirasi, fluktuasi pada tanda-
tanda vital (Zunilda dan Elysabeth, 2011).
5. Induksi mencuri
Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi inhalasi
biasa hanya sungkup muka tidak kita tempelkan pada muka pasien,
tetapi kita berikan jarak beberapa sentimeter, sampai pasien tertidur
baru sungkup muka kita tempelkan(Butterworth et al., 2013).
6. PelumpuhototnondepolarisasiTracurium 20 mg (Antracurium)
Berikatan dengan reseptor nikotinik - kolinergik, tetapi tidak
menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin
menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja(Butterworth et
al., 2013).

15
Dosis awal 0,5-0,6 mg/kgBB, dosis rumatan 0,1 mg/kgBB, durasi
selama 20-45 menit, kecepatan efek kerjanya -2 menit(Butterworth et
al., 2013).
Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot:
1) Cegukan (hiccup)
2) Dinding perut kaku
3) Ada tahanan pada inflasi paru
b. Rumatan
i. Rumatan anestesia (maintenance) dapat diberikan secara intravena
(anestesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan
campuran intravena dan inhalasi. Rumatan anestesia biasanya
mengacu pada trias anestesia yaitu tidur ringan (hipnosis) sekedar
tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah
tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.
ii. Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis
tinggi, fentanil 10-50 mikrogram/kgbb. Dosis tinggi opioid
menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga tinggal
memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga
menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan
infus propofol 4-12 mg/kgbb/jam. Bedah lama dengan anestesia total
intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot dan ventilator. Untuk
mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara O2 atau N2O
dan O2 (Latief et al., 2010).

2.8. TEKNIK ANESTESI UMUM

a. Teknik anestesi dengan sungkup/ nasal kanul (Latief et al. 2002)

Indikasi:
1. Untuk tindakan yang singkat (0,5 – 1 jam) tanpa membuka
rongga perut.
2. Keadaan umum pasien cukup baik (PSA ASA 1 atau 2).
3. Lambung harus kosong.

16
Urutan tindakan:
1. Periksa peralatan yang akan digunakan (seperti pada masa pra-
induksi).
2. Pasang infus dengan kanul intravena atau jarum kupu-kupu
3. Persiapan obat
4. Induksi, dapat dilakukan dengan propofol 2-2.5 mg/kgBB
5. Selesai induksi, sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata
hilang, sungkup muka ditempatkan pada muka. Sebaiknya dagu
ditahan atau sedikit ditarik ke belakang (posisi kepala ekstensi)
agar jalan napas bebas dan pernapasan lancar. Pengikat
sungkup muka ditempatkan di bawah kepala.
6. Kalau pernapasan masih tidak lancar dicoba mendorong kedua
pangkal rahang ke depan dengan jari manis dan tengah tangan
kiri kita. Kalau perlu dengan kedua tangan kita yaitu kedua ibu
jari dan telunjuk yang memegang sungkup muka dan dengan
jari-jari yang lain menarik rahang ke atas. Tangan kanan kita
bila bebas dapat memegang balon pernapasan dari alat anestesi
untuk membantu pernapasan pasien (menekan balon sedikit
bila pasien melakukan inspirasi).
7. N2O mulai diberikan 4 L dengan O2 2 L/menit untuk
memperdalam anestesi, bersamaan dengan halotan dibuka
sampai 1 % dan sedikit demi sedikit dinaikkan sampai 3-4 %
tergantung reaksi tubuh penderita.
8. Kedalaman anestesi dinilai dari tanda – tanda mata (bola mata
menetap), nadi tidak cepat dan terhadap rangsang operasi tidak
banyak berubah.
9. Kalau stadium anestesi sudah cukup dalam, masukkan pipa
orofaring
10. Halotan kemudian dikurangi menjadi 1-1.5 % dan dihentikan
beberapa menit sebelum operasi selesai
11. Selesai operasi N2O dihentikan dan penderita diberi O2 100%
beberapa menit untuk mencegah hipoksi difusi.

17
c. Teknik Anestesi dengan menggunakan ETT
ETT yang seringkali digunakan adalah ETT No 7,5 untuk
pipa orotrakea dan No. 7 untuk pipa nasotrakea. Ukuran ETT untuk
anak-anak rata-rata sebesar jari kelingking(Latief et al. 2002).
Indikasi dari menggunakan teknik ETT ini seperti pada
operasi-operasi yang memerlukan waktu yang cukup lama dan
kesulitan mempertahankan jalan napas bebas pada anestesi dengan
sungkup muka(Latief et al. 2002).
Thiopental harus disediakan obat pelemas otot jangka pendek
seperti suksinil-kolin 2% atau alkuronium (allonefrin) 10mg/ampul
(Latief et al. 2002).
Langkah-langkah ETT yang dilakukan adalah(Latief et al. 2002):
a. Pertama-tama dengan penginduksian dengan menggunakan
thiopental. Sungkup muka dipasang dengan oksigen 4-6 L/menit,
apabila perlu napas dibantu dengan menggunakan bagging.
Refleks bulu mata sudah menghilang diberikan suksinil kolin
intravena 1-1,5 mg/kgBB.
b.Pemberian suksinil kolin akan mengakibatkan fasikulasi dan
apnue. Kemudian napas dikendalikan dengan menekan bagging
yang diisi dengan aliran O2 2 L. Katup ekspirasi harus sedikit
ditutup (untuk membocorkan sedikit tekanan lebih pada setiap
kali melakukan bagging).
c. Setelah fasikulasi menghilang, pasien kemudian diintubasi.
Balon pipa endotrakea dikembangkan agar tidak terjadi
kebocoran pada waktu melakukan napas buatan dengan bagging.
d. Pipa endotrakea harus masuk ke trakea dengan benar, tidak
terlalu dalam ataupun masuk ke esophagus.
e. Pipa Guedel kemudian dimasukkan ke dalam mulut supaya pipa
endotrakea tidak tergigit. Kemudian pipa endotrakea difiksasi
dengan plester.
f. Mata pasien kemudian ditutup dengan menggunakan plester
supaya mata pasien tidak terbuka dan kornea pasien tidak kering.

18
Pipa endotrakeal kemudian dihubungkan dengan konektor pada
sirkuit napas alat anestesi. N2O kemudian dibuka 3-4 L/menit
dan O2 2 L/menit lalu halotan dibuka 1 vol % dan dengan cepat
halotan dinaikkan sampai 2 vol %. Napas pasien kemudian
dikendalikan dengan menekan balon napas (12-16 kali/menit).
g.Halotan kemudian dikurangi sampai 0,5-1,5% sebagai
pemeliharaan anestesi.
h.Napas dapat dibiarkan spontan kala usaha napas cukup kuat.
i. Kedalaman anestesi tetap dipertahankan dengan menggunakan
kombinasi N2O dan O2 masing-masing sebanyak 2 L/menit, serta
halotan sebanyak 1,5-2 vol%.
j. Operasi yang memerlukan relaksasi otot seperti operasi perut dan
ortopedi, teknik anestesi dengan napas spontan ini tidaklah
cukupdikarenakan otot pasien harus lemah selama pembedahan.
k.Jika memakai teknik napas spontan, maka akan diperlukan obat
anestesi banyak yang dapat mendepresi pernapasan dan jantung
sehingga untuk mencegah hal tersebut, akan lebih baik
menggunakan teknik napas kendali dengan memberikan obat
pelemas otot jangka panjang agar dapat dicapainya relaksasi otot
yang baik tanpa menggunakan obat anestesi yang banyak dan
juga untuk menghindarkan anestesi yang terlalu dalam.

d. Teknik Anestesi dengan menggunakan ETT


terkendali(Latief et al. 2002)
1. Teknik anestesi maupun intubasi sama dengan teknik yang
dijabarkan di penggunaan ETT.
2. Sesudah pengaruh suksinil kolin mulai habis, kemudian
diberikan obat pelumpuh otot jangka panjang misalnya
alkuronium dosis 0.1-0.2 mg/kgBB.
3. Napas lalu dikendalikan dengan menggunakan respirator
ataupun secara manual. Apabila menggunakan respirator, maka
setiap inspirasi diusahakan ± 10 ml/kgBB dengan frekuensi 10 –
14 kali per menit. Jika nafas dikendalikan secara manual maka

19
harus diperhatikan pergerakan dada kanan kiri yang simetris.
Kemudian konsentrasi halotan sedikit demi sedikit dikurangi
dan dipertahankan dengan 0.5-1 %.
4. Obat pelumpuh otot dapat diulang lagi dengan 1/3 dosis jika
pasien sudah terlihat ada usaha untuk mulai bernafas sendiri.
5. Halotan dapat dihentikan jika lapisan fasi kulit sudah terjahit.
N2O dihentikan apabila lapisan kulit mulai dijahit.
6. Ekstubasi dapat dilakukan apabila nafas spontan telah normal
kembali. O2 diberikan secara terus-menerus selama 2-3 menit
untuk mencegah terjadinya hipoksia difusi.
7. Jika napas sesudah ditunggu beberapa menit masih lemah, dapat
diberikan obat anti pelumpuh otot non depolarisasi sebelum di
ekstubasi yang terdiri dari kombinasi obat atropine 2 ampul (2 x
0,25 mg) dengan prostigmin 2 ampul (2 x 0,5 mg). Kombinasi
obat ini akan menghilangkan sisa efek obat pelumpuh otot.
e. Teknik Anestesi dengan menggunakan Intravena
Teknik anestesi dengan menggunakan Intravena (TIVA)
merupakan teknik anestesi umum dengan hanya menggunakan
obat-obat anestesi yang dimasukkan lewat jalur intravena. TIVA
digunakan untuk ketiga trias anestesi yaitu hipnotik, analgetik
maupun relaksasi otot.yang lengkap (Latief et al. 2002).
Kebanyakan obat-obat anestesi intravena hanya mencakup 2
komponen anestesi, akan tetapi ketamin mempunyai trias anestesi
(Soenarjo, 2010).
Kelebihan TIVA adalah (Soenarjo,2010) :
1. TIVA dapat dikombonasikan atau terpisah dan dapat
dititrasi dalam dosis yang lebih akurat dalam
pemakaiannya.
2. Tidak menggangg jalan nafas pada pasien
3. TIVA mudah untuk dilakukan

Untuk indikasi TIVA sendiri antara lain digunakan sebagai berikut


(Latief,2001):

20
1. TIVA digunakan sebagai obat induksi anestesi mum
2. TIBA digunakan sebagai Obat tunggal untuk anestesi
pembedahan singkat
3. TIVA ebagai tambahan obat inhalasi yang kurang kuat
4. TIVA sebagai obat tambahan anestesi regional
5. TIVA dapat menghilangkan keadaan patologis akibat
ransangan sistem saraf pusat (SSP).

Cara pemberian TIVA ini sendiri diberikan dengan


(Soenarjo,2010) :

1. Suntukan tunggal, untuk operasi singkat


2. Suntikan yang berulang sesuai dengan kebutuhan
3. TIVA diteteskan lewat infuse.

2.9. LANGKAH – LANGKAH ANESTESI UMUM


2.9.1 Evaluasi Pra Anestesia
Evaluasi praanestesia adalah langkah awal dari tindakan anestesia yang
dilakukan terhadap pasien yang direncanakan untuk menjalani tindakan operatif
Tujuan:
1. Mengetahui status fisik pasien praoperatif
2. Mengetahui dan menganalisis jenis operasi
3. Memilih jenis atau teknik anestesia yang sesuai
4. Meramalkan penyulit yang mungkin terjadi selama operasi dan atau pasca
bedah.
5. Mempersiapkan obat atau alat guna menanggulangi penyulit yang
diramalkan.
Pada kasus bedah elektif, evaluasi pra anestesia dilakukan beberapa hari
sebelum operasi. Kemudian evaluasi ulang dilakukan sehari menjelang operasi,
selanjutnya evaluasi ulang dilakukan lagi pada pagi hari menjelang pasien dikirim
ke kamar operasi dan evaluasi terakhir dilakukan di kamar persiapan Instalasi
Bedah Sentral (IBS) untuk menentukan status fisik ASA.

21
Pada kasus bedah darurat, evaluasi dilakukan pada saat itu juga di ruang
persiapan operasi Instalasi Rawat Darurat (IRD), karena waktu yang tersedia
untuk evaluasi sangat terbatas, sehingga sering kali informasi tentang penyakit
yang diderita kurang akurat.
Tatalaksan Evaluasi
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan dengan pasien sendiri atau dengan orang lain
(keluarganya/pengantarnya), meliputi:
a. Identitas pasien atau biodata
b. Anamnesis khusus yang berkaitan dengan penyakit bedah yang mungkin
menimbulkan gangguan fungsi sistem organ
c. Anamnesis umum, meliputi:
1) Riwayat penyakit sistemik yang pernah diderita atau sedang
menderita penyakit sistemik selain penyakit bedah yang diderita,
yang bisa mempengaruhi anestesia atau dipengaruhi anestesia
2) Riwayat pemakaian obat yang telah/sedang digunakan yang mungkin
berinteraksi dengan obat anestesia, misalnya kortikosteroid, obat
antihipertensi, obat anti-diabetik, antibiotik golongan aminoglikosid,
digitalis, diuretika, transquilizer, obat penghambat enzim mono-amin
oksidase dan bronkodilator
3) Riwayat operasi/anestesia terdahulu, misalnya apakah pasien
mengalami komplikasi anestesia
4) Kebiasaan buruk, antara lain; perokok, peminum minuman keras
(alkohol), pemakai obat-obat terlarang (sedatif dan narkotik)
5) Riwayat alergi terhadap obat atau yang lain

2. Pemeriksaan
Pemeriksaan yang dilakukan adalah:
a. Pemeriksaan atau pengukuran status pasien: kesadaran, frekuensi napas,
tekanan darah, nadi, suhu tubuh, berat dan tinggi badan untuk menilai
status gizi/BMI
b. Pemeriksaan fisik umum, meliputi pemeriksaan status:

22
1) Psikis: gelisah, takut, atau kesakitan
2) Saraf (otak, medula spinalis, dan saraf tepi)
3) Respirasi
4) Hemodinamik
5) Penyakit darah
6) Gastrointestinal
7) Hepatobilier
8) Urogenital dan saluran kencing
9) Metabolik dan endokrin
10) Otot rangka
11) Integumen
3. Pemeriksaan laboratorium, radiologi dan yang lainnya
a. Pemeriksaan rutin
Ditujukan kepada pasien yang dipersiapkan untuk operasi kecil dan
sedang. Hal-hal yang diperiksa adalah:
1) Darah: Hb, Ht, eritrosit, leukosit dan hitung jenis, trombosit, masa
perdarahan dan masa pembekuan
2) Urin: pemeriksaan fisik, kimiawi dan sedimen urin
b. Pemeriksaan khusus
Ditujukan kepada pasien yang dipersiapkan untuk operasi besar dan
pasien yang menderita penyakit sistemik tertentu dengan indikasi tegas.
Hal-hal yang diperiksa adalah:
1) Pemeriksaan laboratorium lengkap meliputi: fungsi hati, fungsi
ginjal, analisis gas darah, elektrolit, hematologi dan faal hemostasis
lengkap, sesuai dengan indikasi.
2) Pemeriksaan radiologi: foto toraks, IVP dan yang lainnya sesuai
indikasi
3) Evaluasi kardiologi terutama untuk pasien yang berumur di atas usia
35 tahun
4) Pemeriksaan spirometri pada penderita PPOM

23
Untuk pemeriksaan khusus yang lebih mendalam misalnya
ekhokardiografi atau kateterisasi jantung diperlukan konsultasi dengan
dokter spesialisnya.

4. Konsultasi dan koreksi terhadap kelainan fungsi organ vital


a. Konsultasi
1) Konsultasi dilakukan dengan Lab/staf medik fungsional yang terkait,
apabila dijumpai gangguan fungsi organ, baik yang bersifat kronis
maupun yang akut yang dapat mengganggu kelancaran anestesia dan
pembedahan atau kemungkinan gangguan fungsi tersebut dapat
diperberat oleh anestesia dan pembedahan. Dalam keadaan
demikian, tanggapan dan saran terapi dari konsulen terkait sangat
diperlukan
2) Konsultasi dapat dilakukan berencana atau darurat
b. Koreksi terhadap gangguan fungsi sistem organ prabedah. Apabila
dianggap perlu dapat dilakukan koreksi terhadap kelainan fungsi organ
yang dijumpai dan rencana operasi dapat ditunda menunggu perbaikan
atau pemulihan fungsi organ yang bermasalah
5. Menentukan prognosis pasien perioperatif
Berdasarkan hasil evaluasi pra operatif tersebut di atas maka dapat
disimpulkan status fisik pasien pra anestesia. American Society of
Anesthesiologist (ASA) membuat klasifikasi status fisik praanestesia menjadi 5
kelas:
ASA 1 : pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik
ASA 2 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik ringan sampai
sedang
ASA 3 : pasien panyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat yang
disebabkan karena berbagai penyebab tetapi tidak mengancam nyawa
ASA 4 : pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik berat yang
secara langsung mengancam kehidupannya

24
ASA 5 : pasien penyakit bedah yang disertai dengan penyakit sistemik berat yang
sudah tidak mungkin ditolong lagi, dioperasi ataupun tidak dalam 24 jam
pasien akan meninggal
ASA 6 : pasien penyakit bedah yang telah dinyatakan mati otaknya yang mana
organnya akan diangkat untuk kemudian diberikan sebagai organ donor
bagi yang membutuhkan
Apabila tindakan pembedahannya dilakukan secara darurat, dicantumkan
tanda E (emergency) di belakang angka, misalnya ASA 1 E.
2.9.2 Persiapan Praanestesia
Langkah lanjut dari hasil evaluasi pra operatif khususnya anestesia untuk
mempersiapkan pasien, baik psikis maupun fisik pasien agar pasien siap dan
optimal untuk menjalani prosedur anestesia dan diagnostik atau pembedahan yang
akan direncanakan.
1. Persiapan di poliklinik dan di rumah untuk pasien rawat jalan
a. Persiapan psikis
Berikan penjelasan kepada pasien dan atau keluarganya agar mengerti
perihal rencana anestesi dan pembedahan yang direncanakan sehingga
dengan demikian diharapkan pasien dan keluarganya bisa tenang.
b. Persiapan fisik
Diinformasikan agar pasien melakukan:
1) Menghentikan kebiasaan-kebiasaan seperti : merokok, minuman
keras dan obat-obatan tertentu minimal dua minggu sebelum
anestesia atau minimal dimulai sejak evaluasi pertama kali di
poliklinik
2) Melepas segala macam protesis dan asesoris
3) Tidak mempergunakan kosmetik misalnya cat kuku atau cat bibir
4) Puasa dengan aturan sebagai berikut:
Makanan padat susu Cairan jernih tanpa
Usia
formula /ASI partikel
< 6 bulan 4 jam 2 jam
6 – 36 bulan 6 jam 3 jam
>36 bulan 8 jam 3 jam

25
c. Diharuskan agar pasien ditemani oleh salah satu keluarga atau orang tua
atau teman dekatnya untuk menjaga kemungkinan penyulit yang tidak
diinginkannya
d. Membuat surat persetujuan tindakan medik
e. Mengganti pakaian yang dipakai dari rumah dengan pakaian khusus
kamar operasi
2. Persiapan di ruang perawatan
a. Persiapan psikis
1) Berikan penjelasan kepada pasien dan atau keluarganya agar
mengerti perihal rencana anestesi dan pembedahan yang
direncanakan sehingga dengan demikian diharapkan pasien dan
keluarganya bisa tenang
2) Berikan obat sedatif pada pasien yang menderita stres yang
berlebihan atau pada pasien tidak kooperatif, misalnya pada pasien
pediatrik
3) Pemberian obat sedatif dapat dilakukan secara:
a) Oral, pada malam hari menjelang tidur dan pada pagi hari, 60-90
menit sebelum ke IBS
b) Rektal, (khusus untuk pasien pediatrik) pada pagi hari sebelum
ke IBS.
b. Persiapan fisik
1) Menghentikan kebiasaan-kebiasaan seperti : merokok, minuman
keras dan obat-obatan tertentu minimal dua minggu sebelum
anestesia atau minimal dimulai sejak evaluasi pertama kali di
poliklinik
2) Melepas segala macam protesis dan asesoris
3) Tidak mempergunakan kosmetik misalnya cat kuku atau cat bibir
4) Puasa dengan aturan sebagai berikut:
Makanan padat susu Cairan jernih tanpa
Usia
formula /ASI partikel
< 6 bulan 4jam 2 jam
6– 36 bulan 6 jam 3 jam
>36 bulan 8 jam 3 jam

26
5) Pasien dimandikan pagi hari menjelang ke kamar bedah, pakaian
diganti dengan pakaian khusus kamar bedah dan kalau perlu pasien
diisi label
7 Membuat surat persetujuan tindakan medik
8 Persiapan lain yang bersifat khusus praanestesia
Misalnya tranfusi, dialisis, fisioterapi dan lain-lainnya sesuai dengan
prosedur tetap tatalaksana masing-masing penyakit yang diderita pasien
3. Persiapan di ruang persiapan Instalasi Bedah Sentral
a. Di kamar persiapan dilakukan:
1) Evaluasi ulang status presen dan catatan medik pasien serta
perlengkapan lainnya
2) Konsultasi ditempat apabila diperlukan
3) Ganti pakaian dengan pakaian khusus kamar operasi
4) Memberikan premedikasi
5) Memasang infus
b. Premedikasi
Adalah tindakan pemberian obat-obatan pendahuluan dalam rangka
pelaksanaan anestesia, dengan tujuan:
1) Menimbulkan suasana nyaman bagi pasien, yaitu menghilangkan rasa
cemas, memberi ketenangan, membuat amnesia, bebas nyeri dan
mencegah mual/muntah
2) Memudahkan dan memperlancar induksi
3) Mengurangi dosis anestesia
4) Menekan refleks-refleks yang tidak diinginkan
5) Menekan dan mengurangi sekresi kelenjar

Obat-obatan yang dapat digunakan untuk premedikasi adalah :

Jenis Obat Dosis (Dewasa)


1. Sedatif
Diazepam 5 – 10 mg
Difenhidramin 1 mg/kgBB
Promethazin 1 mg/kgBB
Midazolam 0.1 – 0.2 mg/kgBB
Lanjutan Jenis Obat yang dapat digunakan sebagai premedikasi

27
2. Analgetik opiat
Petidin 1 – 2 mg/kgBB
Morfin 0.1 – 0.2 mg/kgBB
Fentanil 1 – 2 mikrogram/kgBB
Analgetik non opiat Disesuaikan
3. Antikholinergik
Sulfas atropin 0.1 mg/kgBB
4. Antiemetik
Ondansetron 4 – 8 mg (IV)
Metoklopramid 10 mg (IV)
5. Profilaksis aspirasi
Cimetidin Dosis disesuaikan
Ranitidin
Antasid

Pemberian premedikasi dapat diberikan secara:


1) Suntikan intramuskuler, diberikan 30 - 45 menit sebelum induksi
anestesi
2) Suntikan intravena, diberikan 5 - 10 menit sebelum induksi anestesi
c. Pemasangan infus
1) Tujuan:
a) Mengganti defisit cairan selama puasa
b) Koreksi defisit cairan prabedah
c) Fasilitasi vena terbuka untuk memasukkan obat-obatan selama
operasi
d) Memberikan cairan pemeliharaan
e) Koreksi defisit atau kehilangan cairan selama operasi
f) Koreksi cairan akibat terapi lain
g) Fasilitas transfusi darah
2) Jenis-jenis cairan infus untuk pemeliharaan atau pengganti puasa pra
anestesi, sesuai dengan indikasi dan usia pasien, adalah sebagai
berikut:
a) Neonatus, diberikan cairan dekstrosa 5% dalam NaCl 0.225
b) Anak-anak (<12 tahun) diberikan dekstrosa 5% dalam NaCl
0.45%
c) Umur > 12 tahu, tidak ada indikasi yang pasti, dapat diberikan
cairan: kristaloid atau campuran dekstrosa 5% dalam larutan

28
kristaloid, misalnya dekstrose 5% dalam NaCl 0.9%, dalam
ringer dan ringer laktat
d) Penderita diabetes melitus diberikan cairan Maltose 5% dalam
ringer
4. Persiapan di kamar operasi :
a. Meja operasi dengan asesoris yang diperlukan
b. Mesin anestesi dengan sistem aliran gasnya
c. Alat-alat resusitasi: alat bantu napas, laringoskop, pipa jalan napas, alat
isap, defibrilator dan lain-lain
d. Obat-obat anestesia yang diperlukan
e. Obat-obat resusitasi: adrenalin, atropin, aminofilin, natrium bikarbonat
f. Tiang infus, plester dan lain-lain
g. Alat pantau tekanan darah, suhu tubuh, dan EKG dipasang
h. Alat-alat pantau yang lain dipasang sesuai dengan indikasi, misalnya
“Pulse Oxymeter” dan “Capnograf”
i. Kartu catatan medik anestesia
(Mangku dan Tjokorda, 2010)
2.9.3 Pemberian Anestesi
2.9.3.1 Induksi Anestesi
Tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga
memungkinkan dimulainya anestesi dan pembedahan. Induksi dapat dikerjakan
secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rectal. Setelah pasien tidur akibat
induksi anestesia langsung dilanjutkan dengan pemeliharaan anestesia sampai
tindakan pembedahan selesai.
Untuk persiapan induksi anestesi diperlukan ‘STATICS’:
S : ScopeStetoskop untuk mendengarkan suara paru dan jantung. Laringo-
Scope, pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia pasien.
Lampu harus cukup terang.
T : TubePipa trakea.pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon (cuffed) dan >
5 tahun dengan balon (cuffed).
A : Airway Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-
faring (naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat

29
pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat
jalan napas.
T : TapePlester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I : Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang
mudah dibengkokan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah
dimasukkan.
C : Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
S : Suction  penyedot lender, ludah danlain-lainnya.
Jenis-jenis induksi:
2. Induksi intravena
a) Paling banyak dikerjakan dan digemari. Indksi intravena dikerjakan
dengan hati-hati, perlahan-lahan, lembut dan terkendali. Obat induksi
bolus disuntikan dalam kecepatan antara 30-60 detik. Selama induksi
anestesi, pernapasan pasien, nadi dan tekanan darah harus diawasi dan
selalu diberikan oksigen. Dikerjakan pada pasien yang kooperatif.
b) Obat-obat induksi intravena:
1) Tiopental (pentotal, tiopenton) amp 500 mg atau 1000 mg
Sebelum digunakan dilarutkan dalam akuades steril sampai
kepekatan 2,5% ( 1ml = 25mg). hanya boleh digunakan untuk
intravena dengan dosis 3-7 mg/kg disuntikan perlahan-lahan
dihabiskan dalam 30-60 detik.
Bergantung dosis dan kecepatan suntikan tiopental akan
menyebabkan pasien berada dalam keadaan sedasi, hypnosis,
anestesia atau depresi napas. Tiopental menurunkan aliran darah
otak, tekanan likuor, tekanan intracranial dan diguda dapat
melindungi otak akibat kekurangan O2 . Dosis rendah bersifat anti-
analgesi.
2) Propofol (diprivan, recofol)
Dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu
bersifat isotonic dengan kepekatan 1% (1 ml = 10 mg). suntikan
intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga beberapa detik
sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena.

30
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk
anestesi intravena total 4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk
perawatan intensif 0.2 mg/kg. pengenceran hanya boleh dengan
dekstrosa 5%. Tidak dianjurkan untuk anak < 3 tahun dan pada
wanita hamil.
3) Ketamin (ketalar)
Kurang digemari karena sering menimbulkan takikardia,
hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesi dapat
menimbulkan mual-muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk.
Sebelum pemberian sebaiknya diberikan sedasi midazolam
(dormikum) atau diazepam (valium) dengan dosis 0.1 mg/kg
intravena dan untuk mengurangi salvias diberikan sulfas atropin
0.01 mg/kg.
Dosis bolus 1-2 mg/kg dan untuk intramuscular 3-10 mg.
ketamin dikemas dalam cairan bening kepekatan 1% (1 ml = 10
mg), 5% (1 ml = 50 mg), 10% ( 1 ml = 100 mg).
4) Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil)
Diberikan dosis tinggi. Tidak menggaggu kardiovaskular,
sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien dengan kelainan
jantung. Untuk anestesia opioid digunakan fentanil dosis 20-50
mg/kg dilanjutkan dosis rumatan 0.3-1 mg/kg/menit.
3. Induksi intramuscular
Sampai sekarang hanya ketamin (ketalar) yang dapat diberikan secara
intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
4. Induksi inhalasi
a) N2O (gas gelak, laughing gas, nitrous oxide, dinitrogen
monoksida)berbentuk gas, tak berwarna, bau manis, tak iritasi, tak
terbakar dan beratnya 1,5 kali berat udara. Pemberian harus disertai O2
minimal 25%. Bersifat anastetik lemah, analgesinya kuat, sehingga
sering digunakan untuk mengurangi nyeri menjelang persalinan. Pada
anestesi inhalasi jarang digunakan sendirian, tapi dikombinasi dengan
salah satu cairanan astetik lain seperti halotan.

31
b) Halotan (fluotan)
Sebagai induksi juga untuk laringoskop intubasi, asalkan anestesinya
cukup dalam, stabil dan sebelum tindakan diberikan analgesi semprot
lidokain 4% atau 10% sekitar faring laring.Kelebihan dosis
menyebabkan depresi napas, menurunnya tonus simpatis, terjadi
hipotensi, bradikardi, vasodilatasi perifer, depresi vasomotor, depresi
miokard, dan inhibisi reflex baroreseptor. Merupakan analgesi lemah,
anestesi kuat. Halotan menghambat pelepasan insulin sehingga
meninggikan kadar gula darah.
c) Enfluran (etran, aliran)
Efek depresi napas lebih kuat disbanding halotan dan enfluran lebih
iritatif dibanding halotan. Depresi terhadap sirkulasi lebih kuat
disbanding halotan, tetapi lebih jarang menimbulkan aritmia. Efek
relaksasi terhadap otot lurik lebih baik dibanding halotan.
d) Isofluran (foran, aeran)
Meninggikan aliran darah otak dan tekanan intracranial. Peninggian
aliran darah otak dan tekanan intracranial dapat dikurangi dengan
teknik anestesi hiperventilasi, sehingga isofluran banyak digunakan
untuk bedah otak.Efek terhadap depresi jantung dan curah jantung
minimal, sehingga digemari untuk anestesi teknik hipotensi dan banyak
digunakan pada pasien dengan gangguan koroner.
e) Desfluran (suprane)
Sangat mudah menguap. Potensinya rendah (MAC 6.0%), bersifat
simpatomimetik menyebabkan takikardi dan hipertensi. Efek depresi
napasnya seperti isofluran dan etran. Merangsang jalan napas atas
sehingga tidak digunakan untuk induksi anestesi.
f) Sevofluran (ultane)
Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan isofluran.
Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan napas, sehingga
digemari untuk induksi anestesi inhalasi di samping halotan.
5. Induksi per rectal

32
Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan thiopental atau
midazolam.
6. Induksi mencuri
Dilakukan pada anak atau bayi yang sedang tidur. Induksi inhalasi biasa
hanya sungkup muka tidak kita tempelkan pada muka pasien, tetapi kita
berikan jarak beberapa sentimeter, sampai pasien tertidur baru sungkup
muka kita tempelkan.
7. PelumpuhototnondepolarisasiTracurium 20 mg (Antracurium)
a) Berikatan dengan reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tidak
menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetilkolin
menempatinya, sehingga asetilkolin tidak dapat bekerja.
b) Dosis awal 0.5-0.6 mg/kgBB, dosis rumatan 0.1 mg/kgBB, durasi
selama 20-45 menit, kecepatan efek kerjanya -2 menit.
c) Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot:
4) Cegukan (hiccup)
5) Dinding perut kaku
6) Ada tahanan pada inflasi paru

2.9.4 Rumatan Anestesi


Rumatan anestesia (maintenance) dapat dikerjakan dengan secara
intravena (anestesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran
intravena inhalasi. Rumatan anestesia biasanya mengacu pada trias anestesia yaitu
tidur ringan (hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar
pasien selama dibedah tidak menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang
cukup.
Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi,
fentanil 10-50 mikrogram/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur
dengan analgesia cukup, sehingga tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot.
Rumatan intravena dapat juga menggunakan opioid dosis biasa, tetapi pasien
ditidurkan dengan infus propofol 4-12 mg/kgBB/jam. Bedah lama dengan
anestesia total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot dan ventilator.

33
Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara + O2 atau N2O +
O2 (Latief dkk, 2007)
2.9.5 Teknik Anestesi
2.9.5.1 Teknik anestesi spontan dengan sungkup muka
Indikasi:
4. Untuk tindakan yang singkat (0.5 – 1 jam) tanpa membuka rongga perut.
5. Keadaan umum pasien cukup baik (PSA ASA 1 atau 2).
6. Lambung harus kosong.
Urutan tindakan:
12. Periksa peralatan yang akan digunakan (seperti pada masa pra-induksi).
13. Pasang infus dengan kanul intravena atau jarum kupu-kupu
14. Persiapan obat
15. Induksi, dapat dilakukan dengan propofol 2-2.5 mg/kgBB
16. Selesai induksi, sampai pasien tertidur dan reflek bulu mata hilang, sungkup
muka ditempatkan pada muka. Sebaiknya dagu ditahan atau sedikit ditarik ke
belakang (posisi kepala ekstensi) agar jalan napas bebas dan pernapasan
lancar. Pengikat sungkup muka ditempatkan di bawah kepala.
17. Kalau pernapasan masih tidak lancar dicoba mendorong kedua pangkal
rahang ke depan dengan jari manis dan tengah tangan kiri kita. Kalau perlu
dengan kedua tangan kita yaitu kedua ibu jari dan telunjuk yang memegang
sungkup muka dan dengan jari-jari yang lain menarik rahang ke atas. Tangan
kanan kita bila bebas dapat memegang balon pernapasan dari alat anestesi
untuk membantu pernapasan pasien (menekan balon sedikit bila pasien
melakukan inspirasi).
18. N2O mulai diberikan 4 L dengan O2 2 L/menit untuk memperdalam anestesi,
bersamaan dengan halotan dibuka sampai 1 % dan sedikit demi sedikit
dinaikkan sampai 3-4 % tergantung reaksi tubuh penderita.
19. Kedalaman anestesi dinilai dari tanda – tanda mata (bola mata menetap), nadi
tidak cepat dan terhadap rangsang operasi tidak banyak berubah.
20. Kalau stadium anestesi sudah cukup dalam, masukkan pipa orofaring
21. Halotan kemudian dikurangi menjadi 1-1.5 % dan dihentikan beberapa menit
sebelum operasi selesai

34
22. Selesai operasi N2O dihentikan dan penderita diberi O2 100% beberapa menit
untuk mencegah hipoksi difusi.

2.9.5.2 Teknik anestesi spontan dengan pipa endotrakea


Indikasi :
1. Operasi lama
2. Kesulitan mempertahankan jalan napas bebas pada anestesi dengan sungkuo
muka.
Urutan tindakan :
1. Induksi dengan propofol
Sungkup muka ditempatkan pada muka dan oksigen 4-6 L/menit, kalau perlu
napas dibantu dengan menekan balon napas secara periodik. Sesudah refleks
mata menghilang diberikan suksinil kolin intravena 1-1.5 mg/kgBB.
2. Pemberian suksinil-kolin mengakibatkan fasikulasi (getaran otot) dan apnue.
Napas dikendalikan dengan menekan balon napas yang diisi dengan aliran O2
2 L.
3. Sesudah fasikulasi menghilang pasien diintubasi.
4. Pipa guedel dimasukan di mulut agar pipa endotrakeal tidak tergigit.
Kemudian difiksasi dengan plester.
5. Mata diplester agar tidak terbuka dan kornea tidak kering.
6. Pipa endotrakeal dihubungkan dengan konektor pada sirkuit napas alat
anestesi. N2O dibuka 3-4 L/menit dan O2 2 L/menit kemudian halotan dibuka
1 vol % dan cepat dinaikkan sampai 2 vol %. Napas pasien dikendalikan
dengan menekan balon napas (12-15 kali per menit). Setelah ada tanda –
tanda napas spontan menjadi spontan kembali dicoba untuk membantu napas
saja sampai pernapasan normal kuat kembali.
7. Halotan dikurangi sampai 0.5-1.5 % untuk pemeliharaan anestesi
8. Napas dapat dibiarkan spontan kalau usaha napas cukup kuat.
9. Kedalaman anestesi dipertahankan dengan kombinasi N2O dan O2 masing-
masing 2 l/menit, serta halotan 1.5-2 vol %
10. Anestesia yang ringan dapat diperdalam dengan menaikkan halotan sampai 2-
3%. Halotan harus dikurangi lagi jika anestesia sudah cukup dalam.

35
11. Untuk operasi yang memerlukan relaksasi otot seperti operasi perut dan
ortopedi, teknik anestesi dengan napas spontan tidak mencukupi karena otot
pasien harus lemah selama pembedahan.
12. Bila memakai teknik napas spontan diperlukan obat anestesi banyak yang
dapat mendepresi pernapasan dan jantung. Untuk mencegah pemakaian obat
yang banyak pada operasi yang memerlukan otot lemas atau relaksasi
sebaiknya digunakan teknik napas kendali dengan memberikan obat pelemas
otot jangka panjang. Dengan demikian, dapat dicapai relaksasi otot yang baik
tanpa menggunakan obat anestesi banyak dan menghindarkan anestesi yang
terlalu dalam.
2.9.5.3 Teknik anestesi dengan pipa endotrakea dan napas kendali
1. Teknik anestesi dan intubasi sama seperti di atas.
2. Setelah pengaruh suksinil kolin mulai habis, diberi obat pelumpuh otot
jangka panjang misalnya alkuronium dosis 0.1-0.2 mg/kgBB.
3. Napas dikendalikan dengan respirator atau secara manual. Bila
menggunakan respirator, setiap inspirasi diusahakan ± 10 ml/kgBB
dengan frekuensi 10 – 14 kali per menit. Apabila nafas dikendalikan
secara manual harus diperhatikan pergerakan dada kanan kiri yang
simetris. Konsentrasi halotan sedikit demi sedikit dikurangi dan
dipertahankan dengan 0.5-1 %.
4. Obat pelumpuh otot dapat diulang lagi dengan 1/3 dosis apabila pasien
tampak ada usaha mulai bernafas sendiri.
5. Halotan dapat dihentikan sesudah lapisan fasi kulit terjahit. N2O
dihentikan kalau lapisan kulit mulai dijahit.
6. Ekstubasi dapat dilakukan setelah nafas spontan normal kembali. O2
diberi terus selama 2-3 menit untuk mencegah hipoksia difusi.
7. Jika napas sesudah ditunggu beberapa menit masih lemah, dapat
diberikan obat anti pelumpuh otot non depolarisasi sebelum di ekstubasi
yang terdiri dari kombinasi obat atropine 2 ampul (2 x 0.25 mg) dengan
prostigmin 2 ampul (2 x 0.5 mg). Kombinasi obat ini menghilangkan sisa
efek obat pelumpuh otot.
2.9.5.4 Ekstubasi

36
1. Mengangkat keluar pipa endotrakea (ekstubasi) harus mulus dan tidak
disetai batuk dan kejang otot yang dapat menyebabkan gangguan nafas,
hipoksia sianosis.
2. Ekstubasi dapat dilakukan dengan menunggu pasien sampai sadar betul
atau menunggu sewaktu pasien masih dalam keadaan anestesi yang agak
dalam. Dengan cara terakhir dihindarkan reaksi spasme kejang otot perut,
dada dan jalan nafas.
2.9.5.5 Pasca bedah
1. Pasien harus di observasi terus (pernapasan, tekanan darah dan nadi)
sesudah operasi dan anestesi selesai sewaktu di kamar bedah dan kamar
pulih.
2. Bila pasien gelisah harus diteliti apakah karena kesakitan atau karena
hipoksia (tekanan darah menurun, nadi cepat) misalnya karena
hipovolemia (perdarahan di dalam perut atau kekurangan cairan).
3. Bila kesakitan harus diberi analgetik seperti petidin 15-25 mg intravena,
tetapi kalau gelisah karena hipoksia harus diobati sebabnya, misalnya
dengan menambah cairan elektrolit (ringer laktat), koloid (dextran) atau
darah. Oksigen selalu diberikan sebelum pasien sadar betul.
4. Pasien hendaknya jangan dikirim ke ruangan sebelum sadar, tenang,
reflek jalan nafas sudah aktif tekanan darah dan nadi dalam batas-batas
normal.
2.9.5.6 Monitoring Perianestesi
1. Monitoring Standar
Rekam medis sebelum anestesia sangat penting diketahui, apakah
pasien berada dalam keadaan segar bugar atau sedang menderita suatu
penyakit sistemik. Monitoring dasar pada pasien dalam keadaan anestesia
adalah monitoring tanpa alat atau dengan alat sederhana seperti stetoskop
dan tensimeter, serta dengan pemeriksaan fisik inspeksi, palpasi, perkusi,
dan auskultasi.
a. Monitoring Kardiovaskular
1) Non-invasif (tak langsung)
a) Nadi

37
Monitoring terhadap nadi merupakan keharusan, karena gangguan
sirkulasi sering terjadi selama anastesi. Makin bradikardi makin
menurunkan curah jantung. Monitoring terhadap nadi dapat
dilakukan dengan cara palpasi arteria radialis, brakialis, femoralis
atau karotis. Dengan palpasi dapat diketahui frekuensi, irama dan
kekuatan nadi. Selain palpasi dapat dilakukan auskultasi dengan
menempelkan stetoskop di dada atau dengan kateter khusus
melalui sofagus. Cara palpasi dan cara auskultasi ini terbatas,
karena kita tidak dapat melakukannya secara terus menerus.
Monitoring nadi secara kontinyu dapat dilakukan dengan peralatan
elektronik seperti EKG atau oksimeter yang disertai dengan alarm.
Pemasangan EKG untuk mengeetahui secara kontinyu frekuensi
nadi, distrimia, iskemia jantung, gangguan konduksi, abnormalitas
elektrolit dan fungsi ‘pacemaker’.
b) Tekanan darah
Tekanan darah dapat diukur secara manual atau otomatis dengan
manse tang harus tepat ukurannya (lebarnya kira-kira 2/3 lebar
jarak olekranon-akromion, atau 40% dari keliling besarnya lengan),
karena terlalu lebar menghasilkan nilai lebih rendah dan terlalu
sempit menghasilkan nilai lebih tinggi. Tekanan sistolik-diastolik
diketahui dengan cara auskultasi, palpasi, sedangkan tekanan arteri
rata-rata (mean arterial pressure) diketahui secara langsung dengan
monitor tekanan darah elektronik atau dengan menghitung yaitu
1/3 (tekanan sistolik + 2 x tekanan diastolik) atau tekanan diastolik
+ 1/3 (tekanan sistolik – tekanan diastolik). Pada tabel 14 tertera
harga normal nadi dan tekanan darah.

Tabel Nilai Normal Frekuensi Nadi dan Tekanan Darah


Usia FrekuensiNadi TekananSistolik TekananDiastolik
(per menit) (mmHg) (mmHg)
Prematur 150 ± 20 50 ± 3 30 ± 2
Cukupbulan 133 ± 18 67 ± 3 42 ± 4
6 bulan 120 ± 20 89 ± 29 60 ± 10
12 bulan 120 ± 20 96 ±30 66 ± 25

38
2 tahun 105 ± 25 99 ± 25 64 ± 25
5 tahun 90 ± 10 94 ± 14 55 ± 9
12 tahun 70 ± 17 109 ± 16 58 ± 9
Dewasa 65 ± 8 120 ± 10 80 ± 10

c) Banyaknya perdarahan
Monitoring terhadap perdarahan dilakukan dengan menimbang
kain kasa ketika sebelum kena darah dan sesudahnya, mengukur
jumlah darah di botol pengukur darah ditambah 10-20% untuk
yang tidak dapat diukur.
2) Invasif (langsung)
Biasanya dikerjakan untuk bedah khusus atau pasien keadaan umum
kurang baik.
a) Dengan kanulasi arteri melalui a. radialis, a. dorsalis pedis, a.
karotis, a. femoralis, dapat diketahui secara kontinyu tekanan darah
pasien.
b) Dengan kanulasi vena sentral, v. jugularis interna-eksterna, v.
subklavia, v. basilica, v. femoralis dapat diketahui tekanan vena
sentral secara kontinyu.
c) Dengan kanulasi a. pulmonalis (Swan-Ganz) dapat dianalisa curah
jantung.
d) Pada bayi baru lahir dapat digunakan arteria dan atau vena
umbilikalis. Selain itu kanulasi arteri ini dapat digunakan untuk
memonitor ventilasi dengan mengukur kadar pH, PO2, PCO2
bikarbonat dengan lebih sering sesuai kebutuhan. Pada bedah
jantung yang kompleks digunakan ekokardiografi transesofageal.

b. Monitoring Respirasi
1) Tanpa alat
Dengan inspeksi kita dapat mengawasi pasien secara langsung
gerakan dada-perut baik pada saat bernapas spontan atau dengan
napas kendali dan gerakan kantong cadang apakah sinkron. Untuk
oksigenasi warna mukosa bibir, kuku pada ujung jari dan darah
pada luka bedah apakah pucat, kebiruan atau merah muda.

39
2) Stetoskop
Dengan stetoskop prekordial atau esofageal dapat didengar suara
pernapasan.
3) Oksimeter denyut (pulse oximetry)
Untuk mengetahui saturasi oksigen (SaO2). Selain itu dapat
diketahui frekuensi darah dan adanya distrimia.
4) Kapnometri
Untuk mengetahui secara kontinyu kadar CO2 dalam udara
inspirasi atau ekspirasi. Kapnometer dipengaruhi oleh system
anestesia yang digunakan. Monitoring khusus biasanya bersifat
invasif karena kita ingin secara kontinyu mengukur tekanan darah
arteri dan tekanan darah vena, produksi urin, analisa gas darah dan
sebagainya.
c. Monitoring Suhu Badan
Dilakukan pada bedah lama atau pada bayi dan anak kecil.
Pengukuran suhu sangat penting pada anak terutama bayi, karena bayi
mudah sekali kehilangan panas secara radiasi, konveksi, evaporasi dan
konduksi, dengan konsekuensi depresi otot jantung, hipoksia, asidosis,
pulih anastesia lambat dan pada neonatus dapat terjadi sirkulasi
persistent fetal.
Tempat yang lazim digunakan adalah:
1) Aksila (ketiak)
Untuk membacanya perlu waktu 15 menit. Dipengaruhi oleh
banyaknya rambut ketiak, gerakan pasien, manset tensimeter dan
suhu cairan infus.
2) Oral-sublingual
Pada pasien sadar sebelum anaetesia.
3) Rektal
Seperti termometer aksila tetapi lebih panjang.
4) Nasofaring, esofageal
Berbentuk kateter.
5) Lain-lain

40
Jarang digunakan, misalnya kulit, buli-buli, liang telinga.
d. Monitoring Ginjal
Untuk mengetahui keadaan sikulasi ginjal. Produksi air kemih
normal minimal 0.5-1,0 ml/kgBB/jam dimonitor pada bedah lama dan
sangat bermanfaat untuk menghindari retensi urin atau distenti buli-
buli. Monitoring produksi air kemih harus dilakukan dengan hait-hati,
karena selain traumatis juga mengundang infeksi sampai ke
pielonefritis, secara rutin digunakan kateter Foley karet lunak ukuran 5-
8F. kalau >1 ml/kgBB/jam dan reduksi urin positif 2, dicurigai adanya
hiperglikemia.

e. Monitoring Blokade Neuromuskular


Stimulasi saraf untuk mengetahui apakah relaksasi otot sudah
cukup baik atau sebaliknya setelah selesai anestesia apakah tonus otot
sudah kembali normal.
f. Monitoring Sistem Saraf
Pada pasien sehat sadar, oksigenasi pada otaknya adekuat kalau
orientasi terhadap personal, waktu dan tempat baik. Pada saat pasien
dalam keadaan tidak sadar, monitoring terhadap SSP dikerjakan dengan
memeriksa respon pupil terhadap cahaya, respons terhadap trauma
pembedahan, respons terhadap otot apakah relaksasi cukup atau tidak.
2. Monitoring Khusus
Monitoring tambahan biasanya digunakan pada bedah mayor atau bedah
khusus seperti bedah jantung, bedah otak posisi telungkup atau posisi duduk,
bedah dengan teknik hipotensi atau hipotermi dan bedah pada pasien keadaan
umum kurang baik yang disertai oleh kelainan sistemis. Oksimeter denyut,
infrared CO2 dan analisa zat anestetik dapat memberitahukan kita adanya
gangguan dini, tetapi alat ini ada yang menggolongkan monitoring tambahan ada
yang memasukkan dalam monitoring standar. Ketiga alat ini walaupun sangat
bermanfaat, tetapi sering diganggu oleh kauter listrik, intervensi cahaya dan sering
alarm walaupun pasien dalam keadaan klinis baik.

41
Alat monitor elektronik dapat saja memberikan informasi salah, sehingga
yang terbaik adalah kombinasi manual-elektronik. Hipoksia menyeluruh dapat
menyebabkan bradikardi-hipotensi dan kalau tidak segera ditanggulangi dapat
menjurus ke henti jantung. Bradikardia akibat hipoksia tidak bereaksi terhadap
pemberian vagolitik seperti atropine, sehingga terapi utama adalah ventilasi
dengan O2.
2.9.6 Tatalaksana Pasca Bedah
Setelah operasi selesai pasien dibawa ke ruang pemulihan (recovery room)
atau ke ruang perawatan intensif (bila ada indikasi). Secara umum, ekstubasi
terbaik dilakukan pada saat pasien dalam anestesi ringan atau sadar. Di ruang
pemulihan dilakukan pemantauan keadaan umum, kesadaran, tekanan darah, nadi,
pernapasan suhu, sensibilitas nyeri, pendarahan dari drain, dan lain-lain.
Pemeriksaan tekanan darah, frekuensi nadi, dan frekuensi pernapasan
dilakukan paling tidak setiap dalam 15 menit pertama atau hingga stabil, setelah
itu dilakukan setiap 15 menit, selama 2 jam pertama. Dan setiap 30 menit selama
4 jam berikutnya Pulse oximetry dimonitor hingga pasien sadar kembali.
Pemeriksaan suhu juga dilakukan.
Seluruh pasien yang sedang dalam masa pemulihan dari anestesi umum
harus mendapat oksigen 30 – 40 % untuk mencegah hipoksemia yang mungkin
terjadi. Pasien yang memiliki resiko hipoksia adalah pasien yang mempunyai
kelainan paru sebelumnya atau yang dilakukan tindakan operasi didaerah
abdomen atas atau daerah dada. Pemeriksaan analisa gas darah dapat dilakukan
untuk mengkonfirmasi penilaian oksimetri yang abnormal. Terapi oksigen benar-
benar diperhatikan pada pasien dengan riwayat penyakit paru obstruksi kronis
atau dengan riwayat retensi CO2 sebelumnya.
Bila keadaan umum dan tanda vital pasien normal dan stabil, maka pasien
dapat dipindahkan ke ruang rawat dengan pemberian instruksi pasca operasi.
1. Gangguan Pernapasan
Obstruksi napas parsial (napas berbunyi) atau total, tak ada ekspirasi (tidak
ada suara napas). Pasien pasca anastesia umum yang belum sadar sering
mengalami: lidah jatuh menutup faring atau oleh edema laring. Selain itu dapat

42
terjadi spasme laring karena laring terangsang oleh benda asing, darah, ludah
sekret atau sebelumnya ada kesulitan pada saat intubasi intubasi trakea.
Apabila terjadi obstruksi saat pasien masih dalam anestesi dan lidah
menutup faring, maka harus dilakukan manufer tripel dengan memasang jalan
napas mulut-faring, hidung faring dan tentunya berikan O2 100%. Jika tidak
berhasil menolong pasang sungkup laring.
Bila terjadi obstruksi karena kejang laring atau edema laring, selain perlu O2
100%, harus dibersihkan jalan napas, berikan preparat kortokosteroid (oradekson)
dan kalau tak berhasil perlu dipertimbangkan memberikan pelumpuh otot.
Obstruksi napas mungkin tidak terjadi, tetapi pasien sianosis (hiper-karbi,
hiper-kapni, PaCO2>45 mmHg) atau saturasi O2 menurun (hipoksemi, SaO2<90).
Hal ini disebabkan pernapasan pasien lambat dan dangkal (hipoventilasi).
Pernapasan lambat sering akibat opioid terlalu banyak dan dangkal sering akibat
pelumpuh otot masih bekerja. Jika penyebab jelas karena opioid, dapat diberikan
nalokson dan kalau oleh pelumpuh otot dapat diberikan prostikmin-atropin.
Hipoventilasi yang berlanjut menyebabkan asidosis, hipertensi, takikardi yang
dapat berakhir dengan depresi sirkulasi dan henti jantung.
2. Gangguan Kardiovaskular
Hipertensi dapat disebabkan karena nyeri akibat pembedahan, iritasi pipa
trakea, cairan infus berlebihan, buli-buli penuh atau aktivasi saraf simpatis karena
hipoksia, hiperkapni dan asidosis. Hipertensi akut dan berat yang berlangsung
lama menyebabkan gagal ventrikel kiri, infark miokard, disritmia, edema paru
atau pendarahan otak. Terapi hipertensi ditujukan pada faktor penyebab dan kalau
perlu dapat diberikan klonidin (catapres) atau nitroprusid (niprus) 0.5 - 1.0
µg/kg/menit.
Hipotensi yang terjadi isian balik vena (venous return) menurun disebabkan
pendarahan, terapi cairan kurang adekuat, diuresis, kontraksi miokardium kurang
kuat atau tahanan veskuler perifer menurun. Hipotensi harus segera diatasi untuk
mencegah terjadi hipoperfusi organ vital yang dapat berlanjut dengan hipoksemia
dan kerusahan jaringan. Terapi hipotensi disesuaikan dengan faktor penyebabnya.
Berikan O2 100%dan infus kristaloid RL atau Asering 300-500 ml.

43
Distritmia yang terjadi dapat disebabkan oleh hipokalemia, asidosis-
alkalosis, hipoksia, hiperkapnia atau penyakit jantung.
3. Gelisah
Gelisah pasca anestesia dapat disebabkan oleh hipoksia, asidosis, hipotensi,
kesakitan, efek samping obat misalnya ketamin atau buli-buli penuh. Setelah
disingkirkan sebab-sebab tersebut diatas, pasien dapat diberikan penenang
midazolam (dormikum) 0.05 – 0.1 mg/kgBB.

4. Mual-Muntah
Mual-muntah pasca anestesi sering terjadi setelah anestesi umum terutama
pada penggunaan opioid, bedah intra-abdomen, hipotensi dan pada analgesia
regional. Obat mual-muntah yang sering digunakan pada perianestesia adalah :
a. Dehydrobenzoperidol 0.05-0.1 mg/kgBB (amp 5 mg/ml) i.m atau i.v.
b. Metoklopramid 0.1 mg/kgBB i.v.,supp 20 mg
c. Ondansetron 0.05-0.1 mg/kgBB i.v
d. Cyclizine 25-50 mg.
5. Menggigil
Menggigil (shivering) terjadi akibat hipotermia atau efek obat anestesi.
Hipotermi terjadi akibat suhu ruang operasi, ruang UPPA yang dingin, cairan
infus dingin, cairan irigasi dingin, bedah abdomen luas dan lama. Terapi petidin
10-20 mg i.v. pada pasien dewasa, selimut hangat, infus hangat dengan infusion
warmer, lampu t untuk menghangatkan suhu tubuh.
6. Nilai Pulih dari Anestesi
Adapun setelah prosedur diatas selesai, pasien dipindahkan ke ruang
pemulihan dan terus diobservasi dengan cara menilai Aldrette’s score nya, nilai 8-
10 bisa dipindahkan ke ruang perawatan, 5-8 observasi secara ketat, kurang dari 5
pindahkan ke ICU, penilaian meliputi:
Tabel Skor Pemulihan Pasca Anestesi
Penilaian Nilai
Warna Merah muda 2
Pucat 1
Sianosis 0
Pernapasan Dapat bernapas dalam dan batuk 2
Dangkal namun pertukaran udara adekuat 1
Apnoea atau obstruksi 0

44
Sirkulasi Tekanan darah menyimpang <20%> 2
Tekanan darah menyimpang 20-50 % dari normal 1
Tekanan darah menyimpang >50% dari normal 0
Kesadaran Sadar, siaga dan orientasi 2
Bangun namun cepat kembali tertidur 1
Tidak berespons 0
Aktivitas Seluruh ekstremitas dapat digerakkan 2
Dua ekstremitas dapat digerakkan 1
Tidak bergerak 0

45
BAB III

KESIMPULAN

Anestesi umum adalah tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai


hilangnya kesadaran dan bersifat pulih kembali (reversibel). Indikasi anestesi
umum yaitu pada pasien yang memungkinkan tidak dapat bekerja sama, pasien
yang memiliki fobia, anak-anak, pembedahan yang membutuhkan waktu lama,
pembedahan luas atau ekstensif, pasien yang memiliki riwayat alergi terhadap
anestesi lokal, dan pasien yang memilih untuk anestesi umum. Kontraindikasi
dilakukannya anestesi umum yaitu adanya gangguan atau kelainan organ yang
dapat dipengaruhi oleh efek dari obat-obat anestesi umum seperti, jantung, hepar,
ginjal, dan paru.
Trias anestesi terdiri dari sedasi, analgesi, dan relaksasi. Stadium anestesi
dibagi menjadi stadium I, II, III, dan IV. Faktor-faktor yang mempengaruhi
anestesi umum antara lain, respirasi, sirkulasi, jaringan dan zat anestesi. Metode
anestesi umum dilihat dari cara pemberian obat melalui parenteral, perektal, dan
perinhalasi. Obat-obatan anestesi umum dibedakan menjadi obat premedikasi,
induksi, dan rumatan. Anestesi umum dapat dilakukan dengan teknik anestesi
spontan dengan sungkup muka atau dengan pipa endotrakea, dan dapat juga
dilakukan dengan teknik anestesi pipa endotrakea dan napas kendali. Prosedur
anestesi dimulai dari persiapan preanestesi, premedikasi, induksi anestesi umum,
rumatan anestesi umum, monitoring anestesi umum, dan pemulihan anestesi.

46
DAFTAR PUSTAKA

American Society of Anesthesiologists (ASA). 2011. Continuum of Depth of


Sedation Definition of General Anesthesia and Levels of
Sedation/Analgesia. ASA Web site. Tersedia di
http://www.asahq.org/publicationsAndServices/standards /20.pdf. Diakses
pada tanggal 7 Maret 2016.
Butterworth John F et al. 2013. Morgan and Mikhail’s Clinical Anesthesiology.
Edisi 5. USA: Mc. Graw Hill. Hlm. 153-220; 1261-1271.
Crowder, M. S. et al. 2014. Mechanism of Anesthesia and Consciousness. Dalam
Clinical Anesthesia 7th Edition, Paul G Barash et al (editor). USA :
Lipincott Williams and Wilkins.
Garden, O. James et al. 2012. Principles and Practice of Surgery: With Student
Consult. USA : Elsevier Health Sciences. Hlm. 75.
Healy TH dan Knight PR. 2003. A Practice of Anesthesia. Edisi 7. USA: Taylor
and Francis Group. Hlm. 604.
Jenkins, K dan Baker AB. 2003. Consent and Aneaesthetic Risk. Original Article.
Anaesthesia (10). Hlm. 962-984.
Latief SA et al. 2010. Petunjuk Praktis Anestesiologi. Edisi kedua. Jakarta:
Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Hlm. 29-90.
Muhiman, M., Thaib M. R., dan Sunatrio S. 2004. Anestesiologi Edisi pertama.
Jakarta: Penerbit Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI.
Soenarjo,Sp.An.,Djatmiko,H,Sp.An.2010. Anestesiologi.FK UNDIP

Zunilda DS dan Elysabeth. 2011. Anestetik Umum. Dalam Farmakologi dan


Terapi, Edisi 5, Sulistia et al. (editor). Jakarta: FKUI. Hlm. 122-137.

47

Anda mungkin juga menyukai