Anda di halaman 1dari 20

BAGIAN KULIT DAN KELAMIN

REFERAT BESAR

FAKULTAS KEDOKTERAN

MEI 2015

UNIVERSITAS HASANUDDIN
PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID UNTUK TERAPI
PADA PENYAKIT KULIT

Disusun Oleh:
Arliawan Arsadi Ali

C111 11 022

Febby Elisa Tandi Daniel

C111 10 161

Ike Widyawati Fongiman

C111 11 013

Pembimbing
dr. Muhlis
Supervisor
dr. Widyawati Djamaluddin Sp.KK
DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
PADA BAGIAN KULIT DAN KELAMIN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASSANUDDIN
MAKASSAR
2015
I.

PENDAHULUAN

Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai khasiat dan indikasi


klinis yang sangat luas. Manfaat dari kortikosteroid cukup besar tetapi efek
samping yang tidak diharapkan cukup banyak, maka dalam penggunaannya
dibatasi termasuk dalam bidang.1,2 Kortikosteroid adalah derivat dari hormon
kortikosteroid yang dihasilkan oleh kelenjar adrenal. Hormon ini dapat
mempengaruhi volume dan tekanan darah, kadar gula darah, otot dan resistensi
tubuh.8
Dalam klinik umumnya kortikosteroid dibedakan menjadi dua golongan
besar yaitu glukokortikoid dan mineralokortikoid. Berbagai jenis kortikosteroid
sintetis telah dibuat dengan tujuan utama untuk mengurangi aktivitas
mineralokortikoidnya dan meningkatkan aktivitas antiinflamasinya, misalnya
deksametason yang mempunyai efek antiinflamasi 30 kali lebih kuat dan efek
retensi natrium lebih kecil dibandingkan dengan kortisol. Berdasarkan cara
penggunaannya kortikosteroid dapat dibagi dua yaitu kortikosteroid sistemik dan
kortikosteroid topikal. Kortikosteroid topikal adalah obat yang digunakan di kulit
pada tempat tertentu dan merupakan terapi topikal yang memberi pilihan untuk
para ahli kulit dengan menyediakan banyak pilihan efek pengobatan.8
Sebagian besar khasiat yang diharapkan dari pemakaian kortikosteroid
adalah

sebagai

antiinflamasi,

antialergi

atau

imunosupresif.

Manfaat

kortikosteroid banyak digunakan dalam bidang dermatologi terutama lebih


ditekankan sebagai obat antialergi. Terapi dengan obat ini bukan merupakan terapi
kuratif melainkan terapi pengendalian atau paliatif saja, kecuali pada insufisiensi
korteks adrenal. Berbagai penyakit yang dahulu lama penyembuhannya dapat
dipersingkat, misalnya pada dermatitis. Penyakit berat yang dahulu dapat
menyebabkan kematian, misalnya sindrom Stevens-Jhonson dan nekrolisis
epidermal toksik, angka kematiannya dapat ditekan berkat pengobatan dengan
kortikosteroid.6,8

II. KORTIKOSTEROID SISTEMIK


Kortikosteroid adalah suatu kelompok hormon steroid yang dihasilkan di
bagian

korteks

kelenjar

adrenal

sebagai

tanggapan

atas

hormon

adrenokortikotropik (ACTH) yang dilepaskan oleh kelenjar hipofisis. Hormon ini


berperan pada banyak sistem fisiologis pada tubuh, misalnya tanggapan terhadap
stres, tanggapan sistem kekebalan tubuh, dan pengaturan inflamasi, metabolisme
karbohidrat, pemecahan protein, kadar elektrolit darah, serta tingkah laku.8
Kelenjar adrenal terdiri dari 2 bagian yaitu bagian korteks dan medulla,
sedangkan bagian korteks terbagi lagi menjadi 2 zona yaitu fasikulata dan
glomerulosa. Zona fasikulata mempunyai peran yang lebih besar dibandingkan
zona glomerulosa. Zona fasikulata menghasilkan 2 jenis hormon yaitu
glukokortikoid dan mineralokortikoid.
Golongan glukokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya
terhadap penyimpanan glikogen hepar dan khasiat anti-inflamasinya nyata,
sedangkan pengaruhnya pada keseimbangan air dan elektrolit kecil atau tidak
berarti. Prototip untuk golongan ini adalah kortisol dan kortison, yang merupakan
glukokortikoid alam. Terdapat juga glukokortikoid sintetik, misalnya prednisolon,
triamsinolon, dan betametason.3,9
Golongan mineralokortikoid adalah kortikosteroid yang efek utamanya
terhadap keseimbangan air dan elektrolit menimbulkan efek retensi Na dan
deplesi K, sedangkan pengaruhnya terhadap penyimpanan glikogen hepar sangat
kecil. Oleh karena itu mineralokortikoid jarang digunakan dalam terapi. Prototip
dari golongan ini adalah desoksikortikosteron. Umumnya golongan ini tidak
mempunyai khasiat anti-inflamasi yang berarti, kecuali 9 -fluorokortisol,
meskipun demikian sediaan ini tidak pernah digunakan sebagai obat anti-inflamasi
karena efeknya pada keseimbangan air dan elektrolit terlalu besar.1,3,9
II.1. Farmakologi
Semua

hormon

steroid

sama-sama

mempunyai

rumus

bangun

siklopentanoperhidrofenantren 17-karbon dengan 4 buah cincin. Modifikasi dari

struktur cincin dan struktur luar akan mengakibatkan perubahan pada efektivitas
dari steroid tersebut. Atom karbon tambahan dapat ditambahkan pada posisi 10
dan 13 atau sebagai rantai samping yang terikat pada C17. Semua steroid
termasuk glukokortikosteroid mempunyai struktur dasar 4 cincin kolestrol dengan
3 cincin heksana dan 1 cincin pentana.2,3,7,9
Hormon steroid adrenal disintesis dari kolestrol yang terutama berasal
dari plasma. Korteks adrenal mengubah asetat menjadi kolestrol, yang kemudian
dengan bantuan enzim diubah lebih lanjut menjadi kortikosteroid dengan 21 atom
karbon dan androgen lemah dengan 19 atom karbon. Sebagian besar kolesterol
yang digunakan untuk steroidogenesis ini berasal dari luar (eksogen), baik pada
keadaan basal maupun setelah pemberian ACTH.9
Dalam korteks adrenal kortikosteroid tidak disimpan sehingga harus
disintesis terus menerus. Bila biosintesis berhenti, meskipun hanya untuk
beberapa menit saja, jumlah yang tersedia dalam kelenjar adrenal tidak cukup
untuk memenuhi kebutuhan normal. Oleh karenanya kecepatan biosintesisnya
disesuaikan dengan kecepatan sekresinya. Berikut adalah tabel yang menunjukkan
kecepatan sekresi dan kadar plasma kortikosteroid terpenting pada manusia.1,9
Kecepatan
dalam
Kortisol
Aldosteron

sekresi Kadar plasma


keadaaan

optimal (mg/hari)
20
0,125

(g/100ml)
Jam 08.00
16
0,01

Jam 16.00
4
-

Pada pemeriksaan sampel dengan tes saliva sebanyak 4 kali dalam satu
hari yaitu sebelum sarapan pagi hari, siang, sore hari dan pada malam hari
sebelum tidur. Pada pagi hari kadar kortisol yang paling tinggi dibandingkan
waktu lainnya yang membuat orang menjadi lebih semangat dalam menjalani
aktivitasnya. Orang yang sehat pengeluaran kortisol mulai menurun hingga kadar
terendah yaitu pada pukul 11 malam dibuktikan dengan seseorang yang dapat
beristirahat dengan cukup.2

II.2. Mekanisme Kerja


Kortikosteroid bekerja dengan mempengaruhi kecepatan sintesis protein.
Molekul hormon memasuki jaringan melalui membran plasma secara difusi pasif
di jaringan target, kemudian bereaksi dengan reseptor steroid. Kompleks ini
mengalami perubahan bentuk, lalu bergerak menuju nukleus dan berikatan dengan
kromatin. Ikatan ini menstimulasi transkripsi RNA dan sintesis protein spesifik.
Induksi sintesis protein ini merupakan perantara efek fisiologis steroid. Pada
beberapa jaringan, misalnya hepar, hormon steroid merangsang transkripsi dan
sintesis protein spesifik; pada jaringan lain, misalnya sel limfoid dan fibroblas
hormon steroid merangsang sintesis protein yang sifatnya menghambat atau
toksik terhadap sel-sel limfoid, hal ini menimbulkan efek katabolik.1,3,9

Gambar 1. Gambaran mekanisme kerja kortikosteroid 1


Metabolisme kortikosteroid sintetis sama dengan kortikosteroid alami.
Kortisol (juga disebut hydrocortison) memiliki berbagai efek fisiologis, termasuk
regulasi metabolisme perantara, fungsi kardiovaskuler, pertumbuhan dan imunitas.
Sintesis dan sekresinya diregulasi secara ketat oleh sistem saraf pusat yang sangat
sensitif terhadap umpan balik negatif yang ditimbulkan oleh kortisol dalam
sirkulasi dan glukokortikoid eksogen (sintetis). Pada orang dewasa normal,
disekresi 10-20 mg kortisol setiap hari tanpa adanya stres. Pada plasma, kortisol
terikat pada protein dalam sirkulasi. Dalam kondisi normal sekitar 90% berikatan
dengan globulin-2 (CBG/ corticosteroid-binding globulin), sedangkan sisanya
sekitar 5-10% terikat lemah atau bebas dan tersedia untuk digunakan efeknya pada
sel target. Jika kadar plasma kortisol melebihi 20-30%, CBG menjadi jenuh dan
konsentrasi kortisol bebas bertambah dengan cepat. Kortikosteroid sintetis seperti
dexametason terikat dengan albumin dalam jumlah besar dibandingkan CBG.1
Waktu paruh kortisol dalam sirkulasi, normalnya sekitar 60-90 menit,
waktu paruh dapat meningkat apabila hydrocortisone (prefarat farmasi kortisol)
diberikan dalam jumlah besar, atau pada saat terjadi stres, hipotiroidisme atau
penyakit hati. Hanya 1% kortisol diekskresi tanpa perubahan di urin sebagai
kortisol bebas, sekitar 20% kortisol diubah menjadi kortison di ginjal dan jaringan

lain dengan reseptor mineralokortikoid sebelum mencapai hati. Perubahan struktur


kimia sangat mempengaruhi kecepatan absorpsi, mula kerja dan lama kerja juga
mempengaruhi afinitas terhadap reseptor, dan ikatan protein. Prednison adalah
prodrug yang dengan cepat diubah menjadi prednisolon bentuk aktifnya dalam
tubuh.1
2.2.1

Kortikosteroid sebagai anti inflamasi


Kortisol dan analog sintetiknya dapat mencegah atau menekan timbulnya

gejala inflamasi akibat radiasi, infeksi, zat kimia, mekanik, atau alergen. Secara
mikroskopik obat ini menghambat fenomena inflamasi dini yaitu edema, deposit
fibrin, dilatasi kapiler, migrasi leukosit ke tempat radang dan aktivitas fagositosis.
Selain itu juga dapat menghambat manifestasi inflamasi yang telah lanjut yaitu
proliferasi kapiler dan fibroblast, pengumpulan kolagen dan pembentukan
sikatriks. Hal ini karena efeknya yang besar terhadap konsentrasi, distribusi dan
fungsi leukosit perifer dan efek supresinya terhadap cytokyne dan chemokyne
imflamasi serta mediator inflamasi lipid dan glukolipid lainnya. Inflamasi, tanpa
memperhatikan penyebabnya, ditandai dengan ekstravasasi dan infiltrasi leukosit
kedalam jaringan yang mengalami inflamasi. Peristiwa tersebut diperantarai oleh
serangkaian interaksi yang komplek dengan molekul adhesi sel, khususnya pada
sel endotel dan dihambat oleh glukokortikoid. Setelah pemberian dosis tunggal
glukokortikoid dengan masa kerja pendek, konsentrasi neutrofil meningkat,
sedangkan limfosit, monosit, eosinofil dan basofil dalam sirkulasi berkurang
jumlahnya. Perubahan tersebut menjadi maksimal dalam 6 jam dan menghilang
setelah 24 jam. Peningkatan neutrofil tersebut disebabkan oleh peningkatan aliran
masuk ke dalam darah dari sum-sum tulang dan penurunan migrasi dari pembuluh
darah, sehingga menyebabkan penurunan jumlah sel pada tempat inflamasi.1
Glukokortikoid juga menghambat fungsi makrofag jaringan dan sel
penyebab antigen lainnya. Kemampuan sel tersebut untuk bereaksi terhadap
antigen dan mitogen diturunkan. Efek terhadap makrofag tersebut terutama
menandai dan membatasi kemampuannya untuk memfagosit dan membunuh

mikroorganisme serta menghasilkan tumor nekrosis factor-a, interleukin-1,


metalloproteinase dan activator plasminogen. Selain efeknya terhadap fungsi
leukosit, glukokortikoid mempengaruhi reaksi inflamasi dengan cara menurunkan
sintesis prostaglandin,leukotrien dan platelet-aktivating factor. 1

Gambar 2. Gambar mekanisme inflamasi 4


2.2.3

Kortikosteroid sebagai anti proliferatif


Fungsi glukokortikoid lainnya adalah sebagai antiproloferatif. Melalui

proses penetrasi, glukokortikoid masuk ke dalam inti sel-sel lesi, berikatan dengan
kromatin gen tertentu, sehingga aktivitas sel-sel tersebut mengalami perubahan.
Sel-sel ini dapat menghasilkan protein baru yang dapat membentuk atau
menggantikan sel-sel yang tidak berfungsi, menghambat mitosis (antiproliferatif), bergantung pada jenis dan stadium proses radang. Glukokotikoid
juga dapat mengadakan stabilisasi membran lisosom, sehingga enzim-enzim yang
dapat merusak jaringan tidak dikeluarkan.3
2.2.4

Kortikosteroid sebagai imunnosupresif


Efektivitas kortisteroid bisa akibat dari sifat immunosupresifnya.

Mekanisme yang terlibat dalam efek ini kurang diketahui. Beberapa studi
menunjukkan bahwa kortikosteroid bisa menyebabkan pengurangan sel mast pada
kulit.2,3

II.3. Dosis Kortikosteroid Topikal


Kortikosteroid secara sistemik dapat diberikan secara intralesi, oral,
intramuskular, intravena. Pemilihan preparat yang digunakan tergantung dengan
keparahan penyakit. Pada suatu penyakit dimana kortikosteroid digunakan karena
efek samping seperti pada alopesia areata, kortikosteroid yang diberikan adalah
kortikosteroid dengan masa kerja yang panjang.
Kortikosteroid biasanya digunakan setiap hari atau selang sehari. Initial
dose yang dugunakan untu mengontrol penyakit rata-rata dari 2,5 mg hingga
beberapa ratus mg setiap hari. Jika digunakan kurang dari 3-4 minggu,
kortikosteroid diberhentikan tanpa tapering off. Dosis yang paling kecil dengan
masa kerja yang pendek dapat diberikan setiap pagi untuk meminimal efek
samping karena kortisol mencapai puncaknya sekitar jam 08.00 pagi dan terjadi
umpan balik yang maksimal dari seekresi ACTH. Sedangkan pada malam hari
kortikosteroid level yang rendah dan dengan sekresi ACTH yang normal
sehingga dosis rendah dari prednison (2,5 sampai 5mg) pada malam hari sebelum
tidur dapat digunakan untuk memaksimalkan supresi adrenal pada kasus akne
maupun hirsustisme.2
Pada pengobatan berbagai dermatosis dengan kortikosteroid, bila telah
mengalami perbaikan dosisnya diturunkan berangsur-angsur agar penyakitnya
tidak mengalami eksaaserbasi, tidak terjadi supresi korteks kelenjar adrenal dan
sindrom putus obat. Jika terjadi supresi korteks kelenjar adrenal, penderita tidak
dapat melawan stress. Supresi terjadi kalau dosis prednison meebihi 5 mg per hari
dan kalau lebih dari sebulan. Pada sindrom putus obat terdapat keluhan lemah,
lelah, anoreksia dan demam ringan yang jaranng melebihi 39C.6
Penggunaan glukokortikoid jangka panjang yaitu lebih dari 3 sampai 4
minggu perlu dilakukan penurunan dosis secara perlahan-lahan untuk mencari
dosis pemeliharaan dan menghindari terjadi supresi adrenal. Cara penurunan yang
baik dengan menukar dari dosis tunggal menjadi dosis selang sehari diikuti
dengan penurunan jumlah dosis obat. Untuk mencegah terjadinya supresi korteks
kelenjar adrenal kortikosteroid dapat diberikan selang sehari sebagai dosis tunggal

pada pagi hari (jam8), karena kadar kortisol tertinggi dalam darah pada pagi hari.
Keburukan pemberian dosis selang sehari ialah pada hari bebas obat penyakit
dapat kambuh. Untuk mencegahnya, pada hari yang seharusnya bebas obat masih
diberikan kortikosteroid dengan dosis yang lebih rendah daripada dosis pada hari
pemberian obat. Kemudian perlahan-lahan dosisnya diturunkan. Bila dosis telah
mencapi 7,5 mg prednison, selanjutnya pada hari yang seharusnya bebas obat
tidak diberikan kortikosteroid lagi. Alasannya ialah bila diturunkan berarti hanya
5 mg dan dosis ini merupakan dosis fisiologik. Seterusnya dapat diberikan selang
sehari.6
Tabel 3. Berbagai penyakit yang dapat diobati dengan kortikosteroid beserta
dosisnya:1,6
Nama penyakit
Dermatitis
Erupsi alergi obat ringan
SJS berat dan NET
Eritrodermia
Reaksi lepra
DLE
Pemfigoid bulosa
Pemfigus vulgaris
Pemfigus foliaseus
Pemfigus eritematosa
Psoriasis pustulosa
Reaksi Jarish-Herxheimer

Macam kortikosteroid dan dosisnya sehari


Prednison 4x5 mg atau 3x10mg
Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg
Deksametason 6x5 mg
Prednison 3x10 mg atau 4x10 mg
Prednison 3x10 mg
Prednison 3x10 mg
Prednison 40-80 mg
Prednison 60-150 mg
Prednison 3x20 mg
Prednison 3x20 mg
Prednison 4x10 mg
Prednison 20-40 mg

Dosis yang tertulis ialah dosis patokan untuk orang dewasa menurut pengalaman,
tidak bersifat mutlak karena bergantung pada respons penderita. Dosis untuk anak
disesuaikan dengan berat badan / umur. Jika setelah beberapa hari belum tampak
perbaikan, dosis ditingkatkan sampai ada perbaikan.6
II.4. Monitor Penggunaan Kortikosteroid Sistemik
Dasar

evaluasi

yang

digunakan

sebelum

dilakukan

pengobatan

kortikosteroid untuk mengurangi potensi terjadinya efek samping adalah riwayat


personal dan keluarga dengan perhatian khusus kepada penderita yang memiliki

10

predisposisi diabetes, hipertensi, hiperlipidemia, glaukoma dan penyakit yang


terpengaruh dengan pengobatan steroid. Tekanan darah dan berat badan harus
tetap di ukur. Jika dilakukan pengobatan jangka lama perlu dilakukan pemeriksaan
mata, test PPD, pengukuran densitas tulang spinal dengan menggunakan
computed tomography (CT), dual-photon absorptiometry, atau dual-energy x ray
absorptiometry (DEXA).2
Sedangkan selama penggunan kortikosteroid tetap perlu dilakukan
evaluasi diantaranya menanyakan kepada pasien terjadinya poliuri, polidipsi,
nyeri abdomen, demam, gangguan tidur dan efek psikologi. Penggunaan
glukokortikoid dosis besar mempunyai kemungkinan terjadinya efek yang serius
terhadap afek bahkan psikosis. Berat badan dan tekanan darah tetap selalu di
monitor. Elektrolit serum, kadar gula darah puasa, kolesterol, dan trigliserida tetap
diukur dengan regular. Pemeriksaan tinja perlu dilakukan pada kasus darah yang
menggumpal. Selain itu, pemeriksaan lanjut pada mata karena ditakutkan
terjadinya katarak dan glaukoma.2
Tabel 4. Hal-hal yang perlu di monitor selama penggunaan glukokortikoid
jangka panjang2
No.
1.
2.
3.
4.

Efek samping
Hipertensi
Berat badan meningkat
Reaktivasi infeksi
Abnormalitas metabolik

5.
6.
7.

Osteoporosis
Mata
Katarak
Glaukoma
Ulkus peptik

8.

Supresi kelenjar adrenal

Monitor
Tekanan darah
Berat badan
PPD, (12 hari setelah pemakaian prednison)
Elektrolit, lipid, glukosa (t.u penderita
diabetes dan hiperlipidemia)
Densitas tulang
Pemeriksaan slit lamp (setiap 6 sampai 12
bulan)
Tekanan intraokular (saat bulan pertama dan
ke enam)
Pertimbangkan pengunaan antagonis H2 atau
proton pump inhibitor
Dosis tunggal di pagi hari, periksa serum
kortisol pada jam 8 pagi sebelum tapering
off.

II.5. Efek Samping

11

Kortikosteroid merupakan obat yang mempunyai manfaat dan indikasi


klinis yang sangat luas. Manfaat dari preparat ini cukup besar tetapi karena efek
samping yang tidak diharapkan cukup banyak, maka dalam penggunaannya
dibatasi. Beberapa efek samping penggunaan kortikosteroid jangka panjang antara
lain:

Pengurangan produksi cortisol sendiri. Selama dan setelah pengobatan


steroid, maka kelenjar adrenal memproduksi sendiri sedikit cortisol, yang
dihasilkan dari kelenjar di bawah otak-hypopituitary-adrenal (HPA)
penindasan axis. Untuk sampai dua belas bulan setelah steroids dihentikan,
kurangnya respon terhadap steroid terhadap stres seperti infeksi atau
trauma dapat mengakibatkan sakit parah.

Osteoporosis terutama perokok, perempuan postmenopausal, orang tua,


orang-orang yang kurang berat atau yg tak bergerak, dan pasien dengan
diabetes atau masalah paru-paru. Osteoporosis dapat menyebabkan patah
tulang belakang, ribs atau pinggul bersama dengan sedikit trauma. Ini
terjadi setelah tahun pertama dalam 10-20% dari pasien dirawat dengan
lebih dari 7.5mg Prednisone per hari. Hal ini diperkirakan hingga 50% dari
pasien dengan kortikosteroid oral akan mengalami patah tulang.

Penurunan pertumbuhan pada anak-anak, yang tidak dapat mengejar


ketinggalan jika steroids akan dihentikan (tetapi biasanya tidak).

Otot lemah, terutama di bahu dan otot paha.

Jarang, nekrosis avascular pada caput tulang paha (pemusnahan sendi


pinggul).

Meningkatkan diabetes mellitus (gula darah tinggi).

Kenaikan lemak darah (trigliserida).

Redistribusi lemak tubuh: wajah bulan, punuk kerbau dan truncal obesity.

12

Retensi garam: kaki bengkak, menaikkan tekanan darah, meningkatkan


berat badan dan gagal jantung.

Kegoyahan dan tremor.

Penyakit mata, khususnya glaukoma (peningkatan tekanan intraocular) dan


katarak subcapsular posterior.

Efek psikologis termasuk insomnia, perubahan mood, peningkatan energi,


kegembiraan, delirium atau depresi.

Sakit kepala dan menaikkan tekanan intrakranial.

Peningkatan resiko infeksi internal, terutama ketika dosis tinggi


diresepkan (misalnya tuberkulosis).

Ulkus peptikum, terutama pada pengobatan yang menggunakan antiinflamasi.

Ada juga efek samping dari mengurangi dosis; termasuk kelelahan, sakit
kepala, nyeri otot dan sendi dan depresi.
Efek samping yang tidak diinginkan berhubungan dengan sifat potensiasi,

tetapi belum dibuktikan kemungkinan efek samping yang terpisah dari potensi,
kecuali mungkin merujuk kepada supresi dari adrenokortikal sistemik. Dengan ini
efek samping hanya bisa dielakkan sama ada dengan bergantung pada steroid
yang lebih lemah atau mengetahui dengan pasti tentang cara penggunaan, kapan,
dan dimana harus digunakan jika menggunakan yang lebih paten. Secara umum
efek samping dari kortikosteroid topikal termasuk atrofi, striae atrofise,
telangiektasis,

purpura,

dermatosis

akneformis,

hipertrikosis

setempat,

hipopigmentasi, dermatitis peroral.3


Efek samping kortikosteroid dapat dibagi menjadi beberapa tingkat
yaitu:3,11
II.5.1. Efek Epidermal
13

Efek epidermal pada penggunaan kortikosteroif adalah penipisan epidermal


yang disertai dengan peningkatan aktivitas kinetik dermal, suatu penurunan
ketebalan rata-rata lapisan keratosit, dengan pendataran dari konvulsi dermoepidermal. Efek ini bisa dicegah dengan penggunaan tretinoin topikal secara
konkomitan.
Efek lain pada epidermis adalah inhibisi dari melanosit, suatu keadaan
seperti vitiligo, telah ditemukan. Komplikasi ini muncul pada keadaan oklusi
steroid atau injeksi steroid intrakutan.
II.5.2. Efek Dermal
Terjadi penurunan sintesis kolagen dan pengurangan pada substansi dasar.
Ini menyebabkan terbentuknya striae dan keadaan vaskulator dermal yang lemah
akan menyebabkan mudah ruptur jika terjadi trauma atau terpotong. Pendarahan
intradermal yang terjadi akan menyebar dengan cepat untuk menghasilkan suatu
blot hemorrhage. Ini nantinya akan terserap dan membentuk jaringan parut stelata,
yang terlihat seperti usia kulit prematur.
II.5.3. Efek Vaskular
Kortikosteroid

dapat

menyebabkan

vasodilatasi

yang

terfiksasi.

Kortikosteroid pada awalnya menyebabkan vasokontriksi pada pembuluh darah


yang kecil di superfisial. Vasokontriksi yang lama akan menyebabkan pembuluh
darah yang kecil mengalami dilatasi berlebihan, yang bisa mengakibatkan edema,
inflamasi lanjut, dan kadang-kadang pustulasi.

III. KORTIKOSTEROID TOPIKAL


Efektifitas kortiksteroid topikal berhubungan dengan 4 hal yaitu
vasokonstriksi, (antimitosis) antiproliferatif, immunosupresif dan antiinflamasi.
Kortikosteroid topikal menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah di bagian

14

superfisial dermis, yang akan mengurangi eritema. Kemampuan untuk


menyebabkan vasokontriksi ini biasanya berhubungan dengan potensi antiinflamasi, dan biasanya vasokontriksi ini digunakan sebagai suatu tanda untuk
mengetahui aktivitas klinik dari suatu agen.
III.1. Golongan Kortikotseroid Topikal
Kortikosteroid topikal terbagi mejadi 7 golongan besar berdasarkan
kemampuan

kortikosteroid

tersebut

menyebabkan

efek

vasokonstriksi,

antiinflamasi, antiproliferatif, dan immunosupresif. Kortikosteroid topikal


golongan I adalah yang paling kuat daya anti-inflamasi dan antimitotiknya (super
poten). Sebaliknya golongan VII yang terlemah (potensi lemah).2

Tabel 2. Penggolongan kortikosteroid topikal berdasarkan potensi klinis :2,3,6


Klasifikasi
Nama Dagang
Golongan 1: (super poten) Diprolene ointment
Diprolene AF cream
Psorcon ointment
Temovate ointment
Temovate cream
Olux foam
Ultravate ointment
Ultravate cream

Nama Generik
0,05% betamethason dipropionate

Golongan II: (potensi


tinggi)

0,1% amcinonide
0,05% betamethasone dipropionate
0,01% mometasone fuorate
0,05% diflorasone diacetate
0,01% halcinonide

Cyclocort ointment
Diprosone ointment
Elocon ointment
Florone ointment
Halog ointment
Halog solution
Lidex ointment
Lidex solution
Maxiflor ointment
Maxivate ointment
Maxivate cream
Topicort ointment
Topicort cream
Topicort gel

0,05% diflorasone diacetate


0,05% clobetasol propionate
0,05% halobetasol propionate

0,05% fluocinonide
0,05% diflorasone diacetate
0,05% betamethasone dipropionate
0,25% desoximetasone
0,05% desoximetasone

15

Golongan III: (potensi


tinggi)

Golongan IV: (potensi


medium)

Golongan V: (potensi
medium)

Golongan VI: (potensi


medium)

Aristocort A ointment
Cultivate ointment
Cyclocort cream
Cyclocort lotion
Diprosone cream
Flurone cream
Lidex E cream
Maxiflor cream
Maxivate lotion
Topicort LP cream
Valisone ointment

0,1% triamcinolone acetonide


0,005% fluticasone propionate
0,1 amcinonide

Aristocort ointment
Cordran ointment
Elocon cream
Elocon lotion
Kenalog ointment
Kenalog cream
Synalar ointment

0,1% triamcinolone acetonide


0,05% flurandrenolide
0,1% mometasone furoate

Cordran cream
Cutivate cream
Dermatop cream
Diprosone lotion
Kenalog lotion
Locoid cream
Synalar cream
Tridesilon ointment
Valisone cream

0,05% flurandrenolide
0,05% fluticasone propionate
0,1% prednicarbate
0,05% betamethasone dipropionate
0,1% triamcinolone acetonide

Aclovate ointment
Aclovate cream
Aristocort cream
Desowen cream
Kenalog cream
Kenalog lotion
Locoid solution
Synalar cream
Synalar solution
Tridesilon cream
Valisone lotion

0,05% aclometasone

0,05% betamethasone dipropionate


0,05% diflorosone diacetate
0,05% fluocinonide
0,05% diflorosone diacetate
0,05% betamethasone dipropionate
0,05% desoximetasone
0,01% betamethasone valerate

0,1% triamcinolone acetonide


0,025% fluocinolone acetonide

0,025% fluocinolone acetonide


0,05% desonide
0,1% betamethasone valerate

0,1% triamcinolone acetonide


0,05% desonide
0,025% triamcinolone acetonide
0,1% hydrocortisone butyrate
0,01% fluocinolone acetonide
0,05% desonide
0,1% betamethasone valerate

Obat topical dengan


hidrokortison,
dekametason,

16

Golongan VII: (potensi


lemah)

glumetalone,
prednisolone, dan
metilprednisolone

III.2. Peggunaan Berdasarkan Potensi


Penggunaan kortikosteroid topikal harus mempertimbangkan indikasi dan
berdasarkan pada potensi kortikosteroid tersebut. Kortikotseroid dengan potensi
yang berbeda memiliki indikasi yang berbeda pula. Kortikosteroid dengan potensi
kuat belum tentu merupakan obat pilihan untuk suatu penyakit kulit. Perlu
diperhatikan bahwa kortikosteroid topikal bersifat paliatif dan supresif terhadap
penyakit kulit dan bukan merupakan pengobatan kausal.
III.2.1.Kortikosteroid Potensi Lemah
Kortikosteroid potensi lemah digunakan pada kelainan akut serta pada
penderita anak-anak, usia lanjut dan ibu hamil. Pengobatan kortikosteroid pada
bayi dan anak harus dilakukan dengan lebih hati-hati. Penggunaan pada anak-anak
memiliki efektifitas yang tinggi dan sedikit efek samping terhadap pemberian
kortikosteroid topikal dengan potensi lemah dan dalam jangka waktu yang
singkat. Sedangkan pada bayi memiliki risiko efek samping yang tinggi karena
kulit bayi masih belum sempurna dan fungsinya belum berkembang seutuhnya.
Secara umum, kulit bayi lebih tipis, ikatan sel-sel epidermisnya masih longgar,
lebih cepat menyerap obat sehingga kemungkinan efek toksis lebih cepat terjadi
serta sistem imun belum berfungsi secara sempurna Pada bayi prematur lebih
berisiko karena kulitnya lebih tipis dan angka penetrasi obat topikal sangat tinggi.2
Pada geriatri memiliki kulit yang tipis sehingga penetrasi steroid topikal
meningkat. Selain itu, pada geriatri juga telah mengalami kulit yang atropi
sekunder karena proses penuaan. Kortikosteroid topikal harus digunakan secara
tidak sering, waktu singkat dan dengan pengawasan yang ketat.2
Kortikosteroid topikal tidak seharusnya dipakai sewaktu hamil kecuali
dinyatakan perlu atau sesuai oleh dokter untuk wanita yang hamil. Pada kasus
kelahiran prematur, sering digunakan steroid untuk mempercepat kematangan
17

paru-paru janin (standar pelayanan). Kortikosteroid topikal yang biasa digunakan


pada saat kehamilan adalah hidrokortison dan betametason. Begitu juga pada
waktu menyusui, penggunaan kortikosteroid topikal harus dihindari dan
diperhatikan. Belum diketahui dengan pasti apakah steroid topikal diekskresi
melalui ASI, tetapi sebaiknya tidak digunakan pada wanita sedang menyusui.2,7
III.2.2.Kortikosteroid Potensi Sedang
Kortikosteroid potensi sedang digunakan pada kelainan subakut, misalnya
pada dermatitis kontak alergi, dermatitis seboroik, dan dermatitis intertriginosa.2,6
III.2.3.Kortikosteroid Potensi Kuat
Kortikosteroid potensi kuat digunakan pada kelainan kulit yang bersifat
kronis dengan lesi yang tebal, contohnya pada psoriasis, dermatitis atopik,
dermatitis dishidrotik, dan dermatitis numular.2,6

III.3. Dosis Pemberian Kortikosteroid Topikal


Pemberian kortikosteroid topikal dipilih berdasarkan keamanan dan
pertimbangan efek samping serta beberapa faktor lain yang perlu di
pertimbangkan yaitu jenis penyakit kulit, jenis vehikulum, kondisi penyakit yaitu
stadium penyakit, luas/tidaknya lesi, dalam/dangkalnya lesi dan lokalisasi lesi.3
Steroid topikal terdiri dari berbagai macam vehikulum dan bentuk dosis.
Salep (ointments) ialah bahan berlemak atau seperti lemak, yang pada suhu kamar
berkonsistensi seperti mentega. Bahan dasar biasanya vaselin, tetapi dapat pula
lanolin atau minyak. Jenis ini merupakan yang terbaik untuk pengobatan kulit
yang kering karena banyak mengandung pelembab. Selain itu juga baik untuk
pengobatan pada kulit yang tebal contoh telapak tangan dan kaki. Salep mampu
melembabkan stratum korneum sehingga meningkatkan penyerapan dan potensi
obat. Krim adalah suspensi minyak dalam air. Krim memiliki komposisi yang
bervariasi dan biasanya lebih berminyak dibandingkan ointments tetapi berbeda
pada daya hidrasi terhadap kulit. Banyak pasien lebih mudah menemukan krim
18

untuk kulit dan secara kosmetik lebih baik dibandingkan ointments. Meskipun itu,
krim terdiri dari emulsi dan bahan pengawet yang mempermudah terjadi reaksi
alergi pada beberapa pasien. Lotion (bedak kocok) tediri atas campuran air dan
bedak, yang biasanya ditambah dengan gliserin sebagai bahan perekat, lotion
mirip dengan krim. Lotion terdiri dari agents yang membantu melarutkan
kortikosteroid dan lebih mudah menyebar ke kulit. Solution tidak mengandung
minyak tetapi kandungannya terdiri dari air, alkohol dan propylene glycol. Gel
komponen solid pada suhu kamar tetapi mencair pada saat kontak dengan kulit.
Lotion, solution, dan gel memiliki daya penyerapan yang lebih rendah
dibandingkan ointment tetapi berguna pada pengobatan area rambut contoh pada
daerah scalp dimana lebih berminyak dan secara kosmerik lebih tidak nyaman
pada pasien.2,6
Pada umumnya dianjurkan pemakaian salep 2-3 x/hari sampai penyakit
tersebut sembuh. Perlu dipertimbangkan adanya gejala takifilaksis. Takifilaksis
ialah menurunnya respons kulit terhadap glukokortikoid karena pemberian obat
yang berulang-ulang berupa toleransi akut yang berarti efek vasokonstriksinya
akan menghilang, setelah diistirahatkan beberapa hari efek vasokonstriksi akan
timbul kembali dan akan menghilang lagi bila pengolesan obat tetap dilanjutkan.
Lama pemakaian kortikosteroid topikal sebaiknya tidak lebih dari 4-6
minggu untuk steroid potensi lemah dan tidak lebih dari 2 minggu untuk potensi
kuat. Ada beberapa acuan pemakaian dari kortikosteroid topikal, yakni 3
1. kortikosteroid topikal poten tidak dibenarkan pada bayi dan anak.
2. Pemakaian kortikosteroid poten orang dewasa hanya 40 gram per minggu,
sebaiknya jangan lebih lama dari 2 minggu. Bila lesi sudah membaik,
pilihlah salah satu dari golongan sedang dan bila perlu diteruskan dengan
hidrokortison asetat 1%.

19

DAFTAR PUSTAKA
1.

Lee T, Nesbitt J. Glucocorticosteroids. In: Bolognias Dermatology. 2nd


edition. Inggris: Mosby Elsevier; 2010. p. 567-9

2.

Freeberg. M. Irwin, Eisen. Z. Atrhur, Wolff. Klaus, dkk. Fitzpatricks


Dermatology in General Medicine. Volume II B. Sixth Edition. Newyork;
Mc Graw-Hill Medical Publishing Division. 2003; 2381-2387, 2322-2327

3.

AbbVie.Systemic Steroid.DermNetNZ.New Zealand.2014

4.

Tzu-Kai Lin. Paradoxical Benefits of pshycological stress in inflamatory


dermatoses models are glucocorticoid mediated. Journal Of Investigative
Dermatology.2014.vol 134

5.

Sularsito Adi Sri Dr, dkk. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan


Erupsi Obat Alergik. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 1995; 23-26

6.

Djuanda. A, Hamzah. M, Aisah. S. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi


kelima, Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007; 337-347

7.

Simon,Dagmar. Glucocorticoid in Autoimune Bullous Disease: Are


Neutrophils The Key Cellular Target. Journal Of Investigative
Dermatology.2013.Vol-133

8.

Ference JD, Last AR. Choosing topical corticosteroids. Am Fam Physician.


2009 Jan 15;79(2):135-40

9.

Del Rosso J, Friedlander SF. Corticosteroids: options in the era of steroidsparing therapy. J Am Acad Dermatol. 2005 ;53: S50-8.

10. Rathi SK, D'Souza P. Rational and ethical use of topical corticosteroids
based on safety and efficacy. Indian J Dermatol. 2012 Jul;57(4):251-9

20

Anda mungkin juga menyukai